Anda di halaman 1dari 15

Tugas Perorangan

TEORI DAN FILSAFAT POLITIK EKOLOGI

BAGAIMANA MANUSIA MERUSAK EKOLOGI


Kasus : Tekanan Ekosistem Pesisir di Indonesia

Oleh :
YOHAN RUMAYOMI (NIM. P033232038)

Dosen :
Prof. Dr. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.S

Program Doktor Ilmu Lingkungan


Sekolah Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
Makassar
2024
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Lingkungan pesisir berperanan penting dalam kehidupan manusia, karena


hampir 70% populasi manusia di dunia tersebut mendiami daerah pesisir (Kay dan
Alder 2005). Degradasi lingkungan pesisir banyak terjadi di daerah yang memiliki
kepadatan penduduk yang tinggi (Kulkarni dkk. 2010),
Prilaku manusia mengalih-fungsikan ekosistem pantai hanya untuk tujuan
ekonomi semata tanpa mempertimbangkan pengaruh negatif jangka panjang
(longterm effect). Namun, ketika erosi pantai akibat faktor alam, intervensi dilakukan
reklamasi pantai ditujukan pada pembangunan manusia dengan pertimbangannya
adalah kepentingan ekonomi yang terancam (Ghazali 2006). Di negara – negara tropis
dan sebagian negara subtropis, kerusakan lingkungan pesisir yang mendominasi
adalah erosi pantai dan kerusakan ekosistem pesisir. Kerusakan lingkungan pesisir
dalam jangka panjang mengakibatkan penurunan kondisi sosial ekonomi masyarakat
dengan indikasi hilang biota pesisir dan rusaknya: ekosistem pesisir yang berdampak
bagi penurunan ekonomi masyarakat pesisir akibat hasil tangkapan ikan menurun
akibat penurunan populasi ikan serta ancaman bencana alam akibat hilangnya barier
alami pelindung pantai.(Akbar dkk. 2008).
Dampak aktifitas manusia dan arah kebijakan pembangunan membuat
kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dapat membahayakan kelestarian ekosistem
pesisir. Ekosistem pesisir yang rusak dapat mengganggu kehidupan dan penghidupan
manusia, spesies lain dan lingkungannya. Seperti dengan keanekaragaman hayati
menurun menunjukkan terjadinya kepunahan spesies tertentu. Kepunahan spesies
tertentu dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir, karena akan
menyebabkan spesies lain akan melimpah sehingga rantai makanan terganggu.

B. Maksud dan Tujuan

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Filsafat Politik
Ekologi dan mengangkat sebuah kasus tekanan ekosistem pesisir di Indonesia dengan
menjelaskan bagaimana manusia merusak ekologi serta membuat suatu solusi
pencegahan dan perbaikan.
C. Identifikasi Keterlibatan Stakeholder dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Pesisir

Stakeholder yang terlibat dalam perlindungan kawasan pesisir pada


hakikatnya bersifat multistakeholder, artinya, tidak hanya satu dinas atau organisasi,
namun juga beberapa bentuk kerjasama antar-stakeholder baik dari latar belakang
pemerintahan maupun swasta ataupun NGO (Non Governement Organization). Dinas/
instansi pemerintahan dan non pemerintah yang terlibat dalam perlindungan ekosistem
pesisir serta membantu dalam pengelolaan wilayah pesisir terdiri dari multidisplin
bidang. Berikut penjelasan stakeholder yang terlibat dalam perlindungan ekosistem
pesisir dan pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Stakeholder yang Terlibat dalam Perlindungan Ekosistem Pesisir dan


Peneglolaan Wilayah Pesisir

Pemerintah Akademisi Swasta / Masyarakat


• Kementerian Kelautan • Perguruan Tinggi • NGO / LSM
dan Perikanan RI (Fakultas
• Tokah Adat/Tokoh
Kelautan dan
• Kementerian LIngkungan Masyarakat
Perikanan)
Hidup dan Kehutanan
• Pengepul Hasil Perikanan
• Lembaga
• Dinas Kelautan dan
Penelitian dan • Nelayan Penangkap Ikan
Perikanan Provinsi dan
Pengabdian
Kabupaten • Nelayan Pembudidaya Ikan
Masyarakat
• Dinas Kehutanan Provinsi (LPPM) • Eksportir Hasil Perikanan
• Badan Lingkungan Hidup • LIPI / BRIN
Provinsi dan Kabupaten
• Bappeda Provinsi dan
Kabupaten

