Anda di halaman 1dari 9

Hak Masyarakat Adat

dalam Pengelolaan Hutan

Fakta Isu
Identifikasi hutan adat di kawasan Rinjani baik yang dilakukan oleh tim kaji lapangan,
tim Kaji Kebijakan PAR Rinjani maupun mendasarkan sumber dari YPMP dan Koslata,
menunjukkan bahwa lokasi hutan adat yang diakui oleh masyarakat tersebar di beberapa
desa di Kabupaten Lombok Barat dan satu desa di Kabupaten Lombok Timur.
No
1
2
3
4

Desa
Sajang
Bentek
Senaru
Bayan

Kabupaten
Lombok Timur
Lombok Barat
Lombok Barat
Lombok Barat

Jumlah
1
3
2
8

Sukadana

Lombok Barat

Sambik Elen Lombok Barat

7
8

Rempek
Loloan

Lombok Barat
Lombok Barat

3
2

9
10
11

Akar-akar
Lombok Barat
Salut
Lombok Barat
Mumbul Sari Lombok Barat

1
1
2

Lokasi
Lepeng Bajur
Baru Murmas, Bebekeq, Pawang Buani
Pawang Senaru, Lokok Megaksi
Sangga, Sempopo, pawang Mandala,
Bangket Bayan, Tiu rarangan, pawang
Marjani, Pawang Singang Barat,
Pawang lokok Bajo
Semokan, Baban Kuta, Sembagek, Batu
tepak, Batu Pengempokan
Pawang Lokok Tebi, Pawang Satinggi
Daya, Pawang Lawangan, Pawang
Lebok, ...
Aur Kuning, pawang Kuripan, Makam
Pawang Gedeng Lauk, Pawang Lokok
Getak
Pawang Tenun
Pawang Singan
Pawang Timpas, pawang Selangu

Dalam perspektif masyarakat adat, proses pembangunan kehutanan selama ini belum
mengakomodasi dan mengakui hak-hak masyarakat adat. Masyarakat adat di Lombok
memandang hutan pada dasarnya terbagi dalam dua kawasan yakni pawang dan gawah.
Pawang merupakan kawasan hutan yang dikeramatkan dimana terdapat sekumpulan
pepohonan besar yang biasanya terdapat sumber mata air sehingga tidak dapat diganggu
sama sekali. Sedangkan kawasan gawah merupakan daerah dimana terdapat pepohonan

dan aneka satwa sebagai tempat berburu dapat dikelola dan dipetik hasilnya secara lestari
atas ijin dari Pemangku.
Dalam kesederhanaan cara pandang terkandung kearifan terhadap lingkungan yang
mendalam. Penggolongan suatu kawasan hutan sebagai pawang merupakan mekanisme
untuk melindungi dan melestarikan fungsi hutan sebagai water catchment area (daerah
tangkapan air) yang dalam bahasa pemerintah termasuk sebagai kawasan hutan lindung.
Sedangkan Gawah merupakan kawasan hutan yang menjadi salah satu sumber
penghidupan yang dimanfaatkan dan diambil hasilnya seperlunya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan jauh dari niatan eksploitasi untuk dijual ke pasar dan
komoditisasi.

Pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat disamping dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat juga untuk menopang keberlangsungan kelembagaan
adat itu sendiri. Misalnya
di Senaru dikenal adanya Ketidakjelasan status Hutan Sajang
Tanaq
Urip
Gubug
berupa beberapa bidang Kawasan hutan Lepeng Bajur seluas 50 Ha di Sajang dalam realitas ternyata
masih belum jelas statusnya. Dishutbun Lotim meyakini pernah melihat
sawah milik komunitas dokumen peta tahun 1905 tentang pengukuhan batas hutan yang dibuat
adat yang digarap oleh Belanda dalam bentuk tulisan tangan (berada di Dishutbun propinsi)
memasukkan Sajang ke dalam kawasan lindung. Disamping itu, lokasi hutan
warga
yang
hasil Sajang terletak pada topografi yang relatif curam dan elevasi cukup tinggi
panennya diperuntukkan sehingga seharusnya wilayah tersebut dipertahankan sebagai kawasan lindung
dan reservoir air (berdasarkan UU no 5 tahun 1990 dan UU 23 tahun 1997).
bagi
penggarap, Sedangkan menurut masyarakat, berdasarkan PAL batas yang menunjukkan
kawasan hutan Sajang berada di luar kawasan TNGR, maka kawasan ini
Pemangku dan biaya termasuk sebagai hutan adat.
upacara adat. Sayangnya,
Ironisnya, dari proses penggundulan hutan selama 10 tahun belakangan ini
pemerintah selama ini menunjukkan bahwa status hutan adat ini tidak diakui oleh Pemkab sebagai
belum
mengakui hutan adat. Bukannya kepada lembaga adat di Sajang, perintah tertulis Bupati3
Lotim (A. Kadir) sekitar tahun 1994/1995 yang meminta kayu sebesar 100 m
keberadaan hutan adat untuk pembangunan PHI Selong, tertuju kepada Camat dan Kades. Namun
kenyataannya, penebangan kayu diperkirakan mencapai 1.800 m 3.
sehingga sumber daya dalam
Pembengkakan jumlah volume kayu yang ditebang disebabkan oleh:
alam
utama
yang
1. Penggunaan sistem tebang kadas, dimana upah penebang
didapatkan dalam bentuk kayu yang ditebang.
menopang kelembagaan
2. Adanya oknum aparat yang memanfaatkan surat perintah Bupati
adat menjadi hilang,
untuk melakukan pengambilan kayu untuk kepentingan pribadi
ataupun kelompok.
akibatnya kelembagaan
3. Mekanisme pengawasan dari masyarakat dan kelembagaan adat di
adat semakin melemah
sajang tidak cukup kuat.
seiring dengan perjalanan
Situasi serupa terjadi lagi pada saat dilakukan penebangan kayu untuk
waktu.
pembangunan kantor Polres Lotim yang volume penebangan kayunya sebesar
224 m3. Pada tahun 2000, penebangan dilakukan kembali atas perintah Camat
dengan dalih pembangunan kantor Camat, namun sebagian kayu dijual hingga
volume kayu yang ditebang diperkirakan mencapai 440 m 3. Selain itu juga
dilakukan penebangan oleh petugas kehutanan dengan alasan tidak jelas
sebesar 48 m3. Cemburu terhadap penebangan yang dilakukan Pemda,
masyarakat juga melakukan penebangan untuk keperluan pembangunan
Mushola Sajang dan Sajang utara masing-masing sebesar 8 m 3, Masjid Sajang
12 m3, serta masyarakat umum sebesar 150 m3.

Beberapa wilayah hutan


adat yang termasuk dalam
kawasan hutan negara,
tidak diakui oleh negara.
Seperti
di
Senaru,
Menanggapi kejadian-kejadian tersebut, Dishutbun merasa tidak memiliki
pawang
yang landasan hukum untuk mengatur hutan Sajang, karena tidak ada dokumen
yang jelas tentang hutan Sajang. Kalangan internal Dishutbun sendiri
dikeramatkan,
menyayangkan tidak adanya tindakan dari Dishutbun terhadap kejadian
pengelolaan hutan oleh penggundulan hutan Sajang. Padahal, mendasarkan UU No 41 tentang
kelembagaan adat yakni
mangku alas, dan upacara adat bagi kegiatan pendakian di Rinjani yang tidak diakui oleh
negara maupun kalangan masyarakat lainnya. Di Rempek, selain sebagai tempat untuk
menggantungkan mata pencahariannya, hutan juga dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan
ritual/budaya dan agama. Menurut masyarakat Rempek, hutan adat pada jaman dahulu
juga dipergunakan untuk ladang berpindah oleh masyarakat yang diatur oleh Mangku

