Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

STRATEGI PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN


SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
SECARA BERKELANJUTAN

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah


manajemen kelautan

Disusun Oleh :
Dedi Irmanto (011601503125001)
Nanda Aprilina (041601503125238)
Dewi Tri Lestari (190570002)
Tasia Johanna (190470013)

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
MANAJEMEN
JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikan merupakan salah satu komoditi yang berperan penting dalam kehidupan
manusia.
Di negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Peru, produksi dari
perikanan selain bisa digunakan untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan protein
hewani, juga merupakan salah satu sumber penghasil devisa.
Di negara-negara maju seperti Jepang, Islandia, Kanada, dan Norwegia, sektor
perikanan merupakan salah satu sektor andalan, dimana perikanan memberikan
kontribusi yang cukup tinggi terhadap GDP.

Perikanan seperti halnya sektor ekonomi yang lain, merupakan salah satu
aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai
salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan
sumber daya ini memerlukan strategi yang bersifat menyeluruh dan hati-hati.
Penangkapan ikan yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan merupakan
keharusan mengingat semakin tingginya kerusakan ekosistem laut dan degradasi
sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP). Pemanfaatan dan pengelolaan SDKP
yang serampangan akan mengganggu keseimbangan ekosistem dan cepat atau
lambat akan memberikan eksternalitas negatif bagi manus ia.

Pemanfaatan SDKP berkelanjutan pada prinsipnya adalah pergaduan antara


pengelolaan sumberdaya dan pemanfaatan dengan tetap menjaga
kelestarian sumberdaya dalam jangka panjang untuk kepentingan generasi
mendatang. Teknologi penangkapan ikan bukan hanya ditujukan untuk
meningkatkan hasil tangkapan, tetapi juga memgerbaiki proses
penangkapan untuk meminimumkan dampak penangkagan ikan terhadap l
ingkungan perairan dan biodiversitinya.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Dari uraian yang dikemukakan diatas, permasalahan yang akan dibahas
pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud dengan masyarakat pesisir?
2) Bagaimana karakteristik dari masyarakat pesisir?
3) Faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat pesisir miskin?
4) Mengapa masyarakat pesisir tidak dapat mengelola sumber daya
pesisir yang ada?
5) Langkah dan usaha apa saja yang dilakukan dalam pembinaan
masyarakat pesisir?
6) Bagaimana penerapan teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan?
7) Bagaimana pengembangan budidaya pesisir dan laut yang ramah
lingkungan?

1.3 TUJUAN

1. Mengetahui apa yang dimaksud masyarakat pesisir.


2. Mengetahui karakteristik masyarakat pesisir.
3. Mengetahui faktor penyebab masyakarat pesisir miskin.
4. Mengetahui penyebab masyarakat pesisir tidak dapat mengelola sumber
daya pesisir secara maksimal.
5. Mengetahui langkah dan usaha apa saja yang dilakukan dalam
pembinaan masyarakat pesisir.
6. Mengetahui penerapan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan.
7. Mengetahui pengembangan budi daya pesisir dan laut yang ramah
lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSAKA
2.1. Definisi Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan
batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang
masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut,
perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan
batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada
daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih
dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran
air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002).

2.2. Definisi Masyarakat Pesisir


Masyarakat pesisir secara harafiah diartikan sebagai masyarakat yang berdomisili di
wilayah pesisir. Namun pemahaman dalam konteks pengembangan masyarakat
(community development), “nomenklatur” masyarakat pesisir dipadankan dengan
kelompok masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir yang hidupnya masih
“tertinggal” (e.g. nelayan, pembudidaya ikan, buruh pelabuhan, dsb) dibandingkan
dengan kelompok masyarakat pesisir lainnya (e.g. pedagang, pengusaha
perhotelan, dsb) yang lebih sejahtera. Kebijakan sosial ekonomi (pendidikan,
kesehatan, ekonomi, infrastruktur, kelembagaan) dalam pengembanganmasyarakat
pesisir yang “tertinggal” tersebut perlu ditinjau kembali (revisited) dan direkayasa
ulang (re-engineering) mengingat perbaikan kehidupannya sangat lambat khususnya
nelayan yang sebagian besar masuk kategori miskin dari kelompok yang paling
miskin (poor of the poorest) (Kusumastanto, 2010).
2.3. Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang plural (merupakan akulturasi
budaya perkotaan dan pedesaan dari berbagai wilayah). Ada beberapa karakteristik
masyarakat pesisir yaitu :
(1) budaya terbuka
(2) sumber kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam
(3) aktivitas ekonominya sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim
(4) peran pasar sangat menentukan dalam berkembangnya aktivitas
masyarakat.
Sebagai ilustrasi : masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai
nelayan, sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang sangat rentan dari
kerusakan, seperti penghancuran terumbu karang (coral reef), mangrove, serta
padang lamun (seagrass), pencemaran, maupun bencana laut. Masyarakat pesisir
sering disebut sebagai masyarakat miskin, jika dilihat dari tingkat perekonomian.

