Anda di halaman 1dari 11

Nama : Dewi Sari Eunike siallagan

Nim : 180301033

M.K: Pengelolaan air untuk pertanian

PENGELOLAAN AIR PADA LAHAN GAMBUT

DI KALIMANTAN TENGAH

1.1 Latar Belakang

Gambut adalah suatu ekosistem yang terbentuk karena adanya produksi


biomassa yang melebihi proses dekomposisinya. Menurut peraturan pemerintah
Nomor 71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut,
gambut didefinisikan sebagai material organik yang terbentuk secara alami dari
sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi pada
rawa. Ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu
kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya (Setneg. 2014a).

Tanah gambut disebut juga sebagai Histosols (histos = tissue = jaringan;


Sols = Tanah), sedangkan dalam sistem klasifikasi tanah nasional tanah gambut
disebut Organosols (tanah yang tersusun dari bahan organik). Menurut
BBPPSLP (2011) tanah gambut didefinisikan sebagai tanah yang terbentuk dari
timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun
belum. Tanah gambut mengandung maksimum 20 % bahan organik apabila
kandungan bagian tanah berbentuk clay mencapai 0 %; atau maksimum 30 %
bahan organik, apabila kandungan clay 60 %, dengan ketebalan lahan organik
50 cm atau lebih.

Negara Indonesia memiliki lahan gambut terluas diantara negara-negara


di Asia Tenggara. Luas lahan gambut di Asia Tenggara adalah lebih dari 24 juta
hektar atau sekitar 12 % dari luas keseluruhan kawasan Asia Tenggara(CKPP.
2008; Dohong et al., 2017). Lahan gambut Indonesia tersebar di 3 pulau utama,
yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Tanah gambut berdasarkan klasifikasi tanah (taksonomi tanah) termasuk


dalam ordo Histosol (Soil Survey Staff 2010), yang berasal dari bahasa Yunani,
histos yang berarti jaringan. Tanah gambut dicirikan oleh adanya lapisan gambut
dengan ketebalan lebih dari 40 cm dan mengandung bahan organik lebih dari
30% jika fraksi mineralnya mengandung lempung sebesar 60%, atau
mengandung bahan organik lebih dari 20% jika fraksi mineralnya tidak
mengandung lempung. Pengelompokan tanah gambut dapat dilakukan dari
berbagai sudut pandang. Sifat fisika tanah gambut, khususnya hidrolikanya
ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan organiknya. Pengelompokan gambut
berdasarkan tingkat dekompoisi bahan organik dan berat volume menghasilkan
tiga macam gambut, yakni (1) fibrik, (2) hemik, dan (3) saprik (Rieley et al. 1996,
Adimihardja et al. 1998). Gambut fibrik adalah gambut yang tingkat
kematangannya paling rendah, sehingga masih banyak mengandung serabut
yakni >66%.

1
Luas total lahan gambut Indonesia adalah 14.905.574 Ha (BBPPSLP.
2011) Lahan gambut memiliki fungsi ekosistem yang sangat penting. Paling tidak
ada 4 fungsi kawasan gambut yaitu:

1. sebagai penyerap karbon,


2. gambut sebagai penyangga air,
3. tempat hidup berbagai jenis flora dan fauna yang unik, dan
4. tempat mencari mata pencaharian bagi masyarakat yang tinggal
disekitarnya.

Lahan gambut di wilayah pesisir memiliki permasalahan kompleks terkait


interaksi lingkungan di dalamnya sehingga sangat rentan untuk mengalami
kerusakan (Miloshis & Fairfield, 2015). Kerusakan lahan gambut di Asia
Tenggara telah menyebabkan pelepasan karbon yang signifikan (Wit et al.,
2015). Di Indonesia kerusakan fungsi ekosistem gambut ini umumnya terjadi
akibat dari pengelolaan lahan yang keliru berupa pemilihan aktivitas di kawasan
gambut yang tidak sesuai dengan karakteristik lahan gambut, seperti perkebunan
sawit dan konversi lahan gambut menjadi sawah. Hal ini mengakibatkan
pengurasan air di kawasan gambut yang berakibat kekeringan (kering tak balik)
pada tanah gambutnya dan membuat tanah tersebut menjadi rentan akan
kebakaran.

