Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh pada daerah pasang

surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang

tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang

komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ekosistem hutan

mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Kekomplekan

ekosistem ini terlihat bahwa hutan mangrove menyumbangkan konstribusi

besar detritus organik yang mendukung jaring makanan dalam ekosistem.

Tingginya kelimpahan makanan dan tempat tinggal, serta rendahnya tekanan

predasi, menyebabkan ekosistem mangrove membentuk habitat yang ideal

untuk berbagai spesies satwa dan biota perairan, untuk sebagian atau seluruh

siklus hidup mereka. Karena itu, mangrove dapat berfungsi sebagai tempat

pengasuhan yang penting untuk kepiting, udang dan berbagai jenis ikan, dan

mendukung keberadaan populasi ikan lepas pantai dan perikanan. Namun

demikian, Indonesia juga menyumbang kerusakan hutan mangrove terbesar

dibandingkan negara-negara lain. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia

menginformasikan bahwa hutan mangrove Indonesia yang rusak mencapai

57,6% (RLPS, 2001). Berbagai dampak negatif akibat kerusakan mangrove

telah dirasakan, seperti berkurangnya populasi ikan dan berbagai dampak

negatif lain.

1
Laju deforestasi mangrove di Indonesia dari tahun 1950-2005 diperkirakan

sebesar 52.000 ha/tahun (Tampubolon, 2017). Tutupan mangrove di Indonesia

pada tahun 1990 sekitar 3,5 juta ha, kemudian pada tahun 2016 tercatat hanya

2,9 juta ha (Krisnawati, 2017). Keputusan Mentri Lingkungan Hidup Dan

Kehutanan Republik Indonesia (No 353/Menlhk/Setjen/Das.1/8/2020)

Tentang Rencana Operasional Padat Karya Penanaman Mangrove Tahun

2020, Indonesia memiliki sebaran mangrove seluas 3.311.207 ha yang berada

di dalam dan di luar kawasan hutan, yang di antaranya seluas 637.624 ha

termasuk dalam kondisi kritis dan perlu di pulihkan kondisi ekosistemnya

yang sangat di pengaruhi oleh keberadaan pasang surut air laut. Sebagai

kumpulan vegetasi endemik yang hidup di antara transisi daerah laut dan

daratan di kawasan pesisir, keberadaan ekosistem atau hutan mangrove

menjadi penting sebagai sabuk hijau bagi area pesisir dan sekitarnya, yang

sekaligus memberikan multi- fungsi secara fisik, ekonomi, sosial-budaya, dan

lingkungan bagi masyarakat dan kawasan pesisir. Fenomena penurunan

kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat mempengaruhi kehidupan

ekonomi masyarakat pesisir seperti berkurangnya pendapatan nelayan yang

disebabkan oleh penurunan hasil tangkapan ikan (Utomo, Budiastuti, &

Muryani, 2017). Berdasarkan fenomena menurunya kualitas mangrove

tersebut masyarakat sangat berpengaruh dalam mengelola daerah pesisir dan

mangrove. Daerah pesisir akan mengalami deforestasi tergantung bagaimana

masyarakat melakukan pengelolaan daerah pesisir dan mangrove tersebut.

Sebagian besar deforestasi yang terjadi akibat dari adanya alih fungsi lahan

2
mangrove menjadi tambak. Menurut Kusmana et al., (2003) Terdapat tiga

faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2)

konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan

(3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak dan

logam berat, konversi lahan untuk budidaya perikanan (tambak), pertanian

(sawah dan perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman,

pertambangan dan penggalian pasir Kegiatan antropogenik masyarakat pesisir

telah menyebabkan berkurangnya mangrove sebesar 1-2% per tahun (Knight,

Dale, & Dwyer, 2014). Dalam hal ini perlu adanya rehabilitasi mangrove di

daerah-daerah yang kualitas mangrovenya mulai menurun ataupun terancam.