termasuk juga cara-cara pembagian hasilnya. Beberapa lokasi yang masih dikeramatkan
oleh masyarakat Rempek saat ini adalah Aur Kuning/Kuripan (tempat khusus untuk
upacara masyarakat Budha) dan Pawang serta Makam di hutan produksi. Dalam pleno
desa Bentek yang dilakukan oleh tim kaji lapangan, salah satu masalah yang diangkat
(sebagaimana di Rempek) menyangkut belum adanya pengakuan pemerintah terhadap
hutan adat Baru Murmas, Pawang Buani, dan hutan adat Bebekeq.
Sementara itu, lokasi hutan Adat yang berada di luar kawasan hutan negara sebagian
besar dikeramatkan oleh masyarakat adat dan tidak ada upaya pemanfaatan hasil
sehingga tidak dapat menjadi sumberdaya utama sebagai penopang keberlangsungan
kelembagaan adat. Akibatnya fungsi kelembagaan adat sebagai penegak awiq-awiq dan
pemberi sangsi melemah yang pada gilirannya membuat kepatuhan masyarakat terhadap
awiq-awiq menjadi kendor. Fenomena ini dapat terlihat pada kasus terjadinya
perambahan hutan oleh masyarakat di sekitar hutan adat Pawang Buani di Bentek dan
semakin menyempitnya wilayah hutan adat di Bayan. Bahkan, upaya pengembangan dan
pelestarian hutan adat Pawang Buani tidak terealisasi karena terbentur dengan pendanaan.
Ironisnya lagi campur tangan negara dalam pengelolaan hutan adat walaupun di luar
kawasan hutan negara semakin memperlemah kelembagaan masyarakat adat. Misalnya di
lokasi hutan adat Sangga di desa Bayan dan Pawang Buani di desa Bentek yang dikenai
SPPT menjadi ancaman bagi keberlangsungan hutan adat tersebut. Demikian pula dengan
hutan adat Lempeng Bajur di Sajang yang menjadi gundul karena aktivitas penebangan
yang diawali atas peritah tertulis Bupati tahun 1994/1995, atas perintah Camat pada tahun
2000, Penebangan oleh Tripika pada tahun 2002, yang kemudian dikapling-kapling dan
diSPPTkan.
Mengapa Isu muncul
Persoalan pengakuan hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat muncul dalam
beberapa bentuk, yakni:
Sengketa tapal batas, dimana dalam pandangan masyarakat, pemerintah keliru dalam
menetapkan pal batas sehingga wilayah hutan adat masyarakat berada dalam kawasan
hutan negara.
Kerusakan hutan adat yang terjadi karena aktivitas penebangan di lokasi hutan adat
(Lempeng Bajur, Sajang) dan di sekitar hutan adat (Pawang Buani di desa Bentek)
Semakin menyempitnya luas hutan adat di Bayan
Semakin melemahnya kelembagaan adat dan pudarnya kepatuhan masyarakat
terhadap awiq-awiq.
Ketersinggungan masyarakat terhadap pengrusakan hutan adat yang dikeramatkan
seperti di lokasi makam Bebekeq

Pemerintah tidak mengakui keberadaan hak masyarakat adat dalam pengelolaan


hutan, sementara lokasi hutan adat tersebut juga seringkali diserahkan konsesinya
kepada swasta, seperti HPH Angka Wijaya, ataupun ataupun HPHTI di Senaru.

Kebijakan yang relevan dengan Isu


Dishutbun Lobar mengakui bahwa beberapa daerah di Lombok Utara memang terdapat
hutan Adat yang disebut sebagai pawang Adat seperti di Semokan, desa Sukadana,
Gumantar dan Pawang Tenun di Akar-akar. Namun menurut Dishutbun Lobar, ke semua
itu berada di luar kawasan, sedangkan di dalam kawasan hutan tidak ada hutan adat.
Pihak Pemda juga menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada kebijakan daerah yang
mengatur prosedur atau tata cara pengajuan pengakuan hak masyarakat adat atas hutan
adat. Padahal, Tim Kaji Kebijakan PAR Rinjani sendiri mendapatkan Permen Agraria/
Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat serta Surat edaran Menhut, Nomor S.75/Menhut-II/2004 perihal
masalah hukum adat dan tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh masyarakat adat.
Dalam peraturan Menteri agraria ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2, hak ulayat
masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:
Terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari
Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Penentuan tentang masih adanya hak ulayat, dilakukan melalui proses sebagai berikut:
Pembentukan Perda yang mengatur penelitian dan penentuan adanya hak ulayat, serta
perwujudan keberadaan tanah ulayat hukum adat yang masih ada
Pembentukan tim penelitian dan penentuan hak ulayat oleh Pemda dengan melibatkan
LSM, pakar hukum adat, masyarakat adat di daerah yang bersangkutan, dan instansi
yang mengelola sumberdaya alam.
Tim melakukan penelitian dengan mendasarkan pada adanya tiga unsur, yakni: unsur
masyarakat adat, unsur wilayah, unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan
wilayahnya.

Hasil kerja tim peneliti dan penentuan hak ulayat dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan mencatatnya
dalam daftar tanah.
Surat edaran Menhut, Nomor S.75/Menhut-II/2004 perihal masalah hukum adat dan
tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh masyarakat adat. Surat edaran yang ditujukan ke
Gubernur, Bupati/Walikota tersebut memberikan pentunjuk kepada kepala daerah
manakala ada tuntutan masyarakat hukum adat dengan mengambil langkah-langkah
sebagai berikut:
Melakukan penelitian yang melibatkan pakar hukum adat, tokoh masyarakat yang ada
di daerah bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait, serta memperhatikan
aspirasi masyarakat setempat. Penelitian tersebut mengacu pada kriteria sebagaimana
ditentukan dalam penjelasan pasal 67 ayat (1) UU 41 Tahun 1999, yakni:
a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;
dan
e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kehidupan sehari-hari.
Untuk penetapan hutan negara sebagai hutan adat, bupati/walikota melakukan
pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat
letak, luas serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menhut dengan rekomendasi
Gubernur.
Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka
masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan Perda Provinsi. Perda
tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada Menhut
untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat, dimana Menhut dapat
menyetujui ataupun menolaknya. Apabila diterima, ditetapkan hutan adat untuk
masyarakat bersangkutan