Menurut klasifikasi tanah, lahan gambut masuk ke dalam taksonomi histosol


yaitu tanah yang berasal dari bahan organik (Soil Survey Staff, 1999). Barchia
(2012) menyatakan bahwa lahan gambut dikategorikan ke dalam lahan marginal.
Lahan gambut mempunyai berbagai macam tipe, berdasarkan ketebalan lapisan
gambut bahan organik pembentuk gambut. Gambut dapat diklasifikasikan
menjadi 4 yaitu (1). Gambut dangkal adalah lahan gambut dengan ketebalan
lapisan bahan organik antara 50-100 cm, (2). Gambut tengahan adalah lahan
gambut dengan ketebalan lapisan bahan organik antara 100-200 cm, (3).
Gambut dalam adalah lahan gambut dengan ketebalan lapisan bahan organik
antara 200-300 cm, dan (4). Gambut sangat dalam adalah lahan gambut dengan
ketebalan lapisan bahan organik > 300 cm (Barchia, 2012).

Lahan gambut memberikan manfaat dan fungsi bagi masyarakat untuk


ketahanan lingkungan berupa ekologi, ekonomi dan sosial. Ketiga komponen
ketahanan lingkungan ini dapat diwujudkan dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelestariannya. Lahan gambut merupakan salah satu
kekayaan alam yang dianugerahi oleh Sang Pencipta untuk dikelola dan
digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan manusia. Jaya (2018)
melaporkan bahwa alam dan kesuburan bumi Indonesia merupakan modal
pembangunan yang harus dirawat dan dipertahankan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakat. Lahan gambut juga dapat menghasilkan panas
bumi yang menjadi sumber ketahanan

Tanah gambut tropika terbentuk melalui proses paludifikasi yaitu penebalan


gambut karena tumpukan bahan organik dalam keadaan tergenang air. Bahan
utama gambut tropika adalah biomassa tumbuhan, terutama pohon-pohonan.
Karena bahan dan proses pembentukan yang khas, maka sifat tanah gambut
sangat berbeda dari sifat tanah mineral. Gambut yang tebal (dalam) dominan
dibentuk oleh bahan organik, sedangkan gambut dangkal (tipis) dibentuk oleh
bahan organik bercampur tanah mineral, terutama liat. Semakin dalam tanah
gambut dan semakin jauh lahan gambut dari sungai, maka semakin sedikit
pengaruh tanah mineral dan semakin tinggi kandungan bahan organiknya.

2
Kandungan bahan organik di lapisan permukaan suatu kubah gambut bisa
mendekati 100% dan dengan demikian kandungan karbon (C) organiknya bisa
mencapai 60% dari berat keringnya. Untuk dapat digolongkan sebagai tanah
gambut, kandungan C organiknya minimal 12% dan ketebalan gambutnya
minimal 50 cm (Subagyo, 2006).

Provinsi Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi di Indonesia yang


memiliki kawasan lahan gambut terluas, yaitu sekitar 3 juta ha yang tersebar
sepanjang S. Mentaya, S. Kahayan, S. Kapuas, dan S. Barito (BRG. 2017).
Akibat kegiatan konsesi serta konversi/pembukaan kawasan hutan untuk
peruntukan lain dan bencana alam seperti kebakaran yang menimbulkan
dampak negatif kepada lingkungan maka kondisi hutan gambut mengalami
kerusakan yang cukup parah sehingga upaya pemulihan hutan gambut dengan
kegiatan restorasi ekosistem gambut patut diapresiasi dan diupayakan secara
maksimal pelaksanaannya.

