Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kawasan hutan mangrove di pesisir kabupaten pohuwato provinsi
gorontalo menjadi salah satu kawasan penyangga pesisir teluk tomini.luas
tutupan hutan mangrove dikawasan ini makin menurun, tercatat dari tahun
1998 seluas 13.243,33Ha, dan di tahun 2010 tinggal 7.420,73 Ha.
(Djamaluddin, 2011). Terdapat kecenderungan makin menurunya luas
tutupan mangrove ini hingga tahun 2014 akibat alih fungsi kawasan
manggrove menjadi area tambak menjadi penyebab utama berkurangnya luas
kawasan, selain penebangan manggrove dalam skala kecil untuk kayu bakar,
dijadikan arang dan bahan bangunan rumah oleh penduduk sekitar ( Utina
2008). Aktifitas perusakan hutan anggrove ini telah berdampak pada
hilangnya fungsi ekosistem mangrove sebagai penyangga ekosistem pesisir
lainya, intruksi air laut dan menururnya sumber daya perikanan (Utina, dan
Alwiah, 2008).
Kawasan pesisir kabupaten pohuwato meliputi empat desa yaitu desa
bumi bahari, desa torosiaje jaya, dan desa torosiaje. Dihuni oleh sebagian
besar suku bajo, hutan mangrove di pesisir torosiaje cenderung mendapat
tekanan alih fungsi hutan dari kawasan desa sekitarnya. Penduduk didesa-
desa pesisir torosiaje sebagian besar mata pencaharian mereka sebagai
nelayan, dan ini sangat tergantung pada kondisi dan sumber daya alam pesisir
dan laut. (Ibrahim et al., 2013; Tri, dan Djenaan, 2007) keterbatasan akses
nelayan kecil kepada sumber daya perikanan tangkap serta iklim yang tidak
menguntungkan akan menyebabkan sumber daya ikan sulit diperoleh
sehingga keluarga nelayan beralih kehutan manggove mereka saja bias
terpengaruh merambah hutan mangrove sebagai kebutuhan hidup.
Provinsi Gorontalo mempunyai kawasan mangrove yang luas salah satu
kawasan mangrove tersebut berada di wilayah pesisir Toroseaje,

1
Kabupaten Pohuwato. Hutan mangrove di pesisir Toroseaje memiliki
fungsi utama sebagai penyangga pesisir Teluk Tomini. Luas hutan
mangrove di kawasan pesisir ini makin menurun akibat tekanan ekonomi
masyarakat dan aktivitas penduduk yang melampaui daya dukung. Alih
fungsi hutan mangrove di wilayah pesisir Toroseaje yang tidak terkendali
menyebabkan perubahan luasan mangrove dan hilangnya flora dan
fauna di lokasi ini. Perubahan luas hutan mangrove tersebut diakibatkan
oleh adanya tekanan sosial ekonomi masyarakat dan aktivitas manusia
yang telah melampaui daya dukung lingkungan, di mana masyarakat yang
berbatasan langsung dengan hutan mangrove sering melakukan
penebangan liar baik dalam skala kecil maupun secara besar-besaran
untuk diambil kayunya, dijadikan sebagai bahan bakar, arang dan bahan
bangunan rumah. Lebih parah lagi, ekosistem ini berubah peruntukannya
menjadi tambak yang produktif dan non produktif. Aktivitas masyarakat
ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Persoalan utama yang harus dipertimbangkan adalah memenuhi kebutuhan
ekonomi penduduk desa pesisir Torosiaje dengan memanfaatkan potensi
sumberdaya alam yang tersedia. Kawasan Torosiaje merupakan desa wisata
budaya dan ekowisata yang didukung kawasan hutan mangrove, sementara
kaum perempuan atau ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan lokal
tentang pemanfaatan hutan mangrove. Buah mangrove selama ini belum
dimanfaatkan penduduk sebagai bahan dasar pangan, misalnya pangan khas
berbahan dasar buah mangrove yang bias mengisi pasar lokal maupun nasional
juga masih terbatas.
Melihat potensi sumberdaya mangrove dan potensi kaum perempuan dalam
hal ini ibu rumah tangga di Torosiaje maka kelompok perempuan di desa
kawasan Torosiaje dapat diberdayakan melalui pelatihan dengan
memanfaatkan buah mangrove sebagai mata pencaharian yang mendukung
pendapatan keluarga. Apabila kelompok ibu-ibu rumah tangga di
Torosiaje terampil dalam mengolah dan memasarkan jenis pangan

2
berbasis buah mangrove maka permintaan buah mangrove makin meningkat. Ini
berarti masyarakat terdorong menanam mangrove dan memeliharanya hingga
menghasilkan buah, sehingga terhindar dari tindakan menebang mangrove yang
bisa merugikan pihak lain.
Wilayah pesisir dan pantai merupakan kawasan yang banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas seperti penangkapan,
pertambakan, pariwisata, transportasi dan kegiatan lainnya. Berbagai macam
aktivitas yang terdapat diwilayah pesisir menjadikan daya dukung (carriying
capacity) lingkungan semakin menurun. Salah satu bentuk ekosistem yang
memegang peranan penting dikawasan pesisir adalah ekosistem mangrove.
Ekosistem mangrove dengan kekhasannya memiliki berbagai macam fungsi,
baik dari segi ekologis maupun ekonomis.
Berbicara mengenai pemberdayaan, maka selalu diarahkan kepada beberapa
konsep seperti kemandirian, keadilan, dan partisipasi, yang kesemuanya
diletakkan pada kekuatan individu yang ingin diberdayakan dan kekuatan sosial
dimana individu itu berada. Istilah pemberdayaan dalam banyak program
terutama dalam program- program pengentasan kemiskinan bertujuan agar
masyarakat yang menjadi sasaran memiliki kekuatan agar dapat terangkat dari
keterpurukannya. Apabila kita menoleh ke belakang dimana konsep awal
pemberdayaan ini mulai diperkenalkan, maka pemberdayaan masyarakat itu
lebih kepada bagaimana masyarakat yang menjadi sasaran dapat berperan aktif
dalam proses pembangunan. Dengan kata lain bahwa konsep pemberdayaan
awalnya dimulai dari konsep partisipasi masyarakat.
Melalui pemberdayaan masyarakat diharapkan pemerintah mampu
mengembangkan teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk
menggugah kesadaran masyarakat Seperti yang diungkapkan oleh Sikhondze
(Karsidi, 2001) “ bahwa orientasi pemberdayaan haruslah membantu sasaran
(perempuan) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang
ada, ditetapkan secara partisipatoris, dengan berorientasi pada kebutuhan
masyarakat dalam hal ini perempuan dan hal-hal yang bersifat praktis, baik

3
dalam bentuk layanan individu maupun kelompok. Sedangkan peran petugas
pemberdayaan perempuan (pendamping) sebagai outsider people adalah sebagai
konsultan, peran pembimbingan dan peran penyampai informasi. Dengan
demikian peran serta kelompok sasaran (masyarakat itu sendiri) menjadi sangat
dominan.
Melihat kondisi tersebut maka perlu adanya suatu usaha yang dapat
meningkatkan nilai jual bahan pangan lokal, berdasarkan pemaparan ada
beberapa permasalahan di desa torosiaje jaya yaitu tidak terberdayakanya para
istri atau kaum perempuan, ibu rumah tangga yang mempunyai keahlian dalam
mengolah mangrove tidak terberdayakan, masih banyak kaum perempuan yang
pengangguran dalam hal ini bekerja sebagai IRT. dengan demikian masalah-
masalah tersebut membutuhkan solusi alternatif berupa sebuah program yang
dapat membuka lapangan pekerjaan untuk memberdayakan masyarakat,
terutama kaum perempuan yakni para istri yang selama ini hanya bergantung
pada penghasilan suami.

Berdasarkan permasalahan diatas, dapat memotivasi peneliti untuk


mengkaji lebih lanjut melalui suatu penelitian yang berjudul
“PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PENGOLAHAN
PRODUK BUAH MANGGGROVE (STICK) DI DESA TOROSIAJE
JAYA KECAMATAN POPAYATO KABUPATEN POHUWATO”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang diatas dapat diidentifikasi masalah
yaitu sebagai berikut :
1. Keterbatasan akses nelayan kecil kepada sumberdaya perikanan tangkap
serta iklim yang tidak menguntungkan menyebabkan sumberdaya ikan sulit
diperoleh sehingga masyarakat beralih ke hutan mangrove,
2. Pemenuhan kebutuhan ekonomi masayarakat dalam hal ini kaum
perempuan belum tercukupi dan masih tergantung kepada suami,

4
sehingganya masyarakat masih membutuhkan sumber daya alam yang
ada untuk dimanfaatkan.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari identifikasi masalah yang telah dipaparkan. Maka
fokus peneliti yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana Pemberdayaan Perempuan Melalui Pengolahan Produk Manggrove
(stick) Di Desa Torosiaje Jaya Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato ?

1.4 Tujuan Penelitian


Berdasarakan rumusan masalah Adapun Penelitian ini bertujuan untuk
Mengetahui Proses Pemberdayaan Perempuan Melalui Pengolahan Produk
Manggrove (stick) Di Desa Torosiaje Jaya Kecamatan Popayato Kabupaten
Pohuwato.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun penelitian yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat memberi


manfaat bagi masyarakat dan peneliti sendiri.

