Anda di halaman 1dari 8

BELAJAR DARI PRA-HUTAN DESA MANGUN JAYO

Sebuah Potret Kolaborasi Yang Tersendat


Oleh Wisma Wardana - Sekwil FKKM Jambi
Disampaiakan pada diskusi bersama ‘Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan
Masyarakat, Diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat
(FKKM) Sekretariat Wilayah Jambi. Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.

I. ILUSTRASI
Mangun Jayo (MJ) tidak lebih baik dari desa-desa pinggiran hutan lain yang ada di Indonesia.
Ketertindasan dan perampasan hak – hak dalam memanfaatkan sumber daya hutan yang telah terjadi
selama ini, pelan-pelan telah menstruktur tipologi masyarakat yang hampir sama sekali tidak
memahami apa saja manfaat yang dapat diambil dari keberadaaan sebuah kawasan hutan selain
kayu.
Berdasarkan history Mangun Jayo merupakan salah satu desa asli, dulunya hampir sebahagian besar
wilayah Kabupaten Tebo merupakan milik warga Mangun Jayo yang kemudian secara perlahan
mulai tersingkir. Pasar tebo ( pasar utama Kabupaten Tebo saat ini ) bukan lagi milik warga
Mangun Jayo.
Dalam struktur politik sosial non formal Desa Mangun Jayo cukup disegani oleh desa – desa lainnya
di kabupaten Tebo karena karakteristik warga yang cenderung keras dan kompak serta berani.
Secara monogravi : mangun Jayo berada di wilayah Kecamatan Tebo Tengah Kabupaten Tebo
propinsi Jambi , dengan kurang lebih 446 KK bermatapencarian mayoritas penebang kayu.
penangkap ikan, petani karet dan atau petani sawah, pedagang serta beberapa sebagai pegawai
negeri. Berada tepat di pinggiran Batang hari yang juga dekat dengan Batang Tebo. berbatasan
dengan beberapa desa dan dengan satu perusahaan sawit berskala besar dengan didukung oleh
daerah transmigrasi yang cukup berhasil ; Desa Kuamang Kuning. Juga berbatasan dengan kawasan
hutan Negara dan LGC Fakultas Kehutanan UGM. Berjarak hanya kurang lebih 20 KM dari ibu
Kota Kabupaten Tebo.
Dalam melihat sisa hutan yang tersisa kecemburuan sosial sangat kental mewarnai psicologi warga
desa Mangun Jayo. Warga pendatang yang selama beberapa tahun terakhir telah berhasil dalam
mengelola kawasan hutan negara – yang berstatus HPT - menjadi pemicu bagi masyarakat untuk
mengklaim sisa hutan yang tersisa sebagai milik desa. Wilayah kawasan hutan ; Eks HPH PT Silva
Gamma yang secara administratif merupakan kawasan yang telah dua kali diterbitkan izin HPH dan
satu kali sebagai HTI menjadi pemicu lain. Trauma dari perlakuan pengelola HPH membekas
seoalah menjadi dendam yang harus dibalaskan . Kalimat “ Kalo dulu kencing saja kami di
tempeleng “ selalu di ulang – ulang yang seoalah olah menjadi bahasa resmi untuk melegalisasi
tindakan sebahagian warga desa dalam mengeksekusi sisa hutan yang ada akibatnya LGC Fakultas
Kehutanan UGM terancam di bakar. Manajer Camp Hutan Penelitian Fak. Kehutanan UGM
dipukuli dan terakhir Staf pendamping sebuah LSM diancam dengan Cinsau untuk kemudian dikejar
dengan kampak karena melarang warga menebang. Beberapa upaya dilakukan pihak Fak.
Kehutanan UGM, tentu saja salah satunya meminta perlindungan dengan pemerintah Tapi warga
semakin berang apalagi ketika kemudian Fakultas Kehutanan UGM menggandeng desa lain dalam
mencoba sebuah konsep ‘ Community Loging ‘ Log yang siap di jual dicuri warga desa sehingga
penelitian tidak sampai pada tujuan akhir.
Pada kesempatan lain beberapa utusan Pengusaha bertandang ke desa Mangun jayo , mengumpulkan
persetujuan warga desa untuk segera membuat pernyataan “ setuju “ jika sisa hutan di seberang
desa mereka di jadikan perkebunan sawit. Elit desa dan elit pemerintahan di isukan bermain dalam
skenario upaya pembukaan kebun sawit. Janji – janji muluk ditebar dan tentu saja iming-iming serta
upeti terselubung mulai disumbarkan. Sementara warga pendatang dan warga desa Mangun Jayo
Disampaiakan pada diskusi bersama 1
Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan Masyarakat
Diselenggarakan :Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sekretariat Wil Jambi.
Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.
yang memiliki modal lebih pelan-pelan terus melebarkan kebun mereka. Cara-cara kotor semakin
jelas terlihat sampai kemudian dalam Kawasan Hutan Negara tersebut ada usulan untuk sertifikasi
lahan seluas 100 Ha kemudian dibenarkan oleh instansi yang berwenang di Kabupaten Tebo.
Masalah semakin melebar karena ada warga Desa yang dengan berani memberikan izin secara lisan
kepada warga desa lain untuk menebang di areal tersebut tapi tentu saja dengan membayar semacam
uang JPS ( jasa preman setempat ) Tokoh – tokoh tua Desa Mangun Jayo terperanjat sehingga
membuat teguran tapi akibatnya malah membangun gap yang kental dengan kelompok muda.
Setelah komoditi kayu menipis maka tanahnya yang mulai digarap. Dari seorang tokoh kabupaten
tebo menyatakan pernah di tawarkan per kapling tanah ( 2 Ha ) dalam kawasan tersebut seharga Rp.
2 Juta oleh oknum aparat pemerintah dan oknum masyarakat.
Masalah semakin membesar : karena kemudian datang 30 KK warga dari desa Kabupaten lain
(Desa Rantau Panjang ) membuka kebun hampir 120 Ha luasnya disusul warga desa lain yang juga
diantaranya sengaja di undang dari jawa dan aceh
Maka ada berapa fakta kebijakan yang dapat di tarik. Negara tidak mampu menjaga tanahnya.
Warga tidak merasa memiliki kawasan hutan sehingga cenderung menghancurkan bukan menjaga,
ada kepentingan pengusaha yang sangat bertentangan dengan aturan yang ada, ada upaya
membenturkan kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat, ada kelompok – kelompok
yang mencoba memanfaatkan situasi konflik dan ketidak jelasan status kawasan hutan untuk
kepentingan pribadi. Adanya izin yang bertentangan dengan aturan lain. Terutama yang sangat
urgens adalah masalah tidak adanya dukungan kebijakan terhadap dampak pertambahan jumlah
penduduk dan kegagalan sektor pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan.