Provinsi Gorontalo keberadaan mangrove sudah sangat terancam

ekosistemnya. Hutan mangrove yang tersebar di seluruh desa wilayah pesisir

Kecamatan Kwandang berdasarkan data spasial (Pusfatja LAPAN, 2017)

menunjukkan wilayah pesisir Kecamatan Kwandang memiliki hutan

mangrove seluas 346,6 ha. Wilayah pesisir Kecamatan Kwandang memiliki

ekosistem mangrove dengan tingkat keanekaragaman rendah dan spesies yang

merata (Olii et al., 2015). Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo

No 7 Tahun 2016 tentang pengelolaan ekosistem mangrove bahwa keberadaan

ekosistem mangrove di wilayah Provinsi Gorontalo sudah sangat terancam

kelestariannya yang berdampak pada banyaknya pantai yang terabrasi,

terintrusi dan berkurangnya tempat bertelurnya ikan sehingga memerlukan

pembangunan yang berasaskan pelestarian dan perlindungan ekosistem

mangrove yang berkelanjutan, konsisten, terpadu berkepastian hukum,

3
pemerataan, dan peran serta masyarakat, keterbukaan, akuntabilitas, serta

keadilan. Berdasarkan kondisi hutan mangrove tersebut, perlu dilaksanakan

suatu upaya rehabilitasi hutan mangrove oleh Pemerintah yang didukung

dengan tata kelola dan partisipasi masyarakat. Keberhasilan maupun

kegagalan dalam rehabilitasi hutan mangrove tidak terlepas dari program

pemerintah khususnya di daerah melalui instansi yang berwenang, lebih

dominan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan rehabilitasi hutan

mangrove. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Republik Indonesia Tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan

Pendukung, Pemberian Insentif, Serta Pembinaan dan Pengendalian Kegiatan

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Nomor P.105/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018)

Pasal 1 point (1) Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk

memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan

sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung

sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Tata kelola dan partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi mangrove

Desa Bulalo mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya bagi kelestarian

mangrove. Hal ini sesuai dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23/1997) Pasal 6 ayat (1)

yang berbunyi setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan

serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup”. Dalam penjelasan tersebut

ditegaskan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat

4
untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup

baik terhadap perencanaan maupun tahap-tahap perencanaan dan penilaian.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan analisis tata kelola dan

partisipasi masyarakat sebagai upaya rehabilitasi mangrove di Desa Bulalo

Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Tingkat partisipasi

masyarakat setempat merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh

dalam keberhasilan kegiatan rehabilitasi mangrove (Sodikin, 2018). Kegiatan

rehabilitasi mangrove diperlukan guna tercapainya keberlanjutan kawasan

pesisir (Damastuti & Groot, 2017).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam

penelitian yaitu:

1.2.1 Bagaimana tata kelola mangrove di Desa Bulalo Kecamatan

Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara?

1.2.2 Bagaimana partisipasi masyarakat sebagai upaya rehabilitasi mangrove

di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara?

1.2.3 Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat sebagai upaya rehabilitasi

mangrove di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo

Utara?

5
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

yaitu:

1.3.1 Untuk mengetahui tata kelola mangrove di Desa Bulalo Kecamatan

Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

1.3.2 Untuk mengetahui partisipasi masyarakat sebagai upaya

rehabilitasi mangrove di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang

Kabupaten Gorontalo Utara.

1.3.3 Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat sebagai upaya

rehabilitasi mangrove di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang

Kabupaten Gorontalo Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi peneliti

Menambah wawasan dan sebagai referensi baru bagi peneliti

tentang tata kelola dan partisipasi masyarakat sebagai upaya

rehabilitasi mangrove di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang

Kabupaten Gorontalo Utara.

1.4.2 Bagi masyarakat

Memberikan informasi dan wawasan pengetahuan bagi masyarakat

tentang pentingnya tata kelola dan partisipasi masyarakat dalam upaya

rehabilitasi mangrove.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tata Kelola

Secara umum ada lima prinsip dasar yang terkandung dalam good

corporate governance atau tata kelola yang baik menurut Daniri (2005).

Kelima prinsip tersebut adalah transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,

independensi dan kesetaraan/kewajaran. Namun dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 61 Tahun 2007, prinsip yang dituntut untuk dilaksanakan

hanya empat prinsip yang pertama.

Secara lebih rinci prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah

sebagai berikut:

1. Transparansi (Transparancy); yaitu keterbukaan informasi baik dalam

proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi

material dan relevan mengenai perusahaan. Efek terpenting dari

dilaksanakannya prinsip transparansi ini adalah terhindarnya benturan

kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.

2. Akuntabilitas (Accountability); yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan

pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan lembaga dapat

terlaksana dengan baik. Dengan terlaksananya prinsip ini, lembaga akan

terhindar dari konflik atau benturan kepentingan peran.

3. Responsibilitas (Responsibility); yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam

pengelolaan lembaga terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan

perundangan yang berlaku, termasuk yang berkaitan dengan masalah

7
pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup,

kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian dan persaingan yang

sehat.