2.4. Faktor Penyebab Masyarakat Pesisir Miskin


Kusumastanto (2006), mengemukakan faktor–faktor penyebab kemiskinan
masyarakat pesisir dapat diakibatkan oleh tiga hal yaitu :
1. Biaya tinggi yang harus dibayar sedangkan penerimaan rendah, hal ini terjadi
karena struktur pasar yang cenderung monopoli/oligopoli -
monopsoni/oligopsoni sehingga terjadi ekonomi biaya tinggi, tidak efisien dan
eksploitatif (misal: hubungan patron-client).
2. Penerimaan yang rendah disebabkan oleh volume hasil eksploitasi
sumberdaya berbanding terbalik dengan harga sehingga peningkatan
eksploitasi tidak berdampak pada peningkatan pendapatan.
3. Struktur ekonomi pesisir yang tidak berkembang karena aspek pasar,
kebijakan, infrastruktur sosial ekonomi sangat terbatas sehingga penciptaan
peluang sosial dan ekonomi untuk memenuhi kehidupan yang layak sulit
berkembang.

Beberapa uraian tersebut menunjukkan bahwa implikasi dari faktor-faktor diatas


membawa masyarakat pesisir tidak memperoleh pendapatan yang memadai
sedangkan kebijakan sosial ekonomi tidak memberikan solusi nyata maka akhirnya
berdampak kepada kemiskinan. Alasan utama kemiskinan dapat dibagi ke dalam
empat hal, yaitu :
1. kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya pesisir dan laut.
2. kemiskinan karena kekurangan prasarana
3. kemiskinan karena kualitas sumber daya manusia yang rendah.
4. kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dalam
memberikan insentif usaha.
Charles (2001), mengemukakan bahwa keberlanjutan sistem pesisir ditopang
beberapa dimensi, yaitu :
1. Dimensi ekologi (ecological sustainability) yang mencakup kelestarian
sumberdaya, kelestarian spesies, serta kelestarian ekosistem.
2. Dimensi sosialekonomi (socio-economic sustainablity), yang berarti
kelestarian kesejahteraan sosialekonomi para pelakunya, yang basisnya
adalah keberlanjutan keuntungan dan distribusinya kepada seluruh pelaku,
serta keberlanjutan sistem sumberdaya pesisir, baik di tingkat ekonomi lokal
maupun global.
3. Dimensi masyarakat (community sustainaibility) yang berorientasi pada
keberlanjutan masyarakat sebagai sebuah sistem, yang di dalamnya
mencakup nilai budaya, aturan lokal, pengetahuan, dan kohesivitas.
4. Dimensi kelembagaan (institutional sustainablity), yakni kesinambungan
kapasitas finansial, administrasi, dan organisasi, yang menjaga keberlanjutan
tiga dimensi sebelumnya.
Kebijakan sosial ekonomi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pesisir
harus didasarkan kepada kondisi sosial, kearifan dan budaya masyarakat pesisir
yang tumbuh dan berkembang di akar rumput. Kebijakan yang diambil harus
integratif sehingga tidak bias sektoral, wilayah serta kepentingan dan dapat
diimplementasikan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Kebijakan tersebut harus
diarahkan untuk mengantisipasi kerusakan, daya dukung maupun
ketidakseimbangan sumber daya pesisir, yang akhirnya akan berakibat kepada
penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberpihakan kebijakan yang
secara adil (fair) memberikan perhatian kepada kelompok masyarakat yang yang
lemah,tertindas dan rawan perlu diberikan prioritas khususnya pemenuhan basic
need melalui kerja produktif bukan belas kasihan.
Kebijakan ekonomi seperti insentif, nilai tambah, kelembagaan ekonomi yang
mendorong kemandirian masyarakat berbasis desa seyogyanya menjadi pilar
penting bagi tumbuhnya kesejahteraan yang lestari. Pemahaman dan komitmen
seluruh stakeholders terhadap kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan
sumberdaya pesisir secara berkelanjutan menjadi syarat keberhasilan
pengembangan masyarakat pesisir yang lebih sejahtera dan dapat menjadi mesin
utama pertumbuhan pembangunan nasional.
BAB III
PEMBAHASAN

A.Pembinaan Nelayan Dengan Pendekatan Social Engineering Yang Tepat,


Efektif dan Efisien
Mengingat bahwa nelayan merupakan masyarakat yang unik yang cenderung
bersifat subsisten, maka pembinaannya perlu dibangun dan dipersiapkan secara
khusus melalui reengineering kebijakan pengembangan sosial ekonomi dalam
rangka pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. Terdapat 3 (tiga) kebijakan
utama yang perlu dilakukan, yaitu :
1. Perlunya penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung
lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya.
2. Perlu dilakukannya pembinaan dan pembinaan masyarakat pesisir secara
kontinu.
3. Perlu dikembangkannya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir
sebagai social engineering model dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
B.Penetapan Jumlah Pemanfaat (users) dan Daya Dukung Lingkungannya
Sesuai Dengan Karakteristik Sumberdaya dan Pemanfaatannya
Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya pesisir, terdapat tiga kategori
sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir, yaitu :
1. Sumberdaya dapat pulih (renewable resources) terdiri dari berbagai jenis
ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya
laut (mariculture).
2. Sumberdaya tidak dapat pulih (nonrenewable resources) meliputi mineral,
bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas.
3. Jasa-jasa lingkungan pesisir (environmental services) seperti pariwisata,
transportasi laut, perdagangan dan sebagainya.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir khususnya sumberdaya perikanan, meskipun
oleh banyak pihak masih dikatakan belum optimal (sekitar 60%) dan masih dapat
ditingkatkan hingga hingga 40%, namun kenyataannya di berbagai wilayah perairan
telah mengalami overeskploitasi dan berbagai permasalahan pengelolaan
lingkungan lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar jumlah nelayan optimum yang
dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan di suatu kawasan perairan? Hal ini
penting, karena kita menginginkan masyarakat pesisir umumnya dan nelayan
khususnya memiliki tingkat kesejahteraan tertentu, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan dasar untuk hidup. Demikian juga, jumlah petani tambak harus
mempertimbangkan karakteristik biofisik, teknologi, sosial, ekonomi dan budaya
sehingga tidak melampaui daya dukung alami kawasan pesisir. Dengan demikian
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir harus didasarkan pada daya
dukung kawasan.
Upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan diversifasi pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan peningkatan nilai tambah melalui pemanfaatan teknologi
sehingga beban terhadap sumberdaya dapat memberikan kontribusi langsung
kepada peningkatan pendapatan dan bukannya hanya menambah produksi tetapi
kondisi kesejahteraan tidak berkembang. Dengan demikian diperlukan kebijakan
yang dapat menetapkan berapa jumlah pemanfaat sumberdaya pulih yang optimum
sehingga dapat didorong kebijakan pengembangan alternatif pendapatan dari
sumberdaya tidak pulih yang diperlukan bagi pengentasan kemiskinan masyarakat
pesisir.
C.Penguatan dan Pembinaan Masyarakat Pesisir

