I. PENDAHULUAN
fungsi produksi, penyimpan air, habitat keragaman hayati, fungsi lindung dan
ekonomi. Harmonisasi antara berbagai fungsi tersebut memerlukan tata kelola
yang memanfaatkan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk
mempertahankan keberadaan ekosistem lahan gambut sehingga mampu
memenuhi kebutuhan manusia secara lestari. Di Indonesia pemanfaatan lahan
gambut berdasarkan teknologi hasil penelitian dan kearifan lokal dalam penataan
air dan pengaturan tanaman, terbukti mampu mengendalikan atau menghindari
munculnya kerusakan gambut. Keharmonisan yang sudah ada antara manusia dan
lahan gambut seperti ini perlu terus dipertahankan dan dilestarikan.
Mengekploitasi lahan gambut untuk maksud memberikan kemakmuran pada
manusia tanpa mengindahkan aspek konservasi, akan berdampak terhadap
hilangnya fungsi lindung, keragaman hayati dan kemampunan gambut
menyimpan karbon (C) dalam jumlah yang tinggi. Hal ini selanjutnya dapat
menyebabkan hilangnya fungsi gambut menyimpan air sehingga areal sekitar
kubah gambut akan rentan terhadap kebanjiran dan kekeringan (Masganti, 2014).
Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, perlu adanya pengelolaan
ekosistem gambut tersebut. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah adanya penataan
ulang ekosistem gambut, program pencegahan kerusakan ekosistem gambut,
pemulihan, rehabilitasi dan restorasi ekosistem gambut. Perlu banyak peran aktif
dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat dalam rangka
pengelolaan lahan gambut agar tetap terjaga. Kerusakan fungsi ekosistem gambut
terjadi akibat dari pengelolaan lahan yang salah dengan pemilihan komoditas
bisnis yang tidak sesuai dengan karakteristik lahan gambut. Hal ini diperparah
dengan pengurasan air gambut yang berakibat kekeringan (kering tak balik) pada
gambutnya itu sendiri yang saat ini sebagai pemicu kebakaran. Fakta di lapangan
menunjukkan kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun dengan luasan yang
selalu bertambah merupakan kenyataan bahwa gambut tidak lagi dalam kondisi
alaminya atau sudah mengalami kerusakan (Marlina, 2017).
3
Hutan rawa gambut merupakan ekosistem unik yang berperan dalam fungsi
ekologis dan hidrologis. Hutan rawa gambut umumnya terletak pada daerah
dengan curah hujan cukup tinggi, drainase buruk sehingga selalu tergenang dan
substrat yang terasidifikasi. Gambut tropis terdiri dari bahan organik seperti
cabang batang dan pada akar pohon yang sebelumnya terdekomposisi atau
Sebagian terdekomposisi. Berdasarkan tipe pembentukannya pada umumnya tipe
gambut di Indonesia adalah permukaan atas gambut dikelilingi oleh daratan dan
tidak ada hara yang masuk ke dalam sistem dari tanah mineral sehingga vegetasi
yang tumbuh di atasnya menggunakan hara hanya dari biomassa hidup dari
gambut atau dari air hujan (Kalima, 2019).
Kerusakan lahan gambut terbesar terjadi melalui drainase dalam dan
pembakaran tak terkendali. Saluran drainase lebar dan dalam pada lahan pertanian
sebagai penyebab kehilangan air tanah dan menghasilkan muka air tanah semakin
dalam pada tanah gambut. Lahan gambut yang rusak dan kering juga sangat
rentan terhadap bencana kebakaran, banjir, dan pencemaran tanah. Pengelolaan
tersebut salah satunya adalah melalui konservasi ini sifatnya eksploitatif yang
mempunyai tujuan untuk mempertahankan dan memperbaiki ekosistem.
Pengelolaan tata air di lahan gambut merupakan faktor kunci terwujudnya sistem
pengelolaan lahan gambut berkelanjutan (Dariah, 2014).
Perubahan penggunaan lahan khususnya dari hutan gambut menjadi lahan
pertanian perlu disertai dengan tindakan drainase, karena dalam kondisi alaminya
gambut dalam keadaan tergenang, sementara sebagian besar tanaman budidaya
tidak tahan genangan. Oleh karena itu, tujuan utama dilakukannya drainase adalah
untuk menurunkan muka air tanah, sehingga tercipta kondisi aerob, minimal
sampai kedalaman perakaran tanaman yang dibudidayakan, sehingga kebutuhan
tanaman akan oksigen bisa terpenuhi. Karena itu meskipun jenis tanaman yang
dikembangkan pada lahan gambut merupakan tanaman yang bisa tumbuh dalam
kondisi tergenang misalnya padi, namun tindakan drainase masih perlu dilakukan
agar konsentrasi asam organik berada pada tingkat yang tidak meracuni tanaman.
Tindakan drainase juga bisa berdampak terhadap terjadinya perbaikan sifat fisik
5
tanah. Dalam keadaan tergenang tanah gambut menjadi lembek sehingga daya
menahan bebannya menjadi rendah. Setelah di drainse kondisi gambut menjadi
lebih padat, selain akibat pengurangan kadar air, peningkatan daya menahan
beban juga terjadi karena proses pemadatan. Meskipun memberikan beberapa
manfaat namun tindakan drainase harus dilakukan secara hati hati dan terkendali,
karena jika proses drainase tidak disertai dengan pengaturan dan pengelolaan tata
air yang tepat, maka beberapa fungsi lingkungan dari lahan gambut (diantaranya
sebagai penyimpan karbon dan pengatur tata air daerah sekitarnya) akan
mengalami penurunan (Dariah, 2014).
Proses infiltrasi merupakan bagian yang penting dalam siklus hidrologi
maupun dalam proses pengalih ragaman hujan menjadi aliran di sungai. Dengan
adanya proses infiltrasi maka kebutuhan vegetasi terhadap air termasuk transpirasi
menyediakan air untuk evaporasi, mengisi kembali reservoir tanah dan
menyediakan aliran sungai pada saat musim kemarau akan dapat terpenuhi, selain
itu manfaat dari infiltrasi adalah dapat mengurangi terjadinya erosi tanah dan
mengurangi terjadinya banjir. Laju infiltrasi sangat berhubungan dengan
karakteristik fisik tanah meliputi bahan organik, total ruang pori dan kadar air.
Karakteristik fisik tanah tersebut dapat berkorelasi positif maupun negatif
terhadap laju infiltrasi. Infiltrasi sangat bergantung pada hujan, sifat fisik dan
hidrolik kolom tanah, kondisi permukaan tanah dan pemanfaatan lahannya.
Diketahui secara umum bahwa pemanfaatan lahan dengan berbagai variasinya,
sangat berpengaruh terhadap infiltrasi. Besar kecilnya efek pemanfaatan lahan
terhadap infiltrasi sangat ditentukan oleh pemanfaatan lahan itu sendiri. Suatu
macam pemanfaatan lahan berperan memperbesar infiltrasi, tetapi beberapa
pemanfaatan lahan lain mungkin menghambatnya (Indrawati, 2014).
6
2.1. Infiltrasi
Infiltrasi adalah masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah
secara vertikal. Sedangkan banyaknya air persatuan waktu yang masuk melalui
permukaan tanah dikenal sebagai laju infiltrasi. Nilai laju infiltrasi sangat
bergantung pada kapasitas infiltrasi tanah. Kapasitas infiltrasi tanah adalah
kemampuan suatu tanah untuk melalukan air dari permukaan ke dalam tanah
secara vertikal. Infiltrasi ke dalam tanah pada mulanya tidak jenuh, karena
pengaruh tarikan hisapan matrik dan gravitasi. Infiltrasi yang efektif akan
menurunkan run off, sebaliknya infiltrasi yang tidak efektif akan memperbesar
memperbesar run off. Pada saat tanah masih kering, laju infiltrasi tinggi. Setelah
tanah menjadi jenuh air, maka laju infiltrasi akan menurun dan menjadi konstan.
Faktor faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi antara lain jenis permukaan tanah,
cara pengolahan lahan, kepadatan tanah dan sifat serta jenis tanaman.
Kemampuan tanah untuk menyerap air infiltrasi pada suatu saat dinamakan
kapasitas infiltrasi tanah (Syukur, 2009).
Laju infiltrasi adalah volume air yang mengalir kedalam profil persatuan
luas dikenal dengan laju infiltrasi. Pengaliran yang memiliki satuan kecepatan
juga dikenal dengan kecepatan infiltrasi. Pada kondisi laju hujan melebihi
kemampuan tanah untuk menyerap air dan infiltrasi akan berlarut dengan laju
maksimal. Kemampuan tanah menyerap air akan semakin berkurang dengan
makin bertambahnya waktu. Pada tingkat awal kecepatan penyerapan air cukup
tinggi dan pada tingkat waktu tertentu kecepatan penyerapan air ini akan menjadi
konstan (Budianto, 2014).
8
Berikut adalah klasifikasi laju infiltrasi dari sangat lambat sampai sangat
cepat menurut U.S Soil Conservation seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Laju Infiltrasi
No Klasifikasi Laju Infiltrasi mm jam-1
1 Sangat Lambat <1
2 Lambat 1-5
3 Agak Lambat 5 – 20
4 Sedang 20 – 63
5 Agak Cepat 63 – 127
6 Cepat 127 – 254
7 Sangat Cepat > 254
pori memiliki diameter yang cukup besar > 0,06 mm yang memungkinkan air
keluar dengan cepat. Begitu pula dengan udara yang keluar dari tanah sehingga
tanah mempunyai aerasi yang baik (Irawan, 2016).
2.2.3 Kemantapan Pori
Kapasitas infiltrasi dapat terjaga apabila porositas semula tidak terganggu
pada saat terjadi hujan. Tanah-tanah yang mudah terdispersi akan membuat pori
pori tanah tertutup yang mengakibatkan kapasitas infltrasi menurun dengan cepat
sedangkan tanah yang memilki agregat yang stabil membuat kapasitas infiltrasi
tetap tinggi (Rohmat, 2009).
Gambar 3 adalah kawasan hutan rawa gambut yang akan menjadi lokasi
penelitian sehingga pada saat pengambilan data laju infiltrasi harus dibersihkan
dahulu tempat yang akan digunakan untuk pengukuran dan pastikan bahwa
permukaan tanah rata agar pada saat melakukan pengukuran laju infitrasi
didapatkan hasil yang akurat dan kedua alat infiltrometer diletakan secara
bersamaan.
14
dengan air yang berada pada alat mini disk infiltrometer habis atau kondisi
jenuh air.
7). Melakukan pengambilan data dari video yang berupa scerenshoot dengan
menyesuaikan berapa waktu yang ditentukan berdasarkan data yang didapat,
sehingga data yang didapat di lapangan menjadi hasil yang akurat.
3.5.3. Data Hasil Pengamatan Yang Akan di Sajikan Dalam Bentuk Tabel dan
Grafik.
Dalam pengambilan data di video akan diambil setiap 30 detik dengan
hisapan (suction) 0,5 cm dan section 2 cm. Selanjutnya laju infiltrasi dihitung
dengan program yang sudah disediakan sebagai paket program untuk penggunaan
mini disk infiltrometer.
3) Bobot isi tanah sebagai data pendukung perbandingan laju infiltrasi pada
tutupan lahan yang berbeda.
Hasil data pengukuran laju penurunan volume air dan waktu di tiga titik
pada kawasan bekas terbakar disajikan sebanyak 3 tabel dengan menggunakan
hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas Terbakar di Titik Satu
Kawasan Bekas Terbakar Titik Satu Kawasan Bekas Terbakar Titik Satu
Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm
5.00
4.50
4.00 f(x) = 0.00856695720535964 x² + 0.0132960946646714 x
3.50 R² = 0.999849053752796
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu
Gambar 6. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 0,5 cm di Titik Satu.
21
Gambar 7. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Satu.
Tabel 4. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas Terbakar di Titik Dua
Kawasan Bekas Terbakar Titik Dua Kawasan Bekas Terbakar Titik Dua
Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm
Tabel 4 merupakan data hasil volume air dan waktu di kawasan bekas
terbakar di titik dua, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama
510 detik dengan sisa air sebanyak 8,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat
pada detik akhir 4,53 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 510 detik dengan sisa air sebanyak 24,0 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 3,52 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 8 dan Gambar 9.
Infiltrasi Kumulatif (cm)
4.50
4.00 f(x) = 0.00745768972699376 x² + 0.0306885370295116 x
3.50 R² = 0.999886565536734
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu
Gambar 8. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 0,5 cm di Titik Dua.
23
Gambar 9. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 2 di Titik Dua.
Tabel 5. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas Terbakar di Titik Tiga
Kawasan Bekas Terbakar Titik Tiga Kawasan Bekas Terbakar Titik Tiga
Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm
Tabel 5 merupakan data hasil volume air dan waktu di kawasan bekas
terbakar di titik tiga, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama
510 detik dengan sisa air sebanyak 21,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat
pada detik akhir 3,71 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 510 detik dengan sisa air sebanyak 28,0 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 3,27 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 10 dan Gambar 11.
Infiltrasi Kumulatif (cm)
4.00
3.50
f(x) = 0.00654085998783541 x² + 0.0181052351178564 x
3.00 R² = 0.999825697807044
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu
Gambar 10. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 0,5 cm di Titik Tiga.
25
Gambar 11. Grafik Data Penurunan Polume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Tiga.
4.2.2. Data Volume Air Dan Waktu Di Kawasan Hutan Rawa Gambut
Hasil data pengukuran laju penurunan volume air dan waktu di tiga titik
pada kawasan hutan rawa gambut disajikan sebanyak 3 tabel dengan
menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan Rawa Gambut di Titik
Satu
Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Satu
Satu Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm
Tabel 6 merupakan data volume air dan waktu di kawasan hutan rawa
gambut di titik satu, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama
750 detik dengan sisa air sebanyak 23,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat
pada detik akhir 3,65 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 750 detik dengan sisa air sebanyak 29,0 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 3,27 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurnunan volume airnya. Berikut adalah grafik
yang dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010
dari Decagon Devices seperti Gambar 12 dan Gambar 13.
27
Gambar 12. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 0,5 cm di Titik Satu.
Infiltrasi Kumulatif (cm)
2.50
2.00
f(x) = 0.00445911125810673 x² − 0.00812389039184125 x
1.50 R² = 0.998483978124525
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu
Gambar 13. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Satu.
Tabel 7. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan Rawa Gambut di Titik
Dua
Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Dua
Dua Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm
Waktu Volume Infiltrasi Waktu Volume Infiltrasi
(detik) (ml) Kumulatif (detik) (ml) Kumulatif
(cm) (cm)
0 80,0 0 0 80,0 0
30 76,0 0,25 30 79,0 0,06
60 71,0 0,57 60 78,0 0,13
90 68,0 0,75 90 77,0 0,19
120 65,0 0,94 120 76,5 0,25
28
Tabel 7 merupakan data volume air dan waktu di kawasan hutan rawa gambut
di titik dua, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm. Pada
hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama 690 detik
dengan sisa air sebanyak 16,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik
akhir 4,09 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan penurunan
volume air selama 690 detik dengan sisa air sebanyak 67,0 ml dan infiltrasi
kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 0,82 cm sehingga hisapan (suction)
0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 14 dan Gambar 15.
29
Gambar 14. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 0,5 cm di titik dua.
Infiltrasi Kumulatif (cm)
1.00
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu
Gambar 15. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Dua.
Tabel 8. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan Rawa Gambut di Titik
30
Tiga
Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Tiga
Tiga Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm
Tabel 8 merupakan data hasil volume air dan waktu di kawasan hutan rawa
gambut di titik tiga, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm.
Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama 720
detik dengan sisa air sebanyak 25,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat pada
detik akhir 3,71 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 720 detik dengan sisa air sebanyak 51,0 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 1,82 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 16 dan Gambar 17.
31
Gambar 16. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 0,5 cm di titik tiga
Infiltrasi Kumulatif (cm)
1.50
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu
Gambar 17. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Tiga
Dari hasil data pengukuran laju infiltrasi di kawasan bekas terbakar dan
kawasan hutan rawa gambut didapat rata-rata nilai laju infiltrasi tiap perbedaan
penggunaan kawasan dan perbedaan penggunaan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Sehingga memperoleh hasil pengukuran laju infiltrasi dari tiap perbedaan
tutupan lahan seperti pada Tabel 9.
Tabel 9 merupakan hasil rata-rata laju infiltrasi dan ada terdapat perbedaan
pada 2 tutupan lahan tersebut yang menunjukan pada kawasan bekas terbakar
memiliki rata-rata laju infiltrasi pada hisapan (suction) 0,5 cm mendapat 76,80
mm jam-1 yang memasuki kategori laju infiltrasi agak cepat dan pada hisapan
(suction) 2 cm mendapat 52,80 mm jam-1 yang memasuki kategori laju infiltrasi
agak cepat sedangkan pada kawasan hutan rawa gambut memiliki laju infiltrasi
yang lebih kecil dari kawasan bekas terbakar yaitu pada hisapan (suction) 0,5 cm
mendapat 42,00 mm jam-1 yang memasuki kategori laju infiltrasi sedang dan pada
hisapan (suction) 2 cm mendapat 31,8 mm jam-1 yang memasuki kategori laju
infiltrasi agak lambat sehingga menunjukan laju infiltrasi pada kawasan bekas
terbakar lebih cepat dibandingkan hutan rawa gambut karena semakin kecil nilai
laju infiltrasi maka laju infiltrasi semakin lambat (Dipa, 2021).
33
Tabel 10. Bobot Isi Tanah di Tutupan Lahan Yang Berbeda (Bulk Density)
Bulk Density (g cm-3)
Titik lokasi Kawasan Bekas Kawasan Hutan Rawa
Terbakar Gambut
0 – 10 cm
1 0,06 0,24
2 0,03 0,25
3 0,08 0,24
Rata - Rata 0,06 0,24
Pada Tabel 10 terdapat perbedaan bobot isi tanah yaitu pada kawasan bekas
terbakar memiliki rata-rata bobot isi tanah 0,06 g cm-3 sedangkan di kawasan
hutan rawa gambut memiliki rata-rata bobot isi tanah 0,24 g cm-3 yang
menunjukan laju infiltrasi pada kawasan bekas terbakar lebih cepat dibandingkan
kawasan hutan rawa gambut dikarenakan bahwa hubungan bulk density dengan
laju infiltrasi berbanding terbalik yaitu semakin kecil nilai bulk density maka
semakin besar laju infiltrasi, hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan dalam
Hardjowigeno (2007) menyatakan bulk density yang tinggi merupakan petunjuk
kepadatan tanah yang sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman.
34
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran laju infiltrasi pada perbedaan tutupan lahan,
yaitu di kawasan hutan rawa gambut dan kawasan bekas terbakar dengan
menggunakan hisapan (suction) yang berbeda 0,5 cm dan 2 cm. Di kawasan bekas
terbakar cendrung sedikit lebih cepat laju infiltrasi yang terjadi. Karena tutupan di
kawasan hutan rawa gambut terdapat berbagai macam vegetasi yang tumbuh di
sekitarnya serta terdapat banyak perakaran pohon yang di mana dapat menyimpan
cadangan air sehingga dapat mengakibatkan tingkat laju infiltrasinya lambat
dibandingkan kawasan bekas terbakar. Selain itu di kawasan hutan rawa gambut
mengandung bahan organik dan banyak seresah sehingga terjadinya aktivitas
mikroorganisme di dalam tanah yang membuat tanah memiliki tingkat agregat
yang cukup padat.
5.2. Saran
Dari penelitian pengukuran laju infiltrasi yang telah dilakukan maka
disarankan agar memperbanyak titik pengamatan pada kedua tutupan lahan,
sehingga dapat lebih menunjang data laju infiltrasi pada lahan gambut
menggunakan mini disk infiltrometer.
.
36
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, W., Suryadi, E., & Perwitasari, S.D.N. 2021. Analisis Laju Infiltrasi
Dengan Metode Horton Pada Sub DAS Cikeruh. Jurnal Keteknikan Pertanian
Tropis dan Biosistem 9 (1), 8-19.
Amran, Y., & Permadi, I. 2021. Analisis Perubahan Tanah Gambut Pada
Stabilisasi Tanah Secara Kimiawi Menggunakan Difasoil Stabilizer Dan
Semen. Jurnal Program Studi Teknik Sipil 10 (2), 155-165.
Dariah, A., & Nurzaikah, S. 2014. Pengelolaan Tata Air Lahan Gambut. Dalam
Buku Pegangan. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Terdegrasi
Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian.
Dharmawan, I.W.S., Saharjo, B.H., Supriyanto, & Arifin, A.S. 2013. Persamaan
Alometrik dan Cadangan Karbon Vegetasi Pada Hutan Gambut Primer dan
Bekas Terbakar. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 10 (2), 175-
191.
Dipa, H., Manyuk, F., & Yohanna, L,S. 2021. Analisis Tingkat Laju Infiltrasi
Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) SAIL. Vol 2 : 1 p. 18-25.
Indarwati, D., Suhardjono, S., & Harisuseno, D. 2014. Studi Analisis Spasial
Infiltrasi di DAS Kali Bodo Kabupaten Malang. Jurnal Teknik Pengairan 5
(1), 61-67.
Irawan, T., & Yuwono, S.B. 2016. Infiltrasi Pada Berbagai Tegakan Hutan di
Arboretum Universitas Lampung. Sylva Lestari 4 (3) 21-34.
Jahring, J., & Nasrudin, N. 2019. Perbandingan Suction Potential dan Water
Content Pada Saluran Irigasi Menggunakan Dual Reciprocity, Vol 5 : 2, p
95-13.
Kalima, T., & Denny, T. 2019. Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Rawa
Gambut Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konversi Alam 16 (1), 51-72.
Klipa, V., Sheota, M., & Dohnal, M. 2015. New Automatic Mini Disk
Infiltrometer Design and Testing. 63 (2), 110-116.
37
Mariaty, & Santosa, P.D. 2019. Studi Tingkat Keanekaragaman Hayati Lahan
Bekas Terbakar di Taman Nasional Sebangau dan Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa. Daun: Jurnal Ilmiah Pertanian dan
Kehutanan, vol 6:2, p 129-139.
Maro’ah, S. 2011. Kajian Laju Infiltrasi dan Permeablitas Tanah Pada Beberapa
Model Tanaman (Studi Kasus Sub DAS Keduang, Wonogiri). UNS
(SEBELAS MARET UNIVERSITY).
Masganti, Marpoyan, P., Wahyunto, & Dariah, A. 2014. Karakteristik dan Potensi
Pemanfaatan Lahan Gambut Tergradasi di Provinsi Riau. Pusat
Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Indonesia.
Sistanto, B.A. 2010. Pengaruh Dari Material Hidropobik Pada Pergerakan Air
Dalam Tanah Selama Infiltrasi. Teknotan : Jurnal Industri Teknologi
Pertanian 4 (1).
Verry, E.S., Boetler D.H., Paivanen, J., Nichols, D.S., Malterer, T., & Gafni, A.
2011. Physical Properties of Organic Soils. Taylor and Francis Group, LLC.
Pp 135-176.
38
LAMPIRAN
Lampiran 3. Pengambilan data Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan Rawa
Gambut di 3 Titik Berbeda
a. Titik 1 b. Titik 2
c. Titik 3
41
a. Titik 1 b. Titik 2
c. Titik 3
42