1. Manfaat Teoritis
1) Penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi terhadap ilmu
pengetahuan teknologi yang terkait dengan pendidikan luar sekolah
dengan tema Pemberdayaan Perempuan Melalui Pengolahan produk
buah Manggrove.
2) Penelitian ini diharapkan bisa menyajikan informasi ilmiah bagi
pelaksanaan penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian
ini.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat penelitian ini berguna bagi :
a. Bagi penulis

5
Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan serta menambah pengalaman peneliti tentang
bagaimana Pemberdayaan Perempuan Melalui pengolahan buah
mangrove. Khususnya keterlibatan masyarakat terutama kaum
perempuan dalam upaya mensejahterakan masyarakat desanya sendiri.
b. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat, menjadi sarana masyarakat, khususnya kaum
perempuan untuk mengembangkan potensinya dan meningkatkan
kesejahteraan warga dan sebagai referensi untuk mengembangkan
wawasan dan memperluas  pengetahuan kaum perempuan akan suatu
ketrampilan dalam pelatihan, dan masyarakat bisa mengetahui akan
pentingnya suatu pemberdayaan bagi perempuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat baik dalam aspek sosial maupun ekonomi.
c. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi pihak
pemerintah desa untuk membuat kebijakan yang terkait dengan
Pemberdayaan perempuan. Dan untuk mendapat perhatian yang lebih dari
pembuat kebijakan terhadap masyarakat dalam rangka mengembangkan
potensi kaum perempuan untuk menciptakan masyarakat yang maju dan
berkualitas.

6
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Hakikat Pemberdayaan


2.1.1 Pengertian Pemberdayaan
Kata pemberdayaan sering digunakan dalam konteks upaya. Artinya,
pemberdayaan berkonotasi mengembangkan dan meningkatkan melalui
sejumlah keterlibatan dan pembelajaran (Irawan & Tanzil, 2020) Istilah
pemberdayaan merupakan terjemahan dari terminologi empowerment, di
Indonesia istilah ini sudah dikenal pada tahun 1990-an di banyak NGo’s, baru
setelah Konferensi Beijing 1995 pemerintah menggunakan terminologi yang
sama. Dalam perkembangannya istilah pemberdayaan telah menjadi wacana
publik dan bahkan seringkali dijadikan kata kunci bagi kemajuan dan
keberhasilan pembangunan masyarakat (Alfitri, 2011: 21). Pemberdayaan juga
seringkali dimaknai sebagai matarantai proses kemandirian masyarakat atau
upaya menghilangkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah atau
pihak lain, sehingga dengan kata lain kemandirian secara totalitas mampu
melahirkan pembangunan dan kesejahteraan.(Sutarto, 2018)
Menurut Sulistiyani (2018 : 77). “Secara etimologi Pemberdayaan
berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak
dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu
proses menuju berdaya atau proses pemberian daya (kekuatan/kemampuan)
kepada pihak yang belum berdayaDalam konteks penelitian ini, pemberdayaan
digunakan dalam lingkup masyarakat Tegal yang berprofesi sebagai pengelola
hasil tangkapan laut adalah sebuah upaya pembekalan dan pendampingan
tentang bagaimana mengolah dan memasarkan olahan ikat yang memiliki nilai
lebih baik, sehingga hasilnya secara ekonomi lebih besar (Sunartiningsih &
Larasati, 2020). Dengan kata lain, tujuan utama dari pemberdayaan ini adalah
bagaimana membangun kesejahteraan masyarakat melalui aktivitas ekonomi
yang sudah dilakukan. Dalam kajian teoritis pemberdayaan berkonotasi

7
praktek, yakni sebuah gagasan terprogram dandapat diimplementasikan kepada
subyek sasaran, melalui sejumlah pembekalan ilmupengetahuan dan
peningkatan keahlian (Asmirelda, et, al., 2020). \
Menurut Ketaren (2012: 178-183) pemberdayaan adalah “sebuah ”proses
menjadi”, bukan sebuah ”proses instan”. Sebagai proses, pemberdayaan
mempunyai tiga tahapan yaitu: Tahap pertama Penyadaran, pada tahap
penyadaran ini, target yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam
bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk
mempunyai ”sesuatu’, prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa
mereka perlu (membangun ”demand”) diberdayakan, dan proses pemberdayaan
itu dimulai dari dalam diri mereka (bukan dari orang luar). Setelah menyadari,
tahap kedua adalah Pengkapasitasan, atau memampukan (enabling) untuk
diberi daya atau kuasa, artinya memberikan kapasitas kepada individu atau
kelompok manusia supaya mereka nantinya mampu menerima daya atau
kekuasaan yang akan diberikan. Tahap ketiga adalah Pemberian Daya itu
sendiri, pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau
peluang, namun pemberian ini harus sesuai dengan kualitas kecakapan yang
telah dimiliki mereka.
Penjelasan di atas secara implisit memiliki dua tujuan utama, yakni
mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan (Adriyani, et, al.,
2020). Namun, hal yang menjadi titik berat adalah bagaimana konsep
pemberdayaan ini secara signifikan dapat mengatasi persoalan-persoalan
ekonomi yang berakibat menurunnya kesejahteraan masyarakat (Butarbutar, et,
al., 2020). Mengingat tingkat kemisikan sering kali melahirkan banyak
permasalahan sosial misalnya tingkat kesehatan yang rendah, banyak warga
tidak mengenyam pendidikan, perilaku buru (seperti tidak peduli dengan
lingkungan), dan sebagainya. Dalam sebuah riset dikemukakan, tingkat
kemiskinan yang tinggi cenderung melahirnya banyak masalah seperti tingkat
kriminalitas yang tinggi. Dengan adanya konsep pemberdayaan, diharapkan

8
dapat mengatasi masalahmasalah yang terjadi di masyarakat, khususnya
menekan angka kemiskinan.
Paradigma pemberdayaan adalah paradigma pembangunan manusia,
yaitu pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan proses
pembangunan yang mendorong prakarsa masyarakat berakar dari bawah
(Goulet, dalam Kartasismita, 2005 dikutip dalam Alfitri, 2011). Upaya yang
dilakukan berdasarkan pada akar persoalan yaitu meningkatkan kemampuan
masyarakat dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensi dan
memberdayakan. Pemberdayaan tidak hanya menumbuhkan dan
mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan
nilai budaya
Pemberdayaan dilahirkan dari bahasa Inggris, yakni empowerment, yang
mempunyai makna dasar “pemberdayaan” di mana “daya'” bermakna kekuatan
(power). Pemberdayaan adalah proses meningkatkan kekuatan pribadi,
antarpribadi, atau politik sehingga individu-individu, keluarga-keluarga, dan
komunitas-komunitas dapat mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi-
situasi mereka. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan
(empowerment), berasal dari kata „power‟ (kekuasaan atau keberdayaan).
Begitu juga pemberdayaan menurut Sutoro Eko dalam Rahman Mulyawan
misalnya, memaknai pemberdayaan dengan menempatkan masyarakat bukan
sebagai objek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada
pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan sebagai subyek yang
mandiri
2.1.2 Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan yang mulai. Pada
tahapan ini masyarakat yang sudah berdaya membantu sesamanya yang
tertinggal dan belum berdaya. Namun kompleksitas karakteristik
masyarakat, terutama Masyarakat yang belum berdaya tersebut, serta
tuntutan perubahan zaman yang begitu pesat,merupakan peluang dan
sekaligus tantangan bagi siapapun yang akan melakukan pemberdayaan

9
masyarakat. Upaya memberdayakan masyarakat memang lebih sulit
dibandingkan dengan memberikan bantuan yang bersifat charity.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses pendidikan yang merupakan
investasi jangka panjang. Pemberdayaan merupakan proses pembagunan
dalam meningkatkan harkat dan martabat serta kesejahteraan manusia. Oleh
karena itu profesi mulia sebagai agen pemberdayaan seperti : guru,
dosen,penyuluh, kiai/ulama,relawan, penggerak dan sebagainya. Yang bias
mendorong klien atau sasaran didiknya untuk mengubah perilaku menuju
kearah yang lebih baik sesuai dengan potensi dan kebutuhan mereka.
Eko Sudarmanto dkk (2020:21), pengertian pemberdayaan masyarakat
adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat golongan warga tertentu
yang ada di dalam kondisi kemiskinan dan keterbelakangan. Upaya tersebut
dimaksudkan guna membangun kemampuan masyarakat dengan cara
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran mereka, serta
mengembangkan potensinya. Sementara dikutip dari penjelasan di buku
Pengembangan Masyarakat karya Zubaedi (2013:162), konsep
pemberdayaan muncul dari kegiatan dan upaya penguatan modal sosial yang
dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat.
Robert Chambers, (dalam Kartasasmita :1997) bahwa pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum
nilai-nilai sosial. Konsep ini merupakan paradigma baru pembangunan,
yakni bersifat people centered, participatory, empowering and sustainable.
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar
atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih
lanjut (sefty net). Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris empowerment,
yang secara harafiah diartikan sebagai “pemberkuasaan” dalam arti
pemberian atau penigkatan kekuasaan kepada masyarakat yang lemah atau
tidak beruntung
Konsep pemberdayaan pada dasarnya adalah transfer kekuasaan melalui
penguatan modal sosial pada kelompok masyarakat, untuk menjadikan