Adapun rincian kepentingan dari beberapa stakeholder dalam perlindungan ekosistem


pesisir dan pengelolaan wilayah pesisir adalah sebagai berikut :
1) Pemerintah

Pemerintah harus terlibat atau campur tangan dalam pengelolaan tersebut karena
tiga alasan berikut ini :

a) Pemerintah ikut mengelola karena alasan efisiensi. Hal ini berarti keikutsertaan
pemerintah dalam mengelola sumberdaya supaya efisien dapat ditingkatkan.
Keterlibatan pemerintah adalah dalam hal pengendali kegiatan sehingga tidak
terjadi kelebihan kapasitas yang berakhir pada inefisiensi.
b) Pemerintah terlibat dalam perlindungan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
supaya keadilan dapat diwujudkan. Jika pemerintah tidak ikut campur tangan,
nelayan yang kuat dan besar akan mengambil manfaat secara berlebihan dan
membiarkan nelayan kecil dalam kemiskinan dan kemelaratan. Jika tidak ada
upaya dan aksi pemerintah yang dilakukan secara afirmatif dalam membantu
nelayan kecil, kondisi ketimpangan akan terus berlanjut.
c) Keterlibatan pemerintah diperlukan dalam hal mengelola sumberdaya pesisir
khususnya ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang karena alasan
administrasi. Di sisi lain, asumsi dan fakta menyatakan bahwa hanya
pemerintah yang berhak menjalankan administrasi dengan otoritas dan
kemampuannya.

2) Akademisi

Keterlibatan akademisi dalam perlindungan dan pengelolaan kawasan pesisir


dengan alasan:

a) Membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan


yang berkelanjutan dan pro lingkungan wilayah pesisir.
b) Komponen yang bersifat independen untuk mengawal dan mengawasi setiap
kebijakan dan pelaksanaan pembangunan.
c) Melakukan penelitian – penilitian yang berfokus pada riset dan teknologi dalam
perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir.
3) Swasta / Masyarakat

Keterlibatan sektor swasta dan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan


kawasan pesisir adalah :

a) Dukungan, dan/atau pengawasan warganegara/masyarakat atas berjalannya


penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, baik, dan benar (good and clean
governance).
b) Dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap keselamatan ekosistem pesisir
melalui kerja-kerja nyata dan berbasis swakelola.
c) Pemicu dan pemacu keterlibatan masyarakat dalam memberikan solusi atas
berbagai masalah yang terjadi ditengah-tengah masyarakat khususnya
perlindungan ekosistem pesisir.

II. TEKANAN PADA EKOSISTEM PESISIR


A. Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove dapat didefenisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut (terutama di pantai terlindung, laguna, muara sungai). Fungsi
mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung daratan
laut. Mangrove juga dapat sebagai peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh
abrasi, gelombang, badai dan penyangga bagi kehidupan biota lainnya. Komunitas
tumbuhan yang hidup mampu bertoleransi terhadap garam termasuk organisme yang
hidup di dalamnya (Aksomkoae, 1993).

Eksistensi hutan mangrove mengalami penurunan dari tahun ke tahun.


pembangunan infrastruktur dan permukiman yang begitu masif tampaknya membuat
masyarakat Indonesia lupa akan pentingnya melestarikan hutan mangrove sebagai
kekayaan alam yang mengandung banyak manfaat.yang salah satunya adalah habitat
kepiting bakau. Luas dari lahan mangrove di Indonesia yang naik-turun seiring dengan
pergantian pemerintahan. Data dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (RPLS) yang diambil melalui Citra Satelit Landsat dengan metode
interpretasi manual pada tahun 2007, mencatat ada 7.758.410 ha lahan mangrove di
seluruh Indonesia. Dua tahun berselang, tepatnya di tahun 2009, terdapat penurunan
signifikan dari luas lahan mangrove yang dicatat oleh Badan Informasi Geospasial
dengan menggunakan citra satelit dan metode yang sama, yakni menjadi 3.244.018
ha lahan mangrove di Indonesia. Pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi
3.364.076 ha.
Dari sebaran hutan mangrove di Indonesia sesuai gambar 1 tersebut diatas
angka ini terus mengalami penurunan signifikan dan kenaikan yang tak jauh, hingga
tahun 2017 berdasarkan Satu Peta Mangrove Indonesia yang menggunakan metode
Citra Satelit Landsat dari Badan Informasi Geospasial dengan metode interpretasi
manual, merilis luas lahan mangrove di seluruh Indonesia menjadi 3.361.216. National
Geographic Indonesia pada tahun 2019 menyebutkan bahwa terdapat 50% wilayah
hutan mangrove mengalami kemusnahan. Hasil penelitian dari green welfare
menunjukkan bahwa 80% hutan mangrove di Pulau Jawa sudah mengalami kerusakan
dan di Jakarta hanya tersisa 99 hektare kawasan hutan mangrove yang masih
menunjukkan ‘kehidupan’, dari 300 hektare kawasan yang tersedia. Indonesia juga
pernah dikenal sebagai negara dengan lahan mangrove terbesar di dunia, yakni seluas
3,5 juta hektare atau mewakili 20% dari total lahan mangrove di dunia dan sayangnya
kini terus mengalami degradasi lahan.

B. Ekosistem Lamun

Lamun memiliki fungsi yang cukup vital di lingkungan laut. Fungsi vital lamun
adalah habitat biota laut, produktivitas primer, mengatur tingkat trofik serta regulasi gas
untuk keseimbangan gas CO2 dan O2 di atmosfir melalui mekanisme fotosintesis.
Disisi lain laju kerusakan lamun terus terjadi dan sulit diprediksi akibat perubahan
pasang surut air laut, sedimentasi dan reklamasi pantai. Padang lamun memiliki
berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem pesisir dan sangat menunjang dan
mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih penting sebagai pendukung
produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang lamun, yaitu: 1) sebagai
stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai perangkap dan
pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih jernih; 2) lamun menjadi
sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non ikan); 3) lamun sebagai
produser primer; 4) komunitas lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan
perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan; dan 5) lamun
memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemenelemen langka di lingkungan
laut (Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990).
Keberadaaan lamun pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0,5-10 m,
hidup pada daerah bersubtrat pasir. Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut,
tidak terlepas dan ganguan atau ancaman-ancaman terhadap kelansungan hidupnya
baik berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktivitas manusia. Banyak kegiatan
atau proses, baik alami maupun oleh aktivitas manusia yang mengancam
kelangsungan ekosistem lamun. Ekosistem lamun sudah banyak terancam termasuk
di Indonesia baik secara alami maupun oleh aktifitas manusia. Besarnya pengaruh
terhadap integritas sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun
dapat dipandang di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang
meyediakan lebih dari 60 % protein hewani yang dibutuhkan dalam menu makanan
masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun untuk produktifitas dan
pemeliharaanya. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran
perahu yang tidak terkontrol, sedimentasi dan pencemaran sampah plastik yang
menganggu terjadinya proses fotosintesis.(Sangaji, 1994).
Ancaman-ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan,
siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut,
interaksi populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen
dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut.
Diantara hewan invertebrata, bulu babi adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun
dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan
tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran
lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ketempat yang
lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji, 1994).
Luasan ekosistem lamun di seluruh perairan Indonesia yang sudah diverifikasi
oleh Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI yaitu 293.464 ha dengan perincian luas lamun
di perairan timur 284.660 ha dan barat 8.804 ha. Dari seluruh luasan padang lamun
yang sudah tervalidasi, tercatat hanya 15,35 persen yang kondisinya masuk kategori
bagus atau sehat. Sedangkan seluas 53,8 persen lainnya dinyatakan kurang sehat,
dan sisanya sekitar 30,77 persen dinyatakan miskin. Mengacu pada standar
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jika merujuk pada
pedoman tersebut padang lamun yang masuk kategori sehat harus memiliki tutupan
minimal 60 persen. Sementara itu, untuk kondisi sekarang, tutupan padang lamun di
Indonesia rerata mencapai 42,23 persen.

C. Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang paling produktif dan paling
subur di lautan karena terumbu karang memiliki kemampuan untuk menyimpan nutrisi
di dalam sistem dan berperan sebagai cekungan untuk menyerap semua input
eksternal. Hal ini membuat ekosistem terumbu karang menjadi potensi bagi beragam
spesies penghuni yang bernilai ekonomi tinggi. Salah satu alasan penyebab tingginya
keanekaragaman spesies ini adalah dikarenakan adanya variasi pada terumbu karang,
dan ikan yang merupakan organisme yang jumlahnya paling banyak jumlahnya.
(Dahuri, et.al., 2001).
Ekosistem terumbu karang sangat rentan mengalami kerusakan, penyebabnya
kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh kegiatan manusia dan pengaruh
alam (Dahuri, 2000). Kerusakan pada terumbu karang menjadi salah satu faktor
penyebab meningkatnya gas rumah kaca (global warming) yang berkontribusi
terhadap kenaikan muka air laut (Susandi, 2012). Penyebab terjadinya kerusakan
pada terumbu karang tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim, namun ada faktor
lain, diantaranya: pencemaran limbah, limbah-limbah seperti limbah rumah tangga
dapat mencemari ekosistem laut, termasuk penggunaan pestisida yang berlebih pada
lahan pertanian dapat mencemari air laut dan juga dapat mencemari terumbu karang
dan ekosistem yang ada di dalamnya. Pengambilan terumbu karang secara ilegal, para
wisatawan pasti tertarik dengan keindahan terumbu karang, tetapi dengan diambilnya
terumbu karang secara ilegal dapat merusak terumbu karang apalagi diambil untuk
dijadikan sebagai aksesoris.
Berdasarkan kebijakan satu peta (one map policy) yang diamanatkan dalam
UU No.4 tahun 2011, dirilis bahwa total luas terumbu karang di Indonesia adalah 2,5
juta hektar. Informasi tersebut dihasilkan dari citra satelit yang dikompilasi dari berbagai
institusi terkait dan telah diverifikasi oleh tim yang tergabung dalam Kelompok Kerja
(Pokja) Nasional Informasi Geospasial Tematik (IGT) Pesisir dibawah koordinasi BIG
(Badan Informasi Geospasial). Sedangkan luas terumbu karang untuk masing-masing
pulau besar yang ada di perairan Indonesia ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 2. Luas Terumbu Karang di Masing-masing Pulau di Indonesia

Gambar 1. Luas Terumbu Karang di Indonesia Menurut Pulau


Indonesia berada di daerah tropis, tempat yang memungkinkan bagi berbagai
jenis karang untuk dapat tumbuh dan berkembang. Sekitar dua pertiga jenis karang
dapat dijumpai di Indonesia, sehingga wilayah Indonesia digambarkan berada dalam
area segitiga karang (coral triangle) dunia Kekayaan jenis karang Indonesia berada
dalam 14 ecoregion dari total 141 ecoregion sebaran karang dunia dengan kisaran
300-500 lebih jenis karang. Total kekayaan jenis karang keras (ordo Scleractinia)
Indonesia diperkirakan mencapai 569 jenis atau sekitar 67% dari 845 total spesies
karang di dunia. Kekayaan jenis karang paling tinggi berada dalam wilayah perairan
kepala burung Papua dan sekitarnya meliputi perairan Raja Ampat dan Halmahera,
kemudian semakin berkurang ke arah barat dan selatan perairan Indonesia. Kekayaan
jenis karang keras tersebut tersebar dalam 569 jenis , 82 genera dan 15 famili
Terumbu karang sangatlah dinamis dimana perubahannya dari waktu ke waktu
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan aktivitas manusia. Kedua faktor
tersebut berbeda baik secara waktu maupun tempat. Adanya fenomena-fenomena
alam seperti aktivitas vulkanis, tsunami, dan peningkatan suhu air laut secara global
juga sangatberpengaruh secara langsung kepada kondisi terumbu karang secara
umum. Kondisi terumbu karang terkini merupakan hasil dari proses-proses dinamika
terumbu karang baik itu berupa penurunan maupun kenaikan persentase tutupan
karang hidup.

III. PENDEKATAN DAN SOLUSI

Upaya pengelolaan secara konvensional berfokus pada produktivitas


(pengelolaan sumber daya) atau konservasi (perlindungan keanekaragaman hayati).
Namun, situasi saat ini - disebut krisis oleh beberapa ahli. Maka dibutuhkan
pendekatan yang lebih holistik dan integratif untuk perlindungan dan pengelolaan
ekosistem pesisir secara berkelanjutan yang juga melibatkan para pemangku
kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. beberapa pendekatan terpadu
lainnya untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistem pesisir antara lain :
A. Manajemen Berbasis Ekosistem (EBM)

Pendekatan manajemen terpadu yang mempertimbangkan seluruh ekosistem,


termasuk manusia. EBM mempertimbangkan dampak kumulatif dan interaksi kegiatan
manusia pada seluruh ekosistem. Tujuan manajemen berbasis ekosistem yaitu untuk
mempertahankan ekosistem dalam kondisi yang sehat, produktif, dan tangguh
sehingga dapat menyediakan layanan yang manusia inginkan dan butuhkan. EBM
dicirikan oleh penekanan pada perlindungan struktur ekosistem, fungsi dan proses
utama, bukan hanya beberapa spesies kunci atau indikator status sistem. Ini juga
berbasis tempat karena berfokus pada ekosistem tertentu dan berbagai kegiatan yang
mempengaruhinya. EBM secara eksplisit menjelaskan keterkaitan antara sistem,
seperti antara udara, darat dan laut, dan bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif
ekologis, sosial, ekonomi dan kelembagaan, mengakui saling ketergantungan yang
kuat. Manajemen berbasis ekosistem dibangun di sekitar delapan elemen inti:

a) Keberlanjutan - Mempertahankan jasa ekosistem melalui generasi mendatang.


b) Pemerintah - Sasaran terukur yang menentukan proses dan hasil di masa depan.
c) Model dan pemahaman ekologis yang baik : Penelitian di semua tingkat organisasi
ekologi memberikan pemahaman tentang proses dan interaksi lintas skala.
d) Kompleksitas dan keterhubungan - Keanekaragaman hayati dan kompleksitas
struktural memperkuat ekosistem dari gangguan dan mendukung adaptasi
terhadap perubahan jangka panjang.
e) Karakter ekosistem yang dinamis - Perubahan dan evolusi melekat dalam
ekosistem, dan pendekatan EBM fokus pada proses sistem daripada bertujuan
untuk mempertahankan status sistem partikulat.
f) Konteks dan skala - Proses ekosistem beroperasi pada berbagai skala spasial dan
temporal, sehingga perilaku sistem sangat kontekstual. Pendekatan EBM perlu
dirancang untuk keadaan lokal tertentu.
g) Manusia sebagai komponen ekosistem - Manajemen ekosistem mengakui
pengaruh manusia terhadap ekosistem, dan sebaliknya.
h) Kemampuan beradaptasi dan akuntabilitas - Pemahaman fungsi dan perilaku
ekosistem berkembang, dan keputusan sering dibuat dengan pengetahuan yang
tidak lengkap. Manajemen harus dipandang sebagai hipotesis untuk diuji dan
ditingkatkan dalam pendekatan pembelajaran berkelanjutan.

B. Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM)

Mendukung pendekatan holistik untuk pengelolaan sumber daya yang


mengakui pemeliharaan fungsi dan layanan ekosistem sebagai tujuan utama
pengelolaan perikanan. EAFM berbagi banyak prinsip dengan pengelolaan berbasis
ekosistem (EBM), tetapi dengan fokus khusus pada pengelolaan penggunaan sumber
daya perikanan. EAFM secara eksplisit mengintegrasikan serangkaian manfaat terkait
perikanan yang lebih luas yang berasal dari ekosistem ke dalam pertimbangan
pengelolaan, termasuk penggunaan sumber daya laut lainnya - yang sering kali
bertentangan. Ini juga memiliki fokus yang kuat untuk memasukkan ketidakpastian,
variabilitas, dan perubahan yang diprediksi ke dalam pengelolaan perikanan. EAFM
melibatkan pendekatan kehati-hatian yang mencakup keseluruhan sistem, daripada
didorong oleh tujuan sederhana untuk memaksimalkan panen spesies target.
Pendekatan ekosistem sangat meningkatkan keselarasan dalam tujuan pengelolaan
antara perikanan dan konservasi terumbu, yang berpotensi memungkinkan
pendekatan kolaboratif dengan fokus bersama pada pembangunan ketahanan
terumbu.
Munculnya EAFM menciptakan banyak peluang bagi manajer terumbu karang
untuk bekerja dengan manajer perikanan dalam konservasi ekosistem terumbu. EAFM
semakin terkenal dan semakin diadopsi dalam kebijakan perikanan nasional. Ini adalah
pendekatan prinsip untuk manajemen perikanan yang dianjurkan oleh Organisasi
Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mematuhi Kode Etik
FAO untuk Perikanan yang Bertanggung Jawab. FAO telah mengidentifikasi prinsip-
prinsip berikut untuk EAFM:
a) Perikanan harus dikelola untuk membatasi dampaknya pada ekosistem sejauh
mungkin.
b) Hubungan ekologis antara spesies yang dipanen, tergantung, dan terkait harus
dipelihara.
c) Langkah-langkah manajemen harus kompatibel di seluruh distribusi sumber daya
(lintas yurisdiksi dan rencana manajemen).
d) Pendekatan kehati-hatian harus diterapkan karena pengetahuan tentang ekosistem
tidak lengkap.
e) Tata kelola harus memastikan kesejahteraan dan keadilan manusia dan ekosistem.
f) EAFM mencakup empat langkah perencanaan utama:
▪ Inisiasi dan ruang lingkup - Langkah ini bertanya kepada manajer: Apa yang
akan Anda kelola dan tujuan apa yang ingin Anda capai?
▪ Identifikasi aset, masalah, dan prioritas - Langkah ini mengharuskan manajer
untuk mengidentifikasi semua masalah yang relevan untuk perikanan dan
menentukan mana dari mereka yang memerlukan intervensi manajemen
langsung untuk perikanan untuk mencapai tujuannya.
▪ Pengembangan sistem EAFM - Langkah ini berfungsi untuk menentukan set
manajemen dan pengaturan kelembagaan yang paling tepat yang diperlukan
untuk mencapai tujuan.
▪ Institusionalisasi, pemantauan, dan tinjauan kinerja - Langkah ini menetapkan
sistem manajemen baru dan meninjau kinerjanya.

C. Pengelolaan zona pesisir (CZM),

Pengelolaan Zona Pesisir (CZM) juga disebut manajemen zona pesisir terpadu
(ICZM), adalah proses tata kelola yang dapat membantu para manajer perlindungan
wilayah pesisir memastikan rencana pengembangan dan pengelolaan zona pesisir
menggabungkan tujuan lingkungan dan sosial yang berkaitan dengan perlindungan
ekosistem pesisir. CZM menyediakan kerangka hukum dan kelembagaan yang
bertujuan untuk mendukung upaya memaksimalkan manfaat yang diberikan oleh zona
pantai, termasuk terumbu karang, sambil meminimalkan konflik dan efek berbahaya
dari kegiatan satu sama lain, pada sumber daya, dan pada lingkungan. Ciri-ciri utama
dari proses CZM adalah bahwa mereka melibatkan partisipasi aktif oleh masyarakat
yang dipengaruhi oleh keputusan pengelolaan dan perencanaan zona pesisir, dan
bahwa mereka adalah antar-disiplin dan antar-sektor.
CZM sering kali dicapai melalui pendekatan perencanaan spasial, dan dalam
hal ini memiliki banyak kesamaan dengan perencanaan tata ruang laut (MSP). CZM
juga dapat mencakup daerah aliran sungai (daerah tangkapan sungai), dan oleh
karena itu dapat tumpang tindih pengelolaan daerah aliran sungai atau 'ridge-to-reef'.
Namun, secara umum, CZM praktis terbatas pada habitat dan bentang alam yang
mudah dikenal sebagai 'pantai', dengan definisi spasial yang sering selaras dengan
batas administratif atau yurisdiksi.

Strategi untuk pendekatan CZM untuk melindungi terumbu karang meliputi:

a) Menentukan apakah prinsip tradisional atau langkah-langkah pengelolaan sumber


daya ada dan apakah penerapannya yang tepat dapat meningkatkan pengelolaan
sumber daya pesisir.
b) Melibatkan komunitas lokal untuk mengekstraksi pengetahuan anekdot dan
tradisional, untuk melibatkan pemangku kepentingan lokal dalam perencanaan dan
implementasi kebijakan, dan untuk menciptakan dukungan lokal untuk kebijakan
pengelolaan pesisir.
c) Inventarisasi lingkungan pesisir, sumber daya, dan program untuk belajar tentang,
meningkatkan kesehatan, dan mengelola lingkungan pesisir dengan lebih baik.
d) Menentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang menuntut
pembangunan pesisir konsisten dengan pelestarian lingkungan dan menciptakan
strategi untuk pengelolaan zona pantai.
e) Menciptakan dan menegakkan kerangka hukum dan kelembagaan yang kuat,
termasuk insentif ekonomi untuk memperkuat perilaku dan hasil yang diinginkan.
f) Mengembangkan konstituensi dan kemitraan pengelolaan pesisir yang kuat di
tingkat lokal, regional, dan nasional.
g) Menetapkan Kawasan Konservasi Laut (KKL), termasuk cadangan tidak ambil,
untuk melindungi, melestarikan dan mengelola spesies dan ekosistem bernilai
khusus secara berkelanjutan (ini termasuk spesies dan habitat yang terancam).
h) Melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari semua proyek
pembangunan di bagian daratan dan perairan di zona pantai.
i) Mengkaji dan pantau polutan di kolom air dan rencanakan pengendalian polusi.
D. Perencanaan tata ruang laut (MSP)

Pendekatan terkoordinasi untuk menentukan di mana aktivitas manusia terjadi


di laut untuk meminimalkan konflik antar pemangku kepentingan, memaksimalkan
manfaat yang diterima masyarakat dari laut, dan membantu menjaga kesehatan habitat
laut. MSP didefinisikan sebagai "proses menganalisis dan mengalokasikan bagian dari
ruang laut tiga dimensi untuk penggunaan tertentu, untuk mencapai tujuan ekologi,
ekonomi dan sosial yang biasanya ditentukan melalui proses politik". Output utama dari
proses MSP ref biasanya merupakan rencana atau visi yang komprehensif untuk suatu
wilayah laut, termasuk perencanaan implementasi dan pengelolaan. MSP biasanya
merupakan pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan pengelolaan berbasis
ekosistem (EBM) dan pengelolaan zona pesisir (CZM).

Beberapa manfaat menggunakan MSP sebagai alat untuk mencapai EBM dan
CZM meliputi:

a) Mengatasi tujuan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan dengan pendekatan


holistik
b) Mengintegrasikan tujuan kelautan (baik antara kebijakan dan antara berbagai
tingkat perencanaan)
c) Mendukung manajemen terkoordinasi pada skala ekosistem serta yurisdiksi politik
d) Mengurangi konflik di antara kegunaan di wilayah laut
e) Mengurangi risiko kegiatan laut yang merusak ekosistem laut termasuk
meningkatkan pertimbangan efek kumulatif

IV. PENUTUP

Keadaan ekosistem pesisir di Indonesia sudah berada di ambang kerusakan


dan menuju pada titik kritis. Penebangan hutan mangrove, pengambilan batu karang
laut untuk pondasi, pencemaran laut oleh polutan pabrik dan rumah tangga serta
sampah plastik yang menyebabkan lingkungan pesisir menjadi lebih terancam ke arah
yang lebih kritis. Faktor eksternal oleh manusia lebih dominan dalam percepatan
kerusakan ekosistem pesisir didukung oleh faktor lingkungan itu sendiri seperti
pemanasan global, bencana alam dan tzunami.

Anda mungkin juga menyukai