Anda di halaman 1dari 58

Lahan Pasang Surut

Lahan pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh
pasang surutnya air laut atau sungai. Berdasarkan sifat kimia air
pasangnya, lahan pasang surut dibagi menjadi dua zona yaitu zona air
pasang surut salin dan pasang surut air tawar. Berdasarkan jangkauan air
pasang, lahan pasang surut dibagi berdasarkan tipe luapannya yaitu : 1)
tipe luapan A, terluapi air pasang baik pasang besar maupun kecil, 2)
tipe luapan B, hanya terluapi air pada pasang besar saja, 3) tipe luapan
C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air tanahnya < 50 cm, 4) tipe
luapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50 cm. [1]

PEMANFAATAN LAHAN PASANG SURUT UNTUK PERSAWAHAN DALAM UPAYA


MENINGKATKAN PRODUKSI PADI

PENDAHULUAN
Tanaman padi (Oryza sativa L) merupakan komoditi utama karena fungsinya sebagai
sumber makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Akhir-akhir ini isu tentang
ketahanan pangan (food security) semakin bekembang. Padi mulai memiliki multi fungsi bukan
hanya sebagai bahan pokok saja tetapi juga menjadi sumber penghidupan, lapangan berusaha,
sumber devisa, dan berfungsi dalam mempertahankan stabilitas sosial-keamanan (Soleh
Solahuddin, 1998). Penyusutan lahan persawahan dari tahun ke tahun semakin dirasakan karena
pesatnya pembangunan. Alih fungsi yang terjadi menyebabkan penurunan pasokan pangan
terutama padi. Hilangnya satu hektar lahan persawahan (produktivitas rata-rata 4,5 ton GKG/ha)
identik dengan hilangnya produksi beras sebesar 4,5 juta ton beras/musim tanam (Muhammad
Noor, 1996). Perluasan lahan pertanian dilakukan dengan cara memanfaatkan lahan-lahan
marjinal, diantaranya lahan pasang surut. Hal ini dianggap mampu menggantikan kehilangan
produksi tersebut.
Lahan pasang surut merupakan lahan yang penyebarannya cukup luas. Di Indonesia
terdapat sekitar 20,10 juta ha lahan pasang surut di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan
dan Irian Jaya (Widjaja Adhi et al., 1992). Sebagian besar dari luasan tersebut belum
dimamfaatkan secara maksimal. Usaha pemanfaatan lahan pasang surut di kawasan Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah dimulai sekitar 200 tahun yang lalu secara tradisional.
Pada sekitar tahun 1920-an mulai dilakukan berbagai pembangunan di daerah lahan
pasang surut antara lain pembuatan jalan, transmigrasi dan pembuatan saluran drainase.
Programini ternyata cukup berhasil sehingga mengilhami pemerintah untuk melakukan
pembukaan lahan pasang surut secara besar-besaran dengan dibentuknya Tim Proyek
Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Hal ini membuat wilayah ini mulai dikenal sebagai
salah satu lumbung padi di Indonesia. Bahkan ketika Indonesia menjadi negara swasembada
beras ( tahun 1984) ternyata 59.1 % didukung dari hasil padi di lahan pasang surut (Isdijanto Ar-
Riza et al., 1997).
Pemanfaatan lahan pasang surut terutama untuk tanaman padi menghadapi berbagai
kendala. Secara garis besar meliputi, rendahnya kesuburan tanah karena kemasaman tanah yang
tinggi (pH 3,0-4,5), kahat hara makro, adanya ion atau senyawa yang meracun (Al, Fe, SO4) dan
bahan organik yang belum terdekomposisi. Selain itu, keadaan tata airnya yang kurang baik
menjadi faktor pembatas dalam pengelolaannya (Muhammad Noor, 1996). Meskipun dalam
pemanfaatannya menghadapi banyak kendala, namun lahan pasang surut memberi harapan dan
prospek yang baik. Karena potensi lahannya yang sangat luas apabila diusahakan secara intensif
maka dapat meningkatkan produksi padi di masa datang. Selain itu vegetasi alami yang tumbuh
di lahan pasang surut bisa menjadi sumber bahan organik yang aman dalam meningkatkan
kesuburan tanah. pada lahan pasang surut penggunaan pupuk dapat dikurangi sehingga biaya
yang dikeluarkan petani dapat ditekan.

BAB II
TELAAH PUSTAKA
Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan air memegang
peranan sangat penting. Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan kedalaman gambut,
tingkat pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum), ada tidaknya bahan pengkayaan,
dan tipe luapan pasang surut. Untuk menanggulangi, mengurangi, dan menghilangkan
kemasaman serta untuk meningkatkan hasil komoditas yang dibudidayakan di lahan sulfat
masam, pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan. Tipologi
lahan sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, tipologi lahan sulfat masam aktual dengan
tipe luapan B, C, D (Ritzema et al., 1993).
Berdasarkan kemampuan arus pasang mencapai daratan, maka tipe luapan pada lahan
rawa pasang surut dibedakan menjadi 4 macam tipe luapan yaitu : (Kselik, 1990; Widjaja-Adhiet
al., 1992)
Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pada saat pasang maksimum
(spring tide) maupun pasang minimum (neap tide).
Tipe B : Lahan yang terluapi air pasang pada saat pasang besar.
Tipe C : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh
pada air tanah dan kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm.
Tipe D : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh
pada air tanah dan kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm.

Gambar 1. Tipe luapan air pada lahan rawa pasang surut


(Sumber : Widjaja-Adhi et al., 1992)

Klasifikasi tipe luapan ini didasarkan pada pasang maksimum dan minimum pada saat
musim hujan (Gambar 1). Untuk musim kemarau,kemampuan arus pasang mencapai daratan
berkurang, sehingga perlu perancangan teknik pengelolaan air harus disesuaikan.
Pemanfaatan lahan pasangan surut terutama tipe A dan tipe B yaitu sistem persawahan
karena sistem ini paling tepat dan aman terutama terhadap kendala yang ditimbulkan akibat sifat
fisik dan kimia tanah. Sistem sawah akan membuat tanah tetap dalam keadaan reduksi dan pada
keadaan ini pirit tetap stabil di dalam tanah sehingga tidak membahayakan bagi tanaman padi
(Widjaya-Adhi et al., 1992). Berhubungan dengan sistem ini maka pemilihan varietas yang
sesuai, pengelolaan air dan pemanfaatan vegetasi alami merupakan kunci utama dalam
memperoleh hasil yang optimal.
Kendala dan Upaya Pemanfaatan Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut biasanya
dicirikan oleh kombinasi beberapa kendala seperti (Anwarhan dan Sulaiman, 1985):
1. Ph rendah
2. Genangan yang dalam
3. Akumulasi zatzat beracun ( besi dan aluminium)
4. Salinitas tinggi, kekurangan unsur hara
5. Serangan hama dan penyakit
6. Tumbuhnya gulma yang dominan.

A. Pemilihan varietas untuk persawahan


Sebagian besar petani di lahan pasang surut menggunakan padi varietas lokal. Di
kalimantan selatan terdapat lebih dari 100 jenis padi lokal. Meskipun masa semai sampai panen
hampir satu tahun tetapi ada banyak keunggulannya antara lain :
1) Kegiatan budidaya padi lokal sekali setahun dimulai bulan April- Mei dan air di lahan mulai
surut sehingga siap dilakukan penanaman.
2) Keadaan air cukup dalam ( bagi padi ungggul) pada saat tanam sedangkan padi lokal mampu
tumbuh karena mempunyai batang yang cukup tinggi sehingga keadaan ini mengurangi serangan
gulma. Saaat air lebih surut maka kanopi padi sudah sempurna menutupi permukaan tanah.
akibatnya gulma yang tumbuh relatif kecil. Serangan hama walang sangit biasa menyerang pada
bulan juni dapat dihindari karena fase masak susu terjadi pada bulan juli. Disamping itu, padi
lokal biasa dipanen bulan Agustus-September sehinggga menghindari serangan tikus.
3) Pada musim tanam bulan April konsentrasi senyawa meracun seperti garam dan besi mulai
menurun (Hasegawa et al., 2003). Hal ini disebabkan curah hujan bulan Desember-Maret yang
tinggi, air hujan mengencerkan senyawa meracun pada level yang tidak membahayakan.
4) Varietas padi lokal mampu tumbuh pada suasana masam.
5) Akar padi varietas lokal (kal-sel) mampu mengeluarkan eksudat sehingga membuat pH di
sekitar rhizoplant jauh lebih tinggi dibandingkan pH tanah. hal ini berasosiasi dengan adanya
peningkatan ammonia (NH3) yang berasal dari orgaisme penambat N yaitu Spingomonas sp yang
hidup di rhizoplant padi lokal.
B. Pengelolaan tata air
Sistem tata air yang telah dikembangkan untuk reklamasi lahan pasang surut terdapat
empat sistem yaitu sistem controllled drainage (sistem Handil), sistem Tidal Swamp Canalization
( sistem anjir), sistem garpu dan sistem sisir (Departemen Pertanian, 1985 ; Muhammad Noor,
2000).

1. Sistem controlled drainage (sistem Handil).


Kata handil diambil dari kata anndeel dalam bahasa Belanda yang artinya kerjasama,
gotong royong. Sistem controllled drainage (sistem Handil) merupakan penyempurnaan dari
sistem rakyat yang didasarkan pada sistem tradisional. Rancangannya sangat sederhana dengan
membuat saluran yang menjorok masuk dari muara sungai di kiri dan kanan sungai untuk
keperluan drainase dan pengairan. Saluran berukuran lebar 2m 3m, dalam 0,5 1 m, dan
panjang masuk dari muara sungai 2 km 3 km. Jarak antara handil satu dengan yang lainnya
berkisar 200 m 300 m. panjang handil biusa ditambah atau diperluas mencapai 20 60 ha (
Idak, 1982 ; Noorsyamsi et al., 1984). Pada pinggiran handil dibuat saluran-saluran yang tegak
lurus sehingga suatu handil dengan jaringan saluran-salurannya menyerupai bangunan sirip ikan
atau daun tulang nangka. Sistem ini mengandalkan tenaga pasang untuk mengalirkan air sungai
ke saluran-saluran handil dan parit kongsi, kemudian mengeluarkannya ke arah sungai jika surut.
2. Sistem Tidal Swamp Canalization ( sistem anjir)
Sistem Tidal Swamp Canalization ( sistem anjir) yaitu sistem tata air makro dengan
pembuatan saluran yang menghubungkan dua sungai besar. Saluran induk berfungsi sebagai
saluran pemberi pada waktu pasang dan sebagai saluran pembuang pada waktu surut.

3. Sistem garpu
Sistem garpu adalah sistem tata air dirancang dengan saluran-saluran yang dibuat dari
pingir sungai masuk menjorok ke pedalaman berupa saluran navigasi dan saluran primer,
kemudian disusul dengan saluran sekunder yang terdiri atas dua saluran cabang sehingga
jaringan berbentuk menyerupai garpu. Ukuran lebar saluran primer antara 10 m- 20 m . ukuran
lebar saluran sekunder antara 5 m 10 m (Notohadiprawiro, 1996). Pada setiap ujung saluran
sekunder dibuat kolam yang berukuran luas sekitar 90.000 m2 (300m x 300m) sampai dengan
200.000 m2 (400mx 500 m) dengan kedalaman antara 2,5 m 3,0 m. Kolam ini berfungsi untuk
menampung sementara unsur dan senyawaberacun pada saat pasang, kemudian diharapkan
keluar mengikuti surutnya air.
4. Sistem sisir
Sistem sisir merupakan pengembangan sistem anjir yang dialihkan menjadi satu saluran
utama atau dua saluran primer yang membentuk sejajar sungai. Panjang saluran sekunder
mencapai 10 km. Pada sistem ini dubuat saluran pemberi air dan saluran pembuangan berbeda.
Pada setiap saluran tersier dipasang pintu air yang bersifat otomatis (aeroflapegate). Pintu ini
bekerja secara otomatis mengatur tinggi muka air sesuai pasang dan surut.
C. Potensi vegetasi alami (gulma) lahan pasang surut
Ada berbagai spesies yang tumbuh di lahan pasang berdasrkan hasil inventarisasi gula
yang dijumpai sebanyak 181 spesies yang terdiri dari tiga golongan, yakni golongan rumput,
golongn teki dan golongan berdaun lebar. Gulma ini bukan hanya sebagai tanaman pengganggu
bagi tanaman padi tetapi sangat bermanfaat.
Gulma mampu tumbuh dengan sangat cepat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
organik sumber unsur-unsur hara yang berguna bagi tanaman, seperti Azollae pinata yang
mampu menambat N. Pemanfaatan ini sangat berarti besar dalam usaha menjaga nilai kesuburan
tanah.. Teknik pemanfaatanya sudah diterapkan oleh petani, diantaranya ketika penyiangan maka
gulma yang dicabuk dibenamkan kembali kedalam tanah dan cara ini dapat menyuburkan tanah
tanpa memerlukan masukan dari pupuk. Dengan memperhatikan berbagai aspek mulai dari
karakteristik, potensi dan kendala yang dihadapi, maka solusi yang terbaik dalam pemanfaatan
lahan pasang surut untuk meningkatkan produksi padi tanpa harus meniggalkan kaidah pertanian
yang berkesinambungan dengan berwawasan lingkungan. Sehingga di masa yang akan datang
lahan pasang suruttidak menjadi lahan yang terdegradasi dan rusak. Hal yang terpenting adalah
lahan pasang surut mampu memberi hasil dan keuntungan bagi petani.

Pengertian Rawa
Agustus 18, 2011

Lahan rawa adalah lahan yang tergenang secara terus menerus


akibat drainase buruk. Lahan rawa di bagi menjadi dua yaitu rawa
lebak dan rawa pasang surut. Lahan rawa pasang surut merupakan
lahan yang dipengaruhi oleh pasang surut airlaut. Lahan rawa
pasang surut jika dikembangkan secara optimal dengan
meningkatkan fungsi dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan
yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian di masa depan.
Untuk mencapai tujuan pengembangan lahan pasang surut secara
optimal, ada beberapa kendala. Kendala tersebut berupa faktor
biofisik, hidrologi yang menyangkut tata air, agronomi, sosial dan
ekonomi.
Tata air atau pengelolaan air sangat baik dalam memperbaiki
kualitas tanah dan menanggulangi atau mengurangi degradasi
tanah akibat salah pengelolaan. Konsep dasar strategi tata air
didasarkan pada sifat tanah dan tipe luapan pasang surut. Pada
daerah rawa pasang surut terdapat empat tipe luapan yaitu tipe A,
B, C, dan D. Namun pada daerah penelitian Delta Telang Sumatera
Selatan, blok sekunder P8-12S memiliki tipe luapan A, sedangkan
pada blok sekunder P17-6S memiliki tipe luapan B. Masing-masing
tipe luapan terdapat perbedaan terhadap ketinggian genangan air.
Pada pengembangan lahan rawa pasang surut untuk sawah,
karena kondisi tergenang dan kering silih berganti mengakibatkan
adanya perubahan kondisi reduktif dan oksidatif yang silih berganti
juga. Pada keadaan tergenang (reduktif) mengakibatkan kation-
kation seperti K, Ca, Mg menjadi terjerap koloid tanah yang
bermuatan negatif. Sedangkan dalam keadaan kering yang lama
(oksidatif) mengakibatkan teroksidasinya pirit yang dapat meracuni
tanaman. Untuk mengatasinya yaitu dengan pengelolaan air yang
baik sehingga dapat mengurangi unsur-unsur yang bersifat racun
dan menghindari proses pemasaman lanjut.
Namun demikian, pengelolaan air masih terkendala oleh kondisi
infrastruktur pengendali air yang kurang memadai. Dan juga karena
terjadinya pengikisan tanggul serta sewaktu-waktu tidak ada
pergerakan air maka terjadinya pengendapan yang
menghasilkan lumpur, dalam waktu semakin lama pengendapan itu
akan semakin tebal.
Selain itu, teknik pengelolaan air yang diterapkan juga masih
bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di
lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan.
Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, namun pengamatan secara
langsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya, serta terbatas
pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu
(Ngudiantoro et al,2009).

Melalui pengelolaan lahan dan air yang tepat, maka produksi dan
indeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut akan dapat
ditingkatkan. Aspek utama pengelolaan air pada lahan rawa pasang
surut yaitu pengendalian muka air tanah yang berfluktuasi sehingga
dicapai kondisi muka air tanah di petak lahan yang dapat
mendukung pertumbuhan tanaman (Ngudiantoro et al, 2009).
Susanto (2010) menjelaskan bahwa, hasil penelitian di Delta Telang
I menunjukkan optimalisasi lahan rawa pasang surut untuk produksi
pangan misalnya terbukti telah mampu meningkatkan produksi dari
3-4 ton GKP/ha/musim menjadi 7-8 ton GKP/ha/musim, bahkan
juga meningkatkan indeks pertanaman.
Sistem jaringan reklamasi rawa pasang surut mencangkup
pengelolaan air di tingkatmakro dan mikro. Pengelolaan air ditingkat
makro merupakan air yang dimulai sungai, saluran primer hingga
sekunder. Sedangkan pengelolaan air ditingkat mikro mencangkup
pengelolaan air tersier, kuarter hingga lahan usaha tani. Salah satu
aspek usaha tani yang erat kaitannya dengan tingkat produksi
pertanaman per areal musim tanam ataupun intensitas pertanaman
selama satu tahun adalah tata air mikro di lahan usaha tani
(Susanto, 2010).
Dengan pengelolaan air yang baik, maka dapat melakukan
pengaturan pola tanam dan waktu tanam yang sesuai. Sehingga
dapat meningkatkan indeks pertanaman (per musim tanam). Hal ini
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani.

Dari uraian diatas, menunjukkan bahwa jaringan dan sistem tata air
merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan dan
peningkatan produksi dan lahan pertanian serta sifat fisik tanah
berpengaruh dalam pertumbuhan dan produksi tanaman
http://pupi23.wordpress.com/2011/08/18/pengertian-rawa/

Pertanian Berkelanjutan di Tanah pasang surut

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan produkivitas
tanaman pangan khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk
Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat karena selain penduduk terus bertambah dengan laju
peningkatan sekitar 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke
beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi akibat konversi lahan untuk kepentingan
non pertanian dan munculnya penomena degradasi kesuburan lahan menyebabkan produktivitas padi
sawah irigasi cenderung melandai (Deptan, 2008). Berkaitan dengan perkiraan terjadinya penurunan
produksi tersebut maka perlu diupayakan penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas
pertanaman dan produktivitas lahan sawah yang ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan
lahan potensial lainnya termasuk lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut.

Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan
pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Lahan pasang surut
Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan 9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk
pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993). Propinsi Jambi diperkirakan memiliki lahan rawa
seluas 684.000 ha, berpotensi untuk pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan pasang
surut 206.832 ha dan lahan non pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda, 2000). Menurut Suwarnoet
al. (2000) bahwa permintaan bahan pangan khususnya beras terus meningkat dari tahun ke tahun
sehingga mendorong pemerintah untuk mengembangkan lahan pertanian ke wilayah-wilayah
bermasalah diantaranya lahan rawa pasang surut yang tersedia sangat luas, diperkirakan lahan pasang
surut dan lahan marginal lainnya yang belum dimanfaatkan akan semakin meningkat perannya dalam
pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan tersebut untuk pertanian merupakan
alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan produktif terutama di pulau Jawa yang beralih
fungsi untuk berbagai keperluan pembangunan non pertanian. Hasil penelitian Ismail et al. (1993)
menunjukkan bahwa lahan rawa ini cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman pangan,
perkebunan, hortikultura maupun usaha peternakan. Kedepan lahan rawa ini menjadi
sangatstrategis dan penting bagi pengembangan pertanian sekaligus mendukung ketahanan pangan dan
usaha agribisnis (Alihamsyah, 2002).

Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya produktivitasnya masih rendah, karena tingkat
kesuburan lahannya rendah, mengandung senyawa pirit, masam, terintrusi air laut dan dibeberapa
bagian tertutup oleh lapisan gambut. Pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut menghadapi
berbagai kendala seperti kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara, salinitas serta air yang
sering tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Komoditas yang banyak diusahakan petani adalah padi
dengan teknik budidaya yang diterapkan masih sederhana dan menggunakan varietas lokal serta
pemupukan tidak lengkap dengan takaran rendah (Suwarno et al, 2000). Untuk mendukung
pengembangan pertanian di lahan pasang surut, pemerintah melalui lembaga penelitian dan perguruan
tinggi telah melakukan kegiatan penelitian di beberapa lokasi pasang surut Kalimantan dan Sumatera
selama sekitar 20 tahun. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanaman Rawa dan berbagai
proyek penelitian juga telah melakukan kegiatan penelitian secara intensif sejak pertengahan tahun
1980 an. Berbagai komponen teknologi usahatani sudah dihasilkan dan berbagai paket teknologi
usahatani juga sudah direkayasa untuk mendukung pengembangan usahatani atau agribinis di lahan
pasang surut. Litbang pertanian juga telah menghasilkan berbagai komponen teknologi pengelolaan
lahan dan komoditas serta model usahatani (Ismail et al., 1993 dan Alihamsyah et al., 2003).
Umumnya petani dilahan pasang surut mengusahakan tanaman padi hanya satu kali dalam
setahun yaitu penanaman padi dilakukan pada musim hujan, dengan pola tanam padi bera atau padi
palawija. Namun pola tanam padi bera lebih dominan dibandingkan dengan pola tanam padi-palawija.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan produksi padi melalui intensifikasi dengan meningkatkan
produktivitas padi musim hujan melalui penerapan inovasi teknologi PTT padi dan meningkatkan
intensitas pertanaman padi di lahan pasang surut. Makalah ini bertujuan mengoptimalkan potensi
sumber daya lahan lahan untuk peningkatan produksi dan produktivitas padi melalui penerapan inovasi
teknologi pertanaman padi musim hujan dan peningkatan intensitas pertanaman padi (IP Padi 200) di
lahan pasang surut desa Teluk Ketapang Kecamatan Senyerang Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Provinsi Jambi.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Pertanian Berkelanjutan yang di
lakukan pada Lahan Rawa Pasang Surut.

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lahan Pasang surut

Lahan rawa adalah lahan yang tergenang secara terus menerus akibat drainase buruk. Lahan rawa
di bagi menjadi dua yaitu rawa lebak dan rawa pasang surut. Lahan rawa pasang surut merupakan lahan
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Lahan pasang surut merupakan suatu lahan yang terletak pada zone/wilayah sekitar pantai yang
ditandai dengan adanya pengaruh langsung limpasan air dari pasang surutnya air laut atau pun hanya
berpengaruh pada muka air tanah. Sebagian besar jenis tanah pada lahan rawa pasang surut terdiri dari
tanah gambut dan tanah sulfat masam.

Lahan rawa pasang surut jika dikembangkan secara optimal dengan meningkatkan fungsi dan
manfaatnya maka bisa menjadi lahan yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian di masa depan.
Untuk mencapai tujuan pengembangan lahan pasang surut secara optimal, ada beberapa kendala.
Kendala tersebut berupa faktor biofisik, hidrologi yang menyangkut tata air, agronomi, sosial dan
ekonomi
Kemudian tanah pasang surut biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan terutama
untuk lahan persawahan. Luas lahan pasang surut yang dapat dimanfaatkan berfluktuasi antara musim
kemarau dan penghujan. Pemanfaatan lahan pasang surut telah menjadi sumber mata pencaharian
penting bagi masyarakat disekitarnya meskipun belum dapat menggunakannya sepanjang tahun. Rata -
rata lahan pasang surut hanya dapat ditanami sekali dalam setahunnya selebihnya dibiarkan dalam
keadaan bero karena tergenang air. Tergenangnya lahan pasang surut secara periodik ada kaitannya
dengan kepentingan pembangkit tenaga listrik dan meluapnya air pada musim penghujan.
(Hanggari,2008)

2.1.1 Zona wilayah lahan pasang surut

Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut
terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian
terdepan dan pinggiran pulau-pulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh
pasang surut air laut/salin. Pada zona wilayah rawa, terdapat kenampakan-kenampakan (features)
bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang khas disebut landform.
Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform marin. Pembagian lebih detail dari landform
marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan
vertikal tegak lurus pantai. dan diilustrasikan pada Gambar :

Bagian terdepan terdapat dataran lumpur, atau mud-flats, yang terbenam sewaktu pasang
dan muncul sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut. Di belakang dataran lumpur, pada
pantai yang ombaknya kuat dan pantainya berpasir, dapat terbentuk bukit-bukit rendah (beting) pasir
pantai. Tanah yang terbentuk di sini merupakan tanah berpasir. Di belakangnya terdapat danau-danau
kecil dan sempit yang disebut laguna (lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah basah bertekstur liat.
Lebih ke dalam ke arah daratan, dijumpai rawa pasang surut bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian
masih selalu digenangi pasang dan ditumbuhi hutan bakau/ mangove. Sebagian lagi, di wilayah
belakangnya terdapat bagian lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang melalui sungai-sungai
kecil (creeks), namun juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water) yang kuat dari wilayah hutan
rawa dan gambut air tawar yang menempati depresi/cekungan lebih ke darat. Bagian lahan yang
dipengaruhi air payau ini ditumbuhi banyak spesies, tetapi yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans),
panggang (Sonneratia acida), dan pedada (Araliceae).
2.2. Luas Lahan dan Penyebarannya

Dengan menggunakan peta satuan lahan skala 1 : 250.000, Nugroho et al. (1992)
memperkirakan luas lahan rawa pasang surut di Indonesia, khususnya Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
dan Irian Jaya mencapai 20,11 juta ha, yang terdiri dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,71 juta ha lahan
sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin. Sedangkan menurut wilayah dan
statusnya, menunjukkan bahwa potensi lahan pasang surut terluas ada di Sumatera, Kalimantan dan
Irian Jaya . Lahan tersebut tersebar terutama di pantai timur dan barat Sumatera, pantai selatan
Kalimantan, pantai barat Sulawesi serta pantai utara dan selatan Irian Jaya sedangkan sebaran tipologi
lahan berbeda menurut wilayah dalam arti bahwa tiap wilayah dapat mencakup beberapa tipologi lahan
dan tipe luapan air.

Dari luas lahan pasang surut tersebut, sekitar 9,53 juta hektar berpotensi untuk dijadikan lahan
pertanian, sedangkan yang berpotensi untuk areal tanaman pangan sekitar 6 juta hektar. Areal yang
sudah direklamasi sekitar 4,186 juta hektar, sehingga masih tersedia lahan sekitar 5,344 juta hektar yang
dapat dikembangkan sebagai areal pertanian. Dari lahan yang direklamasi, seluas 3.005.194 ha
dilakukan oleh penduduk lokal dan seluas 1.180.876 ha dilakukan oleh pemerintah yang utamanya
untuk daerah transmigrasi dan perkebunan Pemanfaatan lahan yang direklamasi oleh pemerintah
adalah 688.741 ha sebagai sawah dan 231.044 ha sebagai tegalan atau kebun, sedangkan 261.091 ha
untuk keperluan lainnya.

2.3 Prospek Untuk Prosuksi Tanaman Pangan

Berbagai hasil penelitian dan pengalaman memperlihatkan bahwa lahan pasang surut memiliki
prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi areal produksif tanaman pangan untuk mendukung
peningkatan ketahanan pangan dan bahkan untuk diversifikasi produksi dan pengembangan
agroindustri serta pengembangan agribisinis dan lapangan kerja (Ismail et al., 1993).

2.4 Tipologi dan Tipe lahan pasang surut

2.4.1 Tipologi Lahan Pasang Surut

Berdasarkan tipologinya lahan pasang surut digolongkan ke dalam empat tipologi utama, yaitu:

(1) lahan potensial

Lahan potensial adalah lahan yang paling kecil kendalanya dengan ciri lapisan pirit (2 %) berada
pada kedalaman lebih dari 30 cm, tekstur tanahnya liat, kandungan N dan P tersedia rendah, kandungan
pasir kurang dari 5 persen, kandungan debu 20 % dan derajat kemasaman 3,5 hingga 5,5 . (Manwan, I.
dkk.1992). Lahan potensial yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah sulfat masam
potensial dengan lapisan pirit berkadar 2% terletak pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan
tanah (Jumberi)

(2) lahan sulfat masam

lahan sulfat masam adalah lahan yang lapisan piritnya berada pada kedalaman kurang dari 30
cm dan berdasarkan tingkat oksidadinya lahan sulfat masam ini dibagi lagi lahan sulfat masam potensial
yaitu lahan sulfat masam yang belum mengalami oksidasi dan lahan sulfat masam aktual yaitu lahan
sulfat masam yang telah mengalami oksidadi. (Manwan, I. dkk.1992).

Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi : (a) lahan sulfat masam potensial, yaitu apabila
lapisan piritnya belum teroksidasi dan (b) lahan sulfat masam aktual, yaitu apabila lapisan piritnya sudah
teroksidasi yang dicirikan oleh adanya horizon sulfurik dan pH tanah < 3,5. (Jumberi,)

(3) lahan gambut/bergambut

lahan gambut/bergambut adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dan berdasarkan
ketebalan gambutnya lahan ini dibagi ke dalam empat sub tipologi yaitu lahan bergambut, gambut
dangkal, gambut dalam dan gambut sangat dalam, umumnya lahan gambut kahat beberapa unsur hara
mikro yang ketersediaannya sangat penting untu pertumbuban dan pekermbangan tanaman(Manwan, I.
dkk.1992).

lahan gambut ini dibagi lagi menjadi : (a) lahan bergambut bila ketebalan lapisan gambut 20-50
cm, (b) gambut dangkal bila ketebalan lapisan gambut 50-100 cm, (c) gambut sedang bila ketebalan
lapisan gambut 100-200 cm, (d) gambut dalam bila ketebalan lapisan gambut 200-300 cm dan
(e) gambut sangat dalam bila ketebalan lapisan gambut > 300 cm. (Jumberi,)

(4) lahan salin

lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat intrusi air laut, sehingga mempunyai daya
hantar listrik 4 MS/cm, kandungan Na dalam larutan tanah 8 15 % (Manwan, I. dkk.1992).

Lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi air garam dengan
kandungan Na dalam larutan tanah sebesar > 8% selama lebih dari 3 bulan dalam setahun, sedangkan
lahannya dapat berupa lahan potensial, sulfat masam dan gambut. (Jumberi,?)

Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan


pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya
masih tereduksi atau sudah mengalami proses oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut
serta kandungan hara gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama dan kedalaman
genangan air banjir, dan (e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum.

Penggolongan tipologi lahan pasng surut di atas sangat umum, sehingga menyulitkan transfer
teknologi dalam satu tipologi lahan, oleh karena itu diusulkan penggelompokkan lahan yang lebih rinci
dengan mempertimbangkan berbagai ciri dan karakteristik yang lebih spesifik

2.4.2 Tipe Luapan air pasang surut

Berdasarkan tipe luapan air, tipe luapan lahan pasang surut: (1) tipe luapan A bila lahan selalu
terluapi air baik pada waktu pasang besar maupun pasang kecil dan Lahan bertipe luapan A selalu
terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau,; (2) tipe luapan B bila lahannya
hanya terluapi oleh air pasang besar. lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim
hujan saja; (3) lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan
air tanah kurang dari 30 cm dari permukaan tanah. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang
tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm,; (4) tipe luapan D bila lahannya tidak terluapi
oleh air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan air tanahnya berada pada
kedalaman lebih dari 30 cm dari permukaan tanah.

Tipologi lahan dan tipe luapan air merupakan acuan yang seharusnya dipatuhi dalam penerapan
paket teknologi agar usahatani yang dikelola dapat memberikan hasil yang optimal. Paket teknologi
usahatani itu sendiri pada garis besarnya berisi: (1) teknik pengelolaan lahan dan air yang memuat
pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik pada tingkat makro maupun tingkat mikro, penataan
dan pengeolahan lahan; (2) teknik budidaya yang memuat teknik budidaya tanaman, ikan dan ternak, di
dalamnya meliputi vareitas/jenis yang cocok, pupuk dan pemupukkan, pencegahan dan pengendalian
organisme penganggu tanaman (OPT), dan; (3) teknik reklamsi lahan. Pengelolaan lahan dan air
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan usahatani di lahan pasang surut dalam
kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahannya ( Alihamsyah, 2003).

Pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik di tingkat makro maupun ditingkat mikro
sangat tergantung dengan tipe luapan air pada satu kawasan tertantu. Pada lahan yang bertipe luapan A
diatur dengan sistem satu arah, lahan yang bertipe luapan B selain dengan sistem satu arah juga disertai
dengan sistem tabat. Sedangkan lahan yang bertipe luapan C dan D dimana sumber air utamanya adalah
air hujan digunakan sistem tabat yang dilengkapi dengan pintu stoplog untuk menjaga permukaan air
tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman dan yang lebih terpenting adalah agar permukaan air tanah
selalu tetap berada pada lapisan pirit dengan kandungan lebih dari 2% dengan maksud agar tidak terjadi
oksidasi. Pada pengaturan pemasukan dan pengeluaran air satu arah, saluran pemasukkan dan
pengeluaran dibedakan dimana antara saluran pemasukkan dan pengeluaran dibuatkan pintu engsel
(Flape Gate) yang membuka kedalam pada saluran pemasukkan dan membuka keluar pada saluran
pembuangan (Ismail, I.G. dkk. 1993).

