Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta
kesempatan bagi kami untuk mengembangkan pengetahuan dan berkontribusi dalam menjaga
lingkungan dan keberlanjutan pertanian, khususnya di wilayah-wilayah dengan ekosistem lahan gambut.

Kami, sebagai mahasiswa dan peneliti yang berkomitmen untuk memahami serta mengatasi tantangan
ekologi dan pertanian di lahan gambut, dengan tulus menyampaikan kata pengantar ini. Proposal
penelitian ini merupakan hasil kolaborasi dan dedikasi kami untuk mencapai tujuan penting: menjaga
ekosistem lahan gambut sambil mempromosikan pertanian yang berkelanjutan.

Lahan gambut adalah ekosistem yang memegang peran kunci dalam menjaga keseimbangan ekologis
serta berkontribusi dalam penyimpanan karbon di bumi. Namun, perubahan penggunaan lahan,
pengeringan, serta perusakan ekosistem gambut menjadi ancaman serius terhadap ekosistem ini.
Kerusakan lahan gambut telah berdampak luas, tidak hanya terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap
komunitas lokal yang menggantungkan diri pada pertanian di lahan ini.

Dalam konteks ini, proposal penelitian kami berfokus pada "Identifikasi Proses Konservasi Ekologi Lahan
Gambut untuk Pertanian Secara Berkelanjutan." Melalui penelitian ini, kami bertujuan untuk
mengidentifikasi praktik-praktik konservasi ekologi yang dapat mendukung pertanian yang
berkelanjutan di lahan gambut. Kami percaya bahwa penelitian ini akan memberikan wawasan berharga
dan solusi untuk melindungi ekosistem lahan gambut yang rentan sambil mempromosikan pertanian
yang berkelanjutan dan mendukung kesejahteraan masyarakat.

Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan,
bimbingan, dan inspirasi dalam perjalanan ini. Terima kasih kepada dosen pembimbing, teman-teman
sejawat, serta semua pihak yang telah mendukung kami.

Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat yang nyata dalam menjaga keberlanjutan lahan
gambut dan pertanian di wilayah-wilayah yang membutuhkannya. Terakhir, kami berharap proposal ini
dapat diterima dan mendapat izin untuk dilaksanakan.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Lahan gambut merupakan ekosistem yang sangat kritis dan unik. Lahan gambut, yang
terutama ditemukan di wilayah tropis, terdiri dari lapisan material organik yang sangat dalam
dan mampu menyimpan sejumlah besar karbon dalam bentuk tanah gambut. Ekosistem ini
memberikan layanan ekosistem yang sangat penting, termasuk sebagai habitat alam bagi
beragam flora dan fauna, pengaturan air, serta penyimpanan karbon yang signifikan. Namun,
lahan gambut semakin terancam oleh aktivitas manusia, seperti penggundulan hutan,
penebangan, pengeringan, dan konversi lahan untuk pertanian. Kegiatan-kegiatan ini
merusak ekosistem gambut dan mengancam keberlangsungan ekosistem serta lingkungan
secara lebih luas.

Dampak yang dihasilkan dari kerusakan lahan gambut termasuk pelepasan gas rumah kaca
yang berkontribusi pada perubahan iklim global, penurunan kualitas air, serta hilangnya
habitat alam bagi spesies yang terancam punah. Selain itu, pertanian yang tidak berkelanjutan
di lahan gambut dapat menyebabkan degradasi tanah, penurunan produktivitas pertanian, dan
dampak ekonomi yang merugikan bagi komunitas lokal. Oleh karena itu, penting untuk
mengidentifikasi proses konservasi ekologi yang dapat mendukung pertanian yang
berkelanjutan di lahan gambut. Dalam konteks ini, penelitian tentang "Identifikasi Proses
Konservasi Ekologi Lahan Gambut untuk Pertanian Secara Berkelanjutan" memiliki
relevansi yang besar.

Penelitian ini akan membantu dalam mengidentifikasi praktik-praktik yang dapat mendukung
keberlanjutan lahan gambut dan pertanian yang berkelanjutan di lahan tersebut. Hasil
penelitian ini akan memberikan panduan berharga bagi pembuat kebijakan, petani, dan
komunitas lokal dalam menjaga ekosistem lahan gambut yang rentan sambil menjalankan
kegiatan pertanian yang berkelanjutan. Dengan demikian, penelitian ini akan memberikan
kontribusi penting dalam upaya melestarikan ekosistem lahan gambut dan mencapai tujuan
keberlanjutan dalam pertanian di wilayah-wilayah yang memiliki lahan gambut. Selain latar
belakang di atas, pastikan juga untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang saat ini
dihadapi dalam konteks lahan gambut dan pertanian, serta menyoroti pentingnya menjaga
ekosistem ini untuk keberlanjutan masa depan.
Gambar 1Pemetaan Lahan Gambut Menggunakan Citra Satelit Aktif dan Pasif

Indonesia, sebagai negara tropis di Asia, memiliki sebagian besar lahan gambut (Wildayana
et al., 2017). Lahan gambut ini mencakup sekitar 21 juta hektar di beberapa pulau, yaitu
Sumatera (6,24 juta ha), Kalimantan (5,07 juta ha), Papua (7,01 juta ha), dengan sisanya
sekitar 2,68 juta hektar (Krueger et al., 2014). Menurut analisis potensi lahan yang dilakukan
oleh BBSDLP pada tahun 2014, dari total 14,99 juta hektar lahan gambut, sekitar 74,96%
atau sekitar 3,17 juta hektar memiliki potensi untuk tanaman pangan, dan sekitar 9,20% atau
sekitar 1,84 juta hektar dapat dimanfaatkan untuk tanaman tahunan seperti kelapa, kelapa
sawit, dan karet. Perlu diingat bahwa lahan gambut yang cocok untuk pertanian dan
perkebunan umumnya memiliki ketebalan kurang dari 1 meter (Wildayana, 2015). Sementara
itu, lahan gambut yang memiliki ketebalan yang jauh lebih besar (>3 meter) cenderung
memiliki tingkat kesuburan yang sangat rendah dan sangat penting untuk menjaga kualitas
lingkungan, sehingga sangat disarankan untuk dijadikan lahan konservasi demi mencegah
degradasi lingkungan (Ritung et al., 2016).
1.2. RUMUSAN MASALAH

1.3. TUJUAN

1.4. MANFAAT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LAHAN GAMBUT
Lahan gambut adalah suatu ekosistem yang sangat rentan karena umumnya berlokasi di
lingkungan rawa, biasanya terletak di belakang tanggul sungai atau levee. Karena kondisi rawa,
lahan ini cenderung selalu tergenang, dan tanah yang terbentuk di sana adalah tanah yang belum
sepenuhnya berkembang seperti tanah alluvial (Entisols) atau tanah yang dihasilkan dari
akumulasi bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organik
(Histosols).
Menurut Nurida et al. (2011), tanah gambut terbentuk secara alami dalam waktu berabad-abad
melalui pelapukan tumbuhan yang tumbuh di atasnya. Proses dekomposisi dalam tanah gambut
belum berjalan dengan baik karena sifat gambut yang selalu jenuh, sehingga tanah gambut
memiliki kesuburan rendah dan pH yang rendah.
Widyati dan Rostiwati (2010) menjelaskan bahwa lahan gambut adalah lahan yang memiliki
lapisan tanah dengan kandungan bahan organik tebal hingga 50 cm. Indonesia memiliki lahan
gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan
Amerika Serikat (40 juta ha). Luas lahan gambut di Indonesia berkisar antara 17 hingga 27 juta
hektar (Wibowo, 2009). Saat ini, lahan gambut di Indonesia digunakan untuk pertanian,
perkebunan, hutan campuran, hutan sekunder bekas tebangan, semak belukar, dan padang
rumput rawa (Istomo, 2008).
Di Sumatera, terdapat sekitar 7,2 juta hektar lahan gambut. Lahan gambut terluas terdapat di
Riau dengan 56,1% dari total lahan gambut Sumatera, mencakup 4,044 juta hektar. Sumatera
Selatan memiliki 20,6% lahan gambut dengan luas 1,848 juta hektar, diikuti oleh Jambi dengan
9,95% dan luas 0,717 juta hektar, Sumatera Utara dengan 4,5% dan luas 0,325 juta hektar, Aceh
dengan 3,8% dan luas 0,274 juta hektar, Sumatera Barat dengan 2,9% dan luas 0,210 juta hektar,
Lampung dengan 1,2% dan luas 0,088 juta hektar, serta Bengkulu dengan 0,88% dan luas 0,063
juta hektar (Wahyunto dan Heryanto, 2005).
2.2 Sifat Kimia Lahan Gambut
Secara kimia, tanah gambut cenderung bersifat asam dengan kisaran pH antara 3,0 hingga 4,5.
Tanah gambut yang dangkal memiliki pH yang sedikit lebih tinggi (sekitar pH 4,0 hingga 5,1)
dibandingkan dengan yang lebih dalam (sekitar pH 3,1 hingga 3,9). Kandungan unsur-unsur basa
seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), dan natrium (Na) rendah, dan kejenuhan
unsur basa juga rendah. Kandungan aluminium (Al) dalam tanah gambut umumnya rendah
hingga sedang, dan jumlahnya berkurang seiring dengan penurunan tingkat keasaman tanah.
Meskipun kandungan total nitrogen (N) dalam tanah gambut bisa tinggi, namun seringkali tidak
tersedia bagi tanaman karena rasio karbon terhadap nitrogen (C/N) tinggi. Kandungan unsur
mikro, terutama tembaga (Cu), boron (Bo), dan seng (Zn), sangat rendah, tetapi kandungan besi
(Fe) cukup tinggi. Kadar abu dalam tanah adalah petunjuk yang baik untuk menilai tingkat
kesuburan alami tanah gambut.
Pada umumnya, gambut yang dangkal (ketebalan kurang dari 1 meter) di tepi kubah memiliki
kadar abu sekitar 15%, sedangkan yang berada di lereng dengan kedalaman 1-3 meter memiliki
kadar abu sekitar 10%. Di bagian pusat kubah yang lebih dari 3 meter dalamnya, kadar abu bisa
kurang dari 10%, bahkan kurang dari 5%. Ketebalan gambut juga mempengaruhi tingkat
kesuburan tanah. Pada gambut dangkal, pembentukan lapisan gambut dipengaruhi oleh luapan
banjir sungai, sehingga lebih subur daripada gambut yang lebih dalam. Jika tanah gambut dari
yang berlapis tipis (20 cm) hingga yang sedang (180 cm) ditanami padi, hasil panen gabah
cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketebalan gambut. Semakin tebal gambut,
kandungan abu cenderung lebih rendah, kandungan kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) menurun,
dan reaksi tanahnya lebih asam.
2.3 Sifat Fisika Lahan Gambut
Kerapatan lindak atau berat jenis (bulk density-BD) dalam gambut berkisar antara 0,05 hingga
0,30 g/cm3. Tanah gambut dengan kandungan bahan organik (>38% karbon organik) lebih dari
65% memiliki kerapatan lindak untuk gambut fibrik sekitar 0,11-0,12 g/cm3, untuk hemik
sekitar 0,14-0,16 g/cm3, dan untuk saprik sekitar 0,18-0,21 g/cm3. Ketika kandungan bahan
organik berkisar antara 30-60%, kerapatan lindak untuk hemik adalah sekitar 0,21-0,29 g/cm3,
dan untuk saprik sekitar 0,30-0,37 g/cm3. Nilai kerapatan lindak sangat dipengaruhi oleh tingkat
pelapukan dan dekomposisi bahan organik serta kandungan mineral dalam tanah gambut.
Porositas dalam gambut, yang dihitung berdasarkan kerapatan lindak dan berat jenis, berkisar
antara 75-95%. Ketika tanah gambut mengering karena drainase, gambut akan mengalami
penyusutan permukaan yang disebut subsidence. Jika pengeringan berlebihan terjadi, koloid
dalam gambut akan rusak dan menyebabkan kondisi kering tak dapat diubah (irreversible
drying). Gambut berubah menjadi substansi seperti arang dan tidak mampu lagi menyerap nutrisi
atau menyimpan air, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan tanaman dan vegetasi.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 LOKASI PENELITIAN


Lokasi penelitian lahan ga,but ini berlokasikan di provinsi Sumatera Barat.

3.2 ALAT DAN BAHAN PENELITIAN


Pengolahan data melibatkan penggunaan alat keras dan perangkat lunak. Alat keras
biasanya mencakup perangkat seperti laptop, sementara aplikasi perangkat lunak seperti
Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan dalam proses tersebut.

3.3 METODE PENELITIAN


Metode yang diterapkan dalam penelitian ini melibatkan analisis literatur, pengumpulan
data, pra-pemrosesan citra, pemrosesan citra, dan analisis klasifikasi penggunaan lahan.
Tahap-tahap metodologi penelitian dapat ditemukan dalam diagram alir berikut:

CITRA

Tanjung Mutiara 2000 Tanjung Mutiara 2010 Tanjung Mutiara 2017

OBIA

SHP Klasifikasi 2000 SHP Klasifikasi 2010 SHP Klasifikasi 2017

Informasi

Perubahan dan Pemanfaatan


Gambar 2Diagram Alir Penlitian
3.4 TAHAP PENGOLAHAN
Proses awal melibatkan penggabungan kanal citra dari sumber Landsat 8 dan Landsat 7, yang
masing-masing memiliki sejumlah kanal, dalam format data TIF dari USGS. Setiap citra
mengandung berbagai kanal dari Landsat 8 dan Landsat 7. Selanjutnya, citra diperiksa untuk
memastikan bahwa koordinat lokasi dari data citra sesuai dengan lokasi sebenarnya (Baboo,
2011).

Tahap terakhir melibatkan pemotongan citra untuk menciptakan Area Of Interest (AOI),
sehingga fenomena geospasial dan pembahasan di wilayah penelitian menjadi lebih jelas. Data
yang dikumpulkan melibatkan penggunaan citra Landsat 8 dan Landsat 7 dalam studi kasus di
Tanjung Mutiara, Sumatera Barat, yang diambil pada tahun 1999 dan 2017. Dalam penelitian ini,
metode klasifikasi piksel digunakan dengan algoritma maximum likelihood yang tersedia dalam
perangkat lunak ENVI.

3.5 PENGUMPULAN DATA


Dalam proses pengumpulan data, kami menjalankan berbagai pendekatan dan mencari sumber
daya yang mendukung penelitian ini. Kami berfokus pada penggunaan data sekunder. Kami
memperoleh data sekunder dari penelitian sebelumnya dan juga dari Citra Landsat 7 dan 8 yang
disediakan oleh USGS. Berikut adalah teknik-teknik yang kami terapkan untuk mengumpulkan data
secara lebih rinci:

1. Kajian Pustaka
Kami melakukan pengumpulan data dengan melakukan telaah literatur untuk merujuk referensi
yang mendukung penelitian ini. Hal ini melibatkan membaca, memahami, dan menganalisis buku-
buku, laporan-laporan, penelitian-penelitian terdahulu, serta jurnal-jurnal yang relevan dengan
fokus penelitian kami. Kami secara khusus menggunakan jurnal-jurnal yang membahas
perkembangan sektor pariwisata di daerah yang menjadi objek penelitian kami.

2. Dokumentasi
Metode ini kami terapkan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan cara
mendokumentasikan temuan kami, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk media
elektronik. Dokumentasi ini berfungsi sebagai bukti atau catatan dari proses penelitian yang kami
lakukan.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 KONSERVASI PADA LAHAN GAMBUT

Konservasi merupakan pendekatan yang digunakan untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA)
secara berkelanjutan, yang berarti dalam konteks penggunaan lahan gambut, perlu dilakukan secara
berkelanjutan.

Dalam usaha membuka lahan gambut, seringkali petani melakukan pembakaran untuk membersihkan
lahan dari gulma dan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Ini merupakan tindakan yang berpotensi
berbahaya. Lahan gambut mengandung sekitar 20–35% dari total cadangan karbon di Bumi. Jika lahan
gambut dibakar, maka karbon tersebut akan dilepaskan ke atmosfer, menyebabkan emisi gas karbon
yang berkontribusi pada pemanasan global, yang berdampak besar pada keberlanjutan lingkungan dan
makhluk hidup di sekitarnya.

Pembukaan lahan gambut yang ideal adalah tanpa perlu melakukan pembakaran. Jika pembakaran tidak
dapat dihindari, perlu mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan. Untuk tanaman hortikultura,
pembakaran sebaiknya terbatas pada area yang khusus, dengan ukuran tertentu dan persiapan tertentu
seperti lapisan tanah mineral dan saluran untuk menjaga kelembapan tanah gambut.

Pembalakan lahan gambut sering melibatkan pembuatan kanal-kanal untuk mengeringkannya dan
memberikan akses untuk pengolahan lahan. Namun, jika ini mengakibatkan penurunan permukaan air
tanah dan menghilangkan air permukaan tanah, maka sifat seperti spons yang dimiliki oleh gambut akan
hilang. Ini berarti gambut tidak lagi berfungsi sebagai penyangga ekologi atau daerah resapan air,
sehingga meningkatkan risiko banjir saat hujan deras. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kondisi
yang mempertahankan batas air kritis gambut.

Penting juga untuk tidak membuka bagian kubah gambut, yang merupakan tumpukan serasah yang
sangat efektif dalam menyerap air. Bagian yang dapat dibuka adalah bagian bawah kubahnya. Salah satu
kesalahan dalam pengembangan lahan gambut adalah memotong kubah gambut, yang mengurangi
kemampuannya untuk menyerap air.

Hutan rawa gambut perlu dikelola sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lahan gambutnya, dan
harus memperhatikan ekosistem dan kubah gambut. Saluran drainase di lahan gambut perlu diatur
dengan cermat agar menjaga muka air dan muka air tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman yang
tumbuh di atasnya. Oleh karena itu, perlu ada konservasi lahan gambut yang bijaksana dan tepat guna
untuk melindungi lingkungan dan mencegah perubahan iklim akibat kebakaran lahan gambut.

Pengembangan lahan gambut ke depan harus memperhatikan sejumlah prinsip pengelolaan kunci, yang
mencakup aspek hukum yang mendukung pengelolaan lahan gambut, perencanaan tata ruang
berdasarkan sistem hidrologi gambut sebagai wilayah fungsional ekosistem gambut, pengaturan air
gambut, pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik bahan mineral di bawah lapisan gambut,
peningkatan stabilitas tanah gambut, dan penanaman tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan
gambut. Prinsip-prinsip umum dalam pemanfaatan lahan gambut mencakup pemanfaatan yang
berkelanjutan, pelestarian, dan perlindungan.
Dalam pengelolaan lahan gambut, perlu memperhatikan ekosistem gambut. Ekosistem gambut dapat
dipahami melalui proses pembentukannya. Pembentukan gambut dimulai dari perairan di daerah rawa,
danau dangkal, atau cekungan yang perlahan-lahan ditumbuhi oleh tumbuhan air atau vegetasi lahan
basah. Tumbuhan yang mati mengalami dekomposisi yang tidak sempurna dan seiring waktu
membentuk lapisan-lapisan gambut, mengakumulasi gambut pada daerah tersebut.

Cekungan ini juga dapat menerima aliran sungai yang membawa endapan erosi dari hulu sungai,
sehingga gambut dapat mencampur dengan bahan mineral. Gambut yang terbentuk melalui proses ini
dikenal sebagai gambut topogen, yang umumnya memiliki kesuburan relatif baik. Kemudian, tumbuhan
yang tumbuh di atas gambut topogen ini membentuk lapisan gambut baru, secara bertahap membentuk
kubah gambut yang memiliki permukaan cembung, yang pembentukannya tidak dipengaruhi oleh aliran
sungai. Gambut yang berkembang di atas gambut topogen ini disebut sebagai gambut ombrogen yang
tingkat kesuburannya lebih rendah karena hanya dipengaruhi oleh air hujan dan tidak menerima
penambahan mineral. Puncak kubah gambut adalah bagian tertinggi dan paling tebal dalam ekosistem
gambut. Meskipun di lapangan, puncak kubah gambut dan sekitarnya tampak datar, akumulasi bahan
organik di puncak kubah tersebut dapat mencapai lebih dari 10 meter.

4.2 INDENTIFIKASI PETA PERUBAHAN PADA LAHAN GAMBUT


Pada tahun 2000, fokus kami adalah pada perkembangan tutupan lahan. Mengidentifikasi dan
menarik informasi tentang lahan pada tahun 2000 sulit dilakukan karena keterbatasan resolusi
citra yang rendah. Pada tahun 2000, luas hutan cukup besar, seperti yang terlihat pada peta di
bawah ini. Namun, pada tahun 2010, terjadi penurunan signifikan dalam luas hutan. Hutan
tampak lebih sedikit dan mengalami penurunan yang cukup besar. Pada tahun 2010, luas hutan
adalah 1.024 hektar, tetapi pada tahun 2017, hanya tersisa 599 hektar.

Selain hutan, luas belukar juga mengalami penurunan. Pada tahun 2010, luas belukar adalah
1.727 hektar, tetapi mengalami penurunan hingga hanya tersisa 502 hektar pada tahun 2017.
Lahan terbangun pada tahun 2010 awalnya memiliki luas 335 hektar, tetapi pada tahun 2017
hanya tersisa sekitar 167 hektar. Lahan terbuka juga mengalami penurunan yang signifikan.
Pada tahun 2010, luas lahan terbuka adalah 5.931 hektar, tetapi pada tahun 2017 hanya tersisa
sekitar 1.855 hektar.

Namun, perkebunan sawit muda mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, luas perkebunan
sawit muda adalah 2.288 hektar, dan pada tahun 2017, luasnya meningkat menjadi 4.866
hektar. Perkebunan sawit tua juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, luas perkebunan
sawit tua adalah 7.034 hektar, dan pada tahun 2017, luasnya meningkat menjadi 10.881 hektar.
Berikut adalah peta tutupan lahan di daerah gambut Tanjung Mutiara pada tahun 2000, 2010,
dan 2017:
Gambar 3 Peta Tutupan Lahan Pada Daerah Gambut Tanjung Mutiara Tahun 2000

Gambar 4 Peta Tutupan Lahan Pada Daerah Gambut Tanjung Mutiara Tahun 2010

Gambar 5 Peta Tutupan Lahan Pada Daerah Gambut Tanjung Mutiara Tahun 2017Tabel 1
klasifikasi tutupan lahan pada tahun 2010 dan 2017, maka dapat dilhat bahwa:

Class Name Tahun 2010 Tahun 2017 Keterangan Persentase


Belukar 1.727 502 Penurunan 70% 4.3

Hutan 1.024 599 Penurunan 41%


Lahan Terbangun 335 167 Penurunan 50%
Lahan Terbuka 5.931 1.855 Penurunan 68%
Perkebunan Sawit 2.288 4.866 Kenaikan 52%
Muda
Perkebunan Sawit 7.034 10.881 Kenaikan 35%
Tua

Tabel 2 Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2010 dan 2017

4.4 Perencanaa Secara Berkelanjutan terhadap Lahan Ga,but Dalam Beberapa Waktu kedepan Dengan
Citra Satelit

Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan adalah pendekatan perencanaan yang


menitikberatkan pada metode pemetaan partisipatif dan perencanaan tata guna lahan yang
lebih terperinci. Proses ini menekankan lima aspek utama, yaitu sosial, budaya, lingkungan,
ekonomi, dan pemerintahan. Perencanaan tata guna lahan berkelanjutan harus dibangun
dengan melibatkan pengetahuan masyarakat lokal tentang wilayah mereka, termasuk sumber
daya penghidupan dan daerah perlindungan mereka. Hasil dari perencanaan ini akan
diintegrasikan dalam dokumen rencana tata ruang wilayah kabupaten atau kota.

Dalam konteks perencanaan berkelanjutan untuk lahan gambut, penting untuk memiliki
perencanaan yang matang agar pelaksanaannya sesuai dengan rencana. Berikut adalah contoh
langkah-langkah dalam perencanaan berkelanjutan untuk lahan gambut:

1. Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca: Lahan gambut merupakan salah satu sumber utama
emisi gas rumah kaca di sektor pertanian dan kehutanan karena menyimpan cadangan
karbon yang sangat besar. Upaya pengurangan emisi gas rumah kaca harus menjadi fokus.
Kebakaran lahan, pembuatan saluran drainase, dan pengelolaan lahan dapat menjadi faktor
pendorong emisi yang berlebihan. Mempertahankan karbon dalam tanah dan tanaman
sangat penting untuk mengendalikan dampak pemanasan global.
2. Pengendalian Muka Air Tanah : Lahan gambut memiliki sifat hidrolik yang tinggi, dan
pengendalian muka air tanah sangat penting. Kedalaman dan dimensi saluran drainase
harus diatur dengan hati-hati untuk menjaga kondisi muka air tanah. Penurunan muka air
yang terlalu besar dapat merusak lahan gambut. Pengendalian air, termasuk pengaturan
pintu air, adalah salah satu tindakan mitigasi emisi CO2 yang perlu diterapkan. Perawatan
dan pemeliharaan jaringan saluran drainase juga krusial untuk menjaga sistem pengendalian
air berfungsi optimal.

Perencanaan berkelanjutan untuk lahan gambut harus memperhitungkan aspek-aspek ini guna
menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi dampak lingkungan yang merugikan.
Langkah-langkah tersebut perlu diintegrasikan dalam perencanaan tata ruang wilayah sebagai
bagian dari upaya konservasi lahan gambut yang baik.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai