Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PRODUKTFITAS PERAIRAN LENTIK ( DANAU DAN KOLAM)

OLEH :

RIVALDY ARDIANSYAH IBRAHIM (05162111003)

SARMIANTI GOSORA (05162111019)

RISKA DUWILA (05162111011)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.
Kami sebagai Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perairan tawar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu perairan lentik dan
perairan lotik. Perairan lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau tenang
seperti danau, situ, rawa, waduk atau telaga. Adapun perairan lotik merupakan suatu
habitat perairan yang mengalir seperti sungai dan kanal. Situ merupakan salah satu tipe
perairan lentik, dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai telaga atau danau,
namun biasanya situ lebih kecil ukurannya dibandingkan danau. Menurut Kasasiah et al.
(2009), tipe perairan menggenang seperti rawa dan situ dicirikan dengan tepian yang
landai, kedalaman < 10 m, fluktuasi air 2–5 m, daerah derodon luas, daerah tangkap
hujan sedang, masa simpan air sedang, pengeluaran air atas.
Situ umumnya mendapatkan sumber air dari aliran anak sungai di sekitarnya
(inlet) atau sumber mata air di dalam situ yang biasanya tidak terlalu dalam. Situ idealnya
juga merupakan suatu tipe perairan tawar yang berfungsi sebagai cadangan air bersih
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dasar perairan situ biasanya pasir berlumpur
atau lumpur. Tumbuhan air seperti eceng gondok, kangkung, hydrilla, dan teratai
umumnya mendominasi permukaan air situ. Di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi) pada tahun 1997 tercatat 199 situ namun hanya 20% yang
dikategorikan baik, 68% (135 situ) dalam keadaan rusak, sisanya 12% mengalami
pendangkalan bahkan hilang (Zahid, 2003).
Ekosistem lentik merupakan suatu perairan tenang yang memiliki ciri aliran air
lambat atau bahkan tidak terdapat aliran air sama sekali, sehingga massa air terakumulasi
dalam periode waktu yang lama di dasar perairan (Odum,1996). Minimnya pergerakan
arus pada ekosistem lentik, bukan merupakan faktor pembatas utama bagi biota yang ada
didalamnya. Sementara suhu, kekeruhan, kecerahan, kandungan oksigen, penetrasi
cahaya, dan kompetitor menjadi faktor determinan bagi kehidupan organisme pada
ekosistem lentik (Basmi,1995). Dibandingkan ekosistem lotik yang arusnya relatif selalu
bergerak, konsentrasi oksigen terlarut pada ekosistem lentik umumnya lebih sedikit. Hal
ini karena konsentrasi oksigen terlarut dipengaruhi oleh pergerakan massa udara dan air
seperti turbulensi dan arus (Salmin, 2005).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa – apa saja yang termasuk dalam ekosistem aquatic ( danau,kolam)
1.3 Tujuan
1. Untuk apa saja yang termasuk dalam ekosistem aquatik ( danau, kolam)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 produktifitas perairan lentik
Produktivitas primer dari suatu ekosistem didefinisikan sebagai jumlah energi cahaya
yang diserap dan kemudian disimpan oleh organisme-organisme produser melalui kegiatan
fotosintesis dan kemosintesis dalam suatu periode waktu tertentu (Widianingsih, 2002).
Pengukuran kandungan klorofil-a fitoplankton merupakan salah satu alat pengukuran
kesuburan suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk produktivitas primer. Klorofil-a
fitoplankton adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan yang mempunyai peran penting
dalam berlangsungnya proses fotosintesis perairan (Sediadi dan Edward, 1993).
Waduk merupakan perairan yang tenang (lentik), sehingga tingginya aktivitas penduduk
disekitar waduk akan menyebabkan beban masukan berupa limbah pertanian (pestisida),
limbah rumah tangga (domestik) serta limbah dari aktivitas wisata yang berada ditengah-
tengah waduk semakin tinggi. Sehingga menyebabkan terjadinya perubahan fisik kimia yang
akan mempengaruhi produktivitas primer perairan. Selain itu tingginya nilai produktivitas
primer juga dipengaruhi oleh kedalaman dan kandungan klorofil-a dalam perairan.
Kedalaman suatu perairan akan berpengaruh terhadap masuknya cahaya matahari kedalam
perairan tersebut, semakin dalam perairan maka akan berpengaruh pada kemampuan
fitoplankton dalam berfotosintesis. Hal ini akan mempengaruhi nilai produktivitas primer
dalam perairan, sehingga penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui pengaruh
kedalaman dan kandungan klorofil-a suatu perairan dapat berpengaruh terhadap nilai
produktivitas primer di waduk.

2.2 sumber nutrien


Kondisi lingkungan perairan danau di Indonesia saat ini telah banyak mengalami
degradasi, baik kualitas maupun kuantitasnya. Berbagai aktivitas antropogenik telah diketahui
banyak memberikan pengaruh terhadap kerusakan ekosistem perairan danau, salah satunya
adalah kesuburan perairan (eutrofikasi) yang disebabkan oleh masukan unsur hara yang tinggi
(Huismans, 1992). Proses eutrofikasi terjadi karena proses alami dalam waktu yang cukup lama.
Namun, aktivitas manusia telah mempercepat laju dan luas eutrofikasi melalui masukan point

Danau Tempe merupakan salah satu danau bertipe paparan banjir (flood plain) yang
berada di Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap, dan Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi
Selatan. Danau Tempe yang terbentuk dari depresi lempeng bumi Asia-Australia ini terletak di
wilayah Sungai Walannae Cenranae pada ketinggian 10 m dpl dengan daerah tangkapan air
seluas 4.587 km2 . Pada musim hujan, luas permukaan danau adalah 48.000 ha dan menggenangi
areal persawahan, perkebunan, rumah penduduk, prasarana jalan dan jembatan, serta prasarana
sosial lain yang menimbulkan kerugian yang cukup besar (Pusat Penelitian Limnologi, 2012).
Pada musim kering, luas danau hanya mencapai 1.000 ha, sedangkan luas danau pada kondisi
normal berkisar 15.000–20.000 ha (Suwanto et al., 2011). Luas area pasang surutnya dapat
mencapai lebih dari 18.000 ha yang sebagian besar dapat dimanfaatkan untuk pertanian tanaman
palawija. Selain itu, ciri-ciri danau ini adalah landai, dangkal, dan banyak ditumbuhi oleh
tumbuhan air (Wardoyo et al., 1995).source dan non-point source dari nutrien seperti nitrogen
dan fosfor ke dalam ekosistem perairan (Carpenter et al., 1998).
2.3 kondisi lingkugan
Ekosistem perairan tawar merupakan sumber daya yang terbatas dan sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan populasi makhluk hidup seiring dengan adanya peningkatan konsumsi
(Metcalfe et al. 2013).
Sungai sebagai suatu ekosistem air tawar, tersusun dari komponen biotik dan abiotik dan
setiap komponen tersebut membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi,
sehingga membentuk suatu aliran energi yang dapat mendukung stabilitas pada ekosistem
tersebut (Suwondo et al. 2004).
Makrozoobentos merupakan hewan yang hidup menetap di sedimen pada dasar perairan,
baik pada kondisi substrat lunak maupun substrat keras (Purnami et al. 2010).
Makrozoobentos berkontribusi sangat besar terhadap fungsi ekosistem perairan dan
memegang peranan penting seperti proses mineralisasi dalam sedimen dan siklus material
organik (Vyas dan Bhawsar 2013), serta berperan dalam mentransfer energi melalui rantai
makanan (Sharma et al. 2013).
Sebagian besar hewan ini digunakan sebagai indikator biologi untuk mengamati
penurunan kualitas air, terutama akibat pencemaran bahan organik (Sudarso 2009), serta
melihat pengaruh perubahan lingkungan yang terjadi terhadap biota perairan, khususnya
makrozoobentos, sehingga hewan ini sangat memungkinkan untuk menjelaskan perubahan
lingkungan yang terjadi, baik secara spasial maupun temporal.
2.4 jenis organisme( keraman hayati)
Dari catatan yang dikumpulkan oleh Fishbase, spesies ikan yang ada di Indonesia
berjumlah 1193 spesies (Froese & Pauly 2013). Hal ini mendekati perkiraan Kottelat &
Whitten (1996) bahwa jumlah spesies ikan air tawar di Indonesia lebih kurang sebesar 1300
spesies. Keanekaragaman spesiesikan air tawar Indonesia nomor tiga terkaya di dunia di
bawah0101(Froese & Pauly 2013).
Para ahli memperkirakan masih ada sekitar ratusan spesies ikan di wilayah Indonesia
yang belum ditemukan dan dideskripsikan. Penemuan spesies baru dan revisi terhadap
spesies yang ada terus berlangsung. Ini dapat dilihat antara lain dari tulisan Hadiaty &
Siebert (1998), Hadiaty & Siebert (2001), Ng et al. (2004), dan Page et al. (2007).Penemuan
spesies baru terus berlangsung. Salah satu yang monumental adalah ditemukannya spesies
terkecil di dunia (Paedocypris progenetica) di perairan rawa-rawa Jambi. Ikan ini
telahmencapai matang gonad pada panjang 0,76 cm (Kottelat et al. 2005).
2.5 Rantai makanan
1. Pengertian Rantai Makanan
Semua makhluk hidup membutuhkan makanan untuk memberi mereka energi untuk
tumbuh dan bergerak. Rantai makanan menunjukkan bagaimana setiap makhluk hidup
mendapatkan makanannya. Rantai makanan adalah perjalanan memakan dan dimakan
dengan urutan tertentu antarmakhluk hidup. Proses makan dan dimakan ini berlangsung
secara terus-menerus dengan perannya masing-masing, seperti produsen, konsumen, dan
pengurai atau dekomposer.
2. Pengertian jaring-jaring makanan
Jaring-jaring makanan merupakan sekumpulan rantai makanan yang saling berhubungan.
Jaring-jaring makanan akan mencapai keseimbangan jika produsen, konsumen tingkat
pertama, konsumen tingkat kedua, konsumen tingkat ketiga dan seterusnya membentuk
piramida makanan. Piramida makanan menunjukkan bahwa di dalam ekosistem jumlah
produsen lebih besar daripada konsumen tingkat pertama, jumlah konsumen tingkat pertama
lebih besar daripada konsumen tingkat kedua, dan seterusnya. Keseimbangan antara
produsen, konsumen, pengurai, dan lingkungan abiotiknya sangat diperlukan agar kehidupan
yang wajar dapat berlangsung.
Jaring-jaring makanan terdiri atas lima rantai makanan yang tergabung menjadi suatu
ekosistem. Rantai makanan di dalam jaring-jaring makanan tersebut, terdiri atas rantai
makanan bunga sepatu → ulat → burung pipit → elang, rantai makanan sawi → ulat →
burung pipit → elang, rantai makanan sawi → belalang → burung pipit → elang, rantai
makanan sawi → belalang → katak → elang, dan rantai makanan sawi → tikus → elang.

3. Komponen dalam Rantai Makanan


a. Produsen adalah organisme yang mampu membuat makanannya sendiri.
Keberadaannya tidak bergantung pada ketersediaan makanan, akan tetapi keseimbangan
alam. Maka dari itu produsen tidak memakan makhluk lainnya. Produsen juga makhluk
hidup yang dapat membuat zat anorganik. Biasanya produsen membuat makanan sendiri
dengan proses fotosintesis. Contoh produsen diantaranya tanaman hijau, alga, dan lumut. Di
lautan, yang menjadi produsen adalah fitoplankton. Fitoplankton ialah sekumpulan tumbuhan
hijau yang ukurannya sangat kecil dan melayang-layang dalam air.
b. Konsumen yaitu makhluk hidup yang bergantung pada makhluk hidup lain karena
tidak bisa memproduksi makanan sendiri. Maka dari itu untuk menjaga kelangsungan
hidupnya, konsumen bergantung pada organisme lain. Peran konsumen di dalam sebuah
ekosistem biasanya adalah hewan.
C. Rantai makanan di danau
1) Sinar matahari pada rantai makanan ini berfungsi untuk memberikan energi pada alga agar dapat
melangsungkan proses fotosintsesi.
2) Alga berperan sebagai produsen karena dapat membuat makanan sendiri untuk memenuhi
kebutuhan energi.
3) Kemudian ikan akan menjadikan alga sebagai makanan sehingga ikan merupakan konsumen
pertama..
4) Ikan yang ada pada ekosistem sungai akan dimakan oleh burung bangau, maka burung bangau
berperan sebagai konsumen kedua.
5) Buaya akan memanfaatkan burung bangau sebagai makanannya dan buaya menjadi konsumen
ketiga.
6) Buaya yang mati akan diuraikan oleh organisme pengurai seperti bakteri, jamur, dan lainnya.