4. Independensi (Independency); yaitu suatu keadaan dimana lembaga

dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan

pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang

sehat.

5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness); yang secara sederhana dapat

didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi

hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan

perundangan yang berlaku.

2.2 Pengertian Partisipasi Masyarakat

Partisipasi Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan maupun menjalankan suatu proogram, yang mana

masyarakat juga ikut merasakan manfaat dari kebijakan program tersebut.

Selain itu dalam melakukan sebuah evaluasi masyarakat tentunya juga ikut

dilibatkan agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Mulyadi, 2009).

Partisipasi masayarakat merupakan suatu hak yang dimiliki masyarakat

untuk ikut andil dalam pengambilan keputusan di dalam tahapan proses

pembangunan, mulai dari awal perencanaan, pelaksanaan, pengawasan

maupun spelestarian lingkungan. Disini masyarakat tidak hanya sebagai

8
penerima fasilitas maupun manfaat tetapi sebagai subjek pembangunan yang

berkesinambungan (Dewi, Fandeli, & Baiquni, 2013).

2.2.1 Pentingnya partisipasi

Partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam

pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya

kebutuhan akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini

terlihat dengan munculnya konsep pembangunan dari bawah yang

melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi

modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan

Dodo, 1989).

Partisipasi masyarakat memiliki arti yang penting dan strategis

dalam perencanaan pembangunan. Menurut Soetrisno (1995),

keterlibatan masyarakat menjadi penting, artinya dalam perencanaan

pembangunan sebagai berikut:

1. Berupaya memadukan atau mengawinkan model top down dan

bottom up agar program pembangunan tersebut dapat diterima

sepenuh hati.

2. Memotivasi rakyat untuk menumbuhkan rasa meluhandarbeni

terhadap hasil pembangunan. Kesadaran dalam berpartisipasi ini

sangat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan perawatan

atau pengelolaan hasil pembangunan.

Betapa pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat dapat

dilihat: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna

9
memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan masyarakat

setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta

proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih

mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa

dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka

akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan

mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa

merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam

pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Sentosa dalam Atmanto (1995), mengemukakan beberapa

unsur penting dari partisipasi sebagai berikut:

1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif.

2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh

pengertian yang menumbuhkan kesadaran.

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan.

4. Enthousiasme atau spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu

yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain,

dan

5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh

beberapa faktor yang akan mempengaruhi besar kecilnya partisipasi

masyarakat dalam pembangunan. Sastropoetro (1988),

10
mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi

masyarakat:

1. Pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan,

kedudukan sosial dan percaya terhadap diri sendiri

2. Faktor lain adalah penginterpretasian yang dangkal terhadap agama.

3. Kecenderungan untuk menyalah artikan motivasi, tujuan dan

kepentingan organisasi penduduk yang biasanya mengarah pada

timbulnya persepsi yang salah terhadap keinginan dan motivasi serta

organisasi penduduk seperti halnya di beberapa negara.

4. Tersedianya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan, dan

5. Tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai

program pembangunan.

Selain itu Tjokroamidjojo (1996), mengungkapkan faktor-faktor

yang perlu mendapatkan perhatian dalam partisipasi masyarakat

adalah:

a. Faktor kepemimpinan, dalam menggerakkan partisipasi sangat

diperlukan adanya pimpinan dan kualitas.

b. Faktor komunikasi, gagasan-gagasan, ide, kebijaksanaan dan rencana-

rencana baru akan mendapat dukungan bila diketahui dan dimengerti

oleh masyarakat.

c. Faktor pendidikan, dengan tingkat pendidikan yang memadai,

individu/ masyarakat dapat memberikan partisipasi yang diharapkan.

Hubeis et al, (1990), mengatakan bahwa bentuk peran serta

11
masyarakat sangat dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat,

mencakup karakteristik sosial ekonomi, dan lingkungan budaya di

mana masyarakat bertempat tinggal. Semua ini erat pula kaitannya

dengan tipe dan jenis proyek pembangunan yang diintroduksikan

kepada masyarakat Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten

Gorontalo Utara.

2.3 Pengertian Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif di

dunia. Mereka memperkaya perairan pesisir, menghasilkan produk hutan

komersial, melindungi garis pantai, dan mendukung perikanan pesisir. Hutan

mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh disepanjang pantai

atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove

banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan

daerah yang landai di daerah tropis dan sub tropis (Food and Agriculture

Organization /FAO, 2007).

2.3.1 Kerusakan mangrove

Terdapat tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu

(1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang

memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang

berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak dan logam berat,

konversi lahan untuk budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah

dan perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman,

pertambangan dan penggalian pasir (Kusmana et al., 2003).

12
2.3.2 Manfaat ekosistem mangrove

Manfaat ekosistem mangrove yang berhubungan dengan fungsi

fisik adalah sebagai mitigasi bencana seperti peredam gelombang dan

angin badai bagi daerah yang ada di belakangnya, pelindung pantai

dari abrasi, gelombang air pasang (rob), tsunami, penahan lumpur dan

perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, pencegah

intrusi air laut ke daratan, serta dapat menjadi penetralisir pencemaran

perairan pada batas tertentu (Lasibani dan Eni, 2009). Manfaat lain

dari ekosistem mangrove ini adalah sebagai obyek daya tarik wisata

alam dan atraksi ekowisata (Sudiarta, 2006; Wiharyanto dan Laga,

2010) dan sebagai sumber tanaman obat (Supriyanto dkk, 2014).

2.4 Rehabilitasi Mangrove dan Peran Pemerintah Daerah dalam Rehabilitasi

Mangrove

2.4.1 Pengertian rehabilitasi mangrove

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.03/MENHUT-V/2004

rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi

hutan mangrove yang mengalami degradasi, kepada kondisi yang

dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis.

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan berdasarkan pada Pasal 41

Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No.

41/1999) menyatakan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan

diselenggarakan melalui kegiatan Reboisasi, Penghijauan,

13
Pemeliharaan, Pengayaan tanaman, atau Penerapan teknik konservasi

tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak

produktif.

Selanjutnya Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa penyelenggaraan

rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui

pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan

memberdayakan masyarakat. Model pengembangan rehabilitasi hutan

mangrove disusun dengan pendekatan Participatory Rural Apprasial

(PRA), pendekatan ini memberikan porsi yang lebih besar kepada

masyarakat sebagai pelaku pembangunan untuk berperan aktif dalam

pembangunan. Proses penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi selalu melibatkan masyarakat (Rawana, 2002).

2.4.2 Peran Pemerintah Daerah dalam Rehabilitasi Mangrove

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “peran” berarti seperangkat

tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang

berkedudukan dalam masyarakat, dan dalam kata jadinya (peranan)

berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa

(Amba, 1998). Selanjutnya Amba (1998) Peranan adalah suatu konsep

yang dipakai sosiologi untuk mengetahui pola tingkah laku yang

teratur dan relatif bebas dari orang-orang tertentu yang kebetulan

menduduki berbagai posisi dan menunjukkan tingkah laku yang sesuai

dengan tuntutan peranan yang dilakukannya.

14
Levinson dalam Soekanto (1981), menyatakan bahwa peranan

mencakup paling sedikit 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Peranan adalah Norma yang dihubungkan dengan posisi atau

tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti

menempatkan rangkaian peraturan yang mendukung seseorang

dalam kehidupan masyarakat.

2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh

individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan dapat juga dikatakan sebagai perilaku individu yang

penting dalam struktur sosial.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yang disebut dengan Pemerintah Daerah adalah

Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai

badan eksekutif daerah. Peranan Pemerintah Daerah dalam

mendukung suatu kebijakan pembangunan bersifat partisipatif adalah

sangat penting. Ini karena Pemerintah Daerah adalah instansi

pemerintah yang paling mengenal potensi daerah dan juga mengenal

kebutuhan rakyat setempat (Soetrisno, 1995). Program konservasi dan

rehabilitasi hutan mangrove, Pemerintah lebih berperan sebagai

mediator dan fasilisator (mengalokasikan dana melalui mekanisme

yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana diharapkan

mampu mengambil inisiatif (Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial, 2002). Mekanisme pengusulan dana reboisasi

15
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang

Dana Reboisasi (PP No. 35/2002) menyatakan bahwa Pemerintah

Kabupaten/Kota mengusulkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan

kepada Pemerintah Daerah Provinsi. Kemudian Pemerintah Daerah

Provinsi mengkoordinasikan pengusulan kegiatan rehabilitasi hutan

dan lahan dari Kabupaten/Kota kepada Menteri untuk

mendapatkan alokasi dana reboisasi. Selanjutnya Pasal 16 ayat (1)

menyatakan bahwa dana reboisasi digunakan hanya untuk membiayai

kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU No. 33/2004),

penggunaan dana reboisasi sebesar 40 % dialokasikan kepada daerah

penghasil untuk kegiatan reboisasi penghijauan dan sebesar 60 %

dikelola oleh Pemerintah Pusat untuk kegiatan reboisasi. Berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana

Perimbangan (PP No. 104/2000), bahwa dana reboisasi sebesar 40 %

dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi

hutan dan lahan di daerah penghasil (Kabupaten/ Kota), termasuk

rehabilitasi hutan mangrove.

