Anda di halaman 1dari 6

Nama :

- Nur Hidayah (1710120120019)


- Selvia Agustina (1710120120025)

KIMIA LINGKUNGAN LAHAN BASAH

KETERKAITAN PERUBAHAN IKLIM DENGAN LAHAN GAMBUT

A. Pengertian Lahan Basah

Istilah “Lahan Basah”, sebagai terjemahan “wetland” baru dikenal di Indonesia sekitar
tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia menyebut kawasan lahan basah berdasarkan
bentuk/nama fisik masing-masing tipe seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan sebagainya.
Disamping itu, berbagai departemen sektoral juga mendefinisikan lahan basah berdasarkan
sektor wilayah pekerjaan masing-masing. Pengertian fisik lahan basah yang digunakan untuk
menyamakan persepsi semua pihak mulai dikenal secara baku sejak diratifikasinya Konvensi
Ramsar tahun 1991 yaitu:

“Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air
yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang
kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut.”

“Areas of marsh, fen, peatland or water, whether natural or artificial, permanent or


temporary, with water that is static or flowing, fresh brackish or salt, including areas of
marine water the depth of which at low tide does not exceed six meters.”

Pengertian di atas menunjukkan bahwa cakupan lahan basah di wilayah pesisir


meliputi terumbu karang, padang lamun, dataran lumpur dan dataran pasir, mangrove,
wilayah pasang surut, maupun estuari; sedang di daratan cakupan lahan basah meliputi rawa-
rawa baik air tawar maupun gambut, danau, sungai, dan lahan basah buatan seperti kolam,
tambak, sawah, embung, dan waduk. Untuk tujuan pengelolaan lahan basah dibawah
kerangka kerjasama Internasional, Konvensi Ramsar, mengeluarkan sistem pengelompokan
tipe-tipe lahan basah menjadi 3 (tipe) utama yaitu1:

1. Lahan basah pesisir dan lautan, terdiri dari 11 tipe antara lain terumbu karang dan estuari.

2. Lahan basah daratan, terdiri dari 20 tipe antara lain sungai dan danau.

3. Lahan basah buatan, terdiri dari 9 tipe antara lain tambak dan kolam pengolahan limbah.
Rawa dan lahan gambut merupakan salah satu wilayah yang termasuk lahan basah.
Gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa-sisa jaringan
tumbuhan/vegetasi alami pada masa lampau. Tanah gambut biasanya terbentuk di daerah
cekungan atau depresi di belakang tanggul sungai (backswamps) yang selalu jenuh air dengan
drainase terhambat sampai sangat terhambat, sehingga proses dekomposisi terjadi sangat
lambat. Data terbaru menunjukkan bahwa perkiraan luas rawa dan lahan gambut Indonesia
adalah sekitar 13 juta ha, tergantung pada definisi gambut yang digunakan (Subagyo et. al,
2000 dalam CCFPI, 2003). Diperkirakan, dengan luasan tersebut Indonesia memiliki rawa
gambut tropis terluas di dunia.

Rawa gambut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam tata air kawasan,
memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dan berfungsi sebagai penyimpan karbon.
Fungsi penyimpan karbon ini menjadi sangat penting saat ini karena adanya ancaman
perubahan iklim yang membayangi kehidupan manusia (Dokumen Strategi Nasional dan
Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia, 2004).

Berdasarkan dara Forest Watch Indonesia, luas lahan gambut di Indonesia sekitar 19,3 juta ha
atau lebih dari 10% dari total luas daratan. Lahan gambut di Wilayah Indonesia tersebar dan
didominasi di Pulau Sumatera, Papua dan Kalimantan. Untuk wilayah Sumatera lahan
gambur terbesar terletak di wilayah Riau mencapai luas 4 juta ha (Forest Watch Indonesia
Blog).

B. Lahan Gambut di Indonesia

Luas lahan gambut di Indonesia belum dapat dipastikan. Pada 1992, seorang peneliti
Pusat Penelitian Tanah Bogor menemukan bahwa terdapat sekitar 15,4 juta hektar lahan
gambut di Indonesia. Pada tahun 2005, Wetlands International memperkirakan ada sekitar
20,6 juta hektar lahan gambut di Indonesia, sedangkan Balai Besar Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian dan Balai Penelitian Tanah memperkirakan ada sekitar 14,9 juta hektar lahan
gambut di Indonesia. Dari 14,9 juta hektar, 6,4 juta hektar (43%) terletak di Pulau Sumatera,
4,8 juta (32%) di Pulau Kalimantan, dan 3,7 juta hektar (25%) di Pulau Papua (Pantau
Gambut Blog).

C. Lahan Gambut Sebagai Penyimpan Karbon

Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50% di antaranya terdapat di
Indonesia. Karena itu lahan gambut di Indonesia merupakan cadangan karbon terestrial yang
penting untuk diperhitungkan. Jika dilindungi dalam kondisi alami lahan gambut dapat
meningkatkan kemampuannya dalam menyerap karbon. Tetapi jika mengalami gangguan,
lahan gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO2, tetapi juga GRK lainnya seperti CH 4,
dan N2O.
Sebagian besar cadangan karbon lahan gambut terdapat di bawah permukaan berupa
bahan organik yang telah terakumulasi selama ribuan tahun (libat gambar). Secara global
lahan gambut menyimpan sekitar 329 525 Gt C atau 15 - 35% dari total C terestrial. Jika
diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114kg/m3
dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan C di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt.
(catatan: 1 Gt = 109 ton)

Gangguan terhadap ekosistem lahan basah akan mempengaruhi cadangan dan siklus
karbon. Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tinggginya karbon yang
dilepaskan ketika lahan gambut (termasuk vegetasi di atasnya) di Indonesia terbakar pada
tahun 1997, yang jumlahnya berkisar antara 0.81-2.57 Gt (Dokumen Strategi Nasional dan
Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia, 2004).

D. Gambut dan Perubahan Iklim

Perubahan iklim global ditandai dengan adanya kecenderungan perubahan iklim dan
peningkatan suhu rata-rata atmosfer di dekat permukaan bumi dan laut yang terjadi pada
dekade terakhir. Kecenderungan itu diproyeksikan terus berlangsung dalam beberapa waktu
yang akan datang, khususnya apabila tidak ada usaha untuk menguranginya. Perubahan iklim
ditandai dengan perubahan suhu dan pola curah hujan. Kontributor terbesar terjadinya
perubahan iklim adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer seperti CO 2,
CH4, dan N2O.

Gas rumah kaca tersebut menyerap radiasi gelombang panjang yang panas dan seiring
dengan peningkatan gas rumah kaca yang mengakibatkan suhu permukaan bumi meninggi.
Peningkatan suhu global akan memengaruhi pola iklim suhu, mengubah distribusi hujan,
serta arah dan kecepatan angin. Hal ini akan berdampak langsung pada aspek kehidupan di
dunia, misalnya berubahnya jadwal hujan dan kekeringan yang sangat memengaruhi pola
tanam di Tanah Air. Menurut Harsono et al. (2011), perubahan lahan gambut menjadi lahan
kebun sawit menyebabkan emisi total potensial (global warming potential) antara 11 sampai
21 ton kilogram CO2 per hektar per tahun dan kerusakan lingkungan hanya dapat
dikembalikan normal seperti semula dalam waktu 200 sampai 560 tahun ke depan.

Pemanasan global terjadi akibat peningkatan efek rumah kaca yang disebabkan oleh
naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Semakin tinggi konsentrasi gas rumah kaca,
semakin banyak radiasi panas dari bumi yang terperangkap di atmosfer dan dipancarkan
kembali ke bumi. Hal ini menyebabkan peningkatan suhu di permukaan bumi. Gas rumah
kaca yang paling dominan adalah uap air (H2O), disusul karbon dioksida (CO2). Gas rumah
kaca yang lain adalah metana (CH4), dinitro oksida (N2O), ozon (O3), dan gas-gas lain dalam
jumlah lebih kecil. Jika CO2 dibuat sebagai dasar perbandingan, potensi pemanasan global
masing-masing CH4 dan N2O adalah sebesar 25 dan 298 kali CO2 .

Atmosfer dunia semakin dipenuhi oleh karbon dioksida yang sebagian besar disebabkan
oleh penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit, dan industri. Karbon
dioksida akan meningkatkan suhu global dan memengaruhi iklim secara keseluruhan. Iklim
akan menjadi lebih tidak ramah bagi manusia: lebih banyak badai, curah hujan tidak
menentu, serta kekeringan panjang dan sulit diprediksi. Sebagian besar lahan dan hutan
gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan sangat parah sebagai akibat kegiatan-kegiatan
manusia yang kurang memerhatikan wawasan lingkungan.

Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi pembukaan dan pembakaran lahan gambut dalam


rangka persiapan lahan untuk pertanian maupun perkebunan, penebangan hutan gambut yang
tidak terkendali untuk diambil kayunya, pembangunan saluran-saluran/parit untuk tujuan
irigasi dan drainase pertanian maupun sebagai sarana transportasi, serta pembukaan/konversi
lahan gambut untuk pertanian, perkebunan industri, permukiman, dan sebagainya. Kegiatan-
kegiatan di atas tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik lahan dan hutan gambut (seperti
subsidensi (amblasnya tanah), terbakar dan berkurangnya luasan gambut), tetapi juga
menyebabkan hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan (reservoir) dan penyerap
(sequester) karbon, sebagai daerah resapan (recharging) air yang mampu mencegah banjir
pada wilayah di sekitarnya pada musim hujan, dan mencegah intrusi air asin pada musim
kemarau. Di samping itu, kerusakan hutan dan lahan gambut juga menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam di dalamnya. Penyebab utama deforestasi
lahan gambut di Indonesia adalah pengembangan kelapa sawit dan perkebunan.

