Modul Edisi 2
01
Pendapat dan Pemikiran
tentang Konsep Masyarakat
Modul 01 1.1
Pendapat dan Pemikiran tentang
Konsep Masyarakat
Latihan 1.16
Rangkuman 1.18
Tes Formatif 1 1.19
Latihan 1.36
Rangkuman 1.38
Tes Formatif 2 1.39
Latihan 1.53
Rangkuman 1.55
Tes Formatif 3 1.56
Pendahuluan
M asyarakat merupakan objek kajian terpenting dari sosiologi sejak zaman dahulu
hingga dewasa ini. Sejumlah ahli sosiologi memandang masyarakat sebagai
suatu pesona yang tiada henti untuk mengkaji dan memikirkannya seiring dengan
dinamikanya, sejak masa sebelum Auguste Comte (yang dipandang sebagai Bapak
Sosiologi) hingga masa modern dan bahkan pasca modern. Pendapat dan pemikiran
ihwal masyarakat tersebut akan diuraikan secara detail dalam modul ini.
Modul ini menguraikan tiga materi pokok, yakni pendapat dan pemikiran tentang
masyarakat sebelum Auguste Comte, sosiologi periode Auguste Comte, dan sosiologi
sesudah Auguste Comte. Materi tentang pendapat dan pemikiran tentang masyarakat
sebelum Comte mencakup uraian mengenai siapa saja tokoh-tokoh yang berpengaruh
dalam menggagas sosiologi sebagai disiplin ilmu, bagaimana pada awalnya para tokoh
filsafat menyusun konsep keadaan sosial masyarakat pada setiap zamannya. Hal-hal
tersebut adalah yang menjadi titik awal berkembangnya sudut pandangan terhadap
masyarakat. Sosiologi periode Auguste Comte mencakup uraian mengenai awal mula
perkembangan sosiologi di Eropa sebagai awal penyesuaian kehidupan masyarakat di
masa-masa sulit ketika revolusi industri hingga Auguste Comte didaulat menjadi bapak
sosiologi karena dianggap menjadi orang yang pertama kali mencetuskan sosiologi.
Walaupun hal tersebut tidak terlepas dari tokoh-tokoh masa lalu yang menjadi peletak
utama dalam membangun sosiologi. Materi selanjutnya mengenai Sosiologi sesudah
Auguste Comte yang membuat semakin kokohnya sosiologi menjadi salah satu disiplin
ilmu. Di samping itu, akan diuraikan pula tentang beberapa tokoh penerus Comte dalam
mengembangkan sosiologi dan memperkenalkannya kepada dunia.
Tujuan Instruksional Umum (TIU) adalah agar setelah mempelajari modul
ini Anda mampu menganalisis perkembangan sosiologi sebelum, pada masa, dan
sesudah masa Comte. Adapun Tujuan Instruksional Khusus (TIK) adalah agar setelah
mempelajari modul ini Anda mampu:
1. menjelaskan beberapa pendapat para ahli filsafat tentang masyarakat sebelum
masa Auguste Comte;
2. menjelaskan beberapa pendapat ahli tentang masyarakat pada masa periode
Auguste Comte;
3. menyebutkan pendapat Auguste Comte tentang ilmu kemasyarakatan atau
sosiologi;
4. menjelaskan kaitan ilmu pengetahuan lain dengan sosiologi;
5. menjelaskan pendapat para ahli ilmu pengetahuan tentang masyarakat sesudah
Auguste Comte;
6. menyebutkan beberapa pendapat ahli sosiologi modern;
7. menjelaskan alasan mengapa Auguste Comte dianggap sebagai Bapak Sosiologi.
1.4 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Kegiatan
Pendapat dan Pemikiran Belajar
tentang Masyarakat sebelum
Auguste Comte 1
M anusia adalah makhluk yang memiliki keinginan untuk selalu hidup bersama
dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Setujukah Anda terhadap
pernyataan tersebut? Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, dan keinginannya
manusia memberikan reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola
interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu
masyarakat. Manusia mempunyai kehidupannya sendiri-sendiri, tetapi manusia tidak
dapat terlepas dengan manusia lainnya, karena manusia diciptakan untuk saling
membutuhkan satu sama lainnya. Di dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam
manusia dengan pribadi yang berbeda-beda yang tinggal dalam lingkungan yang sama.
Contoh:
1. Keragaman itu diakibatkan oleh perbedaan ras, etnik, dan budaya daerah.
2. Di samping itu, keragaman bisa disebabkan oleh perbedaan faktor status sosial
ekonomi (tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan penghasilan).
3. Bahkan keragaman juga dapat disebabkan oleh faktor kepribadian, karena semua
manusia memiliki kepribadian yang unik, berbeda satu sama lain.
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang hidup dalam kelompok, untuk
mengatasi keterbatasan kemampuan organisasinya itu, manusia mengembangkan sistem-
sistem dalam hidupnya melalui kemampuan akalnya seperti sistem mata pencaharian,
sistem perlengkapan hidup, dan lain-lain. Dalam kehidupannya, manusia mulai dari
lahir ke dunia hingga tutup usia telah mengenal dan berhubungan dengan manusia
lainnya. Andai manusia itu hidup sendiri, misalnya dalam sebuah kawasan tertutup
tanpa berhubungan dengan manusia lainnya, maka jelas jiwanya akan terganggu.
Menurut istilah, masyarakat berasal dari kata musyarakat yang berasal dari
bahasa Arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi. Dalam bahasa Inggris
disebut “society” yang berarti sekelompok manusia (minimal dua orang) yang hidup
bersama, saling berhubungan dan mempengaruhi, saling terikat satu sama lain, sehingga
menghasilkan kebudayaan yang sama.
Kemudian society berasal dari kata latin, societas yang mempunyai makna
hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas berinduk pada kata socius yang
memiliki arti teman, sehingga makna society berkaitan erat dengan kata sosial. Secara
tersirat, kata society memiliki kandungan arti bahwa setiap anggotanya mempunyai
perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
Masyarakat sebagai suatu bentuk sistem sosial, dalam hubungannya dengan
lingkungan sekitar akan selalu berusaha mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
seoptimal mungkin. Sebagai suatu sistem, masyarakat menunjukkan bahwa semua
orang secara bersama-sama, bersatu untuk saling melindungi kepentingan mereka dan
berfungsi sebagai satu kesatuan yang secara terus-menerus berinteraksi dengan sistem
yang lebih besar. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan
budaya, wilayah, dan identitas. Berikut ini adalah pengertian dan definisi tentang
masyarakat menurut beberapa ahli (Syadali dan Mudzakir, 2004:66-67).
Socrates lahir tahun 470 SM dan meninggal tahun 399 SM. Ia anak dari seorang
pembuat patung yang kemudian keahlian itu juga diwarisinya. Ajaran Socrates
yang penting, yaitu mengenai ditekankannya logika sebagai dasar bagi semua ilmu
pengetahuan termasuk filsafat.
Bagi Socrates, kecerdasan merupakan dasar dari semua tabiat yang baik.
Dengan kecerdasan dan pengetahuan menjadikan orang bijaksana. Kebijakan adalah
sesuatu yang dapat dicapai dengan kecerdasan manusia. Socrates menganjurkan agar
kita “membangun masyarakat” tersebut berlandaskan atau didasarkan pada ilmu
pengetahuan ilmiah. Ungkapan Socrates yang sangat terkenal adalah “kenalilah dirimu
sendiri”. Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang
setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya.
PSOS4205/MODUL 1 1.7
Sumber: http://thepopularfront.files.wordpress.com/2013/12/david_-_the_death_of_
socrates.jpg
Gambar 1.1
Socrates Peletak Dasar Logika sebagai Dasar dari Semua Ilmu
Plato adalah murid Socrates, yang lahir tahun 429 SM dan meninggal tahun 347
SM. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Setelah Socrates meninggal, Plato mengembara
ke berbagai negeri seperti Mesir, Asia Kecil, Sisilia, dan Italia. Pada tahun 387 SM ia
kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang diberi nama Academia. Karena banyak
menarik pemuda-pemuda Yunani, Academia itu dapat disebut sebagai Universitas
pertama di Eropa. Karya Plato yang terkenal berjudul The Republic (Negara) dan The
Law (Hukum). Dalam tulisannya The Republic, Plato menyuguhkan kepada kita karya
yang pertama dan terbesar yang bersifat sosiologis.
