Oleh :
YOHAN RUMAYOMI (NIM. P033232038)
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.S
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Filsafat Politik
Ekologi dan mengangkat sebuah kasus tekanan ekosistem pesisir di Indonesia dengan
menjelaskan bagaimana manusia merusak ekologi serta membuat suatu solusi
pencegahan dan perbaikan.
C. Identifikasi Keterlibatan Stakeholder dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Pesisir
Pemerintah harus terlibat atau campur tangan dalam pengelolaan tersebut karena
tiga alasan berikut ini :
a) Pemerintah ikut mengelola karena alasan efisiensi. Hal ini berarti keikutsertaan
pemerintah dalam mengelola sumberdaya supaya efisien dapat ditingkatkan.
Keterlibatan pemerintah adalah dalam hal pengendali kegiatan sehingga tidak
terjadi kelebihan kapasitas yang berakhir pada inefisiensi.
b) Pemerintah terlibat dalam perlindungan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
supaya keadilan dapat diwujudkan. Jika pemerintah tidak ikut campur tangan,
nelayan yang kuat dan besar akan mengambil manfaat secara berlebihan dan
membiarkan nelayan kecil dalam kemiskinan dan kemelaratan. Jika tidak ada
upaya dan aksi pemerintah yang dilakukan secara afirmatif dalam membantu
nelayan kecil, kondisi ketimpangan akan terus berlanjut.
c) Keterlibatan pemerintah diperlukan dalam hal mengelola sumberdaya pesisir
khususnya ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang karena alasan
administrasi. Di sisi lain, asumsi dan fakta menyatakan bahwa hanya
pemerintah yang berhak menjalankan administrasi dengan otoritas dan
kemampuannya.
2) Akademisi
Hutan mangrove dapat didefenisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut (terutama di pantai terlindung, laguna, muara sungai). Fungsi
mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung daratan
laut. Mangrove juga dapat sebagai peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh
abrasi, gelombang, badai dan penyangga bagi kehidupan biota lainnya. Komunitas
tumbuhan yang hidup mampu bertoleransi terhadap garam termasuk organisme yang
hidup di dalamnya (Aksomkoae, 1993).
B. Ekosistem Lamun
Lamun memiliki fungsi yang cukup vital di lingkungan laut. Fungsi vital lamun
adalah habitat biota laut, produktivitas primer, mengatur tingkat trofik serta regulasi gas
untuk keseimbangan gas CO2 dan O2 di atmosfir melalui mekanisme fotosintesis.
Disisi lain laju kerusakan lamun terus terjadi dan sulit diprediksi akibat perubahan
pasang surut air laut, sedimentasi dan reklamasi pantai. Padang lamun memiliki
berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem pesisir dan sangat menunjang dan
mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih penting sebagai pendukung
produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang lamun, yaitu: 1) sebagai
stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai perangkap dan
pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih jernih; 2) lamun menjadi
sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non ikan); 3) lamun sebagai
produser primer; 4) komunitas lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan
perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan; dan 5) lamun
memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemenelemen langka di lingkungan
laut (Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990).
Keberadaaan lamun pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0,5-10 m,
hidup pada daerah bersubtrat pasir. Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut,
tidak terlepas dan ganguan atau ancaman-ancaman terhadap kelansungan hidupnya
baik berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktivitas manusia. Banyak kegiatan
atau proses, baik alami maupun oleh aktivitas manusia yang mengancam
kelangsungan ekosistem lamun. Ekosistem lamun sudah banyak terancam termasuk
di Indonesia baik secara alami maupun oleh aktifitas manusia. Besarnya pengaruh
terhadap integritas sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun
dapat dipandang di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang
meyediakan lebih dari 60 % protein hewani yang dibutuhkan dalam menu makanan
masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun untuk produktifitas dan
pemeliharaanya. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran
perahu yang tidak terkontrol, sedimentasi dan pencemaran sampah plastik yang
menganggu terjadinya proses fotosintesis.(Sangaji, 1994).
Ancaman-ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan,
siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut,
interaksi populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen
dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut.
Diantara hewan invertebrata, bulu babi adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun
dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan
tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran
lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ketempat yang
lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji, 1994).
Luasan ekosistem lamun di seluruh perairan Indonesia yang sudah diverifikasi
oleh Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI yaitu 293.464 ha dengan perincian luas lamun
di perairan timur 284.660 ha dan barat 8.804 ha. Dari seluruh luasan padang lamun
yang sudah tervalidasi, tercatat hanya 15,35 persen yang kondisinya masuk kategori
bagus atau sehat. Sedangkan seluas 53,8 persen lainnya dinyatakan kurang sehat,
dan sisanya sekitar 30,77 persen dinyatakan miskin. Mengacu pada standar
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria
Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jika merujuk pada
pedoman tersebut padang lamun yang masuk kategori sehat harus memiliki tutupan
minimal 60 persen. Sementara itu, untuk kondisi sekarang, tutupan padang lamun di
Indonesia rerata mencapai 42,23 persen.
Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang paling produktif dan paling
subur di lautan karena terumbu karang memiliki kemampuan untuk menyimpan nutrisi
di dalam sistem dan berperan sebagai cekungan untuk menyerap semua input
eksternal. Hal ini membuat ekosistem terumbu karang menjadi potensi bagi beragam
spesies penghuni yang bernilai ekonomi tinggi. Salah satu alasan penyebab tingginya
keanekaragaman spesies ini adalah dikarenakan adanya variasi pada terumbu karang,
dan ikan yang merupakan organisme yang jumlahnya paling banyak jumlahnya.
(Dahuri, et.al., 2001).
Ekosistem terumbu karang sangat rentan mengalami kerusakan, penyebabnya
kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh kegiatan manusia dan pengaruh
alam (Dahuri, 2000). Kerusakan pada terumbu karang menjadi salah satu faktor
penyebab meningkatnya gas rumah kaca (global warming) yang berkontribusi
terhadap kenaikan muka air laut (Susandi, 2012). Penyebab terjadinya kerusakan
pada terumbu karang tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim, namun ada faktor
lain, diantaranya: pencemaran limbah, limbah-limbah seperti limbah rumah tangga
dapat mencemari ekosistem laut, termasuk penggunaan pestisida yang berlebih pada
lahan pertanian dapat mencemari air laut dan juga dapat mencemari terumbu karang
dan ekosistem yang ada di dalamnya. Pengambilan terumbu karang secara ilegal, para
wisatawan pasti tertarik dengan keindahan terumbu karang, tetapi dengan diambilnya
terumbu karang secara ilegal dapat merusak terumbu karang apalagi diambil untuk
dijadikan sebagai aksesoris.
Berdasarkan kebijakan satu peta (one map policy) yang diamanatkan dalam
UU No.4 tahun 2011, dirilis bahwa total luas terumbu karang di Indonesia adalah 2,5
juta hektar. Informasi tersebut dihasilkan dari citra satelit yang dikompilasi dari berbagai
institusi terkait dan telah diverifikasi oleh tim yang tergabung dalam Kelompok Kerja
(Pokja) Nasional Informasi Geospasial Tematik (IGT) Pesisir dibawah koordinasi BIG
(Badan Informasi Geospasial). Sedangkan luas terumbu karang untuk masing-masing
pulau besar yang ada di perairan Indonesia ditampilkan pada Tabel 1.
Pengelolaan Zona Pesisir (CZM) juga disebut manajemen zona pesisir terpadu
(ICZM), adalah proses tata kelola yang dapat membantu para manajer perlindungan
wilayah pesisir memastikan rencana pengembangan dan pengelolaan zona pesisir
menggabungkan tujuan lingkungan dan sosial yang berkaitan dengan perlindungan
ekosistem pesisir. CZM menyediakan kerangka hukum dan kelembagaan yang
bertujuan untuk mendukung upaya memaksimalkan manfaat yang diberikan oleh zona
pantai, termasuk terumbu karang, sambil meminimalkan konflik dan efek berbahaya
dari kegiatan satu sama lain, pada sumber daya, dan pada lingkungan. Ciri-ciri utama
dari proses CZM adalah bahwa mereka melibatkan partisipasi aktif oleh masyarakat
yang dipengaruhi oleh keputusan pengelolaan dan perencanaan zona pesisir, dan
bahwa mereka adalah antar-disiplin dan antar-sektor.
CZM sering kali dicapai melalui pendekatan perencanaan spasial, dan dalam
hal ini memiliki banyak kesamaan dengan perencanaan tata ruang laut (MSP). CZM
juga dapat mencakup daerah aliran sungai (daerah tangkapan sungai), dan oleh
karena itu dapat tumpang tindih pengelolaan daerah aliran sungai atau 'ridge-to-reef'.
Namun, secara umum, CZM praktis terbatas pada habitat dan bentang alam yang
mudah dikenal sebagai 'pantai', dengan definisi spasial yang sering selaras dengan
batas administratif atau yurisdiksi.
Beberapa manfaat menggunakan MSP sebagai alat untuk mencapai EBM dan
CZM meliputi:
IV. PENUTUP