Anda di halaman 1dari 5

PLURALISME HUKUM DALAM PENGAKUAN DAN KEPASTIAN HAK MASYARAKAT ATAS TANAH DAN KEKAYAAN ALAM, PERKEMBANGAN DAN

MASALAHNYA DI KABUPATEN SIGIBIROMARU, SULAWESI TENGAH

Kabupaten Sigibiromaru (selanjutnya juga disebut Sigi) adalah pemekaran dari Kabupaten Donggala, didasarkan pada UU No. 27 tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah. Pemerintah kabupaten Sigi telah menyatakan kabupaten ini sebagai kabupaten adat, prinsipprinsip adat akan dijadikan dasar utama pengelolaan daerah, selain sebagaikabupaten adat, pemerintah kabupaten Sigi juga mendeklarasikan kabupaten ini sebgai kabupaten konservasi, hal ini didasarkan fakta bahwa sekitar 70 % luaswilayah Sigi berada dalam kawasan hutan, bagian tersebsarnya berfungsi sebagai kawasan konservasi atau lindung Kabupaten Sigibiromoru : Profil Sosial, Politik, Ekonomi Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 220.965 jiwa dengan kepala keluarga berjumlah 55.505. akibat berada dalam kawasan yang 70 % berada dalam kawasan hutan yang dikuasai Negara, maka kabupaten Sigi sebagai daerah yang baru dimekarkan hanya dapat mengandalkan penerimaan daerah dari retribusi dan pajak daerah diantaranya rumah potong dan hasil hutan, luas wilayah Sigi adalah sekitar 5.196,02 kilometer persegi atau 519.602 hektar. Menurut pejabat di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sigibiromaru wilayah ini tergolong daerah rawan bencana, terutama gempa bumi, dan menduduki rangking pertama wilayah yang kerap terjadi bencna alam di Sulawesi Tengah, hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa kejadian seperti banjjir di Desa Kaleke, Sidondo Dua, dan Gumbasa. Sebagai Kabupaten Adat, namu tidak semua komponen pemerintah daerah menyatakan denngan tegas pandangan mereka mengenai masyarakat adat, pengecualian ada pada Bappeda dan Biro hokum pemerintah Kabupaten, mereka beranggapan belum ada definisi mastarakat adat karena belum pernah membahasnya dengan masyarakat ada selain itu, Kepala Subbag per-UU an pada Biro Pemerintah Kabupaten Sigi menjelaskan tidak dapat menjelaskan definisi masyarakat adat sebelum hasil penelitian tentang hokum adat yang saat itu sedang dilakukan ooleh Universitas Tadulako Sedangkan pandangan kelompok masyarakat mengenai adat, dari wawancara tampak bahwa para aktivis memahami masayarakat adat dalam tiga aspek : Masyarakat adalah masyarakat yang bias meneriima orang lain tidak kaku dan berjalan sesuai dengan prinsip prinsip hak hak dasar Masyarakat yang secara komunal yang masih menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang mengikat kehidupan mereka dengan ruang hidupnya baik secara social maupun ekonomi yang dilakukan secara turun temurun. Masyarakat yang punya kearifan local, masih menjalankan nilai-nilainya, mempunyai wilayah kelola dan atujran-aturan sendiri.

Akademisi berpendapat bahwa masyarakat adalah kelompok masyarakat asli local yang mendiami suatu wilayah atau kawasan tertntu secara lintas generasi, memiliki peratuaran dan kelembagaan dalam menyelenggarakan pembangunan diwilayahnya dan dapat menentukan keputusan sendiri tentang nasib komunitasnya. Pengakuan dan pengingkaran hak-hak masyarakat dan hokum adat dalam legislasi daerah. Kabupaten Sigibimoru secara resmi belum mempunyai rencana proses penerbitan prodk hokum, seperti Perda/keputusan Bupati tentang pengakuanatau keberadaan masyarakat ada. Informasi dari pejabat di biro hokum yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk bebrapa waktu kedepan mereka belum akan mengusulkan tetang aturan pengakuan tersebut, saat ini yang dilakukan adalah kajian tentang hokum adat itu sendiri, salah satu tujuannya adalah untuk memastikan pengertian dari masyarakat adat itu. Meskipun belum ada legislasi daerah yang secara khususmengatur mengenai masyarakat adat beberpa bentuk pengakuan terhadap masyarakat adat telah dilakukan melaluai sejumlah praktik, diantaranya untuk menyelesaikan konflik antara Taman Nasional Lore Lindu dengn orag Kulawi Moma di Ngato Toro, Kecamatan Kulawi telah dilakukan pengakuan wilayah adat melalui kesepakatan antara masyarakat dengan Balai Taman Nasional Lore Lindu. Dari cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan telah ditemukan beberapa pola : 1. Menjalin interaksi dengan pihak luar seperti lembaga swadaya masyarakat peneliti dan akademisi. 2. Ada komunitas yang dengan bekal pengetahuan local mereka tentang dirinya dan lingkungannya secara konsisten memperjuangkan hak-haknya seperti orang Tompu, orang Waturalele. 3. Ada komunitas yang menerima situasi ketiadaan pengakuan terhadap mereka seperti yang terjadi dengan orang Sibowi.

SPACE UNTUK BG WELDY Sejak adanya keputusan Mneteri Kehutanan mengenai kawasan hutan TNLL pada tahun 1982, secara serentak pamongpraja se-kecamatan mengeluarkan larangan untuk berburu dan membatasi pengambilan rotan serta kayu bakar dalam kawasan hutan serta berusaha membujuk penduduk agar mengalihkan kebutuhan dagingnya ke usaha peternakan dan kolam ikan mas. Tindakan Pamong Praja ini salah satunya didasarkan pada perintah UU No. 5 tahun 1967 khusunya penjelasan pasal 15 yang menyatakan : Terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang disebabkan karena perladangan serta pengembalaan liar dan kebakaran yang menimbulkan tanah-tanah kosong dan padang alangalang/rumput terutama diluar Jawa, perlu diambil tindakan seperlunya. Kondisi ini kemudia menciptakan konflik baru sebab disatu pihak, mereka meyakini mekanisme adat dalam pemilikan dan penguasaan sumber daya alam, tetapi dilain pihak mereka dihadapkan pada

kebijakan yang telah ditetapkan oleh Negara. Keberadaan lembaga adat yangb tidak memiliki ruang yang luas dalam melakukan intervensi pengelolaan dan pengaturan hutan diwilayahnya semakin memperburuk kondisi sumber daya alam yang ada. Balai Taman Nasional Lore Lindu pun sebagai penanggung jawab pengelola kawasan hutan taman nasional gelisah dengan perambahan dalam kawasan. Sebab terbatasnya jumlah polisi hutan untuk mengawasi hutan juga menjadi kendala serius dalam pengemanan. Negara melalui departemen kehutanan yang dipercayakan dalam menjaga hutan dari kerusakan, ternyata gagal, situasi ini kemudian memicu gaagasan untuk memikirkan dan membicarakan masa depan Ngata Toro terutama tentang hak-hak masyarakatnya atau sumber daya alam. Masalah itu menjadi pergulatan yang kian menggelisahkan, sehingga melalui sejumlah diskusi yang digelar baik di Ngata Toro untuk mencermati dan merefleksikan kembali nilai-nilai lokl yang dibangun para leluhurnyaa. Berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan mereka menyadari pentingnya kesepakatan internal. Konsep hintuvu dan katuvua adalah semangat kebersamaan dalam membangun kehidupan social yang telah lama membumi dalam kehidupan masyarakat. Hintuvu artinya kebersamaan dan katuvua adalah kehidupan, kedua konsep ini mampu membangun motif politik cultural. Ini ditandai dengan adanya kesepakatan untuk membangun Lobo sebagai sarana dan symbol ditegakkannya kembali hokum adat setempat pada tahun 1993, Menteri Kehutananjuga mengeluarkan keputusan penunjukan kawasan Taman Nasional Lore Lindu dengan luas 229.000 hektar, peristiwa tersebut seakan-akan menjelaskan bangkitnya dua kekuatan dari sisi yang berbedayang kelak akan bertemu pada titk tertentu. Krisi politik nasional tahun 1997 memicu masyarakat Ngata Toro untuk mewacanakan kembali upaya untuk memperjuangkan hak mereka terhadap sumber daya alam dalam huaka (wilayah adat) Pendokumentasian kearifan adat yang digelar melalui diskusi-diskusi formal maupun informal hingga memetakan kembali ruang kelola tradisional dari alam ingatan masa lalu punj dilakukan, semua hal tersebut dituangkan diatas kertas dan berbuah menjadi dokumen yang berisikan sebundel hak dan kewajibn serta menjelaskan bagaimana hubungan tata kuasa, kelola, produksi hingga konsumsi. Ini merupakan langkah dan upaya menginternalisasi dan eksternalisasikan gagasan pengelolaan sumber daya alam yang lebih arif dan memenuhi rasa keadilan. Akhir proses tersebut terjadi pada Juli tahun 2000. BTNLL menyatakan tidak keberatan mengakui wilayah adat Ngata Toro seluas 18.360 hektar yang berada didalam TNLL. Sejak itu kewenangan dalam menangani permasalahan pencurian atau pengambilan hasil hutan diwilayah adat Ngata Toro mulai ditangani ooleh pemerintahan Ngata Toro dan lembaga adatnya berdasarkan aturan adat yang berlaku di Ngata Toro. Penetapan sebuah pelanggaran adat ditetapkan melalui peradilan adat yang pelaksanaannya dilakukan di rumah adat (hou ada) yang disebut Lobo atau Bantaya. Konflik Orang Sinduru dengan CV Satria Abadi, KUD Singgani dan Orang Bangga. Konflik ini bermula saat Bupati Donggala mengeluarkan SK No. 188.45/0307/BAG.PEM dan No. 188.45/0310/BG.PEM tertanggal 11 Mei 1994 tentang pemberian izin mengolah tanah Negara bebas seluas 100 hektar untuk dua kelompok tani. Lokasi izin Bupati di Desa Bangga dan dikuatkan oleh SK

Kepala Kantor Pertahanan Donggala No. 400-57 tertanggal 6 Nopember 1996 serta SK KepalaKantor Wilayah Kehutanan dan Perkebunan Propinsi ulawesi Tengah No. 354/kpls/kwl-3/2000 tentang izin Pemanfaatan kayu pd lahan perkebunan KUD Singgani di desa Bangga Kec. Dolo Kab. Donggala, propinsi Sulawesi Tengah. Izin yang berikan atas lahan seluas 100 hektar ini pada praktiknya diberlakukan pada areal seluas 800 hektar. Area orang Sinduu yang ikut masuk dalam pengelolaan CV Satria Abadi dan KUD Singgani dan kelompok tani dari Desa Bangga adalah Lalere untuk pembukaan hutan seluas 500 hektaryang peruntukannya untuk 10 kelompok tani dari Desa Bangga. Maope untuk pembukaan lahan seluas 200 hektar dengan empat kelompok tani yang mengolah lahan tersebut dari Desa Bangga Tiwaa untuk pembukaan hutan seluas 100 hektar

Klaim orang Sinduru atas tanah-tanah mereka mendapat penolakan dari orang Bangga. Mereka berpendapat bahwa Lalere, Maope dan Tiwaa adalah wilayah adat mereka karena itu CV Satria Abadi dan KUD Singgani layak beroperasi di wilayah tersebut . Atas desakan orang Sinduru dan anggota masyarakat Tuvalainnya dilakukan pertemuan adat antara orang Sinduru dengan Bangga yang difasilitasi pihak kecamatan Dolo dan Sigibiromaru. Hasil pertemuan itu selanjutnya menghasilkan kesepakatan sebagai berikut : Sebelah utara, sungai Tiwaa dibagi menjadi dua kepemilikan, sebelah kiri sungai menjadi wilayah orang Sindurun dan sebelah kananya wilayah adat Orang Bangga. Sebelah Selatan menjadi milik orang Sinduru yang dibatasi sungai Maope Sebelah barat menjadi milik orang Sinduru hingga Gunung Tutuvongi

Kesepakatan ini selanjutnya menganulir klaim kedua perusahaan ataslahan tersebut. Lahan yang telah ditanami bibit selanjutnya dapat diteruskan dengan syarat tidak memperluas areal kebun dan memperjualbelikannya. Pandangan Masyarakat Terhadap Penyebab dan Penyelesaian Konflik Pemerintah, kelompok masyarakat sipil dan organisasi rakyat yang saya temui dalam penelitian ini mempunyai beberapa kesamaan sekaligus perbedaan pandangan dalam melihat penyebab terjadinya konflik. Pihak eksekutif dan legislative daerah melihat bahwa konflik muncul akibat diambil alihnya ruang hidup masyarakat oleh pengelola Taman nasional lore Lindu sedangkan masyarakat telah turun temurun mendiami tempat tersebut. Mereka juga menuding konflik muncul akibat ketidaktahuan para pihak seperti kepala desa, lembaga adat dan Badan Perwakilan Desa atas kewenangan mereka. Sementara itu, kelompok aktivis secara tegas menyatakan bahwa penyebab terjadinya konflik adalah kebijaikan Negara yang tidak berpihak kepada masyarakat adat/local. Penyebab konflik lainnya

adalah belum diakuinya wilayah adat masyarakat oleh Negara. Bagi kelompok aktivis bentuk penyelesaian konflik yang ditawarkan meliputi upaya penyadaran kepada aparat hokum tentang keberadaan system hokum diluar hokum Negara dan potensinya untuk menyelesaian konflik. Kelompok lain yang juga memberikan perhatian serius kepada terjadinya konflik adalah akademisi, terjadinya konflik adalah tumpang tindih klaim antara masyrakat dengan Negara dan perusahaan. Penggiat organisasi rakyat, seperti AMAN Sulteng dan ORAK Marena menyebutkan penyebab terjadinya konflik tidak diakuinya hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah. Penguasaan tanah secara berlebihan oleh pihak-pihak tertentu, proyek administrasi pertanahan yang mengabaikan asal usul tanah, keberadaan Taman Nasional Lore Lindu. Ada dua solusi yang disampaikan kalangan organisasi rakyat ini yakni pengakuan atas hak-hak masyrakat adat dan penertiban tanah-tanah absente. Konflik-konflik yang dipaparkan diatas menunjukkan adanya relasi paradox antara hokum Negara dan hokum rakyat.

Anda mungkin juga menyukai