1.2 Permasalahan dan kerusakan lahan gambut di Kalimantan tengah

Permasalahan kerusakan gambut di Kalimantan Tengah secara historis


dimulai dari pembukaan lahan pasang surut, pembukaan lahan transmigrasi,
penebangan kayu hutan. Perusakan itu dilakukan secara formal oleh pemerintah
dan informal oleh masyarakat setempat. Salah satu contoh yang paling besar
dari sisi luasan maupun kegagalannya adalah kegiatan Pengembangan Lahan
Gambut (PLG) yang bertujuan mengkonversi 1 juta Ha menjadi lahan sawah.
Produksi padi nampaknya hanya cocok dilakukan pada sebagian kecil dari
seluruh areal. Meskipun demikian, sebagian besar tumbuhan kayu diatasnya
telah ditebangi. Kegagalan PLG telah menyebabkan banyak penduduk yang
kemudian pindah kembali ke daerah asalnya.Sementara itu masyarakat yang
memutuskan untuk tetap tinggal kemudian harus menghadapi resiko banjir yang
dihasilkan sangat rentan terhadap kebakaran hutan.

Disamping permasalahan tersebut, juga terdapat permasalahan lain,


seperti penurunan permukaan tanah dan oksidasi yang berlangsung secara
cepat di lahan gambut dari tanah yang mengalami subsiden (CKPP, 2008). Fakta
menunjukkan bahwa lahan di pulau Kalimantan yang telah dikeringkan dan telah
banyak ditebang pohonnya menjadi lokasi paling sering terjadi kebakaran hutan.
Hal ini merupakan dampak utama akibat kerusakan lahan gambut di Kalimantan
Tengah. Menurut analisis data riwayat kebakaran dari Global Forest Watch Fires

(2015) menegaskan bahwa kebakaran cenderung terkonsentrasi pada


konsesi pertanian dan lahan gambut. Sebagian besar wilayah pesisir bergambut
di selatan pulau Kalimantan memiliki konsentrasi kebakaran hutan yang tinggi.
Dengan jumlah

Kebakaran yang tinggi menyebabkan jumlah pohon semakin berkurang.


Jumlah pohon berkurang dapat menyebabkan peningkatan sedimen tersuspensi
dan transpor kontaminan ke perairan pesisir. Berpotensi pada akumulasi
kontaminan dalam biota perairan, penurunan kesehatan masyarakat pantai dan
kemungkinan turunnya kontribusi sektor perikanan (Arifin & Ismail 2013). Hal ini
mengindikasikan bahwa ada masalah dalam pengelolaan sumber daya alam
pada wilayah tersebut. Identifkasi masalah yang tepat pada wilayah pesisir akan
menghasilkan bentuk pengelolaan yang baik, yang akan menjamin terciptanya
kelestarian fungsi sumber daya itu sendiri (Amri et al., 2017). Makalah ini
mencoba untuk memberi suatu usulan alternatif upaya pengelolaan wilayah

3
gambut di desa-desa pesisir, khususnya di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG)
Sungai Katingan - Sungai Mentaya Provinsi Kalimantan Tengah.

Kerusakan fungsi ekosistem gambut terjadi akibat dari pengelolaan lahan


yang salah dengan pemilihan komoditas bisnis yang tidak sesuai dengan
karakteristik lahan gambut. Hal ini diperparah dengan pengurasan air gambut
yang berakibat kekeringan (kering tak balik) pada gambutnya itu sendiri yang
saat ini sebagai pemicu kebakaran. Fakta dilapangan menunjukkan kebakaran
yang terjadi hampir setiap tahun dengan luasan yang selalu bertambah
merupakan kenyataan bahwa gambut tidak lagi dalam kondisi alaminya atau
sudah mengalami kerusakan.

Bahaya kebakaran lahan gambut merupakah salah satu bencana yang


menjadi perhatian semua pihak secara nasional karena memiliki dampak
kerugian bagi masyarakat nasional dan regional. Data 5 tahun terakhir 2014-
2018 menunjukkan bahwa setiap tahun terjadi kebakaran gambut. Puncaknya
tahun 2015 seluas 2.611.411,44 Ha dan tahun 2018 seluas 510.564,21 Ha
(Direktorat PKHL Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI,, 2019).