Konsistensi Kebijakan
Kalau dikaitkan dengan hirarki peraturan yang lebih tinggi, baik Permen Agraria maupun
surat edaran Menhut tidak bertentangan dengan peraturan lebih tinggi (UU 41 tahun 1999
tentang Kehutanan maupun UUPA tahun 1960). Namun secara substantif, kriteria

masyarakat hukum adat tidak mempertimbangkan bagaimana policy pemerintahan


terhadap masyarakat hukum adat selama ini. Bagaimana mungkin pembuktian tentang
keberadaan tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari dapat dilakukan kalau
tanah ulayat tersebut sudah diberikan konsesinya kepada swasta. Demikian halnya
bagaimana dapat dibuktikan keberadaan tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut, dapat dilakukan kalau intervensi pengelolaan hutan dan
kewenangannya sudah diambil secara paksa oleh Dishut selama ini? Alih-alih
membuktikan masih adanya pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kehidupan seharihari masyarakat hukum adat masuk ke dalam kawasan hutan saja dikejar oleh jagawana.
Implementasi kebijakan
Dishutbun Lobar menyatakan bahwa, sejauh ini belum ada juklak juknis untuk prosedur
permohonan pengakuan hutan adat. Sehingga temuan fakta di lapangan tentang
sejauhmana implementasi kedua kebijakan di Lombok Barat belum terlihat (Permen
Agraria/ Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 dan Surat edaran Menhut, Nomor
S.75/Menhut-II/2004).
Apa akibatnya jika isu dibiarkan
Kontradiksi sikap dan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat hukum adat yang tidak
diakui keberadaannya, sementara konsesi pengelolaan hutan diberikan kepada swasta,
tentunya akan menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat setempat. Apalagi dari
pengalaman selama ini pengelolaan hutan oleh swasta cenderung eksploitatif, sehingga
menimbulkan kerusakan yang dampak negatifnya selalu ditanggung oleh masyarakat
setempat.
Manifestasi kecemburuan sosial dan pelecehan terhadap hak-hak masyarakat adat dapat
mewujud dalam bentuk perambahan dan ilegal logging. Demikian pula kejengkelan
masyarakat terhadap eksploitasi hutan berlebihan yang dirasakan dampaknya oleh
masyarakat setempat dari pengalaman selama ini (pembakaran base camp HPH PT
Angkawijaya) cenderung diekspresikan dengan upaya pengrusakan sarana dan prasarana
swasta yang memperoleh konsesi. Sikap masyarakat setempat di pinggiran hutan ini akan
terakumulasi menjadi sikap apatisme terhadap program pemerintah dan ketidakpercayaan
terhadap kinerja aparat.
Disamping itu pula terdapat kecenderungan hutan adat mengalami kerusakan baik karena
perambahan maupun penebangan, sehingga kalau dibiarkan hutan adat sebagai hutan

akan semakin habis menjadi lahan tanpa pepohonan yang kemudian akan dikapling
ataupun dibagi untuk keperluan lahan pertanian dan pemukiman.
Pihak-pihak yang Terlibat
Lembaga Adat dan Kades Sajang, Akar-akar, Sukadana, Bayan, Senaru, Sambik Elen,
Salut, Bentek, Rempek, Loloan dan Mumbul Sari.
Pemda, BPN dan Dishutbun (baik di Kabupaten Lobar, Lotim, maupun Propinsi
NTB)
BTNGR, Pengelola proyek Gaharu UNRAM di Senaru
YPMP, Koslata, Perekat Ombara

Gagasan Kritis yang ditawarkan


Pemda perlu berinisiasi untuk membentuk tim penelitian dan penentuan hak
masyarakat hukum adat untuk memberikan kepastian hukum bagi keberadaan
masyarakat hukum adat, dalam bentuk Perda.
Diperlukan upaya pendampingan untuk memperkuat kelembagaan adat dalam
mengelola hutan sehingga kelestarian hutan akan terjaga
Diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk melakukan reboisasi di lokasi hutan adat.

Anda mungkin juga menyukai