Eksploitasi lahan gambut yang berlebihan dengan tanaman kelapa sawit yang saat ini
mencapai 85 persen dari dunia pasokan minyak sawit mentah bertujuan untuk memasok
kebutuhan pasar di China, India, dan Eropa. Jika permintaan minyak kelapa sawit meningkat,
maka akan ada tekanan yang sangat berlebihan pada lahan gambut di wilayah tersebut.
Sebagai contoh, dalam rangka untuk mengganti satu persen dari penggunaan bahan bakar
fosil dengan biofuel untuk produksi listrik, Eropa akan menggenjot produksi minyak minimal
2 juta hektar dari lahan kelapa.

Konversi dan pengeringan apapun di area tersebut akan mengakibatkan degredasi


ekosistem gambut yang tidak dapat dipulihkan lagi. Bila hal itu terjadi, lahan gambut akan
mulai membusuk dan mengeluarkan karbon ke atmosfer dalam jumlah besar. Permukaan
gambut akan menyurut lebih dalam lagi dan sangat mungkin mengakibatkan permukaan
tanah tenggelam ke bawah permukaan laut selamanya (Hooijer et al. 2006). Sekitar lima
persen dari seluruh karbon bumi diperkirakan termasuk kawasan gambut tropis (Rieley et al.
2008). Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, selain disebabkan oleh
peningkatan aktivitas manusia dalam pembakaran bahan bakar fosil, jauh lebih besar efeknya
adalah overeksploitasi lahan gambut yang memproduksi emisi CO2, CH4, dan N2O
menghasilkan gas rumah kaca yang sangat tinggi, akan memengaruhi perubahan iklim secara
langsung dan efek yang ditimbulkan sangat masif. Nasib selanjutnya dari cadangan karbon
itu akan mempunyai implikasi besar terhadap keseimbangan karbon di atmosfer. Perubahan
iklim ini mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu di bumi dan akhir anomali cuaca yang
menimbulkan dampak sangat besar bagi kehidupan umat manusia dan lingkungannya
(Mitigasi dan Adaptasi Kondisi Lahan Gambut di Indonesia dengan Sistem Pertanian
Berkelanjutan oleh Soni Sisbudi Harsono).

Pada 2015 lalu Indonesia kembali dihantam bencana kabut asap akibat kebakaran lahan
gambut yang luas di Sumatra dan Kalimantan. Untuk menghadapinya, Pemerintah Indonesia
membentuk Badan Restorasi lahan Gambut nasional (BRG) dengan target ambisius untuk
merestorasi lebih dari 2 juta hektar lahan gambut pada 2020. Kesuksesan ini akan bergantung
pada pemahaman yang tepat terhadap karakteristik ekosistem lahan gambut yang sangat unik
dan ringkih tersebut. Sebuah policy brief yang baru diterbitkan oleh Wetlands International
dan Tropenbos International menyerukan pendekatan berbasis ilmiah menyeluruh, sebagai
pendukung perubahan sejumlah kebijakan dan model pengelolaan yang selama ini telah
diterapkan secara luas namun kurang mempertimbangkan isu subsiden gambut secara
memadai.

Sementara Pemerintah Indonesia saat ini mengambil langkah berani merestorasi lahan
gambut berskala besar untuk mencegah kebakaran, termasuk membasahi kembali (rewetting)
kawasan lahan gambut prioritas, beberapa pemain utama di industri pulp kertas dan
perkebunan lainnya justru mengklaim bahwa lahan gambut dapat dikeringkan (drainase)
untuk berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan.
Namun, kajian kebijakan (policy brief) yang dipublikasikan hari ini oleh Wetlands
International dan Tropenbos International menyatakan sebaliknya. Policy brief ini
menyerukan penghentian segera dan bertahap atas pemanfaatan lahan gambut berbasis
drainase di Indonesia, dan sebaliknya segera mengembangkan alternatif pemanfaatan lahan,
dengan mengairi (membasahi) kembali lahan gambut (Temuan Baru Mematahkan Klaim
Drainase Berkelanjutan di Lahan Gambut oleh Warta Konservasi Lahan Basah).
Referensi

- Dokumen Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah


Indonesia (2004) oleh Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan, Kementerian
Lingkungan Hidup.

- http://fwi.or.id/publikasi/peran-penting-gambut -dalam-mengurangi-laju-
perubahan-iklim/ oleh Forest Watch Indonesia Blog

- Mitigasi dan Adaptasi Kondisi Lahan Gambut di Indonesia dengan Sistem


Pertanian Berkelanjutan oleh Soni Sisbudi Harsono, Faculty of Agriculture
and Horticulture, Humboldt-Universität zu Berlin, Jerman Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Jember

- Temuan Baru Mematahkan Klaim Drainase Berkelanjutan di Lahan Gambut


oleh Warta Konservasi Lahan Basah Volume 24 no.2 Juli 2016.

- http://www.pantaugambut.id/pelajari/apa-itu-gambut/luas-dan-sebaran-
gambut-di-indonesia oleh Pantau Gambut Blog

Anda mungkin juga menyukai