Anda di halaman 1dari 66

PSOS4205

Modul Edisi 2

01
Pendapat dan Pemikiran
tentang Konsep Masyarakat

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si.


Daftar Isi Modul

Modul 01 1.1
Pendapat dan Pemikiran tentang
Konsep Masyarakat

Kegiatan Belajar 1 1.5


Pendapat dan Pemikiran tentang
Masyarakat sebelum Auguste Comte

Latihan 1.16
Rangkuman 1.18
Tes Formatif 1 1.19

Kegiatan Belajar 2 1.22


Lahirnya Sosiologi

Latihan 1.36
Rangkuman 1.38
Tes Formatif 2 1.39

Kegiatan Belajar 3 1.42


Sosiologi Sesudah Auguste Comte

Latihan 1.53
Rangkuman 1.55
Tes Formatif 3 1.56

Kunci Jawaban Tes Formatif 1.59


Glosarium 1.60
Daftar Pustaka 1.65
PSOS4205/MODUL 1 1.3

Pendahuluan

M asyarakat merupakan objek kajian terpenting dari sosiologi sejak zaman dahulu
hingga dewasa ini. Sejumlah ahli sosiologi memandang masyarakat sebagai
suatu pesona yang tiada henti untuk mengkaji dan memikirkannya seiring dengan
dinamikanya, sejak masa sebelum Auguste Comte (yang dipandang sebagai Bapak
Sosiologi) hingga masa modern dan bahkan pasca modern. Pendapat dan pemikiran
ihwal masyarakat tersebut akan diuraikan secara detail dalam modul ini.
Modul ini menguraikan tiga materi pokok, yakni pendapat dan pemikiran tentang
masyarakat sebelum Auguste Comte, sosiologi periode Auguste Comte, dan sosiologi
sesudah Auguste Comte. Materi tentang pendapat dan pemikiran tentang masyarakat
sebelum Comte mencakup uraian mengenai siapa saja tokoh-tokoh yang berpengaruh
dalam menggagas sosiologi sebagai disiplin ilmu, bagaimana pada awalnya para tokoh
filsafat menyusun konsep keadaan sosial masyarakat pada setiap zamannya. Hal-hal
tersebut adalah yang menjadi titik awal berkembangnya sudut pandangan terhadap
masyarakat. Sosiologi periode Auguste Comte mencakup uraian mengenai awal mula
perkembangan sosiologi di Eropa sebagai awal penyesuaian kehidupan masyarakat di
masa-masa sulit ketika revolusi industri hingga Auguste Comte didaulat menjadi bapak
sosiologi karena dianggap menjadi orang yang pertama kali mencetuskan sosiologi.
Walaupun hal tersebut tidak terlepas dari tokoh-tokoh masa lalu yang menjadi peletak
utama dalam membangun sosiologi. Materi selanjutnya mengenai Sosiologi sesudah
Auguste Comte yang membuat semakin kokohnya sosiologi menjadi salah satu disiplin
ilmu. Di samping itu, akan diuraikan pula tentang beberapa tokoh penerus Comte dalam
mengembangkan sosiologi dan memperkenalkannya kepada dunia.
Tujuan Instruksional Umum (TIU) adalah agar setelah mempelajari modul
ini Anda mampu menganalisis perkembangan sosiologi sebelum, pada masa, dan
sesudah masa Comte. Adapun Tujuan Instruksional Khusus (TIK) adalah agar setelah
mempelajari modul ini Anda mampu:
1. menjelaskan beberapa pendapat para ahli filsafat tentang masyarakat sebelum
masa Auguste Comte;
2. menjelaskan beberapa pendapat ahli tentang masyarakat pada masa periode
Auguste Comte;
3. menyebutkan pendapat Auguste Comte tentang ilmu kemasyarakatan atau
sosiologi;
4. menjelaskan kaitan ilmu pengetahuan lain dengan sosiologi;
5. menjelaskan pendapat para ahli ilmu pengetahuan tentang masyarakat sesudah
Auguste Comte;
6. menyebutkan beberapa pendapat ahli sosiologi modern;
7. menjelaskan alasan mengapa Auguste Comte dianggap sebagai Bapak Sosiologi.
1.4 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Modul 1 yang akan Anda pelajari merupakan dasar-dasar untuk memahami


perkembangan sosiologi. Oleh karena itu, Modul 1 akan berisi uraian mengenai tokoh-
tokoh filsuf yang menjadi peletak dasar dalam perkembangan sosiologi hingga saat ini.
Atas dasar kenyataan demikian, modul ini akan sangat bermanfaat bagi Anda untuk
bekal nanti pada saat bekerja, di samping itu akan menjadi pengetahuan awal (entry
behavior) dalam mempelajari modul-modul selanjutnya dalam lingkup perkuliahan
Sosiologi Indonesia.
Agar Anda berhasil mempelajari modul ini, ikutilah petunjuk berikut:
1. Setelah Anda membaca tinjauan mata kuliah dan bagian pendahuluan dari modul
ini lanjutkan dengan membaca Kegiatan Belajar 1 dengan cermat.
2. Buatlah catatan kecil dari apa yang Anda baca tersebut pada buku catatan kuliah.
Misalnya, mencatat konsep-konsep penting atau contoh-contoh dari materi yang
dibahas.
3. Selanjutnya, untuk memantapkan pemahaman Anda, bacalah bagian rangkuman
dengan cermat.
4. Untuk mengukur penguasaan materi, jawablah soal-soal tes formatif yang
disediakan.
5. Selanjutnya, periksalah jawaban Anda tersebut dengan menggunakan kunci
jawaban yang tersedia.
PSOS4205/MODUL 1 1.5

Kegiatan
Pendapat dan Pemikiran Belajar
tentang Masyarakat sebelum
Auguste Comte 1
M anusia adalah makhluk yang memiliki keinginan untuk selalu hidup bersama
dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Setujukah Anda terhadap
pernyataan tersebut? Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, dan keinginannya
manusia memberikan reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola
interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu
masyarakat. Manusia mempunyai kehidupannya sendiri-sendiri, tetapi manusia tidak
dapat terlepas dengan manusia lainnya, karena manusia diciptakan untuk saling
membutuhkan satu sama lainnya. Di dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam
manusia dengan pribadi yang berbeda-beda yang tinggal dalam lingkungan yang sama.
Contoh:
1. Keragaman itu diakibatkan oleh perbedaan ras, etnik, dan budaya daerah.
2. Di samping itu, keragaman bisa disebabkan oleh perbedaan faktor status sosial
ekonomi (tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan penghasilan).
3. Bahkan keragaman juga dapat disebabkan oleh faktor kepribadian, karena semua
manusia memiliki kepribadian yang unik, berbeda satu sama lain.

Perhatikanlah lingkungan masyarakat tempat tinggal Anda. Adakah keragaman


berdasarkan faktor-faktor sebagaimana disebutkan tadi?
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa muncul ilmu yang dinamakan sosiologi?
Pemikiran sosiologis berkembang di masyarakat dengan menghadapi ancaman terhadap
hal-hal yang selama ini dianggap sebagai hal-hal yang memang sudah seharusnya
terjadi, benar, nyata, dan menghadapi segala kemungkinan di dalam kehidupan. Saat
hal-hal yang selama ini menjadi pegangan manusia mengalami krisis, maka mulailah
orang melakukan renungan dan berpikir secara realistis. Sosiologi dicetuskan pertama
kali oleh ilmuwan Prancis, Auguste Comte yang akhirnya dikenal sebagai Bapak
Sosiologi. Namun, sejarah mencatat bahwa Emile Durkheim seorang ilmuwan sosial
Prancis yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin ilmu
akademis. Eropa menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan menyadari
perlunya mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian
berupaya membangun teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap
tahap peradaban manusia.
1.6 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang hidup dalam kelompok, untuk
mengatasi keterbatasan kemampuan organisasinya itu, manusia mengembangkan sistem-
sistem dalam hidupnya melalui kemampuan akalnya seperti sistem mata pencaharian,
sistem perlengkapan hidup, dan lain-lain. Dalam kehidupannya, manusia mulai dari
lahir ke dunia hingga tutup usia telah mengenal dan berhubungan dengan manusia
lainnya. Andai manusia itu hidup sendiri, misalnya dalam sebuah kawasan tertutup
tanpa berhubungan dengan manusia lainnya, maka jelas jiwanya akan terganggu.
Menurut istilah, masyarakat berasal dari kata musyarakat yang berasal dari
bahasa Arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi. Dalam bahasa Inggris
disebut “society” yang berarti sekelompok manusia (minimal dua orang) yang hidup
bersama, saling berhubungan dan mempengaruhi, saling terikat satu sama lain, sehingga
menghasilkan kebudayaan yang sama.
Kemudian society berasal dari kata latin, societas yang mempunyai makna
hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas berinduk pada kata socius yang
memiliki arti teman, sehingga makna society berkaitan erat dengan kata sosial. Secara
tersirat, kata society memiliki kandungan arti bahwa setiap anggotanya mempunyai
perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
Masyarakat sebagai suatu bentuk sistem sosial, dalam hubungannya dengan
lingkungan sekitar akan selalu berusaha mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
seoptimal mungkin. Sebagai suatu sistem, masyarakat menunjukkan bahwa semua
orang secara bersama-sama, bersatu untuk saling melindungi kepentingan mereka dan
berfungsi sebagai satu kesatuan yang secara terus-menerus berinteraksi dengan sistem
yang lebih besar. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan
budaya, wilayah, dan identitas. Berikut ini adalah pengertian dan definisi tentang
masyarakat menurut beberapa ahli (Syadali dan Mudzakir, 2004:66-67).

A. SOCRATES (470-399 SM)

Socrates lahir tahun 470 SM dan meninggal tahun 399 SM. Ia anak dari seorang
pembuat patung yang kemudian keahlian itu juga diwarisinya. Ajaran Socrates
yang penting, yaitu mengenai ditekankannya logika sebagai dasar bagi semua ilmu
pengetahuan termasuk filsafat.
Bagi Socrates, kecerdasan merupakan dasar dari semua tabiat yang baik.
Dengan kecerdasan dan pengetahuan menjadikan orang bijaksana. Kebijakan adalah
sesuatu yang dapat dicapai dengan kecerdasan manusia. Socrates menganjurkan agar
kita “membangun masyarakat” tersebut berlandaskan atau didasarkan pada ilmu
pengetahuan ilmiah. Ungkapan Socrates yang sangat terkenal adalah “kenalilah dirimu
sendiri”. Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang
setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya.
PSOS4205/MODUL 1 1.7

Sumber: http://thepopularfront.files.wordpress.com/2013/12/david_-_the_death_of_
socrates.jpg

Gambar 1.1
Socrates Peletak Dasar Logika sebagai Dasar dari Semua Ilmu

Dari metode dialektikanya, ia menemukan dua penemuan metode yang lain,


yakni induksi dan definisi. Ia menggunakan istilah induksi manakala pemikiran bertolak
belakang dari pengetahuan yang khusus, lalu menyimpulkannya dengan pengertian
yang umum. Pengertian umum diperoleh dari mengambil sifat-sifat yang sama (umum)
dari masing-masing kasus khusus dan ciri-ciri khusus yang tidak disetujui bersama,
disisihkan. Ciri umum tersebut dinamakan ciri esensi, sedangkan semua ciri khusus
itu dinamakan ciri eksistensi. Suatu definisi dibuat dengan menyebutkan semua ciri
esensi suatu objek dengan menyisihkan ciri eksistensinya. Demikianlah jalan untuk
memperoleh definisi tentang suatu persoalan.
Paham etika Socrates merupakan kelanjutan dari metode yang ia temukan
(induksi dan definisi). Sayangnya, Socrates tidak pernah menulis pemikiran falsafahnya
sendiri. Untuk mengetahuinya, kita dapat memperolehnya dari tulisan murid-muridnya.
Socrates pada akhirnya wafat pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun
sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280
mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya.

B. PLATO (429-347 SM)

Plato adalah murid Socrates, yang lahir tahun 429 SM dan meninggal tahun 347
SM. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Setelah Socrates meninggal, Plato mengembara
ke berbagai negeri seperti Mesir, Asia Kecil, Sisilia, dan Italia. Pada tahun 387 SM ia
kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang diberi nama Academia. Karena banyak
menarik pemuda-pemuda Yunani, Academia itu dapat disebut sebagai Universitas
pertama di Eropa. Karya Plato yang terkenal berjudul The Republic (Negara) dan The
Law (Hukum). Dalam tulisannya The Republic, Plato menyuguhkan kepada kita karya
yang pertama dan terbesar yang bersifat sosiologis.
1.8 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Sumber: http://www.rubicon.dk/wp-content/uploads/plato1.jpg

Gambar 1.2
Plato Pendiri Academia yang Merupakan Cikal Bakal Universitas

Ajaran Plato tentang masyarakat menerangkan bahwa pada dasarnya masyarakat


itu merupakan bentuk perluasan dari individu. Dengan kata lain, individu itu paralel
dengan masyarakat (pemikiran demikian dikenal sebagai pemikiran dari mazhab atau
aliran “organis” atau “biologis”) dan Plato bertindak sebagai pelopornya. Menurut Plato,
individu memiliki tiga sifat atau elemen, yaitu nafsu atau perasaan-perasaan, semangat
atau kehendak, dan kecerdasan atau akal.
Berdasarkan ketiga elemen tersebut, Plato membedakan adanya tiga lapisan atau
kelas sosial masyarakat sebagai berikut.
1. Bagi yang mengabdikan hidupnya untuk memenuhi nafsu dan perasaannya,
seperti halnya memelihara tubuh manusia maka dengan demikian juga akan
memelihara nafsu dan perasaan masyarakat. Mereka itulah “kelas pekerja tangan”
seperti buruh dan budak.
2. Karena semangat atau kehendak berfungsi melindungi tubuh manusia, yang
berarti harus pula melindungi masyarakat, maka yang biasa melaksanakan hal itu
adalah militer.
3. Karena mereka mengembangkan akal dan kecerdasan untuk membimbing tubuh
manusia, mereka juga bertugas mengembangkan akal guna memerintah dan
memimpin masyarakat, maka mereka ini masuk dalam kelas penguasa.

Lebih jauh Plato juga menunjukkan bahwa kehidupan yang baik tergantung pada
dapat atau tidaknya pikiran dan kehendak manusia itu berkembang, sedangkan pikiran
dan kehendak manusia hanya dapat berkembang, jika dalam masyarakat itu terdapat
“keadilan”. Akan tetapi, bagaimana keadilan dapat tercapai? Menurut Plato, keadilan itu
dapat dicapai melalui tata tertib. Jadi, kehidupan yang baik adalah tujuan dari keadilan
dan keadilan adalah tujuan dari organisasi sosial.
Plato menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya merupakan refleksi dari
manusia perseorangan. Suatu masyarakat akan mengalami guncangan, sebagaimana
PSOS4205/MODUL 1 1.9

halnya manusia perseorangan yang terganggu keseimbangan jiwanya yang bagiannya


terdiri atas tiga unsur pengendali, sehingga suatu negara seharusnya merupakan refleksi
dari ketiga unsur yang berimbang atau serasi tadi. Dengan jalan menganalisis lembaga-
lembaga di dalam masyarakat, maka Plato berhasil menunjukkan hubungan fungsional
antara lembaga-lembaga tersebut yang pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang
menyeluruh.
Dengan demikian, maka Plato berhasil merumuskan suatu teori organisasi
tentang masyarakat, yang mencakup bidang-bidang kehidupan ekonomis dan sosial.
Suatu unsur yang menyebabkan masyarakat berdinamika adalah adanya sistem hukum
yang identik dengan moral, dan didasarkan pada keadilan.

C. ARISTOTELES (384-322 SM)

Aristoteles lahir tahun 384 SM di Macedonia dan meninggal tahun 322 SM.
Ibunya merupakan ahli kesehatan Raja Amyntas II (kakek Alexander Agung). Aristoteles
adalah seorang murid Plato. Pada akhirnya Aristoteles menjadi guru Alexander Agung,
raja Macedonia itu. Berkat bantuan Alexander Agung itu pula Aristoteles mendirikan
perpustakaan dan museum yang pertama kali di Yunani, yang terkenal dengan The
Politics dan The Nicomachean Ethics. Dalam menganalisis keadaan masyarakat,
Aristoteles menggunakan “metode induktif”, yaitu menarik kesimpulan umum dari
fakta-fakta yang bersifat khusus.

Sumber: http://farmacon.files.wordpress.com/2008/10/aristoteles-escuela-atenas-fn.jpg

Gambar 1.3
Aristoteles Enganalisis Masyarakat dengan Metode Induktif
1.10 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Ajaran Aristoteles tentang masyarakat terdapat dalam bukunya The Politics.


Dikatakannya bahwa kelompok manusia yang dasar dan esensial adalah:
1. pengelompokan (asosiasi) antara pria dan wanita untuk memperoleh keturunan,
dan
2. asosiasi antara penguasa dengan yang dikuasai.