2.5 Kerangka Berpikir

Mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh pada daerah pasang

surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang

tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang

16
komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Mangrove dapat

berfungsi sebagai tempat pengasuhan yang penting untuk kepiting, udang dan

berbagai jenis ikan, dan mendukung keberadaan populasi ikan lepas pantai

dan perikanan. Bukti hubungan antara habitat mangrove dan perikanan lepas

pantai masih langka, namun sangat diperlukan untuk tujuan pengelolaan dan

konservasi (Nagelkerken dkk. 2008).

Mangrove yaitu sumber daya pesisir yang kehidupannya mulai terancam.

Terdapat tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1)

pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor

lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan (Kusmana et al., 2003).

Berdasarkan kondisi hutan mangrove tersebut, perlu dilaksanakan suatu upaya

rehabilitasi hutan mangrove oleh Pemerintah yang didukung dengan tata

kelola dan partisipasi masyarakat. Keberhasilan maupun kegagalan dalam

rehabilitasi hutan mangrove tidak terlepas dari program pemerintah khususnya

di daerah melalui instansi yang berwenang, lebih dominan baik dalam

perencanaan maupun pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove. Oleh karena

itu tata kelola dan partisipasi masyarakat sebagai upaya rehabilitasi mangrove

sangat di harapkan. Kebijakan pengelolaan mangrove sangat berkaitan dengan

kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga perlu upaya dalam mengurangi

tingkat konversi yang dilakukan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

ekonominya sejalan dengan hal tersebut maka diperlukan adanya kebijakan

yang melibatkan pemerintah dan masyarakat. Pemerintahan yang baik (good

governance) memerlukan prinsip-prinsip untuk mencapai suatu keinginan

17
faktor pendukung dan penghambat dalam tata kelola mangrove. Prinsip yang

digunakan dalam melahirkan good governance ialah adanya peran aktif

partisipasi dari masyarakat, pihak swasta dan pemerintah, perlunya ada

kepastian hukum tentang tata kelola mangrove, perlunya transparansi antar

instansi pengelolaan mangrove, dan di perlukannya tanggung jawab yang

dapat mengawasi tata kelola mangrove sehingga berjalan afektif dalam

mencapai tata kelola mangrove yang optimal. Sedangkan partisipasi

masyarakat untuk menjaga kelangsungan mangrove di Desa Bulalo

Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara, perlu adanaya partisipasi

masyarakat setempat khususnya masyarakat yang ada di Desa Bulalo. Ada

beberapa bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar,

dalam penelitian ini peneliti membagi menjadi empat bentuk partisipasi, yaitu

antara lain adalah (a) Pelestarian: (b) Rehabilitasi; (c) pemeliharaan; (d)

Pemanfaatan. Partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan mangrove di

harapkan memiliki tingkat yang tinggi sehingga hutan mangrove yang ada

dapat di pelihara dengan baik.Seperti yang kita ketahui bahwa mangrove

sangat bermanfaat untuk menjaga stabilitas ekosistem. Selain itu juga

mangrove memiliki fungsi yang sangat vital dalam melindungi sumberdaya

yang ada di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

Tujuan tersebut demi keberhasilan dan tercapainya keberlanjutan kawasan

pesisir.

18
BAB III`

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Bulalo, Kecamatan Kwandang,

Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Waktu penelitian

dilaksanakan pada Bulan Maret 2022 Sampai Bulan April 2022.

3.2 Sumber Informan dan Pemilihan Informan

Sumber informasi dalam penelitian ini yaitu:

1. Tempat: Desa Bulalo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo

Utara.

2. Pelaku: dalam penelitian ini pelaku yang menjadi informan adalah

masyarakat serta pejabat atau staf pemerintah desa di lokasi penelitian.

