Anda di halaman 1dari 38

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kolam merupakan badan air tergenang buatan manusia yang memiliki ekologis

hampir sama dengan danau. Kolam dibangun sebagai sarana budidaya berbagai macam

jenis ikan dengan sumber air umumnya berasal dari waduk atau sungai yang dialirkan

ke kolam-kolam melalui saluran irigasi, baik yang dibangun khusus untuk mengairi

kolam, maupun saluran irigasi yang dibangun untuk mememuhi kebutuhan air bagi

lahan pertanian secara umum. Kolam termasuk dalam sistem perairan lentik yang

dicirikan dengan air yang menggenang atau tidak berarus (Ningsih, 2013).

Sebagai sarana budidaya, kolam memiliki berbagai aspek yang harus dikontrol

agar menjamin kehidupan ikan maupun organisme yang ada didalamnya. Permasalahan

yang sering terjadi antara lain terjadinya eutrofikasi yang nantinya akan mempengaruhi

kualitas air baik dari segi fisika, kimia maupun biologinya. Kualitas air penting untuk

dikontrol dalam kolam budidaya ikan mengingat kolam merupakan suatu ekosistem

yang mudah mengalami perubahan baik dari segi fisika, kimia maupun biologi. Salah

satu parameter yang mendasar pada ekosistem kolam adalah sifat fisika.

Sifat fisika menjadi parameter penting mengingat sifat fisika merupakan sifat

yang mendasar dan nantinya akan memengaruhi sifat kimia maupun biologinya.

Analisis sifat fisika dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran dan pengamatan

parameter fisika kualitas air. Parameter fisika kualitas air menggambarkan kondisi yang

dapat dilihat secara visual/kasat mata yang meliputi suhu, kekeruhan, kandungan

padatan terlarut, rasa, bau, warna dan sebagainya.

I.2 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah :

1. Mengetahui sifat fisika air kolam pendederan ikan nila di BBI Pandak Baturraden

1
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fisika air kolam pendederan

ikan nila di BBI Pandak Baturraden

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kolam

2.1.1. Kolam Pendederan

Kolam dalam pengertian teknis adalah suatu perairan buatan yang luasnya

terbatas, sengaja dibuat manusia dan mudah dikuasai. Mudah dikuasai dalam artian

mudah untuk dikeringkan, diisi air dan diatur menurut kita. Kolam pendederan

berfungsi untuk mendederkan atau membesarkan larva ikan menjadi bibit ikan yang

siap untuk dibesarkan (Susanto, 2008). Kolam pendederan termasuk dalam ekosistem

perairan lentik karena perairannya yang termasuk menggenang.

2.1.2. Karakteristik Kolam Pendederan

Kolam pendederan biasanya berukuran antara 250 – 600m 2. Kolam pendederan

biasanya terdiri lebih dari satu kolam, yaitu kolam pendederan I, kolam pendederan II

dan sebagainya (Susanto, 2008). Kolam pendederan haruslah memiliki substrat/tanah

yang subur agar pakan alami ikan dapat tumbuh, tekstur tanahnya liat berpasir dengan

pH 6-8. Kolam memiliki saluran inlet dan outlet, dimana inlet lebih tinggi daripada

outlet.

II.2 Sifat Fisik Kolam

2.2.1. Suhu

Suhu merupakan suatu petunjuk yang berguna dari perubahan kondisi lingkungan.

Temperatur air, terutama lapisan permukaan, ditentukan oleh pemanasan matahari yang

intensitasnya senantiasa berubah terhadap waktu (Bhagawati et al., 2013). Suhu suatu

badan perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu

dan hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman badan perairan

(Umiatun et al., 2017).

3
Suhu mempunyai pengaruh yang nyata terhadap proses pertukaran atau

metabolisme mahluk hidup. Selain mempengaruhi proses pertukaran zat, suhu juga

berpengaruh terhadap kelarutan oksigen yang terlarut dalam air, juga berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan nafsu makan ikan (Pujiastuti et al., 2013 dalam Tokah et al.,

2017). Selain itu, suhu sangat berpengaruh terhadap tingkat kelarutan oksigen dalam air,

dimana semakin tinggi suhu semakin rendah tingkat kelarutan oksigen yang pada

akhirnya berdampak pada konsentrasi DO dalam air (Tokah et al., 2017).

2.2.2. Kecerahan

Penetrasi cahaya dapat pula disebut kecerahan. Kecerahan merupakan ukuran

transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disc.

Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan (Sayekti et al., 2015). Kemampuan

penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan  mempengaruhi distribusi

dan intensitas fotosintesis tumbuhan air di badan perairan. Berkurangnya  cahaya

matahari disebabkan karena banyaknya faktor antara lain adanya bahan yang  tidak larut

seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisma air yang mengakibatkan  air menjadi

keruh.  Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan jasad

termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas perairan.

Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang sangat menentukan

laju produktivitas primer perairan, sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis

(Boyd, 1982 dalam Yumame, 2013).

2.2.3. Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan

banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam

air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik yang tersuspensi

maupun terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik seperti plankton dan

4
mikroorganiasme lainnya (Irawan dan Lily, 2013). Mengukur kekeruhan berarti

menghitung banyaknya bahan-bahan terlarut di dalam air, misalnya lumpur, alga

(ganggang), detritus dan bahan-bahan kotoran lainnya. Danau yang keruh

menyebabkan cahaya matahari yang masuk ke permukaan air berkurang mengakibatkan

menurunnya proses fotosinstesis oleh tumbuhan air sehingga suplai oksigen yang

diberikan oleh tumbuhan dari proses fotosintesis berkurang. Bahan-bahan terlarut dalam

air juga menyerap panas yang mengakibatkan suhu air meningkat sehingga jumlah

oksigen terlarut dalam air berkurang (Effendi, 2003 dalam Urbasa, 2015).

2.2.4. Kedalaman

Kedalaman merupakan parameter fisik yang menunjukan ukuran ketinggian air

dari dasar perairan. Kedalaman sangat mempengaruhi suatu budidaya perikanan

khususnya untuk kegiatan budidaya di karamba jaring apung. Kedalaman minimum

untuk kegiatan budidaya menggunakan karamba jaring apung adalah 2 meter dari dasar

perairan (Hasim, 2015).

Kedalaman suatu perairan akan mempengaruhi jumlah jenis organisme biotik.

Kedalaman perairan merupakan faktor pembatas kesuburan perairan, karena mikroalga

banyak dijumpai pada kedalaman <1 m pada kedalaman tersebut merupakan daerah

transparasi matahari (Johan, 2011 dalam Murti, 2015). Perairan dangkal cenderung

memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan yang lebih

dalam (Wetzel, 2001 dalam Murti, 2015).

2.2.5. TDS (Total Dissolved Solid)

TDS (Total Dissolved Solid) adalah ukuran zat terlarut (baik itu zat organik

maupun anorganik, misalnya garam dan sebagainya) yang terdapat pada sebuah larutan.

TDS meter menggambarkan jumlah zat terlarut dalam part per million (ppm) atau sama

dengan milligram per Liter (mg/L). Umumnya berdasarkan definisi di atas seharusnya

5
zat yang terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati saringan yang berdiameter 2

micrometer (2×10-6 meter) (Agustira, 2013).

Semakin banyak sisa makanan ikan yang mencemari air maka semakin banyak

jumlah padatan terlarut yang terkandung di dalamnya, sehingga semakin buruk

kualitas air tersebut. Total padatan terlarut (Total Dissolved Solid) merupakan salah

satu indikator tingkat pencemaran air yang sering dianalisis. Penyebab kenaikan nilai

TDS adalah padatan terlarut yang terkandung pada larutan, sementara nilai

konduktivitas listrik pada perairan dipengaruhi oleh jumlah ion yang terkandung pada

perairan tersebut. Semakin banyak jumlah padatan terlarut maka semakin banyak

jumlah ion pada suatu larutan, karena jumlah padatan terlarut mengandung ion-ion yang

tersusun menjadi senyawa pada padatan terlarut tersebut. Sehingga nilai TDS dan

konduktivitas listrik kemungkinan akan memiliki hubungan yang sebanding (Arlindia,

2015).

2.2.6. Konduktivitas

Konduktivitas (Daya Hantar Listrik) adalah gambaran numerik dari kemampuan

air untuk meneruskan aliran listrik, oleh karena itu semakin banyak garam-garam

(mineral) terlarut yang dapat terionisasi semakin tinggi pula nilai DHLnya (Irawan dan

Lily, 2013). Besarnya nilai DHL bergantung kepada kehadiran ion-ion anorganik,

valensi, suhu, serta konsentrasi total maupun relatifnya. Selain itu, besarnya daya hantar

listrik bergantung pada kandungan ion anorganik (TDS) yang disebut juga materi

tersuspensi.

Nilai konduktivitas erat kaitannya dengan TDS dan ion utama perairan, karena

semakin tinggi TDS dan ion utama makan daya hantar listrik atau konduktivitas dari air

tersebut juga semakin tinggi. Jumlah konduktivitas terlarut terkait dengan konsentrasi

total padatan terlarut dan ion utama. Konduktivitas untuk air tawar berkisar antara 10

6
sampai 1000 µmhos/cm, tetapi dapat melebihi 1.000 µmhos/cm, terutama di perairan

tercemar, atau perairan yang menerima jumlah run off yang besar dari tanah (Tassema,

2014).

2.2.7. Tipe Substrat

Substrat dasar perairan merupakan salah satu potensi abiotik yang luar biasa.

Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah bagi sebagian

besar organisme akuatik (Susanto, 2000 dalam Ningsih et al., 2013). Selain itu dasar

perairan memiliki komposisi yang sangat kompleks mulai dari substrat berukuran kecil

sampai batu-batuan (Ningsih et al., 2013).

2.2.8. Bau

Air yang baik memiliki ciri tidak berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat.

Air yang berbau busuk mengandung bahan organik yang sedang mengalami

dekomposisi (penguraian) oleh mikroorganisme air (Santoso, 2010 dalam Rusdiana et

al., 2015). Bau dan rasa dapat dihasilkan oleh kehadiran organisme dalam air seperti

alga serta oleh adanya gas seperti H2S yang terbentuk dalam kondisi anaerobik dan oleh

adanya senyawa senyawa tertentu .

2.2.9. Warna

Pengamatan terhadap warna air pada praktikum ini yaitu pengamatan secara

langsung di lapangan. Warna perairan dikelompokkan menjadi dua yaitu, warna

sesungguhnya/sejati (true color) dan warna tampak/tampak (apparent color). Warna

sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut.

Sedangkan warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh bahan

terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi. Warna perairan juga dapat disebabkan oleh

peledakan (blooming) fitoplankton (Effendi, 2003).

7
III. MATERI DAN METODE

III.1 Materi

3.1.1 Alat

Tabel 1. Alat Praktikum

No. Nama alat Ukuran/Jumlah Merek Fungsi

1. Keping Secchi Diameter 25 - Alat untuk mengukur

cm / 1 buah penetrasi cahaya dan

kedalaman

2. Termometer Celcius 1 buah - Alat untuk mengukur

suhu

3. Turbidimeter 1 buah Lutron TU- Untuk mengukur nilai

2016 kekeruhan

4. TDS meter 1 buah Lutron YK- Untuk mengukur TDS

22CT. dan DHL

5. Gelas Piala 50 ml/ 1 buah - Sebagai tempat

sampel

8
3.1.2 Bahan

Tabel 2. Bahan Praktikum

No. Nama bahan Ukuran/Jumlah Merek Fungsi

1. Kolam pendederan - - Media pengukuran

ikan dan pengamatan

2. Sampel air - - Sampel yang akan

diukur dan diamati

III.2 Metode

3.2.1 Suhu

Termometer dengan bantuan tali nilon dicelupkan pada badan perairan yang akan

diteliti selama ±10 menit, kemudian setelah skala menunjukkan angka yang konstan data

dicatat.

3.2.2 Kecerahan

Alat secchi disk diturunkan ke suatu kedalaman air tertentu, yaitu sampai tepat

hilang dari pandangan, catat kedalamannya (X1). Setelah itu, turunkan secchi disk

sampai dasar perairan dan angkat kemballi secchi disk sampai batas awal keping terlihat

pertama kali, catat kedalamannya (X2).

Rumus perhitungan

( X 1 ) +( X 2)
PC =
2

X1 = Pembacaan Secchi disk awal tidak terlihat (m)

X2 = Pembacaan Secchi disk awal terlihat (m)

3.2.3 Kekeruhan

Turbidimeter dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan standar (0 NTU atau 100

NTU), setelah itu kuvet diisi dengan air sampel, diukur dan dicatat hasilnya.

9
3.2.4 Kedalaman

Secchi disk diturunkan sampai dasar perairan, kemudian dicatat hasilnya.

3.2.5 TDS (Total Dissolved Solid)

TDS meter dikalibrasi dengan larutan standar, setelah itu kuvet diisi dengan air

sampel, diukur dan dicatat hasilnya.

3.2.6 Konduktivitas

TDS meter dikalibrasi dahulu dengan larutan standar, lalu kuvet diisi dengan air

sampel, diukur dan dicatat hasilnya.

3.2.7 Tipe Substrat

Penentuan tipe substrat dilakukan secara organoleptik dengan meraba substrat

perairan dan dengan bantuan indra penglihata, lalu dicatat.

3.2.8 Bau

Pengamatan warna air menggunakan organoleptik. Sampel air yang akan diteliti

diambil dengan botol sampel lalu bau air ditentukan sedini mungkin setelah sampel air

diambil. Periksa botol sampel secara organoleptik dengan bantuan hidung (minimal 5

orang) untuk menentukan bau apakah spesifik atau tidak dan dicatat.

3.2.9 Warna

Pengamatan warna air menggunakan organoleptik. Warna yang tampak dapat

berupa coklat, merah, hitam, bening dan sebagainya dicatat. Pengamatan warna

dilakukan oleh minimal 5 orang.

III.3 Waktu dan Tempat

Waktu pelaksanaan praktikum adalah pada hari Jumat, 31 Maret – 1 April 2017,

pengambilan sampel dilakukan selama 4 kali dengan interval waktu 6 jam sekali, yaitu

pukul 19.00 WIB, 01.00 WIB, 07.00 WIB dan 13.00 WIB. Tempat pelaksanaan di

Kolam Pendederan Ikan Nila (Oreochromis nioticus) di BBI Pandak Baturraden

10
3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif komparatif menggunakan diagram

batang untuk mengetahui nilai parameter sifat fisik antar waktu dibandingkan dengan

standar baku mutu kualitas air.

11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

Tabel 3. Sifat Fisika Kolam Pendederan Ikan Nila BBI Pandak Baturraden.

Waktu Sampling Stan-


dar
Parameter Satuan Pustaka
19.00 01.00 07.00 13.00 Baku
Mutu
20- Ali et al.,
Suhu 0
C 28 27 26 35
300C 2013
Kecerahan cm - - 35 28 20 – 35 Kemal, 2000
Kusumaningr
Kekeruhan NTU 7,77 5,2 5,53 9,14 <30 um et al.,
2013
Kedalaman cm 35 35 30 30 >25 Mas’ud, 2014
PP No. 82
TDS mg/L 57,3 57,3 59,6 57 <1000
Tahun 2001
Boyd, 1988
dalam
20-
Konduktivitas µmHos/cm 86,3 85,7 89 86 Suryono dan
1500
Badjoeri,
2013
Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah
Haslinda,
Tipe Substrat - Berlum berlum berlum Berlum- liat/lem
2013
pur pur pur pur pung
Pupuk
Dedaun- Tidak
Bau - Kan- Amis Amis Effendi, 2004
an Berbau
dang
Warna - - - Hijau Hijau - -

12
4.1 Pembahasan

4.2.1. Suhu

Pemeliharaan ikan memerlukan pengontrolan yang baik terhadap beberapa

parameter salah satunya suhu air. Salah satu parameter yang penting adalah suhu air

kolam. Suhu air kolam ini sangat berpengaruh karena memiliki dampak terhadap

organisme yang ada dalam kolam. Suhu mempunyai dampak yang nyata terhadap

proses metabolisme makhluk hidup (Effendi, 2003).

Suhu
40
35
35
30 28 27 26
25
Suhu (ºC)

20
15
10 Suhu Air Kolam
5
0
19:00 1:00 7:00 13:00
Waktu sampling (WIB)

Gambar 1. Grafik Suhu Kolam Pendederan Ikan Nila

Berdasarkan hasil pengamatan suhu di kolam pendederan ikan nila di BBI

Pandak Baturraden didapatkan hasil pada pukul 19.00 WIB suhu sebesar 28 0C, pada

pukul 01.00 WIB suhu sebesar 270C, pada pukul 07.00 suhu sebesar 260C dan pada

pukul 13.00 WIB suhu mencapai 350C. Pada umumnya suhu mengalami fluktuasi

dengan nilai terendah pada pukul 07.00 WIB yaitu sebesar 26 0C, dan suhu tertinggi

pada pukul 13.00 WIB sebesar 350C. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan

intensitas mahatari yang menyinari kolam. Pada pukul 19.00 WIB sampai pukul 07.00

WIB, suhu cenderung rendah karena menyesuaikan pula dengan suhu udara yang

13
rendah, karena tidak adanya intensitas cahaya matahari yang dapat menambah suhu air

kolam. Sementara pada siang hari pukul 13.00 WIB, matahari sedang berada

dipuncaknya, sehingga intensitas matahari yang masuk ke kolam lebih besar ditambah

lagi kedalam kolam yang dangkal dan tidak adanya vegetasi yang menutupi daerah

kolam sehingga cahaya matahari dapat langsung masuk dan mempengaruhi suhu air

kolam pendederan ikan nila. Hal ini sesuai dengan pendapat Yazwar, (2008) dalam

Bahri et al., (2015) yang menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi suhu di

perairan adalah intensitas cahaya matahari dan keberadaan vegetasi terrestrial sekitar

perairan.

Selain itu, Roza et al., (2015), menyatakan intensitas cahaya yang tinggi

disebabkan tidak adanya naungan sehingga akan menyebabkan suhu perairan akan

semakin tinggi. Johan dan Ediwarman (2011) dalam Roza et al., (2015) menjelaskan

bahwa keterbukaan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi suhu

permukaan perairan. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi suhu adalah letak

ketinggian dari air laut, letak tempat terhadap garis edar matahari, musim, cuaca, waktu

pengukuran, kedalaman air dan kegiatan manusia di sekitar perairan (Sobur, 1990

dalam Yumame, 2013).

Suhu secara langsung berpengaruh dalam mengontrol laju berbagai proses

metabolisme dalam sel mikroalga. Laju proses metabolisme akan meningkat seiring

dengan kenaikan suhu (Kusumaningrum et al., 2017). Berdasarkan hasil pengukuran,

suhu pada kolam pendederan ikan nila masih sesuai untuk kehidupan ikan seperti

menurut Effendi, (2003) dalam Yuliana et al., (2012) yang menyatakan bahwa suhu

yang sesuai berkisar antara 200-300C, kecuali pada siang hari yaitu pukul 13.00 WIB

dimana suhu mencapai 350C.

14
4.2.2. Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual

dengan menggunakan secci disk. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan

cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi, dan ketelitian orang yang

melakukan pengukuran. Pengukuran sebaiknya dilakukan pada siang hari (Effendi,

2003). Parameter kecerahan dapat untuk mengetahui sampai dimana proses asimilasi

dapat berlangsung di dalam air. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak terlampau

jernih baik untuk kehidupan ikan (Pujiastuti, 2013).

Kecerahan
40
35
35
28
Penetrasi Cahaya (cm)

30
25
20 Penetrasi Cahaya
15
10
5
0 0
0
19:00 1:00 7:00 13:00
Waktu sampling (WIB)

Gambar 2. Grafik Kecerahan Kolam Pendederan Ikan Nila

Nilai penetrasi cahaya yang diukur yaitu pada pukul 07.00 WIB dan pukul 13.00

WIB karena pada waktu ini terdapat penetrasi cahaya matahari. Sedangkan pada pukul

19.00 WIB dan 01.00 WIB tidak ada penetrasi cahaya yang masuk. Nilai penetrasi

cahaya pada pukul 07.00 WIB sebesar 35 cm, dan pada pukul 13.00 WIB sebesar 28

cm. Pada pukul 07.00 WIB penetrasi cahaya lebih besar dibandingkan dengan pukul

13.00 WIB. Hal ini dikarenakan pada saat pukul 13.00 WIB terjadi blooming yang

mana dapat menyebabkan meningkatnya kekeruhan dan berkurangnya intensitas cahaya

15
yang dapat masuk ke perairan kolam. Sebagaimana menurut Sayekti et al., (2015) yang

menyatakan kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan.

Meningkatnya kekeruhan perairan akan mengurangi tingkat penetrasi cahaya

yang akan berdampak pada proses fotosintesis yang dilakukan oleh organisme air

(Luthfiana et al, 20014 dalam Kusumaningrum et al., 2017). Mas’ud (2-14)

menambahkan, tingkat kecerahan perairan, berhubungan dengan kepadatan partikel-

partikel tersuspensi di perairan baik berasl dari pertikel alga maupun non alga. Sisa-sisa

pakan yang tidak termanfaatkan oleh ikan pada kegiatan budidaya di danau dapat

menambah masukan partikel tersuspensi sehingga menurunkan kecerahan perairan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kecerahan pada kolam

pendederan untuk ikan nila masih sesuai dengan standar baku mutu menurut Kamal

(2000) yaitu sebesar 20-35 cm

4.2.3. Kekeruhan

Kekeruhan diartikan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan

oleh bahan-bahan yang melayang (Pujiastuti et al., 2013). Kekeruhan mempengaruhi

penetrasi cahaya matahari yang masuk ke badan perairan, sehingga dapat menghalangi

proses fotosintesis dan produksi primer perairan. Kekeruhan menggambarkan sifat optik

air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh

bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan

anorganik baik yang tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik

seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (Irawan dan Lily, 2013).

16
Kekeruhan Batas
30 nilai
25 maksimu
20 m

kekeruhan(NTU)
15 Kekeruhan
10
5 7.77 9.14
5.2 5.53
0
19.00 01.00 07.00 13.00
Waktu sampling

Gambar 3. Grafik Kekeruhan KolamPendederan Ikan Nila

Berdasarkan hasil pengukuran kekeruhan didapat pada pukul 19.00 WIB

kekeruhan sebesar 7.77 NTU, pada pukul 01.00 kekeruhan sebesar 5.2 NTU, pada pukul

07.00 WIB sebesar 5.53 NTU dan pada pukul 13.00 WIB sebesar 9.14 NTU. Scara

umum kekeruhan mengalami fluktuasi, dimana mengalami penurunan pada pukul 19.00

WIB ke pukul 01.00 WIB, lalu mengalami kenaikan hingga kekeruhan tertinggi didapat

pada pukul 13.00 WIB yaitu sebesar 9,14 NTU. Hal ini terjadi karena adanya perubahan

dinamika plankton serta zat yang terlarut didalamnya seperti sisa pakan yang akan

mempengaruhi warna dan juga kekeruhan. Pada pukul 13.00 WIB terjadi blooming

algae yang menyebabkan air kolam pendederan berwarna hijau pekat dan mengurangi

masuknya penetrasi cahaya matahari sehingga nilai kekeruhan mengalami kenaikan

yang cukup signifikan. Menurut Kordi dan Tancung (2007) dalam Mas`ud (2014),

kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad jasad renik atau

plankton.

Menurut Effendi (2003), kekeruhan pada perairan yang tergenang (lentik),

misalnya danau lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan

partikel-partikel halus. Effendi menambahkan bahwa padatan tersuspensi berkorelasi

positif terhadap kekeruhan, dimana semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka nilai

17
kekeruhan juga akan semakin tiggi. Akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu

diikuti oleh tingginya kekeruhan.

Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi,

misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat

penetrasi cahaya ke dalam air. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat mempersulit usaha

penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air

(Effendi, 2003 dalam Sayekti et al., 2015). Tingkat kekeruhanyang semakin meningkat

akan mempengaruhi pula besarnya penetrasi cahaya, dimana semakin tinggi kekeruhan

maka penetrasi cahaya yang masuk ke perairan akan semakin sedikit. Sebagaimana

menurut Yuliningsih (2013) yang menyatakan tingkat kekeruhan dalam ekosistem

perairan akan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya. Berdasar hasil yang didapat, nilai

kekeruhan pada kolam pendederan ikan nila masih dalam kisaran yang mendukung

kehidupan organisme akuatik, yaitu <30 mg/L (Kusumaningrum et al., 2013)

4.2.4. Kedalaman

Kedalaman perairan merupakan ukuran jarak anatara permukaan air dengan dasar

perairan. Kedalaman suatu perairan akan memengaruhi jumlah jenis organisme biotik.

Kedalaman perairan merupakan faktor pembatas kesuburan perairan, karena mikroalga

banyak dijumpai pada kedalaman <1 m pada kedalaman tersebut merupakan daerah

transparasi matahari (Johan, 2011 dalam Murti, 2015).

18
Kedalaman
40

35

Kedalaman (cm) 30 Kedalaman


35 35 35
25 30
NIlai
standar
20 minimu
m
19.00 01.00 07.00 13.00
Waktu sampling

Gambar 4. Grafik Kedalaman Kolam Pendederan Ikan Nila

Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman kolam, pada pukul 19.00 WIB sebesar

35 cm, pukul 01.00 WIB sebesar 35 cm, pukul 07.00 WIB sebesar 35 cm, dan pukul

13.00 WIB sebesar 28 cm. Secara umum kedalam kolam tidak mengalami penurunan.

Akan tetapi terjadi penurunan pada pukul 13.00 WIB sebesar 7 cm. Penurunan

kedalama pada pukul 13.00 WIB ini terjadi pada bagian inlet, tengah dan outlet kolam

dimana masing-masing turun sebesar 5 cm, yang mneyebabkan kedalaman kolam rata-

rata ikut turun menjadi 30 cm. Penurunan kedalaman ini diduga karena adanya

perpindahan substrat dari saluran inlet ke saluran outlet kolam oleh arus kolam.

Pendangkalan ini akan mempengaruhi keanekaragaman plankton. Sebagaimana

menurut Wetzel (2001) dalam Murti (2015) yang menyatakan bahwa perairan dangkal

cenderung memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan

yang lebih dalam (Wetzel, 2001 dalam Murti, 2015). Kedalaman kolam pendederan

ikan nila ini masih sesuai dengan standar yaitu >25 cm (Mas`ud, 2014).

4.2.5. TDS (Total Dissolved Oxygen)

TDS (Total Dissolved Solid) adalah ukuran zat terlarut (baik itu zat organik

maupun anorganik, misalnya garam dan sebagainya) yang terdapat pada sebuah larutan.

19
TDS meter menggambarkan jumlah zat terlarut dalam part per million (ppm) atau sama

dengan milligram per Liter (mg/L). Umumnya berdasarkan definisi di atas seharusnya

zat yang terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati saringan yang berdiameter 2

micrometer (2×10-6 meter) (Agustira, 2013).

10 TDS Nilai
00
60 standar
maksim
59.5 um
59
58.5
58
TDS
TDS(mg/L)

57.5 59.6
57
56.5 57.3 57.3 57
56
55.5
19.00 01.00 07.00 13.00
Waktu sampling

Gambar 5. Grafik TDS Kolam Pendederan Ikan Nila

Nilai TDS pada pukul 19.00 WIB sebesar 57,3 mg/L, pukul 01.00 WIB sebesar

57,3 mg/L, pukul 07.00 WIB sebesar 59,6 mg/L dan pukul 13.00 WIB sebesar 57 mg/L.

Nilai TDS terendah pada pukul 13.00 WIB sebesar 57 mg/L dan tertinggi pada pukul

59,6 mg/L. Secara umum nilai padatan terlarut mengalami fluktuasi. Nilai TDS tertinggi

terdapat pada pukul 07.00 WIB. Hal ini dikarenakan meningkatnya padatan yang

terlarut dalam kolam, seperti pakan ikan yang diberikan pada pagi hari, sehingga nilai

TDS pada pukul 07.00 WIB mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sementara

pada siang harinya padatan yang terlarut baik berupa pakan maupun plankton menurun

karena adanya aktivitas makan dari ikan yang berada dalam kolam. Pemberian pakan

diduga juga dapat menaikkan konsentrasi ion yang terlarut dalam air. Menurut Nicola

(2015), TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa

ditemukan di perairan. Nilai TDS sendiri berhubungan dengan nilai konduktivitas,

20
karena nilai TDS menunjukkan banyaknya ion-ion terlarut. Semakin banyak garam-

garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL (Nicola, 2015).

Menurut Effendi (2003), nilai TDS di perairan sangat dipengaruhi oleh

pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik berupa limbah

organik dan industri). Effendi menambahkan, nilai TDS biasanya di sebabkan oleh

bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan seperti Sodium

(Na), Kalsium (Ca), Nitrat (NO3) dan lain sebagainya.

Konsentrasi TDS di perairan alami tidak bersifat toksik akan tetapi dalam

kondisi yang berlebihan menyebabkan kekeruhan meningkat sehingga dapat

menghambat masuknya cahaya matahari ke kolom air yang akan mempengaruhi proses

fotosintesis di perairan (Suryono dan Badjoeri, 2013). Selain itu, nilai TDS yang tinggi

(1001-10000 mg/l) dapat menyebabkan perairan memiliki salinitas dan mempengaruhi

fisiologis organisme di dalam perairan air tawar (Kazi et al., 2009 dalam Bahri et al,

2015). Peningkatan TDS akan meningkatkan konduktivitas dalam air karena

konduktivitas air bergantung kepada kehadiran ion-ion bahan non organik dan garam

terlarut (Owen, 1979 dalam Miefrhawati, 2014). Nilai TDS pada kolam pendederan

ikan nila ini masih berada pada standar baku mutu kelas II untuk kegiatan budidaya

menurut PP No.82 Tahun 2001 yaitu <1000 mg/L.

4.2.6. Konduktivitas

Nilai konduktivitas merupakan gambaran kemampuan air dalam meneruskan

aliran listrik yang ditunjukkan dengan adanya garam mineral yang terkandung dalam air

(Suryono dan Badjoeri, 2013). Konduktivitas (Daya Hantar Listrik) adalah gambaran

numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik, oleh karena itu semakin

banyak garam-garam (mineral) terlarut yang dapat terionisasi semakin tinggi pula nilai

21
DHLnya (Irawan dan Lily, 2013). Besarnya nilai DHL (Konduktivitas) bergantung

pada kehadiran ion-ion anorganik, valensi, suhu serta konsentrasi total maupun

relatifnya ( Sofiah et al.,2016).

Konduktivitas
90
70
Konduktivitas (µmHos/cm)

50 86.3 85.7 89 86 Konduktivitas


30
10 Standar
19.00 01.00 07.00 13.00 minimum
Waktu sampling

Gambar 6. Grafik Konduktivitas Kolam Pendederan Ikan Nila

Nilai konduktivitas pada pukul 19.00 WIB sebesar 86,3 µmHos/cm, pukul 01.00

WIB sebesar 85,7 µmHos/cm, pada pukul 07.00 sebesar 89 µmHos/cm, dan pada pukul

13.00 WIB sebesar 86 µmHos/cm. Nilai konduktivitas terendah yaitu pada pukul 01.00

WIB sebesar 86,7 µmHos/cm dan tertinggi pada pukul 07.00 sebesar 89 µmHos/cm.

Hal ini terjadi karena pada pukul 07.00 WIB nilai TDS menunjukkan nilai tertinggi,

dimana nilai TDS erat kaitannya dengan nilai konduktivitas. Sebagimana menurut

Owen (1979) dalam Miefthawati (2014), yang menyatakan peningkatan TDS akan

meningkatkan konduktivitas dalam air karena konduktivitas air bergantung kepada

kehadiran ion-ion bahan non organik dan garam terlarut. Selain itu, konduktivitas juga

mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa parameter lain seperti suhu, nilai pH,

alkalinitas, kesadahan total, kalsium, total padatan, total padatan terlarut, COD, klorida

dan konsentrasi besi di air (Navneet dan Sinha, 2010 dalam Rahmawati dan

Retnaningdyah, 2015).

22
Tingginya nilai konduktivitas ini akan menyebabkan tingginya nilai DHL, yang

mana jika dalam kondisi yang berlebihan akan menyebabkan kekeruhan meningkat

sehingga dapat menghambat masuknya cahaya matahari ke kolom air yang akan

mempengaruhi proses fotosintesis di perairan (Suryono dan Badjoeri, 2013). Nilai

konduktifitas di kolam pendederan ikan nila masih dalam tahap aman bagi kehidupan

biota akuatik sebagaimana menurut Boyd (1988) dalam Suryono dan Badjoeri (2013)

bahwa nilai konduktivitas sebesar 20 – 1500 µS/cm masih dalam kisaran perairan alami.

4.2.7. Tipe Substrat

Substrat dasar perairan merupakan salah satu potensi abiotik yang luar biasa.

Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan dan memijah bagi sebagian

besar organisme akuatik (Susanto, 2000 dalam Ningsih et al., 2013). Selain itu dasar

perairan memiliki komposisi yang sangat kompleks mulai dari substrat berukuran kecil

sampai batu-batuan (Ningsih et al, 2013).

Berdasarkan hasil pengamatan, substrat pada pukul 19.00 WIB sampai 13.00 WIB

tidak mengalami perubahan yaitu berupa tanah berlumpur dengan didominasi tanah. Hal

ini dikarenakan substrat yang ada tersusun atas feses ikan serta sisa-sisa pakan ikan

yang tidak termakan. Organisme perairan yang mati serta daun-daun yang dapat masuk

dan mengalami pembusukan di dasar kolam dapat membentuk substrat ini. Selain itu

tidak adanya penambahan materi dari luar kolam sehingga tidak adanya perubahan

substrat dasar kolam. Hal ini karena tidak adanya penambahan materi dari luar kolam.

Substrat pada kolam pendederan ini kurang sesuai dengan substrat yang seharusnya,

yaitu berupa tanah liat/lempung (Haslinda, 2013).

4.2.8. Bau

Bau merupakan salah satu indikator tercemarnya air. Bau dapat memberikan

informasi berupa bahan yang terlarut dalam air. Air yang baik memiliki ciri tidak

23
berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat. Air yang berbau busuk mengandung

bahan organik yang sedang mengalami dekomposisi (penguraian) oleh mikroorganisme

air (Santoso, 2010 dalam Rusdiana et al., 2015).

Berdasarkan pengamatan bau air secara organoleptik, didapatkan hasil pada pukul

19.00 WIB air kolam berbau pupuk kandang, pada pukul 01.00 WIB air berbau amis,

pada pukul 07.00 WIB air berbau amis, dan pada pukul 13.00 WIB berbau dedaunan.

Perbedaan bau ini disebabkan karena perubahan kualitas air maupun dinamika plankton

yang ada pada kolam. Bau pupuk kandang pada pukul 19.00 WIB diduga disebabkan

karena adanya sisa-sisa pupuk kandang, sementara abu amis pada pukul 01.00 WIB dan

07.00 WIB dikarenakan sisa pakan yang masih ada dan bau dedaunan pada pukul 13.00

WIB dikarenakan blooming alga. Sebagimana menurut Munfiah et al., (2013) yang

menyatakan adanya bahan-bahan organik dalam air akan menyebabkan timbulnya

warna, bau dan rasa dan kekeruhan dalam air. Zat organik dalam air berasal dari alam

(tumbuh tumbuhan, alkohol, sellulosa, gula dan pati), sintesa (proses-proses produksi)

dan fermentasi. Sumber utama zat organik adalah limbah rumah tangga, limbah industri,

limbah pertanian, peternakan dan pertambangan. Air yang baik memiliki ciri tidak

berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat. Air yang berbau busuk mengandung

bahan organik yang sedang mengalami dekomposisi (penguraian) oleh mikroorganisme

air (Santoso, 2010 dalam Rusdiana et al., 2015). Berdasarkan pengamatan, bau yang

ada dikolam tidak sesuai dengan standar baku mutu yang ada yaitu tidak berbau

(Effendi, 2004)

4.2.9. Warna

Warna air mempunyai hubungan dengan kualitas perairan. Warna perairan

dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut dan padatan tersupensi (Sastrawijaya, 2000

dalam Pujiastuti, 2013). Berdasarkan hasil pengamatan, warna kolam pada pukul 07.00

24
dan 13.00 WIB adalah hijau. Pengamatan warna air dilakukan pada waktu pagi dan

siang hari karena pada malam hari tidak ada cahaya yang masuk sehingga akan

menyebabkan warna sulit untuk diamati. Warna hijau kolam pada pukul 13.00 WIB

lebih hijau dibanding pada pukul 07.00 WIB. Warna hijau yang pekat ini diduga karena

terjadinya blooming algae sehingga kolam tampak berwarna hijau. Sebagaimana

menurut Munfiah et al., (2013) yang menyatakan adanya bahan-bahan organik dalam

air akan menyebabkan timbulnya warna dalam air. Zat organik dalam air berasal dari

alam (tumbuh tumbuhan, alkohol, sellulosa, gula dan pati), sintesa (proses-proses

produksi) dan fermentasi.

Effendi (2003) menjelaskan bahwa warna dapat menghambat penetrasi cahaya

kedalam air dan mengakibatkan terganggunya fotosintesis. Effendi menambahkan,

warna pada perairan pada umunya disebabkan oleh partikel koloid bermuatan negatif

serta peledakan (blooming) fitoplankton (algae).

25
V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan analisis sifat fisik air kolam pendederan ikan nila

di BBI Pandak Baturaden, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Sifat fisika air kolam pendederan ikan nila di BBI Pandak Baturraden yaitu Suhu,

Kekeruhan, Konduktivitas, Penetrasi Cahaya, TDS (Total Dissolved Solid),

Kedalaman, Tipe Substrat, Warna, Bau.

2. Faktor yang mempengaruhi sifat fisik air kolam pendederan ikan nila di BBI

Pandak Baturraden antara lain intensitas cahaya matahari yang masuk, keadaan

lingkungan sekitar kolam seperti ada tidaknya vegetasi, serta adanya dinamika

plankton yang ada seperti terjadinya blooming alga serta eutrofikasi.

V.2 Saran

Pengamatan dan pengambilan sampel untuk sifat fisik kolam perlu dilakukan

secara cermat dan teliti. Kurangnya ketelitian dalam pengamatan dan pengambilan

sampel dapat menimbulkan kesalahan pada saat penghitungan tabulasi data.

26
DAFTAR PUSTAKA

Agustira, Riyanda., Kemala Sari Lubis., Jamilah. 2013. Kajian Karakteristik Kimia Air,

Fisika Air dan Debit Sungai Pada Kawasan DAS Padang Akibat Pembuangan

Limbah Tapioka. Jurnal Online Agroteknologi 1 (3) : 615 – 625.

Arlindia I., dan Afdal. 2015. Analisis Pencemaran Danau Maninjau dari Nilai TDS dan

Konduktivitas Listrik. Jurnal Fisika Unand. 4 (4) : 325-331.

Bahri, Saiful., Firdaus, Ramadhan., Indhina, Reihannisa. 2015. Kualitas Perairan Situ

Gintung, Tangerang Selatan. BIOGENESIS 3 (1) : 16-22.

Bhagawati, B., MN Abulias., A. Amurwanto. 2013. Fauna Ikan Siluiformes dari Sungai

Serayu, Banjaran dan Tajum di Kabupaten Banyumas. Jurnal MIPA 36 (2) :

112 – 122.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanusius : Yogyakarta.

Effendi, H. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya : Jakarta.

Hasim, Koniyo Y., dan Kasim F. 2015. Parameter Fisik-kimia Perairan Danau Limboto

sebagai Dasar Pengembangan Perikanan Budidaya Air Tawar. Jurnal Ilmiah

Perikanan dan Kelautan. 3 (4) : 130-136.

Haslinda, S. 2013. Sistem Pakar Penentuan Jenis Budidaya Ikan Air Tawar

Berdasarkan Lokasi dan Kualitas Air. Skripsi. Departemen Ilmu Komputer

Fakultas Matematika dan Ilmi Pengetahuan Institut Pertanian Bogor : Bogor.

56 hal.

Irawan, Aditya., Lily Inderia Sari. 2013. Karakteristik Distribusi Horizontal Parameter

Fisika-Kimia Perairan Permukaan di Pesisir Bagian Timur Balikpapan. Jurnal

Ilmu Perikanan Tropis 18 (2) : 21- 27.

27
Kusumaningrum, A., Sudarsono., Suhartini. 2017. Struktur Komunitas Plankton Pada

Musim Penghujan Di Telaga Bromo Kecamatan Paliyan Kabupaten

Gunungkidul Yogyakarta. Jurnal Prodi Biologi 6(2) : 1-10.

Mas`ud, F. 2014. Pengaruh Kualitas Air Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila

(Oreochromis niloticus) di Kolam Beton dan Terpal. Grouper Faperik.

Miefthawati, Nanda Putri. 2014. Analisa Penentuan Kualitas Air Tasik Bera di Pahang

Malaysia Berdasarkan Pengukuran Parameter Fisika-Kimia. Jurnal Sains,

Teknologi dan Industri 12(1) : 32-40.

Munfiah, S., Nurjazuli., Onny, S. 2013. Kualitas Fisik dan Kimia Air Sumur Gali dan

Sumur Bor di Wilayah Kerja Puskesmas Guntur II Kabupaten Demak. Jurnal

Kesehatan Lingkungan Indonesia 12(2) : 154-159.

Murti, Novita Sari. 2015 Hubungan Total Dissolved Solid, Nitrat, Dan Ortofosfat

Dengan Struktur Komunitas Mikrofitobenthos Di Sungai Banjaran, Banyumas.

Skripsi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jenderal

Soedirman Fakultas Biologi :Purwokerto. 49 hal.

Nicola, Fendra. 2015. Hubungan Antara Konduktivitas, TDS (Total Dissolved Solid)

Dan TSS (Total Suspended Solid) dengan Kadar Fe2+ dan Fe Total Pada Air

Sumur Gali. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Jember : Jember. 80 hal.

Ningsih, Ellis N., Freddy, Supriyadi., Syarifah, Nurdawati. 2013. Pengukuran dan

Analisis Nilai Hambur Balik Akustik Untuk Klasifikasi Dasar Perairan Delta

Mahakam.

Pujiastuti, P., Bagus, I., Pranoto. 2013. Kualitas dan Beban Pencemaran Perairan

Waduk Gajah Mungkur. Jurnal EKOSAISN 5(1) : 59-75.

28
Rahmawati, Rani., Retnaning, Catur. 2015. Studi Kelayakan Kualitas Air Minum

Delapan Mata Air di Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang. Jurnal

Biotropika 3 (1) : 50-54.

Rusdiana., Danang, B., Gt. Chairuddin., Aziwi, I. 2015. Optimasi Peningkatan Kualitas

Air Sumur Gali Menjadi Bahan Baku Air Minum Dengan Menggunakan

Kombinasi Zeolit Dan Kapur Tohor. EnviroSCienteae 11 : 54 – 65.

Sayekti, Rini Wahyu., Emma, Yuliani., Mohammad, Bisri., Pitojo, Tri Juwono., Linda,

Prasetyorini., Fauzia, Sonia., Ayu, Pratama Putri. 2015. Studi Evaluasi Kualitas

dan Status Trofik Air Waduk Selorejo Akibat Erupsi Gunung Kelud untuk

Budidaya Perikanan. Jurnal Teknik Pengairan 6(1) : 133 – 145.

Sofiah, F., Chusharini, C., Sriyanti. 2016. Kajian TDS dan DHL untuk Menentukan

Tingka Pencemaran Air Tanah Dangkal di Sekitar Lokasi TPA Leuwigajah

Kabupaten Bandung Provinsii Jawa Barat. Prosiding Teknik Pertambangan

2(1) : 297-306.

Suryono, Tri., Badjoeri, Muhammad. 2013. Kualitas Air pada Uji Pembesaran Larva

Ikan Sidat (Anguila spp.) dengan Sistem Pemeliharaan yang Berbeda.

LIMNOTEK 20 (2) 169 – 177.

Susanto, H. 2008. Kolam Ikan + Ragam Pilihan dan Cara Membuatnya. Penebar

Swadaya : Jakarta.

Tessema, A., A. Muhammed, T. Birhanu dan T. Negu. 2014. Assessment of Physico-

chemical Water Quality of Bira Dam Bati Wereda Amhara Region Ethiopia.

Jurnal Aquaculture Research and Development. 5(6) : 2-4.

Tokah C., L. Suzanne, Undap, Longdon S.N.J. 2017. Kajian kualitas air pada area

budidaya kurungan jaring tancap (KJT) di Danau Tutud Desa Tombatu Tiga

29
Kecamatan Tombatu Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Budidaya

Perairan. 5 (1) : 1-11.

Umiatun, Siti., Carmudi., Christiani. 2017. Hubungan Antara Kandungan Silika dengan

Kelimpahan Diatom Benthik di Sepanjang Sungai Pelus Kabupaten Banyumas.

Scripta Biologica 4 (1) : 61 – 67.

Urbasa P.A., Suzanne, Undap, Rompas R.J. 2015. Dampak Kualitas Air Pada Budi

Daya Ikan Dengan Jaring Tancap Di Desa Toulimembet Danau Tondano.

Jurnal Budiaya Perairan. 3 (1) : 59-67.

Yuliningsih, E. H. 2013. Sebaran Logam Berat Hg, Pb, Cd Pada Air Di Waduk

Saguling Kabupaten Bandung Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen

Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut

Pertanian Bogor : Bogor. 36 hal.

Yumame R.Y., Rompas R., dan Pangemanan N.P.L. 2013. Kelayakan kualitas air kolam

di lokasi pariwisata Embung Klamalu Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat.

Jurnal Budidaya Perairan. 1 (3) : 56-62.

30
LAMPIRAN

Data Perhitungan:

A. Pukul 19.00

1. Kekeruhan

Pengulangan 1: 7,63

Pengulangan 2: 8,23

Pengulangan 3: 7,44

23,33
x= =7,77
3

2. TDS

pengulangan 1: 58

pengulangan 2: 57

pengulangan 3: 57

172
x= =57,3
3

3. DHL

Pengulangan 1: 87

Pengulangan 2: 86

Pengulangan 3: 86

259
x= =86,3
3

4. Kedalaman

Inlet : 30 cm

Tengah : 35 cm

Outlet : 40 cm

Rata-rata = 35 cm

31
5. Suhu

Air :

Inlet : 28oC

Tengah : 28oC

Outlet : 28oC

Rata-rata = 28oC

B. Pukul 01.00

1. Kekeruhan

Pengulangan 1: 5.12

Pengulangan 2: 5.17

Pengulangan 3: 5.30

15.59
x= =5.2
3

2. TDS

pengulangan 1: 58

pengulangan 2: 57

pengulangan 3: 57

172
x= =57,3
3

3. DHL

Pengulangan 1: 86

Pengulangan 2: 86

Pengulangan 3: 85

257
x= =85,7
3

32
4. Kedalaman

Inlet : 30 cm

Tengah : 35 cm

Outlet : 40 cm

Rata-rata = 35 cm

5. Suhu

Air :

Inlet : 27oC

Tengah : 27oC

Outlet : 28oC

Rata-rata = 27.3ºC

C. Pukul 07.00

1. Kekeruhan

Pengulangan 1: 4,99

Pengulangan 2: 5,48

Pengulangan 3: 6,12

16,59
x= =5,53
3

2. TDS

pengulangan 1: 59

pengulangan 2: 60

pengulangan 3: 60

179
x= =59,6
3

33
3. DHL

Pengulangan 1: 88

Pengulangan 2: 90

Pengulangan 3: 89

267
x= =89
3

4. Kedalaman

Inlet : 30 cm

Tengah : 35 cm

Outlet : 40 cm

Rata-rata = 35 cm

5. Suhu

Air :

Inlet : 26oC

Tengah : 26oC

Outlet : 27oC

Rata-rata = 26.3oC

6. Penetrasi cahaya

Inlet : 30 cm

Tengah : 35 cm

Outlet : 40 cm

Rata-rata = 35 cm

D. Pukul 13.00

1. Kekeruhan

34
Pengulangan 1: 8,98

Pengulangan 2: 9,29

Pengulangan 3: 9,16

27,43
x= =9,14
3

2. TDS

pengulangan 1: 57

pengulangan 2: 57

pengulangan 3: 57

171
x= =57
3

3. DHL

Pengulangan 1: 86

Pengulangan 2: 86

Pengulangan 3: 86

258
x= =86
3

4. Kedalaman

Inlet : 25 cm

Tengah : 30 cm

Outlet : 35 cm

Rata-rata = 30 cm

5. Suhu

Air :

Inlet : 35oC

35
Tengah : 35oC

Outlet : 35oC

Rata-rata = 35oC

6. Penetrasi cahaya

Inlet : 25 cm

Tengah : 25 cm

Outlet : 35 cm

Rata-rata = 28 cm

Foto

Kegiatan Pengambilan Sampel Sifat Fisik Air Kolam Ikan Nila

36
37
38

Anda mungkin juga menyukai