Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA ORGANIK I

REKRISTALISASI DAN TITIK LELEH

NAMA : SUFI AWALIA ANJANI

NIM : K1A019004

HARI, TANGGAL : SELASA, 29 SEPTEMBER 2020

KELOMPOK/SHIFT : 1/B

ASISTEN : RYAN ADITYA MAHENDRA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI KIMIA

LABORATORIUM KIMIA ORGANIK

PURWOKERTO

2020
REKRISTALISASI DAN TITIK LELEH

I. Tujuan
1) Melakukan rekristalisasi;
2) Memilih pelarut yang sesuai;
3) Memisahkan dan memurnikan campuran dengan cara rekristalisasi.

II. Tinjauan Pustaka


Rekristalisasi adalah teknik pemurnian suatu zat padat dari campuran atau
pengotornya yang dilakukan dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut
setelah dilarutkan dalam pelarut (solven) yang sesuai atau cocok. Ada beberapa
syarat agar suatu pelarut dapat digunakan dalam proses rekristalisasi, yaitu
memberikan perbedaan daya larut yang cukup besar antara zat yang dimurnikan
dengan zat pengotor, tidak meninggalkan zat pengotor pada kristal, dan mudah
dipisahkan dari kristalnya. Pelarut (solven) yang digunakan dalam pemurnian
garam NaCl dengan teknik rekristalisasi adalah air. Prinsip dasar dari rekristalisasi
adalah perbedaan kelarutan antara zat yang akan dimurnikan dengan kelarutan zat
pencampur atau pencemarnya. Larutan yang terbentuk dipisahkan satu sama lain,
kemudian larutan zat yang diinginkan dikristalkan dengan cara menjenuhkannya
(mencapai kondisi supersaturasi atau larutan lewat jenuh). Secara teoritis, ada
empat metode untuk menciptakan supersaturasi yaitu dengan mengubah
temperatur, menguapkan solven, reaksi kimia, dan mengubah
komposisi solven (Rositawati, 2013).
Prinsip dasar dari rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan antara zat yang akan
dimurnikan dengan kelarutan zat pencampur atau pencemarnya. Jenis pelarut
berperan penting pada proses rekristalisasi karena pelarutan merupakan faktor
penting pada proses rekristalisasi. Kelarutan suatu komponen dalam pelarut
ditentukan olen polaritas masing masing. Pelarut polar akan melarutkan senyawa
polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non-polar. Pelarut pada
proses rekristalisasi mempengaruhi kecepatan nukleasi dan morfologi kristal
(Ahmadi,2010).
Berdasarkan pelarut yang digunakan, metode rekristalisasi terbagi menjadi dua
yaitu rekristalisasi dengan pelarut tunggal dan rekristalisasi dengan multi pelarut.
Sedangkan, berdasarkan tekniknya, metode rekristalisasi dibagi menjadi tiga yaitu
rekristalisasi dengan penyaringan panas, rekristalisasi dengan nukleasi spontan dan
rekristalisasi menggunakan seeding dan filtrat. Pelaksanaan proses pemurnian yang
berulang-ulang akan mengakibatkan hilangnya sejumlah kristal karena terbatasnya
kelarutan senyawa yang akan dimurnikan. Peristiwa rekristalisasi pada dasarnya
berhubungan dengan reaksi pengendapan. Endapan merupakan zat yang memisah

1
2

dari satu fase padat keluar ke dalam larutannya. Endapan terbentuk jika larutan
bersifat terlalu jenuh dengan zat yang bersangkutan (Pinalia, 2011)
Titik leleh suatu zat adalah temperatur dimana fase padat dan cair berada dalam
kesetimbangan. Temperature akan tetap pada titik leleh selama fase itu masih ada
perubahan dari cair menjadi padat, atau disebut pembekuan dan proses
kebalikannya disebut pelelehan atau peleburan. Titik leleh suatu padatan sama
dengan titik beku suatu cairan. Titik leleh senyawa murni adalah suhu dimana fasa
padat dan fasa cair senyawa tersebut berada dalam kesetimbangan pada tekanan 1
atm. Kalor diperlukan untuk transisi dari bentuk kristal, pemecahan kisi kristal,
sampai semua berbentuk cair. (Chang, 2004)
Kristal dapat dipisahkan dari larutannya yang telah jenuh dengan penyaringan.
Penyaringan umumnya dilakukan di bawah tekanan menggunakan corong
Buchner. Pemisahan zat murni dengan pengotornya dapat dibantu dengan proses
menambahkan norit ke dalam larutan agar terjadi proses adsorpsi. Adsorpsi adalah
proses penggumpalan zat terlarut dalam larutan oleh permukaan bahan penyerap.
Zat yang terlibat dalam proses adsorpsi diantaranya disebut adsorbat yaitu zat yang
terserap pada permukaan zat lain dan adsorben yaitu zat yang permukaannya dapat
menyerap zat lain, sehingga zat pengotornya dapat teradsorpsi dan zat murni tetap
dalam larutan (Brady, 1998).
Pengotor yang ada pada kristal terdiri dari dua kategori, yaitu pengotor yang ada
pada permukaan kristal dan pengotor yang ada di dalam kristal. Pengotor yang ada
pada permukaan kristal berasal dari larutan induk yang terbawa pada permukaan
kristal pada saat proses pemisahan padatan dari larutan induknya (retention liquid).
Pengotor pada permukaan kristal ini dapat dipisahkan hanya dengan pencucian.
Cairan yang digunakan untuk mencuci harus mempunyai sifat dapat melarutkan
pengotor tetapi tidak melarutkan padatan kristal. Salah satu cairan yang memenuhi
sifat di atas adalah larutan jenuh dari bahan kristal yang akan dicuci, namun dapat
juga dipakai pelarut pada umumnya yang memenuhi kriteria tersebut. Adapun
pengotor yang berada di dalam kristal tidak dapat dihilangkan dengan cara
pencucian. Salah satu cara untuk menghilangkan pengotor yang ada di dalam kristal
adalah dengan jalan rekristalisasi, yaitu dengan melarutkan kristal tersebut
kemudian mengkristalkannya kembali. Salah satu kelebihan proses kristalisasi
dibandingkan dengan proses pemisahan yang lain adalah bahwa pengotor hanya
bisa terbawa dalam kristal jika terorientasi secara bagus dalam kisi kristal (Puguh,
2003).
Ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan tergantung pada dua faktor
penting yaitu laju pembentukan inti (nukleasi) dan laju pertumbuhan kristal. Jika
laju pembentukan inti tinggi, banyak sekali kristal yang akan terbentuk, tetapi tak
satupun dari kristal ini yang akan tumbuh menjadi terlalu besar, sehingga terbentuk
endapan yang terdiri dari partikel-partikel kecil. Laju pembentukan inti tergantung
3