10
mereka lebih produktif dan menghindari kebiasaan-kebiasaan yang kurang
produktif. Di sisi lain, pemberdayaan masyarakat juga termasuk konsep
pembangunan ekonomi yang berisi nilai-nilai sosial. Konsep tersebut
mencerminkan cara pembangunan yang bersifat peoplecentered,
participatory, empowering, dan sustainable. Maksud konsep peoplecentered
adalah pembangunan yang berorientasi pada masyarakat. Adapun konsep
participatory berarti pembangunan yang melibatkan partisipasi warga.
Sedangkan empowering dan sustainable merujuk pada strategi pembangunan
yang berorientasi ke pemberdayaan masyarakat(komunitas) dan sifatnya
berkelanjutan.
Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, mampu menghasilkan produk dan mendapatkan
manfaat dari produk yang mereka hasilkan. Dalam melaksanakan program
pemberdayaan, agen pemberdayaan harus berpedoman pada prinsip-prinsip
pemberdayaan dengan melihat pada hakikat dan konsep pemberdayaan
sebagai berikut:
1) Pemberdayaan dilakukan dengan cara yang demokratis dan menghindari
unsur paksaan. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk berdaya.
Setiap individu juga memiliki kebutuhan, bakat, masalah, minat, dan
potensi yang berbedabeda. Unsur-unsur yang bersifat pemaksaan harus
dihindari karena pemaksaan bukan ciri dari pemberdayaan.
2) Pemberdayaan dilandaskan pada kebutuhan, masalah, dan potensi
sasaran. Hakikatnya, setiap manusia memiliki kebutuhan dan potensi
dalam dirinya. Proses pemberdayaan dimulai dengan menumbuhkan
kesadaran kepada sasaran akan kebutuhan dan potensinya yang dapat
dikembangkan dan diberdayakan untuk mandiri. Proses pemberdayaan
juga dituntut berorientasi kepada kebutuhan dan potensi yang dimiliki
sasaran. Biasanya pada masyarakat pedesaan yangmasih tertinggal dan
belum terbuka pada perubahan, aspek kebutuhan, masalah, dan potensi
tidak nampak di permukaan. Agen pemberdayaan perlu melakukan

11
observasi secara tepat dan akurat. Dalam hal ini, agen pemberdayaan
perlu memiliki potensi untuk memahami potensi dan kebutuhan sasaran.
3) Sasaran pemberdayaan merupakan subyek atau pelaku dalam kegiatan
pemberdayaan. Oleh karena itu, sasaran menjadi dasar pertimbangan
dalam menentukan tujuan, pendekatan, dan bentuk aktivitas
pemberdayaan.
4) Pemberdayaan berarti menumbuhkan kembali nilai, budaya, dan
kearifan-kearifan lokal yang memiliki nilai luhur dalam masyarakat.
Budaya dan kearifan lokal seperti sifat gotong royong, kerjasama,
musyawarah mufakat, dan kearifan lokal lainnya yang merupakan bagian
dari jati diri masyarakat perlu ditumbuhkembangkan melalui berbagai
bentuk pemberdayaan sebagai modal sosial dalam pembangunan.
5) Pemberdayaan merupakan sebuah proses yang memerlukan waktu,
sehingga dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Tahapan ini
dilakukan secara logis mulai dari hal-hal yang sederhana hingga hal-hal
yang kompleks.
6) Kegiatan pendampingan atau pembinaan perlu dilakukan secara
bijaksana, bertahap, dan berkesinambungan. Kesabaran kehati-hatian
dari agen pemberdayaan perludilakukan terutama dalam menghadapi
keragaman karakter, kebiasaan, dan budaya masyarakat yang tertanam
lama.
7) Pemberdayaan tidak bisa dilakukan salah satu aspek saja, tetapi perlu
dilakukan secara holistik terhadap semua aspek kehidupan yang ada
dalam masyarakat.
8) Pemberdayaan perlu dilakukan terhadap kaum perempuan terutama
remaja dan ibu-ibu muda sebagai potensi besar dalam mendongkrak
kualitas kehidupan keluarga dan pengentasan kemiskinan.
9) Pemberdayaan dilakukan agar masyarakat memiliki hasrat untuk belajar
secara berkelanjutan dan terus menerus. Individu dan masyarakat perlu
dilatih untuk terbiasa belajar dengan memanfaatkan berbagai sumber

12
yang tersedia di sekitar. Sumber belajar tersebut dapat berupa
pengalaman, kondisi lingkungan, teknik, bahan baku, dan lain
sebagainya. Pemberdayaan juga perlu diarahkan untuk menggunakan
prinsip belajar sambil bekerja.
10) Pemberdayaan perlu memperhatikan keragaman budaya. Oleh karena itu,
diperlukan berbagai metode dan pendekatan pemberdayaan yang sesuai
dengan kondisi lapangan

Sebagai langka strategis pemberdayaan masyarakat, ada tiga pendekatan


untuk perencanaan pengembangan masyarakat (community development
approach) yaitu (Nindita, 2008: 63 dalam Alfitri :2011):

a) Development For Community


Pencetus kegiatan pengembangan masyarakat adalah perusahaan
yang mempunyai status sebagai pendonor, sedangkan komunitas target
adalah sebagai objek kegiatan pengembangan masyarakat. Dampak dari
kegiatan ini adalah ketergantungan dari komunitas terhadap perusahaan
atau pemerintah untuk mencapai hasil akhir.
b) Development With Community
Dalam program ini kegiatan dirumuskan bersama-sama antara
perusahaan dan masyarakat. Kedudukan perusahaan sebagai agen
pembangunan, sedangkan komunitas adalah subjek sekaligus objek
program pengembangan masyarakat. Tujuan dari program adalah
memberi sumbangan pada proses pembangunan. Dampak positifnya,
komunitas tidaksepenuhnya bergantung pada perusahaan atau
pemerintah, akan tetapi dilatih untuk berswadaya.
c) Development Of Community
Karakter utama program ini adalah berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan komunitas. Tujuan akhirnya adalah pembangunan yang
berproses. Di sini yang menjadi pencetus ide adalah komunitas sendiri,
jadi komunitas yang mengidentifikasi kebutuhan dan program mereka.

13
Dampak positifnya adalah membuat komunitas menjadi self-
reliance, mereka sendiri yang terlibat dan sekaligus menentukan
keberhasilannya.
2.1.3 Unsur-unsur Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat berkaitan erat dengan setiap
perencanaan pembangunan yang diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat paling tidak menurut Sumodinningrat (1999:192) harus
memuat unsure-unsur pokok sebagai berikut:
1) Strategi dasar pemberdayaan masyarakat yang merupakan acuan
dari seluruh upaya pemberdayaan masyarakat.
2) Kerangka makro pemberdayaan masyarakat yang memuat berbagai
besaran sebagai sasaran yang harus dicapai.
3) Sumber anggaran pembangunan sebagai perkiraan sumber-sumber
pembiayaan pembangunan.
4) Kerangka dan perangkat kebijaksaan pemberdayaan masyarakat.
5) Program-program pemberdayaan masyarakat yang secara konsisten
diarahkan pada pengembangan kapasitas masyarakat.
6) Indicator keberhasilan program yang memuat perangkat pencatatan
sebagai dasar pemantauan evaluasi program dan penyempuranaan
program serta kebijakan yang menjamin kelangsungan program.

Dengan demikian, maka keenam unsure pokok pemberdayaan


diatas sangat perlu diperhatikan guna mencapai sasaran yang diinginkan
dimasyarakat. Pemberdayaan perlu diwujudkan dalam bentuk program
pemberdayaan semua potensi yang ada pada masyarakat. Oleh karena itu
terdapat hubungan yang sistematis antara partisipasi dengan pemberdayaan,
artinya partisipasi masyarakat secara mutlak diperlukan diperlukan dalam
rangka pemberdayaan masyarakat. Dari segi relevansi maka pemberdayaan
harus berkaitan dengan tingkat kebutuhan dan permasalahan masyarakat.
Pendekatan pemberdayaan dapat menggunakan dua pendekatan yakni

14
pendekatan untuk perbaikan (improvement approach) dan pendekatan untuk
perubahan ( transformatif approach)

2.2 Konsep Pemberdayaan Perempuan


Kosep pemberdayaan perempuan dalam literature pembangunan
memiliki perspektif yang sangat luas. Pemberdayaan adalah peningkatan
kemandirian perempuan dengan menghormati kebhinekaan dan kekhasan local.
Menurut Moulton (Prijono dan Prijoko : 2002:203) pemberdayaan perempuan
diartikan pembagian kekuasaan yang adil sehingga mendorong tumbuhnya
kesadaran dan partisipasi perempuan yang lebih besar disemua sisi kehidupan.
Konsep ini sering dihubungkan dengan gagasan memberikan power kepada
perempuan agar mampu mengaktualisasikan diri dalam rangka mempertinggi
eksistensi mereka ditengah masyarakat.
Esensi pemberdayaan perempuan menurut Kreisber (Anwar :
2003:148) adalah pertama, refleksi kepentingan emansipatoris untuk
mendorong perempuan agar mampu berpartisipasi secara kolektif dalam
pembangunan. Kedua, proses perlibatan individu atau masyarakat kedalam
proses pencerahan,penyadaran, dan pengorganisasian kolektif serta dapat
mengatur atau menguasai ketrampilan agar mampu menjadi partispan yang
kritis dan efektif dalam masyarakat.
Mutawali (2001:12) menyebutkan peranan perempuan dapat dilihat
dari dua aspek, yaitu aspek internal dan eksternal. Aspek internal berupa
peranya dalam kehidupan keluarga, yaitu mendidik dan memelihara anak-anak
serta membina keluarga agar menjadi keluarga yang sehat dan sejahtera lahir
dan batin. Sedangkan aspek eksternal peranya diluar keluarga, yakni turut
membangun masyarakat sebagai pelaksana pembangunan.
Menurut Tan (19996:26) menyatakan bahwa dewasa ini perempuan
memperoleh kesempatan lebih majemuk. Perempuan bukan semata-mata
tampil dan berkesempatan memainkan peranya sebagai makhluk social dalam
menjalin hubungan dengan suami, anak, maupun dengan masyarakat luas