2.6 Upaya pengelolaan produktifitas perairan ekosistem


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut sekitar 3,1 juta
km2. Selain itu, Indonesia memiliki kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEEI) seluas 2,7 juta km2 dalam hal eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumber daya
hayati dan non-hayati, penelitian, dan yurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan.
Indonesia juga memiliki sumberdaya perairan darat berupa sungai, waduk, dan rawa yang
luasnya sekitar 141.690 ha. Hingga saat ini, wilayah perairan laut dan darat tersebut, selain
belum memberikan kontribusi sebagaimana yang diharapkan terutama dalam hal peningkatan
Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, juga sering dikelola kurang ramah lingkungan.
Pengelolaan yang kurang ramah lingkungan tersebut sering terjadi tanpa disadari akibat
kurangnya pemahaman tentang aspek ekologi dari sumber daya ekosistem perairan tropis
yang ada di dalamnya. Untuk itu, saya menyambut baik penerbitan buku Ekologi Perairan
Tropis: Prinsip Dasar Pengelolaan Sumber Daya Hayati Perairanyang ditulis oleh Saudara
Husain Latuconsina. Buku ini dapat memberi pemahaman dasar tentang konsep ekologi pada
ekosistem perairan tropis yang terdapat di wilayah Indonesia.
Pengelolaan sumberdaya alam seharusnya dilakukan dengan pendekatan ekonomi
sumberdaya alam. Sumberdaya alam seharusnya dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk
kesejahteraan generasi sekarang dan generasi yang akan datang (sustainable). Ilmu ekonomi
sumberdaya telah dimulai pada tahun 1970-an, dengan tujuan efesiensi (antar penduduk),
optimality (antar sumberdaya) dan sustainabilility (antar generasi). Ekonomi sumberdaya
dilandasi suatu sistem etika yang termasuk dalam teleological ethic, yakni utilitarianism
bahwa sumberdaya alam haruslah memberikan kesejahteraan (utilitas) untuk sebagian besar
masyarakat (Sahat, 2006).
Sumber kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya di Indonesia adalah, pemerintah
kurang mengawasi dampak yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan eksploitasi yang
dilakukan. Disamping itu peta yang merekam kondisi sumberdaya tidak/belum tersedia
dengan lengkap, yang merupakan bukti yang penting untuk menilai kerusakan lingkungan.
Informasi-informasi ini seharusnya dijadikan sebagai bahan untuk menentukan kebijakan.

BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Carpenter SR, NF Caraco, DL Corell, RW Howarth, AN Sharpley & VH Smith. 1998. Nonpoint
pollution of surface waters with phosphorus and nitrogen. Ecological Applications, 8:
559–568.
Kasasiah A, DI Hartoto, F Yulianda, Haryono, dan M Marzuki. 2009. Pedoman Penilaian
Kerusakan habitat Sumberdaya Ikan di Perairan Daratan, 92. Jakarta : Dirjen Kelautan,
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
Salmin. (2005). Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah
Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, XXX (3). 21 – 26.
Sediadi, A. dan Edward. 1993. Kandungan Klorofil-a Fitoplankton di Perairan Pulau-pulau
Lease Maluku Tengah. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta
Suwondo, Febrita E, Dessy et al. 2004. Kualitas Biologi perairan Sungai Senapelan, Sago dan
Sail di Kota Pekanbaru berdasarkan bioindikator plankton dan bentos. Biogenesis 1 (1):
15-20.
Shoko APA, Ngowo RR, Waya RK. 2005. Deleterious effects of nonnative species introduced
into Lake Victoria, East Africa. Naga, 28 (3 & 4): 27 – 32
Sahat MHS. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam Kelautan .Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya
Kelautan Tropika. Syaodih, Nana. (2009). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Vyas V, Bhawsar A. 2013. Benthic community structure in Barna stream network of Narmada
River Basin. Int J Environ Biol 3 (2): 57-63. Ward HB, Keith GM. 1959. Freshwater
Biology. 2nd ed. Jonh Wiley & Sons, Inc., New York.
Widianingsih, N. 2002. Produktivitas Primer Fitoplankton Tambak Udang (Penaeus monodon) di
Desa Ayah Kabupaten Kebumen. Purwokerto
Zahid A. 2003. Revitalisasi Pengelolaan Situ-situ Secara Terpadu. Dalam: Manajemen
Bioregional Jabodetabek : Tantangan dan Harapan. R Ubaidillah, I Maryanto, M Amir, M
Noerdjito, EB Prasetyo, R Polosakan (Penyunting), 229–242. Pusat Penelitian Biologi,
LIPI. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai