Anda di halaman 1dari 11

NAMA : DELLA OKTARINA

NIM : 05021282025031
TUGAS 2 HIDROLOGI LAHAN RAWA GAMBUT

1. Mencari karakteristik dari Tanah Alluvial, Tanah Gambut dan Tanah Marin (dari jurnal/prosiding
internasional) sebutkan referensi dan lampirkan jurnalnya ( maksimal jawaban 1 lembar)
2. Mencari definisi lahan rawa lebak, pasang surut dan gambut (dari jurnal/prosiding internasional)
(maksimal jawaban 1 lembar)
3. Mencari tipe-tipe lahan rawa tersebut (dari jurnal) lampirkan jurnal dan (jawaban maksimal 3
lembar)
4. Review artikel yang dikirimkan disini 5 artikel, masing2 review (diringkas, diberi komentar dan
disimpulkan)

JAWABAN
1. Karakteristik Tanah Aluvial :
Tanah Aluvial merupakan tanah yang berasal dari endapan Aluvial atau koluvial muda dengan
perkembangan pedon tanah lemah sampai tidak ada.
• Tanah berwarna cokelat
• Berada pada topografi datar hingga landai
• Tekstur yang ditemukan pada tanah ini termasuk bermacam-macam seperti sand, sandy
loam, loam, silty clay loam, sandy clay, dan clay.
• Tanah ini banyak mengandung pasir dan liat, tidak banyak mengandung unsur-unsur
zat hara.
• Kadar kesuburannya sedang hingga tinggi tergantung bagian induk dan iklim.
• Tanah Alluvial memiliki kadar ,pH yang sangat rendah yaitu kurang dari 4, sehingga
sangat sulit untuk dibudidayakan.

Referensi :
Muslimawati, N, M. Widayani, P. 2016. ANALISIS SPASIAL PENYAKIT KECACINGAN SOIL
TRANSMITTED HELMINTH DENGAN KARAKTERISTIK TANAH MELALUI PENDEKATAN
GEOMORFOLOGI DI KABUPATEN BANTUL. Jurnal Bumi Indonesia. Vol 5 (1). 1-9
Karakteristik Tanah Gambut :
• Sifat kimia gambut yang menonjol dan berkaitan dengan pertanian meliputi
kemasaman tanah, cadangan karbon, ketersediaan hara, KTK, kadar abu, asam organik,
dan pirit, dan jenis stratum yang berada di bawah lapisan gambut (Szajdak
• et al. 2007, Fahmi et al. 2014).
• Sifat fisik meliputi daya simpan air, laju subsidensi, porositas tanah, dan berat isi. Jenis
dan populasi mikroorganisme merupakan karakteristik yang berkaitan dengan sifat
biologi gambut (Kusel et al. 2008, Dimitriu et al. 2010, Melling et al. 2013)
• Tingkat kemasaman tanah gambut tergolong sangat masam (Masganti. 2003, Subagyo.
2006, Wiratmoko et al. 2008). Kemasaman tanah gambut disebabkan adanya hidrolisis
asam-asam organik dan kondisi drainase yang jelek.
• Gambut merupakan penyimpan karbon yang handal. Diperkirakan bahwa gambut
dengan ketebalan 100 cm, mempunyai potensi cadangan karbon sebanyak 400-700 t
ha-1
• Kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi sampai sangat tinggi.
Referensi :
Masganti, et. all. 2017. Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian. Jurnal
Sumber Daya Lahan. Vol 11 (1). 59-66
Karakteristik Tanah Marin :

• Bentuk lahan asal proses marine dihasilkan oleh aktivitas gerakan air laut, baik pada tebing
curam pantai berpasir, pantai berkarang maupun pantai berlumpur. Aktivitas marine sering
dipengaruhi aktivitas fluvial sehingga sering disebut sebagai fluvio – marine. berdasarkan tipe
batuan dan kekerasan mineral yang terkandung dalam batuan. Faktor erodi- bilitas (nilai
kepekaan suatu jenis batuan terhadap proses pelapukan) tergantung kepada kandungan mineral,
sementasi (terutama pada batuan sedimen), besar butir (untuk sedimen tak padu) dan kehadiran
struktur batuan seperti perla- pisan (bedding), pecahan (cleavage), dan retakan (fracture).
• Sedangkan satuan morfologi dataran berkembang di sekitar muara sungai dengan susunan
terdiri atas pasir dan kerikil yang berasal dari endapan limpahan banjir. Wilayah pantai selatan
jember yang terbentang dari timur ke barat batuan geologinya merupakan endapan permukaan
berupa aluvium seperti lempung, lanau, kerikil dan kerakal. (Wahyudin, 2018).

Referensi :
Wahyudin, Y. 2018. Karakteristik Sumberdaya Pesisir dan Laut Kawasan Teluk Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Bonoworo Wetlands. 1 (1) : 19–32.

2. Lahan rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun
minimal tiga bulan dengan genangan minimal 50 cm. Sifat fisik lahan rawa lebak umumnya
tergolong masih mentah, sebagian melumpur, kandungan lempung tinggi, atau gambut tebal
dengan berbagai taraf kematangan dari mentah sampai matang. Lapisan bawah dapat berupa
lapisan pirit (FeS2) yang berpotensi masam atau pasir kuarsa yang miskin unsur hara. Sifat
kimia, kesuburan dan biologi tanah tergolong sedang sampai sangat jelek. Umumnya
kemasaman berkisar antara pH 4,0 - 5,0 (Noor, 2007)

Referensi :

Hafizah. N, Mukarramah. R. 2017. APLIKASI PUPUK KANDANG KOTORAN SAPI


PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicum frustescens
L.) DI LAHAN RAWA LEBAK. Ziraa’ah Majalah Ilmiah Pertanian. Vol 42 (1). 1

Lahan rawa pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya
air laut atau sungai. Lahan rawa pasang surut potensial dan strategis dikembang sebagai lahan
pertanian, dapat menjadi sumber pertumbuhan baru produksi (komoditas) pertanian, karena
mempunyai beberapa keunggulan antara lain: (1) tersedia cukup luas dan berada dalam satuan-
satuan skala hamparan yang cukup luas, (2) ketersediaan air berlebih, (3) topografi rata atau
datar, (4) akses ke daerah pengembangan dapat melalui jalur darat dan jalur air sehingga
memudahkan jalur distribusi, dan (4) kesesuaian lahan dan agronomi cukup sesuai sampai
sangat sesuai. Beragam komoditas berhasil dikembangkan di lahan rawa meliputi tanaman
pangan (padi dan palawija), hortikultura (sawi, terung, semangka, jeruk, nenas dsb) dan
perkebunan (kelapa, karet, dan kelapa sawit).
Referensi :

Susilawati, et. all. 2016. Optimalisasi Penggunaan Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung
Swsembada Pangan Nasional. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol 10 (1). 51-64

Lahan gambut merupakan ekosistem khas dari segi struktur, fungsi dan kerentanan. Lahan
gambut tergolong lahan marginal dan “fragile” dengan produktivitas biasanya rendah dan
mudah mengalami kerusakan. Pemanfaatan lahan gambut yang tidak bertanggung jawab
menyebabkan kehilangan salah satu sumber daya yang berharga karena sifatnya tidak dapat
diperbaharui (non-renewable), (Nugraheni, Pangaribuan, 2008). Oleh karena itu, penggunaan
lahan gambut memerlukan perencanaan yang cermat dan teliti, serta penerapan teknologi yang
sesuai, dan pengelolaan yang tepat, (Adhi dalam Ratmini 2012).

Referensi :

Napitupulu, et. all. 2015. Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut Yang
Berkelanjutan. Annual Civil Engineering Seminar

3. Tipe – tipe Lahan rawa lebak :

Lahan rawa lebak lebih memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan
pertanian yang produktif karena tipe gambutnya dangkal, dengan mudah untuk dibuat sawah
dan ditanami tanaman pangan yang pada akhirnya akan dapat mendukung tercapainya tujuan
pembangunan di bidang pertanian nasional yang berkaitan dengan program pemerintah dalam
peningkatan ketahanan pangan nasional, pengembangan agribisnis, dan pemanfaatan tenaga
kerja.

Menurut informasi Litbang Pertanian Lahan Pasang Surut, Barito Kuala, Kalimantan Selatan
2003, lamanya genangan pada lahan rawa lebak berdasarkan topografi, dibagi tiga tipe rawa
lebak, yaitu:

a). lebak dangkal atau pematang, terletak dibagian tanggul sungai yang mempunyai kedalam
air kurang dari 50 cm dengan masa genangan kurang dari 3 bulan,

b). lebak tengahan terjadi diantara lebak dangkal dengan lebak dalam, dengan kedalaman air
antara 50 – 100 cm dengan masa genangan antara 3 – 6 bulan, dan

c). lebak dalam mempunyai kedalaman air lebih dari 100 cm dengan masa genangan lebih dari
6 bulan.

Daerah rawa lebak merupakan daerah yang rendah, karena rendah dan dekat dengan aliran
sungai maka selalu dipengaruhi dengan adanya pasang surutnya air sungai. Pasang surutnya air
dipengaruhi oleh musim, apabila musim penghujan air sungai pasang dan lahan tergenangi air,
dan apabila musim kemarau air sungai surut maka lahan menjadi kering. Tanah yang terbentuk
dari bahan endapan sungai yang tidak mengandung sulfidik dan kebanyakan termasuk jenis
tanah aluvial.

Macam dan tingkat kendala suatu lahan dapat diperkirakan bila tanahnya diketahui. Nama tanah
memberi penjelasan sekurang-kurangnya macam kendala yamg akan dihadapi, serta sifat dan
kelakuannya terhadap penerapannya suatu teknologi. Oleh karena itu, nama tanah juga
memberi petunjuk bagaimana lahan sebaiknya dimanfaatkan.
Daerah lebak tidak terus menerus digenangi dengan air, penggenangan air tergantung dari
topografi lahan, pola hujan, dan tingginya air setempat. Bagian lahan yang lebih tinggi
mempunyai jangka waktu genangan air yang lebih singkat, sedangkan dataran yang lebih dalam
mempunyai jangka waktu genangan air yang lebih lama.

IPG Wijaya Adhi 1986, membedakan lahan rawa lebak menjadi 4 tipe antara lain:

Tipe A.: lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar (spring tide) maupun pasang
kecil (neap tide).

Tipe B: lahan yang hanya terluapi pasang besar

Tipe C: lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar. Air pasang mempengaruhi
secara tak langsung; air tanah dekat permukaan tanah, < 50 cm.

Tipe D: lahan yang tidak pernah terluapi air pasang dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari
permukaan tanah.

Referensi :

Djamhari Sudaryanto, 2009. PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI LAHAN LEBAK


SEBAGAI ALTERNATIF DALAM PENGEMBANGAN LAHAN PERTANIAN KE LUAR
PULAU JAWA. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol 11(1). 64-69

Tipe-tipe Lahan Rawa Pasang Surut :

Berdasarkan tipe luapan air pasang, lahan rawa pasang surut dapat dibagi dalam empat kategori,
yaitu:

1. Tipe luapan A, yaitu suatu wilayah yang dapat diluapi oleh air pasang baik oleh pasang besar
maupun oleh pasang kecil.

2. Tipe luapan B, yaitu wilayah yang hanya dapat diluapi oleh air pasang besar saja, sedang
pada pasang kecil air tidak dapat meluap ke petak sawah.

3. Tipe luapan C, yaitu wilayah yang tidak terluapi air pasang, tetapi air pasang mempe- ngaruhi
kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan tanah.

4. Tipe D, yaitu wilayah yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh air pasang, namun demikian
air pasang mempengaruhi kedalam muka air tanah pada kedalaman lebih dari 50 cm dari
permukaan tanah.

5. Tipe luapan A dan B, sering juga disebut sebagai pasang surut langsung, sedangkan tipe C
dan D disebut sebagai pasang surut tidak langsung.

Referensi :

Ar-Riza dan Alkasuma. 2008. PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT DAN
STRATEGI PENGEMBANGANNYA DALAM ERA OTONOMI DAERAH. Jurnal
Sumberdaya Lahan. Vol 2(2). 95-104

Tipe-tipe Lahan Gambut :


Lahan rawa gambut merupakan lahan rawa yang mempunyai lapisan gambut dari berbagai
ketebalan, yaitu mulai dari dangkal dan tipis (50 - 100 cm), sedang (100 - 200 cm), dalam dan
tebal (200 - 300 cm), sampai dengan sangat dalam dan tebal (> 300 cm). Lahan dengan lapisan
gambut tipis < 50 cm disebut lahan bergambut (peaty soil). Dinamika lahan gambut sangat
terkait selain dengan gerakan air juga dengan sifatsiafat tanah gambut itu sendiri seperti sifat
fisik, kimia, dan biologi. Sifat fisik tanah gambut yang paling berperan adalah subsidence
(penurunan ketebalan gambut), sifat kering tak balik (irreversible drying), dan daya sangga
tanah yang rendah disebabkan bobot isi (BD) gambut yang rendah.

Referensi :

Suriadikarta, Didi Ardi. 2012. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN RAWA


BERKELANJUTAN: STUDI KASUS KAWASAN EX PLG KALIMANTAN TENGAH.
Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol 6 (1) : 45- 54.

4. REVIEW ARTIKEL 1

Judul Jurnal Karakteristik Hidrologi Dan Habitat Perairan Air Rawa


Sungai: Ii. Hidrologi Dan Terjadinya Hipoksi Kronis
Nama Jurnal Jurnal Penelitian dan Pengelolaan
Volume dan Halaman Volume 15, Halaman 525-542
Tahun 1999
Nama Penulis Sabo, Matthew J., C. Frederick Bryan, William E. Kelso, And
D. Allen Rutherford
Nama Reviewer Della Oktarina
Tanggal Reviewer 27 Februari 2023
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gerakan air keluar
dari saluran dengan turbulensi rendah terhambat di setiap
wilayah selama berbagai tahap pulsa banjir, dan peristiwa ini
bertepatan dengan kejadian hipoksia yang paling luas di setiap
wilayah..
Subjek Penelitian Air Rawa Sungai
Metode Penelitian Proses penelitian diawali dengan pengumpulan data oksigen
dan suhu bulanan. Sekali setiap bulan dari September 1993
hingga September 1995, kami mengukur suhu air (°C) dan
[DO] (mg L−1) di 77 stasiun dalam wilayah studi (Gambar 2).
Setiap bulan kami mengunjungi semua stasiun selama periode
2 hari hingga 5 hari, dan di tengah rawa, kanal, atau danau,
kami mengukur suhu dan [DO] dalam jarak 0,1 m dari
permukaan dan dasar kolom air dengan multiprobe Hydrolab
monitor kualitas air (Hydrolab Corporation, Austin, TX,
USA). Kami mengambil dua pengukuran masing- masing
parameter di kedua lokasi kolom air dan menggunakan nilai
rata-rata untuk mewakili suhu dan [DO] di permukaan dan
dasar setiap stasiun. Semua pengukuran dicatat antara pukul
09.00 dan 16.00 H. Stasiun dengan [DO] kurang dari 2,0 mg
L−1 di bagian atas dan bawah kolom air diklasifikasikan
sebagai hipoksia. Kami mendasarkan klasifikasi ini pada
kisaran yang dilaporkan 50-110 mmHg sebagai oksigen. Suhu
air di Cekungan biasanya berkisar antara 5–35°C, dan dalam
kisaran suhu tersebut, [DO] sebesar 2,0 mg L−1 selalu
mewakili PO2B 45 mmHg. Oleh karena itu, ketika kolom air
menjadi hipoksia, kami berasumsi bahwa ikan yang tinggal di
sana harus berubah perilaku, secara metabolik
mengkompensasi kekurangan oksigen melalui hiperventilasi
atau bradikardia, menghemat energi melalui penghentian
metabolisme yang ditargetkan, atau menggunakan respirasi
anaerobik untuk memenuhi metabolisme merek biaya.
Hasil Penelitian
Kekuatan Penelitian
Kelemahan Penelitian
Kesimpulan Hipoksia terutama terjadi di stasiun di saluran berenergi
rendah. Jumlah hipoksia stasiun di saluran ini bervariasi dalam
kaitannya dengan tren musiman di tingkat sungai dan suhu air,
tetapi tidak terpengaruh oleh perubahan jangka pendek angin,
hujan, atau fluks pasang surut. Memang, kami menghitung
angin, hujan, dan fluks pasang surut dalam sejumlah format
spesifik berdasarkan pada bagaimana kami percaya variabel
tersebut dipromosikan terjadinya hipoksia. Namun, selama
dan setelah studi ini kami secara teratur menggunakan tahapan
sungai dan data suhu untuk menargetkan pengambilan sampel
ikan dan invertebrata dari habitat normoksik dan hipoksia, dan
dengan demikian memeriksa bagaimana [DO] mempengaruhi
hewan air di Cekungan (Davidson, 1996; Gelwicks, 1996;
Shenoi, 1996; Brunet, 1997; Fontenot, 1997; Griffin, 1997;
Hickman, 1998). Kondisi cuaca dan pasang surut pola berubah
setiap hari selama studi ini, tetapi kejadian hipoksia hanya
berubah sehubungan dengan pulsa banjir.

REVIEW ARTIKEL 2

Judul Jurnal Potensi Lahan Rawa Pengembangan Untuk Mendukung


Program Food Estate di Kalimantan Tengah, Indonesia
Nama Jurnal Jurnal Lingkungan dan Urbanisasi ASIA
Volume dan Halaman Volume 1 Nomor 2 , Halaman 1 - 12
Tahun 2022
Nama Penulis Fahmid, Imam Mujahidin, Wahyudi, Adang Agustian, Rizma
Aldillah dan Endro Gunawan
Nama Reviewer Della Oktarina
Tanggal Reviewer 23 Februari 2023
Tujuan Penelitian • Untuk menganalisis potensi dan hambatan
pengembangan lahan rawa pada program perkebunan
pangan
• untuk menganalisis kondisi sosial-ekonomi petani di
lokasi perkebunan pangan
• memberikan kesimpulan dan rekomendasi untuk
percepatan pertanian padi di lahan rawa sebagai lokasi
perkebunan pangan untuk memperkuat ketahanan
pangan
Subjek Penelitian Lahan Rawa
Metode Penelitian Metode analisis dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dan kuantitatif yang disajikan dalam tabel dan
gambar.
Hasil Penelitian
Kelemahan Penelitian
Kekuatan Penelitian
Kesimpulan • Program Food Estates adalah sistem pertanian skala
besar dengan cluster dan banyak komoditas yang
dikembangkan dalam satu sistem rantai nilai produksi
dengan integrasi kegiatan di pertanian dan di luar
pertanian dan penerapan mekanisasi modern,
digitalisasi dan sistem manajemen perusahaan petani.
• Food Estate telah didirikan dengan memanfaatkan
sumber daya lokal secara optimal dan berkelanjutan
• Karakteristik utama petani terdiri dari usia, jumlah
anggota keluarga, pendidikan, jenis pekerjaan, sumber
pendapatan rumah tangga dan status kepemilikan
tanah. Di lokasi penelitian CoE usia berkisar antara
40-50 tahun, jumlah anggota keluarga rata-rata 3-4
orang, pendidikan formal 7-8 tahun, pengalaman
bertani 20-23 tahun, dan kepemilikan tanah 2-3 ha.
Pendapatan petani dari budidaya padi selama musim
hujan sekitar 5–6,5 juta Rupiah/hektar/musim dengan
rasio R/C 1,6–1,9 dan selama musim kemarau adalah
8,6–9 juta Rupiah/hektar/musim dengan rasio R/C
2,0–2,2.

REVIEW ARTIKEL 3

Judul Jurnal Pengembangan Varietas Padi Adaptif Nontidal Rawa


Menggunakan MABC : Karakteristik Pertumbuhan Induk
Tanam dan Hasil F1
Nama Jurnal Jurnal Ilmu Bumi dan Lingkungan
Volume dan Halaman Volume 7 Nomor 41 , Halaman 1 -5
Tahun 2021
Nama Penulis Suwignyo, R A, I Irmawati, F Hose, dan S L Aulia
Nama Reviewer Della Oktarina
Tanggal Reviewer 27 Februari 2023
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan varietas
padi yang adaptif terhadap kondisi agroekosistem rawa
nontidal yang memiliki ketahanan ganda [toleran terhadap
cekaman terendam pada fase vegetatif dan cekaman
kekeringan pada fase generatif] serta memiliki pertumbuhan
dan produksi yang lebih baik. Hasil penelitian ini dipaparkan
sebagai tahap awal dalam proses penelitian yaitu persilangan
F1, kemudian akan dilanjutkan dengan persilangan balik dan
diseleksi menggunakan seleksi berbantuan marka.
Subjek Penelitian Varietas Padi Adaptif Nontidal
Metode Penelitian Metode Penelitian ini menggunakan Rangangan Acak
Kelompok dengan 3 ulangan untuk mengevaluasi
pertumbuhan dan hasil kedua varietas tetua. Persilangan
dilakukan dengan menggunakan metode resiprokal. Varietas
yang digunakan untuk persilangan adalah Inpago 5 dan Inpara
8.
Hasil Penelitian
Kekuatan Penelitian
Kelemahan Penelitian
Kesimpulan Varietas tetua memiliki karakter yang berbeda dalam
pertumbuhan dan hasil. Inpago 5 memiliki tinggi tanaman
lebih tinggi, tetapi jumlah anakan dan jumlah gabah per
tanaman lebih rendah. Kedua varietas disilangkan secara
timbal balik dan keberhasilan persilangan lebih dari 50%.
Tanaman F1 akan disilangkan balik dengan tetua betinanya
untuk mendapatkan tanaman BC1F1, kemudian diseleksi
menggunakan metode Marker-Assisted Backcrossing
[MABC] [seleksi foreground, seleksi fenotipik, dan seleksi
latar belakang] untuk mendapatkan tanaman BC1F1 dengan
proporsi genom yang mendekati betina. orang tua dan
dikonfirmasi memiliki gen Sub1.

REVIEW ARTIKEL 4

Judul Jurnal Ciri-ciri usahatani padi sawah di Selatan Sumatera: kearifan


lokal untuk mitigasi perubahan iklim
Nama Jurnal Jurnal Ilmu Bumi dan Lingkungan
Volume dan Halaman Volume 7 Nomor 24 , Halaman 1 -8
Tahun 2021
Nama Penulis Ratmini, N P S, Herwenita
Nama Reviewer Della Oktarina
Tanggal Reviewer 27 Februari 2023
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk pelestarian lingkungan
dan mitigasi perubahan iklim. Data dikumpulkan melalui
wawancara dengan petani dan penyuluh pekerja dan ulasan
studi dan artikel eksperimental yang relevan, terutama
ditentukan oleh alam seperti banjir dan kekeringan yang tiba-
tiba.
Subjek Penelitian Padi
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Kekuatan Penelitian
Kelemahan Penelitian
Kesimpulan • Swampland dicirikan oleh tingkat kesuburan tanah
yang moderat yang dibagi menjadi tiga jenis: rawa
dangkal, rawa-rawa tengah, dan rawa-rawa dalam.
• Rawa dengan kondisi banjir dan kekeringannya telah
berusaha menggunakan varietas yang disesuaikan.
Beberapa varietas tersebut adalah Inpara-1, Inpara-
2, Inpara-4, Batutegi, Limboto, Inpari-1, Inpari-4,
Inpari-6, Inpari-9 dan Mekongga.

REVIEW ARTIKEL 5

Judul Jurnal Pengelolaan Air Rawa Sebagai Adaptasi Terhadap Air


Perubahan Iklim Di Sumatera Selatan
Nama Jurnal Jurnal Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Sriwijaya
Volume dan Halaman Halaman 1- 6
Tahun 2013
Nama Penulis Puspitahati, Saleh, dan Purnomo, RH
Nama Reviewer Della Oktarina
Tanggal Reviewer 23 Februari 2023
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai alternatif dan peluang strategis teknologi
pengelolaan air dan sistem irigasi sebagai adaptasi terhadap
perubahan iklim di Sumatera Selatan.
Subjek Penelitian Air di Lahan Rawa
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah kajian literatur
dan data sekunder dari beberapa penelitian yang berkaitan
dengan rawa
Hasil Penelitian • Masalah yang berkaitan dengan lahan rawa di
Sumatera Selatan adalah produksi yang rendah karena
sistem pengelolaan air yang tidak tepat selain faktor
biofisik dan kesuburan tanah yang rendah. Masalah-
masalah ini dimulai selama proses reklamasi rawa
dengan menggali saluran besar seperti saluran primer,
sekunder dan tersier
• Varietas beras yang memiliki hasil yang relatif tinggi
adalah IR42 terutama di Lematang dengan hasil rata-
rata 4 hingga 5 ton/ha. Tanaman kedua yang memiliki
adaptasi yang baik seperti jagung, kedelai, dan kacang
hijau dibudidayakan di rawa dangkal. Tanaman umbi
dan dingin juga dibudidayakan di lahan rawa di
Sumatera Selatan.
• Rawa yang mengalami banjir air dangkal dapat
dikelola sebagai sawah yang diberi makan hujan atau
kombinasi sawah dan bund (surjan system). Teknologi
ini telah dikembangkan oleh Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa (Balitra)
• Teknologi alternatif lain untuk pengelolaan air di
lahan rawa terdiri dari : a). Sistem saluran air
dilengkapi dengan gerbang partisi (stop log) di sisi kiri
dan kanan saluran tersier; b). Sistem saluran dengan
gerbang partisi (stop log) di sisi kiri saluran tersier dan
gerbang flap di sisi kanan saluran tersier.
• Teknologi keseimbangan air untuk lahan mampu
menentukan kondisi agroklimatik, terutama dinamika
kadar air tanah di lahan rawa yang selanjutnya dapat
digunakan untuk merancang pola penanaman umum.

Kekuatan Penelitian Kekuatan penelitian ini ialah tidak hanya menggunakan


informasi dari literatur namun juga diperkuat dengan data-data
sekunder dari beberapa penelitian yang masih berkaitan.
Kelemahan Penelitian
Kesimpulan • Strategi pengelolaan air pada lahan rawa dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa alternatif
teknologi dan sistem irigasi dengan memperhatikan
tipologi lahan, karakteristik lahan rawa, kondisi tanah,
rejim aliran air dan topografi lahan rawa sehingga
dapat diubah dari kondisi marginal menjadi kondisi
optimal.
• Pengelolaan air dilakukan dengan mengontrol muka
air tanah. Tinggi muka air tanah dapat ditentukan dari
aspek hidrologi, klimatologi dan kebutuhan air. Oleh
karena itu, pengelolaan air di lahan rawa dapat
beradaptasi terhadap perubahan iklim.
DAFTAR PUSTAKA

Ar-Riza dan Alkasuma. 2008. PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT DAN
STRATEGI PENGEMBANGANNYA DALAM ERA OTONOMI DAERAH. Jurnal
Sumberdaya Lahan. Vol 2(2). 95-104

Djamhari Sudaryanto, 2009. PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI LAHAN LEBAK


SEBAGAI ALTERNATIF DALAM PENGEMBANGAN LAHAN PERTANIAN KE LUAR
PULAU JAWA. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol 11(1). 64-69

Hafizah. N, Mukarramah. R. 2017. APLIKASI PUPUK KANDANG KOTORAN SAPI


PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicum frustescens
L.) DI LAHAN RAWA LEBAK. Ziraa’ah Majalah Ilmiah Pertanian. Vol 42 (1). 1

Masganti, et. all. 2017. Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian.
Jurnal Sumber Daya Lahan. Vol 11 (1). 59-66

Napitupulu, et. all. 2015. Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Gambut Yang
Berkelanjutan. Annual Civil Engineering Seminar

Suriadikarta, Didi Ardi. 2012. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN RAWA


BERKELANJUTAN: STUDI KASUS KAWASAN EX PLG KALIMANTAN TENGAH.
Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol 6 (1) : 45- 54.

Susilawati, et. all. 2016. Optimalisasi Penggunaan Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung
Swsembada Pangan Nasional. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol 10 (1). 51-64

Wahyudin, Y. 2018. Karakteristik Sumberdaya Pesisir dan Laut Kawasan Teluk Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Bonoworo Wetlands. 1 (1) : 19–32.

Anda mungkin juga menyukai