pada derajat lewat jenuh dari larutan. Semakin tinggi derajat lewat jenuh, semakin
besar kemungkinan untuk membentuk inti baru, sehingga semakin besar laju
pembentukan inti. Laju pertumbuhan kristal merupakan faktor lain yang
mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan berlangsung.
Jika laju ini tinggi, kristal-kristal yang besar akan terbentuk yang dipengaruhi oleh
derajat lewat jenuh (Svehla, 1979).
Asetanilida berwujud padatan, tidak berwarna, tidak berasa, dan mudah larut
dalam air dingin. Berat molekul asetanilida sebesar 135,16 g/mol. Titik didih dan
titik leleh astanilidia sebesar 304℃ dan 114,3℃. Asetanilida tidak mengkorosi
gelas. Penanganan bila terjadi kontak terhadap mata dan kulit, segera basuh dengan
air mengalir selama 15 menit. Karbon aktif atau arang aktif adalah zat padat
berbentuk bubuk, berwarna hitam, tidak berbau, larut dalam air, dan memiliki pH
berkisar 5.0-10.0. Luas permukaan karbon yang sangat besar diperoleh dengan
mengaktifkan karbon atau arang tersebut. Satu gram karbon aktif menghasilkan
suatu material yang memiliki permukaan sebesar 500 A. Biasanya pengaktifan
hanya bertujuan untuk memperbesar luas permukaan saja, namun beberapa usaha
juga berkaitan dengan meningkatkan kemampuan adsorpsi karbon aktif itu sendiri
(Chang, 2004).
III. Metodologi Percobaan
3.1 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini meliputi tabung reaksi,
kertas saring, corong, corong buchner, erlenmeyer 125/200 mL, labu isap 250
mL, dan alat penentuan titik leleh.
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi Asetanilida,
Naftalen, Etanol 95%, dan Karbon/arang.

3.2 Prosedur Percobaan


A. Rekristalisasi dengan Pelarut Air
1) Sebanyak 5 g asetanilid kotor ditimbang dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 200 ml.
2) Sebanyak 50 ml air panas ditambahkan sedikit demi sedikit sambil
diaduk sampai larut semua.
3) Sebanyak 5-7 ml air panas ditambahkan, lalu didihkan.
4) Jika larutan berwarna ditambahkan 0,5-1 g karbon, lalu didihkan selama
5 menit.
5) Disaring dalam keadaan panas, jika sudah terbentuk kristal dengan
sempurna dilakukan penyaringan dengan corong Buchner, dicuci
dengan sedikit air.
6) Dikeringkan, kemudian kristal yang terjadi ditimbang.
7) Titik lelehnya ditentukan, jika jarak leleh masih lebar rekristalisasi
diulangi.
8) Perolehan kembali asetanilida kotor dan rendemennya dihitung.

B. Rekristalisasi dengan Pelarut Organik


1) Naftalena kotor ditimbang, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml.
2) Sebanyak 20 ml etanol 95 % ditambahkan perlahan sambil diaduk.
3) Dipanaskan dan didihkan dalam penangas air.
4) Sebanyak 0,5 g karbon ditambahkan, diaduk dan didihkan selama 5
menit.
5) Disaring dalam keadaan panas, kemudian didinginkan.
6) Jika semua kristal telah terbentuk, dilakukan penyaringan dengan
corong Buchner, dibilas dengan 3 ml etanol dingin, dikeringkan.
7) Hasil ditimbang dan titik lelehnya ditentukan.

C. Penentuan Titik Leleh


1) Kristal hasil rekristalisasi (naftalena), resorsinol, asam ftalat dan asam
benzoat digerus secara terpisah.

4
5

2) Dimasukkan ke dalam pipa kapiler sampai tinggi 0,5 cm, kemudian


pipa kapiler dipasang pada alat penentuan titik leleh.
3) Suhu saat kristal dalam pipa kapiler mulai meleleh sampai tepat
semuanya meleleh (= jarak leleh) diperhatikan dan dicatat.
3.3 Skema Kerja
1) Rekristalisasi dengan Pelarut Air

5 gram Asetanilida Kotor


- ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 200 mL
- ditambahkan 50 mL air panas sedikit demi sedikit
- diaduk sampai larut semua
- ditambahkan 5-7 mL air panas, dididihkan
- ditambahkan 0,5-1 gram karbon jika larutan berwarna
- dididihkan 5 menit
- disaring dalam keadaan panas dengan corong buchner
- dicuci dengan sedikit air
- dikeringkan, ditimbang kristalnya
- ditentukan titik lelehnya
- dihitung perolehan asetanilida kotor
Hasil Pengamatan

2) Rekristalisasi dengan Pelarut Organik


Naftalena kotor

- ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL


- ditambahkan 20 mL etanol 95% secara perlahan sambil
diaduk
- dipanaskan dan dididihkan dalam penangas air
- ditambahkan 0,5 gram karbon
- diaduk dan dididihkan 5 menit
- disaring dalam keadaan panas, kemudian didinginkan
- disaring dengan corong buchner jika semua kristal sudah
terbentuk
- dibilas dengan 3 mL etanol dingin lalu dikeringkan
- ditimbang hasilnya dan titik lelehnya ditentukan
Hasil Pengamatan

6
7

3) Penentuan Titik Leleh

Kristal Hasil
- digerus secara terpisah
- dimasukkan ke dalam pipa kapiler sampai tingginya 0,5 cm
- pipa kapiler dipasang pada alat penentuan titik leleh
- dipanaskan dan dicatat suhu saat kristal dalam pipa kapiler
meleleh
Hasil Pengamatan
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Data Pengamatan
1) Rekristalisasi dengan Pelarut Air
Perlakuan Pengamatan
- Asetanilid kotor sebanyak 5 gram Asetanilid berwarna cream
ditimbang dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 200 mL
- Ditambahkan 50 mL air panas, diaduk Larut, tetapi menggumpal
sampai larut
- Ditambahkan 5-7 mL air panas, Larut dan berwarna keruh
dididihkan
- Jika larutan berwarna, ditambahkan Larutan berwarna hitam
0,5-1 gram karbon, dididihkan 5 menit
- Disaring dalam keadaan panas, jika Terbentuk kristal murni
sudah terbentuk kristal dengan
sempurna dilakukan penyaringan
dengan corong Buchner, dicuci dengan
sedikit air
- Dikeringkan, ditimbang kristal yang Berat kertas saring= 1 gram
terbentuk
- Ditentukan titik lelehnya
- Dihitung perbedaan asetanilid kotor Berat kertas saring+kristal= 5, 8074 gr
dan hitung rendemennya

2) Rekristalisasi dengan Pelarut Organik


Perlakuan Pengamatan
- Naftalen kotor sebanyak 5 gram Naftalen berwarna putih
ditimbang dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 100 mL
- Ditambahkan 20 mL etanol 95%, Larutan keruh
diaduk
- Dipanaskan dan dididihkan Naftalen larut
- Ditambahkan 0,5 gram karbon, diaduk, Larutan berwarna hitam
dididihkan 5 menit
- Disaring dalam keadaan panas, lalu Terbentuk kristal murni
didinginkan
- Jika kristal terbentuk, disaring dengan Berat kertas saring= 1 gram
corong buchner, dibilas dengan 3 mL
etanol dingin, dikeringkan

8
9

- Ditimbang hasilnya, ditentukan titik Berat kertas saring+kristal= 4, 6969 gr


lelehnya

3) Penentuan Titik Leleh


Perlakuan Pengamatan
- Kristal digerus secara terpisah Kristal menjadi lebih halus
(naftalena dan asetanilid)
- Dimasukkan ke dalam pipa kapiler
setinggi 0,5 cm, lalu pipa dipasang
pada alat penentuan titik leleh
- Suhu dicatat saat kristal mulai meleleh Titik leleh Asetanilid= 114°C
sampai tepat semuanya meleleh Titik leleh Naftalen= 82°C

4.2 Data Perhitungan


1) Rekristalisasi dengan Pelarut Air
% Rendemen Asetanilid
(𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛+𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔)−𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔
= 𝑥 100%
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙
5,8074−1
= 𝑥100%
5
= 96, 148%

2) Rekristalisasi dengan Pelarut Organik


% Rendemen Naftalen
(𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛+𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔)−𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔
= 𝑥 100%
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙
4,6969−1
= 𝑥100%
5
= 73, 938%
10

4.3 Pembahasan
4.3.1 Rekristalisasi.
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat dari
campuran padatannya dimana zat-zat tersebut dilarutkan dalam suatu pelarut
kemudian dikristalkan dengan cara menjenuhkannya. Kristal adalah suatu
padatan dimana molekul atau ionnya tersusun dalam suatu pola tertentu.
Kristal dapat tumbuh menjadi berbagai macam bentuk dengan
mempertahankan jumlah muka dan antar sudut muka (crystalhabit) (Maulin,
2001). Rekristalisasi adalah suatu teknik pemurnian zat padat dari campuran
pengotornya yang dilakukan dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut
setelah dilarutkan dalam pelarut (solven) yang sesuai atau cocok. Ada
beberapa syarat agar suatu pelarut dapat digunakan dalam proses kristalisasi
yaitu memberikan perbedaan daya larut yang cukup besar antara zat yang
dimurnikan dengan zat pengotor, tidak meninggalkan zat pengotor pada
kristal, dan mudah dipisahkan dari kristalnya (Rositawati, 2013).
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat yang jamak
digunakan, dimana zat-zat tersebut atau zat-zat padat tersebut dilarutkan
dalam suatu pelarut kemudian dikristalkan kembali. Kristal dapat terbentuk
karena suatu larutan dalam keadaan atau kondisi lewat jenuh (supersaturated).
Kondisi tersebut dapat terjadi karena pelarut sudah tidak mampu melarutkan
zat terlarutnya, atau jumlah zat terlarut sudah melebihi kapasitas pelarut.
Kristal dapat terbentuk dengan cara mengurangi jumlah pelarutnya, sehingga
kondisi lewat jenuh dapat dicapai. Proses pengurangan pelarut dapat
dilakukan dengan empat cara yaitu, penguapan, pendinginan, penambahan
senyawa lain dan reaksi kimia (Horizon, 2003).
Proses rekristalisasi pada dasarnya adalah melarutkan senyawa yang akan
dimurnikan ke dalam pelarut yang sesuai pada atau dekat dengan titik
didihnya, menyaring larutan panas dari molekul atau partikel tidak larut,
membiarkan larutan panas menjadi dingin hingga terbentuk kristal, dan
memisahkan kristal dari larutan berair. Kristal yang terbentuk dikeringkan
dan ditentukan kemurniannya dengan penentuan titik lebur, kromatografi dan
metode spektroskopi. Pelarut dalam rekristalisasi merupakan penentu
keberhasilan pemisahan. Jika senyawa larut dalam keadaan panas maka
penyaringan harus dilakukan dalam keadaan panas. Senyawa organik sering
mengandung senyawa berwarna. Senyawa tersebut dapat dimurnikan dengan
penambahan karbon aktif penghilang warna seperti norit (Damtith, 1994).
Pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses rekristalisasi adalah
pelarut cair. Hal ini dikarenakan pelarut cair tidak mahal, tidak reaktif dan
setelah melarutkan zat padat organik, bila dilakukan penguapan akan lebih
mudah memperolehnya kembali. Kriteria pelarut yang baik adalah
11

tidak bereaksi dengan zat padat yang akan direkristalisasi, zat padatnya harus
mempunyai kelarutan terbatas (sebagian) atau relatif tak larut dalam pelarut,
zat padatnya mempunyai kelarutan yang tinggi (larut baik) dalam suhu didih
pelarutnya pada suhu kamar atau suhu kristalisasi, dan titik didih pelarut tidak
melebihi titik leleh zat padat yang akan direkristalisasi. Cara rekristalisasi
yang dilakukan ditentukan oleh jenis pengotor yang akan dibuang atau
dipisahkan. Prinsip proses rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan zat
pengotornya (Horizon.2003).
Menurut Horizon (2003), secara umum tahap-tahap rekristalisasi adalah
sebagai berikut.
1) Pemilihan pelarut
Pelarut yang terbaik adalah pelarut dimana senyawa yang dimurnikan
hanya larut sedikit pada suhu kamar tetapi sangat larut pada suhu yang
lebih tinggi, misal pada titik didih pelarut itu. Pelarut harus melarutkan
secara mudah zat-zat pengotor dan mudah menguap, sehingga dapat
dipisahkan secara mudah dari materi yang dimurnikan. Titik didih pelarut
harus lebih rendah dari titik leleh padatan untuk mencegah pembentukan
minyak.
2) Kelarutan senyawa padat dalam pelarut panas
Padatan yang akan dimurnikan dilarutkan dalam sejumlah minimum
pelarut panas. Sedikit pelarut ditambahkan pada titik didihnya sampai
terlihat bahwa tidak ada tambahan materi yang terlarut lagi. Hindari
penambahan berlebih.
3) Penyaringan larutan
Larutan jenuh yang telah dipanaskan selanjutnya disaring menggunakan
kertas saring yang ditempatkan dalam suatu corong.
4) Kristalisasi
Filtrat hasil penyaringan selanjutnya dibiarkan kering. Zat padat murni
akan memisah sebagai kristal. Kristalisasi sempurna jika kristal yang
terbentuk banyak. Larutan harus dalam keadaan jenuh karena jika larutan
telah mencapai derajat saturasinya, maka di dalam zat padat akan
terbentuk zat padat kristal. Apabila kristalisasi tidak terbentuk selama
pendinginan filtrat dalam waktu cukup lama maka larutan harus dibuat
lewat jenuh.
5) Pemisahan dan pengeringan kristal
Kristal dipisahkan dari larutan induk dengan penyaringan. Penyaringan
umumnya dilakukan di bawah tekanan menggunakan corong Buchner.
Kristal yang telah tersaring dicuci dengan pelarut dingin murni untuk
menghilangkan kotoran yang menempel. Kristal kemudian dikeringkan
dengan menekan kertas saring atau dioven.
12

Faktor-faktor yang mempengaruhi kristal menurut Donald, 1980 adalah


sebagai berikut.
a) Laju pembentukan inti (nukleous).
Laju pembentukan inti dinyatakan dengan jumlah inti yang terbentuk
dalam satuan waktu. Jika laju pembentukan inti tinggi, maka banyak sekali
kristal yang terbentuk, tetapi tak satupun akan tumbuh menjadi besar, jadi
yang terbentuk berupa partikel-partikel koloid.
b) Laju pertumbuhan kristal.
Merupakan faktor lain yang mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk
selama pengendapan berlangsung. Jika laju tinggi kristal yang besar akan
terbentuk, laju pertumbuhan kristal juga dipengaruhi derajat lewat jenuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan kristal
menurut Handojo, 1995 adalah sebagai berikut.
a) Derajat lewat jenuh.
b) Jumlah inti yang ada, atau luas permukaan total dari kristal yang ada.
c) Pergerakan antara larutan dan kristal.
d) Viskositas larutan.
e) Jenis serta banyaknya pengotor.
Pengendapan bisa dilakukan untuk pemisahan dengan menambahkan
suatu reagansia yang sesuai, yang membentuk endapan dengan hanya satu
atau beberapa ion yang ada dalam larutan, kemudian endapan dapat disaring
dan dicuci, tergantung sebagian besar pada struktur morfologi endapan yaitu
bentuk dan ukuran kristal. Bentuk struktur kristal yang sederhana seperti
kubus, oktahedron, atau jarum-jarum sangat menguntungkan karena mudah
dicuci setelah disaring. Endapan adalah zat yang memisahkan diri sebagai
suatu fase padat keluar dari larutan. Endapan berupa kristal atau koloid dan
dapat dikeluarkan dari larutan dengan penyaring atau sentrifug. Endapan
terbentuk jika larutan menjadi terlalu jenuh dengan zat yang bersangkutan
(Vogel, 1985).
Kelarutan suatu endapan menurut definisi adalah sama dengan konsentrasi
molar dari larutan jenuhnya. Kelarutan bergantung pada berbagai kondisi
seperti suhu, tekanan, konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan itu, dan
komposisi pelarutnya. Spesifikasi larutan jenuh adalah larutan yang titik
bekunya tidak mengganggu. Kejenuhan membuat kristalisasi sangat efektif
dengan penyaringan dan pemisahan. Larutan jenuh adalah larutan yang
mengandung zat terlarut dalam jumlah yang sudah ditentukan untuk adanya
kesetimbangan antara zat terlarut dan zat-zat yang tidak terlarut (Keenan,
1990).
13

4.3.2 Titik Leleh


Titik leleh dapat diartikan sebagai suatu temperatur dimana suatu zat padat
berubah menjadi cairan pada tekanan satu atmosfer. Titik leleh juga dapat
diartikan sebagai temperatur dimana senyawa dalam keadaan padat dan
cairan dalam keadaan kesetimbangan pada tekanan 1 atmosfer. Biasanya,
tekanan tidak dilaporkan hasilnya dalam penentuan titik leleh, karena titik
leleh suatu zat tidak mengalami perubahan yang berarti dengan adanya
perubahan tekanan. Tekanan akan ikut dilaporkan jika pada saat zat padat
meleleh terjadi perbedaan dengan tekanan normal yang terlalu besar. Titik
leleh senyawa organik umumnya mudah diamati, sebab temperatur dimana
pelelehan mulai terjadi hampir sama dengan temperatur dimana zat telah
meleleh semuanya (Helda, 2014).
Titik leleh suatu zat yang lebih tinggi akan mengakibatkan daya tarik
menarik antar molekul lebih besar. Titik leleh suatu zat sangat tergantung dari
struktur molekul yang merupakan salah satu dimensi fisis dari suatu zat.
Selain itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya titik leleh suatu
zat, yaitu (Helda, 2014):
1) Ukuran kristal
Zat dengan ukuran kristal yang kasar akan memperlambat proses
pelelehan sehingga biasanya zat dengan ukuran kristal kasar dihaluskan
terlebih dahulu.
2) Banyaknya sampel
Semakin banyak sampel yang kita gunakan, maka semakin lama proses
pelelehannya.
3) Pemanasan dalam kapiler
Pemanasan pada saat percobaan harus menggunakan api yang bertahan.
Pengaruh Penurunan Suhu pada Proses Terjadinya Kristal (Austin,1986):
a) Bila penurunan suhu berjalan dengan cepat maka kecepatan tumbuh inti
kristal lebih cepat daripada kecepatan pertumbuhan kristal sehingga kristal
yang diperoleh kecil, rapuh, dan banyak.
b) Bila penurunan suhu dilakukan secara perlahan, maka kecepatan
pertumbuhan kristal lebih cepat daripada kecepatan pertumbuhan inti
kristal sehingga kristal yang dibebaskan besar-besar, liat, dan elastis.

4.3.3 Asetanilida
Asetanilida merupakan suatu amida dengan bentuk berupa padatan kristal
putih dengan massa jenis 1,21 gram/mL, titik lebur 113˚C - 114˚C, titik didih
305˚C, berat molekul 135,17 gram/mol. Asetanilida sangat larut dalam
alkohol, sedangkan kelarutan dalam air adalah 0,53 gram dalam 100 mL dan
kelarutan dalam eter adalah 7 gram dalam 100 mL (Morrison, 1992).
14

Asetanilida merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang


digolongkan sebagai amida primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin
digantikan dengan satu gugus asetil. Asetanilida atau sering disebut
fenilasetamida mempunyai rumus molekul C6H5NHCOCH3. Asetanilida
pertama kali ditemukan oleh Friedel Kraft pada tahun 1872 dengan cara
mereaksikan asethopenon dengan NH2OH sehingga terbentuk asetophenon
oxime yang kemudian dengan bantuan katalis dapat diubah menjadi
asetanilida. Tahun 1899 Beckmand menemukan asetanilida dari reaksi antara
benzilsianida dan H2O dengan katalis HCl. Tahun 1905 Weaker menemukan
asetanilida dari anilin dan asam asetat. Asetanilida digunakan sebagai
inhibitor dalam hidrogen peroksida dan digunakan untuk menstabilkan pernis
ester selulosa. Asetanilid digunakan untuk produksi 4-
asetamidobenzenesulfonil klorida, suatu perantara kunci untuk pembuatan
obat sulfat. Berdasarkan fungsi dari asetanilida tersebut maka asetanilida
perlu untuk disintesis (Kirk, 1981).
Sebuah turunan asetil lebih mudah diperoleh dengan mereaksikan asam
asetat anhidrida dengan anilina. Secara teori, asetanilida sederhana adalah
dengan mereaksikan aniline dengan asam asetat anhidrid. Anilin merupakan
amina aromatis primer. Reaksi substitusi terhadap amina aromatis dapat
berupa substitusi pada cincin benzene atau substitusi pada gugus amina.
Asetilasi amina aromatis primer atau sekunder banyak dilakukan dengan
asam klorida dalam suasana basa atau dengan cara mereaksikan amina dengan
asetat anhidrida. Aniline primer bereaksi dengan asetat anhidrida panas
menghasilkan turunan mono asetat (amida). Persamaan reaksi antara aniline
dan asetat anhidrida membentuk N-carboxyanilinium dan ion asetat,
kemudian ion asetat ini menyerang atom hidrogen pada gugus amida
menghasilkan asetanilida dan asam asetat (Alfina, 2013).
H
O
NH2 O O N CH3

+ H3C
+ H3C OH
O CH3 O

Gambar 4.3.3.1 Reaksi asetilasi amina aromatis dengan asetat anhidrida


(Alfina, 2013).

4.3.4 Naftalena
Naftalena adalah hidrokarbon kristalin aromatik berbentuk padatan
berwarna putih dengan rumus molekul C10H8 dan berbentuk dua cincin
benzena yang bersatu. Naftalena mempunyai massa molar 128.17 g/mol,
density 1.14 gcm-3, titik cair 80.5 °C, dan titik didih 128,17 gmol-1. Naftalena
tidak dapat larut dalam air, alkohol, namun dapat larut dalam eter dan
benzena. Senyawa ini bersifat volatil, mudah menguap walau dalam bentuk
15

padatan. Uap yang dihasilkan bersifat mudah terbakar. Naftalena paling


banyak dihasilkan dari destilasi dari batu bara, dan sedikit dari sisa fraksionasi
minyak bumi. Naftalena merupakan suatu bahan keras yang putih dengan bau
tersendiri, dan ditemukan secara alami dalam bahan bakar fosil seperti batu
bara dan minyak. Naftalena meleleh diatas 70oC, sedangkan membeku
kembali dibawah 70oC, titik leleh saat 70oC dan titik didih saat 80oC (Listi,
2014).

Gambar 4.3.4.1 Naftalena


(Listi, 2014)

4.3.5 Etanol
Ethyl alkohol atau etanol adalah salah satu turunan dari senyawa hidroksil
atau gugus OH. Istilah umum yang sering dipakai untuk senyawa tersebut
adalah alkohol. Etanol mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap,
mudah larut dalam air, berat molekul 46,1, titik didihnya 78,3°C, membeku
pada suhu –117,3 °C, kerapatannya 0,789 pada suhu 20 °C, nilai kalor 7077
kal/gram, panas latent penguapan 204 kal/gram dan angka oktan 91–105.
Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman
beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah salah satu obat rekreasi
yang paling tua. Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal dengan
rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Etanol merupakan isomer
konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat menjadi EtOH,
dengan “Et” merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5) (Hambali, 2008).
Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia
yang ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan manusia. Contohnya adalah
pada parfum, perasa, pewarna makanan, dan obat-obatan. Etanol adalah
pelarut yang penting sekaligus sebagai stok umpan untuk sintesis senyawa
kimia lainnya. Berdasarkan sejarah, etanol telah lama digunakan sebagai
bahan bakar. Ethanol merupakan senyawa yang tidak terdapat secara bebas di
alam. Zat ini adalah golongan alkohol biasa atau alkohol primer yang dibuat
dari glukosa atau jenis gula yang lain dengan jalan peragian (Hambali, 2008).
16

Gambar 4.3.5.1 Etanol


(Hambali, 2008)

4.3.6 Karbon
Karbon merupakan unsur kimia yang mempunyai simbol C dengan nomor
atom 6 dan termasuk unsur golongan IV A pada tabel periodik. Karbon
merupakan unsur non-logam dan bervalensi 4 (tetravalen), yang berarti
bahwa terdapat empat elektron yang dapat digunakan untuk membentuk
ikatan kovalen. Karbon mempunyai tiga macam isotop yang ditemukan
secara alami, yakni 12C dan 13C yang stabil, dan 14C yang bersifat
radioaktif dengan waktu paruh peluruhannya sekitar 5730 tahun. Karbon
merupakan salah satu di antara beberapa unsur yang diketahui keberadaannya
sejak zaman kuno. Istilah "karbon" berasal dari bahasa Latin carbo, yang
berarti batu bara (Fessenden, 1992).
Karbon mempunyai sifat fisik yang khas yaitu mempunyai dua bentuk
kristalin yaitu intan dan grafit. Titik leleh dan titik didih dari karbon sangat
tinggi. Atom karbon sangat kecil apabila dibandingkan dengan atom-atom
lainnya. Jari-jari ion yang dihitung dalam kristal unsur-unsur ini bahkan lebih
kecil lagi. Hal ini dikarenakan atom-atomnya berada dalam keadaan oksidasi
positif, karena rapatan muatan karbon, ion-ionnya tidak terdapat sebagai
partikel yang berdiri sendiri dalam senyawa, tetapi tertahan dengan ikatan
kovalen. Karbon sangat tidak reaktif pada suhu biasa. Apabila karbon
bereaksi, tidak ada kecenderungan dari atom-atom karbon untuk kehilangan
elektron-elektron terluar dan membentuk kation sederhana seperti C4+. Ion ini
akan mempunyai rapatan-rapatan muatan begitu tinggi (Fessenden, 1992).
Keistimewaan unsur karbon dibandingkan dengan unsur golongan IV A
yang lain adalah unsur karbon secara alamiah mengikat dirinya sendiri dalam
rantai, baik dengan ikatan tunggal C – C, ikatan rangkap dua C = C, maupun
ikatan rangkap tiga C ≡ C. Hal ini terjadi karena unsur karbon mempunyai
energi ikatan C – C yang kuat, yaitu sebesar 356 kj/ mol. Bentuk karbon yang
paling banyak dikenal adalah intan dan grafit . Susunan molekul intan lebih
rapat dibandingkan dengan grafit. Kerapatan intan adalah 3,51 g/cm3,
sedangkan grafit 2,22 g/cm3. Namun, grafit mempunyai kestabilan yang lebih
baik di alam,yakni pada 1 atm 300⁰K adalah 2,9 kj / mol. Dari rapatannya
17

tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mengubah grafit menjadi intan


diperlukan tekanan yang besar (Fessenden, 1992).

Gambar 4.3.6.1 Struktur Karbon


(Fessenden, 1992)

4.3.7 Cara Kerja


4.3.7.1 Rekristalisasi dengan Pelarut Air.
Sebanyak 5 g asetanilid kotor ditimbang dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 200 ml. Asetanilid berwarna cream. Lalu, sebanyak 50 ml air
panas ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai larut semua.
Air digunakan untuk melarutkan asetanilida karena air dan asetanilida sama-
sama bersifat polar. Sehingga, asetanilida dapat larut dalam air (Bird, 1987).

Gambar 4.3.7.1.1 Asetanilid dan bahan-bahan lainnya

Berdasarkan gambar 4.3.7.1.1, bahan-bahan apa saja yang digunakan


dalam praktikum ini dapat diketahui. Bahan-bahan yang digunakan
diantaranya adalah asetanilid, etanol, karbon, dan lain sebagainya.

Gambar 4.3.7.1.2 Penambahan air panas sebanyak 50 mL


18

Berdasarkan gambar 4.3.7.1.2, larutan yang terbentuk setelah ditambahkan


air panas sebanyak 50 mL menjadi berwarna keruh dan asetanilid belum larut
semua. Selanjutnya, sebanyak 5-7 ml air panas ditambahkan, lalu didihkan.
Jika larutan berwarna, ditambahkan 0,5-1 g karbon, lalu didihkan selama 5
menit.

Gambar 4.3.7.1.3 Penambahan air panas sebanyak 5-7 mL

Berdasarkan gambar 4.3.7.1.3, larutan yang terbentuk setelah ditambahkan


air panas sebanyak 5-7 mL menjadi berwarna keruh dan asetanilid sudah larut
semua. Hal ini dikarenakan, pemberian air panas bertujuan untuk
memperbesar kelarutan sehingga asetanilida dapat larut dalam air (Bird,
1987).

Gambar 4.3.7.1.4 Penambahan Karbon sebanyak 0,5-1 gram

Berdasarkan gambar 4.3.7.1.4, larutan menjadi berwarna, sehingga karbon


sebanyak 0,5-1 gram ditambahkan ke dalam larutan tersebut. Larutan berubah
warna menjadi berwarna hitam setelah ditambahkan karbon. Karbon
berfungsi untuk mengikat zat pengotor yang ada di dalam larutan atau
mengadsorpsi zat pengotor pada larutan tersebut (Chang, 2004). Setelah itu,
larutan dipanaskan dan didihkan selama 5 menit. Pemanasan ini bertujuan
untuk mempercepat terjadinya reaksi dan agar larutan tidak mengkristal
dengan arang (Bird, 1987).
19

Gambar 4.3.7.1.5 Proses pemanasan dan pembentukan kristal

Berdasarkan gambar 4.3.7.1.5, larutan setelah dididihkan menghasilkan


kristal murni. Selanjutnya, larutan disaring dalam keadaan panas dengan
corong Buchner. Hal ini bertujuan untuk memisahkan larutan dengan
pengotornya, selain itu apabila larutan didiamkan sampai dingin dan disaring,
terdapat kemungkinan kristal akan terbentuk kembali ketika keadaan dingin
(Bird, 1987). Kemudian, dicuci dengan sedikit air. Lalu, dikeringkan, dan
kristal yang terbentuk ditimbang

Gambar 4.3.7.1.6 Penimbangan Kristal Asetanilid

Berdasarkan gambar 4.3.7.1.6, didapatkan berat kristal dan kertas saring


sebesar 5, 8074 gram. Kemudian, titik lelehnya ditentukan, jika jarak leleh
masih lebar rekristalisasi diulangi. Perolehan kembali asetanilida kotor dan
rendemennya dihitung. Rendemen yang diperoleh adalah 96, 148%.
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal. Rendemen menggunakan satuan persen (%). Semakin tinggi
nilai rendemen yang dihasilkan, menandakan nilai ekstrak yang dihasilkan
semakin banyak (Armando, 2009).
Hasil percobaan ini berbeda dengan referensi dari Endelwais, 2016.
Rendemen yang dihasilkan dari referensi adalah 62, 98%. Perbedaan
rendemen dipengaruhi oleh perbedaan massa kertas saring. Dimana pada
referensi massa kertas saring sebesar 1, 086 gram. Selain itu, jumlah pengotor
dalam referensi jauh lebih besar dari percobaan yang telah dilakukan. Jumlah
pengotor dalam referensi adalah sebesar 1, 851 gram. Sedangkan, jumlah
pengotor dalam percobaan ini adalah 0, 1926 gram. Hal ini yang
20

menyebabkan rendemen dalam percobaan ini jauh lebih besar dibandingkan


dengan referensi. Zat pengotor sangat berpengaruh dalam kemurnian kristal
(Chang, 2004).

4.3.7.2 Rekristalisasi dengan Pelarut Organik.

Gambar 4.3.7.2.1 Naftalena kotor dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100


mL

Berdasarkan gambar 4.3.7.2.1, Naftalena berbentuk serbuk dan berwarna


putih. Naftalena kotor ditimbang, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml.
Lalu, sebanyak 20 ml etanol 95 % ditambahkan perlahan sambil diaduk.
Percobaan kristalisasi dalam pelarut organik menggunakan etanol sebagi
pelarutnya karena etanol mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Underwood,
2002):
1) Tidak dapat melarutkan naftalen pada suhu kamar, tetapi dapat
melarutkannya setelah dipanaskan.
2) Titik didih etanol lebih rendah yaitu kurang lebih 78ᵒC yang
mempermudah pengeringan kristal naftalen yang terbentuk, karena
etanol mudah menguap.
3) Etanol tidak bereaksi dengan naftalen karena titik didih etanol lebih
rendah dari titik didih naftalen, sehingga memudahkan naftalen terurai
menjadi senyawa lain.

Gambar 4.3.7.2.2 Larutan Naftalen+Etanol 95%


21

Berdasarkan gambar 4.3.7.2.2, larutan menjadi keruh setelah ditambahkan


etanol 95% sebanyak 20 mL. Kemudian, larutan dipanaskan dan didihkan
dalam penangas air. Setelah dipanaskan, naftalen dapat larut dalam etanol
95%. Pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat terjadinya reaksi dan agar
naftalena dapat larut dalam etanol (Chang, 2004).

Gambar 4.3.7.2.3 Larutan dipanaskan

Berdasarkan gambar 4.3.7.2.3, dapat diketahui bahwa selagi dipanaskan,


sebanyak 0,5 g karbon ditambahkan, diaduk dan didihkan selama 5 menit.
Larutan menjadi berwarna hitam. Karbon berfungsi untuk mengikat zat
pengotor yang ada di dalam larutan tersebut (Sciencelab, 2018). Selanjutnya,
larutan dididihkan. Hal ini bertujuan agar karbon aktif dapat menyerap
pengotor atau pewarna lebih sempurna (Fessenden, 1987). Lalu, larutan
disaring dalam keadaan panas, hal ini bertujuan untuk memisahkan larutan
dengan pengotornya, selain itu apabila larutan didiamkan sampai dingin dan
disaring, terdapat kemungkinan kristal akan terbentuk kembali ketika
keadaan dingin (Bird, 1987). Kemudian didinginkan, tujuan pendinginan ini
agar kristal dapat terbentuk. Setelah kristal terbentuk, didapat hasil berupa
kristal yang berukuran kecil seperti serbuk (Bird, 1987).

Gambar 4.3.7.2.4 Larutan disaring

Berdasarkan gambar 4.3.7.2.4, dapat diketahui bahwa semua kristal telah


terbentuk. Sehingga, larutan disaring menggunakan kertas saring dengan
corong Buchner. Setelah disaring, dibilas dengan 3 ml etanol dingin, lalu
dikeringkan. Kristal yang telah tersaring dibilas dengan etanol dingin murni
untuk menghilangkan kotoran yang menempel (Fessenden, 1987). Hasil
ditimbang dan titik lelehnya ditentukan.
22

Gambar 4.3.7.2.5 Hasil Penimbangan

Berdasarkan gambar 4.3.7.2.5, dapat diketahui bahwa berat dari kertas


saring dan kristal naftalena adalah 4, 6969 gram. Rendemen yang dihasilkan
adalah 73, 938%. Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang
diperoleh dengan simplisia awal. Rendemen menggunakan satuan persen
(%). Semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan, menandakan nilai
ekstrak yang dihasilkan semakin banyak (Armando, 2009).
Hasil percobaan ini belum sesuai dengan referensi dari Endelwais, 2016.
Rendemen yang dihasilkan dalam referensi adalah sebesar 96, 72%. Hal ini
dipengaruhi karena adanya perbedaan massa kertas saring dan jumlah zat
pengotor. Massa kertas saring dalam referensi adalah sebesar 1, 086 gram.
Lalu, jumlah pengotor dalam referensi adalah 0, 164 gram. Sedangkan,
jumlah pengotor pada percobaan ini adalah 1, 3031 gram. Hal ini yang
menyebabkan kadar kemurnian atau % Rendemen dari percobaan ini lebih
kecil dibandingkan dengan referensi. Zat pengotor sangat berpengaruh dalam
kemurnian kristal (Underwood, 2002).

4.3.7.3 Penentuan Titik Leleh.


Kristal hasil rekristalisasi (naftalena), resorsinol, asam ftalat dan asam
benzoat digerus secara terpisah. Hal ini bertujuan agar kristal yang masih
kasar dapat menjadi lebih halus (Bird, 1987).

Gambar 4.3.7.3.1 Kristal Hasil Rekristalisasi


23

Berdasarkan gambar 4.3.7.3.1, dapat diketahui kristal hasil dari


rekrstalisasi. Kristal di sebelah kanan adalah kristal Asetanilid dan kristal di
sebelah kiri adalah kristal Naftalen.

Gambar 4.3.7.3.2 Kristal yang sedang digerus

Berdasarkan gambar 4.3.7.3.2, kristal digerus agar dapat dimasukkan ke


dalam pipa kapiler. Kristal digerus secara terpisah.

Gambar 4.3.7.3.3 Kristal dalam Pipa Kapiler

Berdasarkan gambar 4.3.7.3.3, setelah digerus kristal dimasukkan ke


dalam pipa kapiler sampai tinggi 0,5 cm, kemudian pipa kapiler dipasang
pada alat penentuan titik leleh. Hal ini dilakukan untuk kedua kristal dari
asetanilida dan naftalena.

Gambar 4.3.7.3.4 Alat Penentuan Titik Leleh

Berdasarkan gambar 4.3.7.3.4, pipa kapiler yang sudah dimasukkan kristal


dimasukkan ke dalam alat penentuan titik leleh. Setelah itu, suhu saat kristal
dalam pipa kapiler mulai meleleh sampai tepat semuanya meleleh (= jarak
leleh) diperhatikan dan dicatat.
24

Gambar 4.3.7.3.5 Titik Leleh Naftalena

Berdasarkan gambar 4.3.7.3.5, kita dapat mengetahui titik leleh naftalena,


yaitu sebesar 82°C. Pengkuran titik leleh ini juga dilakukan untuk asetanilida,
sehingga dihasilkan titik leleh asetanilida adalah 114°C.
Hasil percobaan ini sudah sesuai dengan referensi dari Endelwais, 2016.
Titik leleh Asetanilida adalah 114°C dan titik leleh Naftalena adalah 82°C.
Perbedaan titik leleh suatu zat dipengaruhi oleh ukuran kristal, banyaknya
sampel, dan pemanasan dalam kapiler (Helda, 2014).
V. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1) Rekristalisasi adalah teknik pemurnian suatu zat padat dari campuran
atau pengotornya yang dilakukan dengan cara mengkristalkan kembali
zat tersebut setelah dilarutkan dalam pelarut (solven) yang sesuai atau
cocok.
2) Jenis pelarut berperan penting pada proses rekristalisasi karena pelarutan
merupakan faktor penting pada proses rekristalisasi. Kelarutan suatu
komponen dalam pelarut ditentukan olen polaritas masing masing.
Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan
melarutkan senyawa non-polar. Ada beberapa syarat agar suatu pelarut
dapat digunakan dalam proses rekristalisasi, yaitu memberikan
perbedaan daya larut yang cukup besar antara zat yang dimurnikan
dengan zat pengotor, tidak meninggalkan zat pengotor pada kristal, dan
mudah dipisahkan dari kristalnya.
3) Asetanilida
 %Rendemen= 96, 148%
 Titik leleh= 114°C
Naftalena
 %Rendemen= 73, 938%
 Titik leleh= 82°C

25
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, K. (2010). Kristalisasi Pelarut Suhu Rendah Pada Pembuatan Konsentrat


Vitamin E dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit: Kajian Jenis
Pelarut. Jurnal Teknologi Pertanian.Vol. 11 No. 1.
Alfina, dkk. (2013). Sintesis Asetanilida. Malang: Universitas Brawijaya.
Armando R. (2009). Memproduksi 15 Minyak Atsiri Berkualitas. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Austin, G.T. (1996). Industri Proses Kimia Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Bird, Tony. (1987). Kimia Fisika untuk Universitas. Jakarta: Gramedia.
Brady, James. (1998). Kimia Universitas Asas dan Struktur Edisi Kelima Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Chang, Raymond. (2004). Kimia Dasar dan konsep Inti Edisi Keempat. Jakarta:
Erlangga.
Damtith, J. (1994). Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Erlangga.
Donald M. W. (1980). Principles of Instrumental Analysis Second Edition. USA:
Saunders College.
Endelwais. (2016). Rekristalisasi dan Titik Leleh. Jambi: Universitas Jambi.
Fessenden, Ralph J., and Fessenden, Joan. (1992). Kimia Organik. Jakarta:
Erlangga.
Hambali, dkk. (2008). Teknologi Bioenergi .Cetakan ketiga. Jakarta:
PT.Agromedia Pustaka.
Handojo, L. (1995). Teknologi Kimia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Helda, Helen. (2014). Titik Didih dan Titik Leleh. Bali: Universitas Udayana.
Horizon. (2003). Analisa Kualitatif. Jakarta: Erlangga
Keenan. (1990). Kimia Untuk Universitas Jilid I Edisi VI. Jakarta: Erlangga
Kirk, R.E. dan Othmer, D.F. (1981). Encyclopedia of Chemical Engineering
Technology. New York: John Wiley and Sons Inc.
Listi. (2014). Sifat Fisik Zat. Bandung: Universitas Pasundan.
Maulin, Z. (2001). Crytalization 4 ed. Oxford: Butterworth-Heinemann.
Morrison, R.T. and Boyd, R.N. (1992). Organik Chemistry 5th Edition. London:
Brook cole.
Pinalia, A. (2011). Penentuan Metode Rekristalisasi Yang Tepat Untuk
Meningkatkan Kemurnian Kristal Amonium Perklorat (AP). Majalah Sains
dan Teknologi Dirgantara. Vol. 6 No. 2.
Puguh. Dkk, (2003). Studi Eksperimental Pemurnian Garam NaCl dengan Cara
Rekristalisasi. Surabaya: Universitas Surabaya
Rositawati, Agustina Leokrist., dkk. (2013). Rekristalisasi Garam Rakyat dari
Daerah Demak untuk Mencapai SNI Garam Industri. Jurnal Teknologi Kimia
Dan Industri. Vol. 2, No.4.

26
27

Svehla. (1979). Buku Ajar Vogel : Analisis Anorganik Kuntitatif Makro dan
Semimikro. Jakarta: PT Kalman Media Pusaka.
Underwood, A L. (2002). Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga.
Vogel. (1985). Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro
Edisi kelima Bagian I. Jakarta: PT Kalman Pustaka.
28

LAMPIRAN

Jawaban Pertanyaan.
1) Hal-hal yang harus dilakukan dalam rekristalisasi adalah
 Pelarut.
Pelarut merupakan salah satu hal yang paling penting dalam proses
Rekristalisasi. Ada beberapa syarat agar suatu pelarut dapat
digunakan dalam proses rekristalisasi yaitu memberikan perbedaan
daya larut yang cukup besar antara zat yang dimurnikan dengan zat
pengotor, tidak meninggalkan zat pengotor pada kristal, dan mudah
dipisahkan dari kristalnya.
 Tahap Rekristalisasi
Prinsip proses rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan zat pengotornya.
Berikut adalah taha-tahap dari rekristalisasi.
1. Pemilihan pelarut.
Pelarut yang terbaik adalah pelarut dimana senyawa yang dimurnikan
hanya larut sedikit pada suhu kamar tetapi sangat larut pada suhu yang
lebih tinggi, misal pada titik didih pelarut itu. Pelarut harus
melarutkan secara mudah zat-zat pengotor dan mudah menguap,
sehingga dapat dipisahkan secara mudah dari materi yang dimurnikan.
Titik didih pelarut harus lebih rendah dari titik leleh padatan untuk
mencegah pembentukan minyak.
2. Kelarutan senyawa padat dalam pelarut panas.
Padatan yang akan dimurnikan dilarutkan dalam sejumlah minimum
pelarut panas. Sedikit pelarut ditambahkan pada titik didihnya sampai
terlihat bahwa tidak ada tambahan materi yang terlarut lagi. Hindari
penambahan berlebih.
3. Penyaringan larutan.
Larutan jenuh yang telah dipanaskan selanjutnya disaring
menggunakan kertas saring yang ditempatkan dalam suatu corong.
4. Kristalisasi.
Filtrat hasil penyaringan selanjutnya dibiarkan kering. Zat padat
murni akan memisah sebagai kristal. Kristalisasi sempurna jika kristal
yang terbentuk banyak. Larutan harus dalam keadaan jenuh karena
jika larutan telah mencapai derajat saturasinya, maka di dalam zat
padat akan terbentuk zat padat kristal. Apabila kristalisasi tidak
terbentuk selama pendinginan filtrat dalam waktu cukup lama maka
larutan harus dibuat lewat jenuh.
5. Pemisahan dan pengeringan kristal
29

Kristal dipisahkan dari larutan induk dengan penyaringan.


Penyaringan umumnya dilakukan di bawah tekanan menggunakan
corong Buchner. Kristal yang telah tersaring dicuci dengan pelarut
dingin murni untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Kristal
kemudian dikeringkan dengan menekan kertas saring atau dioven.
2) Syarat-syarat pelarut yang dapat digunakan dalam proses Rekristalisasi:
1. Tidak bereaksi dengan zat padat yang akan direkristalisasi.
2. Zat padatnya harus mempunyai kelarutan terbatas (sebagian) atau
relatif tak larut dalam pelarut.
3. Zat padatnya mempunyai kelarutan yang tinggi (larut baik) dalam suhu
didih pelarutnya pada suhu kamar atau suhu kristalisasi.
4. Titik didih pelarut tidak melebihi titik leleh zat padat yang akan
direkristalisasi.

Anda mungkin juga menyukai