1.8 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Sumber: http://www.rubicon.dk/wp-content/uploads/plato1.jpg
Gambar 1.2
Plato Pendiri Academia yang Merupakan Cikal Bakal Universitas
Lebih jauh Plato juga menunjukkan bahwa kehidupan yang baik tergantung pada
dapat atau tidaknya pikiran dan kehendak manusia itu berkembang, sedangkan pikiran
dan kehendak manusia hanya dapat berkembang, jika dalam masyarakat itu terdapat
“keadilan”. Akan tetapi, bagaimana keadilan dapat tercapai? Menurut Plato, keadilan itu
dapat dicapai melalui tata tertib. Jadi, kehidupan yang baik adalah tujuan dari keadilan
dan keadilan adalah tujuan dari organisasi sosial.
Plato menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya merupakan refleksi dari
manusia perseorangan. Suatu masyarakat akan mengalami guncangan, sebagaimana
PSOS4205/MODUL 1 1.9
Aristoteles lahir tahun 384 SM di Macedonia dan meninggal tahun 322 SM.
Ibunya merupakan ahli kesehatan Raja Amyntas II (kakek Alexander Agung). Aristoteles
adalah seorang murid Plato. Pada akhirnya Aristoteles menjadi guru Alexander Agung,
raja Macedonia itu. Berkat bantuan Alexander Agung itu pula Aristoteles mendirikan
perpustakaan dan museum yang pertama kali di Yunani, yang terkenal dengan The
Politics dan The Nicomachean Ethics. Dalam menganalisis keadaan masyarakat,
Aristoteles menggunakan “metode induktif”, yaitu menarik kesimpulan umum dari
fakta-fakta yang bersifat khusus.
Sumber: http://farmacon.files.wordpress.com/2008/10/aristoteles-escuela-atenas-fn.jpg
Gambar 1.3
Aristoteles Enganalisis Masyarakat dengan Metode Induktif
1.10 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Kedua bentuk asosiasi ini bersifat alamiah dan tidak disengaja. Keduanya akan
terlihat hubungan antara suami istri, orang tua dan anak, serta antara tuan dan budak
maupun pembantu di dalam keluarga.
Kenapa manusia secara alamiah membentuk kelompok (asosiasi)? Menurut
Aristoteles hal tersebut disebabkan karena manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial. Karena makhluk sosial, maka manusia adalah makhluk yang bermasyarakat.
Berdasarkan pengertian ini, Aristoteles menyatakan bahwa manusia berasosiasi
membentuk keluarga, kemudian keluarga berasosiasi membentuk dusun atau kampung,
dan dusun berasosiasi membentuk negara. Negara tumbuh secara alamiah, seperti
halnya keluarga dan dusun.
Aristoteles mengadakan suatu analisis mendalam terhadap lembaga-lembaga
politik dalam masyarakat. Pengertian politik digunakannya dalam arti luas mencakup
juga berbagai masalah ekonomi dan sosial. Sebagaimana halnya dengan Plato, perhatian
Aristoteles terhadap biologi telah menyebabkannya mengadakan suatu analogi
antara masyarakat dengan organisme biologis manusia. Di samping itu, Aristoteles
menggarisbawahi kenyataan bahwa basis masyarakat adalah moral.
Masyarakat Negara yang baik menurutnya dikelola oleh pemerintah yang
kemudian ada pembagian fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian,
terdapat pengawasan satu dengan yang lain. Orang atau kelompok macam apa yang
dinilai Aristoteles pantas memegang pemerintahan negara? Aristoteles memberi tiga
macam bentuk pemerintahan dilihat dari segi jumlah pemegang kekuasaan itu.
1. Pemerintahan oleh seseorang, jika seseorang penguasa itu baik, maka ia disebut
monarki dan jika ia memerintah dengan buruk, maka disebut tirani.
2. Pemerintahan oleh sejumlah kecil orang disebut aristokrasi jika baik, dan jika
buruk akan disebut oligarki.
3. Pemerintahan oleh orang banyak, untuk yang baik atau yang buruk akan disebut
demokrasi.
Pendapat-pendapat Plato dan Aristoteles tersebutlah yang hingga saat ini masih
diterapkan di dunia ini, di mana saat kecenderungan penguasa melakukan segala hal
dalam membina maupun membangun kehidupan masyarakatnya, selayak itu pula
kehidupan masyarakat akan mencapai kemakmuran.
PSOS4205/MODUL 1 1.11
D. RENAISANCE (1200-1600)
Sumber: http://2.bp.blogspot.com/-778JVyF7uvA/Tee2pYd-YUI/AAAAAAAAAEg/0iv0LE-zYGk/
s1600/Ibn+Khaldun.jpg
Gambar 1.4
Ibnu Khaldun Menulis Buku Berjudul Al-Muqaddimah, Suatu Karya Besar tentang
Sejarah Dunia dan Sosial-Budaya
1.12 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Ibnu khaldun adalah seorang ahli filsafat Arab yang mengemukakan beberapa
prinsip yang pokok untuk memanfaatkan kejadian sosial dan peristiwa dalam sejarah.
Prinsip-prinsip yang sama dapat dilihat, jika ingin mengadakan analisis terhadap
timbul dan tenggelamnya negara-negara. Gejala-gejala yang sama dapat dilihat pada
kehidupan masyarakat-masyarakat pengembara dengan segala kekuatan dan kelemahan-
kelemahannya. Hal yang demikian itu, disebut rasa solidaritas. Faktor- faktor itulah
yang menyebabkan adanya ikatan dan usaha kerja sama antara manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya.
Ibnu Khaldun sudah merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden
yang keras dan masyarakat-masyarakat halus bertipe menetap, dalam suatu hubungan
yang kontras (Chambliss, 1954:285-312). Karya Khaldun tersebut dituangkan dalam
bukunya yang berjudul al-Muqaddimah tentang sejarah dunia dan sosial-budaya yang
dipandang sebagai karya besar di bidang tersebut (Sharqawi, 1986:144). Dari kajiannya
tentang watak masyarakat manusia, Khaldun menyimpulkan bahwa kehidupan
nomaden lebih dahulu ada, dibanding kehidupan kota, dan masing-masing kehidupan
ini mempunyai karakteristik tersendiri.
Sumber: http://www.nndb.com/people/691/000031598/hobbes.jpg
Gambar 1.5
Thomas Hobbes Berpandangan Masyarakat Bisa Mewujudkan Perdamaian Hanya
Apabila Mampu Menghilangkan Nafsu-nafsu yang Rendah
Keadaan semacam itu baru dapat tercapai jika mereka mengadakan suatu
perjanjian atau kontrak dengan pihak-pihak yang mempunyai wewenang, yaitu pihak
mana yang tentu dapat memelihara ketenteraman.
Menurut ajaran John Locke, pada dasarnya manusia mempunyai hak-hak asasi
yang berupa hak untuk hidup, kebebasan, dan hak atas harta benda. Kontrak antara
warga masyarakat dengan pihak yang mempunyai wewenang sifatnya atas dasar faktor
pamrih.
Sumber: http://3.bp.blogspot.com/-cCt5qMwgG-g/USUNzAVmGtI/AAAAAAAAAgs/
whXi4pu-f14/s1600/John+Locke.JPG
Gambar 1.6
John Locke Adalah Penggagas Teori Kontrak Sosial
1.14 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Ketika John Locke berbicara pemerintahan politik atau J.J. Rousseau tentang
civil, mereka bicara tentang dunia politik, masyarakat sipil merupakan arena bagi warga
negara yang secara aktif secara politik, dalam masyarakat beradab yang berdasarkan
hubungan-hubungan dalam suatu sistem hukum, dan bukannya pada tatanan hukum
otokratis yang korup (Kumar, 2000: 114). Artinya, jika yang mempunyai wewenang
tadi, gagal untuk memenuhi syarat-syarat, maka warga-warga masyarakat berhak untuk
memilih pihak lainnya.
Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b7/Jean-Jacques_
Rousseau_%28painted_portrait%29.jpg
Gambar 1.7
J.J Rousseau Menggagas Kolektivitas sebagai Wujud Kontrak antara
Pemerintah dan yang Diperintah
Pada awal abad ke-19, muncullah ajaran dari Saint Simon. Dia menyatakan bahwa
manusia hendaknya dipelajari dalam berkelompok. Di dalam bukunya yang berjudul
Memories Sur La Science De L’home, Saint Simon menyatakan bahwa ilmu politik
merupakan suatu ilmu yang positif. Masalah-masalah dalam ilmu politik hendaknya
dianalisis dengan metode-metode yang sering dipakai terhadap gejala-gejala lain. Dia
memikirkan sejarah sebagai suatu fisika sosial, fisiologi dapat mempengaruhi ajaran-
ajarannya mengenai masyarakat.
Sumber: http://www.thegreatdebate.org.uk/Saint-Simon1.jpg
Gambar 1.8
Saint Simon Berpandangan bahwa Manusia Hendaknya Dipelajari dalam Berkelompok
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 1
2) Menurut istilah, masyarakat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti ikut
serta atau berpartisipasi, yaitu ….
A. musyawarah
B. musyarak
C. munawarak
D. musya
4) Plato menyuguhkan karya yang pertama dan terbesar yang bersifat sosiologis.
Karya Plato yang terkenal tersebut adalah?
A. The Law
B. The Republic
C. Academia
D. Justice
6) Ibnu Khaldun seorang ilmuwan Arab dengan karyanya tentang sejarah dunia dan
sosial-budaya, berjudul apakah karyanya tersebut?
A. City of The Sun
B. The Law
C. Al Muqqadimah
D. Leviathan
7) Pada awal abad ke-19, muncullah ajaran dari Saint Simon yang menyatakan
bahwa manusia hendaknya dipelajari dalam ….
A. individu
B. berkelompok
C. berurutan
D. ikatan Sosial
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan
dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi
materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
1.22 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Kegiatan
Belajar
Lahirnya Sosiologi 2
S osiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Sejumlah ilmuwan berusaha menjelaskan
adanya hubungan antarmanusia dan perilaku sosial budaya melalui kehidupan
bermasyarakat dan yang sekarang di kenal sebagai ilmu sosiologi. Di Eropa, pertama
kali terjadi pemikiran terhadap konsep masyarakat, yang lambat laun melahirkan ilmu
yang dinamai sosiologi tersebut. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor antara lain
karena semakin meningkatnya perhatian terhadap masyarakat dan adanya perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masyarakat Eropa.
Pada awalnya sosiologi lahir karena adanya perubahan dalam masyarakat Eropa
yang terjadi pada akhir tahun 1800-an sampai dengan awal tahun 1900-an. Perubahan
ini sering disebut era modern. Era modern muncul karena ada tiga faktor, yaitu
(1) munculnya kota, para pemilik modal, dan masyarakat industri; (2) adanya temuan
kebudayaan yang berbeda; serta (3) adanya kekacauan politik dan intelektual.
Terlepas dari berbagai ide awal yang membentuk disiplin sosiologi di atas,
kelahiran sosiologi terutama dilatarbelakangi oleh Revolusi Industri pada abad 19
yang membawa berbagai dampak negatif terhadap masyarakat. Sejak ditemukannya
mesin uap oleh James Watt, dimulailah periode industrialisasi di Eropa. Penggunaan
mesin-mesin pada berbagai pabrik yang ada di Eropa menyebabkan kian tingginya
angka pengangguran yang kemudian berdampak pula pada kian banyaknya pemukiman
kumuh, serta meningkatnya angka kriminalitas.
Sebab-sebab tersebutlah yang kemudian menjadi latar belakang utama kelahiran
sosiologi. Suatu disiplin atau studi mengenai masyarakat yang bertujuan untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri.
Sosiologi lahir pada abad ke-19, yaitu pada saat transisi menuju lahirnya masyarakat
baru yang di tandai oleh beberapa peristiwa atau berubahan besar pada masa tersebut.
Beberapa peristiwa besar tersebut antara lain sebagai berikut.
A. REVOLUSI AMERIKA
Sejak awal abad ke-18 M, dimulai dari Inggris, terjadi perubahan besar dalam cara
memproduksi, yaitu dari tenaga manusia ke tenaga mesin, dari industri rumah tangga ke
industri pabrik, dan produksi kecil ke produksi besar. Perubahan ini membawa pengaruh
pada kehidupan ekonomi, kemudian pada kehidupan bermasyarakat. Revolusi Industri
berpengaruh terhadap munculnya kalangan baru dalam masyarakat. Satu pihak adalah
para pemilik modal yang disebut kaum kapitalis dan pihak lainnya adalah para pekerja
pabrik yang biasa disebut kaum buruh. Kehadiran kedua kelompok ini, mengubah
secara drastis struktur sosial terutama di kota-kota.
Revolusi Industri merupakan salah satu momentum sejarah yang sangat
spektakuler dalam sejarah peradaban barat, karena dari revolusi industri ini, kemudian
terjadi perubahan besar dalam sistem perekonomian barat dan berpengaruh terhadap
sistem perdagangan dunia di fase berikutnya. Gejala timbulnya revolusi industri sendiri,
tidak hanya di sebabkan oleh satu sebab, tetapi oleh berbagai faktor, yakni politik,
ekonomi, psikologi, kebangsaan, struktur masyarakat, pengetahuan, dan lain-lain.
Secara garis besarnya revolusi industri mencakup beberapa hal, yaitu:
(1) mekanisasi industri dan pertanian; (2) penggunaan energi untuk industri;
(3) perkembangan sistem pabrik; (4) kecepatan yang luar biasa dari angkutan dan
komunikasi; dan (5) penambahan yang besar dari kontrol kapitalistik terhadap hampir
semua cabang-cabang kegiatan ekonomi (Burn, 1958:631).
Revolusi industri, pertama kali ditandai dengan penggunaan mesin untuk pabrik
pemintalan kapas. Dari tahun 1760 sampai 1870 banyak disaksikan penggunaan mesin-
mesin ini. Salah satu ikhtiar yang dikembangkan adalah mesin pemintal benang yang
diciptakan James Hargreaves pada tahun 1767, dan diberi nama “Jenny”, yang diambil
dari nama istrinya. Hanya saja, mesin ini ternyata tidak kuat, sampai ditemukannya
kerangka air oleh Ricard Arkwight dua tahun kemudian. Pada tahun 1779, Samuel
Croupton menggabungkan alat pemintal “Jenny” dengan kerangka air menjadi sebuah
mesin yang diberi nama “Mule”. Selanjutnya, ditemukan juga mesin tenun oleh
Cartwright pada tahun 1785 yang disempurnakan beberapa tahun kemudian (Burn,
1958:641).
1.24 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Revolusi Prancis merupakan sebuah masa peralihan politik dan sosial dalam
sejarah Prancis. Pada saat itu, kaum demokrat dan para pendukung republikanisme
bersatu menjatuhkan sistem pemerintahan monarki (kerajaan) absolut, yang dianggap
terlalu kaku dan memberikan keistimewaan berlebih pada keluarga kerajaan dan
golongan bangsawan. Raja Louis XVI (pemimpin negara saat itu) misalnya, bisa hidup
mewah dan menghambur-hamburkan dana kerajaan, sementara sebagian besar rakyatnya
hidup miskin. Rakyat menghendaki pemerintahan yang memerhatikan hak-hak mereka.
Dalam Revolusi Prancis, mereka menggunakan slogan “Persamaan, Kebebasan, dan
Persaudaraan” (Liberte, Egalite, Fraternite). Revolusi Prancis berakhir pada November
1799 dengan dibubarkannya monarki absolut Prancis, yang diganti dengan bentuk
negara monarki terbatas dan selanjutnya menjadi republik.
Revolusi Prancis 1789 sering dianggap sebagai satu garis yang memisahkan
Eropa lama dan modern. Ia juga dilihat sebagai titik puncak kesadaran nasionalisme,
gerakan anti pemerintahan, dan pencapaian gagasan kedaulatan rakyat. Dalam revolusi
itu, para revolusioner telah membawa pesan persamaan, kebebasan, dan persaudaraan
sebagai tuntutan terhadap cita-cita liberalisme dan demokrasi. Namun, cita-cita ke
arah itu dipercayai telah ditanam sejak dari awal oleh satu aliran pemikiran yang
sedang berkembang di Eropa pada masa itu, yang dikenali sebagai Aliran Kesadaran
(Enlightenment). Di Prancis, ide kesadaran yang dianggap radikal telah dikaitkan secara
langsung dengan pemikiran yang dibawa oleh golongan pemikir-penulis elit yang
didakwa memainkan peranan utama dalam pencetusan Revolusi Prancis 1789 (Azmi,
2010:1).
Perubahan masyarakat yang terjadi selama revolusi politik sangat luar biasa
baik bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Adanya semangat liberalisme muncul
di segala bidang, seperti penerapan dalam hukum dan undang-undang. Pembagian
masyarakat perlahan-lahan terhapus dan semua diberikan hak yang sama dalam hukum.
PSOS4205/MODUL 1 1.25
Revolusi Prancis adalah masa dalam sejarah Prancis antara tahun 1789 dan 1799,
di mana para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut
di Prancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal.
Pada tahun 1789, ketika masa pemerintahan Louis XVI, beban negara sudah
sangat tinggi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, satu-satunya cara adalah menarik
pajak kepada kaum bangsawan. Sidang Etats Generaux pun akhirnya digelar, tetapi
terjadi kerusuhan. Hal itu disebabkan golongan III (rakyat jelata) yang jumlahnya
terbesar menuntut hak suaranya dalam voting secara perorangan, sedangkan golongan
I dan II menghendaki voting dilakukan pergolongan. Dengan cara itu, golongan I dan
II yang bersekongkol dapat dipastikan memenangkan suara. Pada tanggal 14 Juli 1789
rakyat Prancis menyerbu penjara Bastille yang merupakan tempat tahanan politik
penentang pemerintah raja Prancis dan tempat gudang senjata. Penyerbuan ini dipicu
oleh beberapa alasan sebagai berikut.