Kedua bentuk asosiasi ini bersifat alamiah dan tidak disengaja. Keduanya akan
terlihat hubungan antara suami istri, orang tua dan anak, serta antara tuan dan budak
maupun pembantu di dalam keluarga.
Kenapa manusia secara alamiah membentuk kelompok (asosiasi)? Menurut
Aristoteles hal tersebut disebabkan karena manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial. Karena makhluk sosial, maka manusia adalah makhluk yang bermasyarakat.
Berdasarkan pengertian ini, Aristoteles menyatakan bahwa manusia berasosiasi
membentuk keluarga, kemudian keluarga berasosiasi membentuk dusun atau kampung,
dan dusun berasosiasi membentuk negara. Negara tumbuh secara alamiah, seperti
halnya keluarga dan dusun.
Aristoteles mengadakan suatu analisis mendalam terhadap lembaga-lembaga
politik dalam masyarakat. Pengertian politik digunakannya dalam arti luas mencakup
juga berbagai masalah ekonomi dan sosial. Sebagaimana halnya dengan Plato, perhatian
Aristoteles terhadap biologi telah menyebabkannya mengadakan suatu analogi
antara masyarakat dengan organisme biologis manusia. Di samping itu, Aristoteles
menggarisbawahi kenyataan bahwa basis masyarakat adalah moral.
Masyarakat Negara yang baik menurutnya dikelola oleh pemerintah yang
kemudian ada pembagian fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian,
terdapat pengawasan satu dengan yang lain. Orang atau kelompok macam apa yang
dinilai Aristoteles pantas memegang pemerintahan negara? Aristoteles memberi tiga
macam bentuk pemerintahan dilihat dari segi jumlah pemegang kekuasaan itu.
1. Pemerintahan oleh seseorang, jika seseorang penguasa itu baik, maka ia disebut
monarki dan jika ia memerintah dengan buruk, maka disebut tirani.
2. Pemerintahan oleh sejumlah kecil orang disebut aristokrasi jika baik, dan jika
buruk akan disebut oligarki.
3. Pemerintahan oleh orang banyak, untuk yang baik atau yang buruk akan disebut
demokrasi.

Pendapat-pendapat Plato dan Aristoteles tersebutlah yang hingga saat ini masih
diterapkan di dunia ini, di mana saat kecenderungan penguasa melakukan segala hal
dalam membina maupun membangun kehidupan masyarakatnya, selayak itu pula
kehidupan masyarakat akan mencapai kemakmuran.
PSOS4205/MODUL 1 1.11

D. RENAISANCE (1200-1600)

Pada zaman Renaisance, muncullah Thomas More dengan Campanella yang


menulis City of the Sun. Mereka masih terpengaruh oleh gagasan-gagasan terhadap
adanya masyarakat-masyarakat yang ideal. Berbeda dengan mereka, ialah Niccolo
Machiavelli yang menganalisis bagaimana mempertahankan kekuasaan. Untuk pertama
kalinya, politik dipisahkan dari moral, sehingga terjadi suatu pendekatan yang mekanis
terhadap masyarakat. Pengaruh ajaran Machiavelli, yaitu bahwa teori-teori politik dan
sosial memusatkan perhatian pada mekanisme pemerintah.

E. IBNU KHALDUN (1332-1406)

Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap ‘Abd al-Rahman ibnu Muhammad


ibnu Muhammad ibnu Ibrahim ibnu al-Khalid ibnu ‘Usman ibnu Hani ibnu al-Kathab
ibnu Kuraib ibnu Ma’dikarib ibnu Harish ibnu Wail ibnu Hujr. Ibnu Khaldun hidup
pada masa ketika dunia Islam sedang mengalami perpecahan dalam bidang politik dan
kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada saat masa kemunduran Islam ini,
banyak terjadi kekacauan historis yang sangat serius, baik dalam kehidupan politik
maupun intelektual. Situasi kehidupan politik dunia Islam pada masa Ibnu Khaldun
dapat dikatakan tidak stabil. Instabilitas politik ini, telah membuat hidupnya selalu
berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Afrika Utara, tempat kelahiran Ibnu
Khaldun, pada pertengahan abad ke-14 Masehi merupakan medan pemberontakan dan
kekacauan politik. Dinasti al-Muwahhidun, yang berkuasa ketika itu, telah mengalami
kehancuran, dan digantikan oleh dinasti-dinasti kecil berikutnya, seperti Keamiran Bani
Hafish di Tunisia, Keamiran Bani ‘Abd al-Wad di Tilmisan, dan Keamiran Bani Marin
di Fez (Suharto, 2003: 25).

Sumber: http://2.bp.blogspot.com/-778JVyF7uvA/Tee2pYd-YUI/AAAAAAAAAEg/0iv0LE-zYGk/
s1600/Ibn+Khaldun.jpg

Gambar 1.4
Ibnu Khaldun Menulis Buku Berjudul Al-Muqaddimah, Suatu Karya Besar tentang
Sejarah Dunia dan Sosial-Budaya
1.12 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Ibnu khaldun adalah seorang ahli filsafat Arab yang mengemukakan beberapa
prinsip yang pokok untuk memanfaatkan kejadian sosial dan peristiwa dalam sejarah.
Prinsip-prinsip yang sama dapat dilihat, jika ingin mengadakan analisis terhadap
timbul dan tenggelamnya negara-negara. Gejala-gejala yang sama dapat dilihat pada
kehidupan masyarakat-masyarakat pengembara dengan segala kekuatan dan kelemahan-
kelemahannya. Hal yang demikian itu, disebut rasa solidaritas. Faktor- faktor itulah
yang menyebabkan adanya ikatan dan usaha kerja sama antara manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya.
Ibnu Khaldun sudah merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden
yang keras dan masyarakat-masyarakat halus bertipe menetap, dalam suatu hubungan
yang kontras (Chambliss, 1954:285-312). Karya Khaldun tersebut dituangkan dalam
bukunya yang berjudul al-Muqaddimah tentang sejarah dunia dan sosial-budaya yang
dipandang sebagai karya besar di bidang tersebut (Sharqawi, 1986:144). Dari kajiannya
tentang watak masyarakat manusia, Khaldun menyimpulkan bahwa kehidupan
nomaden lebih dahulu ada, dibanding kehidupan kota, dan masing-masing kehidupan
ini mempunyai karakteristik tersendiri.

F. THOMAS HOBBES (1588-1679)

Thomas Hobbes dilahirkan pada tahun 1588 di Inggris. Ia adalah seorang


anak pendeta Thomas. Pada abad XVII muncullah tulisan Hobbes yang berjudul
The Leviathan, yang ditandai dengan inspirasi-inspirasi hukum lama, fisika, dan
matematika. Thomas Hobbes berpendapat bahwa dalam keadaan alamiah kehidupan
manusia didasarkan pada keinginan-keinginan yang mekanis, sehingga manusia selalu
saling berkelahi, tetapi mereka mempunyai pikiran bahwa hidup damai dan tenteram
adalah hal yang lebih baik.
Dari pengalaman itu, Thomas Hobbes menarik dua kesimpulan. Pertama, menata
masyarakat berdasarkan prinsip normatif seperti agama dan moralitas adalah tidak
mungkin. Menurut Thomas Hobbes prinsip-prinsip itu hanyalah kedok-kedok emosi
dan nafsu-nafsu yang paling rendah. Kedua, masyarakat bisa mewujudkan perdamaian
hanya apabila mampu menghilangkan nafsu-nafsu yang rendah. Damai bisa diciptakan
bila manusia terbebas dari hawa nafsunya. Pengembangan masyarakat yang aktif yang
berasal dari tindakan dan interaksi individu-individu. Dengan kata lain, kumpulan aturan
atau petuah tentang kebijaksanaan sehingga diharapkan manusia mampu mengatasi
ketakutan akan kematian dan menikmati kehidupan yang menyenangkan.
PSOS4205/MODUL 1 1.13

Sumber: http://www.nndb.com/people/691/000031598/hobbes.jpg

Gambar 1.5
Thomas Hobbes Berpandangan Masyarakat Bisa Mewujudkan Perdamaian Hanya
Apabila Mampu Menghilangkan Nafsu-nafsu yang Rendah

Keadaan semacam itu baru dapat tercapai jika mereka mengadakan suatu
perjanjian atau kontrak dengan pihak-pihak yang mempunyai wewenang, yaitu pihak
mana yang tentu dapat memelihara ketenteraman.

G. JOHN LOCKE (1632-1704)

Menurut ajaran John Locke, pada dasarnya manusia mempunyai hak-hak asasi
yang berupa hak untuk hidup, kebebasan, dan hak atas harta benda. Kontrak antara
warga masyarakat dengan pihak yang mempunyai wewenang sifatnya atas dasar faktor
pamrih.

Sumber: http://3.bp.blogspot.com/-cCt5qMwgG-g/USUNzAVmGtI/AAAAAAAAAgs/
whXi4pu-f14/s1600/John+Locke.JPG

Gambar 1.6
John Locke Adalah Penggagas Teori Kontrak Sosial
1.14 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Ketika John Locke berbicara pemerintahan politik atau J.J. Rousseau tentang
civil, mereka bicara tentang dunia politik, masyarakat sipil merupakan arena bagi warga
negara yang secara aktif secara politik, dalam masyarakat beradab yang berdasarkan
hubungan-hubungan dalam suatu sistem hukum, dan bukannya pada tatanan hukum
otokratis yang korup (Kumar, 2000: 114). Artinya, jika yang mempunyai wewenang
tadi, gagal untuk memenuhi syarat-syarat, maka warga-warga masyarakat berhak untuk
memilih pihak lainnya.

H. J.J. ROUSSEAU (1712-1778)

Kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah, menyebabkan tumbuhnya


kolektivitas yang mempunyai keinginan-keinginan sendiri, yaitu keinginan umum.
Keinginan umum tadi berbeda dengan keinginan masing-masing individu.
Tujuan akhir Rousseau adalah pelestarian kebaikan-kebaikan natural dan
kebajikan-kebajikan dari hati manusia, dan mengenai masyarakat yang selaras.
Perbedaan yang tajam ini antara dunia alami dan dunia manusia adalah akibat-akibat
kejahatan masyarakat, dan jenis pendidikan yang diberikan pada anak muda. Tujuan
tertinggi untuk dicapai adalah sebuah masyarakat yang berbudi luhur, kebajikan-
kebajikan primitif, keberanian, kesabaran, kontrol diri, kesamaan, persaudaraan,
kesederhanaan, dan kebebasan yang diwujudkan oleh semua warganya.

Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b7/Jean-Jacques_
Rousseau_%28painted_portrait%29.jpg

Gambar 1.7
J.J Rousseau Menggagas Kolektivitas sebagai Wujud Kontrak antara
Pemerintah dan yang Diperintah

Rousseau tidak sungguh-sungguh menolak kehidupan sosial, sebagaimana


dipercayai banyak orang. Sebaliknya, ia bermaksud membantu individu agar dengan
bersemangat memasuki semua perhubungan yang di dasari kemanusiaan. Tapi manusia
hendaknya memasuki suatu masyarakat yang sesuai dengan kapasitas dan kebajikan
alaminya, dan bukan masyarakat yang akan menjadikannya beban bagi orang lainnya.
(Kesuma, 2003).
PSOS4205/MODUL 1 1.15

I. SAINT SIMON (1760-1825)

Pada awal abad ke-19, muncullah ajaran dari Saint Simon. Dia menyatakan bahwa
manusia hendaknya dipelajari dalam berkelompok. Di dalam bukunya yang berjudul
Memories Sur La Science De L’home, Saint Simon menyatakan bahwa ilmu politik
merupakan suatu ilmu yang positif. Masalah-masalah dalam ilmu politik hendaknya
dianalisis dengan metode-metode yang sering dipakai terhadap gejala-gejala lain. Dia
memikirkan sejarah sebagai suatu fisika sosial, fisiologi dapat mempengaruhi ajaran-
ajarannya mengenai masyarakat.

Sumber: http://www.thegreatdebate.org.uk/Saint-Simon1.jpg

Gambar 1.8
Saint Simon Berpandangan bahwa Manusia Hendaknya Dipelajari dalam Berkelompok

Kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok sebenarnya bukanlah sekedar


suatu naluri atau keperluan yang diwariskan secara biologis semata-mata. Akan tetapi,
dalam kenyataannya manusia berkumpul sampai batas-batas tertentu juga menunjukkan
adanya suatu ikatan sosial tertentu. Mereka berkumpul dan saling berinteraksi satu sama
lain. Interaksi antarmanusia merupakan suatu kebutuhan dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Individu yang satu pasti akan membutuhkan individu yang lain,
karena seorang individu tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan individu lain. Jadi
kehidupan berkelompok merupakan kebutuhan mutlak. Maka timbullah kelompok-
kelompok sosial (social group) di dalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok
sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama.
1.16 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Latihan

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah


latihan berikut!

1) Apa yang menyebabkan pemikiran sosiologis berkembang dan dapat diterima di


kehidupan masyarakat?
2) Plato membedakan adanya 3 kelas sosial pada masyarakat, coba sebutkan dan
jelaskan!
3) Mengapa menurut Plato masyarakat adalah refleksi dari perseorangan?
4) Apa saja ajaran yang terdapat dalam buku The Politics yang ditulis oleh
Aristoteles?
5) Coba uraikan secara singkat dan jelas, berdasarkan pemahaman dari beberapa
tokoh mengenai masyarakat!

Petunjuk Jawaban Latihan

No. Jawaban Skor


1 a. Pemikiran sosiologis berkembang di masyarakat dengan 15
menghadapi ancaman terhadap hal-hal yang selama ini dianggap
sebagai hal-hal yang memang sudah seharusnya terjadi, benar,
nyata, dan menghadapi segala kemungkinan di dalam kehidupan.
b. Hal-hal yang selama ini menjadi pegangan manusia mengalami
krisis, maka mulailah orang melakukan renungan dan berpikir
secara realistis.

Keterangan: bila menjawab salah satu dari hal di atas sudah


mendapat skor maksimal
2 a. Bagi yang mengabdikan hidupnya untuk memenuhi nafsu dan 30
perasaannya, seperti halnya memelihara tubuh manusia, maka
dengan demikian juga akan memelihara nafsu dan perasaan
masyarakat. Mereka itulah “kelas pekerja tangan” seperti buruh
dan budak.
b. Karena semangat atau kehendak berfungsi melindungi tubuh
manusia, yang berarti harus pula melindungi masyarakat, maka
yang biasa melaksanakan hal itu adalah militer.
PSOS4205/MODUL 1 1.17

No. Jawaban Skor


c. Karena mereka mengembangkan akal dan kecerdasan
untuk membimbing tubuh manusia, mereka juga bertugas
mengembangkan akal guna memerintah dan memimpin
masyarakat, maka mereka ini masuk dalam kelas penguasa.

Keterangan: setiap poin mendapatkan skor 10, bila seluruh dapat


di jawab 30
3 Suatu masyarakat akan mengalami guncangan, sebagaimana 15
halnya manusia perseorangan yang terganggu keseimbangan
jiwanya yang bagiannya terdiri atas tiga unsur pengendali,
sehingga suatu negara seharusnya merupakan refleksi dari ketiga
unsur yang berimbang atau serasi tadi
4 a. Pengelompokan (asosiasi) antara pria dan wanita untuk 20
memperoleh keturunan.
b. Asosiasi antara penguasa dengan yang dikuasai.

Keterangan: setiap poin mendapatkan skor 10, bila seluruh dapat


di jawab 20
5 a. Ajaran Plato tentang masyarakat menerangkan bahwa pada 20
dasarnya masyarakat itu merupakan bentuk perluasan dari individu.
b. Ajaran Aristoteles tentang masyarakat terdapat dalam bukunya
The Politics.
c. Niccolo Machiavelli yang menganalisis bagaimana
mempertahankan kekuasaan. Untuk pertama kalinya politik
dipisahkan dari moral, sehingga terjadi suatu pendekatan yang
mekanis terhadap masyarakat.
d. Ibnu Khaldun sudah merumuskan suatu model tentang suku
bangsa nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat halus
bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras.
e. Thomas Hobbes berpendapat bahwa dalam keadaan alamiah
kehidupan manusia didasarkan pada keinginan-keinginan yang
mekanis, sehingga manusia selalu saling berkelahi, tetapi mereka
mempunyai pikiran bahwa hidup damai dan tentram adalah hal
yang lebih baik.
f. Ajaran John Locke, pada dasarnya manusia mempunyai hak-
hak asasi yang berupa hak untuk hidup, kebebasan, dan hak atas
harta benda. Kontrak antara warga masyarakat dengan pihak yang
mempunyai wewenang sifatnya atas dasar faktor pamrih.
1.18 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

No. Jawaban Skor


g. Tujuan akhir Rousseau adalah pelestarian kebaikan-kebaikan
natural dan kebajikan-kebajikan dari hati manusia, dan mengenai
masyarakat yang selaras.
h. Di dalam bukunya yang berjudul Memories Sur La Science De
L’home, Saint Simon menyatakan bahwa ilmu politik merupakan
suatu ilmu yang positif.

Keterangan: bila dapat menjawab 4 dari 8 poin di atas mendapatkan


nilai maksimal dengan setiap poin memiliki skor 5

Rangkuman

Mengapa muncul ilmu yang dinamakan sosiologi? Pada dasarnya pemikiran


sosiologis berkembang dan muncul di masyarakat dengan berpandangan bahwa
masyarakat merupakan suatu komponen yang menyediakan berbagai realita dalam
pola kehidupan manusia. Perkembangan sosiologi yang merupakan salah satu disiplin
ilmu sosial yang diakui hingga saat ini, tidak terlepas dari awal mula tokoh terdahulu
dalam menciptakan suatu konsep yang dinamakan masyarakat. Beberapa tokoh yang
menjadi peletak dasar seperti Socrates menjelaskan bahwa kebenaran itu diperjuangkan
dan dicintai dengan sungguh, tidak hanya sebatas didiskusikan, sebab kebenaran dan
pengetahuan akan membawa orang pada kebahagiaan.
Cara atau jalan yang ditempuh untuk bisa hidup bijaksana dan mencapai
kebahagiaan adalah dengan selalu terbuka untuk terus belajar dan berkembang. Di
lain pihak, diperlukan juga pengetahuan yang dimiliki setiap orang itu, siap untuk
di dialogkan sehingga mendapat pengertian yang semakin mendalam dengan terus
bertanya dan mencari jawaban akan makna hidup.
Masyarakat merupakan sekelompok individu yang saling berinteraksi, saling
membutuhkan satu sama lain. Tidak ada satupun individu yang dapat hidup tanpa
individu lainnya. Walaupun seberapa banyak harta yang dimiliki oleh seorang individu,
itu sama sekali tidak berharga jika tidak ada individu lain atau dengan kata lain tidak
ada interaksi sosial yang terjadi di antara individu atau masyarakat. Maka dari itu,
jika kita ingin mengkaji tentang individu maka kita tidak akan pernah bisa lepas dari
masalah masyarakat itu sendiri. Karena keduanya, antara individu dan masyarakat
saling keterkaitan.
PSOS4205/MODUL 1 1.19

Tes Formatif 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Siapakah tokoh yang mencetuskan sosiologi untuk pertama kali?


A. Karl Mark
B. Socrates
C. Comte
D. Plato

2) Menurut istilah, masyarakat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti ikut
serta atau berpartisipasi, yaitu ….
A. musyawarah
B. musyarak
C. munawarak
D. musya

3) Ajaran yang terpenting dari Socrates adalah ….


A. logika
B. filsafat
C. kebijakan
D. penafsiran

4) Plato menyuguhkan karya yang pertama dan terbesar yang bersifat sosiologis.
Karya Plato yang terkenal tersebut adalah?
A. The Law
B. The Republic
C. Academia
D. Justice

5) Menurut Aristoteles, kenapa manusia secara alamiah membentuk kelompok


(asosiasi)? Karena manusia ….
A. berinteraksi
B. memiliki pemikiran
C. makhluk sosial
D. memiliki kasih sayang
1.20 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

6) Ibnu Khaldun seorang ilmuwan Arab dengan karyanya tentang sejarah dunia dan
sosial-budaya, berjudul apakah karyanya tersebut?
A. City of The Sun
B. The Law
C. Al Muqqadimah
D. Leviathan

7) Pada awal abad ke-19, muncullah ajaran dari Saint Simon yang menyatakan
bahwa manusia hendaknya dipelajari dalam ….
A. individu
B. berkelompok
C. berurutan
D. ikatan Sosial

8) Siapakah tokoh yang melembagakan sosiologi ke dalam disiplin ilmu akademis?


A. Emile Durkheim
B. Comte
C. Saint Simon
D. Ibnu Khaldun

9) Dalam kajian Sosiologi, objek kajian sosiologi adalah ….


A. sistem politik
B. masyarakat
C. benda sejarah
D. perekonomian

10) Sosiologi lahir dari kekhawatiran ilmuwan Prancis terhadap perkembangan


masyarakat di masanya, siapakah tokoh tersebut?
A. Herbert Spencer
B. Comte
C. Thomas Hobbes
D. Max Webber
PSOS4205/MODUL 1 1.21

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat Penguasaan = x 100
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan

<70% 70% - 79% 80% - 89% 90% - 100%

kurang cukup baik baik sekali

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan
dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi
materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
1.22 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Kegiatan
Belajar

Lahirnya Sosiologi 2
S osiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Sejumlah ilmuwan berusaha menjelaskan
adanya hubungan antarmanusia dan perilaku sosial budaya melalui kehidupan
bermasyarakat dan yang sekarang di kenal sebagai ilmu sosiologi. Di Eropa, pertama
kali terjadi pemikiran terhadap konsep masyarakat, yang lambat laun melahirkan ilmu
yang dinamai sosiologi tersebut. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor antara lain
karena semakin meningkatnya perhatian terhadap masyarakat dan adanya perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masyarakat Eropa.
Pada awalnya sosiologi lahir karena adanya perubahan dalam masyarakat Eropa
yang terjadi pada akhir tahun 1800-an sampai dengan awal tahun 1900-an. Perubahan
ini sering disebut era modern. Era modern muncul karena ada tiga faktor, yaitu
(1) munculnya kota, para pemilik modal, dan masyarakat industri; (2) adanya temuan
kebudayaan yang berbeda; serta (3) adanya kekacauan politik dan intelektual.
Terlepas dari berbagai ide awal yang membentuk disiplin sosiologi di atas,
kelahiran sosiologi terutama dilatarbelakangi oleh Revolusi Industri pada abad 19
yang membawa berbagai dampak negatif terhadap masyarakat. Sejak ditemukannya
mesin uap oleh James Watt, dimulailah periode industrialisasi di Eropa. Penggunaan
mesin-mesin pada berbagai pabrik yang ada di Eropa menyebabkan kian tingginya
angka pengangguran yang kemudian berdampak pula pada kian banyaknya pemukiman
kumuh, serta meningkatnya angka kriminalitas.
Sebab-sebab tersebutlah yang kemudian menjadi latar belakang utama kelahiran
sosiologi. Suatu disiplin atau studi mengenai masyarakat yang bertujuan untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri.
Sosiologi lahir pada abad ke-19, yaitu pada saat transisi menuju lahirnya masyarakat
baru yang di tandai oleh beberapa peristiwa atau berubahan besar pada masa tersebut.
Beberapa peristiwa besar tersebut antara lain sebagai berikut.

A. REVOLUSI AMERIKA

Pada tahun 1776, warga koloni Inggris di Amerika Utara mendeklarasikan


kemerdekaan. Mereka mendirikan negara “ Republik”, dengan pemerintahan yang sama
sekali baru untuk saat itu, yakni pemerintahan “demokrasi”. Umumnya negara pada masa
itu berbentuk kerajaan dengan pemerintahan monarki absolut, di mana raja berkuasa
PSOS4205/MODUL 1 1.23

mutlak. Berhasilnya revolusi Amerika membuktikan bahwa gagasan kedaulatan rakyat


memang dapat dilaksanakan. Keberhasilan ini membangkitkan semangat demokrasi di
kalangan rakyat Eropa. Meskipun tidak seperti Amerika, rakyat menuntut pemerintahan
monarki konstitusional (kerajaan yang berdasarkan undang-undang). Revolusi Amerika
menggugah kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia. Selama ini, martabat manusia
ditentukan oleh keturunan ataupun kedudukan dalam masyarakat. Akibatnya, terbentuk
kelas-kelas dalam masyarakat, seperti kalangan elite dan kalangan jelata. Berdasarkan
gagasan hak asasi manusia, martabat siapa pun adalah setara.

B. REVOLUSI INDUSTRI (1760-1860)

Sejak awal abad ke-18 M, dimulai dari Inggris, terjadi perubahan besar dalam cara
memproduksi, yaitu dari tenaga manusia ke tenaga mesin, dari industri rumah tangga ke
industri pabrik, dan produksi kecil ke produksi besar. Perubahan ini membawa pengaruh
pada kehidupan ekonomi, kemudian pada kehidupan bermasyarakat. Revolusi Industri
berpengaruh terhadap munculnya kalangan baru dalam masyarakat. Satu pihak adalah
para pemilik modal yang disebut kaum kapitalis dan pihak lainnya adalah para pekerja
pabrik yang biasa disebut kaum buruh. Kehadiran kedua kelompok ini, mengubah
secara drastis struktur sosial terutama di kota-kota.
Revolusi Industri merupakan salah satu momentum sejarah yang sangat
spektakuler dalam sejarah peradaban barat, karena dari revolusi industri ini, kemudian
terjadi perubahan besar dalam sistem perekonomian barat dan berpengaruh terhadap
sistem perdagangan dunia di fase berikutnya. Gejala timbulnya revolusi industri sendiri,
tidak hanya di sebabkan oleh satu sebab, tetapi oleh berbagai faktor, yakni politik,
ekonomi, psikologi, kebangsaan, struktur masyarakat, pengetahuan, dan lain-lain.
Secara garis besarnya revolusi industri mencakup beberapa hal, yaitu:
(1) mekanisasi industri dan pertanian; (2) penggunaan energi untuk industri;
(3) perkembangan sistem pabrik; (4) kecepatan yang luar biasa dari angkutan dan
komunikasi; dan (5) penambahan yang besar dari kontrol kapitalistik terhadap hampir
semua cabang-cabang kegiatan ekonomi (Burn, 1958:631).
Revolusi industri, pertama kali ditandai dengan penggunaan mesin untuk pabrik
pemintalan kapas. Dari tahun 1760 sampai 1870 banyak disaksikan penggunaan mesin-
mesin ini. Salah satu ikhtiar yang dikembangkan adalah mesin pemintal benang yang
diciptakan James Hargreaves pada tahun 1767, dan diberi nama “Jenny”, yang diambil
dari nama istrinya. Hanya saja, mesin ini ternyata tidak kuat, sampai ditemukannya
kerangka air oleh Ricard Arkwight dua tahun kemudian. Pada tahun 1779, Samuel
Croupton menggabungkan alat pemintal “Jenny” dengan kerangka air menjadi sebuah
mesin yang diberi nama “Mule”. Selanjutnya, ditemukan juga mesin tenun oleh
Cartwright pada tahun 1785 yang disempurnakan beberapa tahun kemudian (Burn,
1958:641).
1.24 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Pada taraf berikutnya, munculnya industri-industri besar hasil penemuan mesin-


mesin “sederhana” sebelumnya, melahirkan penemuan dalam bidang transportasi,
kereta api, kendaraan bermesin (otomobil), navigasi uap (kapal uap), telegram, dan
alat-alat pertanian. Kenyataan ini, pada gilirannya juga melahirkan industri baru untuk
mendukung penemuan-penemuan tersebut (Burn, 1958:649).
Struktur sosial lama yang menempatkan kalangan bangsawan dan rohaniwan
sebagai penguasa, berganti dengan struktur sosial baru yang didominasi kaum kapitalis
dan buruh. Kaum kapitalis menjadi kuat karena merekalah yang mengendalikan ekonomi,
sedangkan kaum buruh yang secara ekonomi amat lemah menjadi berpengaruh setelah
bersatu dalam satu serikat buruh. Dalam kondisi seperti ini, kaum kapitalis merintis
berlakunya sistem ekonomi liberal, yang pada perkembangan selanjutnya berpengaruh
pada kehidupan sosial politik berupa liberalisme. Di lain pihak, pengaruh kaum buruh
dalam kehidupan sosial politik tampak dari lahirnya sosialisme, sebagai reaksi terhadap
liberalisme.

C. REVOLUSI PRANCIS (REVOLUSI POLITIK)

Revolusi Prancis merupakan sebuah masa peralihan politik dan sosial dalam
sejarah Prancis. Pada saat itu, kaum demokrat dan para pendukung republikanisme
bersatu menjatuhkan sistem pemerintahan monarki (kerajaan) absolut, yang dianggap
terlalu kaku dan memberikan keistimewaan berlebih pada keluarga kerajaan dan
golongan bangsawan. Raja Louis XVI (pemimpin negara saat itu) misalnya, bisa hidup
mewah dan menghambur-hamburkan dana kerajaan, sementara sebagian besar rakyatnya
hidup miskin. Rakyat menghendaki pemerintahan yang memerhatikan hak-hak mereka.
Dalam Revolusi Prancis, mereka menggunakan slogan “Persamaan, Kebebasan, dan
Persaudaraan” (Liberte, Egalite, Fraternite). Revolusi Prancis berakhir pada November
1799 dengan dibubarkannya monarki absolut Prancis, yang diganti dengan bentuk
negara monarki terbatas dan selanjutnya menjadi republik.
Revolusi Prancis 1789 sering dianggap sebagai satu garis yang memisahkan
Eropa lama dan modern. Ia juga dilihat sebagai titik puncak kesadaran nasionalisme,
gerakan anti pemerintahan, dan pencapaian gagasan kedaulatan rakyat. Dalam revolusi
itu, para revolusioner telah membawa pesan persamaan, kebebasan, dan persaudaraan
sebagai tuntutan terhadap cita-cita liberalisme dan demokrasi. Namun, cita-cita ke
arah itu dipercayai telah ditanam sejak dari awal oleh satu aliran pemikiran yang
sedang berkembang di Eropa pada masa itu, yang dikenali sebagai Aliran Kesadaran
(Enlightenment). Di Prancis, ide kesadaran yang dianggap radikal telah dikaitkan secara
langsung dengan pemikiran yang dibawa oleh golongan pemikir-penulis elit yang
didakwa memainkan peranan utama dalam pencetusan Revolusi Prancis 1789 (Azmi,
2010:1).
Perubahan masyarakat yang terjadi selama revolusi politik sangat luar biasa
baik bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Adanya semangat liberalisme muncul
di segala bidang, seperti penerapan dalam hukum dan undang-undang. Pembagian
masyarakat perlahan-lahan terhapus dan semua diberikan hak yang sama dalam hukum.
PSOS4205/MODUL 1 1.25

Revolusi Prancis adalah masa dalam sejarah Prancis antara tahun 1789 dan 1799,
di mana para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut
di Prancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal.
Pada tahun 1789, ketika masa pemerintahan Louis XVI, beban negara sudah
sangat tinggi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, satu-satunya cara adalah menarik
pajak kepada kaum bangsawan. Sidang Etats Generaux pun akhirnya digelar, tetapi
terjadi kerusuhan. Hal itu disebabkan golongan III (rakyat jelata) yang jumlahnya
terbesar menuntut hak suaranya dalam voting secara perorangan, sedangkan golongan
I dan II menghendaki voting dilakukan pergolongan. Dengan cara itu, golongan I dan
II yang bersekongkol dapat dipastikan memenangkan suara. Pada tanggal 14 Juli 1789
rakyat Prancis menyerbu penjara Bastille yang merupakan tempat tahanan politik
penentang pemerintah raja Prancis dan tempat gudang senjata. Penyerbuan ini dipicu
oleh beberapa alasan sebagai berikut.
1. Rakyat mendengar desas-desus bahwa Raja Prancis mengumpulkan tentaranya di
sekitar Paris untuk menindas rakyat.
2. Rakyat membutuhkan senjata yang tersimpan di dalam penjara Bastille.

Penyerbuan terhadap penjara Bastille berhasil dengan baik karena tentara


yang berkumpul di Paris memihak rakyat, penyerangan tersebut dianggap sebagai
permulaan revolusi, dan diresmikan sebagai Hari Nasional Prancis. Pada tanggal 20
Juli 1789, Dewan Nasional bersidang di lapangan tenis. Akibatnya Raja memerintahkan
membubarkan Dewan Nasional, tetapi tidak dihiraukan. Raja pun tidak bertindak dan
pasrah terhadap keadaan negerinya. Pada saat itulah, rakyat jelata yang berkuasa.
Pimpinan rakyat yang terkenal dalam Dewan Nasional di antaranya, Mirabeau
(bangsawan), Lafayette (bangsawan), dan Sieyes (agamawan).
Revolusi Prancis menguatkan tersebarnya semangat liberalisme di segala bidang
kehidupan, baik ekonomi, politik, dan sosial. Khususnya di bidang sosial, semangat
liberalisme muncul dalam kesadaran akan hak asasi manusia. Sementara di bidang
politik, semangat liberalisme tampak dari diterapkannya hukum atau undang-undang.
Akibat kesadaran akan hak asasi manusia yang dijamin hukum, struktur
masyarakat lama mengalami perubahan total. Tidak ada lagi pengistimewaan terhadap
kalangan tertentu dalam masyarakat. Sebelumnya, rakyat biasa digolongkan warga
kelas tiga, dibandingkan kaum rohaniwan dan bangsawan. Sekarang, semua warga
diakui sama secara hukum.
Perubahan masyarakat yang terjadi semasa abad revolusi betul-betul
mencengangkan. Struktur masyarakat yang telah berlaku selama ratusan tahun,
diobrak-abrik. Sulit dipercaya, seorang raja yang tadinya berkuasa mutlak, kini harus
tunduk kepada undang-undang. Begitu pula bangsawan dan rohaniwan, yang tadinya
bergelimang dengan hak istimewa, kini setara haknya dengan rakyat jelata dan banyak
kerajaan besar terpecah menjadi negara-negara baru.
Gejolak abad revolusi itu, mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran
bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyaksikan betapa
1.26 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

perubahan masyarakat yang besar, telah membawa banyak korban berupa perang,
kemiskinan, pemberontakan, dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah, sekiranya
perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini.
Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi, menguatkan pandangan
betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat.
Artinya, perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu
saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya, kemudian harus dicari
metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan
dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal, dan dengan metode
ilmiah yang tepat. Penjelasan yang teliti dan perumusan teori berdasarkan pembuktian,
menyebabkan perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga
krisis sosial yang parah dapat dicegah.

D. AUGUSTE COMTE

Auguste Comte yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier
Comte lahir 19 Januari 1798 di Montpellier yang terletak di bagian selatan Prancis.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte
melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Karier profesionalnya
dimulai dengan memberikan les matematika. Kehidupan ekonominya yang pas-pasan
dan hampir selalu hidup dalam kemiskinan tidak menghilangkan ketekunan dan
kecemerlangan intelektualnya.

Sumber: http://1.bp.blogspot.com/_-z0ESKBfMy8/Scv4anX9ByI/AAAAAAAAApY/iSafN1gd00Q/
s400/Auguste-Comte.jpg

Gambar 1.9
Comte, Bapak Sosiologi

Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekretaris dan kemudian menjadi anak angkat
Henri de Saint-Simon, setelah Comte di usir dan hidup dari mengajar matematika.
Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825.
Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte,
PSOS4205/MODUL 1 1.27

sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karier
antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan
dipengaruhi oleh (sebagaimana yang diakuinya) Plato, Montesquieu, Hume, Turgot,
Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di
kompilasi menjadi dua karya besarnya, Cours de Philosophie Positive dan Systeme
de Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin
terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya
sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.
Kondisi sosial dan perubahan besar-besaran yang terjadi di masyarakat pada masa
kehidupannya, berpengaruh besar dalam mendorong pemikirannya. Auguste Comte
menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif revolusi tersebut,
khususnya di bidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang
dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivasi dirinya untuk
memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi
dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme.
Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung oleh para elit-ilmiah dan
maraknya era industrialisasi pada saat itu (Azis, 2003:254).
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif
muda, yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh
Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi.
Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul Cours of
Positive Philosophy yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu
komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte, ilmu sosiologi harus
didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan
spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.

Dari sisi intelektual, Comte membagi tiga tahap, yaitu:


1. Tahap Teologis
Tahap ini merupakan periode terlama dalam sejarah. Karena awal mula
perkembangan akal budi memakai gagasan keagamaan yang belum adanya
penguasaan atas makhluk lain. Manusia menafsirkan gejala-gejala di sekelilingnya
secara teologis, yaitu dengan kekuatan-kekuatan roh dewa-dewa atau Tuhan Yang
Maha Kuasa. Tahap ini pun dibagi menjadi tiga periode. (a) Periode Fetisisme,
yaitu bentuk pemikiran masyarakat primitif yang menaruh kepercayaan atas roh-
roh atau bangsa halus yang turut hidup bersama kita. Ini terlihat pada zaman
purba di mana diadakan upacara penyembahan roh halus untuk meminta bantuan
maupun perlindungan. (b) Periode Politeisme, yaitu suatu periode di mana
masyarakat telah percaya akan bentuk para penguasa bumi, yakni dewa-dewa
yang terus mengontrol semua gejala alam. (c) Periode Monoteisme, yaitu
akibat semakin majunya pemikiran manusia pada periode terakhir ini, muncul
kepercayaan akan satu yang tinggi pada abad pertengahan. Kepercayaan akan
Tuhan yang berkuasa penuh atas jagat raya, mengatur segala gejala alam dan
takdir makhluk.
1.28 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

2. Tahap Metafisik
Tahap ini manusia menganggap bahwa dalam setiap gejala terdapat kekuatan-
kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkap.
3. Tahap Positif
Tahap ini merupakan puncak perkembangan masyarakat. Tahap ini ditandai
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan karena manusia sepenuhnya
mempercayai dan menggunakan kemampuan akalnya, untuk memahami alam.
Ilmu pengetahuan ini dibangun melalui penelitian dan data empiris yang berguna
dalam menemukan hukum-hukum universal, dan manusia masih terikat cita-
cita tanpa verifikasi karena ada kepercayaan bahwa setiap cita-cita terikat pada
suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum alam yang
seragam.

Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang


terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan
dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-
fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan
tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan mengatur segala gejala di bawah
satu fakta yang umum (Maksum, 2004:80).
Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan
rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku di bidang ilmu pengetahuan. Dalam
hal ini, Comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh
pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis
dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat
manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga
individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui
ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal
demikian, dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang
ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu,
maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak
pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu
pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut
memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret. Dengan demikian,
maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu
pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana
ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif (Deltgauw,
1992:67). Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam
metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang
pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu, dan suku bangsa
PSOS4205/MODUL 1 1.29

melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis, dan positif. Dalam hal ini, Auguste Comte
memberikan analogi: manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis
sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat
remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap
dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.
Selanjutnya Comte membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis.
Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar
adanya masyarakat, sedangkan sosiologi dinamis memusatkan perhatian mengenai
perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan. Pokok bahasan sosiologi adalah
fakta sosial, tindakan sosial, dan realitas sosial.
Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi
perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme,
yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan
dari empirisme.
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem
aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah
melahirkan aliran Kritisisme, sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran
besar tersebut. Di sinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan
representasi jawaban terhadap problem-problem mendasar tersebut.
Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan
’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa
dasar, karena jika kita membaca, misalnya kamus saku Oxford akan ditemukan ’baik’
dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positif. Dalam konteks epistemologi,
kata positif yang pertama kali digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam
”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur
agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal noninderawi.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu
yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa
satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-
fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori
melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Positivisme dalam pengertian di atas dan sebagai pendekatan telah dikenal
sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibnu al-Haytham dalam karyanya kitab
al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat
pertama kali dilakukan Comte. Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte yang
tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842) yang
diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Systeme de Politique
Positive yang masing-masing mewakili tahapan tertentu dalam jalan pemikirannya.
Dalam kaitannya (positivisme) dengan masyarakat, Comte meyakini bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam, maka untuk memperoleh pengetahuan tentang
masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu
1.30 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

alam lainnya. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat
alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati
oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk
pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya
hukum-hukum ilmiah yang positif.
Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang dengan
penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan hukum-hukum tetap yang
dapat berlaku pada alam (hukum alam). Comte kemudian melakukan copy-paste
metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial. Dengan
begitu, menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku
general pada masyarakat (hukum sosial).
Comte memulai pekerjaannya tersebut dengan melakukan refleksi mendalam
terkait sejarah perkembangan alam pikir manusia. Ia kemudian mendapati bahwa sejarah
perkembangan alam pikir manusia terdiri atas tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan
positif. Dari ketiga tahapan tersebut, tahap positif merupakan babak terakhir, di mana
pada tahapan itu manusia telah memasuki peradaban yang positif. Selanjutnya, Comte
membuat norma-norma ilmiah yang disebut metodologi ilmiah.

1. Prinsip Keteraturan Sosial


Sejalan dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling
ketergantungan yang harmonis antara bagian-bagian masyarakat, dan sumbangannya
terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh
anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali.
Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama,
usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan
metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu
cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai
dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.
Menurut Comte, individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial,
sehingga satuan masyarakat asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga.
Dalam keluargalah individu diperkenalkan kepada masyarakat.
Ekuilibrium masyarakat (keseimbangan/keteraturan sosial) juga bergantung pada
pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, begitu pembagian pekerjaan muncul,
partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran akan
saling ketergantungan, dan muncul ikatan-ikatan sosial baru. Pembagian pekerjaan
meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang berhubungan
dengan itu, mendorong individualisme dan sekaligus meningkatkan derajat saling
ketergantungan.
PSOS4205/MODUL 1 1.31

Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan
masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, berstandar pada saling
ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang
sangat tinggi. Berikut pemikiran Auguste Comte dalam kajian aspek epistemologi,
ontologi, dan aksiologi:

a. Kajian aspek epistemologi pemikiran Comte


Comte melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu
dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte, tetapi layaknya filsuf
lainnya. Comte selalu melakukan kontemplasi juga, guna mendapatkan argumentasi-
argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dari sini Comte mulai mengeluarkan
argumentasinya tentang ilmu pengetahuan positif, pada saat berdiskusi dengan kaum
intelektual lainnya, sekaligus  melakukan uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang
dipublikasi dengan gencar, yaitu Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu
pengetahuan baru ini, bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet,
De Bonald, Rousseau, dan Plato. Comte memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang
sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima
karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya
dalam sistem klasifikasinya. Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positif itu sendiri,
adalah sebagai berikut: Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai
dan netral) seorang ilmuwan, tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam
melakukan observasi terhadap objek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan
hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti
tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisme simbiosis dan antarrelasinya
dengan fenomena yang lain.

b. Kajian aspek ontologi pemikiran Comte


Tiga hal yang menjadi ciri pengetahuan yang dibangun, yaitu:
(1) membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, (2) mengumpulkan
dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan
(3) memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum
itu, dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat. Dalam pengembangannya,
keyakinan Comte ini dinamakan positivisme. Positivisme sendiri adalah paham
filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-
hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan. Di sini, Comte
berusaha pada pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru,
mengubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang
pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk
mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang
pada penjelasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
1.32 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

c. Kajian aspek aksiologi pemikiran Comte


Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikiran
mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tiga stadia”. Hukum
tiga tahap ini, seperti yang telah diulas pada bagian terdahulu menceritakan perihal
sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisis dari observasi-observasi yang
dilakukan oleh Comte. Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya,
berawal pada tahapan teologis, di mana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang
masih hidupnya menjadi objek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk
menguasai (pengelola) alam, atau dapat dikatakan belum menjadi subjek. Fetitisme dan
animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia, lalu beranjak
kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur
kehidupan, dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya
di keseharian. Comte percaya bahwa humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan
kesatuan lingkungan sosial yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan
satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan
sosial, pentingnya keakraban, menyatukan dan mempererat anggota keluarga yang satu
dengan keluarga yang lain. Dalam diri manusia memiliki kecenderungan terhadap
dua hal, yaitu egoisme dan altruisme (sifat pribadi yang didasarkan pada kepentingan
bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua
makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab,
akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya
pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak karena adanya
sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.
Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan sosial, di mana
nilai-nilai kultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian
kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerja sama berarti saling
menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan. Menurut
Comte mencintai kemanusiaan, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan
keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat.

2. Positivisme
Istilah postivisme berasal dari buah karya Auguste Comte, Cours de Philosophie
Positive (1842). Terminologi “positif” yang membentuk kata “positivisme” tidaklah
disamaartikan dengan istilah “baik” sebagaimana umumnya, melainkan teori yang
berupaya menyusun berbagai fakta teramati.
Aliran positivisme ini, merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte yang
cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran positivisme ini, kemudian pada
abad ke-20 dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-
Positivisme (Positivisme-Logis) (Maksum, 2004:77).
Dengan kata lain, istilah positif dapat diartikan dengan “faktual” atau segala
sesuatu yang didasarkan pada fakta-fakta. Apa yang dimaksudkan Comte adalah
hendaknya pengetahuan disusun berdasarkan berbagai fakta yang ada atau tidak
melampaui fakta-fakta yang ada (Hardiman, 2004: 204).
PSOS4205/MODUL 1 1.33

Di sisi lain, lahirnya positivisme tak lepas dari peristiwa Renaissance ‘pencerahan
Eropa’ yang terjadi pada abad 15-18. Dalam peristiwa tersebut, muncul dua mazhab
besar pemikiran Eropa yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu rasionalisme
dan empirisme. Rasionalisme yang digawangi Rene Descartes beranggapan bahwa
pengetahuan berasal dari akal, rasio, atau mendahului pengalaman manusia (apriori),
sedang empirisme besutan John Locke berkeyakinan bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman manusia (aposteriori). Di samping Descartes dan Locke, positivisme-
Comte turut dipengaruhi oleh Thomas Hobbes. Dalam De Homine, Hobbes berkata
bahwa objek studi filsafat haruslah segala sesuatu yang terindera. Ia mengatakan pula
bahwa beragam perasaan yang terdapat dalam diri manusia faktual, merupakan hasil
masukan dari luar yang diperoleh melalui pancaindera (Hardiman, 2004:70).
Di tangan Comte, perbedaan yang jelas antara kedua mazhab pemikiran di
atas, mampu teramu sedemikian rupa ke dalam positivisme (Hardiman, 1993:23). Ia
sepakat dengan Descartes bahwa Ilmu Pasti adalah syarat yang dijadikan dasar bagi
segala filsafat mengingat berbagai dalil umum, sederhana, serta abstrak yang dimiliki
ilmu pasti. Di sisi lain, empirisme disebabkan kemampuannya memperoleh ide dalam
kehidupan nyata, kemudian turut mengujinya pula dalam kehidupan nyata. Dengan
demikian, dapatlah ditegaskan bahwa filsafat positif merupakan elaborasi antara riset
empiris berikut pertimbangan akal dengan model fisika-Newton (Hardiman, 2004:201-
202). Pada tahapan terkait, dimulailah penerapan metode ilmiah guna mencari solusi
atas beragam masalah sosial yang ada, penerapan tersebut diikuti pula dengan keyakinan
dan asumsi bahwa alam fisik didominasi oleh hukum-hukum alam, maka demikian
halnya dengan dunia sosial (Ritzer, 2006:12-13).
Dapat disimpulkan bahwa positivisme memiliki karakteristik sebagai berikut:
berpijak pada segala sesuatu yang diketahui atau faktual berupa menampakkan/gejala;
mengesampingkan segala uraian atau persoalan di luar fakta; berupaya mengatur fakta
melalui serangkaian hukum tertentu, setelah hal tersebut dilakukan maka berpijak
melaluinya, usaha melihat masa depan pun dilakukan; serta beragam hal yang tampak
sebagai gejala akan menyesuaikan diri dengan berbagai hukum tersebut (Hadiwijono,
1995:109-110).
Lebih jauh, Agger (2006:49) menegaskan bahwa tradisi positivis berupaya
menjelaskan hubungan kausal (sebab-akibat) yang mengatur dunia sosial. Tradisi
terkait dibangun berdasarkan sejumlah penelitian, kemudian mengelompokkannya ke
dalam berbagai pola umum, serta berusaha mengakomodasinya ke dalam satu variabel
tergantung. Namun demikian, satu karakteristik dari positivisme yang demikian
mencolok hingga menimbulkan perdebatan sengit dengan kubu kritis nantinya
methodensterit adalah keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Hal
tersebut berarti, berbagai ilmu pengetahuan yang ada hendaknya sekedar diabdikan
guna menjelaskan berbagai gejala yang muncul di permukaan, tanpa kewajiban untuk
mengubahnya (Hardiman, 1993:23).
Secara ringkas, berbagai karakteristik positivisme di atas, dapat dirangkum dalam
tiga poin, antara lain: rasional, bebas nilai, menekankan kausalitas, serta perumusan
1.34 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

terhadap hukum sosial. Adapun metodologi yang digunakan untuk mewujudkan


berbagai orientasi positivisme di atas adalah kuantitatif, rekayasa sosial, hubungan
kausal dan asosiasional, serta pengadopsian berbagai ilmu alam terkait fenomena sosial
yang dapat diukur.
Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti metafisis, di mana dia
hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri
dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang
terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak). Artinya,
manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala,
supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi (Hammersma, 1993:3).
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa positivisme menegaskan
arti penting ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk menjelaskan, melihat, atau
mengetahui masa depan. Dalam hal ini, tak seberapa penting mengetahui hakikat atau
berbagai sebab dari gejala tersebut, namun perihal yang lebih penting adalah menentukan
berbagai syarat di mana beragam fakta tertentu tampil berikut menghubungkannya
sesuai persamaan dan urutannya (Hadiwijono, 1995: 109-110).
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di
luar fakta, menolak segala penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah
fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad ke-18, positivisme mengembangkan
pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga
berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik.
Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang
tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).

3. Kekuatan dan Kelemahan Positivisme

a. Kekuatan
Positivisme merupakan revolusi dalam filsafat, yakni suatu gabungan dari
empirisme dan logika-logika formal yang baru. Jika empirisme merupakan aliran
yang mementingkan segala apa yang dilihat dan dirasakan oleh indera, sedangkan
rasionalisme merupakan aliran yang mementingkan kepada pikiran atau rasio.
Pemikiran Auguste Comte tentang equilibrium masyarakat, yakni suatu masyarakat
akan mencapai keseimbangan apabila terdapat kerja sama antarindividu, dan individu
tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Auguste Comte memberikan
sumbangan terhadap pemikiran mengenai definisi sistem dengan menganalogikan
sistem masyarakat sebagaimana sistem biologis manusia. Apabila ada anggota atau
bagian tubuh yang sakit maka bagian yang lain pun akan merasakannya. Demikian
juga dengan sistem masyarakat apabila terdapat masalah pada suatu bagian maka akan
berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan. Sistem adalah keseluruhan dari unsur
yang saling berinterelasi dan berinterdepedensi untuk mencapai tujuan.
PSOS4205/MODUL 1 1.35

b. Kelemahan
Positivisme Auguste Comte mengalami kejayaan mulai abad ke 19 yang mampu
meruntuhkan empirisme Descartes dan Rasionalisme. Akan tetapi, abad selanjutnya
terdapat pertentangan dalam positivism sendiri, walaupun serangan positivisme itu
merupakan serangan yang dahsyat, tetapi dapat ditolak oleh Blomshard dari Yale
University dalam bukunya The Nature of Thought, dan C.EM Joad dalam bukunya
A Critique of Logical Positivisme. Kelemahan positivisme terletak pada fakta, bahwa
ia tidak konsekuen dengan empirisme. Empirisme selalu bersikap rendah hati dan
pikiran terbuka, dan tak pernah menunjukkan sikap kemauan sendiri. C.E.M Joad dalam
bukunya Critique of Logical Positivism, berkata:

“Saya dapat membuat keterangan awangan dengan tidak memakai papan tulis
atau kertas dengan pensil, akan tetapi cuma pikiran saya. Saya dapat menambah,
menggali, membagi, serta mengurangi. Semua itu mengandung pengalaman yang
dapat saya pikirkan. Saya ingatkan, tetapi semua itu merupakan pengalaman yang
tak berdasarkan pancaindera (sense). Dan sebenarnya positivism mengemukakan
beberapa teori yang terdapat di luar batas pengetahuan (sains) (Rasjidi,
1990:118).

Kritik selanjutnya muncul dari filsuf Islam Murtadha Muthahhari, yang


mengatakan bahwa:

“positivisme mengingkari secara total metafisika dan metode silogistik, dan hanya
meyakini kebenaran ilmu empiris, eksperimental, lambat laun menyadari bahwa
bila segala yang ada hanya terbatas pada ilmu eksperimental (dan permasalahan
ilmu ini hanya bersifat particular, yakni khusus pada subjek-subjek yang spesifik)
dalam mengenal alam secara universal -yang filsafat atau metafisika klaim
sebagai penanggung jawabnya- kita tidak akan mampu untuk mengetahuinya
secara total (Muthahari, 2010:23).

Kelemahan lain positivisme adalah pada pemikiran mengenai hukum 3 tahap


di mana manusia sebagai individu maupun masyarakat mengalami 3 tahapan dalam
perkembangannya. Positivisme Auguste Comte menganggap bahwa perkembangan
manusia sudah berada pada tahapan puncak, yakni tahap positif, akan tetapi pada
kenyataannya manusia dan masyarakat membutuhkan zat yang maha kuasa untuk
menciptakan suatu kestabilan sosial. Selain itu banyak orang yang ketika sakit masih
pergi ke dukun, hal ini membuktikan bahwa kekuatan metafisik masih dipercayai oleh
manusia.
Selain itu, positivisme menganggap bahwa sumber ilmu pengetahuan hanyalah
yang berupa hal-hal yang dapat di indera dan bersumber dari data empiris yang
mengandalkan akal manusia. Padahal indra manusia mengalami keterbatasan.
1.36 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Latihan

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah


latihan berikut!

1) Mengapa sosiologi lahir di Eropa? Coba jelaskan secara akurat?


2) Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi
yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Coba sebutkan dan jelaskan
tahap-tahap tersebut!
3) Apa yang dimaksud dengan positivisme? Bagaimana penerapannya hingga saat
ini dalam kehidupan sehari-hari?
4) Sebutkan karakteristik-karakteristik positivisme?
5) Selanjutnya Comte membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis.
Coba jelaskan masing-masing!

Petunjuk Jawaban Latihan

No. Jawaban Skor


1 a. Pada awalnya sosiologi lahir karena adanya perubahan dalam 20
masyarakat Eropa yang terjadi pada akhir tahun 1800-an sampai
dengan awal tahun 1900-an. Perubahan ini sering disebut era
modern. Era modern muncul karena ada tiga faktor, yaitu
munculnya kota, para pemilik modal dan masyarakat industri,
adanya temuan kebudayaan yang berbeda, serta adanya kekacauan
politik dan intelektual.
b. Terlepas dari berbagai ide awal yang membentuk disiplin
sosiologi di atas, kelahiran sosiologi terutama dilatarbelakangi
oleh Revolusi Industri pada abad 19 yang membawa berbagai
dampak negatif terhadap masyarakat. Sejak ditemukannya mesin
uap oleh James Watt, dimulailah periode industrialisasi di Eropa.
Penggunaan mesin-mesin pada berbagai pabrik yang ada di Eropa
menyebabkan kian tingginya angka pengangguran yang kemudian
berdampak pula pada kian banyaknya pemukiman kumuh serta
meningkatnya angka kriminalitas.

Keterangan: bila menjawab salah satu dari hal di atas sudah


mendapat skor maksimal
PSOS4205/MODUL 1 1.37

No. Jawaban Skor


2 1. Tahap Teologis 30
Tahap ini merupakan periode terlama dalam sejarah. Karena awal
mula perkembangan akal budi memakai gagasan keagamaan
yang belum adanya penguasaan atas makhluk lain. Manusia
menafsirkan gejala-gejala di sekelilingnya secara teologis, yaitu
dengan kekuatan-kekuatan roh dewa-dewa atau Tuhan Yang
Maha Kuasa. Tahap ini pun dibagi menjadi tiga periode. (a)
Periode Fetisisme, yaitu bentuk pemikiran masyarakat primitif
yang menaruh kepercayaan atas roh-roh atau bangsa halus yang
turut hidup bersama kita. Ini terlihat pada zaman purba, di mana
diadakan upacara penyembahan roh halus untuk meminta bantuan
maupun perlindungan. (b) Periode Politeisme, yaitu suatu periode
di mana masyarakat telah percaya akan bentuk para penguasa bumi,
yakni dewa-dewa yang terus mengontrol semua gejala alam. (c)
Periode Monoteisme, yaitu akibat semakin majunya pemikiran
manusia, pada periode terakhir ini muncul kepercayaan akan satu
yang tinggi pada abad pertengahan. Kepercayaan akan Tuhan yang
berkuasa penuh atas jagat raya, mengatur segala gejala alam dan
takdir makhluk.

2. Tahap metafisik
Tahap ini manusia menganggap bahwa dalam setiap gejala
terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya
akan dapat diungkap.

3. Tahap positif
Tahap ini merupakan puncak perkembangan masyarakat. Tahap ini
ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan karena manusia
sepenuhnya mempercayai dan menggunakan kemampuan akalnya
untuk memahami alam. Ilmu pengetahuan ini dibangun melalui
penelitian dan data empiris yang berguna dalam menemukan
hukum-hukum universal dan manusia masih terikat cita-cita tanpa
verifikasi karena ada kepercayaan bahwa setiap cita-cita terikat
pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan
hukum alam yang seragam.

Keterangan: setiap poin mendapatkan skor 10, bila seluruh dapat


di jawab 30
1.38 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

No. Jawaban Skor


3 Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang 15
positif, sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan
dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.

4 Karakteristik positivisme di atas dapat dirangkum dalam tiga poin, 15


antara lain; rasional, bebas nilai, menekankan kausalitas, serta
perumusan terhadap hukum sosial.

Keterangan: setiap poin mendapatkan skor 5, bila seluruh dapat


di jawab 15

5 Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis 20


yang menjadi dasar adanya masyarakat, sedangkan sosiologi
dinamis memusatkan perhatian mengenai perkembangan
masyarakat dalam arti pembangunan.

Keterangan: bila dapat menjawab secara keseluruhan


mendapatkan skor 20, bila hanya 1 mendapatkan skor 10

Rangkuman

Sosiologi merupakan ilmu tentang masyarakat. Sejumlah ilmuwan berusaha


menjelaskan hubungan antarmanusia melalui kehidupan bermasyarakat dan yang
sekarang di kenal sebagai ilmu sosiologi. Di Eropa, pertama kali terjadi pemikiran
terhadap konsep masyarakat yang lambat laun melahirkan ilmu yang dinamai sosiologi
tersebut.
Suatu disiplin atau studi mengenai masyarakat yang bertujuan untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Perubahan dalam
masyarakat Eropa yang terjadi pada akhir tahun 1800-an sampai dengan awal tahun
1900-an memunculkan sosiologi sebagai disiplin ilmu. Perubahan ini sering disebut era
modern. Era modern muncul karena ada tiga faktor, yaitu munculnya kota, para pemilik
modal dan masyarakat industri, adanya temuan kebudayaan yang berbeda, serta adanya
kekacauan politik dan intelektual.
Auguste Comte yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier
Comte lahir 19 Januari 1798 di Montpellier yang terletak di bagian selatan Prancis.
Sosiologi masih berumur relatif muda, yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi
untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering
disebut sebagai bapak sosiologi.
Sebagai buah pemikiran Comte, positivisme merupakan aliran filsafat yang
berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan
dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan
demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik
yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
PSOS4205/MODUL 1 1.39

Positivisme dalam pengertian di atas dan sebagai pendekatan telah dikenal


sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibnu al-Haytham dalam karyanya kitab
al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat
pertama kali dilakukan Comte. Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte yang
tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842) yang
diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Systeme de Politique
Positive yang masing-masing mewakili tahapan tertentu dalam jalan pemikirannya.

Tes Formatif 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Kapan lahirnya sosiologi di Eropa?


A. 1500-an – 1600-an
B. 1600-an – 1700-an
C. 1800-an – 1900-an
D. 2000-an – sekarang

2) Terlepas dari berbagai ide awal yang membentuk disiplin sosiologi, kelahiran
sosiologi terutama dilatarbelakangi oleh ….
A. perang dunia
B. revolusi industri
C. bencana alam
D. kelaparan

3) Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam
karya utamanya yang pertama dengan judul ….
A. The Polotics
B. A Cours of Positive Philosophy
C. The Law
D. Systeme de Politique Positive

4) Positivisme merupakan buah karya seorang ilmuwan, yaitu ….


A. Comte
B. Socrates
C. Plato
D. Aristoteles
1.40 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

5) Di sisi lain, lahirnya positivisme tak lepas dari peristiwa Renaissance, muncul dua
mazhab besar pemikiran Eropa yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu ….
A. Idealisme dan Fragmantisme
B. Positivisme dan Negativisme
C. Rasionalisme dan Empirisme
D. Kapitalisme dan Liberalisme

6) Kepercayaan akan Tuhan yang berkuasa penuh atas jagat raya, mengatur segala
gejala alam dan takdir makhluk adalah periode ….
A. Fetisisme
B. Politeisme
C. Monoteisme
D. Modernisme

7) Tahap ini manusia menganggap bahwa dalam setiap gejala terdapat kekuatan-
kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkap. Tahap
tersebut adalah ….
A. teologis
B. metafisik
C. positif
D. negatif

8) Positivisme sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dalam kitab Al-
Manazhir yang pernah digunakan oleh?
A. Ibnu al-Haytham
B. Karl Marx
C. Ibnu Khaldun
D. Max Webber

9) Tiga hal yang menjadi ciri pengetahuan yang dibangun, kecuali ….


A. membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan
B. mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang
menguasai mereka
C. memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan
hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat
D. mengubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh, dan
berkembang
PSOS4205/MODUL 1 1.41

10) Empirisme berkeyakinan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman manusia


(aposteriori), hal tersebut dikembangkan oleh?
A. John Locke
B. Rene Descartes
C. Thomas Hobbes
D. Comte

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat Penguasaan = x 100
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan

<70% 70% - 79% 80% - 89% 90% - 100%

kurang cukup baik baik sekali

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan
dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi
materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
1.42 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Kegiatan
Belajar
Sosiologi Sesudah Auguste
Comte 3
S epeninggal Auguste Comte, Sosiologi kian berkembang pesat yang ditandai oleh
munculnya berbagai tokoh kajian mengenai masyarakat (sosiologi), seperti Karl
Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Ketiga tokoh inilah yang kemudian “didaulat”
sebagai peletak awal teori-teori sosiologi. Jelas dan tegasnya, ketiga tokoh tersebut
diakui sebagai para pemikir sosiologi dalam tataran “klasik”. Apakah Anda sudah
mengenal pemikiran dari ketiga tokoh tersebut? Mari kita pelajari satu persatu dari
ketiga tokoh sosiologi klasik tersebut.

A. KARL MARX (1818-1883)

Karl Marx lahir di Jerman pada tahun 1818, semasa muda ia melakukan studi
pada banyak disiplin ilmu, dari sejarah, hukum, ekonomi hingga filsafat. Karya-karya
yang dihasilkannya kemudian mencakup berbagai ranah disiplin ilmu. Hal tersebutlah
yang kemudian menyebabkan Marx tak dapat sekedar dicap sebagai seorang sosiolog,
ekonom atau sejarawan, melainkan lebih tepatnya sebagai seorang “filsuf”. Marx
merupakan seorang aktivis kenamaan kaum buruh, bahkan ia didaulat sebagai “nabi
kaum buruh”. Melalui buah karyanya yang berjudul Das Kapital dan Manifesto Komunis,
Marx memberikan landasan pergerakan bagi kaum buruh guna menentang kesewenang-
wenangan kaum borjuis (majikan/pemilik modal/pemilik pabrik). Dalam hal ini, Marx
memang meletakkan “ekonomi” sebagai perihal terpenting dalam kajiannya.
PSOS4205/MODUL 1 1.43

Sumber: http://www.babelio.com/users/AVT_Karl-Marx_4590.jpeg

Gambar 1.10
Karl Marx Peletak Dasar Teori Kelas

Salah satu sumbangan penting Marx dalam sosiologi adalah teori kelas. Menurut
Marx, masyarakat selalu terpecah (tersekat) dalam kelas-kelas yang bertautan erat
dengan status ekonomi, yakni kelas borjuis (ekonomi atas/majikan/pemilik modal)
dengan kelas proletar (ekonomi bawah/buruh/ tak bermodal). Dalam Das Kapital, Marx
menegaskan bahwa kelas borjuis selalu berusaha melanggengkan kekuasaan dengan
jalan apapun, bahkan dengan menggunakan legitimasi agama (gereja). Ajaran agama
yang mengatakan bahwa kehidupan miskin di dunia merupakan takdir yang tak dapat
diubah dan bakal menghasilkan surga di akhirat kelak. Hal demikian itu, menurut
Marx hanyalah siasat kaum borjuis agar kaum buruh tidak melakukan perlawanan
dan pemberontakan yang nantinya bakal mengancam kekuasaan. Oleh karenanya,
Marx mengatakan bahwa “agama adalah candu”. Artinya, agama ibarat opium yang
memberikan ketenangan serta kedamaian “palsu”.
Marx melihat masyarakat dalam kaca mata konflik, masyarakat bukanlah suatu
kumpulan individu yang harmonis, melainkan penuh dengan pergolakan dan intrik guna
memperebutkan kekuasaan di dalamnya. Lebih jauh, dalam Das Kapital ia menegaskan
bahwa sejarah umat manusia merupakan sejarah pertumpahan darah: konflik, kudeta,
perang, dan lain sejenisnya. Terkait ranah disiplin sosiologi, pemikiran Marx mengenai
kelas sosial di atas, pada gilirannya terangkum dalam sebentuk kajian mengenai
stratifikasi sosial yang melatarbelakangi munculnya teori konflik dalam sosiologi.
Marx dikenal sebagai salah seorang pemikir besar Eropa, ia memiliki metode
belajar yang unik semasa hidupnya. Kerap kali ia menjadi “orang tak berguna”
selama dua hari; mabuk-mabukan, malas-malasan, dan melakukan berbagai kegiatan
tak berguna lainnya, namun untuk lima hari ke depan ia dapat belajar seperti orang
“kesetanan”; terus membaca buku, menulis, bangun pukul delapan pagi dan baru tidur
pukul dua pagi.
1.44 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Marx mengakui bahwa manusia lahir dalam era zaman yang berbeda-beda. Hal
tersebut merupakan cara dan hubungan pengeluaran melalui tahap perkembangan kuasa-
kuasa produk material yang berbeda-beda. Setiap cara pengeluaran digambarkan dengan
penguasaan kuasa produktif yang khusus dan satu bentuk hubungan sosial yang awalnya
berfungsi untuk membangunkan kuasa tersebut. Aspek utama dalam hubungan tersebut
adalah hubungan harta yang akan mewujudkan kelas-kelas sosial. Hal itu muncul dua
kelas utama berasaskan jenis-jenis harta yang mempengaruhi pengeluaran keperluan
hidup. Satu kelas akan menguasai harta tersebut, manakala kelas tersebut digunakan
untuk menghasilkan kekayaan daripada harta tersebut (McClelland, 1971:93).
Pandangan sejarah Marx yang dianggap penting oleh pendukung aliran Marxisme
adalah teori perjuangan kelas (Struggle of Classess). Dalam permulaan karya The
Communist Manifesto (1972:241), Marx telah mengungkap bahwa:

The history of all hitherto existing societies is the history of class struggles.
Freeman and slave, patrician and plebeian, lord and serf, guild-master and
journeyman, in a word, oppressorand oppressed, stood in constant opposition to
one another, carried on an interrupted, now hidden, now open fight, a fight that
each time ended in a revolutionary reconstruction of society at large, or in the
common ruin of the contending classes.

Menurut Marx, kelas-kelas tersebut merupakan kumpulan asas sosial yang


menggeret konflik masyarakat di dalamnya dan memberi kesan kepada perubahan
substruktur ekonomi mereka. Lantaran itu, satu kelas mampu mengenal pasti
kepentingannya di dalam masyarakat secara menyeluruh melalui revolusi-revolusi
yang telah berlaku sebelum ini. Kenyataan Marx tersebut menggambarkan sejarah
umat manusia diwarnai oleh perjuangan atau pertarungan antara kelompok-kelompok
manusia. Marx sendiri mengakui perjuangan kelas atau revolusi yang tercetus bukan
bermula sebagai satu kelas masyarakat, tetapi ia berfungsi sebagai wakil masyarakat
untuk mengemukakan tuntutan dan manfaat bersama dalam masyarakat (McClelland,
1977:169).
Kemunculan Marxisme berawal dari tulisan-tulisan Karl Marx. Dalam arti
luas, Marxisme berarti paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx.
Pandangan-pandangan ini mencakup ajaran Marx mengenai materialisme dialektis dan
materialisme historis, serta penerapannya dalam kehidupan sosial (Bagus, 2000:575).
Marxisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19, dengan semua
ketidakadilan, eksploitasi manusia, khususnya kelas bawah/kelas buruh. Menurut analisis
Marx, kondisi-kondisi dan kemungkinan-kemungkinan teknis sudah berkembang dan
mengubah proses produksi industrial, tetapi struktur organisasi proses produksi dan
struktur masyarakat masih bertahan pada tingkat lama yang ditentukan oleh kepentingan-
kepentingan kelas atas. Jadi, banyak orang yang dibutuhkan untuk bekerja, tetapi hanya
sedikit yang mengemudikan proses produksi dan mendapat keuntungan. Karena maksud
kerja manusia yang sebenarnya adalah menguasai alam sendiri dan merealisasikan cita-
cita dirinya sendiri, sehingga terjadi keterasingan manusia dari harkatnya dan dari buah/
PSOS4205/MODUL 1 1.45

hasil kerjanya. Karena keterasingan manusia dari hasil kerjanya terjadi dalam jumlah
besar (kerja massa) dan global, pemecahannya harus juga bersifat kolektif dan global.
Berbeda dengan model-model sosialisme lama, Marxisme menyatakan dirinya
sebagai “sosialisme ilmiah”. Untuk mendukung klaim tersebut, Marx mendasarkan
pada penelitian syarat-syarat objektif perkembangan masyarakat. Marx menolak
anggapan dasar sosialisme pada pertimbangan-pertimbangan moral. Materialisme
sejarah merupakan dasar bagi sosialisme ilmiah tersebut. Marx yakin bahwa ia telah
menemukan hukum objektif perkembangan sejarah. Objek pencarian materialisme
historis adalah hukum-hukum gerakan dan perkembangan masyarakat insani yang
paling universal. Marx menciptakan suatu pemahaman sejarah menjadi seperti sains
yang pasti dan eksak. Karena hal itulah Marx menyatakan bahwa sosialismenya bersifat
ilmiah karena berdasarkan pada pengetahuan hukum-hukum objektif perkembangan
masyarakat (Suseno, 2001:136-137).
Marxisme pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu penafsiran terhadap
perubahan proses-proses dalam masyarakat, akan tetapi merupakan sebuah teori yang
menyatakan bahwa hukum objektif perkembangan masyarakat dapat ditetapkan sama
seperti halnya penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga bisa
bersifat pasti dan universal. Dengan mengajukan sosialisme ilmiah sebagai penerapan
hukum dasar alam pada masyarakat, teori Marx seakan-akan dibenarkan oleh ilmu-ilmu
alam, karena memiliki objektivitas seperti ilmu-ilmu alam (Suseno, 2001:136-137).
Filsafat Karl Marx merupakan salah satu filsafat yang paling berpengaruh di
dalam perkembangan sejarah. Kemampuan gagasan Marx untuk berdialektika dengan
zaman, menjadikannya pemikir yang tidak pernah sepi dari kritikan dan pujian atasnya.
Namun, apapun tanggapan dunia terhadapnya, kehadirannya telah menggerakkan
kesadaran kelompok buruh, budak, dan aktivis sosialis untuk mengorganisir diri dan
berjuang mewujudkan perubahan.
Pendapat Karl Marx tentang tujuan akhir berupa masyarakat tanpa kelas,
sebenarnya merupakan suatu yang paradoks dengan konsep dialektis itu sendiri.
Mengapa demikian? Dialektisisme merupakan sebuah proses yang terus-menerus
sehingga tidak akan tercipta kemandegan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
mungkin masyarakat tanpa kelas akan terwujud? Bukankah dalam proses bermasyarakat
tetap harus ada pembagian kerja? Teori masyarakat tanpa kelas Marx memang semacam
utopisme yang penuh paradoks dalam teori-teorinya. Pandangan Marx tentang sejarah
yang saintifik telah mereduksi kemanusiaan. Manusia hanya menjadi korban dari
barang-barang produksi dan tidak lagi memiliki independensi.

B. MAX WEBER

Max Weber lahir di Jerman pada tahun 1864, ia tumbuh besar di keluarga serba
berkecukupan, di mana ayahnya menempati posisi prestisius dalam pemerintahan
Jerman kala itu. Layaknya Marx, semasa muda Weber menggeluti berbagai disiplin
ilmu, ia mempelajari hukum, ekonomi, sejarah, agama, sosiologi hingga filsafat. Karya-
1.46 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

karyanya yang merambah berbagai disiplin ilmu di kemudian hari menyebabkannya


dianugerahi gelar sebagai “genius universal”, suatu gelar terhormat yang sebelumnya
dipegang oleh Aristoteles. Gelar tersebut disematkan pada mereka yang telah berhasil
menyerap berbagai ilmu yang ada di zamannya.

Sumber: http://www.motorera.com/theology/wpic/weber.jpg

Gambar 1.11
Max Webber Dianugerahi Gelar sebagai “Genius Universal”, karena Karya-Karyanya
yang Merambah berbagai Disiplin Ilmu

Pada usia 18 tahun, Weber meninggalkan rumah untuk sementara waktu dan
melanjutkan studinya di Universitas Heidelberg. Di sana secara sosial ia berkembang
layaknya karier sang ayah dalam organisasi. Dengan cara seperti ini, ia telah mengikuti
jejak ayahnya dalam bidang hukum. Setelah 3 tahun belajar, Weber meninggalkan
universitas tersebut, dan pada tahun 1884 ia kembali ke rumah orang tuanya untuk
melanjutkan studi di Universitas Berlin.
Weber mendapatkan gelar doktor dari Universitas Berlin, menjadi ahli hukum dan
salah satu dosen di universitas tersebut. Selain itu, ia juga mendalami bidang ekonomi,
sejarah, dan sosiologi. Pada tahun 1896, ketekunannya dalam bekerja menghantarkan
dirinya pada posisi profesor ekonomi Universitas Heidelberg. Mengikuti jejak ibunya,
Weber menjadi seorang yang asketis dan rajin (baca: pekerja keras).
Mengenal Max Weber bagi mereka yang menyelami ranah keilmuan sosial-
humaniora merupakan suatu keharusan. Sebagaimana kita ketahui, fungsionalisme
Weber telah memberikan pandangan yang begitu berbeda terhadap nomena dan
fenomena sosial. Kehidupan sosial masyarakat modern sebagaimana dipaparkan Weber
memiliki karakteristik “struktur” di dalamnya. Baginya, dunia sebagaimana adanya kita
saksikan melalui karakteristik struktur sosial: perubahan terjadi karena dinamika dari
sistem dan teori-teori mengenai sistem ini menjelaskan bagaimana sistem ini bekerja,
dan bagaimana perubahan itu terjadi (Jones, 2009:113). Bagi penganut fungsionalisme,
keadaan mental manusia sangatlah menentukan lingkungan di sekitarnya. Dengan
kata lain, dunia sebagaimana yang kita saksikan sekarang adalah perwujudan dari
social action ‘tindakan sosial’. Semua hal yang dilakukan oleh manusia didasari pada
keinginan yang dikehendakinya.
PSOS4205/MODUL 1 1.47

Terkait pemahaman Weber akan tindakan sosial, ia lebih cenderung menjadikan


individu sebagai fokus kajiannya. Weber sempat berkata:

“Saya menjadi sosiolog yang akan mengakhiri konsep-konsep kolektivistik.


Dengan kata lain, sosiologi pun hanya dapat dipraktikkan dengan memulai dari
satu atau beberapa tindakan dari sedikit atau banyak individu, ini berarti dengan
menggunakan metode ‘Individualis’ secara ketat.” (Roth, 1976:306).

Dengan mengetahui latar belakang Weber dalam mengkaji masyarakat, kini kita
akan memahami definisi sosiologi yang dikemukakannya:

“Sosiologi . . . adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman


interpretatif atas tindakan sosial dan pada penjelasan kausal atas proses dan
konsekuensi tindakan tersebut.” (1921/1968:4).

Dapat disimpulkan bahwa, dalam definisi ini Weber (Ritzer dan Douglas,
2010:136), menganggap bahwa sosiologi haruslah berupa sebuah ilmu, dan sosiologi
harus memusatkan perhatian pada kausalitas (hubungan sebab akibat), serta sosiologi
harus menggunakan pemahaman interpretatif (vertehen).
Weber menjelaskan bahwa kenyataan sosial lahir dengan tak terlepas dari
pemahamannya mengenai motivasi individu dan tindakan sosial. Metode yang
dinamakannya vertehen berupaya mendapatkan pemahaman yang valid mengenai arti
subjektif tindakan sosial. Dalam metode ini, yang dibutuhkan adalah “empati” atau
kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang yang melakukan
tindakan (aktor/subjek) (Suyanto, 2004:40-41). Bagi Weber, dunia sebagaimana
kita saksikan terwujud karena tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu karena
mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu tersebut, guna mencapai apa yang
dikehendakinya, barulah kemudian mereka memilih tindakan (Jones, 2009:114).Secara
tak sadar, masyarakat adalah “hasil akhir” dari interaksi manusia. Interaksi tersebut
berasal dari tataran interaksi individu (micro).
Fokus kajian Weber, yakni social action, muncul dari stimulus atau respons
atas suatu perilaku manusia yang menjalankan fungsinya sebagai anggota dalam
masyarakat. Secara tak langsung, tindakan ini lebih bersifat subjektif pada tindakan
yang dilakukan aktor dalam lingkungan masyarakat. Mereka reaktif dan dikondisikan,
bukan produk pengambilan keputusan kreatif yang sukarela (voluntary) (Ritzer dan
Douglas, 2010:136). Bagi Weber, tugas analisis sosiologi terdiri atas “penafsiran
tindakan menurut makna subjektifnya”. Beberapa contoh yang tampak terlihat jelas
dalam masyarakat adalah tindakan ekonomis. Weber menyebutnya sebagai:

“Orientasi-orientasi sadar dan primer ke arah pertimbangan ekonomis .... karena


yang dipersoalkan bukanlah keharusan subjektif untuk melakukan pertimbangan
ekonomis, namun keyakinan bahwa hal ini diperlukan” (1921/1968:64).
1.48 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Contoh sederhana tindakan ekonomis sehari-hari semisal tukang pos yang


menghantarkan surat pada beberapa rumah sesuai dengan alamat yang tertera.
Melalui kedua tipe metodologi yang dikenalkan Weber, fokus kajian tersebut
kemudian berkembang ke dalam empat tipe tindakan dasar yang ia sebut dengan;
traditional action, affectual action, instrumental rational, dan value rational action.
Perihal tersebut terkait erat dengan kajiannya mengenai dimensi rasionalitas. Menurut
Weber, tindakan rasional merupakan suatu tindakan atau pertimbangan yang dilakukan
secara sadar dan terpilih (Purwanto, 2007:134). Beberapa tindakan rasional yang
dimaksud adalah:
Pertama, traditional action ‘tindakan tradisional’, adalah tindakan yang
diulang secara teratur, menjadi kebiasaan, tidak menjadi persoalan kebenaran dan
keberadaannya. Tindakan semacam ini adalah tindakan warisan yang diturunkan
dari generasi yang lalu atau berlaku secara turun-temurun. Tindakan tradisional tidak
menghasilkan suatu masalah besar bagi pelakunya. Sebuah gambaran dari tindakan
orang Jawa, “Saya melakukan ini, karena Nenek saya mengajarkan demikian”. Hal ini
bisa dimisalkan dengan kebiasaan orang Jawa yang selalu mendahulukan mereka yang
tua, ketimbang yang muda—penghormatan. Selain itu, dalam tradisi berkomunikasi ala
Jawa, seseorang yang lebih muda diharuskan menggunakan bahasa yang sopan sebagai
simbol penghormatan dan penghargaan atas mereka yang lebih tua.
Kedua, affectual action ‘tindakan afeksi’, tindakan ini didasarkan pada sentiment
atau emosi yang dimiliki seseorang. Tergambar dari beberapa tindakan seperti gembira,
marah atau takut. Hal ini akan mempengaruhi tindakan atau respons orang dalam
melakukan suatu tindakan. Contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat dimisalkan dengan
orang yang tengah jatuh cinta, akan merasa nyaman jika sang kekasih di sampingnya.
Tetapi, hal ini akan berubah berbeda bilamana sedang terjadi gejolak di antara mereka
atau bertengkar dengan pasangannya.
Ketiga, instrumentally rational action, tindakan yang pada dasarnya dilakukan
mengingat eksistensinya kepentingan maupun tujuan tertentu. Dengan kata lain, tindakan
yang dilakukan oleh seseorang didasarkan pada pertimbangan dan pilihan yang secara
sadar dipilih untuk mencapai sebuah tujuan. “Jalan pintas dianggap pantas”, mungkin
sudah cukup mencerminkan kebiasaan orang Indonesia dalam bertindak. Mereka
beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan adalah tindakan efisien dan efektif untuk
mencapai tujuan. “Inilah cara terbaik untuk mencapainya, dan inilah jalur paling aman
untuk mencapainya”. Begitu pula dengan kebiasaan orang-orang untuk mencapai tujuan
dalam bekerja maupun aktivitas lainnya.
Keempat, value rational action ‘tindakan rasionalitas nilai’. Tindakan semacam
ini terkait dengan komitmen yang dilakukan dengan penuh kesadaran berikut tak
lepas dari nilai-nilai agama, hukum, juga berbagai bentuk nilai lainnya. Misalnya,
pembelaan Weber terhadap kaum buruh yang ditindas oleh kaum pemilik modal (baca:
kapitalis/borjuis). Secara tidak langsung, tindakan yang dilakukan Weber adalah demi
mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial. Contoh lain, hal yang biasa dilakukan orang
muslim dalam menjalankan ibadahnya. Seorang muslim menganggap bahwa sholat
PSOS4205/MODUL 1 1.49

adalah hal yang harus dilakukan, jika dengan sengaja meninggalkannya, maka akan
memperoleh dosa.
Dari keempat bentuk tindakan di atas, pada dasarnya Weber mengetahui bahwa
faktual tindakan terdiri atas percampuran atau kombinasi antara tindakan yang dilakukan
oleh actor. Berpijak melalui hal ini, Weber telah mewariskan pemahamannya mengenai
tindakan sosial. Ada penekanan khusus yang ia lakukan dalam menanggapi fenomena
sosial, yakni lebih mengutamakan rational dari pada suatu tindakan yang dilakukan atas
dasar tradisi atau perasaan belaka.
Sumbangan Weber dalam disiplin sosiologi cukup besar, ia melakukan kajian
terhadap organisasi, birokrasi, kelas sosial, pola pikir manusia modern berupa
rasionalitas hingga kajian mengenai agama-agama dunia berikut pengaruhnya bagi
para pemeluknya. Terdapat satu hal menarik dari Weber, meskipun ia dikenal sebagai
seorang sosiolog, namun ia tak mengakui keberadaan masyarakat, “There is no thing
such social”, tegasnya. Menurutnya, masyarakat tidaklah ada, yang ada hanyalah
“kumpulan individu dengan kepentingannya masing-masing”. Dengan demikian, tegas
Weber, objek studi sosiologi bukanlah masyarakat, melainkan lebih kepada individu
yang kemudian membentuk masyarakat. “Setiap individu memiliki karakter dan sifat
yang begitu khas serta unik satu sama lain, dengan demikian terlalu mustahil dileburkan
ke dalam satu kesatuan yang dinamakan masyarakat”.

C. EMILE DURKHEIM (1858-1917)

Emile Durkheim dilahirkan di kota Epinal (Prancis Timur Laut) tanggal 15 April
1858. Durkheim berasal dari latar belakang keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang
Rabbi Yahudi. Sejak awal dia telah dipersiapkan ayahnya untuk meneruskan tradisi
keluarga mereka. Namun, Durkheim yang sangat dipengaruhi oleh gurunya seorang
penganut Katolik malah mengalihkan perhatiannya ke agama Katolik. Pengaruh inilah
yang menambah ketertarikannya terhadap masalah-masalah agama, meskipun gurunya
tidak dapat menjadikannya seorang yang beragama sebab sejak muda Durkheim telah
menyatakan dirinya sebagai seorang agnostis (Pals, 2003:131).
Kemudian Durkheim menempuh pendidikan di sekolah menengah dan pada usia
21 tahun ia diterima di Ecole Normale Superiure. Di sekolah ini ia diterima setelah tiga
kali mengikuti ujian masuk. Pengalamannya selama belajar di sekolah tersebut tidak
selalu menyenangkan karena pada dasarnya ia tidak suka program pendidikan yang
kaku. Durkheim merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di Ecole Normale yang
terlalu fokus pada kesusastraan klasik. Harapannya ialah pengajaran tentang doktrin-
doktrin moral dan ajaran-ajaran yang bersifat ilmiah. Hal ini menurutnya lebih relevan
untuk Prancis pada masa itu (Samuel, 2010:11).
1.50 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Sumber: http://d2hej51cni6o0x.cloudfront.net/images/magill/0111207226-Durkheim.jpg

Gambar 1.12
Emile Durkheim Membangun Ilmu Sosiologi, sebagai Upaya Memisahkannya dengan
Ilmu Filsafat, Psikologi, dan Sejarah

Durkheim berupaya membangun ilmu sosiologi, sebagai upaya memisahkannya


dengan ilmu filsafat, psikologi, dan sejarah. Untuk itu, metodologi yang khas sosiologi,
yang tidak meniru metodologi ilmu lain, menjadi langkah pertama atau sebagai basis
dari upaya ini. Karena itulah, ia memandang penting untuk menyusun buku The Rules of
Sociological Method. Namun, sebelum membicarakan bagaimana melakukan studi atau
bagaimana mempelajarinya, ia menjelaskan terlebih dahulu apa itu fakta sosial. Fakta
sosial adalah inti perhatian Durkheim. Baginya, untuk mempelajari sebuah masyarakat
cukup dengan melihat fakta-fakta sosial yang terdapat di masyarakat tersebut. Untuk
menjelaskan sebuah fakta sosial haruslah dengan fakta sosial pula.
Fakta sosial menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Sebagai ilmu
baru yang sedang berupaya mengaktualisasikan diri, Durkheim berupaya menyatakan
bahwa ia berangkat dari realitas. Dengan kata lain, titik berangkat dan sifat analisisnya
tidak menggunakan pemikiran spekulatif (sebagaimana pada filsafat). Untuk memahami
realitas maka diperlukan penyusunan data riil yang ada dan hidup di luar pemikiran
manusia secara individual.
Dalam pandangan Durkheim, jika dua fenomena selalu terjadi secara bersamaan,
maka fenomena pertama adalah sebab atau akibat dari fenomena kedua. Karena sosiologi
tidak dapat melakukan eksperimen, yang dapat dilakukan adalah eksperimen tidak
langsung, atau dengan melakukan perbandingan. Metode perbandingan (comparative
method) merupakan metode yang paling cocok dalam sosiologi. Comte disebut belum
sepenuhnya menerapkan ini, karena Comte menggunakan metode historis. Selain itu,
Durkheim juga menyebutkan ada beberapa pandangan Comte yang ia terima terutama
konsep tentang positivisme dalam ilmu sosial.
Pada hakikatnya, penjelasan sosiologis secara eksklusif adalah mencari hubungan
kausalitas, yaitu menemukan berbagai hal yang terkait dengan suatu fenomena sosial,
baik dalam posisi sebagai penyebab ataupun sebagai akibat. Ada beberapa cara atau
PSOS4205/MODUL 1 1.51

metode yang dapat dipilih oleh seorang peneliti sosiologi untuk itu, yaitu dengan
penelitian tunggal pada satu masyarakat atau dengan melakukan perbandingan.
Intinya adalah mencari penjelasan kausalitas, yaitu mencari fenomena yang berkaitan
sebagai penyebab suatu fenomena. Dalam buku ini Durkheim mempertegas bahwa
pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan
pada individualisme. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang
dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial
atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.
Berseberangan dengan Karl Marx, Durkheim melihat masyarakat dalam kaca
mata penuh harmonis, ia mengandaikan masyarakat sebagai sebuah organ yang saling
membutuhkan satu sama lain. Ketika satu organ sehat, maka keseluruhannya pun sehat.
Sebaliknya, ketika salah satu organ saja terganggu, maka keseluruhan organ pun bakal
terganggu dan tak berjalan semestinya. Di satu sisi, pemikirannya pun bertentangan
dengan Weber, jika Weber menganggap individu sebagai objek kajian sosiologi, maka
Durkheim menganggap masyarakatlah objek kajian sosiologi yang sesungguhnya.
Pemikiran Durkheim tersebut kerap diistilahkan dengan realisme sosial (masyarakat
sebagai suatu hal yang nyata/fakta).
Menurut Emile Durkheim, perkembangan masyarakat meliputi banyak perubahan-
perubahan yang terjadi pada berbagai komponen masyarakat. Suatu perubahan yang
sangat penting menyangkut suatu proses urutan dari pertambahan kepadatan penduduk
yang disebabkan oleh meningkatnya interaksi dan komunikasi, yang mengakibatkan
semakin meningkatnya spesialisasi dalam pembagian kerja. Durkheim mempergunakan
variasi pembagian kerja sebagai dasar untuk membuat klasifikasi masyarakat, sesuai
dengan taraf perkembangannya. Dia lebih cenderung menggunakan dua taraf klasifikasi,
yaitu yang sederhana dan kompleks. Tipe-tipe pembagian kerja tersebut dihubungkan
dengan tipe-tipe solidaritas. (Soekanto, 1982:190). Coba Anda diskusikan bersama
teman belajar bagaimana hubungan antara tipe-tipe pembagian kerja dengan tipe
solidaritas.
Apabila dalam pembagian kerja terdapat sedikit diferensiasi, maka solidaritas
didasarkan pada homogenitas. Artinya, masyarakat sebenarnya sejenis atau sama.
Dengan perkataan lain, masyarakat mempunyai cita-cita dan nilai-nilai yang sama.
Kepribadian dari masing-masing merupakan pencerminan mikroskopis dari masyarakat.
Oleh karena itu, maka secara relatif tidak terdapat kualitas-kualitas pribadi yang dapat
memisahkan pribadi dari kolektiva. Durkheim menyebut solidaritas tersebut dengan
solidaritas mekanis. Intinya solidaritas mekanis didasarkan pada homogenitas moral
dan sosial, sehingga berciri tradisional, nonindividualistik (komunal), keadilan kolektif,
properti bersifat komunal, kehendak komunitas mendominasi kehendak individu,
kekerabatan, lokalisme, dan sakral.
Sumbangan besar Durkheim dalam sosiologi adalah kajiannya mengenai
perbedaan mendasar antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern ditinjau
melalui perspektif (sudut pandang) solidaritas di dalamnya. Menurutnya, terdapat dua
bentuk solidaritas masyarakat, yaitu:
1.52 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

1. Solidaritas mekanik
Solidaritas atau persatuan masyarakat yang disebabkan oleh kesamaan hal di
dalamnya. Bentuk solidaritas ini dapat ditemui dalam masyarakat primitif atau
tradisional (pedesaan).
Contoh: masyarakat pedesaan yang disatukan oleh mata pencaharian yang sama,
yakni bertani bersama-sama menanam dan memanen padi.
2. Solidaritas organik
Solidaritas atau persatuan masyarakat yang disebabkan oleh berbagai hal berbeda
di dalamnya. Solidaritas organik ditemui pada tatanan masyarakat modern
(perkotaan).
Contoh: seorang dokter membutuhkan keahlian seorang montir untuk
memperbaiki kendaraannya dan begitu pula sebaliknya, seorang montir
membutuhkan dokter ketika tengah sakit.

Sebagaimana telah diuraikan secara singkat sebelumnya, ternyata ditemui


perbedaan pemikiran antara satu tokoh sosiologi dengan tokoh lainnya, dalam hal
ini antara Emile Durkheim dengan Max Weber. Apabila Durkheim mengakui bahwa
masyarakat adalah suatu kenyataan, fakta atau realitas serta menjadi objek kajian dalam
sosiologi. Tak demikian halnya dengan Weber, ia menganggap bahwa individulah yang
nyata serta menjadi objek studi sosiologi.
Dapatlah dipertegas kiranya, perdebatan di atas menunjuk pada permasalahan
objek kajian dalam sosiologi: masyarakat ataukah individu. Perdebatan atau perbedaan
objek kajian tersebutlah yang kemudian menyebabkan sosiolog Amerika Serikat, George
Ritzer merumuskan berbagai aliran yang terdapat dalam sosiologi melalui bukunya
The Multiple Paradigm of Sociology (Sosiologi Ilmu dengan Multi-Paradigma).
Menurutnya, terdapat tiga aliran atau paradigma dalam sosiologi antara lain aliran fakta
sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.
Pemikiran Emile Durkheim mengenai evolusi masyarakat, yakni dari masyarakat
dengan solidaritas mekanik yang primitif di mana komunitas yang homogen hidup
bersama tumbuh menuju solidaritas organis. Masyarakat dengan solidaritas organis
ditandai oleh keadaan masyarakat yang semakin heterogen di mana setiap orang lebih
individual, dan hubungan sosial yang terjalin didasari kebutuhan dasar tiap orang.
Kondisi dimaksud adalah yang menekan kompetisi dan meningkatkan kerja sama
secara individual sehingga kebutuhan tetap dapat dipenuhi, dan individu yang berbeda-
beda dapat hidup berdampingan. Hal tersebut kemudian dikenal dengan istilah ‘Sistem
Pembagian Kerja’.
PSOS4205/MODUL 1 1.53

Latihan

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah


latihan berikut!

1) Salah satu sumbangan penting Marx dalam sosiologi adalah teori kelas. Coba
jelaskan apa yang di maksud dengan teori kelas!
2) Sumbangan Weber dalam disiplin sosiologi cukup besar, terhadap apa kajian
yang telah dilakukan oleh Marx Webber? Coba jelaskan!
3) Durkheim berupaya membangun ilmu sosiologi, sebagai upaya memisahkannya
dengan ilmu filsafat, psikologi, dan sejarah. Untuk itu, metodologi yang khas
sosiologi, yang tidak meniru metodologi ilmu lain, menjadi langkah pertama atau
sebagai basis dari upaya ini. Berfokus pada apakah penelitian sosiologi? jelaskan
secara rinci dan jelas!
4) Sumbangan besar Durkheim dalam sosiologi adalah kajiannya mengenai
perbedaan mendasar antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern
ditinjau melalui perspektif (sudut pandang) solidaritas di dalamnya. Menurutnya,
terdapat dua bentuk solidaritas masyarakat, sebutkan dua bentuk solidaritas
masyarakat menurut Durkheim dan jelaskan!
5) Mengapa sosiologi menjadi ilmu yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
masyarakat di Eropa pada 1800-an sampai 1900-an? Dan apa yang membuat
sosiologi terus berkembang hingga saat ini?

Petunjuk Jawaban Latihan

No. Jawaban Skor


1 Menurut Marx, kelas-kelas tersebut merupakan kumpulan asas 20
sosial yang menggeret konflik masyarakat di dalamnya dan
memberi kesan kepada perubahan substruktur ekonomi mereka.
Lantaran itu, satu kelas mampu mengenal pasti kepentingannya
di dalam masyarakat secara menyeluruh melalui revolusi-
revolusi yang telah berlaku sebelum ini. Kenyataan Marx tersebut
menggambarkan sejarah umat manusia diwarnai oleh perjuangan
atau pertarungan antara kelompok-kelompok manusia.

Keterangan: bila menjawab hal di atas sudah mendapat skor


maksimal
1.54 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

No. Jawaban Skor


2 Terkait pemahaman Weber akan tindakan sosial, ia lebih cenderung 20
menjadikan individu sebagai fokus kajiannya. Weber sempat
berkata, “Saya menjadi sosiolog yang akan mengakhiri konsep-
konsep kolektivistik. Dengan kata lain, sosiologi pun hanya dapat
dipraktikkan dengan memulai dari satu atau beberapa tindakan
dari sedikit atau banyak individu, ini berarti dengan menggunakan
metode ‘Individualis’ secara ketat.”

Keterangan: bila menjawab hal di atas sudah mendapat skor


maksimal
3 Fakta sosial adalah inti perhatian Durkheim. Baginya, untuk 20
mempelajari sebuah masyarakat cukup dengan melihat fakta-fakta
sosial yang terdapat di masyarakat tersebut. Untuk menjelaskan
sebuah fakta sosial haruslah dengan fakta sosial pula. Fakta sosial
menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi.

Keterangan: bila menjawab hal di atas sudah mendapat skor


maksimal
4 1. Solidaritas mekanik 20
Solidaritas atau persatuan masyarakat yang disebabkan oleh
kesamaan hal di dalamnya. Bentuk solidaritas ini dapat ditemui
dalam masyarakat primitif atau tradisional (pedesaan).
Contoh: masyarakat pedesaan yang disatukan oleh mata
pencaharian yang sama, yakni bertani bersama-sama menanam
dan memanen padi.
2. Solidaritas organik
Solidaritas atau persatuan masyarakat yang disebabkan oleh
berbagai hal berbeda di dalamnya. Solidaritas organik ditemui
pada tatanan masyarakat modern (perkotaan).
Contoh: seorang dokter membutuhkan keahlian seorang montir
untuk memperbaiki kendaraannya dan begitu pula sebaliknya,
seorang montir membutuhkan dokter ketika tengah sakit.

Keterangan: setiap poin mendapatkan skor 10, bila seluruh dapat


di jawab 20
PSOS4205/MODUL 1 1.55

No. Jawaban Skor


5 a. Pada awalnya sosiologi lahir karena adanya perubahan dalam 20
masyarakat Eropa yang terjadi pada akhir tahun 1800-an sampai
dengan awal tahun 1900-an. Perubahan ini sering disebut era
modern. Era modern muncul karena ada tiga faktor, yaitu
munculnya kota, para pemilik modal dan masyarakat industri,
adanya temuan kebudayaan yang berbeda, serta adanya kekacauan
politik dan intelektual.
b. Terlepas dari berbagai ide awal yang membentuk disiplin
sosiologi di atas, kelahiran sosiologi terutama dilatarbelakangi
oleh Revolusi Industri pada abad 19 yang membawa berbagai
dampak negatif terhadap masyarakat. Sejak ditemukannya mesin
uap oleh James Watt, dimulailah periode industrialisasi di Eropa.
Penggunaan mesin-mesin pada berbagai pabrik yang ada di Eropa
menyebabkan kian tingginya angka pengangguran yang kemudian
berdampak pula pada kian banyaknya pemukiman kumuh, serta
meningkatnya angka kriminalitas.

Keterangan: bila dapat menjawab salah satu poin di atas


mendapatkan skor 20

Rangkuman

Setelah era Auguste Comte, Sosiologi sebagai salah satu disiplin ilmu sosial
semakin berkembang yang ditandai oleh munculnya berbagai tokoh yang melanjutkan
pemikiran-pemikiran Comte mengenai masyarakat (sosiologi), seperti Karl Marx, Max
Weber, dan Emile Durkheim. Beberapa tokoh tersebutlah yang kemudian menjadi
peletak awal teori-teori sosiologi. Jelas dan tegasnya, ketiga tokoh tersebut diakui
sebagai para pemikir sosiologi dalam tataran “klasik”.
Karl Marx lahir di Jerman pada tahun 1818, salah satu sumbangan penting Marx
dalam sosiologi adalah teori kelas. Marx melihat masyarakat dalam kaca mata konflik,
masyarakat bukanlah suatu kumpulan individu yang harmonis, melainkan penuh dengan
pergolakan dan intrik guna memperebutkan kekuasaan di dalamnya. Pandangan Marx
yang dianggap penting oleh pendukung aliran Marxisme adalah teori perjuangan kelas
(Struggle of Classess). Dalam permulaan karya The Communist Manifesto (1972:241),
menurut Marx, kelas-kelas tersebut merupakan kumpulan asas sosial yang menggeret
konflik masyarakat di dalamnya dan memberi kesan kepada perubahan substruktur
ekonomi. Berbeda dengan model-model sosialisme lama, Marxisme menyatakan
dirinya sebagai “sosialisme ilmiah”.
Kemudian Max Weber lahir di Jerman pada tahun 1864, ia tumbuh besar di
keluarga serba berkecukupan di mana ayahnya menempati posisi prestisius dalam
pemerintahan Jerman kala itu. Terkait pemahaman Weber akan tindakan sosial, ia lebih
cenderung menjadikan individu sebagai fokus kajiannya. Webber menganggap bahwa
sosiologi haruslah berupa sebuah ilmu dan sosiologi harus memusatkan perhatian pada
1.56 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

kausalitas (hubungan sebab akibat), serta sosiologi harus menggunakan pemahaman


interpretatif (vertehen). Fokus kajian Weber, yakni social action, muncul dari stimulus
atau respons atas suatu perilaku manusia yang menjalankan fungsinya sebagai anggota
dalam masyarakat. Dengan demikian, tegas Weber, objek studi sosiologi bukanlah
masyarakat, melainkan lebih kepada individu yang kemudian membentuk masyarakat.
Dan yang terakhir Emile Durkheim dilahirkan di kota Epinal (Prancis Timur
Laut) tanggal 15 April 1858. Dalam pandangan Durkheim, jika dua fenomena selalu
terjadi secara bersamaan, maka fenomena pertama adalah sebab atau akibat dari
fenomena kedua, perkembangan masyarakat meliputi banyak perubahan-perubahan
yang terjadi pada berbagai komponen masyarakat. Sumbangan besar Durkheim dalam
sosiologi adalah kajiannya mengenai perbedaan mendasar antara masyarakat primitif
dengan masyarakat modern ditinjau melalui perspektif (sudut pandang) solidaritas
di dalamnya. Pemikiran Emile Durkheim mengenai evolusi masyarakat, yakni dari
masyarakat dengan solidaritas mekanik yang primitif di mana komunitas yang homogen
hidup bersama tumbuh menuju solidaritas organis.

Tes Formatif 3

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Sepeninggalnya Comte, muncullah berbagai tokoh-tokoh yang mengkaji


masyarakat, kecuali ….
A. Karl Marx
B. Max Webber
C. Emile Durkheim
D. Aristoteles

2) Selain sebagai seorang sosiolog, ekonom atau sejarawan, atau seorang “filsuf”.
Siapakah seorang aktivis kenamaan kaum buruh, yang bahkan didaulat sebagai
“nabi kaum buruh”?
A. Karl Marx
B. Max Webber
C. Emile Durkheim
D. Aristoteles

3) Kelas-kelas merupakan kumpulan asas sosial yang menggeret konflik masyarakat


di dalamnya dan memberi kesan kepada perubahan substruktur ekonomi,
pernyataan tersebut adalah ….
A. Positivism
B. Struggle of Classess
C. Cours of Positive Philosophy
D. Systeme de Politique Positive
PSOS4205/MODUL 1 1.57

4) Siapakah tokoh yang di anugerahi gelar Genius Universal?


A. Karl Marx
B. Max Webber
C. Emile Durkheim
D. Hebbert Spencer

5) Fokus kajian Weber dalam mendalami masyarakat, yaitu ….


A. Social Releationship
B. Social Organized
C. Social Action
D. Social Community

6) Menurut Weber, tindakan rasional merupakan suatu tindakan atau pertimbangan


yang dilakukan secara sadar dan terpilih. Beberapa tindakan rasional yang
dimaksud kecuali ….
A. Ttraditional Action
B. Affectual Action
C. Instrumentally Rational Action
D. Modern Action

7) Masyarakat sebagai sebuah organ yang saling membutuhkan satu sama lain.
Ketika satu organ sehat, maka keseluruhannya pun sehat. Sebaliknya, ketika
salah satu organ saja terganggu, maka keseluruhan organ pun bakal terganggu
dan tak berjalan semestinya. Pernyataan siapakah di atas?
A. Karl Marx
B. Max Webber
C. Emile Durkheim
D. Hebbert Spencer

8) Ada berapakah bentuk solidaritas masyarakat menurut Emile Durkheim?


A. 1
B. 2
C. 3
D. 4

9) Siapakah tokoh yang melembagakan sosiologi ke dalam disiplin ilmu akademis?


A. Karl Marx
B. Max Webber
C. Emile Durkheim
D. Hebbert Spencer
1.58 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

10) Apa yang dimaksud dengan value rational action?


A. Tindakan dengan penuh kesadaran yang tak lepas dari nilai-nilai agama,
hukum, juga berbagai bentuk nilai lainnya.
B. Tindakan yang pada dasarnya dilakukan mengingat eksistensinya
kepentingan maupun tujuan tertentu.
C. Tindakan ini didasarkan pada sentimen atau emosi yang dimiliki seseorang.
D. Tindakan yang diulang secara teratur, menjadi kebiasaan, tidak menjadi
persoalan kebenaran dan keberadaannya.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus
berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat Penguasaan = x 100
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan

<70% 70% - 79% 80% - 89% 90% - 100%

kurang cukup baik baik sekali

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan
dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi
materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.
PSOS4205/MODUL 1 1.59

Kunci Jawaban Tes Formatif


Tes Formatif 1 Tes Formatif 2 Tes Formatif 3
1) C 1) C 1) D
2) B 2) B 2) A
3) A 3) A 3) B
4) B 4) A 4) B
5) C 5) C 5) C
6) C 6) C 6) D
7) B 7) B 7) C
8) A 8) A 8) B
9) B 9) D 9) C
10) B 10) A 10) A
1.60 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Glosarium
Argumentasi : alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat,
pendirian, atau gagasan;

Aristokrasi : 1) pemerintahan (kekuasaan) berada di tangan kaum bangsawan;


2) bentuk pemerintahan negara; 3) kaum bangsawan (ningrat);

Asosiasi : 1) persatuan antara rekan usaha; persekutuan dagang;


2) perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan
bersama; 3) tautan dalam ingatan pada orang atau barang lain;
pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan, ingatan,
atau kegiatan pancaindra;

Borjuis : kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas (biasanya


dipertentangkan dengan rakyat jelata);

Budaya : 1) pikiran; akal budi; 2) adat istiadat; 3) sesuatu mengenai


kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju);
4) (cak) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah
sukar diubah;

Definisi : 1) kata, frasa, atau kalimat yang mengungkapkan makna,


keterangan, atau ciri utama dari orang, benda, proses, atau
aktivitas; batasan (arti); 2) rumusan tentang ruang lingkup dan
ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau
studi;

Demokrasi : 1) (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya


turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya;
pemerintahan rakyat; 2) gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan
yang sama bagi semua warga negara;

Dinasti : keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari


satu keluarga;

Eksistensi : hal berada; keberadaan;

Epistemologi : cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas


pengetahuan;
PSOS4205/MODUL 1 1.61

Empirisme : 1) aliran ilmu pengetahuan dan filsafat berdasarkan metode


empiris; 2) teori yang mengatakan bahwa semua pengetahuan
didapat dengan pengalaman;

Esensi : hakikat; inti; hal yang pokok;

Fisiologi : cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan


kehidupan atau zat hidup (organ, jaringan, atau sel); ilmu faal;

Hak : 1) benar; 2) n milik; kepunyaan; 3) n kewenangan;


4) n kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan
oleh undang-undang, aturan, dan sebagai-nya); 5) n kekuasaan
yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu;
6) n derajat atau martabat; 7) n (Huk) wewenang menurut
hukum; 8) n telapak sepatu pada bagian tumit yang relatif tinggi;
9) n alat untuk merenda (yang ujungnya berkait) dibuat dari
logam; 10) n logam berkait (sepasang) untuk mengancingkan
pinggang celana atau baju perempuan;

Identitas : ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri;

Identik : 1) sama benar; tidak berbeda sedikit pun; 2) sama dan sebangun
Induksi: 1. metode pemikiran yang bertolak dari kaidah
(hal-hal atau peristiwa) khusus untuk menentukan hukum
(kaidah) yang umum; penarikan kesimpulan berdasarkan
keadaan yang khusus untuk diperlakukan secara umum;
penentuan kaidah umum berdasarkan kaidah khusus; 2. proses
pembangkitan tenaga listrik (elektrik) di dalam sirkulasi
tertutup oleh arus (gerak) magnetik melalui gerak putar;

Interaksi : hal saling melakukan aksi, berhubungan, mem-pengaruhi;


antarhubungan;

Instabilitas : keadaan tidak stabil; ketidakstabilan; ketidakmantapan;


keadaan goyah; keadaan labil; keadaan rawan
(tentang keamanan, politik, ekonomi, keadaan mental, dsb);

Kapitalis : kaum bermodal; orang yang bermodal besar; golongan atau


orang yang sangat kaya;

Konstitusional : bersangkutan dengan, sesuai dengan, atau diatur oleh konstitusi


suatu negara;
1.62 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Komunal : 1) bersangkutan dengan komune; 2) milik rakyat atau umum;

Liberalisme : 1) aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki


demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga
(pemerintah tidak boleh turut campur); 2) usaha perjuangan
menuju kebebasan;

Mazhab : 1) haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi


ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab, yaitu mazhab
Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafii); 2) golongan pemikir
yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di
bidang ilmu, cabang kesenian, dsb dan yang berusaha untuk
memajukan hal itu;

Manifesto : pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang


atau suatu kelompok;

Mekanisme : 1) penggunaan mesin; alat-alat dari mesin; hal kerja mesin;


2) cara kerja suatu organisasi (perkumpulan dsb); 3) hal saling
bekerja, seperti mesin (kalau yang satu bergerak, yang lain
turut bergerak);

Metodologi : ilmu tentang metode; uraian tentang metode;

Moral : 1) (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai


perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti;
susila; 2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan
perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; 3) ajaran
kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita;

Monarki : bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh raja;

Nasionalisme : 1) paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri;


sifat kenasionalan; 2) kesadaran keanggotaan dalam suatu
bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama
mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas,
integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat
kebangsaan;
PSOS4205/MODUL 1 1.63

Negatif : 1) tidak pasti; tidak tentu; tanpa pernyataan; 2) kurang baik;


menyimpang dari ukuran umum; 3) film dari foto (potret)
yang dipakai untuk memperbanyak foto; 4) kabel yang aliran
listriknya berpotensi lebih rendah;

Normatif : berpegang teguh pada norma; menurut norma atau kaidah yang
berlaku;

Oligarki : pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang


berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu;

Paradoks : pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan)


dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya
mengandung kebenaran; bersifat paradoks;

Positivisme : aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu


semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti;

Proletar : 1) lapisan sosial yang paling rendah; 2) golongan buruh,


khususnya golongan buruh industri yang tidak mempunyai alat
produksi dan hidup dari menjual tenaga;

Periode : 1) kurun waktu; lingkaran waktu (masa); 2) kelompok bilangan


yang selalu berulang dalam pecahan; 3) (Kim) baris mendatar
dari unsur-unsur dalam tabel periodik;

Rasionalisme : teori (paham) yang menganggap bahwa pikiran dan akal


merupakan satu-satunya dasar untuk memecahkan problem
(kebenaran) yang lepas dari jangkauan indra; paham yang lebih
mengutamakan (kemampuan) akal daripada emosi, atau batin;

Radikal : 1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip);


2) (Pol) amat keras menuntut perubahan (undang-undang,
pemerintahan); 3) maju dalam berpikir atau bertindak;
4) n (Kim) gugus atom yang dapat masuk ke dalam berbagai
reaksi sebagai satu satuan, yang bereaksi seakan-akan satu
unsur saja, misal CH3- (metil), C2H5-(etil), SO4 (sulfat);

Realistis : bersifat nyata (real); bersifat wajar;

Republik : bentuk pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai


oleh seorang presiden;
1.64 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Revolusi : 1) perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan


sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan
perlawanan bersenjata); 2) perubahan yang cukup mendasar
dalam suatu bidang; 3) peredaran bumi dan planet-planet lain
dalam mengelilingi matahari;

Solidaritas : sifat (perasaan) solider; sifat satu rasa (senasib dsb); perasaan
setia kawan;

Sosialisme : ajaran atau paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha


supaya harta benda, industri, dan perusahaan menjadi milik
negara;

Struktur : 1) cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan; bangunan;


2) yang disusun dengan pola tertentu; 3) pengaturan unsur atau
bagian suatu benda; 4) ketentuan unsur-unsur dari suatu benda;
5) (Ling) pengaturan pola dalam bahasa secara sintagmatis;

Tabiat : 1) perangai; watak; budi pekerti; 2) perbuatan yang selalu


dilakukan; kelakuan; tingkah laku;

Tradisi : 1) adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang


masih dijalankan dalam masyarakat; 2) penilaian atau anggapan
bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik
dan benar.
PSOS4205/MODUL 1 1.65

Daftar Pustaka
Agger, Ben. (2006). Teori Sosial Kritis. Kreasi Wacana.

Ali Maksum, et.al. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan
Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita.
Yogyakarta: IRCiSoD.

Azmi, A. (2010). Les Philosophés: Kurun Ke-18 di Perancis: Sifat-sifat Reaksioner Di


Sebalik Bayang Revolusioner. Malaysian Journal of History, Politics, & Strategic
Studies, Vol. 37.

Bagus, L. (2003). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Burns, E.M. (1958). Western Civilizations Their History and Their Culture. Edisi ke-5
Chapter: 23, New York.

Chamblisss, R. (1954). Social Thought. New York: Dryden.

Deltgauw, B. (1992). Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono,


Yogyakarta: Tiara Wacana.

George R., & Douglas J. Goodman. (2010). Teori Sosiologi. Kreasi Wacana, Bantul.

Hadiwijono, H. (1995). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius.

Hammersma. (1983). Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

Hardiman, F. B. (2004). Filsafat Modern. Gramedia.

Hardiman, F. B. (1993). Kritik Ideologi. Kanisius. Yogyakarta.

Ichwan Supandi Azis. (2003). Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu
Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi. Yogyakarta: Jurnal
Filsafat, Jilid 35, Nomor 3.

Jones, P. (2009). Pengantar Teori-Teori Sosial. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Kesuma, D. (2003). Filsafat Pendidikan Naturalisme Rousseau. Seminar Akademik


FIP UPI Bandung.
1.66 Pendapat dan Pemikiran tentang Konsep Masyarakat

Khudori, S. (2008). Revolusi Industri Di Inggris (1760-1860).23 Mei 2012.

Kumar, K. (2000). Masyarakat Sipil atau Madani dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica,
(ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Diterjemahkan Oleh Haris
Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

McClelland, D. (1971). The Thought of Karl Marx: An Introduction. Ed. ke-2. London:
The Macmillan Press Ltd.

Muthahari, Murtadha. (2010). Pengantar Filsafat Islam, Filsafat Teoritis, dan Filsafat
Praktis.Yogyakarta: RausyanFikr Institute.

Pals, D. (2003). Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta:


IRCiSoD.

Purwanto, S.U. (2007). Sosiologi Untuk Pemula. Media Wacana, Yogyakarta.

Rasjidi. (1990). Fisafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. (2006). Teori Sosiologi Modern. Kencana.

Samuel, H., & Emile Durkheim. (2010). Riwayat Pemikiran, dan Warisan Bapak
Sosiologi Modern. Jakarta: Kepik Ungu.

Sharqawi, E. (1986). Filsafat Kebudayaan Islam. Penerjemah: Achmad Rofi Usmani,


Bandung: Pustaka.

Soemargono, S. (1992). Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Soerjono S. (1982). Teori Sosiologi tentang Pribadi Dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Suharto, T. (2003). Epistemologi sejarah kritis Ibnu Khaldun. Fajar Pustaka Baru,
Yogyakarta.

Suseno, F.M. (2010). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta: Gramedia.

Syadali, A., & Mudzakir. (2004). Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Syadali, Ahmad., & Mudzakkir. (1999). Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Usman, S. (2004). Sosiologi Sejarah, Teori dan Metodologi. CIRED, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai