Anda di halaman 1dari 42

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati,
baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah
yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang umumnya merupakan proses pedogenik, tanah
gambut menunjukkan lapisan-lapisan, hal ini berkaitan dengan faktor alam yang
ada di sekelilingnya. Lapisan tersebut berupa perbedaan tingkat dekomposisi,
jenis tanaman yang diendapkan atau lapisan tanah mineral secara berselang-
seling. Lapisan-lapisan mineral tersebut menunjukkan gejala alam banjir dan
sedimentasi dari waktu ke waktu pada lahan rawa. Kebakaran hutan yang
kemudian diikuti oleh suksesi hutan menyebabkan bahan yang diendapkan
menjadi berbeda beda yang akhirnya menyebabkan terjadinya lapisan lapisan
bahan gambut dalam profil tanah. Berdasarkan proses dan lokasi
pembentukannya, tanah gambut dibagi menjadi: a). tanah gambut pantai yang
terbentuk dekat pantai dan mendapat pengkayaan mineral dari air laut; b). tanah
gambut pedalaman yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang
surut air laut tetapi dipengaruhi oleh air hujan, dan tanah gambut transisi yang
terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang secara tidak langsung
dipengaruhi oleh air pasang laut (Arman, 2021).
Lahan gambut dunia mencakup total luas 420 juta ha dan yang termasuk
gambut tropika mencapai 30-45 juta ha. Di Indonesia sebaran gambut tropika
terluas terdapat di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua) mencapai
luas sekitar 14,9 juta ha, tidak termasuk lahan gambut di pulau lainnya. Sekitar
30% gambut tersebut berpotensi untuk pengembangan pertanian. Secara regional
Indonesia mempunyai lahan gambut terluas di kawasan ASEAN dan secara global
Indonesia mempunyai lahan gambut tropika paling luas. Gambut mempunyai
2

fungsi produksi, penyimpan air, habitat keragaman hayati, fungsi lindung dan
ekonomi. Harmonisasi antara berbagai fungsi tersebut memerlukan tata kelola
yang memanfaatkan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk
mempertahankan keberadaan ekosistem lahan gambut sehingga mampu
memenuhi kebutuhan manusia secara lestari. Di Indonesia pemanfaatan lahan
gambut berdasarkan teknologi hasil penelitian dan kearifan lokal dalam penataan
air dan pengaturan tanaman, terbukti mampu mengendalikan atau menghindari
munculnya kerusakan gambut. Keharmonisan yang sudah ada antara manusia dan
lahan gambut seperti ini perlu terus dipertahankan dan dilestarikan.
Mengekploitasi lahan gambut untuk maksud memberikan kemakmuran pada
manusia tanpa mengindahkan aspek konservasi, akan berdampak terhadap
hilangnya fungsi lindung, keragaman hayati dan kemampunan gambut
menyimpan karbon (C) dalam jumlah yang tinggi. Hal ini selanjutnya dapat
menyebabkan hilangnya fungsi gambut menyimpan air sehingga areal sekitar
kubah gambut akan rentan terhadap kebanjiran dan kekeringan (Masganti, 2014).
Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, perlu adanya pengelolaan
ekosistem gambut tersebut. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah adanya penataan
ulang ekosistem gambut, program pencegahan kerusakan ekosistem gambut,
pemulihan, rehabilitasi dan restorasi ekosistem gambut. Perlu banyak peran aktif
dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat dalam rangka
pengelolaan lahan gambut agar tetap terjaga. Kerusakan fungsi ekosistem gambut
terjadi akibat dari pengelolaan lahan yang salah dengan pemilihan komoditas
bisnis yang tidak sesuai dengan karakteristik lahan gambut. Hal ini diperparah
dengan pengurasan air gambut yang berakibat kekeringan (kering tak balik) pada
gambutnya itu sendiri yang saat ini sebagai pemicu kebakaran. Fakta di lapangan
menunjukkan kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun dengan luasan yang
selalu bertambah merupakan kenyataan bahwa gambut tidak lagi dalam kondisi
alaminya atau sudah mengalami kerusakan (Marlina, 2017).
3

Pentingnya gambut sebagai penyimpan cadangan karbon atau karbon


tersimpan mempunyai arti sangat penting sehubungan dengan isu pemanasan
global. Efek gas rumah kaca yang berlebihan, yang menjadi penyebab terjadinya
pemanasan global utamanya terjadi karena lepasnya cadangan karbon, baik yang
tersimpan dalam biomassa tanaman, fosil, tanah dan lainnya. Cadangan karbon
pada lahan gambut tersimpan di atas dan di bawah permukaan tanah. Cadangan
karbon yang tersimpan di atas permukaan tanah, di tentukan oleh jenis tanaman
atau vegetasi yang tumbuh di lahan gambut, kerapatan vegetasi, umur tanaman,
iklim dan tingkat kesuburan tanah. Hutan merupakan vegetasi dengan rata rata
cadangan karbon relatif tinggi. Nilai time average cadangan karbon (nilai tengah
selama siklus hidup tanaman) vegetasi hutan adalah 90-200 ton ha-1 dengan nilai
tengah 162 ton ha-1. Cadangan karbon yang tersimpan dalam tanah selain,
ditentukan oleh luasan lahannya, juga ditentukan ketebalan tanah gambut dan
kerapatan karbon dalam tanah gambut atau yang didapat dari hasil perkalian berat
jenis dengan kadar C dalam tanah gambut (Dharmawan, 2013).
Gambut sebagai penyimpan air dalam kondisi alaminya, lahan gambut juga
berfungsi sebagai penyimpan air. Air yang terkandung dalam tanah gambut bisa
mencapai 300-900% bobot keringnya, bandingkan dengan tanah mineral yang
hanya 20-35% bobot keringnya. Selain karena kemampuan yang relatif tinggi
dalam menyerap air, kapasitas lahan gambut sebagai penyimpan air menjadi lebih
besar karena sebagian besar gambut terbentuk dalam suatu cekungan atau rawa
(swamp forest) yaitu lahan yang sepanjang tahun atau dalam periode waktu yang
panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged). Sesuai dengan
karakteristiknya yang jenuh air dan keberadaannya yang umumnya terdapat di
daerah cekungan atau bagian-bagian yang rendah, serta lapisan tanah mineral di
bawahnya (lapisan substratum) yang umumnya juga bersifat kedap air, maka air
yang tersimpan pada lahan gambut menjadi tinggi (Verry, 2011).
4

Hutan rawa gambut merupakan ekosistem unik yang berperan dalam fungsi
ekologis dan hidrologis. Hutan rawa gambut umumnya terletak pada daerah
dengan curah hujan cukup tinggi, drainase buruk sehingga selalu tergenang dan
substrat yang terasidifikasi. Gambut tropis terdiri dari bahan organik seperti
cabang batang dan pada akar pohon yang sebelumnya terdekomposisi atau
Sebagian terdekomposisi. Berdasarkan tipe pembentukannya pada umumnya tipe
gambut di Indonesia adalah permukaan atas gambut dikelilingi oleh daratan dan
tidak ada hara yang masuk ke dalam sistem dari tanah mineral sehingga vegetasi
yang tumbuh di atasnya menggunakan hara hanya dari biomassa hidup dari
gambut atau dari air hujan (Kalima, 2019).
Kerusakan lahan gambut terbesar terjadi melalui drainase dalam dan
pembakaran tak terkendali. Saluran drainase lebar dan dalam pada lahan pertanian
sebagai penyebab kehilangan air tanah dan menghasilkan muka air tanah semakin
dalam pada tanah gambut. Lahan gambut yang rusak dan kering juga sangat
rentan terhadap bencana kebakaran, banjir, dan pencemaran tanah. Pengelolaan
tersebut salah satunya adalah melalui konservasi ini sifatnya eksploitatif yang
mempunyai tujuan untuk mempertahankan dan memperbaiki ekosistem.
Pengelolaan tata air di lahan gambut merupakan faktor kunci terwujudnya sistem
pengelolaan lahan gambut berkelanjutan (Dariah, 2014).
Perubahan penggunaan lahan khususnya dari hutan gambut menjadi lahan
pertanian perlu disertai dengan tindakan drainase, karena dalam kondisi alaminya
gambut dalam keadaan tergenang, sementara sebagian besar tanaman budidaya
tidak tahan genangan. Oleh karena itu, tujuan utama dilakukannya drainase adalah
untuk menurunkan muka air tanah, sehingga tercipta kondisi aerob, minimal
sampai kedalaman perakaran tanaman yang dibudidayakan, sehingga kebutuhan
tanaman akan oksigen bisa terpenuhi. Karena itu meskipun jenis tanaman yang
dikembangkan pada lahan gambut merupakan tanaman yang bisa tumbuh dalam
kondisi tergenang misalnya padi, namun tindakan drainase masih perlu dilakukan
agar konsentrasi asam organik berada pada tingkat yang tidak meracuni tanaman.
Tindakan drainase juga bisa berdampak terhadap terjadinya perbaikan sifat fisik
5

tanah. Dalam keadaan tergenang tanah gambut menjadi lembek sehingga daya
menahan bebannya menjadi rendah. Setelah di drainse kondisi gambut menjadi
lebih padat, selain akibat pengurangan kadar air, peningkatan daya menahan
beban juga terjadi karena proses pemadatan. Meskipun memberikan beberapa
manfaat namun tindakan drainase harus dilakukan secara hati hati dan terkendali,
karena jika proses drainase tidak disertai dengan pengaturan dan pengelolaan tata
air yang tepat, maka beberapa fungsi lingkungan dari lahan gambut (diantaranya
sebagai penyimpan karbon dan pengatur tata air daerah sekitarnya) akan
mengalami penurunan (Dariah, 2014).
Proses infiltrasi merupakan bagian yang penting dalam siklus hidrologi
maupun dalam proses pengalih ragaman hujan menjadi aliran di sungai. Dengan
adanya proses infiltrasi maka kebutuhan vegetasi terhadap air termasuk transpirasi
menyediakan air untuk evaporasi, mengisi kembali reservoir tanah dan
menyediakan aliran sungai pada saat musim kemarau akan dapat terpenuhi, selain
itu manfaat dari infiltrasi adalah dapat mengurangi terjadinya erosi tanah dan
mengurangi terjadinya banjir. Laju infiltrasi sangat berhubungan dengan
karakteristik fisik tanah meliputi bahan organik, total ruang pori dan kadar air.
Karakteristik fisik tanah tersebut dapat berkorelasi positif maupun negatif
terhadap laju infiltrasi. Infiltrasi sangat bergantung pada hujan, sifat fisik dan
hidrolik kolom tanah, kondisi permukaan tanah dan pemanfaatan lahannya.
Diketahui secara umum bahwa pemanfaatan lahan dengan berbagai variasinya,
sangat berpengaruh terhadap infiltrasi. Besar kecilnya efek pemanfaatan lahan
terhadap infiltrasi sangat ditentukan oleh pemanfaatan lahan itu sendiri. Suatu
macam pemanfaatan lahan berperan memperbesar infiltrasi, tetapi beberapa
pemanfaatan lahan lain mungkin menghambatnya (Indrawati, 2014).
6

I.2. Rumusan Masalah


Apakah terdapat perbedaan laju infiltrasi di lahan gambut bekas terbakar dan
hutan rawa gambut di wilayah Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.

I.3. Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui perbedaan laju infiltrasi di beberapa kondisi lahan
gambut yaitu bekas terbakar dan hutan rawa gambut di wilayah Desa Tumbang
Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi mengenai infiltrasi tanah
pada kawasan tutupan lahan gambut yang berbeda di wilayah Desa Tumbang
Nusa, Kabupaten Pulang Pisau dan mengetahui perbedaan kapasitas laju infiltrasi
serta dapat digunakan sebagai salah satu sumber data dan informasi mengenai
karakteristik tanah gambut dan kualitas sumber daya lahan di wilayah Desa
Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.
7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infiltrasi
Infiltrasi adalah masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah
secara vertikal. Sedangkan banyaknya air persatuan waktu yang masuk melalui
permukaan tanah dikenal sebagai laju infiltrasi. Nilai laju infiltrasi sangat
bergantung pada kapasitas infiltrasi tanah. Kapasitas infiltrasi tanah adalah
kemampuan suatu tanah untuk melalukan air dari permukaan ke dalam tanah
secara vertikal. Infiltrasi ke dalam tanah pada mulanya tidak jenuh, karena
pengaruh tarikan hisapan matrik dan gravitasi. Infiltrasi yang efektif akan
menurunkan run off, sebaliknya infiltrasi yang tidak efektif akan memperbesar
memperbesar run off. Pada saat tanah masih kering, laju infiltrasi tinggi. Setelah
tanah menjadi jenuh air, maka laju infiltrasi akan menurun dan menjadi konstan.
Faktor faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi antara lain jenis permukaan tanah,
cara pengolahan lahan, kepadatan tanah dan sifat serta jenis tanaman.
Kemampuan tanah untuk menyerap air infiltrasi pada suatu saat dinamakan
kapasitas infiltrasi tanah (Syukur, 2009).
Laju infiltrasi adalah volume air yang mengalir kedalam profil persatuan
luas dikenal dengan laju infiltrasi. Pengaliran yang memiliki satuan kecepatan
juga dikenal dengan kecepatan infiltrasi. Pada kondisi laju hujan melebihi
kemampuan tanah untuk menyerap air dan infiltrasi akan berlarut dengan laju
maksimal. Kemampuan tanah menyerap air akan semakin berkurang dengan
makin bertambahnya waktu. Pada tingkat awal kecepatan penyerapan air cukup
tinggi dan pada tingkat waktu tertentu kecepatan penyerapan air ini akan menjadi
konstan (Budianto, 2014).
8

Berikut adalah klasifikasi laju infiltrasi dari sangat lambat sampai sangat
cepat menurut U.S Soil Conservation seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Laju Infiltrasi
No Klasifikasi Laju Infiltrasi mm jam-1
1 Sangat Lambat <1
2 Lambat 1-5
3 Agak Lambat 5 – 20
4 Sedang 20 – 63
5 Agak Cepat 63 – 127
6 Cepat 127 – 254
7 Sangat Cepat > 254

2.2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi di Lahan Gambut


2.2.1 Kandungan Air Tanah
Air tanah adalah suatu fase cair tanah yang menempati ruang-ruang pori
tanah dalam seluruh total ruang pori tanah atau sebagian ruang pori. Tanah basah
merupakan tanah dengan kandungan air di atas kapasitas lapang dalam hal ini pori
makro tanah terisi udara sementara pori mikro terisi air secara menyeluruh atau
sebagian. Laju infiltrasi terbesar terjadi pada tanah yang terdapat sedikit
kandungan air di dalamnya dan sebaliknya tanah yang memiliki kandungan air
tinggi maka akan membuat laju infiltrasi semakin menurun hingga mencapai
konstan. Pada saat air jatuh ke tanah yang kering, bagian permukaan dari tanah
tersebut menjadi basah, sedang bagian bawahnya relatif masih kering. Seiring
bertambahnya waktu dan bertambah banyak nya air hujan yang berada di
permukaan tanah berangsur-angsur turun ke bagian bawah tanah sehingga tanah
menjadi basah dan lembab. Semakin lembab kondisi suatu tanah, maka laju
infiltrasi semakin berkurang karena tanah tersebut semakin dekat dengan keadaan
jenuh (Sistanto, 2010).

2.2.2 Ukuran Pori


Laju masuknya air hujan ke dalam tanah ditentukan oleh ukuran pori dan
susunan pori-pori makro. Pori yang demikian ini dinamai porositas aerasi, karena
9

pori memiliki diameter yang cukup besar > 0,06 mm yang memungkinkan air
keluar dengan cepat. Begitu pula dengan udara yang keluar dari tanah sehingga
tanah mempunyai aerasi yang baik (Irawan, 2016).
2.2.3 Kemantapan Pori
Kapasitas infiltrasi dapat terjaga apabila porositas semula tidak terganggu
pada saat terjadi hujan. Tanah-tanah yang mudah terdispersi akan membuat pori
pori tanah tertutup yang mengakibatkan kapasitas infltrasi menurun dengan cepat
sedangkan tanah yang memilki agregat yang stabil membuat kapasitas infiltrasi
tetap tinggi (Rohmat, 2009).

2.2.4. Permeabilitas Tanah


Tanah dengan struktur yang baik adalah tanah dengan drainase dan
permeabilitas yang baik dan tidak mudah terdispersi ketika terjadi hujan ataupun
tertiup angin. Aliran permukaan dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan
permeabilitas lapisan tanah pada tanah yang memiliki kapasitas infiltrasi dan
permeabilitas tinggi serta lapisan kedap air yang dalam maka akan membuat aliran
permukaan menurun, sedangkan untuk tanah dengan tekstur yang halus akan
membuat pori di dalam tanah rapat dan mengakibatkan penyerapan air ke dalam
tanah rendah sehingga membuat aliran permukaan tinggi. Dalam suatu penelitian
menyatakan bahwa permeabilitas secara kualitatif adalah pengurangan gas, cairan,
atau penetrasi akar yang melewati massa tanah atau profil tanah. Permeabilitas
menunjukan kualitas tanah dalam meloloskan air (Maro’ah, 2011).

2.2.5 Profil Tanah


Sifat berbagai lapisan suatu profil tanah akan menentukan laju infiltrasi,
pada tanah yang diolah biasanya akan membuat masuknya air terhambat
diakibatkan agregat tanah yang terdispersi sehingga menutupi pori pori tanah,
kemudian akibat pembentukan lapisan tapak bajak akibat pembajakan yang
berulang kali pada tempat dan kedalaman yang sama (Arianto, 2011).
10

2.3. Metode Pengukuran Infiltrasi Dengan Mini Disk Infiltrometer


Mini disk infiltrometer menyediakan pengukuran konduktivitas hidrolik
tanah yang cepat dan nyaman. Mini disk infiltrometer dibuat dari tabung
polikarbonat dengan disk sinter baja tahan karat semi permeabel. Tabung baja
yang dapat disesuaikan dipasang di atas ruang sampel untuk mengatur laju isap.
Mini disk infiltrometer ideal untuk studi hidrologi tanah, instruksi ruang kelas,
dan banyak aplikasi lain yang mengandalkan pengukuran konduktivitas hidrolik
yang akurat. Laju hisap dapat disesuaikan untuk mengakomodasi pengukuran
jenis tanah apapun. Mini disk infiltrometer sangat ideal untuk pengukuran
lapangan karena ukurannya yang ringkas dan sedikit air yang dibutuhkan untuk
mengoperasikannya. Prinsip kerja mini disk infiltrometer akan terjadi setelah
infiltrometer di tanah, air mulai meninggalkan ruang bawah dan menyusup ke
dalam tanah di tingkat yang ditentukan oleh sifat hidrolik tanah. Mini disk
infiltrometer dibuat oleh Decagon Devices (Pullman, WA, USA). Mini disk
infiltrometer asli pertama kali dijual pada tahun 1997 terdiri dari tabung plastik
panjang 22,5 cm dan diameter luar 3,1 cm, ditandai dengan gradasi mililiter (0–
100 ml), sumbat karet di tempatkan di bagian atas, dan penutup berbentuk
styrofoam dasar yang menahan ketegangan. Satu setengah sentimeter di atas alas
adalah tabung saluran masuk udara. Perangkat Decagon Devices mengembangkan
dua lagi infiltrometer mini disk pada set hisap 0,5 cm dan 6,0 cm (masing-masing
dengan radius 1,59 cm) (Klipa, 2015).
11

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 minggu di kawasan bekas
terbakas dan hutan rawa gambut di wilayah Desa Tumbang Nusa, Kabupaten
Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Berikut adalah gambar peta lokasi
melakukan penelitian pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Wilayah Desa Tumbang Nusa, Kabupaten


Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah

Gambar 1 adalah peta lokasi kawasan hutan rawa gambut di bagian


sebelah utara terdapat KHDTK Tumbang Nusa, pada bagian selatan terdapat
hutan rawa gambut, pada bagian barat terdapat hutan rawa gambut, pada bagian
timur terdapat hutan rawa gambut. Pada penelitian di setiap kawasan akan diambil
3 titik yang ditentukan dan jarak antar titik pengambilan sampel adalah 10 m.
12

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Wilayah Desa Tumbang Nusa, Kabupaten


Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah

Gambar 2 adalah peta lokasi penelitian kawasan bekas terbakar di bagian


sebelah utara terdapat jalan trans Kalimantan, di bagian sebelah selatan terdapat
kawasan bekas terbakar, di bagian barat terdapat sungai kecil dan di bagian timur
terdapat kawasan bekas terbakar. Pada penelitian di setiap kawasan akan diambil
3 titik yang ditentukan dan jarak antar titik pengambilan sampel adalah 10 m.

3.2. Deskripsi Areal Pengambilan Sampel


Lahan yang akan digunakan untuk pengambilan data adalah kawasan bekas
terbakar dan hutan rawa gambut. Pada kawasan bekas terbakar yang mengalami
kerusakan akibat kebakaran terakhir pada Tahun 2015 berdasarkan data dari
rekapitulasi luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kawasan tersebut
memiliki kemampuan untuk pulih kembali menuju keseimbangan selama
kerusakan akibat kebakaran tersebut tidak lebih besar dari daya lenting hutan
untuk pulih kembali dan pada lahan hutan rawa gambut merupakan suatu
ekosistem yang unik dan di dalamnya terdapat beranekaragam vegetasi di
kawasan tersebut. Lahan yang menjadi pengambilan data laju infiltrasi kawasan
hutan rawa gambut seperti pada Gambar 3.
13

Gambar 3. Kawasan Hutan Rawa Gambut Lokasi Penelitian di Wilayah Desa


Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan
Tengah.

Gambar 3 adalah kawasan hutan rawa gambut yang akan menjadi lokasi
penelitian sehingga pada saat pengambilan data laju infiltrasi harus dibersihkan
dahulu tempat yang akan digunakan untuk pengukuran dan pastikan bahwa
permukaan tanah rata agar pada saat melakukan pengukuran laju infitrasi
didapatkan hasil yang akurat dan kedua alat infiltrometer diletakan secara
bersamaan.
14

Gambar 4. Kawasan Bekas Terbakar Lokasi Penelitian di Wilayah Desa


Tumbang
Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.

Gambar 4 adalah kawasan bekas terbakar yang akan menjadi lokasi


penelitian sehingga pada saat pengambilan data laju infiltrasi harus dibersihkan
dahulu tempat yang akan digunakan untuk pengukaran, pastikan bahwa
permukaan tanah rata tidak miring agar pada saat melakukan pengukuran laju
infiltrasi didapatkan hasil yang akurat dan kedua infiltrometer diletakan secara
bersamaan.
Penelitian dilaksanakan pada kawasan bekas terbakar (Repeat sektor 1) dan
hutan rawa gambut (KHDTK). Pengambilan sampel infiltrasi tersebut diambil
pada 6 titik yang ditentukan pada setiap kawasan dan jarak titik antara titik sampel
tersebut sejauh 10 m. Pengambilan sampel tersebut dilakukan mulai pada pukul
09.00 pagi sampai selesai pada setiap titik pengambilan sampel tersebut.

3.3. Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu air mineral, kertas
label, lem dan spidol. sedangkan alat yang digunakan adalah mini disk
infiltrometer, tripod, kamera handphone, kayu patok, laptop, dan gunting.
15

3.4. Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan deskriptif dengan
cara pengambilan data tersebut diambil dari video yang didapatkan dari lapangan.
Pengambilan data menggunakan eksplorasi, yaitu dengan melakukan pengamatan
secara langsung menggunakan mini disk infiltrometer pada kawasan bekas
terbakar dan hutan rawa gambut yang diambil pada 6 titik yang sudah ditentukan.
Data infiltrasi tersebut diambil dari video setiap 30 detik pada kawasan bekas
terbakar dan hutan rawa gambut setelah itu data tersebut dimasukan ke rumus
yang sudah tersedia di program Microsoft Excel 2010 dari Decagon Devices.

3.5. Pelaksanaan Penelitian


Kegiatan penelitian baru dimulai sejak pengambilan data infiltrasi pada
kawasan bekas terbakar dan hutan rawa gambut. Semua kegiatan penelitian di
lapangan dari awal sampai pengambilan data. Berikut ini beberapa tahapan dalam
pengambilan data infiltrasi :
3.5.1. Pengambilan Data Infiltrasi
Berikut adalah tahapan pengambilan data laju infiltrasi di lapangan dengan
menggunakan mini disk infiltrometer:
1). Memilih lokasi titik pengambilan sampel yang sudah ditentukan.
2). Membersihkan tempat yang digunakan untuk pengukaran, dipastikan bahwa
permukaan tanah rata tidak miring agar pada saat melakukan pengukuran laju
infitrasi didapatkan hasil yang akurat.
3). Mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan pada saat pengukuran laju
infiltrasi.
4). Mengisi tabung mini disk infiltrometer dengan air aquades dan mengatur
hisapan (suction) infiltrometer 0,5 cm dan 2 cm.
5). Mempersiapkan kamera dan tripod untuk pengambilan data melalui video.
6). Melakukan pengukuran laju infiltrasi dengan pengambilan video sampai
16

dengan air yang berada pada alat mini disk infiltrometer habis atau kondisi
jenuh air.
7). Melakukan pengambilan data dari video yang berupa scerenshoot dengan
menyesuaikan berapa waktu yang ditentukan berdasarkan data yang didapat,
sehingga data yang didapat di lapangan menjadi hasil yang akurat.

3.5.2. Memasukan Data ke Rumus di Program Microsoft Excel 2010


Data akan dihitung menggunakan rumus pada program Microsoft Excel
2010 yaitu Decagon Devices dengan cara mengambil data di video tersebut setiap
30 detik dan kita mengatur suction pada program Microsoft Excel dengan hisapan
(suction) 0,5 cm dan 2 cm, Data tersebut nanti akan mendapatkan hasil sesuai
rumus di program Microsoft Excel 2010 tersebut beserta grafiknya.

3.5.3. Data Hasil Pengamatan Yang Akan di Sajikan Dalam Bentuk Tabel dan
Grafik.
Dalam pengambilan data di video akan diambil setiap 30 detik dengan
hisapan (suction) 0,5 cm dan section 2 cm. Selanjutnya laju infiltrasi dihitung
dengan program yang sudah disediakan sebagai paket program untuk penggunaan
mini disk infiltrometer.

3.6. Variabel Pengamatan


Variabel yang digunakan pengamatan penelitian ini yaitu laju infiltrasi pada
kawasan tutupan lahan gambut bekas terbakar dan hutan rawa gambut yang
menggunakan mini disk infiltrometer yang datanya diambil setiap 30 detik.
Berikut adalah apa yang harus diamati pada penelitian ini :
1) Mini disk infiltrometer untuk mengambil data volume air dan waktu turun air
dalam tabung mini disk infiltrometer.
2) Rumus infiltrasi di program Microsoft Excel untuk menghitung laju infiltrasi.
Hasil perhitungan laju infiltrasi di lapangan pada tutupan lahan yang berbeda
yaitu kawasan bekas terbakar dan hutan rawa gambut, data yang didapat
kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Laju Infiltrasi pada setiap
tempat dihitung dan akan dibandingkan berdasarkan dari laju infiltarasi dengan
menggunakan program Microsoft Excel 2010.
17

3) Bobot isi tanah sebagai data pendukung perbandingan laju infiltrasi pada
tutupan lahan yang berbeda.

3.7. Analisis Data


Data hasil pengamatan di lapangan akan disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik. Pada pengambilan data di video akan diambil setiap 30 detik dengan
hisapan (suction) 0,5 cm dan suction 2 cm sehingga akan menghasilkan data
seperti pada Tabel 2 dan Gambar 5.

Tabel 2. Contoh Data Volume Air dan Waktu di


Kawasan Bekas Terbakar
Titik 1
Kawasan Bekas Terbakar Titik Satu Kawasan Bekas Terbakar Titik Satu
Dengan hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan hisapan
Infililtrasi
Waktu Volume Waktu
Kumulati
(detik) (ml) (detik)
f (cm)
0 78,0 0,00 0
30 72,0 0,38 30
60 68,0 0,63 60
90 62,5 0,97 90
120 57,0 1,32 120
150 52,0 1,63 150
180 47,0 1,95 180
210 40,0 2,39 210
240 35,0 2,70 240
18

Infiltiltrasi Kumulatif (cm) 5.00


4.50 f(x) = 0.0458215711588541 x² − 0.13946671760641 x
4.00 R² = 0.986508352498539
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 5. Contoh Grafik Hasil Perhitungan Laju Infiltrasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian ini berada di dua tempat yang berbeda yaitu kawasan
bekas terbakar dan kawasan hutan rawa gambut. Pada setiap lokasi penelitian
tersebut akan diambil 3 titik lokasi pada setiap kawasan.

4.1.1. Kawasan Bekas Terbakar


Pada kawasan bekas terbakar yang mengalami kerusakan akibat kebakaran
terakhir pada Tahun 2015 berdasarkan data dari rekapitulasi luas kebakaran hutan
dan lahan pada kawasan tersebut memiliki kemampuan untuk pulih kembali
menuju keseimbangan selama kerusakan akibat kebakaran tersebut tidak lebih
besar dari daya lenting hutan untuk pulih kembali. Pada kawasan bekas terbakar
permukaan tanahnya kering dan pada kawasan ini vegetasinya di dominasi oleh
pakis-pakisan (Tracheophyta), kalakai (Stenochlaena palutris) dan karamunting
(Rhodomytrus tomentosa) (Mariaty, 2019).

4.1.2. Kawasan Hutan Rawa Gambut


Pada kawasan hutan rawa gambut permukaan tanahnya tidak kering dan
mempunyai kedalaman gambut lebih dari 3 m sehingga pada musim hujan
19

ketinggian air bisa mencapai 25 cm di atas permukaan tanah. Vegetasi tanaman


pada kawasan tersebut di antaranya meranti bunga (Shorea teysmanniana), ramin
(Gonystylus bancanus), galam tikus (Dyera polyphylla), merapat
(Combretocarpus rotundus) dan jenis non komersil lainnya (Mariaty, 2019).

4.2. Data Volume Air Dan Waktu Mini Disk Infiltrometer


Pengambilan data diambil menggunakan alat mini disk infiltrometer dengan
mengukur penurunan volume air dan berapa lama waktu air habis di dalam tabung
mini disk infiltrometer dengan cara hisapan (suction) yang berbeda yaitu 0,5 cm
dan 2 cm. Pada kawasan bekas terbakar dan kawasan hutan rawa gamut diambil 3
titik pada setiap kawasan dan pada setiap titik berjarak 10 m.

4.2.1. Data Volume Air Dan Waktu Di Kawasan Bekas Terbakar

Hasil data pengukuran laju penurunan volume air dan waktu di tiga titik
pada kawasan bekas terbakar disajikan sebanyak 3 tabel dengan menggunakan
hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas Terbakar di Titik Satu

Kawasan Bekas Terbakar Titik Satu Kawasan Bekas Terbakar Titik Satu
Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm

Waktu Volume Infiltinfiltras Waktu Volume Infiltrasi


(detik) (ml) i Kumulatif (detik) (ml) Kumulatif
(cm) (cm)
0 80,0 0 0 80,0 0
30 74,0 0,38 30 77,0 0,19
60 70,0 0,63 60 73,0 0,44
90 65,0 0,94 90 70,0 0,63
120 61,0 1,19 120 67,0 0,82
150 57,0 1,45 150 64,0 1,01
180 53,0 1,70 180 60,0 1,26
210 49,0 1,95 210 58,0 1,38
240 45,0 2,20 240 55,0 1,57
270 40,0 2,52 270 52,0 1,76
300 35,0 2,83 300 49,0 1,95
330 32,0 3,02 330 46,0 2,14
360 27,0 3,33 360 43,0 2,33
390 22,0 3,65 390 40,0 2,52
20

420 18,0 3,90 420 37,0 2,70


450 14,0 4,15 450 34,0 2,89
480 10,0 4,40 480 31,0 3,08
510 6,0 4,72 510 28,0 3,27
Tabel 3 merupakan data hasil volume air dan waktu di kawasan bekas
terbakar di titik satu, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama
510 detik dengan sisa air sebanyak 6 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat pada
detik akhir 4,72 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 510 detik dengan sisa air sebanyak 28 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 3,27 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 6 dan Gambar 7.
Infiltrasi Kumulatif (cm)

5.00
4.50
4.00 f(x) = 0.00856695720535964 x² + 0.0132960946646714 x
3.50 R² = 0.999849053752796
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 6. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 0,5 cm di Titik Satu.
21

Infiltrasi Kumulatif (cm) 3.50


3.00
f(x) = 0.00599422690442255 x² + 0.00909917975888295 x
2.50 R² = 0.999906491537924
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 7. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Satu.

Tabel 4. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas Terbakar di Titik Dua

Kawasan Bekas Terbakar Titik Dua Kawasan Bekas Terbakar Titik Dua
Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm

Waktu Volume Infiltrasi Waktu Volume Infiltrasi


(detik) (ml) Kumulatif (detik) (ml) Kumulatif
(cm) (cm)
0 80,0 0 0 80,0 0
30 74,0 0,38 30 76,0 0,25
60 69,0 0,69 60 73,0 0,44
90 64,0 1,01 90 70,0 0,63
120 60,0 1,26 120 64,0 1,01
150 56,0 1,51 150 61,0 1,19
180 52,0 1,76 180 58,0 1,38
210 48,0 2,01 210 55,0 1,57
240 44,0 2,26 240 51,0 1,82
270 41,0 2,45 270 48,0 2,01
300 37,0 2,70 300 45,0 2,20
330 32,0 3,02 330 42,0 2,39
360 28,0 3,27 360 39,0 2,58
22

390 24,0 3,52 390 36,0 2,77


420 20,0 3,77 420 33,0 2,96
450 16,0 4,02 450 30,0 3,14
480 12,0 4,28 480 27,0 3,33
510 8,0 4,53 510 24,0 3,52

Tabel 4 merupakan data hasil volume air dan waktu di kawasan bekas
terbakar di titik dua, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama
510 detik dengan sisa air sebanyak 8,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat
pada detik akhir 4,53 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 510 detik dengan sisa air sebanyak 24,0 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 3,52 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 8 dan Gambar 9.
Infiltrasi Kumulatif (cm)

4.50
4.00 f(x) = 0.00745768972699376 x² + 0.0306885370295116 x
3.50 R² = 0.999886565536734
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 8. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 0,5 cm di Titik Dua.
23

Infiltrasi Kumulatif (cm)


3.50
3.00 f(x) = 0.00612765239352153 x² + 0.019428057925926 x
R² = 0.999547492882237
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 9. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 2 di Titik Dua.

Tabel 5. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas Terbakar di Titik Tiga

Kawasan Bekas Terbakar Titik Tiga Kawasan Bekas Terbakar Titik Tiga
Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm

Waktu Volume Infiltrasi Waktu Volume Infiltrasi


(detik) (ml) Kumulatif (detik) (ml) Kumulatif
(cm) (cm)
0 80,0 0 0 80,0 0
30 76,0 0,25 30 76,0 0,19
60 72,0 0,50 60 74,0 0,38
90 68,0 0,75 90 71,0 0,57
120 65,0 0,94 120 69,0 0,69
150 61,0 1,19 150 66,0 0,88
180 57,0 1,45 180 63,0 1,07
210 53,0 1,70 210 60,0 1,26
240 50,0 1,89 240 57,0 1,45
270 47,0 2,07 270 53,0 1,70
300 44,0 2,26 300 50,0 1,89
330 40,0 2,52 330 47,0 2,07
360 37,0 2,70 360 44,0 2,26
24

390 34,0 2,89 390 41,0 2,45


420 31,0 3,08 420 38,0 2,64
450 27,0 3,33 450 35,0 2,83
480 24,0 3,52 480 32,0 3,02
510 21,0 3,71 510 28,0 3,27

Tabel 5 merupakan data hasil volume air dan waktu di kawasan bekas
terbakar di titik tiga, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama
510 detik dengan sisa air sebanyak 21,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat
pada detik akhir 3,71 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 510 detik dengan sisa air sebanyak 28,0 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 3,27 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 10 dan Gambar 11.
Infiltrasi Kumulatif (cm)

4.00
3.50
f(x) = 0.00654085998783541 x² + 0.0181052351178564 x
3.00 R² = 0.999825697807044
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 10. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 0,5 cm di Titik Tiga.
25

Infiltrasi Kumulatif (cm)


3.50
3.00
f(x) = 0.00662590036810602 x² − 0.00704943020123408 x
2.50 R² = 0.999821263973996
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 11. Grafik Data Penurunan Polume Air dan Waktu di Kawasan Bekas
Terbakar Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Tiga.

4.2.2. Data Volume Air Dan Waktu Di Kawasan Hutan Rawa Gambut

Hasil data pengukuran laju penurunan volume air dan waktu di tiga titik
pada kawasan hutan rawa gambut disajikan sebanyak 3 tabel dengan
menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan Rawa Gambut di Titik
Satu

Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Satu
Satu Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm

Waktu Volume Infiltrasi Waktu Volume Infiltrasi


(detik) (ml) Kumulatif (detik) (ml) Kumulatif
(cm) (cm)
0 80,0 0 0 80,0 0
30 77,0 0,19 30 77,0 0,19
60 74,0 0,38 60 76,0 0,25
90 71,0 0,57 90 74,0 0,38
120 69,0 0,69 120 73,0 0,44
150 66,0 0,88 150 72,0 0,50
26

180 64,0 1,01 180 69,0 0,69


210 61,0 1,19 210 67,0 0,82
240 59,0 1,32 240 65,0 0,94
270 57,0 1,45 270 63,0 1,01
300 55,0 1,57 300 62,0 1,13
330 52,0 1,76 330 59,0 1,32
360 50,0 1,89 360 57,0 1,45
390 48,0 2,01 390 55,0 1,57
420 46,0 2,14 420 53,0 1,70
450 44,0 2,26 450 50,0 1,89
480 41,0 2,45 480 48,0 2,01
510 39,0 2,58 510 46,0 2,14
540 37,0 2,70 540 44,0 2,26
570 35,0 2,83 570 42,0 2,39
600 33,0 2,96 600 39,0 2,58
630 31,0 3,08 630 37,0 2,70
660 29,0 3,21 660 35,0 2,83
690 27,0 3,33 690 33,0 2,96
720 25,0 3,52 720 31,0 3,08
750 23,0 3,65 750 29,0 3,27

Tabel 6 merupakan data volume air dan waktu di kawasan hutan rawa
gambut di titik satu, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama
750 detik dengan sisa air sebanyak 23,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat
pada detik akhir 3,65 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 750 detik dengan sisa air sebanyak 29,0 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 3,27 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurnunan volume airnya. Berikut adalah grafik
yang dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010
dari Decagon Devices seperti Gambar 12 dan Gambar 13.
27

Infiltrasi Kumulatif (cm) 3.00


2.50
f(x) = 0.00422805278937264 x² + 0.0185946790801763 x
2.00 R² = 0.999796573570724
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 12. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 0,5 cm di Titik Satu.
Infiltrasi Kumulatif (cm)

2.50

2.00
f(x) = 0.00445911125810673 x² − 0.00812389039184125 x
1.50 R² = 0.998483978124525

1.00

0.50

0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 13. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Satu.
Tabel 7. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan Rawa Gambut di Titik
Dua
Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Dua
Dua Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm
Waktu Volume Infiltrasi Waktu Volume Infiltrasi
(detik) (ml) Kumulatif (detik) (ml) Kumulatif
(cm) (cm)
0 80,0 0 0 80,0 0
30 76,0 0,25 30 79,0 0,06
60 71,0 0,57 60 78,0 0,13
90 68,0 0,75 90 77,0 0,19
120 65,0 0,94 120 76,5 0,25
28

150 62,0 1,13 150 76,0 0,25


180 59,0 1,32 180 75,5 0,29
210 56,0 1,51 210 75,0 0,31
240 53,0 1,70 240 75,0 0,31
270 52,0 1,76 270 74,5 0,38
300 48,0 2,01 300 74,0 0,38
330 45,0 2,20 330 73,5 0,44
360 42,0 2,39 360 73,0 0,44
390 40,0 2,52 390 72,5 0,50
420 37,0 2,70 420 72,0 0,50
450 35,0 2,83 450 71,5 0,57
480 33,0 2,96 480 71,0 0,57
510 31,0 3,08 510 70,5 0,63
540 26,0 3,40 540 70,0 0,63
570 25,0 3,46 570 69.5 0,66
600 22,0 3,65 600 69,0 0,69
630 20,0 3,77 630 68,5 0,69
660 18,0 3,96 660 68,0 0,75
690 16,0 4,09 690 67,0 0,82

Tabel 7 merupakan data volume air dan waktu di kawasan hutan rawa gambut
di titik dua, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm. Pada
hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama 690 detik
dengan sisa air sebanyak 16,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik
akhir 4,09 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan penurunan
volume air selama 690 detik dengan sisa air sebanyak 67,0 ml dan infiltrasi
kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 0,82 cm sehingga hisapan (suction)
0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 14 dan Gambar 15.
29

Infiltrasi Kumulatif (cm) 3.50


3.00
f(x) = 0.00466172550449074 x² + 0.0351216678019516 x
2.50 R² = 0.999650349398116
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 14. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 0,5 cm di titik dua.
Infiltrasi Kumulatif (cm)

1.00

0.50 f(x) = 0.000594328159953148 x² + 0.0129415737688926 x


R² = 0.997637469398386

0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 15. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Dua.

Tabel 8. Data Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan Rawa Gambut di Titik
30

Tiga
Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Kawasan Hutan Rawa Gambut Titik Tiga
Tiga Dengan Hisapan (Suction) 0,5 cm Dengan Hisapan (Suction) 2 cm

Waktu Volume Infiltrasi Waktu Volume Infiltrasi


(detik) (ml) Kumulatif (detik) (ml) Kumulatif
(cm) (cm)
0 80,0 0 0 80,0 0
30 77,0 0,19 30 77,0 0,19
60 74,0 0,38 60 76,0 0,25
90 72,0 0,50 90 74,0 0,38
120 69,0 0,69 120 73,0 0,44
150 66,0 0,88 150 72,0 0,50
180 64,0 1,01 180 71,0 0,57
210 61,0 1,19 210 70,0 0,63
240 59,0 1,32 240 69,0 0,69
270 57,0 1,45 270 68,0 0,75
300 54,0 1,63 300 67,0 0,82
330 52,0 1,76 330 66,0 0,88
360 49,0 1,95 360 65,0 0,94
390 47,0 2,07 390 63,0 1,07
420 45,0 2,20 420 62,0 1,13
450 43,0 2,39 450 61,0 1,19
480 41,0 2,52 480 60,0 1,26
510 39,0 2,64 510 59,0 1,32
540 37,0 2,83 540 58,0 1,38
570 35,0 2,96 570 57,0 1,45
600 33,0 3,08 600 56,0 1,51
630 31,0 3,21 630 54,0 1,63
660 29,0 3,40 660 53,0 1,70
690 27,0 3,52 690 52,0 1,76
720 25,0 3,71 720 51,0 1,82

Tabel 8 merupakan data hasil volume air dan waktu di kawasan hutan rawa
gambut di titik tiga, Pengukuran menggunakan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm.
Pada hisapan (suction) 0,5 cm membutuhkan penurunan volume air selama 720
detik dengan sisa air sebanyak 25,0 ml dan infiltrasi kumulatif yang didapat pada
detik akhir 3,71 cm, Sedangkan pada hisapan (suction) 2 cm membutuhkan
penurunan volume air selama 720 detik dengan sisa air sebanyak 51,0 ml dan
infiltrasi kumulatif yang didapat pada detik akhir yaitu 1,82 cm sehingga hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat penurunan volume airnya. Berikut adalah grafik yang
dihasilkan dari data di atas yang menggunakan rumus Microsoft Excel 2010 dari
Decagon Devices seperti Gambar 16 dan Gambar 17.
31

Infiltasi Kumulatif (cm) 3.00


2.50
f(x) = 0.00472622167562189 x² + 0.0117500342756694 x
2.00 R² = 0.999853422762779
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 16. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 0,5 cm di titik tiga
Infiltrasi Kumulatif (cm)

1.50

f(x) = 0.00165996333820539 x² + 0.0201024821894743 x


1.00 R² = 0.999128095173045

0.50

0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Akar Kuadrat Dari Waktu

Gambar 17. Grafik Data Penurunan Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan
Rawa Gambut Hisapan (Suction) 2 cm di Titik Tiga

4.3. Laju Infiltrasi di Tutupan Lahan Yang Berbeda


32

Dari hasil data pengukuran laju infiltrasi di kawasan bekas terbakar dan
kawasan hutan rawa gambut didapat rata-rata nilai laju infiltrasi tiap perbedaan
penggunaan kawasan dan perbedaan penggunaan hisapan (suction) 0,5 cm dan 2
cm. Sehingga memperoleh hasil pengukuran laju infiltrasi dari tiap perbedaan
tutupan lahan seperti pada Tabel 9.

Tabel 9. Rata-Rata Hasil Laju Infiltrasi Pada Perbedaan Tutupan Lahan


Ulangan Kawasan bekas terbakar Kawasan hutan rawa gambut
Suction 0,5 Suction 2 cm Suction 0,5 Suction 2 cm
cm cm
mm jam-1
Titik 1 79,20 54,00 46,80 33,84
Titik 2 72,00 50,40 36,00 28,80
Titik 3 79,20 54,00 43,20 32,40
Jumlah 230,4 158,4 126,00 95,44
Rata-rata 76,80 52,80 42,00 31,81

Tabel 9 merupakan hasil rata-rata laju infiltrasi dan ada terdapat perbedaan
pada 2 tutupan lahan tersebut yang menunjukan pada kawasan bekas terbakar
memiliki rata-rata laju infiltrasi pada hisapan (suction) 0,5 cm mendapat 76,80
mm jam-1 yang memasuki kategori laju infiltrasi agak cepat dan pada hisapan
(suction) 2 cm mendapat 52,80 mm jam-1 yang memasuki kategori laju infiltrasi
agak cepat sedangkan pada kawasan hutan rawa gambut memiliki laju infiltrasi
yang lebih kecil dari kawasan bekas terbakar yaitu pada hisapan (suction) 0,5 cm
mendapat 42,00 mm jam-1 yang memasuki kategori laju infiltrasi sedang dan pada
hisapan (suction) 2 cm mendapat 31,8 mm jam-1 yang memasuki kategori laju
infiltrasi agak lambat sehingga menunjukan laju infiltrasi pada kawasan bekas
terbakar lebih cepat dibandingkan hutan rawa gambut karena semakin kecil nilai
laju infiltrasi maka laju infiltrasi semakin lambat (Dipa, 2021).
33

4.4. Bobot Isi Tanah Di Tutupan Lahan Yang Berbeda


Berikut adalah perbandingan bobot isi tanah yang berpengaruh pada laju
infiltrasi yang disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Bobot Isi Tanah di Tutupan Lahan Yang Berbeda (Bulk Density)
Bulk Density (g cm-3)
Titik lokasi Kawasan Bekas Kawasan Hutan Rawa
Terbakar Gambut
0 – 10 cm
1 0,06 0,24
2 0,03 0,25
3 0,08 0,24
Rata - Rata 0,06 0,24

Pada Tabel 10 terdapat perbedaan bobot isi tanah yaitu pada kawasan bekas
terbakar memiliki rata-rata bobot isi tanah 0,06 g cm-3 sedangkan di kawasan
hutan rawa gambut memiliki rata-rata bobot isi tanah 0,24 g cm-3 yang
menunjukan laju infiltrasi pada kawasan bekas terbakar lebih cepat dibandingkan
kawasan hutan rawa gambut dikarenakan bahwa hubungan bulk density dengan
laju infiltrasi berbanding terbalik yaitu semakin kecil nilai bulk density maka
semakin besar laju infiltrasi, hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan dalam
Hardjowigeno (2007) menyatakan bulk density yang tinggi merupakan petunjuk
kepadatan tanah yang sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman.
34

4.5. Laju Infiltrasi Antara Hisapan (Suction) 0,5 cm dan 2 cm


Dari hasil perbandingan data antara hisapan (suction) 0,5 cm dan 2 cm di
tutupan lahan yang berbeda yaitu kawasan bekas terbakar dan kawasan hutan rawa
gambut mendapatkan hasil data pada Tabel 11.

Tabel 11. Rata-Rata Perbandingan Perbedaan Hisapan (Suction) 0,5 cm dan 2 cm


Hisapan (Suction) Hisapan (Suction)
Titik
Tutupan Lahan 0,5 cm 2 cm
Sampel -1
mm jam
1 79,20 54,00
Kawasan Bekas
2 72,00 50,40
Terbakar
3 79,20 54,00
1 46,80 33,84
Kawasan Hutan Rawa 2 36,00 28,80
Gambut 3 43,20 32,40
Rata-Rata 59,40 42,40

Dari Tabel 11 mendapatkan hasil perbandingan antara hisapan (suction) 0,5


cm dan hisapan (suction) 2 cm yaitu rata-rata hisapan (suction) 0,5 cm
mendapatkan hasi rata-rata 48 mm jam-1 yang memasuki kategori laju infiltrasi
sedang dan pada hisapan (suction) 2 cm mendapatkan rata-rata 43,2 mm jam-1
yang memasuki kategori laju infiltrasi sedang sehingga menyatakan hisapan
(suction) 0,5 cm lebih cepat dibandingkan dengan hisapan (suction) 2 cm
dikarenakan semakin kecil suatu suction yang dipakai maka semakin cepat air di
dalam tabung mini disk infiltrometer turun (Jahring, 2019).
35

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran laju infiltrasi pada perbedaan tutupan lahan,
yaitu di kawasan hutan rawa gambut dan kawasan bekas terbakar dengan
menggunakan hisapan (suction) yang berbeda 0,5 cm dan 2 cm. Di kawasan bekas
terbakar cendrung sedikit lebih cepat laju infiltrasi yang terjadi. Karena tutupan di
kawasan hutan rawa gambut terdapat berbagai macam vegetasi yang tumbuh di
sekitarnya serta terdapat banyak perakaran pohon yang di mana dapat menyimpan
cadangan air sehingga dapat mengakibatkan tingkat laju infiltrasinya lambat
dibandingkan kawasan bekas terbakar. Selain itu di kawasan hutan rawa gambut
mengandung bahan organik dan banyak seresah sehingga terjadinya aktivitas
mikroorganisme di dalam tanah yang membuat tanah memiliki tingkat agregat
yang cukup padat.

5.2. Saran
Dari penelitian pengukuran laju infiltrasi yang telah dilakukan maka
disarankan agar memperbanyak titik pengamatan pada kedua tutupan lahan,
sehingga dapat lebih menunjang data laju infiltrasi pada lahan gambut
menggunakan mini disk infiltrometer.
.
36

DAFTAR PUSTAKA

Arianto, W., Suryadi, E., & Perwitasari, S.D.N. 2021. Analisis Laju Infiltrasi
Dengan Metode Horton Pada Sub DAS Cikeruh. Jurnal Keteknikan Pertanian
Tropis dan Biosistem 9 (1), 8-19.

Amran, Y., & Permadi, I. 2021. Analisis Perubahan Tanah Gambut Pada
Stabilisasi Tanah Secara Kimiawi Menggunakan Difasoil Stabilizer Dan
Semen. Jurnal Program Studi Teknik Sipil 10 (2), 155-165.

Budianto, P.T.H., Wirosoedarmo, R., & Suharto, B. 2014. Perbedaan Laju


Infiltrasi Pada Lahan Hutan Tanaman Industri Pinus, Jati dan Mahoni. Jurnal
Sumberdaya Alam dan Lingkungan 1 (2), 15-24.

Dariah, A., & Nurzaikah, S. 2014. Pengelolaan Tata Air Lahan Gambut. Dalam
Buku Pegangan. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Terdegrasi
Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian.

Dharmawan, I.W.S., Saharjo, B.H., Supriyanto, & Arifin, A.S. 2013. Persamaan
Alometrik dan Cadangan Karbon Vegetasi Pada Hutan Gambut Primer dan
Bekas Terbakar. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 10 (2), 175-
191.

Dipa, H., Manyuk, F., & Yohanna, L,S. 2021. Analisis Tingkat Laju Infiltrasi
Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) SAIL. Vol 2 : 1 p. 18-25.

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta : Buku. Akademik Pressindo.

Indarwati, D., Suhardjono, S., & Harisuseno, D. 2014. Studi Analisis Spasial
Infiltrasi di DAS Kali Bodo Kabupaten Malang. Jurnal Teknik Pengairan 5
(1), 61-67.

Irawan, T., & Yuwono, S.B. 2016. Infiltrasi Pada Berbagai Tegakan Hutan di
Arboretum Universitas Lampung. Sylva Lestari 4 (3) 21-34.

Jahring, J., & Nasrudin, N. 2019. Perbandingan Suction Potential dan Water
Content Pada Saluran Irigasi Menggunakan Dual Reciprocity, Vol 5 : 2, p
95-13.

Kalima, T., & Denny, T. 2019. Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Rawa
Gambut Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konversi Alam 16 (1), 51-72.

Klipa, V., Sheota, M., & Dohnal, M. 2015. New Automatic Mini Disk
Infiltrometer Design and Testing. 63 (2), 110-116.
37

Marlina, S. 2017. Pengelolaan Ekosistem Gambut Pasca Kebakaran Lahan


Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah. Media Ilmiah Teknik Lingkungan
(MITL) 2 (1), 26-30.

Mariaty, & Santosa, P.D. 2019. Studi Tingkat Keanekaragaman Hayati Lahan
Bekas Terbakar di Taman Nasional Sebangau dan Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa. Daun: Jurnal Ilmiah Pertanian dan
Kehutanan, vol 6:2, p 129-139.

Maro’ah, S. 2011. Kajian Laju Infiltrasi dan Permeablitas Tanah Pada Beberapa
Model Tanaman (Studi Kasus Sub DAS Keduang, Wonogiri). UNS
(SEBELAS MARET UNIVERSITY).

Masganti, Marpoyan, P., Wahyunto, & Dariah, A. 2014. Karakteristik dan Potensi
Pemanfaatan Lahan Gambut Tergradasi di Provinsi Riau. Pusat
Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Indonesia.

Rohmat, D. 2009. Tipikal Kuantitas Infiltrasi Menurut Karakteristik Lahan


( Kajian Empirik di DAS Cimanuk Bagian Hulu). Forum Geografi 23 (1), 41-
56.

Sistanto, B.A. 2010. Pengaruh Dari Material Hidropobik Pada Pergerakan Air
Dalam Tanah Selama Infiltrasi. Teknotan : Jurnal Industri Teknologi
Pertanian 4 (1).

Syukur, S. 2009. Laju Infiltrasi dan Peranannya Terhadap Pengelolaan Daerah


Aliran Sungai Allubangkala. Jurnal Ilmu Pertanian 16 (3).

Verry, E.S., Boetler D.H., Paivanen, J., Nichols, D.S., Malterer, T., & Gafni, A.
2011. Physical Properties of Organic Soils. Taylor and Francis Group, LLC.
Pp 135-176.
38

LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Pengambilan Screen Shot Data Dari Video

Lampiran 2. Cara Menggunakan Mini Disk Infiltrometer


a. Memasukan Air Kedalam Mini Disk Infiltrometer
39

b. Mengatur Hisapan (suction)

c. Meletakan Mini Disk di Permukaan Tanah


40

Lampiran 3. Pengambilan data Volume Air dan Waktu di Kawasan Hutan Rawa
Gambut di 3 Titik Berbeda

a. Titik 1 b. Titik 2

c. Titik 3
41

Lampiran 4. Pengambilan data Volume Air dan Waktu di Kawasan Bekas


Terbakar di 3 Titik Berbeda

a. Titik 1 b. Titik 2

c. Titik 3
42

Lampiran 5. Program Microsoft Excel 2010 Menggunakan Rumus Dari Decagon


Devices

Anda mungkin juga menyukai