1. Rakyat mendengar desas-desus bahwa Raja Prancis mengumpulkan tentaranya di
sekitar Paris untuk menindas rakyat.
2. Rakyat membutuhkan senjata yang tersimpan di dalam penjara Bastille.
perubahan masyarakat yang besar, telah membawa banyak korban berupa perang,
kemiskinan, pemberontakan, dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah, sekiranya
perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini.
Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi, menguatkan pandangan
betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat.
Artinya, perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu
saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya, kemudian harus dicari
metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan
dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal, dan dengan metode
ilmiah yang tepat. Penjelasan yang teliti dan perumusan teori berdasarkan pembuktian,
menyebabkan perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga
krisis sosial yang parah dapat dicegah.
D. AUGUSTE COMTE
Auguste Comte yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier
Comte lahir 19 Januari 1798 di Montpellier yang terletak di bagian selatan Prancis.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte
melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Karier profesionalnya
dimulai dengan memberikan les matematika. Kehidupan ekonominya yang pas-pasan
dan hampir selalu hidup dalam kemiskinan tidak menghilangkan ketekunan dan
kecemerlangan intelektualnya.
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/_-z0ESKBfMy8/Scv4anX9ByI/AAAAAAAAApY/iSafN1gd00Q/
s400/Auguste-Comte.jpg
Gambar 1.9
Comte, Bapak Sosiologi
Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekretaris dan kemudian menjadi anak angkat
Henri de Saint-Simon, setelah Comte di usir dan hidup dari mengajar matematika.
Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825.
Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte,
PSOS4205/MODUL 1 1.27
sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karier
antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan
dipengaruhi oleh (sebagaimana yang diakuinya) Plato, Montesquieu, Hume, Turgot,
Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di
kompilasi menjadi dua karya besarnya, Cours de Philosophie Positive dan Systeme
de Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin
terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya
sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.
Kondisi sosial dan perubahan besar-besaran yang terjadi di masyarakat pada masa
kehidupannya, berpengaruh besar dalam mendorong pemikirannya. Auguste Comte
menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif revolusi tersebut,
khususnya di bidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang
dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivasi dirinya untuk
memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi
dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme.
Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung oleh para elit-ilmiah dan
maraknya era industrialisasi pada saat itu (Azis, 2003:254).
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif
muda, yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh
Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi.
Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul Cours of
Positive Philosophy yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu
komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte, ilmu sosiologi harus
didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan
spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.
2. Tahap Metafisik
Tahap ini manusia menganggap bahwa dalam setiap gejala terdapat kekuatan-
kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkap.
3. Tahap Positif
Tahap ini merupakan puncak perkembangan masyarakat. Tahap ini ditandai
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan karena manusia sepenuhnya
mempercayai dan menggunakan kemampuan akalnya, untuk memahami alam.
Ilmu pengetahuan ini dibangun melalui penelitian dan data empiris yang berguna
dalam menemukan hukum-hukum universal, dan manusia masih terikat cita-
cita tanpa verifikasi karena ada kepercayaan bahwa setiap cita-cita terikat pada
suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum alam yang
seragam.
melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis, dan positif. Dalam hal ini, Auguste Comte
memberikan analogi: manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis
sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat
remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap
dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.
Selanjutnya Comte membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis.
Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar
adanya masyarakat, sedangkan sosiologi dinamis memusatkan perhatian mengenai
perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan. Pokok bahasan sosiologi adalah
fakta sosial, tindakan sosial, dan realitas sosial.
Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi
perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme,
yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan
dari empirisme.
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem
aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah
melahirkan aliran Kritisisme, sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran
besar tersebut. Di sinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan
representasi jawaban terhadap problem-problem mendasar tersebut.
Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan
’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa
dasar, karena jika kita membaca, misalnya kamus saku Oxford akan ditemukan ’baik’
dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positif. Dalam konteks epistemologi,
kata positif yang pertama kali digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam
”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur
agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal noninderawi.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu
yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa
satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-
fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori
melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Positivisme dalam pengertian di atas dan sebagai pendekatan telah dikenal
sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibnu al-Haytham dalam karyanya kitab
al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat
pertama kali dilakukan Comte. Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte yang
tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842) yang
diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Systeme de Politique
Positive yang masing-masing mewakili tahapan tertentu dalam jalan pemikirannya.
Dalam kaitannya (positivisme) dengan masyarakat, Comte meyakini bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam, maka untuk memperoleh pengetahuan tentang
masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu
1.30 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
alam lainnya. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat
alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati
oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk
pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya
hukum-hukum ilmiah yang positif.
Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang dengan
penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan hukum-hukum tetap yang
dapat berlaku pada alam (hukum alam). Comte kemudian melakukan copy-paste
metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial. Dengan
begitu, menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku
general pada masyarakat (hukum sosial).
Comte memulai pekerjaannya tersebut dengan melakukan refleksi mendalam
terkait sejarah perkembangan alam pikir manusia. Ia kemudian mendapati bahwa sejarah
perkembangan alam pikir manusia terdiri atas tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan
positif. Dari ketiga tahapan tersebut, tahap positif merupakan babak terakhir, di mana
pada tahapan itu manusia telah memasuki peradaban yang positif. Selanjutnya, Comte
membuat norma-norma ilmiah yang disebut metodologi ilmiah.
Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan
masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, berstandar pada saling
ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang
sangat tinggi. Berikut pemikiran Auguste Comte dalam kajian aspek epistemologi,
ontologi, dan aksiologi:
2. Positivisme
Istilah postivisme berasal dari buah karya Auguste Comte, Cours de Philosophie
Positive (1842). Terminologi “positif” yang membentuk kata “positivisme” tidaklah
disamaartikan dengan istilah “baik” sebagaimana umumnya, melainkan teori yang
berupaya menyusun berbagai fakta teramati.
Aliran positivisme ini, merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte yang
cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran positivisme ini, kemudian pada
abad ke-20 dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-
Positivisme (Positivisme-Logis) (Maksum, 2004:77).
Dengan kata lain, istilah positif dapat diartikan dengan “faktual” atau segala
sesuatu yang didasarkan pada fakta-fakta. Apa yang dimaksudkan Comte adalah
hendaknya pengetahuan disusun berdasarkan berbagai fakta yang ada atau tidak
melampaui fakta-fakta yang ada (Hardiman, 2004: 204).
PSOS4205/MODUL 1 1.33
Di sisi lain, lahirnya positivisme tak lepas dari peristiwa Renaissance ‘pencerahan
Eropa’ yang terjadi pada abad 15-18. Dalam peristiwa tersebut, muncul dua mazhab
besar pemikiran Eropa yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu rasionalisme
dan empirisme. Rasionalisme yang digawangi Rene Descartes beranggapan bahwa
pengetahuan berasal dari akal, rasio, atau mendahului pengalaman manusia (apriori),
sedang empirisme besutan John Locke berkeyakinan bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman manusia (aposteriori). Di samping Descartes dan Locke, positivisme-
Comte turut dipengaruhi oleh Thomas Hobbes. Dalam De Homine, Hobbes berkata
bahwa objek studi filsafat haruslah segala sesuatu yang terindera. Ia mengatakan pula
bahwa beragam perasaan yang terdapat dalam diri manusia faktual, merupakan hasil
masukan dari luar yang diperoleh melalui pancaindera (Hardiman, 2004:70).
Di tangan Comte, perbedaan yang jelas antara kedua mazhab pemikiran di
atas, mampu teramu sedemikian rupa ke dalam positivisme (Hardiman, 1993:23). Ia
sepakat dengan Descartes bahwa Ilmu Pasti adalah syarat yang dijadikan dasar bagi
segala filsafat mengingat berbagai dalil umum, sederhana, serta abstrak yang dimiliki
ilmu pasti. Di sisi lain, empirisme disebabkan kemampuannya memperoleh ide dalam
kehidupan nyata, kemudian turut mengujinya pula dalam kehidupan nyata. Dengan
demikian, dapatlah ditegaskan bahwa filsafat positif merupakan elaborasi antara riset
empiris berikut pertimbangan akal dengan model fisika-Newton (Hardiman, 2004:201-
202). Pada tahapan terkait, dimulailah penerapan metode ilmiah guna mencari solusi
atas beragam masalah sosial yang ada, penerapan tersebut diikuti pula dengan keyakinan
dan asumsi bahwa alam fisik didominasi oleh hukum-hukum alam, maka demikian
halnya dengan dunia sosial (Ritzer, 2006:12-13).
Dapat disimpulkan bahwa positivisme memiliki karakteristik sebagai berikut:
berpijak pada segala sesuatu yang diketahui atau faktual berupa menampakkan/gejala;
mengesampingkan segala uraian atau persoalan di luar fakta; berupaya mengatur fakta
melalui serangkaian hukum tertentu, setelah hal tersebut dilakukan maka berpijak
melaluinya, usaha melihat masa depan pun dilakukan; serta beragam hal yang tampak
sebagai gejala akan menyesuaikan diri dengan berbagai hukum tersebut (Hadiwijono,
1995:109-110).
Lebih jauh, Agger (2006:49) menegaskan bahwa tradisi positivis berupaya
menjelaskan hubungan kausal (sebab-akibat) yang mengatur dunia sosial. Tradisi
terkait dibangun berdasarkan sejumlah penelitian, kemudian mengelompokkannya ke
dalam berbagai pola umum, serta berusaha mengakomodasinya ke dalam satu variabel
tergantung. Namun demikian, satu karakteristik dari positivisme yang demikian
mencolok hingga menimbulkan perdebatan sengit dengan kubu kritis nantinya
methodensterit adalah keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Hal
tersebut berarti, berbagai ilmu pengetahuan yang ada hendaknya sekedar diabdikan
guna menjelaskan berbagai gejala yang muncul di permukaan, tanpa kewajiban untuk
mengubahnya (Hardiman, 1993:23).
Secara ringkas, berbagai karakteristik positivisme di atas, dapat dirangkum dalam
tiga poin, antara lain: rasional, bebas nilai, menekankan kausalitas, serta perumusan
1.34 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
a. Kekuatan
Positivisme merupakan revolusi dalam filsafat, yakni suatu gabungan dari
empirisme dan logika-logika formal yang baru. Jika empirisme merupakan aliran
yang mementingkan segala apa yang dilihat dan dirasakan oleh indera, sedangkan
rasionalisme merupakan aliran yang mementingkan kepada pikiran atau rasio.
Pemikiran Auguste Comte tentang equilibrium masyarakat, yakni suatu masyarakat
akan mencapai keseimbangan apabila terdapat kerja sama antarindividu, dan individu
tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Auguste Comte memberikan
sumbangan terhadap pemikiran mengenai definisi sistem dengan menganalogikan
sistem masyarakat sebagaimana sistem biologis manusia. Apabila ada anggota atau
bagian tubuh yang sakit maka bagian yang lain pun akan merasakannya. Demikian
juga dengan sistem masyarakat apabila terdapat masalah pada suatu bagian maka akan
berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan. Sistem adalah keseluruhan dari unsur
yang saling berinterelasi dan berinterdepedensi untuk mencapai tujuan.
PSOS4205/MODUL 1 1.35
b. Kelemahan
Positivisme Auguste Comte mengalami kejayaan mulai abad ke 19 yang mampu
meruntuhkan empirisme Descartes dan Rasionalisme. Akan tetapi, abad selanjutnya
terdapat pertentangan dalam positivism sendiri, walaupun serangan positivisme itu
merupakan serangan yang dahsyat, tetapi dapat ditolak oleh Blomshard dari Yale
University dalam bukunya The Nature of Thought, dan C.EM Joad dalam bukunya
A Critique of Logical Positivisme. Kelemahan positivisme terletak pada fakta, bahwa
ia tidak konsekuen dengan empirisme. Empirisme selalu bersikap rendah hati dan
pikiran terbuka, dan tak pernah menunjukkan sikap kemauan sendiri. C.E.M Joad dalam
bukunya Critique of Logical Positivism, berkata:
“Saya dapat membuat keterangan awangan dengan tidak memakai papan tulis
atau kertas dengan pensil, akan tetapi cuma pikiran saya. Saya dapat menambah,
menggali, membagi, serta mengurangi. Semua itu mengandung pengalaman yang
dapat saya pikirkan. Saya ingatkan, tetapi semua itu merupakan pengalaman yang
tak berdasarkan pancaindera (sense). Dan sebenarnya positivism mengemukakan
beberapa teori yang terdapat di luar batas pengetahuan (sains) (Rasjidi,
1990:118).
“positivisme mengingkari secara total metafisika dan metode silogistik, dan hanya
meyakini kebenaran ilmu empiris, eksperimental, lambat laun menyadari bahwa
bila segala yang ada hanya terbatas pada ilmu eksperimental (dan permasalahan
ilmu ini hanya bersifat particular, yakni khusus pada subjek-subjek yang spesifik)
dalam mengenal alam secara universal -yang filsafat atau metafisika klaim
sebagai penanggung jawabnya- kita tidak akan mampu untuk mengetahuinya
secara total (Muthahari, 2010:23).
Latihan
2. Tahap metafisik
Tahap ini manusia menganggap bahwa dalam setiap gejala
terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya
akan dapat diungkap.
3. Tahap positif
Tahap ini merupakan puncak perkembangan masyarakat. Tahap ini
ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan karena manusia
sepenuhnya mempercayai dan menggunakan kemampuan akalnya
untuk memahami alam. Ilmu pengetahuan ini dibangun melalui
penelitian dan data empiris yang berguna dalam menemukan
hukum-hukum universal dan manusia masih terikat cita-cita tanpa
verifikasi karena ada kepercayaan bahwa setiap cita-cita terikat
pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan
hukum alam yang seragam.
Rangkuman
Tes Formatif 2
2) Terlepas dari berbagai ide awal yang membentuk disiplin sosiologi, kelahiran
sosiologi terutama dilatarbelakangi oleh ….
A. perang dunia
B. revolusi industri
C. bencana alam
D. kelaparan
3) Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam
karya utamanya yang pertama dengan judul ….
A. The Polotics
B. A Cours of Positive Philosophy
C. The Law
D. Systeme de Politique Positive
5) Di sisi lain, lahirnya positivisme tak lepas dari peristiwa Renaissance, muncul dua
mazhab besar pemikiran Eropa yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu ….
A. Idealisme dan Fragmantisme
B. Positivisme dan Negativisme
C. Rasionalisme dan Empirisme
D. Kapitalisme dan Liberalisme
6) Kepercayaan akan Tuhan yang berkuasa penuh atas jagat raya, mengatur segala
gejala alam dan takdir makhluk adalah periode ….
A. Fetisisme
B. Politeisme
C. Monoteisme
D. Modernisme
7) Tahap ini manusia menganggap bahwa dalam setiap gejala terdapat kekuatan-
kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkap. Tahap
tersebut adalah ….
A. teologis
B. metafisik
C. positif
D. negatif
8) Positivisme sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dalam kitab Al-
Manazhir yang pernah digunakan oleh?
A. Ibnu al-Haytham
B. Karl Marx
C. Ibnu Khaldun
D. Max Webber
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan
dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi
materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
1.42 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Kegiatan
Belajar
Sosiologi Sesudah Auguste
Comte 3
S epeninggal Auguste Comte, Sosiologi kian berkembang pesat yang ditandai oleh
munculnya berbagai tokoh kajian mengenai masyarakat (sosiologi), seperti Karl
Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Ketiga tokoh inilah yang kemudian “didaulat”
sebagai peletak awal teori-teori sosiologi. Jelas dan tegasnya, ketiga tokoh tersebut
diakui sebagai para pemikir sosiologi dalam tataran “klasik”. Apakah Anda sudah
mengenal pemikiran dari ketiga tokoh tersebut? Mari kita pelajari satu persatu dari
ketiga tokoh sosiologi klasik tersebut.
Karl Marx lahir di Jerman pada tahun 1818, semasa muda ia melakukan studi
pada banyak disiplin ilmu, dari sejarah, hukum, ekonomi hingga filsafat. Karya-karya
yang dihasilkannya kemudian mencakup berbagai ranah disiplin ilmu. Hal tersebutlah
yang kemudian menyebabkan Marx tak dapat sekedar dicap sebagai seorang sosiolog,
ekonom atau sejarawan, melainkan lebih tepatnya sebagai seorang “filsuf”. Marx
merupakan seorang aktivis kenamaan kaum buruh, bahkan ia didaulat sebagai “nabi
kaum buruh”. Melalui buah karyanya yang berjudul Das Kapital dan Manifesto Komunis,
Marx memberikan landasan pergerakan bagi kaum buruh guna menentang kesewenang-
wenangan kaum borjuis (majikan/pemilik modal/pemilik pabrik). Dalam hal ini, Marx
memang meletakkan “ekonomi” sebagai perihal terpenting dalam kajiannya.
PSOS4205/MODUL 1 1.43
Sumber: http://www.babelio.com/users/AVT_Karl-Marx_4590.jpeg
Gambar 1.10
Karl Marx Peletak Dasar Teori Kelas
Salah satu sumbangan penting Marx dalam sosiologi adalah teori kelas. Menurut
Marx, masyarakat selalu terpecah (tersekat) dalam kelas-kelas yang bertautan erat
dengan status ekonomi, yakni kelas borjuis (ekonomi atas/majikan/pemilik modal)
dengan kelas proletar (ekonomi bawah/buruh/ tak bermodal). Dalam Das Kapital, Marx
menegaskan bahwa kelas borjuis selalu berusaha melanggengkan kekuasaan dengan
jalan apapun, bahkan dengan menggunakan legitimasi agama (gereja). Ajaran agama
yang mengatakan bahwa kehidupan miskin di dunia merupakan takdir yang tak dapat
diubah dan bakal menghasilkan surga di akhirat kelak. Hal demikian itu, menurut
Marx hanyalah siasat kaum borjuis agar kaum buruh tidak melakukan perlawanan
dan pemberontakan yang nantinya bakal mengancam kekuasaan. Oleh karenanya,
Marx mengatakan bahwa “agama adalah candu”. Artinya, agama ibarat opium yang
memberikan ketenangan serta kedamaian “palsu”.
Marx melihat masyarakat dalam kaca mata konflik, masyarakat bukanlah suatu
kumpulan individu yang harmonis, melainkan penuh dengan pergolakan dan intrik guna
memperebutkan kekuasaan di dalamnya. Lebih jauh, dalam Das Kapital ia menegaskan
bahwa sejarah umat manusia merupakan sejarah pertumpahan darah: konflik, kudeta,
perang, dan lain sejenisnya. Terkait ranah disiplin sosiologi, pemikiran Marx mengenai
kelas sosial di atas, pada gilirannya terangkum dalam sebentuk kajian mengenai
stratifikasi sosial yang melatarbelakangi munculnya teori konflik dalam sosiologi.
Marx dikenal sebagai salah seorang pemikir besar Eropa, ia memiliki metode
belajar yang unik semasa hidupnya. Kerap kali ia menjadi “orang tak berguna”
selama dua hari; mabuk-mabukan, malas-malasan, dan melakukan berbagai kegiatan
tak berguna lainnya, namun untuk lima hari ke depan ia dapat belajar seperti orang
“kesetanan”; terus membaca buku, menulis, bangun pukul delapan pagi dan baru tidur
pukul dua pagi.
1.44 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Marx mengakui bahwa manusia lahir dalam era zaman yang berbeda-beda. Hal
tersebut merupakan cara dan hubungan pengeluaran melalui tahap perkembangan kuasa-
kuasa produk material yang berbeda-beda. Setiap cara pengeluaran digambarkan dengan
penguasaan kuasa produktif yang khusus dan satu bentuk hubungan sosial yang awalnya
berfungsi untuk membangunkan kuasa tersebut. Aspek utama dalam hubungan tersebut
adalah hubungan harta yang akan mewujudkan kelas-kelas sosial. Hal itu muncul dua
kelas utama berasaskan jenis-jenis harta yang mempengaruhi pengeluaran keperluan
hidup. Satu kelas akan menguasai harta tersebut, manakala kelas tersebut digunakan
untuk menghasilkan kekayaan daripada harta tersebut (McClelland, 1971:93).
Pandangan sejarah Marx yang dianggap penting oleh pendukung aliran Marxisme
adalah teori perjuangan kelas (Struggle of Classess). Dalam permulaan karya The
Communist Manifesto (1972:241), Marx telah mengungkap bahwa:
The history of all hitherto existing societies is the history of class struggles.
Freeman and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild-master and
journeyman, in a word, oppressorand oppressed, stood in constant opposition to
one another, carried on an interrupted, now hidden, now open fight, a fight that
each time ended in a revolutionary reconstruction of society at large, or in the
common ruin of the contending classes.
hasil kerjanya. Karena keterasingan manusia dari hasil kerjanya terjadi dalam jumlah
besar (kerja massa) dan global, pemecahannya harus juga bersifat kolektif dan global.
Berbeda dengan model-model sosialisme lama, Marxisme menyatakan dirinya
sebagai “sosialisme ilmiah”. Untuk mendukung klaim tersebut, Marx mendasarkan
pada penelitian syarat-syarat objektif perkembangan masyarakat. Marx menolak
anggapan dasar sosialisme pada pertimbangan-pertimbangan moral. Materialisme
sejarah merupakan dasar bagi sosialisme ilmiah tersebut. Marx yakin bahwa ia telah
menemukan hukum objektif perkembangan sejarah. Objek pencarian materialisme
historis adalah hukum-hukum gerakan dan perkembangan masyarakat insani yang
paling universal. Marx menciptakan suatu pemahaman sejarah menjadi seperti sains
yang pasti dan eksak. Karena hal itulah Marx menyatakan bahwa sosialismenya bersifat
ilmiah karena berdasarkan pada pengetahuan hukum-hukum objektif perkembangan
masyarakat (Suseno, 2001:136-137).
Marxisme pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu penafsiran terhadap
perubahan proses-proses dalam masyarakat, akan tetapi merupakan sebuah teori yang
menyatakan bahwa hukum objektif perkembangan masyarakat dapat ditetapkan sama
seperti halnya penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga bisa
bersifat pasti dan universal. Dengan mengajukan sosialisme ilmiah sebagai penerapan
hukum dasar alam pada masyarakat, teori Marx seakan-akan dibenarkan oleh ilmu-ilmu
alam, karena memiliki objektivitas seperti ilmu-ilmu alam (Suseno, 2001:136-137).
Filsafat Karl Marx merupakan salah satu filsafat yang paling berpengaruh di
dalam perkembangan sejarah. Kemampuan gagasan Marx untuk berdialektika dengan
zaman, menjadikannya pemikir yang tidak pernah sepi dari kritikan dan pujian atasnya.
Namun, apapun tanggapan dunia terhadapnya, kehadirannya telah menggerakkan
kesadaran kelompok buruh, budak, dan aktivis sosialis untuk mengorganisir diri dan
berjuang mewujudkan perubahan.
Pendapat Karl Marx tentang tujuan akhir berupa masyarakat tanpa kelas,
sebenarnya merupakan suatu yang paradoks dengan konsep dialektis itu sendiri.
Mengapa demikian? Dialektisisme merupakan sebuah proses yang terus-menerus
sehingga tidak akan tercipta kemandegan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
mungkin masyarakat tanpa kelas akan terwujud? Bukankah dalam proses bermasyarakat
tetap harus ada pembagian kerja? Teori masyarakat tanpa kelas Marx memang semacam
utopisme yang penuh paradoks dalam teori-teorinya. Pandangan Marx tentang sejarah
yang saintifik telah mereduksi kemanusiaan. Manusia hanya menjadi korban dari
barang-barang produksi dan tidak lagi memiliki independensi.
B. MAX WEBER
Max Weber lahir di Jerman pada tahun 1864, ia tumbuh besar di keluarga serba
berkecukupan, di mana ayahnya menempati posisi prestisius dalam pemerintahan
Jerman kala itu. Layaknya Marx, semasa muda Weber menggeluti berbagai disiplin
ilmu, ia mempelajari hukum, ekonomi, sejarah, agama, sosiologi hingga filsafat. Karya-
1.46 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Sumber: http://www.motorera.com/theology/wpic/weber.jpg
Gambar 1.11
Max Webber Dianugerahi Gelar sebagai “Genius Universal”, karena Karya-Karyanya
yang Merambah berbagai Disiplin Ilmu
Pada usia 18 tahun, Weber meninggalkan rumah untuk sementara waktu dan
melanjutkan studinya di Universitas Heidelberg. Di sana secara sosial ia berkembang
layaknya karier sang ayah dalam organisasi. Dengan cara seperti ini, ia telah mengikuti
jejak ayahnya dalam bidang hukum. Setelah 3 tahun belajar, Weber meninggalkan
universitas tersebut, dan pada tahun 1884 ia kembali ke rumah orang tuanya untuk
melanjutkan studi di Universitas Berlin.
Weber mendapatkan gelar doktor dari Universitas Berlin, menjadi ahli hukum dan
salah satu dosen di universitas tersebut. Selain itu, ia juga mendalami bidang ekonomi,
sejarah, dan sosiologi. Pada tahun 1896, ketekunannya dalam bekerja menghantarkan
dirinya pada posisi profesor ekonomi Universitas Heidelberg. Mengikuti jejak ibunya,
Weber menjadi seorang yang asketis dan rajin (baca: pekerja keras).
Mengenal Max Weber bagi mereka yang menyelami ranah keilmuan sosial-
humaniora merupakan suatu keharusan. Sebagaimana kita ketahui, fungsionalisme
Weber telah memberikan pandangan yang begitu berbeda terhadap nomena dan
fenomena sosial. Kehidupan sosial masyarakat modern sebagaimana dipaparkan Weber
memiliki karakteristik “struktur” di dalamnya. Baginya, dunia sebagaimana adanya kita
saksikan melalui karakteristik struktur sosial: perubahan terjadi karena dinamika dari
sistem dan teori-teori mengenai sistem ini menjelaskan bagaimana sistem ini bekerja,
dan bagaimana perubahan itu terjadi (Jones, 2009:113). Bagi penganut fungsionalisme,
keadaan mental manusia sangatlah menentukan lingkungan di sekitarnya. Dengan
kata lain, dunia sebagaimana yang kita saksikan sekarang adalah perwujudan dari
social action ‘tindakan sosial’. Semua hal yang dilakukan oleh manusia didasari pada
keinginan yang dikehendakinya.
PSOS4205/MODUL 1 1.47
Dengan mengetahui latar belakang Weber dalam mengkaji masyarakat, kini kita
akan memahami definisi sosiologi yang dikemukakannya:
Dapat disimpulkan bahwa, dalam definisi ini Weber (Ritzer dan Douglas,
2010:136), menganggap bahwa sosiologi haruslah berupa sebuah ilmu, dan sosiologi
harus memusatkan perhatian pada kausalitas (hubungan sebab akibat), serta sosiologi
harus menggunakan pemahaman interpretatif (vertehen).
Weber menjelaskan bahwa kenyataan sosial lahir dengan tak terlepas dari
pemahamannya mengenai motivasi individu dan tindakan sosial. Metode yang
dinamakannya vertehen berupaya mendapatkan pemahaman yang valid mengenai arti
subjektif tindakan sosial. Dalam metode ini, yang dibutuhkan adalah “empati” atau
kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang yang melakukan
tindakan (aktor/subjek) (Suyanto, 2004:40-41). Bagi Weber, dunia sebagaimana
kita saksikan terwujud karena tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu karena
mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu tersebut, guna mencapai apa yang
dikehendakinya, barulah kemudian mereka memilih tindakan (Jones, 2009:114).Secara
tak sadar, masyarakat adalah “hasil akhir” dari interaksi manusia. Interaksi tersebut
berasal dari tataran interaksi individu (micro).
Fokus kajian Weber, yakni social action, muncul dari stimulus atau respons
atas suatu perilaku manusia yang menjalankan fungsinya sebagai anggota dalam
masyarakat. Secara tak langsung, tindakan ini lebih bersifat subjektif pada tindakan
yang dilakukan aktor dalam lingkungan masyarakat. Mereka reaktif dan dikondisikan,
bukan produk pengambilan keputusan kreatif yang sukarela (voluntary) (Ritzer dan
Douglas, 2010:136). Bagi Weber, tugas analisis sosiologi terdiri atas “penafsiran
tindakan menurut makna subjektifnya”. Beberapa contoh yang tampak terlihat jelas
dalam masyarakat adalah tindakan ekonomis. Weber menyebutnya sebagai:
adalah hal yang harus dilakukan, jika dengan sengaja meninggalkannya, maka akan
memperoleh dosa.
Dari keempat bentuk tindakan di atas, pada dasarnya Weber mengetahui bahwa
faktual tindakan terdiri atas percampuran atau kombinasi antara tindakan yang dilakukan
oleh actor. Berpijak melalui hal ini, Weber telah mewariskan pemahamannya mengenai
tindakan sosial. Ada penekanan khusus yang ia lakukan dalam menanggapi fenomena
sosial, yakni lebih mengutamakan rational dari pada suatu tindakan yang dilakukan atas
dasar tradisi atau perasaan belaka.
Sumbangan Weber dalam disiplin sosiologi cukup besar, ia melakukan kajian
terhadap organisasi, birokrasi, kelas sosial, pola pikir manusia modern berupa
rasionalitas hingga kajian mengenai agama-agama dunia berikut pengaruhnya bagi
para pemeluknya. Terdapat satu hal menarik dari Weber, meskipun ia dikenal sebagai
seorang sosiolog, namun ia tak mengakui keberadaan masyarakat, “There is no thing
such social”, tegasnya. Menurutnya, masyarakat tidaklah ada, yang ada hanyalah
“kumpulan individu dengan kepentingannya masing-masing”. Dengan demikian, tegas
Weber, objek studi sosiologi bukanlah masyarakat, melainkan lebih kepada individu
yang kemudian membentuk masyarakat. “Setiap individu memiliki karakter dan sifat
yang begitu khas serta unik satu sama lain, dengan demikian terlalu mustahil dileburkan
ke dalam satu kesatuan yang dinamakan masyarakat”.
Emile Durkheim dilahirkan di kota Epinal (Prancis Timur Laut) tanggal 15 April
1858. Durkheim berasal dari latar belakang keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang
Rabbi Yahudi. Sejak awal dia telah dipersiapkan ayahnya untuk meneruskan tradisi
keluarga mereka. Namun, Durkheim yang sangat dipengaruhi oleh gurunya seorang
penganut Katolik malah mengalihkan perhatiannya ke agama Katolik. Pengaruh inilah
yang menambah ketertarikannya terhadap masalah-masalah agama, meskipun gurunya
tidak dapat menjadikannya seorang yang beragama sebab sejak muda Durkheim telah
menyatakan dirinya sebagai seorang agnostis (Pals, 2003:131).
Kemudian Durkheim menempuh pendidikan di sekolah menengah dan pada usia
21 tahun ia diterima di Ecole Normale Superiure. Di sekolah ini ia diterima setelah tiga
kali mengikuti ujian masuk. Pengalamannya selama belajar di sekolah tersebut tidak
selalu menyenangkan karena pada dasarnya ia tidak suka program pendidikan yang
kaku. Durkheim merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di Ecole Normale yang
terlalu fokus pada kesusastraan klasik. Harapannya ialah pengajaran tentang doktrin-
doktrin moral dan ajaran-ajaran yang bersifat ilmiah. Hal ini menurutnya lebih relevan
untuk Prancis pada masa itu (Samuel, 2010:11).
1.50 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Sumber: http://d2hej51cni6o0x.cloudfront.net/images/magill/0111207226-Durkheim.jpg
Gambar 1.12
Emile Durkheim Membangun Ilmu Sosiologi, sebagai Upaya Memisahkannya dengan
Ilmu Filsafat, Psikologi, dan Sejarah
metode yang dapat dipilih oleh seorang peneliti sosiologi untuk itu, yaitu dengan
penelitian tunggal pada satu masyarakat atau dengan melakukan perbandingan.
Intinya adalah mencari penjelasan kausalitas, yaitu mencari fenomena yang berkaitan
sebagai penyebab suatu fenomena. Dalam buku ini Durkheim mempertegas bahwa
pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan
pada individualisme. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang
dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial
atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.
Berseberangan dengan Karl Marx, Durkheim melihat masyarakat dalam kaca
mata penuh harmonis, ia mengandaikan masyarakat sebagai sebuah organ yang saling
membutuhkan satu sama lain. Ketika satu organ sehat, maka keseluruhannya pun sehat.
Sebaliknya, ketika salah satu organ saja terganggu, maka keseluruhan organ pun bakal
terganggu dan tak berjalan semestinya. Di satu sisi, pemikirannya pun bertentangan
dengan Weber, jika Weber menganggap individu sebagai objek kajian sosiologi, maka
Durkheim menganggap masyarakatlah objek kajian sosiologi yang sesungguhnya.
Pemikiran Durkheim tersebut kerap diistilahkan dengan realisme sosial (masyarakat
sebagai suatu hal yang nyata/fakta).
Menurut Emile Durkheim, perkembangan masyarakat meliputi banyak perubahan-
perubahan yang terjadi pada berbagai komponen masyarakat. Suatu perubahan yang
sangat penting menyangkut suatu proses urutan dari pertambahan kepadatan penduduk
yang disebabkan oleh meningkatnya interaksi dan komunikasi, yang mengakibatkan
semakin meningkatnya spesialisasi dalam pembagian kerja. Durkheim mempergunakan
variasi pembagian kerja sebagai dasar untuk membuat klasifikasi masyarakat, sesuai
dengan taraf perkembangannya. Dia lebih cenderung menggunakan dua taraf klasifikasi,
yaitu yang sederhana dan kompleks. Tipe-tipe pembagian kerja tersebut dihubungkan
dengan tipe-tipe solidaritas. (Soekanto, 1982:190). Coba Anda diskusikan bersama
teman belajar bagaimana hubungan antara tipe-tipe pembagian kerja dengan tipe
solidaritas.
Apabila dalam pembagian kerja terdapat sedikit diferensiasi, maka solidaritas
didasarkan pada homogenitas. Artinya, masyarakat sebenarnya sejenis atau sama.
Dengan perkataan lain, masyarakat mempunyai cita-cita dan nilai-nilai yang sama.
Kepribadian dari masing-masing merupakan pencerminan mikroskopis dari masyarakat.
Oleh karena itu, maka secara relatif tidak terdapat kualitas-kualitas pribadi yang dapat
memisahkan pribadi dari kolektiva. Durkheim menyebut solidaritas tersebut dengan
solidaritas mekanis. Intinya solidaritas mekanis didasarkan pada homogenitas moral
dan sosial, sehingga berciri tradisional, nonindividualistik (komunal), keadilan kolektif,
properti bersifat komunal, kehendak komunitas mendominasi kehendak individu,
kekerabatan, lokalisme, dan sakral.
Sumbangan besar Durkheim dalam sosiologi adalah kajiannya mengenai
perbedaan mendasar antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern ditinjau
melalui perspektif (sudut pandang) solidaritas di dalamnya. Menurutnya, terdapat dua
bentuk solidaritas masyarakat, yaitu:
1.52 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
1. Solidaritas mekanik
Solidaritas atau persatuan masyarakat yang disebabkan oleh kesamaan hal di
dalamnya. Bentuk solidaritas ini dapat ditemui dalam masyarakat primitif atau
tradisional (pedesaan).
Contoh: masyarakat pedesaan yang disatukan oleh mata pencaharian yang sama,
yakni bertani bersama-sama menanam dan memanen padi.
2. Solidaritas organik
Solidaritas atau persatuan masyarakat yang disebabkan oleh berbagai hal berbeda
di dalamnya. Solidaritas organik ditemui pada tatanan masyarakat modern
(perkotaan).
Contoh: seorang dokter membutuhkan keahlian seorang montir untuk
memperbaiki kendaraannya dan begitu pula sebaliknya, seorang montir
membutuhkan dokter ketika tengah sakit.
Latihan
1) Salah satu sumbangan penting Marx dalam sosiologi adalah teori kelas. Coba
jelaskan apa yang di maksud dengan teori kelas!
2) Sumbangan Weber dalam disiplin sosiologi cukup besar, terhadap apa kajian
yang telah dilakukan oleh Marx Webber? Coba jelaskan!
3) Durkheim berupaya membangun ilmu sosiologi, sebagai upaya memisahkannya
dengan ilmu filsafat, psikologi, dan sejarah. Untuk itu, metodologi yang khas
sosiologi, yang tidak meniru metodologi ilmu lain, menjadi langkah pertama atau
sebagai basis dari upaya ini. Berfokus pada apakah penelitian sosiologi? jelaskan
secara rinci dan jelas!
4) Sumbangan besar Durkheim dalam sosiologi adalah kajiannya mengenai
perbedaan mendasar antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern
ditinjau melalui perspektif (sudut pandang) solidaritas di dalamnya. Menurutnya,
terdapat dua bentuk solidaritas masyarakat, sebutkan dua bentuk solidaritas
masyarakat menurut Durkheim dan jelaskan!
5) Mengapa sosiologi menjadi ilmu yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
masyarakat di Eropa pada 1800-an sampai 1900-an? Dan apa yang membuat
sosiologi terus berkembang hingga saat ini?
Rangkuman
Setelah era Auguste Comte, Sosiologi sebagai salah satu disiplin ilmu sosial
semakin berkembang yang ditandai oleh munculnya berbagai tokoh yang melanjutkan
pemikiran-pemikiran Comte mengenai masyarakat (sosiologi), seperti Karl Marx, Max
Weber, dan Emile Durkheim. Beberapa tokoh tersebutlah yang kemudian menjadi
peletak awal teori-teori sosiologi. Jelas dan tegasnya, ketiga tokoh tersebut diakui
sebagai para pemikir sosiologi dalam tataran “klasik”.
Karl Marx lahir di Jerman pada tahun 1818, salah satu sumbangan penting Marx
dalam sosiologi adalah teori kelas. Marx melihat masyarakat dalam kaca mata konflik,
masyarakat bukanlah suatu kumpulan individu yang harmonis, melainkan penuh dengan
pergolakan dan intrik guna memperebutkan kekuasaan di dalamnya. Pandangan Marx
yang dianggap penting oleh pendukung aliran Marxisme adalah teori perjuangan kelas
(Struggle of Classess). Dalam permulaan karya The Communist Manifesto (1972:241),
menurut Marx, kelas-kelas tersebut merupakan kumpulan asas sosial yang menggeret
konflik masyarakat di dalamnya dan memberi kesan kepada perubahan substruktur
ekonomi. Berbeda dengan model-model sosialisme lama, Marxisme menyatakan
dirinya sebagai “sosialisme ilmiah”.
Kemudian Max Weber lahir di Jerman pada tahun 1864, ia tumbuh besar di
keluarga serba berkecukupan di mana ayahnya menempati posisi prestisius dalam
pemerintahan Jerman kala itu. Terkait pemahaman Weber akan tindakan sosial, ia lebih
cenderung menjadikan individu sebagai fokus kajiannya. Webber menganggap bahwa
sosiologi haruslah berupa sebuah ilmu dan sosiologi harus memusatkan perhatian pada
1.56 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat
Tes Formatif 3
2) Selain sebagai seorang sosiolog, ekonom atau sejarawan, atau seorang “filsuf”.
Siapakah seorang aktivis kenamaan kaum buruh, yang bahkan didaulat sebagai
“nabi kaum buruh”?
A. Karl Marx
B. Max Webber
C. Emile Durkheim
D. Aristoteles
7) Masyarakat sebagai sebuah organ yang saling membutuhkan satu sama lain.
Ketika satu organ sehat, maka keseluruhannya pun sehat. Sebaliknya, ketika
salah satu organ saja terganggu, maka keseluruhan organ pun bakal terganggu
dan tak berjalan semestinya. Pernyataan siapakah di atas?
A. Karl Marx
B. Max Webber
C. Emile Durkheim
D. Hebbert Spencer
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan
dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi
materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.
PSOS4205/MODUL 1 1.59
Glosarium
Argumentasi : alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat,
pendirian, atau gagasan;
Identik : 1) sama benar; tidak berbeda sedikit pun; 2) sama dan sebangun
Induksi: 1. metode pemikiran yang bertolak dari kaidah
(hal-hal atau peristiwa) khusus untuk menentukan hukum
(kaidah) yang umum; penarikan kesimpulan berdasarkan
keadaan yang khusus untuk diperlakukan secara umum;
penentuan kaidah umum berdasarkan kaidah khusus; 2. proses
pembangkitan tenaga listrik (elektrik) di dalam sirkulasi
tertutup oleh arus (gerak) magnetik melalui gerak putar;
Normatif : berpegang teguh pada norma; menurut norma atau kaidah yang
berlaku;
Solidaritas : sifat (perasaan) solider; sifat satu rasa (senasib dsb); perasaan
setia kawan;
Daftar Pustaka
Agger, Ben. (2006). Teori Sosial Kritis. Kreasi Wacana.
Ali Maksum, et.al. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan
Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Burns, E.M. (1958). Western Civilizations Their History and Their Culture. Edisi ke-5
Chapter: 23, New York.
George R., & Douglas J. Goodman. (2010). Teori Sosiologi. Kreasi Wacana, Bantul.
Ichwan Supandi Azis. (2003). Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu
Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi. Yogyakarta: Jurnal
Filsafat, Jilid 35, Nomor 3.
Kumar, K. (2000). Masyarakat Sipil atau Madani dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica,
(ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Diterjemahkan Oleh Haris
Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
McClelland, D. (1971). The Thought of Karl Marx: An Introduction. Ed. ke-2. London:
The Macmillan Press Ltd.
Muthahari, Murtadha. (2010). Pengantar Filsafat Islam, Filsafat Teoritis, dan Filsafat
Praktis.Yogyakarta: RausyanFikr Institute.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. (2006). Teori Sosiologi Modern. Kencana.
Samuel, H., & Emile Durkheim. (2010). Riwayat Pemikiran, dan Warisan Bapak
Sosiologi Modern. Jakarta: Kepik Ungu.
Soerjono S. (1982). Teori Sosiologi tentang Pribadi Dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Suharto, T. (2003). Epistemologi sejarah kritis Ibnu Khaldun. Fajar Pustaka Baru,
Yogyakarta.
Suseno, F.M. (2010). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta: Gramedia.
Syadali, A., & Mudzakir. (2004). Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Syadali, Ahmad., & Mudzakkir. (1999). Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.