Anda di halaman 1dari 5

LAHAN GAMBUT

Akhbar Barakha
M1D120004

Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi
E-mail : akhbarbarakha99@gmail.com

PENDAHULUAN

Gambut adalah suatu ekosistem yang terbentuk karena adanya produksi biomassa yang
melebihi proses dekomposisinya. Menurut peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang
perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, gambut didefinisikan sebagai material organik
yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan
terakumulasi pada rawa. Ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu
kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas, dan produktivitasnya (Setneg. 2014a).

Tanah gambut disebut juga sebagai Histosols (histos = tissue = jaringan; Sols = Tanah),
sedangkan dalam sistem klasifikasi tanah nasional tanah gambut disebut Organosols (tanah yang
tersusun dari bahan organik). Menurut BBPPSLP (2011) tanah gambut didefinisikan sebagai
tanah yang terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk
maupun belum. Tanah gambut mengandung maksimum 20 % bahan organik apabila kandungan
bagian tanah berbentuk clay mencapai 0 %; atau maksimum 30 % bahan organik, apabila
kandungan clay 60 %, dengan ketebalan lahan organik 50 cm atau lebih.

Negara Indonesia memiliki lahan gambut terluas diantara negara-negara di Asia


Tenggara. Luas lahan gambut di Asia Tenggara adalah lebih dari 24 juta hektar atau sekitar 12 %
dari luas keseluruhan kawasan Asia Tenggara(CKPP. 2008; Dohong et al., 2017). Lahan gambut
Indonesia tersebar di 3 pulau utama, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas total lahan
gambut Indonesia adalah 14.905.574 Ha (BBPPSLP. 2011)

PEMBAHASAN

Pengerian Lahan Gambut


Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang tergenang air sehingga materi-
materi tanaman tidak bisa membusuk sepenuhnya. Hal ini membuat produksi bahan organik
menjadi lebih banyak dari proses pembusukan yang terjadi sehingga terjadi akumulasi bahan
gambut.
Proses pembentukan lahan gambut berbeda-beda sehingga menghasilkan jenis dan
karakter gambut yang berbeda pula. Itulah mengapa umumnya gambut di daerah yang lebih
dalam akan berbeda dengan yang berada di sekitar perairan seperti sungai, pantai, atau
danau.
Karena pembusukan yang terhambat itulah tanah gambut terbentuk dengan susunan berupa
serpihan dan kepingan sisa tumbuhan, dedaunan, ranting, kayu, dan lain-lain. Tidak hanya
itu saja, sisa-sisa bangkai binatang yang masih awet sering kali ditemukan di antara lapisan
gambut karena terhambat proses pembusukan.

Lahan gambut terbentuk pertama kali sekitar tahun 9,600 sebelum Masehi. Gambut ini
sebenarnya termasuk gambut pedalaman, tapi seiring dengan permukaan laut yang semakin
meningkat, lama-kelamaan terbentuklah gambut di daerah sekitar sungai dan pantai. Gambut
di daerah perairan ini memiliki kandungan mineral yang berasal dari sungai dan pantai.

Karakteristik Lahan Gambut Terdegradasi

Degradasi pada lahan gambut menyebabkan perubahan terhadap karakteristik unik


gambut yang meliputi sifat kimia, fisika, dan biologi. Berikut diuraikan perubahan ketiga
karakteristik tanah gambut akibat degradasi. Sifat kimia Degradasi lahan gambut
menyebabkan tingkat kesuburan tanah menjadi berkurang (Maftuah et al. 2011; Masganti
2003; Maftuah et al. 2014).

Sifat kimia
Degradasi lahan gambut menyebabkan tingkat kesuburan tanah menjadi berkurang
(Maftuah et al. 2011; Masganti 2003; Maftuah et al. 2014). Tanah gambut yang terdegradasi
mempunyai nilai pH yang lebih rendah, kadar P-tersedia dan jumlah unsur-unsur basa serta
kadar abu yang lebih rendah.
Sifat fisika
Sifat fisika tanah gambut yang banyak mengalami perubahan akibat degradasi umumnya
berkaitan dengan kemampuan memegang air (Nugroho dan Widodo 2001; Kurnain et al.
2001; Masganti, 2012). Berbagai hasil penelitian memperlihatkan bahwa degradasi lahan
gambut menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap kemampuan gambut menyimpan
air.

Sifat biologi
Gambut mempunyai peranan penting dalam kelangsungan ekosistem. Selain itu gambut
juga mempunyai fungsi-fungsi biologis yang sangat penting dalam menjaga kualitas
lingkungan (Sarwani et al. 2006). Ketersediaan hara dan degradasi senyawasenyawa yang
sulit terurai seperti lignin pada lingkungan dapat terjadi karena bantuan mikroorganisme
(Tan 1994).

Kebakaran lahan gambut menyebabkan sebagian, bahkan mikroorganisme tertentu dapat


mengalami kepunahan. Oleh karena itu jenis mikroorganisme dalam gambut yang
terdegradasi lebih sedikit (Agustina et al. 2001). Kondisi ini menyebabkan aktivitas
mikroorganisme menjadi kurang intensif.

Kemampuan mikroorganisme pelarut P mempengaruhi kelarutan P dalam gambut


ditentukan oleh populasi mikroorganisme pelarut P (Tan 1994). Agustina et al. (2001)
melaporkan bahwa populasi mikroorganisme pelarut P dalam tanah gambut yang
terdegradasi dari Bereng Bengkel dan Pangkoh, Kalimantan Tengah hanya sekitar 10.000 sel
per gram gambut, padahal untuk menjamin agar ketersediaan dan serapan P tanaman jagung
maksimal, tanah harus diinokulasi dengan Aspergillus niger mengguna-kan konsentrasi
1.000.000 sel per gram tanah.

Pemanfaatan Lahan Gambut

Gambut mampu menampung hingga 30 persen jumlah karbon dunia agar tidak terlepas
ke atmosfer. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki fungsi
untuk mencegah perubahan iklim, bencana alam, hingga menjadi penunjang perekonomian
masyarakat sekitar.
Degradasi lahan gambut akibat aktivitas manusia menyebabkan penurunan terhadap
fungsi utama gambut yang bermuara pada penurunan produktivitas. Akan tetapi secara
faktual, lahan tersebut dimanfaatkan masyarakat untuk tujuan pertanian (Agus et al. 2013;
Masganti 2013; Wahyunto dan Dariah 2013). Dari sekitar 8,11 juta hektar lahan gambut di
pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang terdegradasi, diperkirakan 2,28 juta hektar
telah dimanfaatkan di bidang pertanian (Wahyunto et al. 2014).
Secara umum ada 3 (tiga) kelompok tanaman yang dibudidayakan di lahan gambut
terdegradasi, yakni (a) tanaman perkebunan, (b) tanaman pangan, dan (c) tanaman
hortikultura (Sarwani et al. 2006; Najiyati et al. 2008; Masganti 2013). Tanaman perkebunan
merupakan kelompok tanaman yang paling luas dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi
(Agus et al. 2013; Wahyunto dan Dariah 2013; Wahyunto et al. 2013b). Jenis tanaman
perkebunan yang dibudidayakan meliputi kelapa sawit, karet, kelapa, dan kopi. Kelapa sawit
dan karet merupakan komoditas perkebunan yang paling luas diusahakan masyarakat.

KESIMPULAN
Lahan gambut memiliki kekayaan biodiversity, fungsi serta peranan hutan rawa gambut
yang menjaga dan pengatur proses berlangsungnya keseimbangan lingkungan kehidupan
seperti reservoir air, rosot dan simpanan karbon serta lingkungan untuk kesejahteraan
manusia, kita juga dapat mengetahui sifat karakteristik dari lahan gambut seperti, tipologi
lahan adanya subsidensi, sifat irreversible drying, tata air di lahan gambut, pengembangan
jenis pohon yang sesuai di setiap tipologi, dan lainlain sebagai dasar pengetahuan dalam
pengelolaan hutan rawa gambut yang lestari.
Pengelolaan atau pemanfaatan lahan gambut yang kurang tepat akan menimbulkan
dampak yang sangat besar terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi. Oleh karena itu,
pengelolaan secara bijaksana harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial,
ekonomi dan budaya maupun fungsi ekologi secara lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan Subika, I.G.M. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai penelitian dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. 40
hal.

Hartatik, W., Subiksa. I. G.M., dan A. Dariah. 2004. Sifat Kimia, Biologi dan Fisik Tanah
Gambut. Diterbitkan pada Buku Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementrian Pertanian. 2011. Hal. 45-56.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.
Bogor. 591 hal.

Anda mungkin juga menyukai