Dosen Pembimbing:
Dra. Hj. Leny, M.Si.
Dra. Hj. Rilia Iriani, M.Si.
Dr. Syahmani, M.Si.
Asisten:
Larasati Milanie Dewi Sawitri
Muhamad Azhar Asis
Oleh:
Arinda Utami NIM. 1710120220001
Emelia NIM. 1710120120005
Gunawan Sabillilah NIM. 1710120210007
Nur Hidayah NIM. 1710120120019
Rahmi Febriani NIM. 1710120220023
Shabrina Adzhani Febrianti NIM. 1710120220029
Kelas A-01
Kelompok 2
I. DASAR TEORI
Senyawa padat yang diperoleh dari reaksi oranik atau hasil isolasi
biasanya jarang yang murni. Senyawa tersebut biasanya terkontaminasi dengan
zat pengotor (impurity). Pemurnian zat padat tersebut biasanya dilakukan dengan
cara rekristalisasi. Metode rekristalisasi didasarkan pada perbedaan sifat kelarutan
dalam pelarut tertentu atau campuran pelarut (Syahmani, Leny, & Iriani, 2016).
Zat padat sebagai hasil organik biasanya tercampur dengan zat padat lain.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan zat-zat padat yang diinginkan perlu
dimurnikan lebih dahulu. Salah satu cara pemurnian zat padat yang sering
dilakukan adalah rekristalisasi. Prinsip dari rekristalisasi adalah perbedaan
kelarutan antara zat yang akan dimurnikan dengan kelarutan zat pencampurnya.
Larutan yang terjadi dipisahkan satu sama lain, kemudian larutan zat yang ingin
dikristalkan dengan cara menjenuhkan (Chandra, 2016).
Zat yang akan dimurnikan sebaiknya dilarutkan pada temperatur dekat
titik didihnya. Saring untuk memastikan dari zat pencampuran yang tidak larut
dalam pelarut yang digunakan. Kemudian larutan (zat hasil saringan) diuapkan
sampai jenuh, diamkan zat tersebut sampai mengkristal. Apabila zat tersebut larut
dalam keadaan panas maka larutan akan mengkristal. Namun, bila larutan tersebut
mendingin maka saring kristal yang terbentuk dan keringkan (Chandra, 2016).
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat dimana zat-zat
tertentu tersebut dilarutkan dalam suatu pelarut, kemudian dikristalkan kembali.
Cara ini tergantung pada kelarutan zat dalam pelarut tertentu ketika suhu
diperbesar konsentrasi total impuriti biasanya rendah tetapi dalam larutan
sementara produk yang berkonsentrasi tinggi akan mengendap (Arsyad, 2001).
Rekristalisasi adalah teknik pemisahan yang digunakan untuk
memurnikan senyawa padat-padatan cenderung lebih larut dalam cairan panas
daripada cairan dingin. Selama rekristalisasi senyawa padat yang tidak murni
dilarutkan dalam cairan panas sampai larutannya jenuh. Kemudian cairan
dibiarkan menjadi dingin. Selanjutnya senyawa tersebut harus membentuk kristal
yang relatif murni, idealnya setiap kotoran yang ada akan tetap berada dalam
larutan dan tidak akan dimasukkann ke dalam kristal yang tumbuh. Kristal
kemudian dapat dihilangkan dari larutan dengan cara penyaringan (Franco, 2017).
Kriteria untuk pemilihan pelarut yang cocok untuk proses rekristalisasi
adalah sebagai berikut :
1. Dipilih zat pelarut yang hanya dapat melarutkan zat yang akan dimurnikan
dalam keadaan panas, sedangkan zat yang pencampurnya tidak larut dalam
pelarut tersebut
2. Dipilih pelarut yang titik didihnya rendah untuk dapat mempermudah proses
pengeringan kristal yang terbentuk
3. Titik didih pelarut hendaknya lebih rendah daripada titik leleh zat padat yang
dilarutkan supaya zat yang dilarutkan tidak terurai
4. Pelarut tidak bereaksi dengan zat yang akan dilarutkan
(Chandra, 2016)
Kristal-kristal dapat dibagi dalam jenis yang jelas, yang mana masing-
masing dibedakan oleh sifat tertentu. Jenis dan sifat kristal tersebut diantaranya
adalah kristal molekular, kristal ionik, kristal kovalen dan kristal logam. Proses
rekristalisai berdasrakan perbedaan kelarutan antara zat yang akan dimurnikan
dengan zat pencampurnya akan terjadi pemisahan satu sama lain. Pengkristalan
kembali dilakukan dengan cara dikristalkan dengan menjenuhkannya. Proses ini
biasanya dilakukan pada pembuatan margarin, coklat, kembang hula, es krim dan
lain-lain (Chandra, 2016).
Rekristalisasi dianggap berhasil ketika jumlah kristalisasi yang terbentuk
mendekati jumlah kristal sebelum kristalisasi (tidak banyak kristal yang hilang
efensial) (Pinalia, 2014). Rekristalisasi sendiri merupakan teknik pemurnian suatu
zat padat dari campuran atau pengotornya dengan cara mengkristalkan kembali
zat tersebut setelah dilarutkan dengan pelarut yang sesuai. Prinsip dasar yang
digunakan yaitu perbedaan kelarutan (Maulana, Jamil, Putra, Rohmawati, &
Rahmawati, 2017).
Sebenarnya rekristalisasi hanyalah sebuah proses lanjutan dari
kristalisasi. Apabila kristalisasi (dalam hal ini hasil kristalisasi) memuaskan, maka
rekristalisasi hanya bekerja apabila digunakan pada pelarut suhu kamar, namun
dapat lebih larut pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini bertujuan supaya zat tidak
murni dapat menerobos masuk kertas saring dan yang tertinggal hanyalah kristal
murni (Fessenden & Fessenden , 1986).
Kristalisasi adalah proses pembentukan fase padat (kristal) komponen
tunggal dari fase cair (larutan atau lelehan) yang murni komponen dan dilakukan
dengan cara pendinginan, penguapan, atau kombinasi pendinginan dan penguapan
(Kulkarni, 2015). Kristalisasi adalah teknik pemisahan dan pemurnian yang
digunakan untuk menghasilkan berbagai macam bahan. Kristalisasi dapat
didefinisikan sebagai fase perubahan larutan menjadi produk berupa kristal
(Molodov, Samman , Molodov, & Goltstein, 2014).
Kristalisasi merupakan suatu metode untuk pemurnian zat dengan pelarut
dan dilanjutkan dengan pengendapan. Dalam kristalisasi senyawa organik
dipengaruhi oleh pelarut. Pelarut kristalisasi merupakan pelarut yang dibawa oleh
zat terlarut yang membentuk padatan dan tergantung dalam struktur kristal-kristal
zat terlarut tersebut (Oxtoby, 2001). Sebuah larutan untuk dapat dikristalisasi
harus berada pada kondisi sangat jenuh. Sebuah larutan dimana konsentrasi zat
terlarut melebihi keseimbangan (jenuh). Ada empat metode utama untuk
menghasilkan larutan yang sangat jenuh yaitu perubahan suhu (terutama
pendinginan), penguapan pelarut, reaksi kimia dan mengubah komposisi pelarut
(misalnya dengan pengasaman ) (Tarigan, Sinaga, & Masyithah, 2016).
Sublimasi merupakan cara yang digunakan untuk pemurnian senyawa-
senyawa organik yang berbentuk padatan. Pemanasan yang dilakukan terhadap
senyawa organik akan menyebabkan terjadinya perubahan sebagai berikut :
apabila zat tersebut pada suhu kamar berada dalam keadaan padat, pada tekanan
tertentu zat tersebut akan meleleh kemudian mendidih. Disini terjadi perubahan
fase dari padat kecair lalu kefase gas. Apabila zat tersebut pada suhu kamar
berada dalam keadaaan cair. Pada tekanan dan temperatur tertentu (pada titik
didihnya) akan berubah menjadi fase gas. Apabila zat tersebut pada suhu kamar
dalam keadaan padat, pada tekanan dan temperatur tertentu akan langsung
berubah menjadi fase gas tanpa melalui fase cair terlebih dahulu. Zat padat
sebagai hasil reaksi biasanya bercampur dengan zat padat lain. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan zat-zat padat yang diinginkan, perlu dimurnikan terlebih
dahulu. Prinsip proses ini adalah perbedaan kelarutan zat pengotornya.
Rekristalisasi dapat dilakukan dengan cara melarutkan cuplikan ke dalam pelarut
yang sesuai (Day & Underwood, 2002).
B. Bahan
1. Naftalena putih
2. Naftalena warna
3. Karbon aktif
4. Aquades
5. Etanol
6. Kertas saring
7. Es batu
8. Benang wol
9. Minyak goring
10. Pipa kapiler
2. Naftalena warna
No. Perlakuan Hasil Pengamatan
Menggerus naftalena warna hingga halus
1. Serbuk naftalena warna yang sudah halus
menggunakan lumpang dan alu
Menimbang 5 g naftalena warna dan
2. memasukkan naftalena warna kedalam 5 g naftalena wana dalam erlenmeyer
Erlenmeyer 100 mL
Memasukkan 20 mL etanol secara bertahap Naftalena warna tidak larut dalam pelarut
3.
kedalam Erlenmeyer sambil mengaduk etanol
Memanaskan campuran naftalena warna +
4. Terdapat endapan
etanol pada penangas air sampai mendidih
Menimbang 0,5 g karbon dan memasukkan
secara hati-hati kedalam kabu erlenmeyer
5. Campuran berwarna hitam
yang berisi larutan naftalena warna + etanol
yang telah dikeluarkan
Mendidihkan lagi campuran sebentar diatas
6. Campuran tetap berwarna hitam
penangas air
Menyaring selagi panas diatas corong kaca Terdapat kristal naftalena (residu) berwarna
7.
yang dilapisi kertas saring didalam gelas hitam dan filtrate berwarna putih
No. Perlakuan Hasil Pengamatan
kimia
Memasukkan filtrate kedalam corong
Terbentuk kristal putih yang ada pada kertas
8. Buchner yang dilengkapi kertas saring dan
saring
suction
Mencuci residu (kristal) dengan 3 mL
Terdapat residu (kristal) berwarna putih yang
9. etanol dingin, kemudian mngeringkan
kering
residu (kristal)
Berat kaca arloji = 20,12 g
Berat kertas saring = 0,6 g
Menimbang kristal yang sudah disaring Berat kristal = 1,13 g
10.
diatas neraca analitik Berat kristal sebenarnya = (berat total -
(berat kaca arloji + berat kertas saring)
= 1,13 g – 0,6 g = 0,53 g
C. Sublimasi
1. Naftalena putih
No. Perlakuan Hasil Pengamatan
Menggerus 5 butir naftalena putih sampai
1. Serbuk naftalena putih
halus
2. Menimbang 5 g serbuk naftalena putih 5 g serbuk naftalena putih
Memasukkan 5 g serbuk naftalena putih Cawan porselin berisi 5 g serbuk naftalena
3.
kedalam gelas kimia putih
Menutup cawan porselin yang berisi 5 g Cawan porselin yang diatasnya berisi serbuk
4. naftalena dengan cawan petri yang berisi naftalena putih ditutup dengan cawan petri
potongan-potongan kecil es yang berisi potongan-potongan kecil es
Memanaskan di atas hotplate sampai semua
Padatan membentuk kristal di bawah cawan
5. padatan membentuk kristal dibawah cawan
petri
petri
Berat kertas saring = 1,13 g
6. Menimbang kertas saring dan kaca arloji
Berat kertas arloji = 41,98 g
Memindahkan kristal yang terbentuk ke
7. Kristal di atas kertas saring lebar
kertas saring
Menimbang hasilnya untuk mendapatkan Berat total = berat kertas saring + berat
8.
berat kristal kristal = 1,13 g + 0,40 g = 1,53 g
No. Perlakuan Hasil Pengamatan
Berat kristal = berat total – berat kertas
saring = 1,53 g – 1,13 g = 8,40 g
9. Memasukkan kristal kedalam pipa kapiler kristal didalam pipa kapiler
Mengisi pipa kapiler yang berisi kristal ke
10. Suhu awal 30°C
termometer dan mengukur suhu awal
Memanaskan di atas penangas air dan
11. Suhu akhir 100°C
mengukur titik didihnya
2. Naftalena warna
No. Perlakuan Hasil Pengamatan
Menggerus 5 butir naftalena berwarna
1. Serbuk naftalena berwarna
sampai halus
2. Menimbang 5 g serbuk naftalena berwarna 5 g serbuk naftalena berwarna
Memasukkan 5 g serbuk naftalena Cawan porselin berisi 5 g serbuk naftalena
3.
berwarna ke dalam gelas kimia warna
Cawan porselin berisi serbuk naftalena
Menutup cawan porselin yang berisi 5 g
berwarna yang di atasnya ditutup dengan
4. naftalena dengan cawan petri yang berisi
cawan petri yang berisi potongan-potongan
potongan-potongan es kecil
es kecil
Memanaskan di atas hotplatesampai semua
Padatan membentuk kristal di bawah cawan
5. padatan membentuk kristal di bawah cawan
petri
petri
6. Menimbang kertas saring dan kaca arloji Berat kertas saring = 0,58 g
Memindahkan kertas yang terbentuk ke
7. Kristal di atas kertas saring lebar
kertas saring lebar
Berat total = berat kertas saring + berat
kristal
Menimbang hasilnya untuk mendapatkan = 0,58 g + 0,98 g = 1,56 g
8.
berat kristal Berat kristal - berat total – berat kertas
saring
= 0,98 g
9. Memasukkan kristal ke dalam pipa kapiler Kristal did alam pipa kapiler
Mengikat pipa kapiler yang berisi kristal ke
10. Suhu awal = 30°C
thermometer dan mengukur suhu awal
No. Perlakuan Hasil Pengamatan
Memanaskan di atas penangas air dan
11. Suhu akhir = 103°C
mengukur titik didihnya
V. ANALISIS DATA
A. Tes Kelarutan
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan pelarut yang
cocok untuk rekristalisasi. Tes kelarutan yang digunakan adalah naftalena putih
dan naftalena warna dengan pelarutnya etanol dan aquades. Percobaan antara
naftalena putih dengan pelarut etanol menghasilkan campuran homogen, karena
naftalena putih larut didalamnya. Hal ini tidak sesuai dengan teori “ like disolve
like “ karena naftalena putih merupakan senyawa non polar, sedangkan etanol
merupakan senyawa polar. Seharusnya naftalena putih hanya larut dengan pelarut
non polar, hal ini dikarenakan etanol memiliki gugus alkil yaitu etil (-C2H5) yang
bersifat non polar (hidrofobik) yang dapat berinteraksi dengan naftalena putih.
Selain itu konstanta dielektrik yang dimiliki etanol juga rendah, hal ini yang
membuat etanol memiliki kemampuan larut dalam naftalena putih.
Selanjutnya meneteskan 3 tetes aquades pada campuran naftalena putih
dan etanol yang menghasilkan larutan yang berendapan. Hal ini disebabkan
karena aqudes merupakan senyawa polar sehingga sangat sulit larut dalan dalam
senyawa non polar. Kemudian memanaskannya, dengan tujuan membuat larutan
homogen dan tidak terjadi endapan.
Percobaan selanjutnya menggunakan naftalena warna dengan pelarut
etanol dan aquades dihasilkan naftalena warna larut dalam etanol dan tidak larut
dalam aquades. Hal ini dikarenakan aquades bersifat polar sama dengan etanol,
maka saat ditambahkan pelarut akan semakin memperkuat adanya sifat kepolaran
yang berbeda. Saat dipanaskan naftalena warna akan menjadi larutan yang
homogen. Pada saat didinginkan naftalena putih dan naftalena warna menjadi
larutan homogen.
B. Kristalisasi dalam pelarut organik
Percobaan ini bertujuan untuk mengkristalisasi menggunakan pelarut
organik. Menggunakan naftalena putih dan naftalena warna dengan pelarut etanol
murni, menghasilkan endapan. Selanjutnya untuk melarutkan endapan maka perlu
dilakukan pemanasan. Setelah pemanasan didapatkan hasil endapan yang sudah
larut. Endapan menjadi larut itu berarti bahwa kelarutannya rendah. Selanjutnya
penambahan karbon aktif yang bertujuan untuk menyerap zat pengotor yang
terkandung dalam sampel naftalena sehingga diperoleh filtrat murni. Hasil
penyaringan berupa filtrat berwarna putih menandakan filtrat yang murni.
Proses rekristalisasi ini akan didapatkan peningkatan kualitas garam,
seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Maulana, Jamil, Putra, Rohmawati, &
Rahmawati (2017) rekristalisasi dapat meningkat kualitas garam bledug buwu
dilihat dari kadar NaCl sebesar 78,92% meningkat menjadi 89,44%, dengan
bantuan bahan pengikat pengotor rekristalisasi menghasilkan rendemen sebesar
86,35% . Penelitian ini diperkuat oleh Wiraningtyas, Sandi, Sowanto, & Ruslan
(2017) bahwa terjadi peningkatan kadar NaCl setelah dilakukan proses
rekristalisasi. Kadar NaCl pada garam kasar sebesar 380 ppm atau sekitar 95,43%
. sedangkan pada garam setelah rekristalisasi diperoleh kadar NaCl sebesar 435
ppm atau 99,36%.
Selanjutnya filtrat yang dihasilkan pada kedua percobaan diatas disaring
kembali menggunakan corong buchner yang dilengkapi dengan pipa penghisap.
Penyaringan ini bertujuan untuk mempercepat penyaringan agar terbentuk kristal
murni. Kristal yang dihasilkan pada kedua percobaan ini dicuci dengan 3 mL
etanol agar kristal lebih bersih. Hasil percobaan didapatkan bahwa berat kristal
pada percobaan dengan naftalena putih adalah 1,49 g, sedangkan percobaan kedua
yang menggunakan naftalena warna sebesar 0,53 g.
C. Sublimasi
Percobaan ini menggunakan sampel yang sama yaitu naftalena putih dan
naftalena warna yang diberikan perlakuan yang sama yaitu 5 g sampel yang sudah
digerus dan dimasukkan kedalam cawan porselun yang kemudian ditutupi oleh
cawan petri berisi potongan-potongan es kecil, bertujuan untuk mempercepat
proses sublimasi dan menaikkan tekanan uap naftalena , kemudian dilakukan
pemanasan. Saat pemanasan naftalena putih dan warna langsung berubah menjadi
gas dan membentuk kristal dibawah cawan petri tanpa melalui fase cair. Hal ini
dikarenakan naftalena merupakan senyawa kimia yang mudah menguap dan
bereaksi sangat cepat, sehingga langsung mengalami proses perubahan menjadi
gas. Kemudian potongan-potongan es kecil sebagai pendingin atau kondensor,
naftalena terkondensasi menjadi padatan atau kristal kembali.
Proses sublimasi naftalena tidak merubah menjadi senyawa lain tetapi
hanya merubah bentuk dari fase padat ke fase gas dan terkondensasi lagi menjadi
padat. Berat kristal naftalena putih yang diperoleh dalam percobaan ini sebesar
0,40 g dan pada kristal naftalena warna sebesar 0,98 g. Perbedaan ini karena
adanya zat pengotor pada naftalena, selain itu pada proses pengambilan kristal
dibawah cawan petri bisa jadi masih ada yang tersisa pada gelas kimia.
Selanjutnya mengukur titik leleh pada naftalena guna mengidentifikasi
kemurnian zat padat yang telah tersublimasi. Titik leleh pada percobaan naftalena
putih dan naftalena warna dicapai pada suhu 100ºC dan 103ºC, cukup jauh
berbeda dengan titik leleh pada teori yaitu sebesar 80,26ºC. Hal ini bisa
disebabkan oleh adanya zat pengotor yang memperkuat ikatan antar molekul
naftalena sehingga diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk memisahkan ikatan
tersebut.
VI. KESIMPULAN
A. Perhitungan
1. Kristalisasi Naftalena dengan Pelarut Organik
a. Naftalena putih
Berat pengotor = berat mula-mula – berat kristal murni
= 5 g – 1,49 g
= 3,51 g
= 29,8%
b. Naftalena warna
Berat pengotor = berat mula-mula – berat kristal murni
= 5 g – 0,53 g
= 4,47 g
= 10,6%
= 8%
b. Naftalena warna
Berat pengotor = berat mula-mula – berat kristal murni
= 5 g – 0,98 g
= 4,02 g
= 19,6%
B. Pertanyaan
Pertanyaan Prapraktek
1. Terangkan prinsip dasar rekristalisasi !
2. Sifat-sifat apakah yang harus dipunyai oleh suatu pelarut agar dapat
digunakan untuk rekristalisasi suatu senyawa organik tertentu ?
3. Sebutkan urutan kerja yang harus dilakukan dalam rekristalisasi !
Jawab:
1. Prinsip dasar rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan antara zat yang
ingin dimurnikan dengan zat pengotornya. Zat yang akan dimurnikan
dilarutkan dengan pelarut yang sesuai, sehingga zat pengotor tidak ikut
larut. Kelarutan suatu zat merupakan fungsi dari suhu, sehingga untuk
membuat suatu larutan lewat jenuh pada suhu kamar, larutan harus
dipanaskan dulu sampai seluruh zat yang akan dimurnikan terlarut.
2. Sifat-sifat yang harus dipunyai pelarut agar dapat digunakan untuk
rekristalisasi suatu senyawa organik adalah sebagai berikut:
- Pelarut tidak bereaksi dengan zat lain yang akan dilarutkan.
- Pelarut hanya dapat melarutkan zat yang akan dimurnikan, tidak
melarutkan pencemarnya.
- Titik didih pelarut harus lebih rendah dari titik leleh zat yang akan
dimurnikan.
3. Urutan kerja yang harus dilakukan dalam rekristalisasi:
a. Melarutkan zat campuran dalam pelarut panas dengan volume pelarut
minimal.
b. Kristalisasi zat dalam larutan tersebut dengan menurunkan suhu
larutan secara perlahan.
c. Menyaring larutan panas dari partikel bahan terlarut.
d. Mendinginkan larutan panas sehingga zat terlarut menjadi kristal.
e. Memisahkan kristal dalam larutannya.
Pertanyaan
1. Sebutkan paling sedikit dua alasan mengapa penyaringan dengan diisap
lebih disukai dalam memisahkan kristal dari induk intinya ?
2. Apa sebabnya asam benzoat dan naftalena itu mempergunakan pelarut
yang berbeda untuk rekristalisasi ?
3. Berapa jumlah pelarut air yang digunakan untuk melarutkan 1,35 gram
asam benzoat?
Jawab:
1. Alasan penyaringan dengan diisap lebih disukai karena:
- Pelarut lebih cepat terisap dari corong, sehingga kristal lebih cepat
kering.
- Penyaringan dengan diisap, waktu yang diperlukan untuk
mengeringkan kristal dirasa lebih cepat.
- Penyaringan dengan diisap, digunakan dengan mudah untuk kristal
yang dipisahkan sangat halus.
- Dihasilkan kristal yang kering sempurna (kristal yang murni).
2. Asam benzoat dan naftalena menggunakan pelarut yang berbeda karena
keduanya memiliki sifat kimia fisika yang berbeda, dan juga karena
keduanya memiliki kelarutan yang cocok sesuai pelarutnya. Pelarut yang
sesuai didasarkan pada:
- Pelarut yang tidak bereaksi dengan zat yang akan dimurnikan.
- Tidak melarutkan zat pengotor.
- Dapat mempermudah proses pengeringan zat atau jika untuk asam
asetat digunakan pelarut dengan titik didihnya lebih rendah (air) bila
digunakan etanol maka struktur asam benzoat akan rusak.
3. Pelarut yang digunkan untuk melarutkan 1,35 g asam benzoat adalah:
- Dalam percobaan digunakan 50 mL air
50 mL
= 10 mL/g
5g
Larutan Campuran
- Memanaskan
- Mendinginkan
Larutan Campuran
- Mendinginkan - Memanaskan
NB : 1. Mengamati apakah zat melarut dengan segera dalam pelarut pada suhu kamar
2. bila zat larut dalam etanol atau aseton dan perhatikan apa yang terjadi*
3. Mengatur komposisi campuran pelarut untuk mendapatkan larutan pekatpanas
pada titikdidih pelarutnya
4. mengamati sifat kristal yang terbentuk
5. melakukan tes kelarutan terhadap naftalena, asambenzoat, dan asam salisilat
dengan pelarut etanol dan air
B. Penentuan titik leleh
Larutan / Cairan
NB : 1. Mencatat suhu dimana kristal dalam pipa kapiler mulai leleh sampai semuanya
meleleh
Campuran Larutan
NB : 1. Menyiapkan corong penyaring kaca arloji tangkai pendek, lengkapi dengan
kertas saring lipat, memasang labu erlenmeyer bersih untuk menampung filtrate
panas
2. jika sudah lama belum terbentuk kristal, bisa mendinginkan erlenmeyer dengan
mneyiram dibawah curahan air kran / direndam didalam air es
3. bila pada air es belum juga terbentuk kristal berarti kelarutannya kurang jenuh,
maka jenuhkan dahulu dengan penguapan sebagai pelarutnya
4. menimbang kristal kering dan menentukan titik lelehnya
5. menghitung perolehan kembali asetanilida murni
6. jika trayek leleh masih lebar (lebih dari 1 derajat) maka menghitung
rekristalisasi
D. Kristalisasi dalam pelarut organic
- Mengaduk
- Mendidihkan sebentar di atas
penangas air
Filtrat Residu
Filtrat + kristal
E. Sublimasi
- Menimbang
- Memasukkan kedalam cawan
porselin yang ditutup dengan cawan
petri
- Mengisi cawan
- Memanaskan di atas hotplate sampai
padatan membentuk kristal dibawah
cawan petri
- Memindahkan kristal yang terbentuk
ke kertas saring lebar
Kristal
NB : 1. Menentukan titik lelehnya
2. Menimbang hasil kristal