3. Aktivitas: tata kelola dan partisipasi masyarakat dalam upaya

rehabilitasi

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pemilihan

metode ini di sesuaikan karena proses dan pengumpulan analisis data, dimana

studi kasus merupakan kajian dengan memberikan batasan yang tegas

terhadap suatu objek dan subjek tertentu melalui pemusatan perhatian pada

suatu kasus secara intensif dan rinci (Indrawan R. dan Yaniawati, P., 2014).

Metode ini dilakukan pada kondisi alamiah (natural seiting) dan disebut

sebagai metode interpretasi terhadap apa yang ditemukan dilapangan

(Sugiono, 2010).

19
3.4 Instrument Penelitian

Keberhasilan penelitian dipengaruhi oleh instrument yang digunakan,

dimana peneliti adalah instrument yang akan mengumpulkan data dengan

pertanyaan dan bentuknya akan berkembang dilokasi penelitian (Indrawan dan

Yuniawati, 2014). Pada penelitian kualitatif menempatkan peneliti sebagai

instrument kunci yang mengetahui arah tujuan penelitian. Selain instrument

kunci, peneliti juga menggunakan instrument lain agar dapat mengeksplorasi

lebih mendalam pada fenomena yang akan digali dengan menggunakan teknik

wawancara (interview), pengamatan (observasi) dan studi dokumentasi.

Wawancara menurut Sugiyono (2009), wawancara adalah pertemuan dua

orang untuk bertukar informasi dan ide melalui Tanya jawab sehingga dapat

dikontrusikan makna dalam suatu topik tertentu. Agar dapat berjalan sesuai

dengan tujuan yang telah di tetapkan dan tidak melebar kemana-mana, maka

peneliti menggunakan panduan wawancara (interview guide). Metode studi

dokumentasi dengan mengkaji document, menyelidiki data yang didapat dari

dokumen, catatan, file, dan hal-hal lain yang sudah didokumentasikan.

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Tata Kelola Mangrove

Penelititian ini menghimpun data primer, melalui observasi

langsung, wawancara dengan sumber informan terpilih yang relevan

dengan penelitian. Untuk data sekunder, diperoleh dari penelaahan

terkait perundang-undangan, buku-buku, dan laporan program

terlaksana serta sumber lainnya yang berhubungan dengan penelitian.

20
Adapun pengumpulan data primer dan data sekunder diperoleh dengan

teknik sebagai berikut:

1. Wawancara

Adapun pengumpulan data primer dan data sekunder dengan

teknik wawancara terhadap pemerintah daerah selaku pemegang

kewenangan pengelolaan mangrove di Desa Bulalo Kecamatan

Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara serta masyarakat setempat

selaku pemanfaat pengelolaan mangrove sebagai informan.

2. Pengumpulan data

Observasi merupakan teknik pengumpulan informasi melalui

pengamatan pada saat proses penelitian ini membuat catatan-

catatan hasil wawancara, mentranskip audio hasil wawancara,

selanjutnya dianalisis.

3.5.2 Partisipasi Masyarakat

Penelitian ini untuk mendapatkan data primer diperoleh dari hasil

penyebaran kuesioner, serta observasi sebagai data pokok dan hasil

wawancara dengan kelompok masyarakat atau masyarakat yang terkait

sebagai data pelengkap. Menurut Sugiyono (2008), data primer adalah

sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul.

Untuk data sekunder diperoleh dari studi literature, baik dari tulisan,

referensi yang relavan, dan data dari Dinas Kehutanan. Menurut

Sugiyono (2009), data sekunder merupakan sumber data yang

diperoleh dengan cara membaca, mempelajari dan memahami melalui

21
media lain yang bersumber dari literatur, buku-buku, serta dokumen

perusahaan. Adapun pengumpulan data primer dan data sekunder

diperoleh dengan teknik sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara menurut Sugiyono (2009), wawancara adalah

pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui

Tanya jawab sehingga dapat dikontrusikan makna dalam suatu

topik tertentu.

2. Kuesioner/angket

Kuesioner/angket dalam pengumpulan data dipergunakan daftar

kuesioner yang disebar kepada seluruh responden dengan tujuan

memperoleh data tentang partisipasi masyarakat dalam upaya

rehabilitasi mangrove di Desa Bulalo Kecamatan Kwandang

Kabupaten Gorontalo Utara.

3. Wawancara mendalam

Wawancara mendalam (in-dept interview) menurut Moleong

(2005), wawancara mendalam merupakan proses menggali

informasi secara mendalam terbuka, bebas, dan bebas dengan

masalah dan fokus penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian.

Dalam hal ini metode wawancara mendalam yang dilakukan

dengan adanya daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan

semuanya.

22
3.6 Analisis Data

3.6.1 Tata Kelola Mangrove

Metode analisis data untuk mengetahui tata kelola mangrove dalam

penelitian ini merujuk pada metode yang dikemukakan oleh Indrawan

dan Yaniawati (2014) dimana peneliti melakukan pengelompokan

tahapan mengolah, menganalisis, dan menafsirkan data kualitatif

dalam lima bentuk kegiatan, yaitu: Memvalidasi data, mengorganisasi

data dan koding (coding database), menyajikan temuan, menafsirkan

makna temuan, serta memvalidasi akurasi temuan.

Seluruh data baik hasil wawancara, hasil kuisioner dan data

dukung lainnya, maka data yang sudah terkumpul diolah dan di

analisis. Dalam pengolahan data, maka tahap awal dilakukan editing

data dimana semua data yang diperoleh diteliti tentang kelengkapan

dan kejelasan jawaban dari butir-butir pertanyaan yang telah dibuat.

3.6.2 Partisipasi Masyarakat dan Tingkat Partisipasi Masyarakat

Analisis data untuk mengetahui partisipasi masyarakat sebagai

upaya rehabilitasi Mangrove menggunakan deskriptif kualitatif.

Menurut I Made Winartha (2006), Analisis deskriptif kualitatif adalah

menganalisis, mengammbarkan, dan meringkas berbagai kondisi,

situasi dari berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara

atau pengamatan mengenai masalah yang diteliti yang terjadi

dilapangan. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan

bercorak kualitatif dan tidak menggunakan alat pengukuran. Sumber

23
data yang utama dalam penelitian kualitatif adalah kata- kata atau

tindakan.

Analisis data untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat

sebagai upaya rehabilitasi Mangrove menggunakan Analisis Skoring

sebagai berikut:

Metode skoring adalah suatu metode pemberian skor atau nilai

terhadap masing - masing nilai parameter untuk menentukan tingkat

kemampuannya. Penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah

ditentukan. Indikator dan parameter sebagai berikut:

Tabel 1. Indikator dan Parameter

Variable Parameter

Partisipasi dalam perencanaan 1. Perencanaan pelestarian

dan monitoring mangrove

2. Monitoring pelestarian

mangrove

Partisipasi dalam rehabilitasi 1. Pemilihan lokasi rehabilitasi

2. Persiapan lahan rehabilitas

3. Penyiapan bibit untuk

rehabilitas

4. Penanaman bibit dalam

rehabilitas

Partisipasi dalam pemeliharaan 5. Pemeliharaan mangrove

partisipasi dalam pemanfaatan 6. Pemanfaatan secara langsung

24
7. Pemanfaatan secara tidak

langsung

Adapun rumus dari penentuan skor tingkat partisipasi sebagai

berikut:

nilai tertinggi−nilai terendah


selang=
jumlah tingkatan

Tabel 2. Skor Tingkat Partisipasi

Tingkat partisipasi Skoring

Tinggi 22-27

Sedang 16-21

Rendah 9-15

25
DAFTAR PUSTAKA

Amba. 1998. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam


Pelestarian Hutan Mangrove (Studi Kasus di Kecamatan Teluk Ambon
Baguala, Kotamadya Ambon, Maluku). Tesis. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Atmanto. 1995. Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam


Pembangunan Hutan Kota: Studi Kasus di Kelurahan Krobokan
Kecamatan Semarang Barat, Kotamadya Semarang. Tesis. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Damastuti, E. & Groot, R. De. 2017. Effectiveness of community-based


mangrove management for sustainable resource use and livelihood
support: a case study of four villages in Central Java, Indonesia. Journal of
Environmental Management, 203, 510–512.

Ahmad, Daniri.2005. Konsep dan Penerapan Good Corporate Governance dalam


Konteks Indonesia. Indonesia: Ray Indonesia.

Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen


Kehutanan. 2002. Kebijakan Departemen Kehutanan dalam Pengelolaan
Ekosistem Hutan Mangrove. Fungsi dan Manfaatnya untuk Kesejahteraan
Masyarakat. Workhsop Rehabilitasi Mangrove Nasional Diselenggarakan
oleh INSTIPER. Yogyakarta.

FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources


Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture
Organization of The United Nations. Rome.

Hubeis, Syafri, Aida dan Vitayala. 1990. Partisipasi Masyarakat dalam


Pembangunan. Makalah Disampaikan pada Sarasehan Lahan
Kering di Gunung Walad Sukabumi. 15 -17 Juni. Sukabumi.

I Made Winartha. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.


Yogyakarta: Gaha Ilmu.

Indrawan R P. Yaniawaty. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan


Campuran Untuk Manajemen Pembangunan dan Pendidikan. Bandung:
Reflika Aditama.

Knight, J., Dale, P. E., & Dwyer, P. G. 2014. Mangrove rehabilitation: a review
focusing on ecological and institutional issues.
https://doi.org/10.1007/s11273-014-9383-1

26
Krisnawati, H. (2017). Hutan mangrove untuk mitigasi perubahan iklim. Media
Brief, 738(5), 1–2.

Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T,


Triswanto A, Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove.
Fak. Kehutanan IPB.

Lasibani S.M., dan Eni, K., 2009. Pola Penyebaran Pertumbuhan ”Propagul”
Mangrove Rhizophoraceae di Kawasan Pesisir Sumatera Barat. Jurnal
Mangrove dan Pesisir, 10(1):33-38.

Lexy j. Moleong. 2005. Meodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya:


Bandung.

Olii, A. H., Muhlis, & Sayuti. (2015). Ekosistem Mangrove Perairan Teluk
Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan,
20(2), 49–55. https://doi.org/10.31258/jpk.20.2.49-55

Pusfatja LAPAN. 2017. Sebaran Perubahan Hutan Mangrove Indonesia.


https://spbn.pusfatja.lapan.go.id/layers/geonode%3Amangrove_2017_b

Rawana. 2002. Problematika Rehabilitasi Mangrove Berkelanjutan. Workshop


Rehabilitasi Mangrove Nasional Diselenggarakan oleh INSTIPER.
Yogyakarta.

RLPS (Direktoral Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial). 2001.


Kriteria dan standar teknis rehabilitasi wilayah pantai. Jakarta:
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,
Departemen Kehutanan RI.

Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha


Ilmu. Yogyakarta.

Sastropoerto, R. 1988. Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam


Pembangunan Nasional. Alumni. Bandung.

Soetrisno. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Penerbit Karnisius.


Yogyakarta.

Soekanto. 1981. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudiarta, M., 2006. Ekowisata Hutan Mangrove: Wahana Pelestarian Alam dan
Pendidikan Lingkungan. Jurnal Manajemen Pariwisata, 5(1):1-25

Sugiyono. 2001. Statistik Non Parametrika. Gramedia. Jakarta.

27
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, dan R & D. Bandung:


Alfabeta.

Sugiono. 2010. Metode penelitian untuk kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Supriyanto, Indriyanto, dan Bintoro, A., 2014. Inventarisasi Jenis Tumbuhan Obat
di Hutan Mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai
Lampung Timur. Jurna Sylva Lestari, 2(1):67-75.

Tampubolon, A. 2017. Mangrove: Memelihara Bentang Kehidupan, Lahan dan


Laut. Bogor: Media Brief.

Tjokroamidjodjo. 1996. Perencanaan Pembangunan. Gunung Agung. Jakarta.

Utomo, B., Budiastuti, S., & Muryani, C. (2017). Strategi pengelolaan hutan
mangrove di Desa Tanggul Tlare, Kecamatan Kedung, Kabupaten
Jepara. Jurnal Ilmu Lingkungan, 15(2), 117–123

Wiharyanto, D., dan Laga, A., 2010. Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove di
Kawasan Konservasi Desa Mamburungun Kota Tarakan Kalimantan
Timur. Media Sains, 2(1):10-17

Zulkarnain dan Dodo, S. 1989. Pembangunan Berorientasi Kerakyatan, Sebuah


Model Radiasi LSM. Makalah dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan
UGM. Yogyakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2007. Tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Umum Layanan Daerah.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia (No
353/MENLHK/SETJEN/DAS.1/8/2020) tentang Rencana Operasional
Padat Karya Penanaman Mangrove Tahun 2020.
Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No 7 Tahun 2016 tentang Pengelolaan
Ekosistem Mangrove.
Peraturan Mentri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia (Nomor
P.150/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018) PASAL 1 tentang Tata Cara
Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung, Peberian Insentif, Serta Pembinaan
Dan Pengendalian Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan.

28
Peraturan Menteri Kehutanan. No.03/MENHUT-V/2004. Pedoman Pembuatan
Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan Dan
Lahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 (UU No. 23/1997) pasal 6 ayat 1 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pusat dan Daerah.

29

Anda mungkin juga menyukai