II. TERBITNYA SK BUPATI TEBO NO 179


Tahun 2001 Tertanggal 21 Agustus

Sampai kemudian Bupati Kabupaten Tebo melihat ada potensi konflik yang sewaktu – waktu dapat
meledak, sehingga di terbitkannya SK Bupati kabupaten Tebo Nomor 179 Tentang Tim
Penyelesaian masalah dan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Tim terdiri dari perwakilan
masyarakat desa yang bersinggungan dengan EKS HPH PT Syilva Gamma. – Desa mangun Jayo –
Desa Tengah Ulu – Desa Teluk Pandak – Desa Aburan Batang Tebo – Fakultas Kehutanan UGM.
Kejaksaan Negeri Kabupaten Tebo, Komandan Kodim. Kapolres Kabupaten Tebo, Badan
Pertanahan Kabupaten Tebo dan Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo. Serta LSM.
Tim bertugas mengidentifikasi masalah yang ada untuk kemudian di bawah koordinasi Setda
Kabupaten tebo mengupayakan solusi-solusi yang paling baik untuk para pihak yang terlibat. Camat
Tebo tengah Bertugas sebagai wakil ketua. Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah dan
Penyusunan Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat secara umum berkewajiban yaitu :
1. Melakukan identifikasi dan inventarisasi masalah-masalah yang ada dalam kawasan hutan
Pendidikan dan Penelitian Fakultas Kehutanan UGM di areal eks HPH PT. Sylva Gama.
2. Merumuskan faktor pendorong yang kurang mendukung peluang dan tantangan untuk
mewujudkan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat.
3. Memberikan saran-saran dan arahan pemecahan masalah-masalah konflik sosial dalam
kawasan hutan negara.
4. Kewajiban Tim adalah melaporkan semua hasil yang dicapai kepada Bupati Tebo untuk
dimintakan tindak lanjut kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat.

III. UPAYA UPAYA PENYELESAIAN MASALAH

Disampaiakan pada diskusi bersama 2


Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan Masyarakat
Diselenggarakan :Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sekretariat Wil Jambi.
Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.
1. PEMETAAN PARTISIFATIF 5 DESA

Menilik dari permasalahan hutan yang terjadi diwilayah Eks HPH PT Syilva Gamma Kabupaten
Tebo tidak dapat dipungkiri telah terjadi beberapa masalah yang juga diikuti dengan munculnya
konflik kepentingan terhadap lahan.
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses lahirnya kebijakan atas pengelolaan Eks HPH
Syilva Gamma dan karena adanya kecendrungan mengesampingkan peranan dan hak masyarakat
terhadap hutan merupakan penyebab lain yang berakibat Deforestasi. Lebih jauh masyarakat lokal
yang berada disekitar areal konsesi eks HPH PT. Sylva Gama di kabupaten Tebo, mengalami
persoalan : (1). penyingkiran hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan yang telah menjadi bagian
kehidupannya secara turun temurun, (2). Belum adanya perhatian serius dari penentu kebijakan
dalam memahami, menemukan dan mencari solusi yang adil terhadap masalah pengelolaan
sumberdaya hutan, (3). Adanya tindakan pemerintah dan swasta yang kurang mempedulikan
keberadaan masyarakat lokal dan hak-hak adatnya, (4). Lemahnya kedudukan masyarakat dalam
peraturan perundang-undangan dan masih kurang pengetahuan masyarakat untuk mengembangkan
kemampuan dan potensi wilayah yang sesuai dengan kebijakan dan peraturan perundangan nasional,
(5). Lemahnya penataan dan pengorganisasian didalam komunitas masyarakat sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah masa lalu.
Pemetaan partisipatif di desa Mangun Jayo, Tengah Ulu, Aburan Batang Tebo, dan Sungai Keruh
Kecamatan Tebo Tengah Kabupaten Tebo. Propinsi Jambi menjadi upaya untuk menemukan solusi
konflik dan pemecahan masalah serta melihat alternatif sistim pengelolaan sumber daya hutan
bersama masyarakat dengan prinsip adil lestari dan berkelanjutan.
Implementasi dari SK Bupati Tebo nomor 179 tahun 2001 tertanggal 21 agustus tentang
Pembentukan Tim Penyelesaian masalah dan Penyusunan Sistim Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat. Berupa Hasil keputusan rapat TPM Tanggal 10 OKTOBER 2001 menjelaskan dan
merekomendasikan langkah Pemetaan Partisipatif sebagai sebuah alat yang dapat digunakan. Yang
berbunyi an :
a. Masyarakat Desa Mangun Jayo meminta agar lahan hutan seluas 1600 ha di dalam kawasan
hutan negara dapat diberikan kepada masyarakat untuk dijadikan kebun.
b. Dalam kawasan hutan yang masuk wilayah desa Mangun Jayo dan Desa Tengah Ulu dibeberapa
lokasi telah diduduki oleh masyarakat pendatang yang berasal dari Rimbo Bujang dan
Panerokan (Kab. Batanghari). Pihak Mangun Jayo dan Desa Tengah Ulu keberatan atas
kehadiran para pendatang tersebut. Oleh karena itu pendatang tersebut akan dipanggil oleh
Bupati Tebo untuk klarifikasi dan penyelesaiaan keberatan.
c. Di RT. 8 Desa Mangun Jayo sebagian besar penduduknya berasal dari suku Jawa. Diduga
penduduk RT. 8 ini setiap tahun bertambah karena banyaknya pendatang baru dari Jawa yang
dibawa oleh penduduk RT. 8 tersebut. Kepala desa Mangun Jayo keberatan atas keadaan
tersebut, tetapi tidak dapat mengatasinya. Pemerintahan daerah diharapkan dapat menyelesaikan
masalah di atas.
d. Untuk kepentingan ekonomi rakyat dan pendapatan daerah, maka disarankan agar pemerintah
daerah mulai memikirkan untuk mendirikan industri pengolahan kayu di Kabupaten Tebo.
Selama ini kayu-kayu diolah akhir di Jambi, sehingga nilai tambahnya tidak diperoleh oleh
Kabupaten Tebo.

Program Kerja tim ditingkat desa yang segera harus dikerjakan adalah :
a. Setiap desa (Mangun Jayo, Tengah Ulu, Teluk Pandak, Sei Keruh) segera membentuk tim kerja
pemetaan batas lapangan antar desa, untuk mengetahui batas-batas hutan yang masuk wilayah
desa masing-masing. Setiap desa membentuk 6 orang petugas lapangan yang dapat

Disampaiakan pada diskusi bersama 3


Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan Masyarakat
Diselenggarakan :Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sekretariat Wil Jambi.
Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.
melaksanakan pemetaan batas partisipatif. Pemetaan ini akan didampingi oleh tim fakultas
kehutanan UGM dan LSM cakrawala
b. Tim kerja pemetaan partisipatif harus bekerjasama antar desa dalam melaksanakan pemetaan
batas kawasan hutan (batas-batas sempadan), sehingga konflik batas dapat segera teratasi dengan
cepat.
c. Dana kegiatan…………………akan disediakan oleh Kabupaten tebo dan ….
d. Tata waktu kegiatan adalah sebagai berikut : ……………………
e. Hasil kegiatan pemetaan partisipatif lapangan setiap desa di atas akan dibicarakan pada
pertemuan tim penyelesaian masalah yang akan datang. Waktu pertemuan berikutnya
ditentukan setelah kerja lapangan setiap desa ada kemajuan.
Hasil kesepakatan ini kemudian ditandatangani oleh Wakil Ketua TPM yaitu Bapak Drs. H.
Hamdani Wahid.

Realisasi Pemetaan Partisipatif yang digunakan sebagai alat untuk membantu masyarakat desa
dalam menyelesaikan konflik lahan dan tata batas yang dihadapi oleh 5 desa (Mangun Jayo, Tengah
Ulu, Teluk Pandak, Aburan Batang Tebo dan Sungai Keruh) secara tidak langsung akan menunjuk
batas administratif desa target dan mampu memberikan peningkatan pemahaman masyarakat tentang
batas-batas tanah desa untuk selanjutnya dapat membuat perencanaan pengembangan mikro desa
secara optimal. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola dan melindungi sumberdaya
alam tersisa sehingga di tingkat struktur sosial masyarakat mulai kembali terbangun penataan dan
landasan menuju pengelolaan kehutanan masyarakat secara arif, lestari dan berkelanjutan. Pola-pola
lama yang pernah dilakukan dalam menyelesaikan masalah antar desa kembali dikembangkan
dengan duduk bersama dan menyelesaikan dengan musyawarah tumpang tindih batas wilayah antar
desa.

2. PENGEMBANGAN INSTITUSI PENGELOLAAN HUTAN DESA


MANGUN JAYO (KPHD-MJ)
Peningkatan dan rasa memiliki masyarakat Desa Mangun Jayo terhadap kawasan Eks HPH PT
Syilva Gamma mulai menguat. Fenomena ini kemudian terlihat melalui meningkatnya proteksi
warga desa mangun jayo terhadap akses ilegal log warga asli maupun warga luar terhadap wilayah
yang secara partisipatif menjadi wilayah Mangun Jayo. Penangkapan dan penyitaan cinsaw yang
beroperasi dalam hutan desa Mangun jayo menjadi cerita baru untuk masyarakat transmigrasi dan
kelompok penebang liar. Warga desa mangun Jayo sendiri di ancam akan di usir jika kemudian ikut
melakukan pengrusakan. Bukaan lahan oleh warga desa dari kabupaten lain di usir. Kebun kebun
karet milik dalam kawasan HP kembali dipertanyakan statusnya terhadap negara sendiri maupun
desa sebagai institusi pemerintahan yang sah. Dengan ringkas dalam musyawarah Desa Mangun
Jayo kemudian menerbitkan Peraturan desa tentang pelarangan menebang di wilayah Hutan Desa
dan Peraturan Desa tentang Konsekwensi Penebang yang tertangkap dalam wilayah tersebut dan
Peraturan desa tentang pelarangan pembukaan maupun perluasan kebun. Praktis Aturan desa
Mangun Jayo mulai berdampak terbukanya konflik horizontal antar desa dan antar warga yang
berkepentingan terhadap kayu maupun luasan wilayah.
Maka suka ataupun tidak analisa dan asumsi terhadap dampak pertumbuhan penduduk juga harus di
lihat lebih jauh. Dampak semakin dekatnya kompetisi sosial-ekonomi antar komponen penunjang
kehidupan masyarakat, sumber-sumber ekonomi yang berasal dari sektor pertanian yang gagal
dalam memenuhi kebutuhan warga desa yang telah bertambah, terutama dalam penyediaan bahan
pangan. Obsesi masyarakat dalam mencari sumber – sumber pendapatan terdekat yang memiliki
karakteristk (tehnis) dan tipologi yang tidak terlalu kontras dengan sektor pertanian. Dan pilihan
terhadap sektor kehutanan yang menjadi tumpuan masyarakat desa.

Disampaiakan pada diskusi bersama 4


Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan Masyarakat
Diselenggarakan :Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sekretariat Wil Jambi.
Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.
Proses migrasi penduduk dari sektor kehutanan yang telah berlangsung dilapangan banyak
menimbulkan masalah-masalah baru, lebih tepat di katakan sebagai buah kebijakan masa lalu yang
gagal. Karena pada area baru “ Sektor Kehutanan “ dulunya masyarakat berhadapan dengan
penguasaan oleh negara atau pemerintah masa lalu cenderung untuk tidak memberikan ruang
masyarakat berperan lebih menyeluruh mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi,
sehingga sistim pengelolaan hutan yang memungkinkan adanya pemberdayaan masyarakat melalui
skema production sharing terhadap hasil hutan berupa kayu praktis tak pernah dikembangkan.

Sejalan dengan perubahan dalam paradigma pembangunan kehutanan yang secara eksplisit
mengandung semangat demokratis dalam pengelolaannya maka ada beberapa pilihan yang dapat
dilakukan dalam menyelesaikan masalah di kawasan Eks HPH PT Syilva Gamma ; salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah uji coba pemberian hak pemanfaatan hutan kepada masyarakat Desa
Mangun Jayo.
Jika demikian maka berkenaan dengan posisi kelompok masyarakat sebagai subyek – pengelolaan
maka ada beberapa hal lain yang perlu mendapatkan perhatian.
Pertama : potensi kelompok dalam fungsi institusi sekaligus representasi masyarakat dalam
pengelolaan hutan biasanya sangat spesifik dan bermuara pada tradisi lokal, ketika hal tersebut tidak
mudah untuk dibangun kembali oleh masyarakat tanpa adanya fasilitas yang kredibel sebagai upaya
untuk memberdayakan kembali institusi yang bermuara pada tradisi lokal. Ketika hal yang lokal dan
spesifik tersebut mulai mengalami semacam proses refungsionalisasinya maka kekuatan lokal
tersebut akan menjadi komponen yang paling penting dan mendasar dalam mendorong berbagai
instrumen untuk proses penyadaran , pendidikan menuju pemanfaatan./ gerakan ekonomi
Kedua : bahwa dalam proses pengembangan suatu masyarakat akan selalu terdapat batas-batas
kemampuan yang real untuk melakukan sesuatu sehingga memungkinkan pihak luar untuk
memberikan kontribusi melalui suatu bentuk pendampingan.
Ketiga : proses pengembangan dinamika kelompok masyarakat dipastikan akan berhadapan dengan
beberapa persoalan konflik sehingga pihak ketiga (pihak luar) menjadi mutlak sebagai pendamping
sekaligus berperan sebagai penengah atas kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat, dan
hal yang substantif dalam pendampingan adalah menciptakan colectife action atas heterogenitas
kepentingan masyarakat karena suatu masyarakat bukanlah sebuah kelompok yang bersifat
homoogen.
Keempat : bahwa pendampingan sebagai proses pemberdayaan masyarakat melalui institusi yang
dikehendaki masyarakat itu sendiri, menekankan prinsip-prinsip partisipasi sehingga pihak luar
hanya berperan untuk lebih memperlancar proses sedangkan pengambilan keputusan sepenuhnya
menjadi wewenang masyarakat.

Berangkat dari beberapa hal diatas maka organisasi yang sangat layak yang harus dikembangkan di
desa Mangun Jayo adalah organisasi umum – bukan tradisional – dan majemuk. Dihadapkan pada
kondisi dinamika yang ada maka dilakukan pendampingan dalam mendorong terbangunnya
organisasi yang dapat dipercaya oleh para pihak. Terutama sebagai sebuah organisasi yang baru
maka harus dikembangkan kebutuhan unit- unit dalam membuat perencanaan, pengembangan areal,
pengamanan, rehabilitasi dll yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Sosialisasi – organisasi untuk
membangun dukungan yang lebih luas dari berbagai golongan masyarakat serta para pihak yang
terlibat menjadi bagian strategis dalam mendorong terlaksananya aksi yang bersifat lebih koletif.
Sebagai realisasi dalam mendorong terciptanya hutan kemasyarakatan yang bermanfaat dan lestari.

Tentang bagaimana kelompok itu sendiri ditingkat desa berproses dan mengalami dinamika yang
sangat tinggi menjadi persoalan utama. Disamping kemudian perkiraan persoalan lain yang tetap
mesti dijawab guna mendukung implementasi lebih jauh menyangkut :
Disampaiakan pada diskusi bersama 5
Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan Masyarakat
Diselenggarakan :Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sekretariat Wil Jambi.
Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.
1. legalisasi dan kedudukan organisasi seperti apa
2. pengurus organisasi dan pelindung, penasehat serta pembina serta struktur lebih jauhnya.
3. tugas dan wewenang pengurus
4. tugas dan wewenang anggota
5. bagaiman cara untuk memulai penanaman
6. Siapa yang menyediakan bibit
7. pemerintah daerah dapat apa
8. jika harus mengundang investor ; bagaimana bentuk kerjasama yang paling memungkinkan
9. instrumen dan aturan pendukungnya bagaimana

4. UJI COBA PENGEMBANGAN AREAL DAN PEMANFAATAN LAHAN KRITIS

Pondasi pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan negara sebagai sebuah pilihan dalam
menyelesaikan masalaah eks HPH PT Syilva Gamma harus pula merujuk pada tindak lanjut
pengelolaan wilayah tersebut. Pilihan lain yang dapat dikembangkan ; Pertama adanya usulan untuk
diserahkan kepada perusahaan dan dijadikan perkebunan kelapa sawit , pandangan ini banyak
ditentang mengingat kekhawatiran nantinya akan menguragi wilayah yang akan menjadi wilayah
pemanfaatan masyarakat karena wilayah tersebut harus dibagi lebih besar untuk perusahaan.
Disamping itu muncul juga argumentasi yang menganggap bahwa perkebunan kelapa sawit akan
dapat berakibat hilangnya jenis tanaman dan hasil hutan yang selama ini bisa dimanfaatkan seperti
madu, rotan,dan buah-buahan hutan (pete,durian).Gagasan lain adalah munculnya ide untuk
menjadikan wilayah tersebut sebagai perkebunan kopi . Gagasan ini mutlak sulit dilakukan karena
wialyah tersebut disamping dapat dikelola tetapi ada prasarat dari peraturan untuk juga menanam
tanaman berkayu. Yang terakhir adalah pilihan untuk tetap mengembangakan pola tanaman karet
seperti yang telah dilakukan sejak lama. Disamping karet telah teruji juga dapat dilakukan pula
penanaman meranti disela pohon kerat. Ide ini menjadi pilihan yang paling baik sehingga
masyarakat sepakat untuk mengembangkan penanaman karet dengan meranti.
Persoalan lain muncul ketika upaya untuk merealisasikan penanaman tumpang sari karet meranti
banyak kendala yang akan dihadapi , misalnya ketersediaan bibit dan siapa yang akan menanaman.
wilayah penanaman dan kemukinan untuk tidak terjadi persoalan ketika mulai berproduksi ( siapa
yang berhak memanen)
Untuk menjawab perkiraan persoalan tersebut maka dibuatlah beberapa rencana kerja dikelola oleh
masyarakat sehingga akhirnya muncul kesepakatan untuk mulai merealisasikan pengelolaan hutan
desa.
Fakultas kehutanan UGM selaku mitra Desa di minta ikut berjuang dalam menjawab persoalan
tersebut. maka kemudian dibuat usulan kegiatan kolaborasi. Masyarakat Desa , UGM / perguruan
tinggi, Pemerintah dan LSM Cakrawala sehingga kemudian Dinas Kehutanan Propinsi Jambi
terlibat. Yang kemudian merujuk pada departemen kehutanan sendiri.
Uji cobapun dilakukan, perkiraan luas wilayah sekitar 30 Ha. Maka kelompok pengelola beserta tim
pengawas melakukan kegiatan lapangan yang hasilnya adalah mendapatkan bukaan ( eks tebangan
masyarakat rantau panjang ) dan ketentuan lain ;
a. Masing – masing dusun akan mengelola 10 Hektare di bawah pengawasan Kelompok Pengelola
Hutan Desa Mangun Jayo (KPHD-MJ)
b. Dari setiap wilayah yang 10 Hektar peruntukan nya meliputi
I hektare di tanami dengan kayu manis disispi dengan Meranti
1 Hektar ditanami buah-buahan, Durian. Mangga, Pete, Nangka, Duku, Dll
8 Hektar di tanami dengan Karet dan Meranti

Disampaiakan pada diskusi bersama 6


Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan Masyarakat
Diselenggarakan :Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sekretariat Wil Jambi.
Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.
Oleh Karena sifat meranti harus tumbuh dibawah naungan maka penamana meranti akan
dilakukan di sela kebun karet tua lahan masyarakat seluas 100 H. denagan perkiraan 200
batang / H maka dibutuhkan 2000 Batang
Untuk rencana penanaman seluruh wilayah maka KPHDMJ merencanakan wilayah
penanaman seperti di tabel berikut

Langkah kegiatan di areal uji coba


No Kegiatan Satuan Perkiraan biaya
1 Penetapan Lokasi Uji Coba 1 paket
2 Penebangan 30 ha
3 Penebasan 30 Ha
4 Cincang perun 30 Ha
5 Bakar 30 Ha
6 Pondok kerja 1 unit
7 Penanaman 30 Ha
8 Pemeliharaan 1 paket
9 Pengawasan 1 Paket

Jumlah
Rencana penanaman di kebun karet tua masyarakat
Tahun
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Maskur #

2. Ulil #
3. Sofyan #
50 50 50 50 50 50 50 50 50 50

Rencana penanaman diareal terlantar dan semak belukar

Luas Lahan Tanaman


No Harga
Dusun Dusun Dusun Biaya
satuan
I II III Jenis Jumlah
Kulit - - -
1 1 ha 1 ha 1 ha Manis
Meranti 600 1000
Buah Tidak Akan diupayakan oleh
2 1 ha 1 ha 1 ha campuran beratura masyarakat
n
Karet 6.400 1.500.-
3 8 Ha 8 Ha 8 Ha
Meranti 6.400.- - -
Meranti 24.000.- 1000.- .-
4 Wilayah kebun Masyarakat

Disampaiakan pada diskusi bersama 7


Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan Masyarakat
Diselenggarakan :Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sekretariat Wil Jambi.
Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.
IV. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Perjalanan panjang dalam proses penyelesaian masalah ditataran teknis lapangan telah memberikan
pembelajaran kepada semua pihak yang terkait bahwa masalah-masalah ditingkat masyarakat
merupakan masalah yang butuh penanganan serius. Dibalik fasilitasi konflik ternyata terbukti
banyak masalah yang bisa diatasi bersama walaupun tidak juga dipungkiri bahwa ada juga masalah
yang belum terselesaikan.
Pemetaan masalah menjadi kebutuhan dalam upaya mencari model penyelesaian yang ideal dan
dapat diterima oleh semua pihak
Lebih jauh untuk menyelesaikan masalah diareal eks HPH. PT. Silvya Gama menunjukan peranan
Pemerintah daerah sangat besar dalam mendorong penyelesaiaan masalah dan penyusunan sistem
pengelolaan hutan bersama masyarakat. Pada sisi lain peranan perguruan tinggi sangatlah strategis
unuk ikut mempengaruhi kebijakan yang lebih realistis baik di tingkat daerah maupun di tingkat
nasional. Sedangkan LSM berada langsung bersama masyarakat dalam melakukan pendampingan
dan pengembangan rencana bersama masyarakat. Pengorganisasian serta upaya membangun pilihan
penyelesaiaan masalah.
Pemetaan Partisipatif yang dilakukan di areal eks HPH. PT. Sylva Gama hanyalah alat dan metode
yang digunakan sebagai pintu masuk dan bukan merupakan sebuah tujuan akhir. Dari kegiatan
tersebut kita dapat memperjelas wilayah kelola desa dan terpetakannya masalah secara lebih detail.
Proses communiti organizer (CO) yang dibangun merupakan langkah kongkrit untuk menyiapkan
masyarakat dan institusi lokalnya menuju upaya pengelolaan wilayah yang adil
Cukup sulit dan diperlukan cara lama ( tradisis lokal ) dalam merubah pola / kebiasaan hidup
menebang menjadi masyarakat yang kembali dapat menanam.
Ini semua merupakan sebuah proses panjang yang belum selesai dan masih memerlukan perhatian
serius. Cita-cita agar terbangun sebuah model untuk bisa menjadi contoh ditingkatan yang lebih luas
dalam pengembangan kehutanan masyarakat tidak hanya menjadi tugas Pemerintah daerah –
perguruan tinggi dan LSM serta masyarakat maupun perusahaan. Masih sangat dibutuhkan institusi
lain untuk ikut menjawab persoalan kehutanan Masyarakat. Akan tetapi lebih tepat menjadi tugas
dan tanggung jawab Nasional dalam rangka memberikan kontribusi real dalam sistem, pengelolaan
hutan bersama masyarakat secara adil, lestari dan berkelanjutan.

Jambi, 12 November 2003


Salam.
Penulis.

Disampaiakan pada diskusi bersama 8


Membangun Proses Pembelajaran Multi Pihak dan Praktek Kehutanan Masyarakat
Diselenggarakan :Dinas Kehutanan Propinsi Jambi dan Forum komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sekretariat Wil Jambi.
Di Jambi Tanggal 17-18 November 2003.

Anda mungkin juga menyukai