Kekeliruan pemanfaatan hutan rawa gambut yang dimulai dari eksploitasi


hutan berlebih, pembukaan lahan untuk transmigran dan sebagainya, telah
menyebabkan kemiskinan luar biasa bagi masyarakat lokal dan transmigran.
Usaha tradisional masyarakat lokal khususnya suku Dayak yang telah
diandalkan sebagai penopang ekonomi secara berkelanjutan, menjadi rusak
hingga hilang atau tidak lagi produktif seperti sebelumnya. Ganti rugi terhadap
kerugian usahatani masyarakat sesungguhnya bukan suatu penyelesaian yang
mampu menjamin kestabilan ekonomi rumah tangga masyarakat, karena nilai
jangka panjang kegiatan produksi masyarakat yang telah dan akan dilakukan
secara turun-temurun tidak akan tergantikan. Perubahan ekosistem yang
menyebabkan kemiskinan tersebut disebabkan pemerintah tidak
mempertimbangkan pengetahuan lokal (local knowledge) yang telah ramah
terhadap lingkungan.

4
1.3 Program dan langkah Pencegahan kerusakan lahan gambut

Pemanfaatan lahan gambut yang lebih masif untuk memasok bahan


pangan dipicu oleh (1) laju alih fungsi lahan pertanian, (2) pertambahan jumlah
penduduk, dan (3) keinginan menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan
duni. Kondisi ini mengharuskan adanya usaha untuk meningkatkan kapasitas
produksi pangan lahan gambut melalui pemanfaatan lahan dan penerapan
teknologi. Mengandalkan lahan gambut sebagai pemasok bahan pangan pada
masa mendatang didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu (1) produktivitas
masih rendah, (2) lahan potensial masih luas, (3) indeks pertanaman (IP) masih
rendah, (4) lahan terdegradasi yang potensial masih luas, (5) pola produksi
bahan pangan di lahan gambut bersifat komplementer dengan pola produksi
bahan pangan di Pulau Jawa, dan (6) kompetisi pemanfaatan lahan untuk tujuan
nonpertanian relatif rendah (Masganti 2013).

Dampak dari kebakaran hutan bagi lingkungan sangatlah besar


diantaranya kerusakan ekologi, turunnya keanekaragaman sumber daya hayati
beserta ekosistemnya, hingga menurunnya kualitas udara. Tidak hanya bagi
lingkungan saja, dampak kebakaran hutan juga menjadikan beberapa aspek
menjadi menurun, mulai dari fisik maupun non fisik, secara langsung maupun
tidak langsung pada berbagai bidang maupun sektor, skala lokal, nasional,
regional, maupun global. Contoh aspek yang mengalami penurunan kualitas
yaitu aspek kesehatan yang disebabkan karena penurunan kualitas lingkungan
hidup (kesuburan lahan, biodiversitas, pencemaranudara, dst.). Masalah lain
yang tidak kalah penting yaitu pemanasan suhu bumi, sedangkan dalam skala
regional dan nasional lebih ditingkatkan pada dampak perubahan iklim.

Produktivitas lahan gambut sangat tergantung dari pengelolaan dan


tindakan manusia. Lahan gambut dikenal sebagai lahan yang rapuh atau rentan
terhadap perubahan karakteristik yang tidak menguntungkan. Pengelolaan lahan
gambut perlu hati-hati agar tidak terjadi perubahan karakteristik yang
menyebabkan penurunan produktivitas lahan, apalagi menjadi tidak produktif.
Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan lahan
gambut adalah tingkat ketebalan gambut tersebut. Menurut Harjowigeno (1997),
Adimihardja et al. (1998) dan Wahyunto et al. (2014) lahan gambut dengan
ketebalan 50-100 cm tergolong lahan gambut dangkal/tipis. Semakin tebal
gambut, semakin rendah potensinya untuk budidaya tanaman pangan.

Adapun program pencegahan yang dilakukan yaitu:

- Penerapan kebijakan pemetaan terpadu kesatuan hidrologis gambut (one


map policy)
- Penetapan fungsi lindung dan fungsi budidaya ekosistem gambut
- Pelaksanaan evaluasi dan audit perizinan pemanfaatan lahan gambut
yang telah dikeluarkan
- Penyelamatan lahan gambut bekas kebakaran dengan pemulihan
ekosistem gambut
- Peningkatan kapasitas pengendalian dan pengawasan pemanfaatan
lahan ekosistem gambut

Langkah pencegahan yang dilakukan yaitu :

1. Peningkatan Kapasitas Masyarakat


2. Penataan ulang pemanfaatan ekosistem gambut:

5
- Tidak ada pembukaan lahan baru untuk eksploitasi lahan gambut.
- Zonasi kawasan lindung dan kawasan budidaya.
- Tata kelola air melalui pendekatan ekohidro.
- Penataan ulang Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja
Tahunan (RKT) untuk dunia usaha.
- Pengamanan areal kerja untuk mengurangi resiko kebakaran bagi dunia
usaha.
- Tidak ada izin baru.
- Tanaman kayu alternatif sumber serat misalnya gerunggang (Cratoxylon
arborescens)
3. Silvikultur
4. Agroforestry
5. Pengkayaan vegetasi untuk suksesi
6. Rewetting (pembasahan kembali) dengan kanal blocking atau teknologi
lain untuk menahan air pada saat-saat tertentu (diawali dengan rappid
assessment)
7. Membuat embung di kawasan rawan kebakaran

Petani banyak memanfaatkan gambut tipis untuk budidaya tanaman pangan


dan hortikultura dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya (Masganti dan
Yuliani 2009). Bahkan diperkirakan 50-60% produksi tanaman pangan dan
hortikultura dihasilkan dari lahan ini, sehingga sangat potensial menjadi pemasok
bahan pangan pada masa mendatang. Pemanfaatan lahan gambut tipis untuk
memasok bahan pangan yang lebih masif, memerlukan informasi tentang potensi
dan pemanfaatannya untuk tanaman pangan dan hortikultura.

Pembentukan gambut di wilayah tropika bermula dari adanya genangan di


daerah rawa, danau maupun cekungan yang didukung oleh curah hujan yang
tinggi sehingga proses pencucian basa-basa dan pemasaman tanah
berlangsung intensif diikuti dengan penurunan aktivitas jasad renik perombak
bahan organik (Rieley et al. 1996). Gambut yang terbentuk di daerah rawa
belakang sungai terisi oleh limpasan air sungai yang membawa bahan erosi dari
hulunya, sehingga timbunan gambut bercampur dengan bahan mineral disebut
gambut topogen yang biasanya relatif subur.

Menurut Noor et al. (2015) pembentukan gambut merupakan proses


transformasi dan translokasi. Proses transformasi merupakan proses
pembentukan biomassa dengan dukungan nutrisi terlarut, air, udara, dan radiasi
matahari. Proses translokasi merupakan pemindahan bahan oleh gerakan air
dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah dan oleh gerakan
angin (udara) akibat perbedaan tekanan. Akibat proses pembentukan biomasa
dari sisa tumbuhan setempat lebih cepat dari proses perombakannya, maka
terbentuklah lapisan bahan organik dari waktu ke waktu.

1.4 Pengelolaan air pada lahan gambut di Kalimantan tengah

Pengelolaan tata air di lahan gambut merupakan faktor kunci terwujudnya


sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Perubahan penggunaan lahan
khususnya dari hutan gambut menjadi lahan pertanian perlu disertai dengan
tindakan drainase, karena dalam kondisi alaminya gambut dalam keadaan
tergenang, sementara sebagian besar tanaman budidaya tidak tahan genangan.
Oleh karena itu, tujuan utama dilakukannya drainase adalah untuk menurunkan
muka air tanah, sehingga tercipta kondisi aerob, minimal sampai kedalaman

6
perakaran tanaman yang dibudidayakan, sehingga kebutuhan tanaman akan
oksigen bisa terpenuhi. Tujuan lain dari dilakukannya drainase pada lahan
gambut adalah untuk membuang sebagian asam-asam organik yang dapat
meracuni tanaman. Oleh karena itu, meskipun jenis tanaman yang
dikembangkan pada lahan gambut merupakan tanaman yang bisa tumbuh dalam
kondisi tergenang misalnya padi, namun tindakan drainase masih perlu dilakukan
agar konsentrasi asam organik berada pada tingkat yang tidak meracuni
tanaman. Tindakan drainase juga bisa berdampak terhadap terjadinya perbaikan
sifat fisik tanah. Dalam kondisi tergenang, tanah gambut dalam kondisi lembek
sehingga daya menahan bebannya menjadi rendah.

Setelah didrainse kondisi gambut menjadi lebih padat, selain akibat


pengurangan kadar air, peningkatan daya menahan beban juga terjadi karena
proses pemadatan. Penurunan permukaan lahan gambut yang senantiasa
menyertai proses drainase salah satunya diakibatkan oleh proses pemadatan
(konsolodasi) tanah gambut.

Lahan gambut merupakan lahan yang terkait dengan proses penyerapan


air hujan, oleh karenanya data curah hujan menjadi sangat penting. Curah hujan
adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah selama periode tertentu dan
diukur dengan satuan tinggi (mm atau inchi) di atas permukaan horizontal bila
tidak terjadi evaporasi, run off dan infiltrasi (Lakitan, 1994). Curah hujan
merupakan salah satu elemen/ unsur iklim yang penting diketahui karena selain
akan menggambarkan informasi musim di sekitar KHG juga akan memberikan
informasi terkait dengan resiko kebakaran di suatu KHG. Selain itu informasi
iklim dapat dijadikan sebagai bahan informasi dalam memberikan arahan untuk
tindakan Revitalisasi terutama dalam menentukan jenis komoditas yang sesuai
dan dapat diusahakan pada KHG yang bersangkutan (BRG, 2017)

Pengaturan tata air pada lahan gambut harus mempertimbangkan


beberapa karakteristik gambut yang sangat spesifik, diantaranya kemampuan
gambut yang sangat tinggi dalam menyerap air (bersifat hidrofilik) bisa berubah
menjadi hidrofobik (menolak air), jika gambut telah mengalami proses kering tak
balik (irreversible drying). Kondisi ini terjadi jika gambut mengalami kekeringan
yang sangat ekstrim. Menurut Sabiham (2000) menurunnya kemampuan gambut
menyerap air berkaitan dengan menurunnya ketersediaan senyawa yang bersifat
hidrofilik dalam bahan gambut, yaitu karboksilat dan OH-fenolat. Kedua
komponen organik ini berada pada fase cair gambut, sehingga bila gambut
dalam keadaan kering (akibat proses drainase yang berlebih), sifat hidrofilik dari
tanah gambut menjadi tidak berfungsi.

Oleh karena itu, prinsip utama dari pengaturan tata air di lahan gambut
yang dibudidayakan untuk tanaman pertanian adalah harus mampu menekan
terjadinya penurunan fungsi lingkungan dari lahan gambut akibat dilakukannya
proses drainase/ penurunan muka air tanah, namun tetap bisa memenuhi syarat
tumbuh tanaman yang dibudidayakan. Oleh karena itu, tinggi muka air tanah
harus diatur sampai batas minimal dimana tanaman masih mampu tumbuh
dengan baik. Artinya tinggi muka air tanah harus diatur supaya tidak terlalu
dangkal dan tidak terlalu dalam. Hal ini dapat dilakukan jika tersedia fasilitas
pengendali berupa pintu air di setiap saluran, terutama jika pengembangan lahan
gambut dilakukan dalam skala luas.

Pengelolaan air pada lahan gambut mutlak diperlukan karena dalam


kondisi alami/ tidak terganggu, gambut selalu tergenang. Pengelolaan air dapat

7
dilakukan dengan menggunakan pintu-pintu air (canal blocking) pada saluran
drainase, salah satunya dengan sistem tabat yang berfungsi untuk mengatur
tinggi muka air tanah sesuai dengan keperluan tanaman. Pengelolaan air dimulai
dengan menahan air/tabat pada saat pembukaan lahan sebelum dibuat saluran-
saluran drainase agar terhindar dari drainase berlebihan yang dapat
menyebabkan gambut menjadi kering tak balik (Furukawa, 2005).

Menurut Widjaja Adhi et al. (2000) pengelolaan air di lahan gambut lebih
sulit dilakukan, karena gambut memiliki konduktivitas hidrolik horizontal tinggi.
Namun demikian pengelolaan air harus tetap dilakukan manakala lahan gambut
tersebut digunakan sebagai lahan budidaya. Prinsip pengelolaan air di lahan
gambut adalah mengatur permukaan air tanah agar tanah tidak terlalu jenuh air
dan tidak terlalu kering untuk menghindari gambut mengering tidak balik.
Berkaitan dengan hal tersebut fluktuasi tinggi muka air pada lahan gambut perlu
tetap dipertahankan secara optimal disesuaikan dengan jenis tanaman yang
dibudidayakan.

Secara umum tinggi muka air pada lahan gambut sebaiknya untuk
budidaya tanaman pangan kecuali padi adalah berkisar 20 cm, sedangkan untuk
tanaman tahunan berkisar 40 - 60 cm dari permukaan tanah. Dengan
menerapkan teknologi pengelolaan air yang tepat terutama untuk menjaga
fluktuasi tinggi muka air tanah yang optimal maka dampak negatif pemanfaatan
lahan gambut untuk pertanian dapat direduksi seminimal mungkin. Tulisan ini
membahas dinamika tinggi muka air lahan gambut ditinjau dari keragaman antar
tempat (spasial) dan keragaman antar waktu (temporal) pada demplot penelitian
ICCTF lokasi Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Pemasangan tabat pada muara saluran dapat mempertahankan


cadangan air pada lahan di sekitarnya. Namun pada kenyataannya pembuatan
saluran drainase tidak selalu dibarengi dengan pemasangan pintu-pintu air,
sehingga pembukaan lahan gambut akan menimbulkan dampak terhadap tanah
dan lingkungan. Oleh karena itu, pemasangan pintu air bersamaan dengan
pembuatan saluran drainase perlu dilakukan dan merupakan komponen penting
dalam pengaturan tata air. Misalnya sistem tata air yang sesuai dan teruji baik di
lahan pasang surut adalah sistem aliran satu arah dan sistem tabat. Pada lahan
dengan tipe luapan A, pengelolaan air dilakukan dengan sistem aliran satu arah,
sedangkan pada lahan bertipe luapan B dengan sistem aliran satu arah dan
tabat, karena pada musim kemarau air pasang seringkali tidak masuk ke petakan
lahan. Sistem tabat juga diterapkan pada lahan dengan tipe luapan C dan D.
Sumber air hanya berasal dari hujan sehingga pengelolaan air ditujukan untuk
konservasi. Penerapan sistem ini disesuaikan dengan tipe luapan dan komoditas
yang ingin diusahakan.

Pada sistem tata air satu arah, dipasang pintu-pintu air otomatis (flapgate) pada
muara saluran tersier. Pintu air pada saluran irigasi dirancang secara semi
otomatis hanya membuka bila air pasang dan menutup bila air surut. Pada
saluran drainase dipasang pintu air yang membuka keluar sehingga hanya akan
mengeluarkan air yang masuk tersier apabila terjadi surut. Air yang masuk
melalui saluran irigasi ke dalam petak-petak persawahan didistribusikan dalam
satu arah untuk kemudian keluar melalui saluran drainase. Selanjutnya pada
pintu-pintu kuarter dipasang pengatur air (stoplog) yang dapat dibuka dan ditutup
secara manual apabila diperlukan.

8
Gambar 1. Skema sistem aliran satu arah (Sumber: Subagyono et al., 1999)

Sistem tata air satu arah memungkinkan beragam pola tanam dengan
pengelolaan air pada petak lahan. Pengelolaan air sistem aliran satu arah ini
dapat mengakomodir pertanaman padi dua kali setahun, baik pola padi-padi
maupun padipalawija atau palawija-palawija, karena irigasi secara kontinyu dapat
dilakukan. Untuk mendukung pengembangan pola padi-palawija perlu dibuat
kemalir dengan interval jarak 2,5-5 m. Sedangkan untuk pola palawija-palawija di
lahan bertipe luapan B harus disertai drainase dangkal dengan membuat saluran
keliling di petakan lahan secara berlapis. Sistem ini dirancang untuk dapat
menurunkan muka air tanah antara 0,4-0,6 m dari permukaan tanah. Pada
sistem ini dibuat beberapa saluran dangkal pada jarak 10 m dengan ukuran
saluran 0,6 m x 0,4 m. Gambar 8 memperlihatkan pola tanam padi-padi dan
padi-palawija pada lahan tipe luapan B di kawasan PLG Desa Rawa Makmur C3
Dadahup, Kalimantan Tengah.

Gambar 2. Pengelolaan air sistem satu arah (Balittra, 2009)

Pengelolaan air pada skala petakan lahan yang di dalamnya terdapat


goronggorong (pipa PVC dengan tutupnya atau berbahan kayu/papan)
dimaksudkan untuk memperlancar aliran air masuk dan keluar petakan sehingga
mempermudah pencucian dan meningkatkan kualitas air (Gambar 9). Selain itu,
pengelolaan air dimaksudkan untuk mendukung penerapan berbagai pola tanam.
Saluran cacing/kemalir dan saluran keliling pada petakan lahan dibuat dengan
ukuran 25-30 cm x 25-30 cm dan jaraknya antara 3 sampai 12 m, tergantung

9
pada sifat tanah atau tingkat masalah fisiko-kimia lahan dan tipe luapan air serta
pola tanam yang akan dikembangkan. Untuk berbagai jenis tanaman pangan
dilahan gambut, pembuatan saluran drainase sedalam 10-50 cm. Khusus padi
sawah memerlukan saluran sedalam 10-30 cm (Agus dan Subiksa, 2008).

Transek elevasi muka air tanah yang merepresentasikan posisi antara


saluran sekunder, penyebaran di lahan dan saluran tersier menunjukkan bahwa
semakin jauh posisi piezometer dari saluran, elevasi muka air tanah semakin
tinggi (Gambar10). Berdasarkan data pengamatan antara 9 September dan 28
Oktober menunjukkan penurunan muka air yang terjadi pada saluran sekunder
(PS) cukup besar yaitu 120 cm. Kondisi tersebut disebabkan saluran sekunder
pada demplot ICCTF Jabiren selain salurannya sangat dalam dengan gradien
cukup tinggi juga berfungsi sebagai sarana transportasi sehingga tidak
memungkinkan dipasang pintu air sehingga pergerakan air sangat cepat yang
menyebabkan penurunan muka air relatif cepat mengikuti pola fluktuasi aliran
bebas yang sangat berhubungan erat dengan pola fluktuasi curah hujan.
Sedangkan sensitivitas perubahan tinggi muka air saluran tersier dan lahan
sangat rendah karena selain kedalaman salurannya relatif dangkal tetapi juga
tersekat oleh pintu tabat yang memisahkannya dengan saluran sekunder,
sehingga laju fluktuasi muka airnya hanya mengikuti pergerakan air ke dalam
tanah secara vertikal dan lateral

10
DAFTAR PUSTAKA

Dariah Ai dan Siti Nurzakiah, 2018 pengelolaan tata air lahan gambut. Panduan
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

Hendri Sosiawan , Budi Kartiwa, Wahyu Tri Nugroho dan Haris Syahbuddin,
2017 variasi temporal dan spasialtinggi muka air tanah gambut lokasi
demplot icctf jabiren kalimantan tengah, 14(2) : 68-82

Marlina Sari, 2017 Pengelolaan Ekosistem Gambut Pasca Kebakaran Lahan


Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah. Media Ilmiah Teknik
Lingkungan, 2 (1) 26-30

Masganti, Khairil Anwar, 2017 Maulia Aries Susanti Potensi dan Pemanfaatan
Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian 907-0799

Ramdhan Muhammad , 2018 Zaenal Arifin Siregar. Pengelolaan wilayah gambut


melalui pemberdayaan masyarakat desa pesisir di kawasan hidrologis
gambut sungai katingan dan sungai mentaya provinsi kalimantan tengah.
Segara 14 (3)

Sudiana Nana ,2019 studi muka air tanah gambut dan implikasinya terhadap
bahaya kebakaran lahan gambut di kesatuan hidrologi gambut (khg)
kahayan- sebangau di kalimantan tengah. Jurnal Sains dan Teknologi
Mitigasi Bencana, 14,(1)

11

Anda mungkin juga menyukai