2.5 Penataan Lahan di Pasang surut

Penataan lahan yang dianjurkan selain tergantung dari tipologi lahan dan tipe luapan air juga
tergantung dari sistem usahatani yang akan dikelola, apakah hanya satu jenis tanaman, lebih dari satu
jenis tanaman namun memiliki kebutuhan air dalam veolume yang sama atau meiliki kebutuhan air yang
berbeda. Pada lahan yang tipe luapan air A pilihannya tidak banyak untuk lahan potensial sulfat masam
dan gambut dangkal, dengan karekaterisitik ini pentaan lahan sebaiknya diarahkan sebagai sawah dan
tanaman yang diusahakan hanya padi yang dapat ditanam 2 kali. Lahan yang bertipe luapan B-C
penataaannya dapat diarahkan sebagai sawah/surjan, surjan bertahap atau tegalan, sedangkan lahan
yang bertipe luapan B untuk lahan potensial, sulfat masam, dan gambut dangkal diarahkan sebagai
tegalan dan untuk gambut sangat dalam tanaman yang disarankan adalah tanaman perkebunan
(Alihamsyah, 2003). Lebih lanjut dikemukakan, penataan lahan sebagai surjan memiliki keuntungan: (1)
intensitas penggunaan lahan meningkat; (2) beragam produksi pertanian dapat dihasilkan; (3) resiko
kegagalan panen dapat dikurangi, dan (4) stabilitas produksi dan pendapatan usahatani meningkat.

Menurut Widjaja Adhi (1995) dan Subagyo dan Widjaja Adhi (1998), lahan pasang surut dapat
ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi lahan serta
tujuan pemanfaatannya .Secara umum terlihat bahwa lahan bertipe luapan A yang karena selalu terluapi
air pasang dianjurkan ditata sebagai sawah, sedangkan lahan bertpe luapan B dapat ditata sebagai
sawah atan surjan. Lahan bertipe luapan B/C dan C karena tidak terluapi air pasang tetapi air tanahnya
dangkal dapat ditata sebagai sawah tadah hujan atau surjan bertahap dan tegalan, sedangkan untuk
yang bertipe luapan D ditata sebagai sawah tadah hujan atau tegalan dan perkebunan. Lahan lahan
sulfat masam akan lebih murah dan aman bila ditata sebagai sawah karena dalam keadaan anaerob atau
tergenang, pirit tidak berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Bila disawahkan tanaman padi
kemungkinan menderita keracunan besi dan/atau sulfida mungkin juga kahat fosfat. Sebaliknya bila
ditanami palawija atau dimanfaatkan sebagai tegalan, tanaman menderita keracunan Al dan
kemungkinan disertai kahat fosfat.

Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk merupakan faktor penting
untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas lahan. Amelioran tersebut dapat
berupa kapur atau dolomit maupun bahan organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Secara
umum pemberian kapur antara 0,5 ton hingga 3,0 ton per hektar sudah cukup memadai (Sudarsono,
1992 dan Trip Alihamsyah 2003).

Salah satu penciri yang spesifik dari lahan pasang surut adalah tingginya tingkat keragaman
kesuburan lahan sekalipun dalam satu petakan sawah. Untuk itu kisaran dosis pupuk yang dibutuhkan
batas antara kebutuhan minimal dengan kebutuhan maksimal cukup besar (Tabel 2) sedangkan pada
lahan gambut terdapat dosis tunggal namun pada lahan yang bertipologi lahan ini perlu ditambahkan
unsur hara mikro seperti Cu dan Zn, karena umumnya lahan gambut kahat akan unsur hara mikro
(Suryadilaga, D.A., dkk.1992 dan Sudarsono 1992). Untuk mendapatkan dosis pupuk yang tepat pada
tingkat keragaman yang tinggi merupakan suatu masalah tersendiri dalam mengelola lahan pasang surut
untuk pertanian. Di tingkat petani, ini adalah hal yang sangat sulit dilakukannya, untuk itu peran petugas
lapang mengarahkan petani dalam penentuan dan pemberian pupuk dengan dosis yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman sangat dibutuhkan, di lain sisi petugas lapang itu sendiri perlu dibekali dengan
pengetahuan yang memadai.

Selain varietas unggul spesifik lahan pasang surut di atas, beberapa varietas padi unggul nasional
juga dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut dengan hasil yang cukup tinggi. Variertas-
vareitas tersebut antara lain adalah Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, dan IR66 (Sastraatmaja, S.
dan Dadan Ridwan Ahmad. 2000).

III. PEMBAHASAN

PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

Kesesuaian Inovasi/Karakteristik Lokasi :

Lahan pasang surut di Propinsi Jambi sebagian besar terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung
Barat dan Tanjung Jabung Timur terletak pada 102o70 sampai dengan 103o00 Bujur Timur dan 01o00
sampai dengan 01o30 Lintang Selatan. Luas areal potensial untuk pengembangan komoditas pertanian
diperkirakan 200.000 ha dari luas tersebut potensi untuk tanaman pangan 90.000 ha. Kabupaten
Tanjung Jabung Timur merupakan Kabupaten yang memberikan kontribusi terbesar beras di Propinsi
Jambi (Pemda Tanjabtim). secara geografis terletak antara 01 o 0620-01o1333 dan 104o0122-
104o0906 BT. Lahan pasang surut terbagi atas 4 tipologi yaitu lahan potensial, sulfat masam, lahan
gambut dan salin serta tipe luapan air A, B, C dan D. Iklimnya type B berdasarkan klasifikasi iklim Schmit
dan Ferguson dengan bulan basah antara 8-10 bulan dan bulan kering 2-4 bulan. Curah hujan bulanan
tertinggi umumnya terjadi pada bulan Desember/januari dan curah hujan terendah bulan Agustus.

Keunggulan/Nilai Tambah Inovasi :

Penerapan inovasi teknologi tersebut dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan,
dapat meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan penerapan beragam pola tanam serta
pendapatan petani. Produksi padi meningkat dari 2,5 3 ton/ha menjadi 4-6 ton/ha. Penerimaan
usahatani padi per hektar sebesar Rp. 6.250.000 dan keuntungan usahatani padi per hektar yaitu Rp.
3.303.000.

Uraian Inovasi :

Tabel 1. Inovasi teknologi sistem usahatani padi di lahan pasang surut

No Komponen Teknologi Inovasi teknologi

1. Pola tanam dan penataan lahan Sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapan air

Padi-Padi

Padi-Palawija/Hortikultura

2. Pengelolaan tata air

- Makro Saluran Primer, Sekunder, Pintu air

- Mikro Saluran kemalir/cacing (20x30 cm)

Saluran kuarter (60x60 cm)

Saluran terier (75x70 cm)

3. Pengelolaan lahan Olah tanah dan TOT dengan herbisida


4. Varietas Batanghari, IR 42, Indragiri, Margasari, Sei Punggur,
Lambur. Banyuasin.

5. Pemupukan dan Ameliorasi Sesuai dengan tipologi lahan


(kg/ha)

Urea 100-300

SP 120-180

KCl 100-150

Dolomit 1000-3000

CuSO4 5

ZnSO4 10

6. Pengendalian hama/penyakit PHT

Cara Penggunaan Inovasi :

Pola Tanam dan Penataan Lahan

Pola tanam dengan penataan lahan sawah pada tipe luapan A adalah padi-padi. Sedangkan pola
tanam dengan penataan lahan sawah atau surjan pada tipe luapan air B adalah padi-padi dan padi-
palawija/hortikultura.

Tabel 2. Acuan penataan lahan masing-masing tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan pasang surut.

Tipologi Lahan Tipe luapan air

A B C D

Potensial Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan/tegalan Sawah/tegalan/

kebun

Sulfat masam Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan/tegalan Sawah/tegalan/

kebun
Bergambut Sawah Sawah/surjan Sawah/tegalan Sawah/tegalan/

kebun

Gambut Sawah Sawah/surjan Sawah/tegalan Tegalan/kebun


dangkal

Gambut sedang - Konservasi Tegalan/perkebunan Perkebunan

Gambut dalam - Konservasi Tegalan/perkebunan Perkebunan

Salin Sawah/tambak Sawah/tambak - -

Tata Air

Pengelolaan tata air makro dan mikro merupakan faktor penentu keberhasilan pengelolaan
lahan pasangsurut. Pengoperasian dan perawatan tata air makro (meliputi jaringan saluran primer,
sekunder dan tertier serta pintu air) selama ini menjadi tanggung jawab Dinas PU sedangkan tata air
mikro (jaringan saluran kuarter, saluran keliling dan cacing) menjadi tanggung jawab petani. Saluran
cacing/kemalir dibuat dengan jarak 9 m dan 12 m. Pada lahan bertipe lupan air A diatur dalam system
aliran satu arah sedangkan pada lahan bertipe luapan air B diatur dengan system satu arah dan tabat,
karena air pasang pada musim kemarau sering tidak masuk kepetakan lahan. Sistem tata air pada tipe
luapan air C dan D ditujukan untuk menyelamatkan air, karena sumber air hanya berasal dari air hujan.
Oleh karena itu saluran air pada system tata air di lahan bertipe luapan air C dan D perlu ditabat dengan
pintu air stoplog unuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan tanaman serta
memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut.

Varietas

Varietas unggul yang beradaptasi baik di sawah lahan pasang surut dengan tingkat kemasman
dan kadar besinya tidak terlalu tinggi adalah kapuas, Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, Batanghari,
Indragiri, Punggur. Pada lahan dengan kemasaman dan kadar besinya tinggi dapat digunakan varietas
unggul lokal seperti Ceko, Siam, Sepulo, Pontianak.
Pengelolaan Lahan

Penyiapan lahan dengan pengolahan tanah di lahan pasang surut diperlukan selain untuk
memperbaiki kondisi lahan menjadi lebih seragam dan rata dengan adanya penggemburan dan
pelumpuran juga untuk mempercepat proses pencucian bahan beracun dan pencampuran bahan
ameliorasi maupun pupuk dengan tanah . Pengolahan tanah yang memberikan hasil baik dari segi fisik
lahan dan hasil tanaman adalah dengan bajak singkal atau tajak diikuti oleh rotary atau glebeg yang
dikombinasikan dengan herbisida . Bila tanahnya sudah gembur atau berlumpur baik dan merata yang
umumnya dijumpai pada lahan bergambut dengan tipe luapan air A dan B, pengolahan tanah secara
intensif tidak diperlukan tetapi diganti dengan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT)
yang dikombinasikan dengan penggunaan herbisida. Hal ini menunjukkan bahwa dilahan pasang surut
untuk pengolahan tanahnya tergantung kondisi lahannya. Walaupun pengolahan tanah diperlukan tapi
tidak harus dilakukan setiap musim, karena pengolahan tanah yang dilakukan selang dua musim tanam
tidak menurunkan hasil tanaman.

Ameliorasi dan Pemupukan

Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk merupakan faktor penting
unuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas lahan. Bahan tersebut dapat berupa
kapur atau dolomit maupun bahan organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Pemberian kapur
sebanyak 1-2 ton/ha mampu meningkatkan hasil padi dan palawija, untuk keperluan praktis secara
umum pemberian kapur sebanyak 0,5 1 ton/ha sudah cukup memadai. Dari serangkaian kegiatan hasil
penelitian pengelolaan hara dan pemupukan dapat disintesiskan dosis optimum untuk tanaman padi
tertera pada tabel 2 . Takaran pupuk dilahan pasang surutt perlu disesuaikan dengan status hara tanah,
hal ini berdasarkan serangkaian penelitian pemupukan berdasarkan status hara tanah untuk tanaman
padi varietas yang kurang tanggap terhadap pupuk N seperti varietas Margasari.

Tabel 2. Dosis pupuk dan bahan amelioran untuk tanaman padi di lahan pasang surut

Jenis Pupuk Lahan potensial Lahan sulfat masam Lahan gambut


potensial
(kg/ha)
N atau urea 45-90 =100-200 67,5-135 =150-300 45=100

P2O5 atau SP36 22,5-45= 60-120 45,0-70 =120-180 60=160

K2O atau KCl 50=100 45,0-70 = 90-150 50=100

CuSO4 atau terusi - - 5

ZnSO4 - - 10

Kapur atau dolomite - 1000-3000 1000-2000

Pengendaliaan Hama Terpadu

Penyebab utama tingginya intensitas serangan hama dan penyakit adalah 1) kedekatan lokasi
lahan pasang surut dengan hutan terutama lahan yang baru dibuka dan 2) sempitnya areal pertanaman
varietas unggul sehingga serangan hama dan penyakit terkosentrasi. Pada dasarnya pengendalian
dilakukan mengacu pada strategi pengelolaan hama terpadu (PHT), yaitu melalui penggunaan varietas
tahan dan musuh alami, teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkngan. Penggunaan pestisida kimiawi
dilakukan sebaagai tindakan terakhir. Startegi dan cara pengendaliaan terpadu hama tikus di lahan
pasang surut disajikan pada tabel 3. Strategi pengendalian tikus tersebut didasarkan pada kombinasi dan
cara pengendalian berdasarkan stadia tanaman padi dilapangan. Untuk keberhasilan pengendalian
hama dan penyakit diperlukan dukungan petani dan aparat serta sarana dan prasarana penunjang yang
mewadai.

Tabel 3. Strategi dan cara pengendalian hama tikus di lahan pasang surut

Stadia tanaman padi Komponen teknologi pengendaliaan

Gropyokan Umpan Fumigasi SPP Perangkap


bambu
beracun

Bera * * *

Persemaian * * *
Anakan aktif * *

Bunting * * *

Bermalai * *

Panen * *

SPP : Sistem pagar perangkap untuk 1 ha dengan 40 buah bagi 20 ha tanaman padi

Informasi Lain Yang Perlu Ditonjolkan :

- Tata air mikro dapat mengurangi kemasaman tanah dan kandungan besi yang merupakan kendala
utama dilahan pasang surut

- Sistem TOT disertai dengan penyemprotan herbisida Glyfosat sebanyak 6 l/ha pada lahan sulfat masam
dan bergambut yang sudah melumpur selain dapat mengurangi waktu kerja 70-75 % juga meningkatkan
hasil padi.

- Keseimbangan hara N, P, K dan Ca sangat penting dalam pengelolaaan hara dan pemupukan dilahan
pasang surut. Dengan pemberian hara secara lengkap dapat meningkatkan hasil padi dari 0,64 ton/ha
menjadi 4,24 ton/ha sampai 6,0 ton/ha

2.8 Kelebihan dan Kekurangan dari lahan pasang surut

Kelebihan dari tanah pasang surut:

Memanfaatkan lahan yang diperkirakan lahan yang tidak dapat di gunakan oleh lahan pertanian

Memaksimalkan lahan yang terdapat disuatu daerah

Mungurangi tingkat penggangguran di daerah yang memiliki lahan pasang surut

kekurangan tanah pasang surut:

Adanya perluasan wilayah pasang surut yang disebabkan karena pendangkalan di tepian rawa, sehingga
wilayah rawa menyempit. Hal ini dapat dipercepat dengan kebiasaan membuang limbah sisa panen
(jerami) ke dalam rawa.

Pencucian unsur hara dan kegiatan pemupukan yang menyebabkan eutrofikasi. Akibat pemupukan300
Sittadewi, E. H. 2008 anorganik, menimbulkan adanya kekhawatiran bahwa pada saat air pasang, unsur
unsur terlarut masuk dalam lingkungan perairan. Hal ini dapat menimbulkan suburnya berbagai
species tumbuhan aquatik maupun semi aquatik seperti eceng gondok, jenis rumput dll. Hal inilah yang
dapat menyebabkan eutrofikasi.

Peningkatan kadar keasaman lahan karena pelapukan bahan organik dan kelarutan zat tertentu serta
pencucian zat kimia dan penyemprotan pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh yang dipergunakan
oleh petani. Jika residu atau senyawa yang ikut terlarut dalam air irigasi dan masuk dalam lingkungan
perairan rawa akan mempengaruhi kualitas air rawa dan kehidupan di dalamnya termasuk populasi ikan.

Penggarapan lahan pasang surut menjadikan lahan subur bagi berbagai jenis tumbuhan liar, selain
tanaman budidaya. Jika lahan tersebut kemudian dibiarkan menjadi bero, dengan cepat akan tumbuh
berbagai jenis tumbuhan liar. Hadirnya species tumbuhan terjadi secara bergantian melalui proses
adaptasi dan suksesi, dapat merubah lahan secara perlahan.

Pengolahan lahan, pada dasarnya menyebabkan partikel tanah lepas sehingga rawan terhadap erosi.
Bila hal ini terjadi, erosi tersebut akan mempercepat proses penambahan sedimen ke dasar perairan
rawa.( Hanggari,2008)

http://kenzhi17.blogspot.com/2012/11/pertanian-berkelanjutan-di-tanah-pasang.html

Reklamasi Lahan Rawa dan Pasang Surut Sebagai


Suatu Aset Sumberdaya Alam Indonesia
BAB II

LAHAN RAWA DAN PASANG SURUT SEBAGAI SUMBERDAYA YANG TERSEMBUNYI

2.1. Gambaran Karakteristik Tanah Rawa /Gambut dan Lahan Pasang Surut di Indonesia

Pengusahaan pertanian dengan kehutanan merupakan keharusan, apabila dihubungkan dengan alokasi
tempat yang sesuai sebagai penyangga serta penyeimbang lingkungan hidup. Keberlangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lain yang ada di muka bumi ini tidak terlepas dari keseimbangan
ekosistem yang ada, yang mana sumberdaya pertanian untuk pemenuhan kebutuhan perut,
sedangkan sumberdaya kehutanan untuk penyangga serta mulai dari penyuplai oksigen hingga
ketersediaan papan. Akan tetapi seiring dengan pertumbuhan serta ledakan populasi penduduk yang
melebihi ketersediaan sumberdaya pemenuhan kebutuhan sudah tidak seimbang, sungguh sangat
ironis.
Daerah rawa merupakan karakteristik yang unik pembentuk serta perangsang peningkatan potensi
pemenuhan kebutuhan tersebut yang belum dikembangkan secara maksimal, namun kembali kepada
kaidah konservasi hingga rehabilitasi guna mengerem laju eksplorasi hingga eksploitasi yang ada.

Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang selalu tergenang atau pada waktu tertentu
tergenang karena jeleknya atau tidak adanya system drainase alami. Sementara itu tempat terjadinya
daerah awa tidak dibatasi oleh ketinggian (elevasi) lahan. Di tempat yang tinggipun dapat ditemukan
daerah rawa di depresi geologis. Genangan air di daerah depresi ini terjadi karena terkumpulnya
limpasan air hujan pada cekungan tersebut, sirkulasi air data terjadi karena adanya evaporasi dan
tambahan lewat air tanah.

Daerah rawa mempunyai arti penting secara hidrologis bagi lingkungan fisik system hidrologi sungai.
Daerah rawa di suatu daerah genangan banjir sungai, dapat berfungsi sebagai filter yang dapat
menjernihkan air sebelum masuk ke sungai. Air limpasan dari daerah lebih tinggi mangalir masuk ke
daerah rawa, karena adanya tumbuh-tumbuhan di daerah rawa tersebut, kecepatan aliran menjadi kecil
yang mengakibatkan terendapkansediment suspensi, oleh karena itu pada waktu meninggalkan daerah
rawa, air tersebut sudah menjadi lebih jernih. Daerah rawa juga dapat berfungsi sebagai reservoir air
yang dapat menjaga keberadaan air tanah di daerah di atasnya.

Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datar disertai adanya genangan air yang terbentuk secara
alamiah yang terjadi terus menerus atau semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta
mempunyai ciri fisik: bentuk permukaan lahan yang cekung, kadang-kadang bergambut, ciri kimiawi:
derajat keasaman airnya terendah dan cirri biologi: terdapat ikan-ikan awa, tumbuhan rawa. Rawa
dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu: rawa pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara
atau dekat muara sungai sehingga oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa
pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh jaraknya dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh
pasang surutnya air laut.

2.2. Perspektif Lingkungan Rawa dan Lahan Gambut

Menurut penuturan Mulyanto dan Sumawinata (2007), lahan gambut merupakan deposit karbon,
seperti halnya minyak bumi dan batubara. Jika dipelajari proses evolusi pembentukannya, deposit
batubara senantiasa dimulai dari proses pembentukan gambut (peat) terlebih dahulu, kemudian deposit
gambut mengalami deposisi bahan baru diatas gambut dan gambut selanjutnya mengalami kompresi
membentuk batubara muda (lignite)dan kompresi lanjut dari batuhara muda ini akan membentuk
batubara (ant rachite). Oleh karena itu isu-isu tentang karbon, baik yang berkaitan dengan deposit
karbon (carbon stock), pelepasan karbon (carbcn re/ease), rosot karbon (carbon sink) dan bahkan
sampai ke isu tentang perdagangan karbon (carbon trade ) terkait juga dengan pengelolaan lahan
gambut.

Hubungan antara isu-isu tentang karbon dengan pengelolaan gambut di Indonesia menjadi semakin
penting, karena sekitar setengah dari lahan gambut di daerah tropika berada di Indonesia. Menurut
Bellamy (1997) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) di Dunia terdapat kurang lebih 400 juta hektar
lahan gambut, 90 persen di antaranya berada di daerah temperate dan 10 persen sisanya berada di
daerah tropika. Sementara itu, menurut Rajaguguk (1997) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) luas
lahan gambut di Indonesia sekitar 20 juta hektar. Lahangambut ini berada dalam lahan rawa Indonesia
yang lebih kurang 33 juta hektar (Widjaja-Adhi, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007)). Lahan
gambut ini tersebar di Sumatra (41,4%), Kalimantan (22,8%), Papua (23%), Sulawesi (1,6%) dan
Halmahera-Seram (0,5%) (Mulyanto dan Sumawinata (2007).

Prof H. E. Hidayat Salim dan Dr. Ir. Siti Mariam (2007) mengemukakan luas total daerah rawa
dan pasang surut diperkirakan 39.424.500 hektar (17% dari luas dataran Indonesia) dan tersebar di
empat pulau besar, terdiri dari : (1) Rawa Pedalaman (Lebak) kira-kira 32.424.500 hektar, dan (2)
Rawa Pantai (Pasang Surut) kira-kira 7.000.000 hektar. Seluas 27 juta hektar (11,5 % daratan Indonesia0
merupakan tanah gambut (Organosol, Histosol).

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam
suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai (backswamp). Oleh karena dalam
lingkungan rawa, maka lahan ini senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk pada umumnya
merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan, seperti tanah-tanah alluvial (Entosols) dan
tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organic, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut
atau tanah organic (Histosols) (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Daerah rawa bergambut ini pada umumnya datar dan terletak diantara dua sungai besar. Meskipun
disebut datar lahan rawa bergambut ini pada umumnya berbentuk kubah (dome), sehingga terdapat
beda ketinggian (elevation) antara pinggir sungai dan posisi tengah diantara dua sungai tersebut sebagai
puncak dome, sehingga memungkinkan terjadi pergerakan air dari puncak dome ke arah pinggir sungai.
Pergerakan air inilah yang memungkinkan ekosistem rawa bergambut dapat menunjang kehidupan.
Secara umum di antara sungai-sungai di daerah ini dapat dipandang sebagai suatu unit 'pulau' yang
mempunyai karakteristik yang khas. Karakteristik geografi yang semacam itu berhubungan erat dengan
karaktersitik tanah dan juga karakteritik vegetasi hutan yang tumbuh di atasnya. Hubungan antara
elevasi, kedalaman gambut dan karakteristik hutannya dapat dilihat dari transek yang dibuat oleh
Mulyanto dan Nurhayati (2002) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007). antara S. Kahayan dan S.
Sebangau.(Gambar 1).

Gambar ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan elevasi, semakin jauh dari pinggir sungai maka
semakin tebal lapisan gambutnya. Hal ini menunjukkan adanya bentuk dome tersebut dengan
puncaknya di sekitar tengah 'pulau. Ketebalan gambut di puncak dome dapat lebih dari 10 meter.
Keadaan bentuk lahan yang demikian, dan juga keadaan topografi dan jenis bahan yang menjadi dasar
pembentukan gambut akan sangat mempengaruhi beberapa karakteritik tanah dan selanjutnya
mempengaruhi jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya. (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).
Gambar 1. Profil melintang bahan gambut antara Sungai Kahayan dan Sebangau, Kalimantan Tengah [Mulyanto dan
Nurhayati (2002) dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007)]

Tanah mineral merupakan bagian lapisan dasar yang muncul setempat ke permukaan. Dasar
lahan rawa bergambut adalah bahan sedimen mineral dengan berbagai karakteristik (Tabel 1).
Karakteristik sediment ini sangat tergantung pada proses pembentukannya dan karakteristik ekosistem
pada saat sediment tersebut terbentuk. Sedimen yang terbentuk dalam ekosistem air payau (brackish
water) ditandai oleh banyaknya serpihan kayu dan adanya mineral pirit (FeS 2) sebagai mineral yang
perlu diwaspadai pada saat akan mengelola lahan rawa bergambut, karena merupakan potensi sulfat
masam. Sementara itu, apabila sedimen ini terbentuk di lingkungan air tawar (fresh water) sedimen
tersebut relatif bersih, tidak banyak mengandung serpihan kayu dan tidak mengandung mineral pirit
(FeS2), sehingga dikhawatirkan adanya bahaya sulfat masam (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Tabel 1. Contoh-contoh perbedaan karakteristik sedimen bawah gambut oleh karena perbedaan

lingkungan pembentukannya (Sumawinata, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007)

2.2.1. Pengaruh Spesifik Lahan Pasang Surut Terhadap Keseimbangan Ekologi


Menurut Mulyanto dan Sumawinata, 2007 disamping karakteristik sedimen yang menjadi dasar
rawa, pengaruh pasang surut juga sangat berpengaruh terhadap ekosistem lahan rawa saat ini. Tanah
gambut di di lapangan dapat mengandung air sekitar 500 persen dari bobot keringnya. Hal ini berarti
bahwa pada dasarnya kualitas tanah rawa gambut sangat ditentukan oleh kualitas airnya. Karakteristik
lingkungan rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut akan sangat berbeda dengan karakteristik
lingkungan rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Karakteristik rawa yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut pada umumnya airnya merupakan percampuran air tawar dan air laut , sehingga
dalam batas tertentu, jika kadar garamnya tidak berlebihan, akan mempunyai daya dukung terhadap
kehidupan yang lebih baik daripada yang hanya mengandung air tawar, karena kandungan unsur
haranya lebih baik. Oleh karena itu, pengaruh pasang surut air laut sangat penting dipergunakan dalam
penyusunan basis aturan.

Secara alami, ekosistem rawa, termasuk juga ekosistem lahan gambut, merupakan ekosistem
yang memberi hasil yang cukup, terutama hasil-hasil perikanan air tawar ataupun air payau. Pada saat
masih tertutupi dengan vegetasi hutan, lahan rawa ini memberi banyak hasil bagi masyarakat, baik yang
berupa hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu, obat- obatan dsb. Disamping itu, lahan rawa ini juga
merupakan komponen pengatur hidrologi ekosistem lahan rawa. Secara tradisional orang-orang Banjar,
Bugis telah mengelola lahan rawa bergambut ini untuk relatif bersinambungan dalam unit ekosistem
lahan gambut (Mulyanto et al., 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Sementara itu, lahan
rawa gambut yang dibuka untuk pertanian, seperti lahan lokasi Projek Lahan Gambut 1 juta hektar, tidak
memberikan hasil dan bahkan hasil-hasil perikanan rawa malah menunjukkan penurunan oleh karena
kerusakan ekosistemnya. (Mulyanto, 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

2.3. Reklamasi Tanah Rawa Gambut dan Pasang Surut Sebuah Solusi Aktif dalam Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah

Banyak pendapat tentang data kuantitatif yang dikembangkan tentang satuan luasan lahan
pasang surut dan rawa, selain pernyataan Prof. H. E. Hidayat Salim dan Dr. Ir. Siti Mariam (2007) adapula
penuturan Suriadikarta dan Sutriadi (2007) luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan 20,10 juta
ha, sekitar 20-30% di antaranya berpotensi untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Sampai saat ini
baru sekitar 3-4 juta ha lahan rawa yang sudah direklamasi. Pembukaan lahan rawa pasang surut
memerlukan perencanaan yang matang dan hati-hati supaya tidak mengalami kegagalan, karena lahan
rawa bersifat rapuh (fragile). Dalam menentukan jenis-jenis lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian
perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi wilayah rawa pasang surut yang akan dikembangkan.

Pengembangan lahan pasang surut yang dilaksanakan pemerintah pada tahap awal (tahap I) berupa
pembangunan sistem drainasi terbuka, tanpa bangunan pengendalian aliran air, dilengkapi dengan
penyiapan lahan, rumah-rumah, jaringan jalan, jembatan sekolah dan sarana kesehaan. Pada mulanya
lahan ini menunjukkan produksi padi di sawah yang cukup tinggi, namun dalam perkembangan
selanjutnya sistem drainasi yang sudah ada tidak segera diikuti dengan pembuatan pintu pengatur air,
sehingga degradasi lahan mulai berjalan. Terjadinya drainase berlebihan, tidak hanya membawa toksik
tetapi juga membawa hara dan mineral lainnya. Akhirnya menjadi bongkor ditinggalkan petani, karena
sawahnya memberikan hasil sangat rendah atau sama sekali tidak menghasilkan. Selain lahan tidak
produktif, atau sistem tata air tidak mendukung, ada beberapa petani yang meninggalkan lahannya,
karena hasil produksi pertaniannya tidak mendatangkan keuntungan yang cukup (Anonim, 2005).

Anonimus (2005) menyebutkan pada periode 1985-1995 hampir tidak ada proyek pembukaan lahan
rawa baru yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, pada periode tersebut fokusnya lebih
ditujukan kepada penyempurnaan (fase/tahap II) prasarana pengairan, prasarana ekonomi dan sosial
lainnya pada kawasan reklamasi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Pada tahun 1996, Pemerintah
Indonesai melksanakan pembukaan lahan rawa besar-besaran di Kalimantan Tengah yang kemudian
dikenal dengan sebutan PLG (Pembukaan Lahan Gambut) 1 juta ha, yang kebanyakan kawasannya
berada di daerah bantaran sungai. Akan tetapi dengan kekonyolan yang ada, para perencana proyek ini
tidak didukung oleh data yang akurat dan pengetahuan yang sepadan dalam pengembangan daerah
rawa hingga pengelolaan tanah da air. Sementara proses reklamasi awa yang berupa proses pengatusan
genangan air beserta akibatnya (oksidasi pirit, subsidence, irreversibility tanah gambut) merupakan
proses membahayakan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, kiranya kurang dipertimbangkan
pada proses perencanaan, sehingga mengakibatkan beberapa kegagalan pertanian yang
menyengsarakan petani.

2.4. Penglokasian Lahan Pasang Surut pada Sektor Pertanian

Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai 20,10 juta ha pada awalnya merupakan rawa
pasang surut muara sungai besar, yang dipengaruhi oleh aktivitas laut. Di bagian pedalaman, pengaruh
sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air asin (salin) dan payau. Dengan
adanya proses sedimentasi, kini wilayah tersebut berwujud sebagai daratan yangmerupakan bagian dari
delta sungai. Wilayah tersebut terletak relatif sedikit jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau
secara langsung oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini banyak
dipengaruhi oleh aktivitas sungai disamping pasang surut harian air laut (Suriadikarta dan Sutriadi,
2007).

Di wilayah pasng surut terdapat dua jenis tanah utama, yaitu tanah mineral (mineral soils) jenuh
air dan tanah gambut (peat soils) (Subajo, 2006 dalam Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).

Pada lahan rawa pasang surut biasa ditemukan tanah gambut dan tanah mineral. Tanah gambut
bervariasi dari dangkal sampai dalam. Tanah gambut yang cocok untuk usaha pertanian adalah gambut
dangkal (50-100 cm), sedangkan gambut sedang (101-200 cm), gambut dalam (201-300 cm), dan
gambut sangat dalam (> 300 cm) lebih sesuai untuk kehutanan dan wilayah konservasi. Tanaman
pertanian yang dapat tumbuh di tanah gambut adalah tanaman sayuran, buah-buahan, dan perkebunan
seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit. Pada tanah mineral biasa, ditemukan tanah mineral yang belum
matang dan matang. Tanah mineral matang umumnya sudah mengalami pengolahan lahan atau dibuat
saluran-saluran. Pada tanah mineral ini dijumpai beberapa jenis tipologi lahan, yaitu tanah sulfat masam
potensial, tanah sulfat masam aktual, dan tanah potensial yaitu tanah yang lapisan piritnya dalam (> 50-
> 100 cm). Tanah demikian sangat berpotensi untuk padi sawah, tanaman palawija, sayuran, dan
tanaman tahunan {Suriadikarta dan Sutriadi , 2007}.

Gambar 2. Serangkaian Aktifitas Reklamasi Lahan Rawa untuk Alokasi Sektor Pertanian dan Perkebunan di
Indonesia (Deptan, 2008)

Pengembangan pertanian lahan pasang surut merupakan langkah strategis dalam menjawab
tantangan peningkatan produksi pertanian yang makin kompleks. Dengan pengelolaan yang tepat
melalui penerapan iptek yang benar, lahan pasang surut memiliki prospek besar untuk dikembangkan
menjadi lahan pertanian produktif terutama dalam rangka pelestarian swasembada pangan, diversifikasi
produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, serta pengembangan agribisnis dan wilayah
(Abdurachman dan Ananto 2000 dalam Suriadikarta dan Sutriadi 2007).

Disamping memiliki prospek yang baik, pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian juga
mempunyau berbagai kendala, baik aspek biofisik maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk
menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam, pengembangan pertanian
lahan pasang surut dalam suatu kawasan luas, memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat
dan hati-hati. Kekeliruan dalam membuka dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk
merehabilitasinya dan sulit untuk memulihkan kondisi seperti semula (Widjaja-Adhi et., al., 1992 dalam
Suriadikarta dan Sutriadi 2007).

Dengan adanya sejuta masalah dan harapan, maka pengelolaan lahan pasang surut ini
memerlukan adanya teknologi pengelolaan lahan dan tata air hasil dari berbagai penelitian yang masih
perlu dikembangkan secara luas. Selain dari teknologi yang aplikatif, keberhasilan dan keberlanjutan
pengembangan pertanian lahan pasang surut juga ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia
dan rekayasa kelembagaan yang efektif dan efisien, terutama kelompok tani dan P3A, lembaga
penyuluhan, sera lembaga penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Selanjutna koordinasi,
keterpasuan dan keterkaitan serta kesungguhan kerja semua pihak terkait sangat diperluan dalam
penerapan teknologi pengelolaan lahan dan tata air ( Ananto et., al., 2000 dalam Suriadikarta dan
Sutriadi 2007). Dari rujukan serta pengembangan pernyataan tersebut dapat dijelaskan adanya
penerapan teknologi yang kurang tepat tanpa memperhatikan karakteristik lahannya dan tanpa adanya
dukugan faktor-faktor di atas akan memperluas timbulnya lahan tidur bermasalah serta dikhawatirkan
akan memasuki jenis lahan marjinal bahkan lahan kritis.
Sampai saat ini, sekitar 3,9 juta Ha dari lahan rawa dengan lokasi yang sebagian terbesarnya
tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, telah direklamasi, utamanya untuk
pengembangan lahan pertanian. Lebih dari 60 persen diantaranya (2,4 juta Ha) dikembangkan secara
swadaya sebagai lahan pertanian oleh para petani pendatang dan penduduk lokal. Sementara seluas
kurang lebih 0,2 juta ha lainnya dikembangkan oleh swasta untuk perkebunan kelapa. Selebihnya sekitar
1,3 juta ha adalah lahan rawa yang semenjak tahun 70-an telah dikembangkan oleh pemeritah sebagai
lahan pertanian dan pemukiman dalam rangka menunjang program transmigrasi (Anonim, 2005).

2.5. Eksplorasi hingga Ekspoitasi Lahan Rawa-Gambut di Indonesia

Perubahan ekosistem rawa dapat terjadi oleh karena adanya modifikasi komponen lingkungan
ekosistem rawa tersebut. Modifikasi ini dapat terjadi oleh karena a) penebangan kayu, b) konversi
penggunaan lahan dan c) kebakaran hutan. Semua kegiatan ini akan memodifikasi komponen ekosistem
rawa yang akhirnya merubah beberapa karakteristik ekosistem rawa tersebut (Mulyanto, 2000 dalam
Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Penebangan k ayu

Penebangan kayu untuk diambil lognya biasanya dikenal dengan kegiatan logging (logging
activities). Hal ini dapat terjadi oleh karena di dalam hutan alam rawa termasuk rawa bergambut
menyimpan banyak kayu berharga seperti Ramin (Gonnysitylus bancanus), Jelutung (Dyera
lowil),Nyatoh (Palaquium spp), Bintangur (Calophyllum spp). dan lain-lain (Daryono, 2000 dalam
Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Pada waktu sebelum 1997 (sebelum reformasi), proses penebangan
kayu ini dilakukan oleh perusahaan yang memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), namun setelah
reformasi penebangan dilakukan oleh masyarakat. Sebagai gambaran menurut Putir dan Limin (1999)
dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) berdasarkan Rencana Karya Tahunan (RKT) 1991 -1998 kayu
berharga yang terekstrak dari hutan rawa gambut Kalimantan Tengah adalah 35, 46 m3/ha. Jika luas
hutan rawa yang ditebang mencapai 1,5 juta hektar maka kayu yang terektrak mencapai sekitar 50 juta
m3. Oleh karena itu, kegiatan penebangan merupakan proses deforestasi yang
nyata (significant). Proses deforestasi ini menyebabkan perubahan iklim mikro permukaan lahan rawa
dan merubah secara nyata karakteristik penutup lahan (land cover), yang selanjutnya jika perubahan
penutup lahan ini terjadi secara masif dan sangat luas akan berpengaruh pada baik iklim regional
maupun global (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Selain itu, pengembangan lahan gambut untuk pemukiman transmigrasi dengan membuat
saluran-saluran yang lebar akan mempermudah akses bagi penebang maupun transportasi kayu hasil
penebangan. Dari saluran yang telah dikonstruksi untuk pemukiman transmigrasi ini penebang
meransek lebih dalam lagi, dengan membuat saluran-saluran baru. Pembuatan saluran-saluran ini
secara langsung akan merubah karak teristik ekosistem lahan gambut dan termasuk merubah
karakteristik tanah (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Konversi Penggunaan Lahan


Konversi penggunaan lahan rawa di Indonesia untuk berbagai keperluan manusia terjadi sejak
beberapa abad yang lalu. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa kota besar
di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Makasar merupakan hasil konversi lahan
rawa. Konversi lahan rawa secara tradisional dilakukan oleh beberapa suku bangsa Indonesia, seperti
suku Banjar, Bugis, Melayu, untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian berpindah sejak lebih dari
satu abad yang lalu. Hal ini ditunjukkan oleh adanya handil-handil, baik di Kalimantan maupun pantai
timurSumatra. Pada jaman kolonial Belanda, pembukaan lahan rawa untuk pengembangan perkebunan,
terjadi mislanya di pantai timur Sumatra Utara. Pada jaman tersebut, di Kalimantan dibangun anjir-anjir
guna pengembangan lahan rawa, seperti Anjir Srapat, Anjir Tamban, dan Anjir Talaran di Pulau Petak.
Pada masa Orde Baru terjadi pembukaan rawa di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi dalam skala
besar, dalam rangka pengembangan tanaman pangan yang sebagian diintegrasikan dengan program
transmigrasi. Kegiatan terakhir, pembukaan lahan rawa besar-besaran dilakukan di Kalimantan Tengah
yang dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar. Menurut Widjaya-Adhi et al. (2000)
dalam Mulyanto dan Sumawinata (2007) luas lahan rawa Indonesia sekitar 33,39 juta hektar, dimana
sekitar 4,19 juta hektar diantaranya telah direklamasi. Sebelum pembukaan PLG 1 juta hektar,
pemerintah telah membuka sekitar 1,3 juta hektar Konversi lahan rawa bergambut dilakukan juga oleh
kalangan swasta untuk pengembangan perkebunan (kelapa, kelapa sawit) dan hutan tanaman industri
(H TI), seperti yang terjadi di propinsi Riau (Tabel 2) (Mulyanto dan Sumawinata, 2007).

Tabel 2. Penyebaran geografis pembukaan lahan rawa yang disponsori pemerintah sebelum PLG 1 juta

hektar sejak tahun 70 an (Widjaya-Adhi et aI., 2000 dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007)

Kebakaran Hutan

Peristiwa kebakaran hutan, termasuk di dalamnya kebakaran hutan rawa bergambut sebelum
tahun 70-an tidak pernah tersiar beritanya. Hal ini disebabkan oleh karena memang tidak pernah terjadi
kebakaran dalam skala besar, meskipun budaya tebas-bakar (slash and burn) dalam masyarakat sekitar
hutan telah berlangsung lama. Kegiatan tebas bakar yang berlangsung di masyarakat rawa dalam
mempersiapkan penanaman padi dikenal sebagai sistem sonor. Di dalam sistem ini areal lahan yang
akan diolah dengan sistem tebas bakar telah dibatasi dengan membuat parit-parit kecil yang dibuat
secara tradisional, dengan sistem ini kebakaran dapat dikendalikan. Setelah banyak kegiatan logging,
frekuensi kebakaran yang berskala besar makin menlngkat, terutama dalam 10 tahun terakhir ini.
Kebakaran hutan, termasuk kebakaran gambut , terjadi oleh karena gambut merupakan tanah yang
hampir 100 persen terdiri dari bahan organik yang apabila kering mudah sekali terbakar. Kebakaran
hutan menimbulkan asap dengan intensitas tinggi dan meluas sampai ke negara tetangga, sehingga
mengganggu lalulintas kendaraan, baik di darat, perairan maupun udara. Disamping mengganggu lalu
lintas, asap ini juga mengganggu kesehatan. Oleh karena tinggkat gangguannya begitu tinggi sempat
menimbulkan pr otes keras dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

Menurut Davis (1959) dalam Mulyanto dan Sumawinata, 2007 menjelaskan behwa kebakaran
merupakan proses reaksi berantai antara 3 unsur, yaitu: bahan bakar, oksigen serta suhu dan
kelembaban. Kebakaran tidak akan terjadi jika salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ada. Dalam
kasus kebakaran hutan bahan bakarnya adalah kayu dan dalam hal hutan gambut, termasuk tanah
gambutnya. Oksigen terdapat bebas di udara oleh karena udara mengandung gas oksigen sekitar 13-16
persen. Sementara itu kelembaban dan suhu berkaitan erat dengan kegiatan pembukaan hutan
termasuk didalamnya kegiatan logging dan konversi penggunaan lahan. Pembukaan hutan
menyebabkan perubahan iklim mikro di permukaan tanah. Pada saat sebelum pembukaan hutan suhu
permukaan tanah relatif rendah antara 18 sampai 250C dan lantai hut an lembab, sehingga tidak mudah
terjadi kebakaran. Setelah terjadi pembukaan hutan, suhu permukaan tanah dapat mencapai 30-350C
dan serasah serta ranting- ranting mengering oleh karena tajuk hutan (canopy) terbuka. Kondisi
semacam ini merupakan kondisi yang rentan kebakaran. Pembukaan lahan rawa bergambut pada
umumnya dimulai dengan pembuatan parit untuk menurunkan permukaan air dan sekaligus merupakan
akses. Jika rawa tersebut bergambut maka tanah gambut mengering dan rentan terhadap kebakaran.

Dengan adanya kegiatan di dalam hutan, baik kegiatan penebangan ataupun kegiatan lainnya,
banyak orang pendatang lalu-lalang di dalam hutan, termasuk di dalam hutan rawa gambut. Sumber api
menjadi sangat banyak terutama api untuk memasak, yang kemudian menjadi tak terkendali, putung
rokok yang masih hidup dibuang sembarangan, pembakaran semak-semak yang disengaja dengan
maksud pembersihan lahan, terutama di lubuk-lubuk untuk menangkap ikan. Api ini dengan sangat
mudah tersulut jika sumbernya bersentuhan dengan gambut kering atau serasah dan ranting kering. Hal
ini menjadi sangat sensitif pada musim kering dengan kecepatan angin yang semakin kencang. Api yang
besar ini dapat masuk kedalam hutan dan membakar hutan yang masih belum terganggu.

Kebakaran gambut di hutan rawa akan menyebabkan lapisan gambut yang kering terbakar
sehingga perjadi penurunan permukaan. Menurut pengamatan Bustomi dan Sianturi (2000) dalam
Mulyanto dan Sumawinata (2007) dalam sekali musim kebakaran (penurunan permukaan ed. ) rata-rata
mencapai 50 cm. Bagian bawah yang masih lembab tidak terbakar. Dampak kebakaran pda lahan
gambut angkal antara lain tersingkapnya lapisan sedimen yang menjadi dasar dari gambut. Jika sedimen
yang tersingkap merupakan sedimen yang terbentuk di lingkugan air payau yang mengandung pirit maka
dimungkinkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasikan asam , sehingga pH lingkungan rawa dapat
menurun sampai di bawah 3, akibatnya ekosistem rawa menjadi rusak (chatastrophy). Dampak
kebakaran terhadap tegakan adalah tegakan tajuk menjadi terbuka dan tumbuhan mati total. Tegakan
hutan di rawa gambut biasanya terbakar hampir total sampai ke akar-akarnya. Hal ini dapat terjadi oleh
karena lapisan tanah gambut bagian atas, yang merupakan konsentrasi perakaran ikut terbakar. Kondisi
kerusakan permukaan lahan ini akan sangat mempengaruhi ekspresi citra landsat TM (Mulyanto dan
Sumawinata, 2007).
Dampak Perubahan Ekosistem

Setelah pemaparan mengenai eksplorasi hingga eksploitasi mengenai lahan rawa-gambut ini
secara detail diungkap dengan beberapa packaging, maka perubahan penggunaan lahan mengakibatkan
berbagai fenomena yang seringkali diluar apa yang dirancang. Sebagian kegiatan perubahan
penggunaan lahan tidak didasarkan pada pemahaman ekosistem lahan rawa secara
menyeluruh (holistik), seperti pemahaman kondisi hidrologis yang termasuk bentuk dome, karakteristik
dasar rawa, bahan mineral di bawah gambut dan struktur ekosistem lahan rawa tersebut, yang
sebenarnya telah memberikan banyak hasil bagi kehidupan. Di beberapa tempat hutan rawa telah
berkembang (developed) menjadi kota dan lahan pertanian atau perkebunan yang memberikan hasil
yang teratur, namun sebagian besar berubah menjadi lahan vang tidak berkembang atau rusak(ma/-
developed). Kerusakarl ini terjadi oleh karena berbagai dampak pembukaan hutan rawa tropika ini tidak
diantisipasi dengan baik. Beberapa dampak penting yang timbul dalam pembukaan rawa adalah :

a. Adanya penurunan permukaan lahan (subsidence) dan air tidak dapat terdrainase dengan
baik sehingga mengakibatkan adanya genangan-genangan permanen
b. Di tempat-tempat yang berpotensi sulfat masam, jika permukaan air turun maka kondisi
tanah menjadi lebih oksidatif, akibatnya akan timbul sulfat masam, yang menyebabkan
tanaman budidaya tidak dapat tumbuh dan banyak ikan dan biota air mati
c. Jika tanahnya bergambut, penurunan permukaan lahan menyebabkan tanah gambut
mengering sehingga rentan terhadap kebakaran
d. Pembuatan saluran dan jalan menyebabkan akses lebih mudah sehingga ektrasi
sumberdaya alam, misalnya kayu, menjadi lebih mudah serta proses pembabatan hutan
dipercepat. Disamping itu, intensitas lalu-lalang manusia meningkat sehingga resiko
kerusakan oleh karena kebakaran meningkat
e. Lahan yang rusak dan tidak produktif lagi biasanya ditinggalkan oleh penduduk, karena
sudah tidak prosuktif lagi. Lahan yang demikian biasanya ditumbuhi oleh purun dan
kemudian bersuksesi menj adi semak belukar dan kemudian menjadi hutan gelam. Kondisi
dari masingmasing strata suksesi ini akan menimbulkan penampakan citra landsat TM yang
berbeda.

Pengelolaan Lahan Rawa-Gambut yang Ekologis dan Holistik

Pengelolaan lahan gambut perlu didasarkan pada karakteristik ekosistem tropika. Pada dasarnya
gambut di Indonesia mempunyai bentuk kubah. Bentuk ini menjamin adanya sirkulasi air dari
puncak dome menuju ke bagian kaki-kaki kubah. Sirkulasi air inilah yang menyebabkan ekosistem
gambut dapat produktif. Sifat gambut yang porous menyebabkan gambut dapat menyimpan air dalam
jumlah yang cukup besar (sampai 500 persen dari bobot keringnya). Dengan senantiasa menjaga puncak
kubah maka peredaran air dalam ekosistem lahan gambut dapat terjaga dan eksistensi ekosistem
gambut dapat dipertahankan. Adanya cadangan air di puncak dome sangat diperlukan untuk menjaga
kualitas air agar tetap dapat memungkinkan biota tetap hidup dan berproduksi. Air gambut biasanya
mempunyai pH sekitar 4 -4,5 dan masih memungkinkan biota untuk mempertahankan hidupnya. Selain
itu, air yang mengalir, meskipun sangat perlahan, memungkinkan kualitas air tetap terjaga (Mulyanto
dan Sumawinata, 2007).

Secara tradisional, kelangsungan handil-handil yang ada di Sumatra dan Kalimantan lebih
disebabkan oleh karena masih adanya air yang senantiasa mengalir dari puncak dome ke handil-handil
tersebut. Air yang mengalir ini bukan saja memberi pengairan, tetapi juga berfungsi sebagai pencuci
senyawa-senyawa beracun yang mungkin timbul oleh karena lahan gambut di drainase untuk pertanian.
Senyawa beracun yang mungkin timbul adalah senyawa sulfat masam (acid sulphate) sebagai hasil
proses oksidasi bahan sulfidik seperti mineral pirit (FeS2). Senyawa beracun ini timbul pada lahan
gambut dangkal yang dasar gambutnya merupakan sedimen yang proses pembentukannya terjadi di
lingkungan air payau (brackish water). Sebagai akibat dari adanya senyawa sulfat masam ini adalah
tumbuhan, terutama tumbuhan budidaya, tidak dapat berproduksi atau bahkan mati. Saat ini ratusan
ribu hektar lahan yang ditinggalkan oleh masyarakat (abandoned) baik di Sumatra maupun di
Kalimantan disebabkan oleh senyawa sulfat masam tidak dapat didrainase keluar (Mulyanto dan
Sumawinata, 2007).

Sehubungan dengan itu, maka pengelolaan lahan gambut harus senantiasa memandang bahwa
suatu pulau ( antara 2 sungai) adalah satu unit ekosistem, sehingga dalam pengelolaannya harus
merupakan satu unit pengelolaan. Bentuk kubah gambut dipakai sebagai dasar untuk mengatur tata
ruang penggunaan lahan gambut tersebut. Kaki kubah termasuk tanggul-tanggul alam
sungai (levee) yang telah dikelola oleh masyarakat , misalnya untuk kebun rotan, sagu, padi dan
tanaman lainnya tetap dialokasikan untuk pertanian rakyat. Puncak kubah harus senantiasa di jaga
keutuhannya, sehingga dialokasikan bagi wilayah konservasi, agar fungsinya sebagai pemasok air
senantiasa tefap terjaga (Mulyanto dan Sumawinata, 2007). Wilayah antara puncak dan kaki kubah, jika
terpaksa harus dimanfaatkan, dapat dialokasikan bagi tanaman perkebunan atau hutan tanaman
industri yang menggunakan tanaman tahunan, dengan bangunan parit-parit minimal dan pengaturan air
yang sangat disiplin agar air tetap mengalir dan permukaan air senantiasa terjaga, sehingga drainase
berlebih (over drainaged) dapat dihindari. Parit biasanya merupakan akses, sehingga harus dijaga agar
mereka yang bukan pengelola tidak mudah masuk kewilayah ini, sehingga dapat dihindari penebangan
kayu di bagian puncak kubah. Oleh karena gambut mudah terbakar, maka bahaya kebakaran harus
dicegah sedini mungkin dengan melarang kemungkinan timbulnya api.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang hendak dikemukakan dalam penulisan makalah ini tidak lepas dengan adanya
permasalah yang mndasar sehingga kesimpulan yang mana merupakan benang merah hingga
rekomendasi praktis dapat diambil sebagai suatu wacana hingga unit keutuhan yang bisa diambil
sebagai kajian lahan rawa dan pasang surut secara lebih bijak, antara lain:
- Pemanfaatan serta pengelolaan yang serasi sesuai dengan karakteristik, sifat serta kelakuannya dan
pembangunan prasaranan, sarana pembinaan sumberdaya manusia dan penerapan teknologi
spesifik lokasi diharapkan dapat mengubah lahan tidur (bongkor) menjadi lahan produktif

- Perencanaan hingga dukungan pengetahuan yang kurang maksimal dalam reklamasi lahan rawa
hingga gambut akan mengakibatkan kemerosotan produktifitas pertanian dan meningkatkan
tingkat kemiskinan diiringi dengan ledakan populasi yang ada

3.2. Rekomendasi

Dalam penulisan makalah mengenai reklamasi lahan rawa dan pasang surut ini, kami menghimpun
beberapa rekomendasi praktis untuk megerem eksploitasi lahan tersebut, antara lain:

- Untuk menghindari kerusakan lingkungan yang semakin parah dan menjadikan lahan tersebut
menjadi produktif lagi untuk lahan pertanian adalah dengan penrapan teknik rehabilitasi yang
berkiblat pada konservasi sumberdaya tanah dan air secara optimal

- Disamping perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan lahan/tanah dan air sebaik-baiknya

- Pengembangan lahan rawa memerlukan penerapan teknologi yang sesuai dari segi pengelolaan
tanah dan air yang tepat (high presition)

- Pengelolaan lahan rawa-gambut haruslah memperhatikan karakteristik biofisik yang ada, sehingga
ekologi terjaga

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Rawa___diakses di: www.google.com tanggal 19 Oktober 2008. Hal. 1-3

DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. 2008. Pedoman Teknis Reklamasi Lahan Rawa Tahun
2008. Direktorat Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. Jakarta. PT.
PLA B.2.4-2008

Mulyanto, Budi; Basuki Sumawinata. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Secara Ekologis Untuk
Kesejahteraan Masyarakat. Center for Wetlands Studies. Departement of Soil Science-Faculty of
Agriculture Bogor Agricultural University. Bogor. Email : cwsipb@indo.net.id. Hal. 1-8

Salim, E. Hidayat; Siti Mariam. 2007. Pengelolaan Tanah da Air (Bahan Kuliah). Jurusan Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Hal. 132

Suriadikarta, Didi Ardi; Mas Teddy Sutriadi. 2007. Jenis-jenis Lahan Berpotensi Untuk Pengembangan
Pertanian di Lahan Rawa. Jurnal Litbang Pertanian. Bogor. 26 (3). Hal. 115-122.
http://diondalampenelitian.blogspot.com/2009/01/reklamasi-lahan-rawa-dan-pasang-surut.html

DASAR ILMIAH UNTUK PENGEMBANGAN


LAHAN PASANG SURUT

1. Daerah Rawa Pasang Surut

Daerah rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang secara permanen atau temporal
tergenang air karena tidak adanya sistem drainasi alami serta mempunyai ciri-ciri khas
secara fisik, kimia dan biologis. Menurut jenisnya lahan rawa dibagi menjadi Rawa Pasang
Surut (RPS) dan rawa non pasang surut (RNPS). Jika ditinjau dari jangkauan luapan air
pasang, sebagai akibat terjadinya pasang surut air laut, lahan rawa dibedakan menjadi
empat tipe luapan yaitu:

1. Rawa Tipe Luapan A, Rawa dalam klasiflkasi ini merupakan rawa yang selalu terluapi
oleh air pasang tertinggi dari adanya variasi elevasi pasang surut air sungai.
2. Rawa Tipe Luapan B, Rawa yang termasuk dalam kategori ini ialah rawa yang
kadang-kadang (tidak selalu terluapi) oleh air pasang tinggi dari variasi pasang surut
air sungai.
3. Rawa Tipe Luapan C, Daerah rawa (RPS) dalam kategori ini didefinisikan sebagai
daerah rawa yang tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi dari variasi elevasi
pasang surut air sungai, namun memiliki kedalaman muka air tanah tidak lebih dari
50 cm dari permukaan tanah.
4. Rawa Tipe Luapan D, Daerah rawa (RPS) ini adalah rawa yang menurut
hydrotopografinya tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi dari variasi elevasi
pasang surut air sungai, dan memiliki kedalaman air tanah > 50 cm dari permukaan
tanah.
Selain rawa pasang surut, terdapat juga rawa non pasang surut (RNP). RNPS didefinisikan
sebagai daerah rawa yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air sungai. Daerah rawa ini
merupakan lahan tanah berbentulc cekungan dan dalam musim hujan seluruhnya digenangi
air. Pada musim kemarau air tersebut berangsur-angsur kering bahkan kadang-kadang ada
yang kering sama sekali selama masa yang relatif sangat singkat (1-2 bulan). Untuk daerah
yang berada dekat dengan sungai, air yang menggenangai daerah rawa berasal dari luapan
sungai disekitarnya, dan ada pula daerah rawa yang mudah tenggelam terus menerus
akibat hujan sebelum melimpahIcan airnya ke daerah sekitarnya.
Berdasarkan ketinggian hydrotopografi, RNPS atau rawa lebak dibagi menjadi:

1. Lebak Pematang : Memiliki topografi yang cukup tinggi, dimana jangka waktu
tergenangnya relatif sangat pendek.
2. Lebak Tengah : Terletak diantara lebak pematang dan lebak dalam.
3. Lebak Dalam : Memiliki topografi rendah sehingga jangka waktu tergenangnya relatif
sangat lama (tergenang terus-menerus).

Air yang ada di daerah rawa tersebut dapat berasal dari air hujan maupun luapan banjir dari
sungai-sungai terdekat. Daerah rawa merupakan daerah yang mempunyai arti penting
dalam menunjang aspek fisik lingkungan suatu daerah aliran sungai. Daerah rawa yang
berada di suatu lembah sungai dapat berfungsi sebagai filter yang menjernihkan air
sebelum masuk ke sungai, air yang mengalir dari daerah yang lebih tinggi mempunyai
kecepatan yang kecil karena adanya hambatan dari tumbuhan sehingga sedimen dapat
terendapkan. Air segar yang ada di rawa juga merupakan daerah tempat
berkembangbiaknya ikan dan burung dan sumber air minum bagi binatang buas di musim
kemarau. Selain itu, rawa juga berfungsi sebagai reservoir air yang dapat menjaga elevasi
muka air daerah di atasnya maupun daerah genangan yang dapat meredam terjadinya
banjir di daerah hilir. Oleh karena itu pengubahan daerah rawa menjadi daerah pertanian
dengan pengembangan jaringan saluran akan mengusik suasana lingkungan tersebut.
Untuk menghindari terjadinya degradasi lingkungan perlu dilakukan usaha perlindungan dan
konservasi sebagian daerah rawa untuk keberlanjutan (sustainabilty) lingkungan.

Ketidakmampuan sistem drainasi dan terjadinya akumulasi air tanah dan air permukaan
mengakibatkan terjadinya akumulasi sedimen dan garam-garam yang terlarut. Deposit
sedimen ini bervariasi jenisnya tergantung pada jenis sumber batuan atau tanah asalnya.
Jenis tanah yang biasa, ditemui di daerah rawa adalah tanah aluvial, tanah organik
(gambut) dan tanah mineral yang belum matang. Di daerah rawa yang dekat dengan
pantai, sering ditemui tanah mineral yang mengandung pirit (FeS) yang apabila teroksidasi
akan menghasilkan asam sulfat yang berbahaya bagi tanaman. Demikian pula genangan
yang menerus dan kondisi anaerob menghambat proses pematangan tanah.

Usaha pemanfaatan daerah rawa menjadi lahan pertanian perlu mempertimbangkan


kemungkinan dilakukannya pencucian bahan toxic dan oksidasi guna proses pematangan
tanah.

Daerah rawa ditinjau dari besar-kecilnya pengaruh pasang-surut air sungai dibedakan atas
daerah rawa pasang-surut dan non pasang surut. Daerah rawa pasang-surut adalah daerah
rawa yang sistem drainasi atau sistem pemberian airnya dipengaruhi oleh gerakan pasang-
surut muka air sungai terdekat.

2. Perlindungan, Konservasi dan Pemanfaatan Rawa

Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang merupakan


landasan pokok untuk menyelenggarakan pengaturan mengenai air dan sumber air,
ditetapkan rawa merupakan salah satu sumber air. Karena rawa merupakan sumberdaya
alam yang potensial bagi kesejahteraan masyarakat, maka potensi rawa perlu dilestarikan
dan dikembangkan agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
secara adil dan merata sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
1945.

Dalam rangka pemanfaatan rawa seoptimal mungkin, Pemerintah perlu mengadakan


pengaturan atas rawa. Pengaturan tersebut dititikberatkan pada penyelenggaraan
konservasi rawa yang mencakup kegiatan perlindungan, pengawetan secara lestari, dan
peningkatan fungsi serta pemanfaatan rawa sebagai ekosistem sumber air. Hal ini seJalan
dengan asas kemanfaatan umum, keseimbangan, dan kelestarian yang digunakan dalam
pengaturan air dan sumber air, dimana sumberdaya lahan rawa tennasuk didalamnya.

Dalam kaitannya dengan Rawa Perlindungan dan Rawa Pengawetan ada beberapa landasan
hukum yang relevan untuk dikaji yakni: PP No 27, tahun 1991; Kep. Pres No. 57, Tahun
1989; SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980.

Perlindungan rawa (PP 27/1991, psl 11) bertujuan untuk melindungi sistem penyangga
kehidupan pada wilayah konservasi rawa.

Pengawetan rawa (PP 27/1991, psI 12) bertujuan untuk memelihara kelestarian
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada -wilayah konservasi
rawa.

Menurut SK Mentan No. 837/Kpts/Um/II/1980, secara implisit Rawa Perlindungan adalah


rawa yang berada dalam kawasan Hutan Lindung.

Kawasan Hutan Lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang
mampu memberikan perlindungan kepada daerah di bawahnya sebagai pengatur tata air,
pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kriteria penetapan
Kawasan Hutan Lindung telah dibuat secara rinci berdasarkan parameter : ....................

.............

http://sdair.tripod.com/kursussingkat/kursing2/1e.html

Kualitas Lahan
Kualitas Lahan di Daerah Rawa Pasang Surut (Hidrologi dan Tanah)

Tabel ini mencakup kualitas lahan hidrologis dan karakteristik tanah yang
mempunyai pengaruh penting terhadap desain dan potensi yang
dimilikinya.Kualitas lahan juga dipengaruhi oleh proses dinamis, tidak kurang
karena perubahan pada layout saluran dan desainnya, peningkatan saluran dan
bangunan-bangunannya, atau oleh perubahan lingkungan, seperti misalnya
lenyapnya dome gambut.

Diharapkan tabel ini akan menyumbangkan pemahaman yang lebih baik


terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dan pengaruh yang
diharapkan dari peningkatan proyek rawa pasang surut. Tabel ini hendaknya
digunakan untuk kegiatan survey inventarisasi dan investigasi serta desain, baik
pada tingkat mikro maupun tingkat makro.

Satuan Lahan di daerah rawa pasang surut merupakan kombinasi dari


dua kualitas lahan hidrologis dengan satu kualitas tipe luapan lahan, satu
kualitas drainabilitas lahan dan satu kualitas tipe tanah. Pengalaman yang ada
sejauh ini sangat kurang untuk menentukan satuan lahan berdasarkan atas
kualitas lahan seperti digambarkan pada tabel di bawah ini. Dari pengalaman
dapat dipelajari kombinasi yang paling relevan dari kualitas lahan.

Pembatasan dari kualitas berdasarkan panjang saluran sampai sungai seperti di


kemukakan pada tabel di bawah ini bersifat arbriter. Kesemuanya tergantung kepada
desain dan layout dari sistem serta sangat dipengaruhi oleh kisaran pasang surut di sungai
terdekat. Pembuatan model komputer dari masing-masing sistem saluran akan sangat
memungkinkan dan dianjurkan untuk digunakan dalam menentukan batas-batas dari
masing-masing kualitas lahan hidrologi. Berdasarkan alasan praktis pembatasan panjang
saluran sampai sungai yang dikemukakan pada tabel di bawah ini didasarkan atas
pengalaman secara umum yang dijumpai di daerah rawa pasang surut. Hendaknya
dipahami bahwa untuk masing-masing areal dan layout di suatu scheme mungkin saja
berbeda dan pembatasannya bersifat indikatif

Klasifikasi kualitas lahan mempertimbangkan kondisi lahan saat ini.


Pada kasus dimana masalah genangan dijumpai di lapangan, diasumsikan
bahwa kondisi saat ini ataupun tindakan-tindakan penyempurnaan yang
diharapkan dilakukan mampu mengatasi masalah banjir atau genangan di
lokasi.
Hidrologis/ Kualitas panjang Rekomendasi dan Potensi
Kualitas Lahan pada Hidrologi
kanal sampai sungai Penggunaan
Hanya berpotensi untuk tanam padi
sekali setahun. Perlu diberikan
perhatian ekstra untuk memenuhi
kebutuhan air rumah tangga.
1.1.1 Areal dimana intrusi air Tanaman keras bisa saja
asin di saluran berlangsung merupakan pilihan yang lebih baik
1.1 Acaman (bahaya) intrusi selama 3 6 bulan di areal dimana kedalaman efektif
drainasenya memadai. Di areal
air asin dengan kisaran pasang surut yang
kecil dianjurkan budidaya ikan/
udang.

Potensial untuk tanama padi dua


1.1.2 Areal dimana instrusi air kali setahun. Sebagian terbesar
asin di saluran berlangsung dari lahan pasang surut yang
kurang dari 3 bulan. sudah direklamasi tergolong dalam
klasifikasi ini.

1.2.1 Areal dengan


Areal semacam ini umumnya
panjang kanal < 8 km
berbatasan dengan lebak (dataran
sampai sungai pasang
banjir) dan biasanya memerlukan
surut.
tanggul pengaman banjir. Pola
1.2 Areal dimana kisaran tanaman harus disesuaikan dengan
Kisaran pasang surut yang
kondisi setempat. Perlu kehati-
pasang surutnya < 30 cm kecil di saluran pada panjang
kanal < 8 km sampai sungai hatian terhadap tanah sulfat
dalam musim hujan di masam. Irigasi pompa sangat
menunjukkan bahwa daerah
sungai/ saluran primer/ semacam ini sudah berada di diperluka untuk lahan jenis ini.
saluran sekunder yang luar jangkauan engaruh pasang Aliran air satu arah di saluran
surut sungai, mendekati dinilai penting.
terdekat; jarak dari
kepada bagain dari bantaran
lokasi sampai saluran < banjir sungai.
1,5 km. 1.2.1 Areal dengan
panjang kanal > 8 km
(jika jarak ke saluran primer/ Perlu perhatian khusus terhadap
sampai sungai pasang
sekunder > 1,5 km kawasan surut. tanah sulfat masam. Apabila ada
semacam ini tidak tanah sulfat masam maka perlu
tergolonglahan pasang dijaga agar tanah tersebut dalam
surut.) Kisaran pasang surut yang
kecil di sini biasanya keadaan basah dimusim kemarau
menunjukkan daerah ini masih (lihat tipe luapan 2.2).
terjangkau oleh pasang surut
muka air sungai, hanya Irigasi pompa umunya sangat
masalahnya letaknya terlampau penting. Saluran primer utama
jauh dari sungai. Diperlukan perlu sejajar sungai dan dilengkapi
tindakan ekstra untuk dengan bangunan pengatur air
pengaturan air di saluran. searah.
1.3 Areal dengan kisaran
pasang surut > 30 cm
selama musim hujan di Bagian terbesar dari lahan rawa
sungai/ saluran primer/ pasang surut berada di kawasan
1.3 Areal yang berbatasan
saluran sekunder yang ini.
dengan jangkauan
terdekat; jarak dari lokasi ke
pasang surut sungai.
saluran < 1,5 km.

Kualitas Hidrologis
Hidrologis/ Kualitas panjang Rekomendasi dan Potensi
kanal sampai sungai Penggunaan
TIPE LUAPAN
Kawasan yang mudah dikelola
2.1.1 Kawasan dengan
saluran sistem terbuka baik untuk
2.1 Irigasi pasang surut panjang kanal < 1,5 km sampai
suplai air dan drainase. Kawasan ini
sungai pasang surut, tidak ada
biasanya dikuasai oleh petani lokal
(pasut) genangan/ luapan dalam.
yang telah ada sejak awal.

2.1.2 Kawasan dengan


Tanggul untuk pengamanan banjir
panjang kanal < 1,5 km sampai
diperlukan. Diperlukan bangunan
Tipe luapan pasut A/B. sungai pasang surut,
pengendali di tanggul.
genangan/ luapan dalam.
Panjang kanal sampai
sungai akan mempengaruhi 2.1.3 Kawasan dengan
potensi irigasi pasut dan panjang kanal > 1,5 km sampai
tipe irigasi pasut. Perlu perhatian terhadap drainase
sungai pasang surut.
yang berlebihan bilamana saluran
diperbesar ataupun bila membuat
Irigasi pasut tergantung kepada sudetan ke sungai. Bangunan
pengaruh kombinasi dari hujan, pengendali untuk mengatur muka
ukuran saluran yang relatif air sangat diperlukan.
kecil, tingginya pasut, dan
elevasi tanah.
Bahaya drainase berlebihan
bilamana saluran diperbesar.
2.2 Surface flows from 2.2 Aliran air permukaan bisa
Pengendalian aliran diperlukan
nearby peat forest/upland membasahi areal ini.
dengan membangun tanggul dan
bangunan pengendali.

Biasanya diperlukan pencucian


yang intensif melalui sistem
pengelolaan air di tingkat lahan
2.3 Tidak ada irigasi pasut.
usaha tani untuk jenis tanah muck
2.3 Areal ini tidak bisa
(organic) maupun pirit. Tidak ada
Tipe luapan pasut C/ D. dibasahi oleh aliran permukaan
saluran buntu dan aliran satu arah di
maupun oleh irigasi pasut.
saluran utama dianggap penting di
tempat-tempat dimana panjang
kanal ke sungai > 1,5 km.
Pengaruh Panjang Kanal Rekomendasi dan Potensi
Drainabilitas
sampai Sungai Penggunaan

Tanaman padi biasanya bisa


3.1.1 Panjang kanal < 1,5 km dibudidayakan. Perlu perhatian yang
sampai sungai pasang surut. lebih besar untuk penyempurnaan
banyaknya hubungan ke sungai
3.1 Lahan tanpa potensi Areal semacam ini biasanya
terdekat guna meningkatkan potensi
drainase yang mencukupi. dapat didrainase pada saat
drainase. Tanaman keras hanya bisa
surut rendah.
tumbuh di guludan (sorjan).

Kedalaman efektif drainase Tidak dianjurkan untuk melakukan


3.1.2 Panjang kanal > 1,5
< 30 cm (setelah hilangnya kegiatan pertanian di kawasan ini.
km sampai sungai pasang
lapisan tanah gambut) Kawasan ini sebagian besar meliputi
surut.
tanah gambut. Opsi yang
Pada kasus ini waktu yang berhubungan dengan kegiatan
tersedia untuk drainase pada kehutanan dimana keperluan untuk
saat surut rendah terlampau drainase lahan bersifat minimum
singkat untuk memungkinkan merupakan opsi yang dianjurkan.
drainase yang memadai.
3.2.1 Kedalaman efektif
drainase 30 60 cm. Panjang
Kanal < 1,5 km sampai sungai
pasang surut. Dapat direkomendasikan untuk
tanaman keras maupun padi.
Selama periode surut rendah
lebih banyak waktu yang
3.2 Lahan dengan potensi tersedia untuk drainase dan
drainase yang mencukupi potensi drainase setara
dengan kualitas lahan 3.2.3
Kedalaman efektif 3.2.1 Kedalama efektif
drainase > 30 cm (setelah drainase 30 60 cm. Panjang
hilangnya lapisan tanah kanal > 1,5 km sampai sungai Direkomendasikan terutama untuk
gambut) pasang surut. tanaman padi. Tanaman keras hanya
bisa tumbuh di guludan (sorjan).
Selama surut rendah waktu
yang tersedia untuk drainase
lebih singkat.
Dikebanyakan kasus tanaman keras
3.2.3 Kedalaman efektif merupakan alternatif terbaik. Di
drainase > 60 cm. daerah yang drainasenya terhambat
dengan sedimen marine tua (lihat
Di kawasan semacam ini tidak 4.2.2) biasanya digunakan untuk
pernah ada masalah drainase. budidaya tanaman padi.

Kedalaman efektif drainase adalah perbedaan antara rata-rata permukaan tanah dengan rata-rata
muka air di saluran sekunder terdekat yang depengaruhi oleh gerakan pasang surut. Setelah
upgrading/ rehabilitasi saluran dilakukan, maka kedalama efektif drainase akan semakin baik,
dengan demikian berpengaruh terhadap kualitas lahan secara dinamis.

Keseimbangan yang ada antara oksidasi dan


pencucian mencukupi untuk mempertahankan
tanah menjadi masam. Sangat penting untuk
mematangkan tanah dengan kepadatan rendah
yang belum matang dengan menerapkan sistem
pengaturan air dangkal. Untuk memacu proses
4.1.1 Lahan potensial pematangan tanah jenis ini, maka selama musim
kemarau air tanah harus diturunkan 60 cm di
bawah permukaan tanah. Pada tanah yang sudah
4.1 Muck (Organik)/ matang sangat mungkin penggunaan irigasi pompa
Tanah Sulfat dikombinasikan dengan traktor dan terciptanya
Masam plough-layer (tanah yang belum matang tidak
bisa mempertahankan genangan air di atas lahan).

Potensi untuk pencucian dan penggelontoran


pada kondisi saat ini tidak mencukupi: bisa
kembali menjadi lahan potensial dengan
4.1.2 Lahan Sulfat Asam menyempurnakan sistem pengaturan air
dikombinasikan dengan pengolahan tanah dengan
mekanisasi, serta menghubungkan dua saluran
dan penggelontoran air satu arah.

4.2.1 Sedimen Marine


(laut) Muda Sebagian besar jenis tanah ini berpotensi untuk
ditanami padi atau kolam ikan.

4.2 Bukan Tanah


Sulfat Masam Jenis tanah ini utamanya untuk budidaya tanaman
4.2.2 Sedimen Marine padi. Pembajakan tanah secara dalam tidak
Tua dianjurkan karena bahaya tercampurnya lapisan
atas tanah dengan tanah beracun (aluminium).

4.3 Kedalaman efektif


drainase berkelanjutan
(>30 cm) setelah
subsider (penurunan Bisa untuk budidaya tanaman keras.
tanah)
4.3 Tanah Gambut
Tidak ada potensi Pertanian atau potensi
4.4 Kedalaman efektif
Perkebunan. Muka air tanah harus dekat muka
tidak berkelanjutan (<30
tanah, kurang 30 cm di bawah tanah.
cm) setelah subsider
(penerunan tanah)
Berapa macam pohon rawa bisa tumbuh. (Pohon
Ramin?)
4.4 Tanah dengan 4.5 Kondisi hidrologis Potensi untuk pertanian sangat rendah. Dengan
Kesuburan Rendah bisa beargam semakin baiknya drainase, tanah jenis ini
Whitish berpotensi untuk Melaleuce Forestry

See also Peat Soils : Subsidence problem.

Untuk lihat peta2 survai rawa pasang surut Indonesia, goto teamwebsite tidal-
lowlands.org . Perlu username: tamu dan password: banyuasin. Bisa juga
download tiap peta. (Format A3, tetapi format A4 bisa juga)

http://www.eelaart.com/kualitas.htm\

Lahan Gambut dan Lahan Pasang Surut


Pengertian Lahan Gambut

Tanah berdasar kadar bahan organik dan ketebalan bahan organiknya dibedakan menjadi
tanah mineral, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik rendah; dan tanah gambut atau
tanah organik, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik tinggi. Tanah gambut diartikan
sebagai tanah yang terbentuk dari proses penumpukan atau akumulasi bahan-bahan organik,
berupa sisa-sisa tumbuhan.
Istilah gambut berasal dari nama desa dekat kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dimana
sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah organik dan banyak diusahakan oleh masyarakat
untuk persawahan. Hingga sekarang nama/istilah tersebut digunakan untuk menyatakan tanah
organik. Walaupun sebenarnya tidak semua tanah organik dapat digolongkan sebagai tanah
gambut (Andriesse, 1992).

Pusat Penelitian Tanah (PPT) (1983;1990) memberikan istilah Organosoluntuk menyebut


tanah gambut. Tanah yang termasuk dalam kategori Organosol harus memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1). Tanah yang mempunyai horizon H setebal 50 cm atau lebih (dapat 60 cm atau lebih bila
terdiri dari bahan sphagnum atau lumut, atau jika bobot isinya < 0.1) dari permukaan tanah atau
kumulatif 50 cm di dalam lapisan sampai 80 cm dari permukaan tanah. 2). Tebal horizon H
dapat kurang dari 50 cm, bila terletak di atas batuan padu atau bahan organik dalam ruang
antaranya. 3). Dikenal Tiga Macam Tanah Organosol : Organosol fibrik, Organosol Hemik dan
Organosol Saprik. FAO UNESCO (1987) menyebut gambut dengan nama Histosol. Definisi
yang diberikan untuk Histosol sama dengan definisi Organosol (PPT, 1983;1990), tetapi syarat
ketebalan horizon H hanya 40 cm atau lebih (dapat 60 cm atau lebih jika bahan organik terdiri
dari sphagnium atau lumut, atau mempunyai bulk density < 0,1 ) terus-menerus dari permukaan
tanah atau kumulatif sampai pada kedalaman 80 cm; ketebalan horizon H mungkin berkurang
jika terdapat lapisan batu atau bahan fragmen batuan yang terisi bahan organik disela-selanya
(interstices). Soil Staff USDA (1990) juga memberikan istilah Histosol untuk menyebutkan
tanah gambut. Definisi Histosol yang diberikan oleh USDA (1990) dalam KeySoil
to Taxonomy lebih komprehensif . Menurut sistem klasifikasi taksonomi tanah (Soil Staff USDA,
1990), menyebutkan dengan istilah Histosol, yaitu tanah yang ,memenuhi salah satu ketentuan
berikut:
1. Mempunyai bahan tanah organik mulai dari permukaan sampai ke salah satu berikut:
a. Kedalaman 10 cm atau kurang di atas suatu kontak litik atau paralitik, asalkan mempunyai
ketebalan bahan tanah organik lebih dari dua kali ketebalan tanah mineral di atas kontak
tersebut, atau
b. Kedalaman seberapapun apabila bahan tanah organik terletak di atas bahan fragmen
(kerikil,batu, kerakal) dan celah-celahnya terisi oleh bahan tanah organik, atau berada di atas
kontak litik atau paralitik; atau
2. mempunyai bahan tanah organik yang batas atasnya di dalam kedalaman 40 cm dari
permukaan; dan
a. mempunyai salah satu dari ketebalan berikut:
(1) 60 cm atau ;lebih, bila tiga perempat bagian atau lebih volumenya adalah serat lumut, atau
berat isi, lembab, kurang dari 0,1 g/cm3.
(2) 40 cm atau lebih, bila:
(a) bahan tanah organik jenuh air dalam waktu lama (lebih dari 6 bulan) atau telah di drainase;
dan
(b) bahan organik terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau terdiri dari bahan fibrik yang kurang
dari tiga perempat bagian volumenya adalah serat lumut dan memiliki berat isi (lembab) 0,1
g/cm3 atau lebih.
b. mempunyai bahan-bahan tanah organik yang:
(1) tidak memiliki lapisan mineral sampai setebal 40 cm, yang terletak di permukan ataupun
yang batas atasnya di dalam kedalaman 40 cm dari permukaan;
(2) tidak memiliki lapisan-lapisan mineral, yang secara komulatif, sampai setebal 40 cm di
dalam kedalaman 80 cm dari permukaan; dan
3. Tidak memiliki sifat-sifat tanah andik dalam lapisan setebal 35 cm atau lebih di dalam
kedalaman 60 cm dari permukaan.

Pengertian Lahan Pasang Surut

Lahan rawa dapat dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak. Lahan
pasang surut merupakan suatu lahan yang terletak pada zone/wilayah sekitar pantai yang
ditandai dengan adanya pengaruh langsung limpasan air dari pasang surutnya air laut atau pun
hanya berpengaruh pada muka air tanah. Sebagian besar jenis tanah pada lahan rawa pasang
surut terdiri dari tanah gambut dan tanah sulfat masam. Kedua jenis tanah ini merupakan
ekosistem yang marginal.

(Tim Penyusun Bahan Ajar Lahan Gambut dan Lahan Pasang Surut : Salampak, Y.Sulistiyanto,
Basuki, Gusti Irya Ichriani)
http://iryaichriani.blogspot.com/2011/04/lahan-gambut-dan-lahan-pasang-surut.html

CATCHMENT AREA

CATCHMENT AREA

1.1 Dasar Teori

Catchment area (daerah tangkapan air) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis yang dapat berupa punggung-punggung bukit atau gunung dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Catchment area dapat dikatakan
menjadi suatu ekosistem dimana terdapat banyak aliran sungai, daerah hutan dan komponen penyusun
ekosistem lainnya termasuk sumber daya alam.Namun,komponen yang terpenting adalah air, yang
merupakan zat cair yang terdapat di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian
ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Catchment area erat kaitannya
dengan Daerah Aliran Sungai (DAS).

DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia
berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow danoutflow dari material
dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan
wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara
umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan
berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air
sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir.
DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan.
DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu
setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk
perubahan fluktuasi debit dan transportsedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya.
Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap
keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan
DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir
mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Kandungan air tanah yang ada berasal dari
imbuhan, baik secara langsung dari curahan hujan maupun dari aliran tanah yang terkumpul menuju
daerah lepasan (Dinas Pertambangan dan Energi, 2003). Kuantitas air tanah dapat diketahui dengan
mengetahui seberapa besar jumlah air hujan yang menyerap kedalam tanah. Jumlah resapan air tanah
dihitung berdasarkan besarnya curah hujan dan besarnya derajat infiltrasi yang terjadi pada suatu
wilayah, yang kemudian meresap masuk ke dalam tanah sebagai imbuhan air tanah. Penyebaran vertikal
air bawah permukaan dapat dibagi menjadi zona tak jenuh (zone of aeration) dan zona jenuh (zone of
saturation). Zona tak jenuh terdiri dari ruang antara sebagian terisi oleh air dan sebagian terisi oleh
udara, sementara ruang antara zona jenuh seluruhnya terisi oleh air. Air yang berada pada zona tak
jenuh disebut air gantung (vodose water), sedangkan yang tersimpan dalam ruang merambat
(capillary zone) disebut air merambat (capillary water) (Linsley dkk., 1986).

Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi yang
mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS untuk:

1. mengalirkan air;

2. menyangga kejadian puncak hujan;

3. melepas air secara bertahap;

4. memelihara kualitas air dan

5. mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor dan erosi)

DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang
dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit),
dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air
tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.Ketiga DAS
bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan
manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih,
serta pengelolaan air limbah

GAMBAR 1.1

Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir


Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga
keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat
mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan
maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang
panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS
diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara
baik.Dimana, Kondisi DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria yang juga mempengaruhi
catchment area :

a. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun.

b. Kualitas air baik dari tahun ke tahun.

c. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil.

d. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun.

Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan,


industri,eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan
penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai (DAS). Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS
ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau
Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun 1972. Penurunan fungsi
hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim
kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai base flow pada musim kemarau, telah
menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran
permukaan yang kadang-kadang

menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran base flow sangat kecil bahkan pada
beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai
air tawar.Salah satu contoh catchment area yaitu waduk Cacaban dimana secara geografis terletak
antara 109 11 28 BT sampai dengan 109 14 58 BT dan 7 1 31 LS sampai dengan 7 2 18 LS.
Waduk Cacaban memiliki daerah tangkapan air (catchment area) seluas 6.792,71 hektar. Adapun luas
genangan waduk pada kondisi maksimal seluas 928,70 hektar. Pada kondisi tersebut waduk Cacaban
mampu mengaliri lahan sawah irigisi teknis seluas kurang lebih 17.500 hektar. Rata-rata curah hujan
dengan kisaran 1.912 mm/ tahun sampai dengan 2.942 mm/tahun. Jenis tanah di Kawasan Waduk
Cacaban didominasi oleh komplek Latosol merah kekuningan, Latosol coklat tua, berikutnya adalah
komplek Podsolik merah kekuningan, Podsolik kuning dan Regosol. Kawasan Waduk Cacaban
bertopografi berombak sampai berbukit dengan ketinggian bervariasi antara 85 sampai 600 meter di
atas permukaan laut (dpl). Sedangkan sebagian besar daerah tangkapan air (catchment area)
merupakan daerah dengan kelas lereng IV - V, dengan interval 25 40 % sampai dengan > 40 %
tergolong daerah curam sampai dengan sangat curam. Jumlah penduduk di catchment area Waduk
Cacaban sekitar 29.859 jiwa yang tersebar di 9 (sembilan) desa. Berdasarkan jumlah penduduk usia
produktif (>15 tahun) sebesar 14.399 jiwa lapangan usaha penduduk di kawasan waduk sebagian besar
bergantung pada sektor pertanian, lainnya tersebar pada berbagai sektor. Sektor non pertanian yang
mempunyai potensi cukup besar sektor perdagangan.

2.Hubungan curah hujan terhadap catchment area dengan aquifer

Hubungan curah hujan terhadap catchment area dapat di lihat dari kuantitas air tanah yang terdapat
pada catchment area dimana curah hujan dapat mempengaruhi volume jumlahair di cathment area yang
berasal dari sungai-sungai.Sedangkan terhadap aquifer mempengaruhi geologi yang mendasari bentuk dari
catchment area.

Faktor yang Mempengaruhi Curah hujan :

1. Letak daerah konvergensi antartropis

2. Bentuk medan

3. Arah lereng medan

4. Arah angin yang sejajar dengan pantai

5. Jarak perjalanan angin di atas medan datar

6. Pusat geografis daerahnya

Faktor yang mempengaruhi banyak sedikitnya curah hujan di suatu daerah :

1. Factor Garis Lintang menyebabkan perbedaan kuantitas curah hujan, semakin rendah
garis lintang semakin tinggi potensi curah hujan yang diterima, karena di daerah lintang rendah
suhunya lebih besar daripada suhu di daerah lintang tinggi, suhu yang tinggi inilah yang akan
menyebabkan penguapan juga tinggi, penguapan inilah yang kemudian akan menjadi hujan
dengan melalui kondensasi terlebih dahulu.
2. Faktor Ketinggian Tempat, Semakin rendah ketinggian tempat potensi curah hujan yang
diterima akan lebih banyak, karena pada umumnya semakin rendah suatu daerah suhunya akan
semakin tinggi.
3. Jarak dari sumber air (penguapan), semakin dekat potensi hujanya semakin tinggi.
4. Arah angin, angin yang melewati sumber penguapan akan membawa uap air, semakin
jauh daerah dari sumber air potensi terjadinya hujan semakin sedikit.
5. Hubungan dengan deretan pegunungan, banyak yang bertanya, kenapa di daerah
pegunungan sering terjadi hujan? hal itu disebabkan uap air yang dibawa angin menabrak
deretan pegunungan, sehingga uap tersebut dibawa keatas sampai ketinggian tertentu akan
mengalami kondensasi, ketika uap ini jenuh dia akan jatuh diatas pegunungan sedangkan dibalik
pegunungan yang menjadi arah dari angin tadi tidak hujan (daerah bayangan hujan), hujan ini
disebut hujan orografik contohnya di Indonesia adalah angin Brubu.
6. Faktor perbedaan suhu tanah (daratan) dan lautan, semakin tinggi perbedaan suhu
antara keduanya potensi penguapanya juga akan semakin tinggi.
7. Faktor luas daratan, semakin luas daratan potensi terjadinya hujan akan semakin kecil,
karena perjalanan uap air juga akan panjang.
CURAH HUJAN

I.2. Dasar Teori

Curah hujan (mm) merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar,
tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam
luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu millimeter atau
tertampung air sebanyak satu liter.

Presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan
adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah
satu komponen input dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam
siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan
terjadi dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang
terjadi didalamnya. Mahasiswa akan belajar tentang bagaimana proses terjadinya hujan, faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhinya, bagaimana karakteristik hujannya dan mempelajari cara
menghitung rata-rata hujan pada sutau kawasan dengan berbagai model penghitungan rata-rata
hujan.

Presipitasi cair dapat berupa hujan dan embun dan presipitasi beku dapat berupa salju dan
hujan es. Dalam uraian selanjutnya yang dimaksud dengan presipitasi adalah hanya yang berupa
hujan.

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, alat pengukur hujan ada 2 macam yaitu alat
pengukur hujan manual dan alat pengukur hujan otomatik.

II.2 Metode

1. Metode rata-rata aritmatik

Plot semua lokasi stasiun pengukuran dan tingi hujan yang ada di sekitar daerah aliran sungai yang
akan ditentukan curah hujan wilayahnya.

Tentukan berapa banyaknya stasiun pengukuran hujan yang terletak di dalam batas daerah aliran
sungai tersebut.

Jumlahkan tinggi hujan dari sejumlah stasiun pengukuran hujan yang telah ditentukan.

Curah hujan wilayah diperoleh dengan cara membagi jumlah tinggi hujan hasil tahap kerja c dengan
banyaknya stasiun pengukuran hujan hasil tahap kerja b.
2. Metode Poligon Thiessen

Plot semua lokasi stasiun pengukuran dan tinggi hujan yang ada di sekitar daerah aliran sungai
yang akan ditentukan curah hujan wilayahnya.

Sambungkan setiap stasiun pengukuran hujan dengan stasiun pengukuran terdekatnya terutama
untuk stasiun-stasiun pengukuran hujan yang berada dalam dan paling dekat dengan batas daerah
aliran sungai. Sambungkan antara stasiun akan membentuk deret segitiga yang tidak boleh saling
memotong satu sama lain.

Tentukan titik tengah dari setiap sisi segitiga kemudian buatlah sebuah garis tegak lurus terhadap
masing-masig sisi segiiga tersebut tepat di titik tengahnya.

Hubungkan setiap garis tegak lurus tersebut satu sama lain sehingga membentuk poligon-poligon
dimana setiap poligon hanya diwakili oleh satu stasiun pengukuran hujan yang berada di dalam atau
paling dekat dengan batas daerah aliran sungai.

Tentukan luas daerah masing-masing poligon dengan mengunakan planimeter atau kertas milimeter
blok. Jumlah dari luas daerah masing-masing poligon akan sama dengan total luas daerah aliran
sungai.

Tentukan presentase luas dari setiap poligon terhaap luas totaldaerah aliran sungai.

Kalikan presentase luas setiap poligon (hasil tahap kerja f) dengan tinggi hujan yang jatuh di dalam
poligon-poligon tersebut.

Curah hujan wilayah diperoleh dengan cara menjumlahkan perkalian persentase luas poligon
dengan tinggi hujan yang jatuh di dalam poligon tersebut (penjumlahan setiap perkalian pada tahap
kerja g).

3. Metode Isohyet

Plot semua lokasi stasiun pengukuran dan tinggi hujan yang ada di sekitar darah aliran sungai yang
akan ditentukan curah hujan wilayahnya.

Tentukan interval curah hujan yang akan digunakan.

Gambar isohyet (garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai curah hujan yang
sama) berdasarkan interval yang telah ditentukan, berturut-turut mulai dari interval yang paling besar
samapai inteval yang palinh kecil. Dalam beberapa hal isohyet merupakan hasil interpolasi linier
antara curah hujan pada pada dua stasiun pengukuran yang berdekatan.

Tentukan curah hujan rata-rata diantara setiap isohyet (isohyet rata-rata) dengan metode rata-rata
hitung.
Tentukan total luas daerah yang dicakp oleh setiap isohyet dengan menggunakan planimeter atau
kertas milimeter blok.

Tentukan luas neto dari masing-masing daerah

Kalikan masing-masing isohyet rata-rata

Akumulasikan hasil dari masing-masing perkalian antara isohyet rata-ratadengan luas netto
daerahnya berturut-turut dari interval isohyet tinggi ke isohyet terendah.

Tentukan hujan ekivalen yang jatuh di setiap luasan netto isohyet dengan cara membagi akumulasi
nilai pada masing-masing interval isohyet.dengan total luas daerah yang dicakup oleh masing-
masing interval isohyet.

Curah hujan wilyah diperoleh dari hujan ekivalen yang jatuh pada luasan netto yang paling kecil.

BAB III

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

III.1. Hasil Pengamatan

1. Metode rata-rata aritmatik

Stasiun Curah
pengukuran hujan

1 172

2 158

3 130

4 118

5 96
6 80

7 78

8 76

9 70

10 62

11 55

Total 1095

Rata-rata 99.54

1. Metode poligon Thiessen

Stasiun Luas % Luas


CH (mm) 2x4
pengukuran Poligon Poligon

1 2 3 4 5

1 160 491 0.05 8.57

2 155 194 0.02 3.28

3 136 198 0.02 2.94

4 118 1634 0.18 21.04

5 90 501 0.05 4.92


6 80 693 0.08 6.25

7 77 1685 0.18 14.16

8 79 902 0.10 7.78

9 62 1146 0.13 7.75

10 55 1395 0.15 8.37

11 52 323 0.04 1.83

Total 9165 5.00 91.69

1. Metode Isohyet

CH
Interval Isohyet Luas
Luas 2x4 5 ekuivalen
isohyet rata-rata neto
(6:3)

1 2 3 4 5 6 7

>150 162.5 129 129 20962.5 20962.5 162.5

125-150 137.5 519 390 53625 74587.5 143.71

100-125 112.5 1470 1018 121500 227225 133.39

75-100 87.5 2805 1725 150937.5 469337.5 123.71

50-75 62.5 5250 3525 220312.5 788837.5 108.06

III.2. Pembahasan
Presipitasi adalah peristiwa jatuhnya cairan (dapat berbentuk cair atau beku) dari
atmosphere ke permukaan bumi. Presipitasi cair dapat berupa hujan dan embun dan presipitasi
beku dapat berupa salju dan hujan es. Dalam uraian selanjutnya yang dimaksud dengan presipitasi
adalah hanya yang berupa hujan. Curah hujan wilayah disebut juga dengan curah hujan terpusat
dimana curah hujan yang didapat dari hasil pencatatan alat pengukur hujan atau data curah hujan
yang akan diolah berupa data kasar atau data mentah yang tidak dapat langsung dipakai. Dalam
suatu daerah terdapat stasiun pencatat curah hujan.

Curah hujan wilayah diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Cara
menghitung curah hujan wilayah dapat ditentukan dari pengamatan curah hujan di beberapa titik.
Hasil pengukuran data hujan dari masing-masing alat pengukuran hujan adalah merupakan data
hujan suatu titik (point rainfall). Padahal untuk kepentingan analisis yang diperlukan adalah data
hujan suatu wilayah (areal rainfall). Ada beberapa cara untuk mendapatkan data hujan wilayah yaitu
:

1. Cara Rata-rata Aljabar

Cara ini merupakan cara yang paling sederhana yaitu hanya dengan membagi rata
pengukuran pada semua stasiun hujan dengan jumlah stasiun dalam wilayah tersebut. Sesuai
dengan kesederhanaannya maka cara ini hanya disarankan digunakan untuk wilayah yang relatif
mendatar dan memiliki sifat hujan yang relatif homogen dan tidak terlalu kasar.

2.Cara Poligon Thiessen


Cara ini selain memperhatikan tebal hujan dan jumlah stasiun, juga memperkirakan luas
wilayah yang diwakili oleh masing-masing stasiun untuk digunakan sebagai salah satu faktor dalam
menghitung hujan rata-rata daerah yang bersangkutan. Poligon dibuat dengan cara
menghubungkan garis-garis berat diagonal terpendek dari para stasiun hujan yang ada.

3. Cara Isohiet

Isohiet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai tinggi hujan
yang sama. Metode ini menggunakan isohiet sebagai garis-garis yang membagi daerah aliran
sungai menjadi daerah-daerah yang diwakili oleh stasiun-stasiun yang bersangkutan, yang luasnya
dipakai sebagai faktor koreksi dalam perhitungan hujan rata-rata.

Stasiun pencatat curah hujan maka untuk mendapatkan curah hujan wilayah dapat dilakukan
dengan mengambil nilai rata-rata dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan.

Dari data yang diperoleh dihasilkan banyak poligon yang didapat dalam suatu aliran sungai.
Setiap poligon memiliki luas yang berbeda-beda. Dalam 3 cara yang dilakukan untuk menentukan
curah hujan wilayah memiliki nilai yang berbeda-beda. Curah hujan wilayah dalam menggunakan
cara aritmatik mendapat nilai sebesar 92.67 mm, nilai curah hujan wilayah dengan menggunakan
cara poligon thiessen sebesar 81.01, dan curah hujan wilayah dengan menggunakan cara isohyet
menghasilkan nilai sebesar 1.83.

Data hujan yang tidak konsisten biasanya disebabkan karena perubahab atau gangguan
lingkungan di sekitar tempat penakar hujan. Curah hujan tidak bersifat universal sehingga daerah
yang mengalami curah hujan maksimum pada saat aktivitas matahari maksimum mengalami
kekeringan dan curah hujannya cenderung maksimum. Data curah hujan dapat diperoleh pada
stasiun klimatologi.

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

1. Dari data yang dihasilkan terdapat poligon yang didapat dalam suatu aliran sungai. Setiap poligon
memiliki luas yang berbeda-beda. Dalam tiga cara yang telah dilakukan untuk menentukan curah
hujan wilayah memiliki nilai yang berbeda-beda. Dari hasil yang diperoleh ternyata dari tiga cara
yang digunakan dalam menentukan rata-rata curah hujan wilayah metode poligon thiessen adalah
yang paling akurat.

2. Catchment area (daerah tangkapan air) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografis yang dapat berupa punggung-punggung bukit atau gunung
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan

3. DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir.

IV.2 Saran
Dari hasil analisa diharapkan pengukuran data curah hujan harus di uji konsistensinya terlebih
dahulu dengan menggunakan tiga cara yaitu cara aritmatik, cara poligon thiessen, dan cara isohyet.
Selain itu juga pengukuran curah hujan harus menggunakan banyak stasiun sehingga curah hujan
yang diperoleh tidak menimbulkan dampak negatif terhadap manusia. Jika menginginkan data curah
hujan yang akurat sebaiknya di stasiun penakar hujan harus terbebas dari gangguan lingkungan,
seperti penakar hujan letaknya tidak boleh berdekatan dengan gedung tinggi dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.

Sudjarwadi. 1987. Teknik Sumber Daya Air. Yogyakarta : PAU Ilmu Teknik

UGM.

Sosrodarsono, S., dan Takeda. 1999. HidrologiUntuk Pengairan. Jakarta : P.T. Pradny Paramita.

Anda mungkin juga menyukai