15
lainya. Oleh karena itu peran perempuan dalam pembangunan bangsa
diarahkan pada penghapusan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup,
pertumbuhan ekonomi, partisipasi aktif dalam masyarakat, stabilisasi nasional,
dan pembangunan berkelanjutan.
2.2.1 Pengertian Pemberdayaan Perempuan
Pemberdayaan perempuan terutama di daerah pedesaan menjadi salah
satu sasaran yang gencar digulirkan oleh pemerintah, apalagi dengan adanya
isu kemiskinan yang paling banyak dialami daerah pedesaan. Oleh karena itu,
dirasa perlu memberdayakan peranan dan potensi perempuan pedesaan.
Allahdadi (2011:40-41) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ada 4 tipe
pemberdayaan perempuan di pedesaan. Keempat tipe tersebut antara lain:
a. Pemberdayaan masyarakat: Akses terhadap pengetahuan dan
kesadaran baru dan bermanfaat, mengembangkan keterampilan baru,
kemampuan, kepercayaan diri dan kompetensi, menciptakan
persahabatan dan dukungan dari perempuan lain, berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan dengan perempuan lain.
b. Pemberdayaan organisasi: Pengetahuan dan kesadaran baru tentang
manfaat baru dari teknologi untuk pembangunan pedesaan melalui
pengembangan desa wisata atau pengembangan koperasi-koperasi di
bidang pertanian.
c. Pemberdayaan politik: Mempengaruhi kebijakan pemerintah lainnya
dan keputusan yang mempengaruhi masyarakat pedesaan, mengubah
keyakinan yang berbasis masyarakat kota,membangun hubungan
dengan orang-orang di pemerintahan dan industri, serta wanita lainnya
untuk membahas isu-isu yang mempengaruhi perempuan pedesaan
dan masyarakat pedesaan.
d. Pemberdayaan psikologis: Peningkatan rasa percaya diri dan harga
diri, motivasi yang lebih besar, inspirasi, semangat dan minat untuk
mengembangkan keterampilan dan pengetahuan baru, untuk terus
mendorong agar lebih baik pelayanan bagi masyarakat pedesaan,

16
perasaan memiliki yang berhubungan dengan keikutsertaan dalam
kelompok secara khusus.
Menurut Hubeis (2010:125), pemberdayaan perempuan adalah “upaya
memperbaiki status dan peran perempuan dalam pembangunan bangsa, sama
halnya dengan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan”. Daulay
(2006:7) menyampaikan bahwa program pemberdayaan perempuan di Indonesia
pada hakekatnya telah dimulai sejak tahun 1978. Dalam perkembangannya
upaya dalam kerangka pemberdayaan perempuan ini secara kasat mata telah
menghasilkan suatu proses peningkatan dalam berbagai hal. Seperti peningkatan
dalam kondisi, derajat, dan kualitas hidup kaum perempuan di berbagai sektor
strategis seperti bidang pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan dan
keikutsertaan ber-KB.
Anwas (2013:70) menjelaskan bahwa pengelola program dalam hal ini
adalah perempuan dusun yang memberdayakan individu dan masyarakat baik
formal maupun non-formal dapat disebut sebagai agen pemberdayaan (agent
of empowerment). Pada RPJP Nasional dan RPJM Daerah menunjukkan bahwa
program pemberdayaan perempuan menjadi salah satu program prioritas dalam
rangka pembangunan nasional. Kondisi demikian dapat meningkatkan
kedudukan dan peranan perempuan, serta mampu memperjuangkan terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender. Hal lain yang didapatkan yakni meningkatnya
kualitas peran dan kemandirian perempuan dalam rangka pemberdayaan
perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Sehingga dengan kata
lain, memberdayakan perempuan berarti memberdayakan suatu bangsa.
Berbicara mengenai pemberdayaan, maka selalu diarahkan kepada
beberapa konsep seperti kemandirian, keadilan, dan partisipasi, yang
kesemuanya diletakkan pada kekuatan individu yang ingin diberdayakan dan
kekuatan sosial dimana individu itu berada. Istilah pemberdayaan dalam banyak
program terutama dalam program- program pengentasan kemiskinan bertujuan
agar masyarakat yang menjadi sasaran memiliki kekuatan agar dapat terangkat
dari keterpurukannya. Apabila kita menoleh ke belakang dimana konsep awal

17
pemberdayaan ini mulai diperkenalkan, maka pemberdayaan masyarakat itu
lebih kepada bagaimana masyarakat yang menjadi sasaran dapat berperan aktif
dalam proses pembangunan. Dengan kata lain bahwa konsep pemberdayaan
awalnya dimulai dari konsep partisipasi masyarakat.
Melalui pemberdayaan masyarakat diharapkan pemerintah mampu
mengembangkan teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk
menggugah kesadaran masyarakat Seperti yang diungkapkan oleh Sikhondze
(dalam Karsidi, 2001), bahwa orientasi pemberdayaan haruslah membantu
sasaran (masyarakat pesisir) agar mampu mengembangkan diri atas dasar
inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, dengan berorientasi
pada kebutuhan masyarakat pesisir dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam
bentuk layanan individu maupun kelompok. Sedangkan peran petugas
pemberdayaan masyarakat (pendamping) sebagai outsider people adalah sebagai
konsultan, peran pembimbingan dan peran penyampai informasi. Dengan
demikian peranserta kelompok sasaran (masyarakat itu sendiri) menjadi sangat
dominan.
Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi
masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan
melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen
dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, kegiatan
pemberdayaan masyarakat harus mampu mengembangkan teknik-teknik
pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat.
Pada hahkikatnya pengelolaan dan pengembangan kawasan pesisir ini sangat
tergantung kepada partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya, sebab
masyarakat sekitar merupakan pengguna sumber daya yang secara langsung
berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan tersebut.
Menurut kementrian (2002) pemberdayaan perempuan adalah usaha
untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Persoalan perempuan saat ini masih sering diperbincangkan
pandangan masyarakat tentang kedudukan perempuan lebih rendah daripada

18
laki-laki masih melekat dan menjadi penghalang dalam mensejahterahkan
perempuan, hal ini dibuktikan oeh banyaknya kasus penganiayaan perempuan
di dalam rumah tangga dan perempuan hanya berperan sebagai pengurus anak
saja. Padahal, perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama untuk
mengembangkan dirinya, berkarir, berkreasi dan menciptakan inovasi-inovasi
baru untuk kesejahteraan masyarakat di sekililingnya.
2.2.2 Tujuan Pemberdayaan Perempuan
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan perempuan adalah
membentuk individu perempuan dalam masyarakat menjadi mandiri mandiri.
Arti kata mandiri merujuk pada kemandirian berpikir, bertindak, dan
mengendalikan atau mengontrol apa yang mereka lakukan tersebut. Dalam
mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses, karena melalui
sebuah proses belajar secara bertahap atau berkelanjutan maka kemampuan
masyarakat akan meningkat dari waktu ke waktu.
Kegiatan pemberdayaan harus mencakup semua aspek kehidupan
masyarakat yang membebaskan mereka dari kelompok masyarakat lainya
atau dari dominasi kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan social budaya.
Tujuan pemberdayaan di bidang ekonomi yang kuat, besar, mandiri, dan
berdaya saing. Sedangkan dibidang politik adalah penguatan rakyat kecil
dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dibidang social budaya bertujuan menguatkan rakyat kecil melalui
peningkatan, penegakan nilai-nilai, gagasan, norma, dan mendorong
terwujudnya organisasi social.
Tujuan pemberdayaan perempuan adalah meningkatkan kedudukan
dan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, meningkatkan kualitas peran
kemandirian organisasi perempuan dengan mempertahankan nilai persatuan
dan kesatuan serta mengembangkan usaha pemberdayaan perempuan,
kesejahte raan keluarga dan masyarakat serta perlindungan. Pemberdayaan
perempuan diwujudkan dengan memberikan motivasi dan ketrampilan

19
kepada perempuan, misalnya memberikan pelatihan menjahit, membuat
pernak-pernik, atau ketrampilan lainya.
Dengan ketrampilan tersebut diharapkan perempuan dapat
mengembangkan diri, kreatifitas dan meningkatkan ekonomi rumah tangga.
Selain itu, perlunya organisasi yang bergerak dibidang pemberdayaan
perempuan yang menampung segala pendapat perempuan dan melindungi
perempuan dari segala bentuk kekerasan serta membantu perempuan dalam
membentuk hak-haknya dengan begitu terwujudnya perempuan yang cerdas
dan terampil, sehingga perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu rumah
tangga saja namun perempuan mampu berkarir, berkreasi, dan berperan aktif
dalam keluarga, masyarakat dan Negara.
2.2.3 Fungsi Pemberdayaan Perempuan
Apabila upaya pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah sesuai dengan peranan dan di iringi dengan pola
perencanaan yang baik maka menghasilkan sesuatu yang baik pula. Dalam
rangka pemberdayaan ini upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan dan derajat kesehatan, serta akses kepada sumber-sumber
kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan
pasar, untuk itu diperlukan peranan pemerintah daerah dalam meningkatkan
kemandirian masyarakat, melalui aktifitas pemerintah untuk meningkatkan
pemberdayaan perempuan.
Untuk melaksanakan fungsi pemberdayaan perempuan dengan baik,
menurut Kartasasmita melalui tiga cara yaitu sebagai berikut :
a. Menciptakan suatu iklim yang memungkinkan potensi kaum perempuan
berkembang. Upaya memberdayakan perempuan harus pertama-tama
dimulai dengan menciptakan suatu iklim yang memungkinkan potensi
kaum perempuan berkembang. Upaya ini bertitik tolak pada pengenalan
bahwa setisp manusia laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki
potensi yang dapat dikembangkan. pemberdayaanya dengan mendorong,

20
memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilkinya
serta berupaya untuk mengembangkanya.
b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh kaum perempuan.
Upaya ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif, selain diri
hanya menciptkan iklim dan suasana. Dalam hal ini perempuan harus
diberi kesempatan dengan membuka akses pada modal, teknologi,
informasi, pasar, dan berbagai peluang lainya.
c. Memberdayakan mengandung arti pula melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus diupayakan agar yang lemah tidak menjadi
bertambah lemah karena kurang berdayaan dalam menghadapi yang kuat.
Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan ini. Memberdayakan
perempuan adalah memampukan dan memandirikan kaum perempuan
sebagai warga masyarakat yang sejajar dengan kaum laki-laki.

Pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan


perempuan adalah mengembangkan ketenagakerjaan secara mandiri dan terpadu
yang diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kemandirian tenaga kerja,
peningkatan upah kerja, menajmin kesejahteraan, perlindungan kerja dan
kebebasan berserikat, serta melakukan berbagai upaya terpadu untuk
mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi
pengangguran yang merupakan dampak krisis ekonomi.

Fungsi pemberdayaan perempuan adalah upaya untuk meningkatkan


harkat dan martabat kaum perempuan yang dalam kondisi sekarang tidak
mampu untuk melepaskan diri dari perangkap budaya, kemiskinan, dan
keterbelakangan.

21
2.3 Tinjauan Pengolahan Produk Buah Manggrove
2.3.1 Pengertian Manggrove
Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai tipe hutan
yang tumbuh pada daerah pasang surut (terutama pantai yang terlindung,
laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi
terhadap garam (Kusmana, et al., 2003). Hutan mangrove merupakan
eksosistem utama pendukung kehidupan masyarakat pesisir. Selain
mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut,
penahan abrasi pantai, penahan gelombang pasang dan tsunami, penyerap
limbah, pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga bisa berfungsi
untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya.(Fitriah,
2015).
Manggrove merupakan yang tumbuh ditempat pertemuan antara
muara sungai dan air laut. tumbuh subur pada daerah sungai dan muara
sungai disepanjang pesisir pantai berlumpur dengan salinitas rendah
dan kering. tanaman ini berfungsi sebagai pelindung daratan dan
gelombang laut yang besar. bagi manusia manggrove juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang bagian buahnya yang
sering disebut buah manggrove.
Pengolahan buah mangrove yang tersedia menjadi aneka olahan
makanan. Antusiasme mitra dalam pelatihan ini sangat tinggi karena
merupakan hal yang baru didapatkan. Apalagi jumlah buah mangrove yang
menjadi bahan utama dalam program ini sangat melimpah keberadaanya di
Kelurahan ini. Pelatihan ini secara umum terbagi menjadi 2 sesi, yang
pertama pelatihan pengolahan buah mangrove jenis pedada (Sonneratia
alba), pengolahan buah pedada tidak membutuhkan perlakuan khusus
karena pada dasarnya buah pedada bisa langsung dikonsumsi dan tidak
memiliki kandungan yang berbahaya bagi kesehatan.(Destiquama,
Muhammad Wahyu, Wardiman, Amal, Nurwahidah, 2021)

22
salah satu spesies manggrove yang sering dimanfaatkan untuk bahan
makanan adalah buah manggrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza).
buah ini biasa disebut dengan buah lindur (dalam bahasa jawa). ciri-cirinya
adalah daunya berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan
pada bagian bawahnya. dengan bercak-bercak hitam,letak berlawanan,
bentuk daun elip ujung meruncing.buah melingkar spiral memanjang
dengan panjang antara 13-30 cm.
Buah lindur (buah manggrove) banyak diolah menjadi kue, cake,
dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa.
namun karena terbatasnya waktu penyimpanan seperti buah-buahan hasil
pertanian yang lainya buah lindur ini akan menjadi cepat busuk.
penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah
lindur karena dengan penepungan dapat memutus rantai metabolisme buah
lindur sehingga menjadi lebih awet karena kandungan airnya rendah dan
lebih fleksibel diaplikasikan pada berbagai jenis olahan pangan
Bengen (2000) menyatakan hutan mangrove merupakan komunitas
vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove
yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur. Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai,
biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh:
a) tidak terpengaruh iklim.
b) dipengaruhi pasang surut.
c) Tanah tergenang air laut.
d) Tanah rendah pantai.
e) Hutan tidak mempunyai struktur tajuk.
f) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia sp), pedada
(Sonneratia), bakau (Rhizophora sp), lacang (Bruguiera sp), nyirih
(Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain.

23
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total
mangrove di AsiaTenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia.
Keunikan yang dimiliki ekosistem mangrove di Indonesia adalah memiliki
keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia. Semakin menurunnya jumlah
luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa terjadi
degradasi hutan mangrove yang cukup tinggi. Masyarakat pesisir sebagai
masyarakat yang berinteraksi langsung dengan ekosistem mangrove sangat
dirugikan dengan semakin menurunya kawasan hutan mangrove.

Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat ikut dilibatkan dalam


usaha rehabilitasi kawasan mangrove karena mereka adalah masyarakat yang
paling dekat dan setiap saat berinteraksi dengan hutan mangrove (Dahuri, 2003).
Potensi sumber daya pesisir dan laut jika dimanfaatkan secara optimal dapat
mensejahterakan masyarakat, terutama kaum perempuan. Terutama nelayan
tradisional, pada kenyataannya termasuk pada masyarakat miskin dan tertinggal
diantara kelompok masyarakat lainnya. Kondisi ini tercermin dari masih
banyaknya kemiskinan yang dijumpai pada masyarakat nelayan dan kualitas
sumberdaya manusia yang masih rendah (Dahuri, 2003).

Syukur, dkk (2007 )menyatakan bahwa pengelolaan mangrove


didasarkan atas tiga tahapan yaitu : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan
dan perangkat hukum serta strategi pelaksanaan rencana. Isu ekologi meliputi
tampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai
dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dikemudian hari. Dalam hal
ini, pengelolaan hutan mangrove terdapat 3 (tiga) komponen yang saling
berkaitan yaitu : (1) Potensi sumberdaya hutan mangrove. (2) Masyarakat
disekitar hutan mangrove (petani tambak) dan (3) Aparatur pemerintah. Ketiga
komponen tersebut merupakan komponen yang dinamis. Sehingga dalam
kebijakan pengelolaan mangrove melalui pelibatan masyarakat lebih proaktif
kearah pemberdayaan masyarakat dalam bentuk partisipasi. Keberhasilan

24
pengelolaan mangrove dapat dioptimalkan melalui strategi pengelolaan hutan
mangrove berbasis masyarakat yang mengandung arti keterlibatan langsung
masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam. Mengelola disini mengandung
arti, masyarakat ikut memikirkan, merencanakan, memonitor dan mengevaluasi
sumberdaya ekosistem hutan mangrove dan manfaat sumberdaya tersebut secara
berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian ekosistem tersebut (Bengen,
2002).

Mangrove merupakan tanaman yang khas karena tumbuh di daerah


pantai atau pesisir dan memiliki banyak manfaat. Tanaman mangrove terdiri atas
akar yang berfungsi sebagai penahan abrasi dan penangkap sedimen. Beberapa
model atau tipe akar mangrove mendukung fungsi ekosistem ini sebagai daerah
asuhan, mencari makan dan daerah pemijahan. Batang/pohon mangrove
dimanfaatkan sebagai kayu akar dan obat-obatan. Sedangkan buah maupun
propagul mangrove dapat diolah menjadi beragam makanan dan minuman. Pada
musim panen, buah mangrove sangat berlimpah dan dianggap sebagai sampah
lingkungan sehingga pengelolahan buah mangrove menjadi produk makanan dan
minuman, selain dapat mengurangi beban degradasi lingkungan, juga akan
semakin mempertajam fungsi dan kegunaan mangrove baik secara ekologis
maupun ekonomi.(Churun A‟in, 2017)

2.3.2 Pemanfaatan Mangrove Sebagai Bahan Pangan


Salah satu contoh pemanfaatan non kayu adalah pengolahan buah
mangrove menjadibahan makanan. Contoh makanan dari mangrove adalah :(Ir.
Kusnandar & : Ir. Sri Mulyani, M.Si Heru Kurniawan Alamsyah, S.Kel., M.Han.
Susi Watina Simanjuntak, S.Pi., M.Pi. Teguh Haris Santoso, 2020)
1. Buah pedada (Soneratia Spp.) dapat dibuat syrup, selai, dodol, permen
dan lain-lain.
2. Buah api-api (Avicenia Spp.) dapat dibuat keripik, bahan tepung
pembuatan kue basah dan lain-lain.

25
3. Nipah (Nypa fruticans) sebagai bahan bahan baku minuman (es buah) dan
buahnya bisa langsung dimakan (Kusmana, 2003).

Beberapa jenis buah mangrove yang bisa diolah menjadi bahan pangan
diantaranya adalah mangrove jenis Avicennia alba dan Avicennia marina atau
yang lebih dikenal masyarakat dengan naman api-api lebih cocok untuk dibuat
keripik karena ukurannya kecil seperti kacang kapri dan rasanya gurih serta
renyah seperti emping melinjo. Sonneratia sp dapat dibuat tepung dan dapat
diolah menjadi beraneka ragam kue, seperti kelepon, bolu, kue kering, dodol,
sirup dan makanan lezat lainnya. Adapun Rhizopora mucronata atau biasa
disebut bakau. perempuan yang tingggi buahnya sekitar 70 sentimeter serta
Rhizopora apiculata (bakau laki) yang tingginya sekitar 40 sentimeter, lebih
cocok dibuat sayur asam karena rasanya segar. Sonneratia alba yang biasa
disebut pedada yang buahnya seperti granat nanas, lebih cocok untuk dibuat
permen karena rasanya asam. Nypa frutican lebih cocok untuk dibuat
kolak.perempuan yang tingggi buahnya sekitar 70 sentimeter serta Rhizopora
apiculata (bakau laki) yang tingginya sekitar 40 sentimeter, lebih cocok dibuat
sayur asam karena rasanya segar. Sonneratia alba yang biasa disebut pedada
yang buahnya seperti granat nanas, lebih cocok untuk dibuat permen karena
rasanya asam. Nypa frutican lebih cocok untuk dibuat kolak.(Faisal Jayadi, Andi
Sukainah, 2018)

Buah Aibon (Bruguiera sp) merupakan komoditi alternatif pengganti


beras dan ubi yang akan digunakan jika sewaktu-waktu terjadi gagal panen.
Komposisi buah aibon (mangrove) jika dibandingkan dengan singkong, ubi jalar,
beras dan sagu, maka komposisi buah aibon lebih menyerupai singkong,
kandungan karbohidratnya hampir sama, yaitu 92 %. Buah aibon memiliki
prospek sangat baik untuk dikembangkan menjadi bahan pangan alternatif
pengganti beras, terutama bagi masyarakat di sekitar pesisir pantai, juga sebagai
penyedia karbohidrat maupun sebagai bahan baku industri. Satu kendala yang
dihadapi adalah jika dibandingkan dengan komoditi lain misalnya beras atau ubi,

26
pengolahan buah mangrove cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama.
Akibatnya masyarakat sudah jarang yang memanfaatkan untuk makanan
(Sudarmadji, 2001).

Pengelolaan dan pengembangan kawasan pesisir khususnya pemanfaatan


tumbuhan mangrove untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga sangat
tergantung kepada persepsi dan partisipasi masyarakat, sebab masyarakat sekitar
merupakan pengguna sumber daya yang secara langsung berhubungan dengan
pemanfaatan dan pengelolaan kawasan tersebut. Masyarakat harus merasa
memiliki dan bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian sumber daya secara
berkelanjutan, maka untuk mencapai tujuan ini diperlukan dukungan kualitas
sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan sosial ekonomi dan budaya yang
optimal dalam kehidupan masyarakat.Perilaku atau aktivitas pada seseorang atau
kelompok masyarakat tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari
stimulus yang diterima oleh yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun
stimulus internal. Perilaku tersebut dapat mempengaruhi seseorang, di samping
itu perilaku juga berpengaruh pada lingkungan. Demikian pula lingkungan dapat
mempengaruhi seseorang, demikian sebaliknya. Oleh sebab itu, dalam perspektif
psikologi, perilaku manusia (human behaviour) dipandang sebagai reaksi yang
dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks (Azwar, 2003 dalam
Hendratmoko:2010)

2.3.3 Fungsi Ekosisitem Manggrove sebagai Pangan


Ekosistem mangrove menjadi sumber daya alam yang berperan dalam
produktifitas perairan pesisir. Wilayah Indonesia diketahui sebagai negara
kepulauan dengan luasan mangrove terbesar di dunia, sekitar 3.361.261 Ha
(Rahadian et al. 2019) sekitar 22% dari total ekosistem mangrove yang tersebar di
dunia (Syamsu et al. 2018). Berdasarkan fungsinya, Ekosistem mangrove dapat
dibedakan menjadi tiga fungsi, diataranya adalah fungsi fisik, ekologis dan
ekonomis (Lisna et al. 2017). Namun pada kenyataannya, mangrove juga

27
berpotensi untuk dikembangkan menjadi pangan alternatif yang dapat diolah
menjadi bahan makanan (Girsang, 2017).
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Masalah
ketahanan pangan menjadi salah satu isu yang sangat penting di Indonesia.
Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Indonesia cukup berat untuk
dilakukan karena adanya kesulitan untuk menjangkau daerah-daerah terisolir.
Menurut Suwarno et al. (2010) dalam Sari dan Adi (2016), permasalahan yang
sering terjadi di pulau terpencil adalah kebutuhan bahan pokok. Menurut Fauzi
et al. (2019), untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, terdapat tiga
faktor pendukung yang perlu diperhatikan, yaitu ketersediaan pangan, akses
terhadap pangan dan pemanfaatan pangan. Berdasarkan penjelasan perlu
dilakukan eksplorasi pangan alternatif sebagai solusi, salah satunya adalah buah
mangrove (Fitriah, 2015).
Kondisi mangrove yang melimpah di wilayah pesisir tidak dibarengi
dengan kemampuan masyarakat dalam pemanfaatannya sebagai pangan alternatif.
Menurut Mulyatun (2018), masyarakat pesisir yang sebagian besar sebagai
nelayan sangat bergantung pada hasil laut. Hal ini juga diungkapkan oleh
Handayani (2018), menyatakan bahwa belum banyak pengetahuan tentang potensi
mangrove sebagai sumber pangan. Bahkan beberapa daerah hanya memanfaatkan
mangrove sebagai bahan pangan dalam keadaan mendesak saja (Priyono et al.
(2010). Sehingga pada kondisi ini, pemanfaatan mangrove sebagai pangan
alternatif sangat diperlukan. Buah mangrove dapat dieksplorasi sebagai salah satu
sumber pangan lokal baru terutama di berbagai daerah yang memiliki ekosistem
mangrove yang luas.(Arthana, Restu, Dewi, Pratiwi, & Ekawaty, 2017)
2.3.4 Tahap- Tahap Pelaksanaan Pengolahan Produk buah Manggrove
1) Tahap pengambilan buah mangrove
a) Melakukan observasi untuk memeperoleh informasi awal mengenai
lokasi yang akan dijadikan sebagai lokasi penelitian, dimana peneliti
melakukan pengamatan di lapangan yang meliputi keseluruhan kawasan

28
hutan mangrove mengenai keadaan fisiogami hutan mangrove serta
keadaan pasang surut.
b) Melakukan identifikasi spesies mangrove secara langsung di lapangan.
c) Jumlah individu setiap spesies mangrove yang ditemukan dicatat
2) Tahap pelaksanaan
a) Pengupasan. Buah mangrove yang akan diolah terlebih dahulu di kupas.
Khusus untuk spesies Avivennia spp pengupasan ini untuk memisahkan
lembaga dengan putiknya.Tahap pengupasan untuk pemisahan lembaga
dan putik. Hasil dari pemisahan lembaga dengan putiknya untuk
mendapatkan daging buah yang akan digunakan untuk berbagai olahan.
b) Perebusan. Daging buah yang sudah diperoleh kemudian akan direbus.
Tahapan perebusan dilakukan 2 tahap yakni perebusan 1 selama 10
menit dan perebusan 2 ditambah abu gosok.
c) Pencucian. Buah yang sudah dicuci bersih kemudian akan direndam.
Tahapan perendaman minimal dilakukan selama dua hari. Perendaman
tersebut di lakukan selama 2x24 jam atau 2 hari. Dan yang sangat
diperhatikan yakni pada tahap perendaman air yang digunakan harus
diganti air setiap 6 jam.
d) Penghancuran. Buah yang sudah selesai direndam kemudian akan
dihancurkan (bisa di ulek halus, ditumbuk, atau di blender).

Buah mangrove yang sudah melewati berbagai tahap di atas kemudian


siap diolah untuk menghasilkan berbagai produk pangan yang diinginkan

2.3.5 Pengolahan Pangan Berbasis Buah Mangrove


Tim pelaksana menyusun modul keterampilan mengolah buah
mangrove menjadi berbagai bentuk penganan, dan melakukan uji coba
produk Diskusi ini untuk membentuk persepsi yang sama dalam mencapai
tujuan kegiatan, serta pembentukan kelompok perempuan sebagai peserta
pelatihan. Kelompok-kelompok perempuan keterampilan mengolah
buah mangrove menjadi pangan berupa: pia mangrove, dodol, stick, cake,

29
pudding, kerupuk dan keripik Buah mangrove yang diolah menjadi bahan
pangan terdiri dari jenis Bruguiera gymnorrhiza (bahasa, Avicennia spp
dan Sonneratia caseolaris).
Pendampingan kelompok perempuan oleh fasilitator dimaksudkan
untuk mengevaluasi dan memotivasi agar terjadi keberlanjutan kegiatan
produksi, dan mengatasi kendala yang ditemui di lapangan. Kelompok
awal yang dibentuk merupakan motivator bagi kaum perempuan lain
sehingga dapat juga dibentuk kelompok baru termotivasi membentuk
kelompok baru untuk kegiatan produksi dan pemasaran produk berbasis
buah mangrove yang dimotivasi dan dibina oleh kelompok awal.
Pengolahan pembuatan kemasan produk pangan dan pemasaran produk
Pada awalnya pemasaran masih terbatas di sekitar lokasi proyek,
kemudian berkembang hingga memenuhi pesanan dari luar lokasi proyek.
2.3.6 Tujuan Pengolahan produk pada perempuan
Pendidikan dan pelatihan merupakan upaya yang dirancang
secara khusus untuk meningktakan kompotensi seseorang bentuklah
adalah pendidikan formal lanjutan dan kegiatan pelatihan. Dalam
proses belajar ini seperti ini setiap individu memiliki ketergantungan
dari pihak lain. Misalnya proses belajar dalam pendidikan formal
bergantung pada guru atau dosen, begitulah dalam kegiatan pelatihan
bergantung pada instruktur dan pengelolahnya. Dalam hal ini ada
pengkondisian lingkungan yang menciptakan terjadi proses belajar.
Kondisi ini sesuai dengan paham behavioristik yang menekankan bahwa
proses belajar dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan
pengukuhan dengan mengkondisikan stimulus dalam lingkungan.
Kegiatan usaha yang dilanjutkan dengan pengolahan produk
berbasis mangrove bertujuan untuk melakukan pemberdayaan kelompok
pengolah mangrove beserta biota yang mendiaminya agar memiliki mata
pencaharian dan memiliki jiwa kewirausahaan. Tujuan spesifik kegiatan
pemberdayaan adalah upaya pemberdayaan perempuan kelompok

30
melalui penciptaan lapangan kerja dan peluang usaha baru bagi kaum
perempuan sehingga mereka memiliki sumber penghasilan. Hal ini akan
berimplikasi pada peningkatan daya beli masyarakat yang akan
berdampak pada dinamika ekonomi masyarakat terutama kaum
perempuan. Disamping tujuan secara ekonomi, tujuan kelembagaan,
yaitu
a. Melalui pemberdayaan akan dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan perempuan dalam bidang teknik berwirausaha
b. Melalui pemberdayaan akan dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan kaum perempuan pengembangan usaha pengolahan
produk olahan berbasis mangrove mulai dari tahapan produksi dan
pemasaran hasil.
c. Penguatan kelembagaan (institusional building) sosial ekonomi
masyarakat melalui penumbuhan dan pengembangan kelembagaan
kelompok.
d. Melalui pengolahan dan pembinaan akan dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan kaum perempuan atau kelompok
sasaran untuk melakukan pengolahan produk berbasis mangrove.

Peningkatan ketrampilan pengolahan hasil berbasis mangrove


diarahkan untuk : Memotivasi masyarakat dalam hal ini kaum perempuan untuk
berusaha dan bekerja keras serta kreatif dan inovatif dalam menjalankan
kegiatan usahanya.

1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil usaha sehingga akan mendorong


peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka.
2. Meningkatkan pendapatan kaum perempuan sasaran melalui pengolahan
produksi hasil olahan berbasis manggrove, kualitas produksi dan harga
jual di pasaran.
3. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam mengadopsi
teknologi inovasi pengolahan mangrove secara higienis.

31
4. Meningkatkan pengetahuan bagi kelompok sasaran tentang pelaksanaan
hidup bersih dan sehat.
2.3.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Usaha Olahan Pangan Berbasis
Mangrove
Mengubah atau meningkatkan persepsi masyarakat terhadap pentingnya
pengembangan usaha olahan mangrove penting dilakukan sebagai acuan dan
dasar pengembangan usaha kecil untuk berbagai pemanfaatan kedepan.
Peningkatan persepsi mendorong masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam
kegiatan pengolahan mangrove. Sejalan dengan apa yang diungkapkan
Slamet (1985), terdapat 3 syarat agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pembangunan, yaitu adanya kemauan, kemampuan serta kesempatan untuk
berpartisipasi. Persepsi dan partisipasi merupakan konsep yang saling terkait,
seseorang akan. berpartisipasi terhadap suatu objek, didahului oleh persepsi
dan sikapnya terhadap objek tersebut dan baru kemudian muncul partisipasi.
Persepsi masyarakat yang baik terhadap pengolahan pangan berbasis
mangrove perlu dibangun dengan berbagai upaya salah satunya adalah
melalui pertemuan/diskusi formal dan informal.
2.3.8 Kendala Pengembangan Usaha Olahan Pangan Berbasis Manggrove
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha olahan pangan
berbasis mangrove adalah semangat membangun usaha produktif hanya bisa
dilakukan oleh beberapa anggota kelompok saja, karena setiap anggota
kelompok memiliki cara pandang dan effort yang berbeda. Disamping itu
ketersediaan sarana pendukung yang dimiliki kelompok relatif terbatas.
Beberapa kelemahan lain yang dapat diidentifikasi dari karakteristik peserta
program yang menjadi factor pnghambat keberlanjutan usaha kedepan adalah
sikap mental yang mengabaikan kualitas bahan baku, proses produksi kurang
higienis karena budaya bersih jauh dari standart ideal, mental yang tidak
focus dan kurang effort, sifat tak percaya kepada diri sendiri, tak berdisiplin,
sikap mental mengabaikan tanggung jawab.(Hilyana, Amir, Marzuki, &
Damayanti, 2019).

32
2.3.9 Manfaat Pengolahan produk Manggrove Bagi perempuan
Adapun manfaat yang diperoleh kaum perempuan atau warga
belajar dalam mengikuti program pemberdayaan perempuan melalui
pengolahan prouduk mangrove ini perempuan memiliki partisipasi yang
cukup tinggi dalam proses pengambilan keputusan atas kebutuhan
keluarga, karena itu keputusan ibu rumah tangga ikut menentukan
keikutsertaan perempuan dalam kegiatan ini. Umumnya aktivitas ekonomi
perempuan masih sangat terbatas, mereka biasanya bekerja untuk
mendukung kebutuhan ekonomi keluarga pada saat ikan sukar diperoleh.
Kegiatan ekonomi biasanya menjual jasa sebagai pencuci pakaian tetangga
bagi yang membutuhkan dengan upah yang diperoleh sangat kecil
Program pemberdayaan perempuan desa pesisir ini hendaknya dapat
ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah dalam bentuk bantuan modal
dan bantuan teknis.
Dapat mendukung dan memfasilitasi kegiatan ini, antara lain
mengeluarkan peraturan daerah yang terkait dengan pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya pesisir dan laut serta pelestarian nilai-niai lokal
Program pemberdayaan perempuan desa pesisir ini hendaknya dapat
ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah dalam bentuk bantuan modal dan
bantuan teknis. dan memfasilitasi kegiatan ini, antara lain mengeluarkan
peraturan daerah yang terkait dengan pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya pesisir dan laut serta pelestarian nilai-niai lokal mangrove di
lokasi proyek ini ke depan dapat dikembangkan menjadi obyek wisata
alam mangrove (Utina, 2008; Ibrahim et al.,2013)
Pemberdayaan kelompok perempuan dalam usaha produk pangan
berbasis buah mangrove telah memberikan alternatif sumber pendapatan
keluarga, dan memotivasi kaum perempuan melakukan kegiatan
penanaman mangrove. Upaya rehabilitasi kawasan mangrove telah
mendorong warga masyarakat pesisir untuk menanam mangrove sebagai

33
upaya konservasi hutan mangrove, selain untuk penyediaan permintaan
buah mangrove pada kegiatan produksi pangan yang dilakukan kelompok
perempuan. Dengan penduduk memperoleh nilai ekonomi dari hasil hutan
mangrove, melakukan konservasi hutan mangrove sebagai upaya menekan
emisi karbon yang berdampak pada pemanasan global dan perubahan
iklim.

34
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitiandan jenis penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini menerapkan


pendekatan penelitian kulaitatif deskriptif karena dalam penelitian ini
menghasilkan kesimpulan, berupa data yang menggambarkan secara rinci,
bukan data yang berupa angka-angka. Hal ini karena pendekatan kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku orang yang diamati.
Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan ilmiah yang mengungkap situasi
sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh
kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan analisis data yang relevan yang
diperoleh dari situasi yang alamiah.

Menurut Maleong (2009:3) pendekatan kualitatif adalah tradisi tertentu


dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan pada manusia dalam kawasanya sendiri dan berhubungan dengan
orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahanya. Menurut sugiyono
(2017:8) “bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian
naturalistik karena penelitianya dilakukan pada kondisi yang alamiah ( natural
setting ), disebut juga sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode
ini lbih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya: disebut
sebagai kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat
kualitatif”.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengandalkan pengamatan,


wawancara, dan dokumentasi pada objek penelitian. Penelitian ini adalah
deskriptif, karena tujuan dari penelitian deskriptif yaitu untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat

35
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang
diselidiki. Oleh karena itu peneliti diarahkan pada kenyataan-kenyataan
yang berhubungan dengan “Pemberdayaan Perempuan Melalui Pengolahan
Produk Buah Manggrove Di desa torosiaje jaya ”. Untuk mendapatkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis disusun berdasarkan data lisan, data
perbuatan, dan data dokumen yang bisa dipahami secara benar.

3.2 Kehadiran peneliti

Peneliti sebagai orang yang melakukan observasi terhadap mengamati


dengan cermat terhadap objek penelitian. Agar mendapatkan data sebanyak
mungkin melalui aktifitas penelitian dilapangan menurut moleong “ dalam
peneltian kualitatif peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain
merupakan alat pengumpul data utama. Keuntungan yang didapat dari
kehadiran peneliti sebagai instrumen adalah subjek lebih tanggap akan
kehadiran peneliti, peneliti dapat menyesuaikan diri dengan setting penelitian,
keputusan yang berhubungan dengan penelitian dapat diambil dengan cara
cepat dan terarah, demikian juga dengan informasi dapat diperoleh melalui
sikap dan cara informan dalam memberikan informasi. Menurut sugiyono
( 2011:306) peneliti kualitatif sebagai human instrumen, berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih informan sumber data, melakukan
pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsrkan data, dan
membuat kesimpulan atas temuanya.

3.3 Lokasi penelitian

Sehubungan dengan penelitian mengenai “ Pemberdayaan Perempuan


Melalui Pengolahan Produk Buah Manggrove (Stick) Di Desa Torosiaje
Jaya Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato” maka penelitian ini
peneliti mengambil lokasi di desa torosiaje jaya hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa penelitian tersebut masih masuk dalam wilayah tempat

36
tinggal peneliti serta memenuhi syarat dalam hubungan dengan
pengumpulan data penelitian.

3.4 Data dan Sumber Data

Menurut sutopo (2006:56-57) sumber data adalah tempat data


diperoleh dengan menggunakan metode tertentu baik berupa manusia, artefak,
ataupun dokumen-dokumen. Menurut maelong (2001 :112) pencatatan sumber
data melalui wawancara atau pengamatan merupakan hasil gabungan dari
kegitan melihat,mendengar, dan bertanya. Sumber data penelitian yaitu sumber
subjek dari tempat mana data bisa didapatkan.

3.5 Prosedur pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan dalam berbagai setting, sumber,dan cara.
Bila dilihat dari sumber datanya. Menurut sugiyono (2011:308) pengumpulan
data dapat menggunakan dua sumber yaitu sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber data sekunder adalah
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,
selanjutnya jika dilihat dari cara atau teknik pengumpulan data dapat
dilakukan dengan cara : observasi ( pengamatan), wawancara ( interview) dan
dokumentasi Sugiyono ( 2011:309 ).

3.6 Teknik Analisis data

Data dalam penelitian kualitatif, diperoleh dari berbagai sumber dengan


menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi)
dan dilakukan secara terus menerus hingga data mencapai titik jauh
( Sugiyono, 2011:333). Menurut miles dan huberman dalam sugiyono ( 2011:
337) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus- menerus hingga tuntas sampai
datanya jenuh.Aktifitas dalam analisis data setelah pengupulan data, antara

37
lain data reduction ( reduksi data), data display ( penyajian data), dan data
verivication ( verifikasi data).

3.7 Pengecekan Keabsahan data

Pengujian kredebilitas data menggunakan teknik triangulasi menurut


Sugiyono (2011:330) teknik triangulasi berarti peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber
yang sama yaitu teknik observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan
studi doumentasi untuk sumber data yang sama secara serentak.

3.8 Tahap –tahap penelitian

Tahap pekerjaan lapangan merupakan tahapan studi terfokus yang


dilakukan dilapangan dengan kegiatan pengumpulan data wawancara,
pengamatan, dan pengkajian dokumen.Tahap analisis data secara
operasional dibaca berulang-ulang untuk dipilih yang terkait dengan fokus
penelitian dan sumbernya pada tahap ini peneliti melakukan analisis data
untuk membuat kesimpulan s sementara dan mereduksi data hingga akhirnya
peneliti mampu membuat kesimpulan akhir dilapangan.

Tahap pelaporan hasil penelitian dilakukan melalui kegiatan


penajaman, penggolongan, penyeleksian, dan pengorganisasian data,
penyajian data dilakukan dengan menyajikan sekumpulan data berupa
gambar, jaringan, tahap pelaporan hasil penelitian merupakan hasil dari
beberapa tahap sebelumnya, berupa draft hasil penelitian, Hasil penelitian
terdiri atas: Latar belakang, tinjauan pustaka, metode penelitian, penyajian atau
pemaparan data temuan dan pembahasan, dan penarikan kesimpulan yang ditulis
secara naratif

38
DAFTAR PUSTAKA

Arthana, I. W., Restu, I. W., Dewi, A. P. W. K., Pratiwi, M. A., & Ekawaty, R. (2017).
Pelatihan Pengolahan Produk Buah Mangrove Untuk. Pelatihan Pengolahan
Produk Buah Mangrove Untuk Mendukung Pengembangan Nusa Lembongan
Sebagai Destinasi WisaTA I.W., 16(2), 133–137.

Anwas.M. Oos, (2019) : Pemberdayaan Masyarakat Di Era Global : Penerbit :


ALFABETA, Bandung.

Churun A‟in, S. dan B. S. (2017). No Title. KANDUNGAN GIZI PADA PRODUK


OLAHAN MANGROVE (KruMang, BoMang, Dan SiMang) PRODUKSI
KELOMPOK TANI “NGUDI MAKARYO” Churun, 19(1), 24–33.

Destiquama, Muhammad Wahyu, Wardiman, Amal, Nurwahidah, N. M. A.-I. (2021).


Anobave ( Aneka Olahan Buah Mangrove ) sebagai Upaya Pelestarian Hutan
Mangrove Kelurahan Bontorannu Anobave ( Various Processed Mangrove Fruits )
as an Effort to Preserve Mangrove Forest in Bontorannu Village. Anobave (Aneka
Olahan Buah Mangrove) Sebagai Upaya Pelestarian Hutan Mangrove Kelurahan
Bontorannu Anobave, 5(2), 121–128.

Faisal Jayadi, Andi Sukainah, M. R. (2018). Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian


Volume 4 September Suplemen (2018) : S1- S13 S1. PEMANFAATAN TEPUNG
DAUN MANGROVE JERUJU (Acanthus Ilicifolius) SEBAGAI PENGAWET
ALAMI BAKSO AYAM UTILIZATION, 4(1), 1–13.

Fitriah, E. (2015). PESISIR DALAM PEMANFAATAN TUMBUHAN MANGROVE.


ANALISIS PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PESISIR DALAM
PEMANFAATAN TUMBUHAN MANGROVE SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF
UNTUK MENGHADAPI KETAHANAN PANGAN, 5(2), 2–14.

Hilyana, S., Amir, S., Marzuki, M., & Damayanti, A. A. (2019). Pemberdayaan Wanita
Pesisir Melalui Olahan Pangan Berbasis Mangrove di Desa Paremas Kabupaten

39
Lombok Timur. Pemberdayaan Wanita Pesisir Melalui Olahan Pangan Berbasis
Mangrove Di Desa Paremas Kabupaten Lombok Timur Sitti, 1(September), 416–
424.

Ir. Kusnandar, M. S., & : Ir. Sri Mulyani, M.Si Heru Kurniawan Alamsyah, S.Kel.,
M.Han. Susi Watina Simanjuntak, S.Pi., M.Pi. Teguh Haris Santoso, S. M. (2020).
PROPOSAL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PENDAMPINGAN
PEMBUATAN KEBUN BIBIT MANGROVE. PENDAMPINGAN PEMBUATAN
KEBUN BIBIT MANGROVE DI DESA MOJO, KECAMATAN ULUJAMI,
KABUPATEN PEMALANG, 3(2), 2–25.

Sutarto, D. (2018). PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR BERBASIS


KELUARGA PERSEPEKTIF GENDER Dendi Sutarto PENDAHULUAN
Dewasa ini masyarakat Batam dan pesisir Batam khususnya dihadapkan pada
persoalan yang cukup rumit yaitu pengangguran , ketimpangan sosial dan ekonomi
khusus (. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR BERBASIS KELUARGA
PERSEPEKTIF GENDER Dendi, 2(2), 267–283.

Siti Amanah, “Peran Komunikasi Pembangunan dalam Pemberdayaan Masyarakat


Pesisir”, Jurnal Komunikasi Pembangunan, Vol. 08. No. 1, (Februari 2010)

40

Anda mungkin juga menyukai