Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KIMIA LINGKUNGAN LAHAN BASAH

KANDUNGAN KIMIA DI LAHAN BASAH

(Chemical Content in Wetlands)

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok

Dosen Pengajar :

Drs. Bambang Suharto, M.Si


Drs. Leny, M.Si

Nama Anggota Kelompok :

Nita Maulida (17101202220021)


Nur Hidayah (1710120120019)
Selvia Agustina (1710120120025)
Siti Jaleha (1710120120029)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah menolong penulis untuk menyelesaikan
makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-NYA penulis tidak
sanggup dan mungkin tidak akan bisa menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni
Nabi Muhammad SAW. Makalah ini memuat tentang “KANDUNGAN KIMIA
DI LAHAN BASAH (Chemical Content in Wetlands)”. Walaupun mungkin
makalah ini kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi
pembaca. Makalah ini di susun oleh penulis dengan berbagai rintangan.Baik itu
yang datang dari diri penulis maupun yang datang dari luar. Namun, dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan, akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua rekan yang terlibat dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki banyak
kekurangan. Penulis mohon untuk saran dan kritiknya. Terimakasih.

Banjarmasin, November 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan basah merupakan daerah yang selalu jenuh dengan air, baik secara
permanen (tetap) maupun sementara dan umumnya meliputi daerah seperti
gambut, rawa, paya dan riparian (Soendjoto, 2015). Lahan basah merupakan
wilayah yang erat kaitannya dengan aktivitas makhluk hidup, baik sebagai
pendukung dalam kehidupan makhluk hidup maupun berperan secara langsung
dalam ekosistem (Deputi, 2004).
Lahan basah dikatakan sebagai pendukung kehidupan makhluk hidup
karena memiliki fungsi, sebagai pendukung dalam siklus biogeokimia,
berinteraksi dengan proses-proses yang mendukung kehidupan pokok makhluk
hidup seperti bernafas, makan, dan minum. Selain itu, lahan basah juga
mendukung rantai makanan, kualitas air dan dinamika hidrologi air, serta
menyediakan habitat untuk kehidupan makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan
manusia. Lahan basah dikatakan juga memiliki fungsi ekologis karena dapat
berfungsi sebagai pengendali banjir, pencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran,
dan sebagai pengendali iklim global (Deputi, 2004).
Lahan basah memiliki fungsi yang luar biasa untuk kehidupan makhluk hidup,
tetapi perlu diketahui bahwa lahan basah akan sulit dipulihkan jika sudah
mengalami pencemaran. Oleh karena itulah, kita perlu melakukan pengelolaan
lahan basah dengan tepat. Hal-hal seperti inilah yang membuat kami tertarik untuk
membahas secara lebih mendalam tentang lahan basah dalam makalah ini yang
berjudul “Kandungan Kimia di Lahan Basah”. Dalam makalah ini kami akan
membahas secara rinci tentang llahan basah, baik dari definisi, klasifikasi lahan
basah serta kandungan kimia apa saja yang terdapat di lahan basah dan seperti apa
pengaruh kandungan kimia yang ada di lahan basah dalam kehidupan makhluk
hidup.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari lahan basah ?
2. Apa saja klasifikasi lahan basah ?
3. Kandungan apa yang terdapat di rawa dan gambut ?
4. Kandungan apa yang terdapat di paya dan riparian ?

1.3 Tujuan
Untuk mengetaui definisi lahan basah, klasifikasi lahan basah, kandungan di
rawa,dan gambut serta kandungan di paya dan riparian.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Lahan Basah dan Klasifikasi Lahan Basah


Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh
dengan air, dapat bersifat permanen atau musiman. Wilayah-wilayah lahan basah
sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisah air yang
dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, diantaranya rawa-rawa, paya,
gambut dan riparian.
Menurut Maltby (1986) lahan basah merupakan istilah kolektif mengenai
ekosistem yang pembentukannya dikuasai air, dan proses serta cirinya
dikendalikan oleh air. Suatu lahan basah adalah tenpat yang cukup basah dengan
waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain teradaptasi
khusus
Lahan basah sangat berperan penting bagi manusia dan lingkungan. Lahan
basah memiliki fungsi tidak hanya sebagai keberlangsungan kehidupan secara
langsung seperti sumber air minum dan beraneka ragam habitat makhluk, tetapi
juga mempunyai fungsi ekologis seperti pengontrol banjir dan kemarau,
pengaman garis pantai dari intrusi air laut dan abrasi, penambatan sedimen dari
darat dan penjernihan air, serta penyedia unsur hara (Gilliam et al, 1997).

Klasifikasi lahan basah terbagi menjadi 4 bagian, yaitu :


1. Rawa-Rawa
Rawa adalah semua jenis tanah yang berlumpur terbuat secara alami
maupun buatan manusia dengan mencampurkan air tawar dan air laut
secara permanen atau hanya sementara, termasuk daerah laut yang
dalamnya kurang dari 6 m pada saat surut yaitu rawa dan tanah pasang
surut. Menurut The King Eduka (2018) rawa merupakan daerah dataran
rendah yang tergenang oleh air, baik berasal dari air hujan, air tanah,
maupun aliran air permukaan yang mengumpul.
2. Gambut
Gambut merupakan bahan organik yang tertimbun secara alami dalam
keadaan basah berlebihan, dan bersifat tidak mampat dan tidak atau sedikit
mengalami perubahan. Tanah gambut sering juga disebut tanah hitam oleh
petani (Noor, 2001).
3. Paya
Paya merupakan sejenis lahan basah yang terbentuk dari lapangan yang
jarang atau selalu tegenang oleh air, paya merupakan rawa dangkal yang
sering ditumbuhi oleh berbagai jenis rerumputan. Daerah paya digenangi
oleh air tawar, payau atau asin.
4. Riparian
Riparian adalah wilayah yang menghubungkan ekosistem daratan dan
ekosistem perairan yang dipengaruhi oleh pergerakan material dan air.
Riparian itu sendiri memiliki manfaat untuk menjaga kelestarian sungai
agar habitat ikan terjaga.

2.2 Kandungan yang ada dalam Rawa

Gambar 1. Rawa

Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus
atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus
secara fisika, kimiawi dan biologis. Di Indonesia, rawa-rawa biasanya terdapat di
hutan.
Definisi yang lain dari rawa adalah semua macam tanah berlumpur yang
terbuat secara alami, atau buatan manusia dengan mencampurkan air tawar dan air
laut, secara permanen atau sementara, termasuk daerah laut yang dalam airnya
kurang dari 6m pada saat air surut yakni rawa dan tanah pasang surut. Rawa-rawa
juga disebut sebagai pembersih alamiah karena berfungsi untuk mencegah polusi
atau pencemaran lingkungan alam. Dengan alasan itu, rawa-rawa memiliki nilai
tinggi dalam segi ekonomi, budaya, lingkungan hidup dan lain-lain, sehingga
rawa harus tetap dijaga kelestariannya.
Lahan rawa merupakan salah satu agroekosistem lahan basah (wetland)
yang terletak antara wilayah dengan sistem daratan (terrestrial) dan sistem
perairan dalam (aquatic). Lahan rawa secara ekologi merupakan habitat tempat
berbagai makhluk hidup berkembang. Kondisi rawa yang khas tersebut
berpengaruh terhadap perkembangan flora secara spesifik. Lahan rawa selain
ditumbuhi oleh tumbuhan khas rawa, seperti galam, kalakai, purun, tikus dan
karamunting, juga dimanfaatkan oleh berbagai tanaman non-rawa melalui
pengelolaan lahan dan air. (Maftu’ah & Nursyamsi, 2015)
Metana dikenal juga sebagai gas rawa mempunyai rumus molekul CH4
banyak dijumpai di rawa-rawa. Gas ini dihasilkan pada proses fermentasi bagian
tumbuh-tumbuhan (selulosa) atau sampah-sampah kota. Proses seperti ini dapat
terjadi apabila bagian tumbuh-tumbuhan atau sampah tersebut berada di bawah
air. Inilah sebabnya gas metana terdapat di rawa-rawa. Metana adalah gas yang
tidak berbau, tidak berwarna, lebih ringan dari udara dan terbakar dengan nyala
yang pucat. (Sumardjo, 2006).
Air rawa pada umumnya bersifat asam, oleh karena itu air rawa memiliki
kandungan asam yaitu asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), asam nitrat
(HNO3) dan zat organik yang tinggi. (Febriyanti, 2012).

A. Ciri-Ciri Rawa

1. Dilihat dari segi air, rawa memiliki air yang asam dan berwarna coklat,
bahkan sampai kehitam-hitaman.
2. Pada umumnya derajat keasaman airnya rendah, tanahnya bersifat
anorganik.
3. Berdasarkan tempatnya, raw-rawa ada yang terdapat di area pedalaman
daratan, namun banyak pula yang terdapat di sekitaran pantai.
4. Air rawa yang berada disekitar pantai sangat dipengaruhi oleh pasang
surut air laut.
5. Ketika air laut sedang pasang, maka permukaan rawa akan tergenang
banyak, sementara ketika air laut surut, daerah ini akan nampak kerig
bahkan tidak ada air sama sekali.
6. Rawa yang berada di tepian pantai banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon
bakau, sementara rawa yang berada di pedalaman banyak ditumbuhi oleh
pohon-pohon palem atau nipah.

B. Macam-Macam Rawa

1. Rawa Air Tawar


Rawa air tawar merupakan rawa yang airnya tawar dan airnya tidak
mengalami pergerakan. Rawa yang demikian ini biasanya terdapat di area
hutan-hutan dengan lokasinya dekat dengan aliran sungai. Air rawa jenis
ini mempunyai sifat asam dikarenakan banyak sisa-sisa jasad makhluk
hidup yang membusuk.
2. Rawa air asin
Rawa yang memiliki air asin ini biasanya terdapat disekitar pantai.
Pada jenis rawa yang demikian ini, air dapat mengalami pergerakan
sehingga terjadi pergantian air. Hal ini terjadi karena adanya gelombang
laut pasang yang merendam sebagian atau seluruh kawasan rawa. Air rawa
jenis ini biasanya tidak terlalu asam.
3. Rawa air payau
Rawa air payau merupakan rawa yang memiliki air yang
bercampur dari air tawar dan juga air asin. Rawa yang seperti ini biasanya
berada di dekat muara sungai dan air rawa ini dapat mengalami
pergerakan, sehingga airnya dapat mengalami pergantian. Rawa jenis ini
biasanya airnya tidak terlalu asin.

C. Manfaat Rawa

1. Sebagai tempat budidaya jenis-jenis ikan tertentu.


2. Sebagai tempat budidaya beberapa jenis tanaman tertentu seperti anggrek,
enceng gondok, dan lain-lain.
3. Sebagai lahan pengganti sawah yang tidak perlu diairi lagi.
4. Sebagai tempat berkembangnya berbagai keanekaragaman hayati.
5. Sebagai pengurang polusi dan pencemaran udara. (Sari, 2016).

2.3 Kandungan yang ada dalam Gambut

Gambar 1. Gambut

Gambar 2. Gambut
Gambut merupakan tanah yang terdiri atas >50% fraksi organik, dan <5%
fraksi anorganik karena tidak terdekomposisi sempurna (Andriesse, 1974).
Senyawa organik utama yang terdapat dalam gambut adalah hemiselulosa,
selulosa, tanin, protein dan lignin (Yonebayashi, 2003). Bahan organik yang
dimiliki oleh gambut dapat mengalami biodegradasi.
Hasil biodegradasi lignin merupakan polimer-polimer aromatik yang
tinggi menghasilkan asam-asam fenolat seperti asam p-hidroksi benzoat, p-
kumarat, ferulat, vanilat, siringat (Rini, Nurdin, Suyani, dan Prasetyo, 2007).
Selain itu, lignin juga dapat menghasilkan asam humat dan asam fulvat melalui
proses humifikasi (Stevenson, 1982). Proses perubahan lignin dalam proses
humifikasi dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 3. Proses Perubahan Lignin

Sedangkan, selulose dan hemiselulose menghasilkan asam karboksilat (Rini,


Nurdin, Suyani, dan Prasetyo, 2007).
Menurut Prasetyo (1996), apabila bahan organik di dalam gambut
mengalami dekomposisi dengan kondisi anaerob akan menghasilkan asam asetat,
asam laktat, asam propionat dan asam butirat yang mana asam-asam yang
dihasilkan baik melalui biodegredasi maupun dekomposisi secara anaerob dalam
jumlah banyak akan menjadi racun bagi tanaman karena pH tanah yang turun
menyebabkan tanah bersifat asam, sehingga miskin unsur hara di dalam tanah dan
akan menghambat pertumbuhan tanaman dan bahkan tanaman akan mati.
Meskipun, asam-asam organik ini memiliki sifat yang dapat meracuni
pertumbuhan tanaman jika dihasilkan dalam jumlah banyak, tetapi asam-asam
organik ini juga memiliki manfaat terutama asam fenolat dan asam humat yaitu
dapat menangkap kontaminan di perairan dan membentuk kompleks asam organik
(khelate). Kontaminan yang dimaksud dalam hal ini adalah logam-logam berat
seperti Cu2+, Fe2+, Fe3+, Zn2+, Pb2+, dan sebagainya, yang apabila termakan oleh
makhluk hidup akan membahayakan kesehatan makhluk hidup seperti manusia
dan hewan, serta bisa saja menyebabkan kematian (Rini, Nurdin, Suyani, dan
Prasetyo, 2007). Terjadinya pembentukan kompleks dikarenakan asam fenolat dan
asam humat mengandung situs aktif (gugus aktif), berupa –COOH, dan –OH, situs
inilah yang berfungsi menangkap ion-ion logam melalui suatu ikatan kovalen
koordinasi (Stevenson, 1982). Struktur asam fenolat dan asam humat dapat dilihat
sebagai berikut:

Gambar 4. Struktur Asam Fenolat


Gambar 5 . Struktur Asam Humat

Pembentukan khelate ini bermanfaat bagi kehidupan makhluk hidup baik


hewan, manusia, dan tumbuhan. Jika pada hewan dan manusia dapat mencegah
terganggunya kesehatan mereka, sedangkan bagi tumbuhan khelate ini bermanfaat
dalam regulasi ketersediaan ion-ion logam yang diperlukan oleh tanaman (FAO,
1988).
Gambut selain mengandung senyawa organik juga mengandung unsur-
unsur seperti, C, N, P, S, dan unsur kelumit, serta mengandung senyawa
anorganik seperti CaCO3 (FAO, 1988). Unsur-unsur dan senyawa tersebut
memiliki kelimpahan yang berbeda pada setiap jenis gambut. Berdasarkan
kelimpahan unsur-unsur dan senyawa anorganik terhadap sifat gambut diuraikan
sebagai berikut:
1. Karbon Organik
Persentase karbon penting untuk keperluan pertanian, terutama
dalam menentukan tingkat humifikasi melalui rasio C/N dari gambut dan
memungkinkan konsumsi nitrogen oleh mikro-organisme (FAO, 1988).
Selain itu, banyaknya karbon organic yang terkandung di dalam tanah
gambut dapat juga digunakan sebagai bahan bakar alternatif karena
umumnya tanah gambut yang bereaksi dengan oksigen akan menghasilkan
gas CO2 yang merupakan gas yang dihasilkan dalam pembakaran senyawa
organik seperti bensin (oktana). Tingginya kandungan bahan organik di
dalam tanah gambut, menyebabkan rendahnya stabilitas tanah gambut,
sehingga ketika terjadi konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian,
akan menyebabkan tanah gambut mudah sekali terdekomposisi
menghasilkan gas rumah kaca seperti CH4 dan CO2 di atmosfer
(Sukarman, Suparto, dan Mamat, 2012).
Menurut Ekono (1981) karbon organik sebesar 48-50 persen dalam
gambut sedikit membusuk (fibric), 53-54 persen di gambut yang agak
membusuk (mesic), dan 58-60 persen sangat gambut terdekomposisi
(saprik). Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat dekomposisi
gambut maka, semakin tinggi jumlah karbon organik yang terkandung di
dalam gambut.
2. Nitrogen
Nitrogen merupakan unsur yang sangat penting untuk pertanian
berperan penting dalam untuk pertumbuhan akar, batang, dan daun pada
tumbuhan (Anwar 2014). Nitrogen sebagian besar ditemukan dalam
bentuk N-organik dan hanya sedikit saja yang ditemukan dalam bentuk
nitrat biasanya terdapat pada tanah yang kering (FAO, 1988).
Kandungan nitrogen pada tanah gambut berbeda-beda, menurut
Lucas (1982), gambut yang asal tumbuhan pembentuknya adalah alang-
alang, dan pohon, cenderung lebih tinggi kandungan nitrogennya
dibandingkan pada sphagnum, sedimen Eriophorum yang mengandung
kurang dari 1 persen meskipun bahan tanaman asli mengandung 1-5
persen. Bukan hanya pada tanah gambut tetapi jika, ketersediaan nitrogen
sebagai salah satu komponen nutrien perairan, maka juga akan berperan
penting dalam pembentukan komposisi dan biomassa fitoplankton yang
akan menentukan produktivitas primer perairan (Horne dan Goldman,
1994; Krebs, 2009).
3. Phosphor (P)
Sebagian besar unsur phosfor di jumpai dalam bentuk organik
berupa P-organik, dan hanya sebagian kecil unsur phosfor berupa P-
anorganik. P-anorganik terbentuk akibat P-organik yang mengalami
mineralisasi oleh jasad mikro. Phosphor umunya sama seperti nitrogen
sama-sama Sebagian kecil unsur phosfor berupa P-anorganik akibat P-
organik yang mengalami mineralisasi oleh jasad mikro (FAO, 1988).
Adanya unsur phosphor dapat menyuburkan tanah, karena
umumnya phosphor berperan penting dalam merangsang pertumbuhan
akar, dan tanaman muda serta pembentukan bunga dan buah pada tanaman
(Sutejo, 2002), Serta mempercepat pemasakan buah (Ginting, 2017).
4. Sulfur (S)
Sulfur umumnya ditemukan dalam bentuk berupa senyawa pirit
(FeS2) tetapi pada kondisi aerobik akan teroksidasi membentuk asam sulfat
(H2SO4) dan mineral jarosit. Terbentuknya asam sulfat inilah yang dapat
menyebabkan penurunan pH tanah gambut sehingga tanah gambut bersifat
asam. Tanah gambut yang bersifat asam ini dapat menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat sehingga tak bagus untuk pertanian
(FAO, 1988).
5. Unsur Kelumit
Unsur kelumit merupakan unsur yang sangat sedikit jumlahnya di
lahan gambut, biasanya di wakili oleh unsur-unsur logam seperti Cu, Al,
Zn, Fe dan sebagainya. Jumlah unsur ini sangat sedikit dikarenakan
pembentukan senyawa organo-logam. Urutan ketertarikan telah ditemukan
untuk Cu> Pb> Zn> Ni> Co> Mn> Ca> Ba (FAO, 1988).
6. Kapur Bebas (CaCO3)
Kapur bebas (CaCO3) bersifat basa, sehingga dapat menurunkan
keasaman tanah dengan cara menaikkan pH tanah. Selain itu, adanya
kapur bebas (CaCO3) berguna untuk meniadakan racun seperti unsur Al
dan Mn, serta menyediakan unsur hara kalsium (Ca), serta dapat
meningkatkan penyerapan N pada tanaman, oleh karena itulah dapat
dikatakan adanya kandungan kapur bebas (CaCO3) dapat menyuburkan
tanah, sehingga memiliki peran penting dalam bidang pertanian (FAO,
1988).

2.4 Kandungan yang ada dalam Paya

Gambar 6. Paya

Air payau adalah air yang memberikan rasa asin yang mempunyai salinitas
tinggi antara 0,5 ppt – 17 ppt. Air payau tidak dapat digunakan sebagai air minum,
memasak atau mencuci, karena tingkat salinitas maksimum untuk kepentingan
tersebut adalah sebesar 0,5 ppt. Salinity atau salinitas adalah jumlah garam yang
terkandung dalam satu kilogram air. Kandungan garam dalam air ini dinyatakan
dalam ppt atau part per thousand karena satu kilogram sama dengan 1000 gram.
Air payau mengandung Na melebihi batas, misalnya lebih besar dari 200
ppm, jika dikonsumsi dalam waktu yang lama dapat mengganggu kesehatan.
Demikian pula jika air tersebut digunakan untuk menyiram tanaman misalnya
sayuran, maka hasil panen yang diperoleh berkurang jika dibandingkan dengan
hasil penyiraman air tawar. Jumlah penurunan hasil panen tergantung dari besaran
salinitas air dan jenis tanaman. Untuk keperluan industri, adanya NaCl dan MgCl2
dalam air yang melebihi batas akan menyebabkan korosi pada pipa-pipa dan
peralatan proses.
Air payau mengandung beberapa jenis zat yang terlarut seperti garam –
garam natrium klorida, magnesium, kalsium, kalium dan sebagainya. Jumlah rata
– ratanya antara 3,8 g/L – 4,5 g/L. Air payau jika digunakan untuk air minum
rasanya agak asin dan tidak segar. Air payau yang tercemar oleh kotoran (tinja
manusia) banyak mengandung bakteri pathogen yang dapat menyebabkan
penyakit dysenteri, kholera, typhoid fever, infectus hepatitis, polio dan lain – lain
jika digunakan langsung untuk air minum tanpa terlebih dahulu dimasak. Untuk
mengatasi masalah air payau yang mengandung kadar garam yang jumlahnya
berlebih dan mengandung bakteri pathogen (E.coli), maka dapat dilakukan salah
satunya dengan pengolahan air secara fisika dengan menggunakan media saringan
pasir dan arang kayu. Penyaringan (filtrasi) adalah proses melewatkan air melalui
media untuk menghilangkan zat – zat yang tersuspensi.
Air payau mempunyai karakteristik atau sifat-sifat yang dapat dibedakan
menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Karakteristik Fisik
a). Merupakan cairan tak berwarna
b). Mempunyai densitas = 1,02 dengan pH 7,8 – 8,2
c). Mempunyai titik beku = -2,78˚C dan titik didih = 101,1˚C
d). Suhu rata – rata = ± 25˚C
e). Mempunyai rasa pahit dan aromanya tergantung pada kemurniannya

2. Karakteristik Kimia
a). pH antara 6 – 8,5
b). Jumlah kesadahan
c). Zat organik
d). CO2 agresif tinggi
e). Kandungan unsur kimiawi seperti yang banyak terkandung dalam air
sumur payau adalah Fe++, Na+, SO4-, Cl-, Mn++, Zn++.

2.5 Kandungan yang ada dalam Riparian

Gambar 7. Riparian

Wilayah riparian adalah mintakat peralihan antara sungai dengan daratan.


Wilayah ini berkarakter khas karena memadukan antara lingkungan perairan dan
daratan. Tumbuhan yang tumbuh di wilayah riparian mempunyai ciri mampu
beradaptasi dengan perairan, yaitu jenis-jenis tumbuhan hidrofilik atau yang
dikenal dengan sebutan vegetasi riparian.
Vegetasi riparian berperan penting dalam menjaga produktivitas perikanan
sungai dan juga berperan dalam mengendalikan masuknya nutrient dan bahan-
bahan toksik yang masuk ke perairan serta menyimpan air tanah (Handayani,
2018). Secara umum, peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan
pengaturan keseimbangan karbon dioksida (CO2) dan oksigen (O) dalam udara,
perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengturan tata air tanah dan lain
lain (Nursal, Suwondo dan Sirait, 2013).
Vegetasi riparian mampu menyerap padatan terlarut yang dibawa oleh air
permukaan. Akar vegetasi riparian mampu mengikat padatan terlarut yang
mengakibatkan air sungai tampak jernih, dengan air sungai yang jernih, tentu saja
ini menjadi keuntungan bagi ikan-ikan yang menyukai air yang tidak berlumpur.
Beberapa peneliti sudah melaporkan akan fungsi riparian itu sendiri dalam
menjaga kualitas air sungai. Ketika bahan-bahan berbahaya seperti pestisida,
pupuk dan minyak masuk ke dalam air sungai, maka akan diserap oleh vegetasi
riparian.
Riparian memiliki manfaat bagi ekosistem setempat dan daerah ini juga
dimanfaatkan untuk daerah wisata yang dapat menjadi sumber pendapatan
masyarakat setempat (Marsono, 1991). Secara umum, kondisi vegetasi di daerah
tepi danau dan sungai (riparian) memeperlihatkan jenis-jenis yang masih alami
terdiri dari pohon dan semak.
Keberhasilan pertumbuhan strata pohon suatu jenis tidak terlepas dari
pengaruh suhu, kelembaban udara, pH tanah, kelembaban tanah, kandungan
organik tanah, kadar air tanah dan intensitas cahaya. Seperti data yang
dikemukakan oleh Nursal, Suwondo dan Sirait yang mereka dapat dari 3 lokasi
yang berbeda.

Lokasi
No Parameter Danau Baru Danau Danau Pinang
Tanjung Putus Luar
1. Suhu Udara (oC) 31.66 30.78 30.35
2. Kelembaban Udara (%) 63.25 69.55 69.75
3. pH Tanah 5.58 5.05 5.7
4. Kelembaban Tanah (%) 42.25 59.5 59.75
5. Kandungan Organik 4.75 6.76 5.76
Tanah (%)
6. Kadar Air Tanah (%) 17.57 24.58 28.91
7. Intensitas Cahaya (lux) 425 326 310

Pada wilayah riparian sering dijumpai semak belukar (kecubung gunung,


sisirihan, dan lain-lain) dan perdu, dan beberapa pohon-pohon besar yang
berbeda-beda jenisnya seperti kepayang (Pangium edule), benda (Artocarpus
elasticus), kedawung (Parkia roxburghii) dan jenis-Jenis pohon dari family
beringin seperti loa (Ficus racemosa), sengkuang (Pometia pinnata), dan family
jambu-jambuan seperti halnya jambu mawar (Syzygium jambos) sering terdapat
pohon ini.
DAFTAR PUSTAKA

Apriani, R.S & Wesen Putu. 2012. Penurunan Salinitas Air Payau dengan
Menggunakan Resin Penukar Ion. Jurnal Spasia, 7(2), 29 – 36.

Andriesse, J.P. 1974. Tropical peats in South East Asia. Dept. of Agric. Res. of
the Royal Trop. Inst. Comm. 63. Amsterdam. 63 p.

Anwar, K. 2014. Ameliorasi dan pemupukan untuk meningkatkan produktivitas


kedelai di lahan gambut. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian Spesifik Lokasi. Banjarbaru, 6-7 Agustus 2014.

Astuti, Widi., Jamali, Adil & Amin Muhammad. 2007. Desalinasi Air Payau
Menggunakan Surfactant Modified Zeolite (SMZ). Jurnal Zeolit
Indonesia, 6(1), 32 – 37.

Bambang, Teddy., Suprapto & Ginting, Mardan. 2014. Pengaruh Waktu Kontak
Air Payau dalam Saringan Pasir dan Arang Kayu terhadap Penurunan
Jumlah Bakteri COLI – FORM, Kekeruhan dan Salinitas untuk Kebutuhan
Air Minum. Jurnal Ilmiah PANNMED, 8(3), 218 – 228.

Deputi. 2004. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah
Indonesia. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.

Eduka, The King. 2018. Mega Bank SBMPTN Soshum 2019. Jakarta: Cmedia.

Ekono. 1981. Report on energy use of peat. Contribution to U.N. Conference on


New and Renewable Sources of Energy, Nairobi.

FAO. 1998. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils Bulletin
59.

Febriyanti, I. 2012. Pengaruh Air Raw dan Zat Kimia Korosif Sebagai
Campuran dalam Beton Maupun Perendaman Terhadap Karakteristik
Beton (Mutu Beton dan Permeabilitas Beton). Skripsi (Membership).
Jakarta: Perpustakkan Universitas Indonesia.

Gilliam, J.W., Parsons, J.E., & Mikkelsen, R.L. 1997. Nitrogen Dynamics and
Buffer Zones. In : Haycock, N.E., Burt, T., Goulding, K., Pinay, G. (Eds.),
Buffer Zones: Their Processes and Potential in Water Protection. Quest
`Environ-mental, Hartfordshire, UK, pp. 54-61.

Ginting, A.K . 2017. Pengaruh Pemberian Nitrogen dan Fosfor terhadap


Pertumbuhan Legum Calopogonium Mucunoides, Centrosema Pubescens
dan Arachis Pintoi. Fakultas Peternakan: Universitas Jambi.

Handayani, Pitri. 2018. Keanekaragaman Vegetasi Riparian Sungai Tabir Desa


Kecamatan Tabir Barat. Jurnal BioColony, 1(1), 26-31.

Horne, A.J., dan Goldman, C.R., 1994. Limnology. Second Edition. New York:
McGraw-Hill Inc.

Krebs, C.J., 2009. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution and


Abundance. 2nd Ed. Pearson Education, Inc. New York.

Lucas, R.E. 1982. Organic Soils (Histosols). Formation, distribution, physical and
chemical properties and management for crop production. Michigan State
University, Research Report No. 435 (Farm Science).

Maftu’ah, E., Nursyamsi, D. 2015. Potensi Berbagai Bahan Organik Rawa


Sebagai Sumber Biochar. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, 1(4).
Jawa Barat: Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu.

Maltby, E. 1986. Waterlogged wealth. London: An Earthscan Paperback.

Marsono. 1991. Hutan Riau dalam Angka. Pekanbaru: Badan Pusat Statistik.

Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Yogyakarta: Kanisius.

Nursal, Suwondo & Sirait. 2013. Karakteristik dan Stratifikasi Vegetasi Strata
Pohon Komunitas Riparian di Kawasan Hutan Wisata Rimbo Tujuh Danau
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Biogenesis, 9(2), 39-46.

Prasetyo, T.B. 1996. Peningkatan Serapan Fosfat Pada Tanah Gambut melalui
Pengendalian Asam – Asam Meracun. Prosiding Seminar HITI Bogor.

Rahmi, Ombun., Susanto & Siswanto. 2015. Pengelolaan Lahan Basah Terpadu
di Desa Mulia Sari Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20(3), 201-207.
Rini, Nurdin. H, Suyani. H, Prasetyo, T.B. 2007. Perilaku Asam Hidroksi Benzoat
dan Asam P- Kumarat pada Tanah Gambut yang Diberi Fly Ash serta
Kaitannya dengan Unsur Kalsium dan Magnesium. Jurnal Pilar Sains,
6(2), 56-67.

Sari, M. 2016. Rawa-Rawa: Pengertian, Ciri-Ciri Dan Manfaatnya. Diakses


tanggal 27 November 2018 dari https://ilmugeografi.com/ilmu-
bumi/hutan/rawa-rawa.

Soendjoto, M. A., 2015. Potensi, Peluang, dan Tantangan Pengelolaan


Lingkungan Lahan-Basah Secara Berkelanjutan. Prosiding Seminar
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin: 16 September. Hal, 1-114.

Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry Genesis, Composition, and Reaction.


John Wiley and Sons. New York.

Sukarman, Suparto, Mamat H.S. 2007. Karakteristik Tanah Gambut dan


Hubungannya dengan Emisi Gas Rumah Kaca pada Perkebunan Kelapa
Sawit di Riau dan Jambi. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan
Gambut Berkelanjutan. Bogor: 4 Mei. Hal, 95-111.

Sumardjo, D. 2006. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa


Kedokteran Dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Sutedjo, M. M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: Rineka Cipta.

Yonebayashi, K. 1992. Chemical alteration of tropical peat soils as show by


waksman proximate analysis and properties of humic acids. In coastal
lowland ecosystem in southern Thailand and Malaysia,Ed.K.Kyuma,P.
Vijarnsorn and A. Zakaria. Showado-pronting. Co Sakyoku,Kuoto.p 248-
260.

Anda mungkin juga menyukai