Penguatan dan pembinaan sumberdaya manusia pesisir juga menjadi factor yang
menentukan dalam upaya meningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya pesisir bagi mereka yang
kemudian diaktualisasikan dalam upaya-upaya pemanfaatan sehari-hari singga
sumberdaya tersebut tetap lestari. Dalam kerangka penguatan dan pembinaan
faktor-faktor penentu dalam pembinaan masyarakat meliputi, Pembinaan Manusia,
Pembinaan Lingkungan, Pembinaan Sumberdaya dan Pembinaan Usaha.
Pembinaan manusia adalah strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat
kecil melalui pengembangan SDM. Strategi ini meliputi :

1. Investasi pada modal manusia dalam bidang pendidikan dan kesehatan.


2. Peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok baik formal maupun
informal.
3. Memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok
sehingga efisiensi dapat tercapai
4. Memperbaiki budaya/etos kerja.
5. Menghilangkan sifat dan mental negatif yang memasung produktivitas dan
menghambat pembangunan.
Pembinaan lingkungan merupakan strategi pemberdayaan dan pembinaan
masyarakat pesisir melalui perbaikan lingkungan tinggal, lingkungan dan prasarana
produksi serta meningkatkan peran masyarakat dalam menata dan mengelola
lingkungan hidupnya. Strategi ini mencakup hal-hal berikut:
1. Meningkatkan peran masyarakat dalam mengelola dan menata lingkungan
hidup, baik tempat tinggal mereka maupun habitat atau kawasan tempat
kegiatan ekonomi produktif dijalankan.
2. Membangun infrastruktur terutama yang menyangkut dengan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ekonomi.
3. Meningkatkan perencaaan dan pembangunan secara spasial di wilayah
pesisir dengan mempertimbangkan kompatabilitas wilayah pesisir dan daya
dukungnya.
4. Mengenal sumberdaya serta faktor yang mempengaruhi eksistensinya.
5. Memperkaya sumberdaya melalui kegiatan pengkayaan stok ikan dan
habitatnya, rehabilitasi, mitigasi bencana, dan mengendalikan pencemaran.
Pembinaan sumberdaya adalah strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat
pesisir melalui pelibatan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya alam pesisir. Bina sumberdaya meliputi strategi berikut :
1. Memberikan konsesi pengelolaan dan pemanfaatan laut dan pesisir.
2. Menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal.
3. Menerapkan MCS dengan prinsip partisipasi masyarakat lokal.
4. Menerapkan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan
teknologi asli (indigenous technology).
5. Membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategi sumberdaya bagi
generasi kini dan yang akan datang,.
6. Merehabilitasi habitat dan memperkaya sumberdaya pulih (restocking dll).
Pembinaan usaha meliputi peningkatan akses masyarakat terhadap permodalan
yang
dapat ditempuh melalui hubungan langsung antara masyarakat dengan sumber
modal, hubungan secara kelompok antara masyarakat dengan sumber modal
dengan atau tanpa jaminan dari pihak ketiga, hubungan antara pengusaha skala
kecil secara inividu atau secara kelompok dengan pengusaha skala besar atau
BUMN, serta penyatuan kekuatan modal dimiliki rakyat kecil secara individu.
Bina usaha meliputi strategi
1. Meningkatkan ketrampilan usaha, pengelolaan bisnis skala kecil dan
penguasaan teknologi.
2. meningkatkan dan mempermudah akses terhadap teknologi, modal, pasar,
dan informasi pembangunan.
3. membangun kemitraan mutualistis diantara sesama pelaku ekonomi rakyat
dan melalui kerjasama perusahaan skala besar.
4. membangun sistem insentif administrasi serta pendanaan formal dan
informal.
5. menyediakan peraturan perundangan yang menjamin berjalannya proses
pengentasan kemiskinan.
D.Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif
Kendala keterbatasan sumberdaya pesisir khsususnya pada kawasan yang telah
overeksploitasi menuntut perlunya terobosan-terobosan dalam mencari sumber-
sumber mata pencaharian alternatif. Konsep pengembangan mata pencaharian
alternatif ini, juga sedang dikembangkan bagi masyarakat pesisir yang selama ini
mengembangkan praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak
ramah lingkungan, seperti penggunaan bom dan zat kimia khususnya dalam
perikanan terumbu karang. Ketika mengembangkan mata pencaharian alternatif,
hendaknya dilakukan dengan perencanaan yang tepat. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam perencanaan pengembangan mata pencaharian alternatif, yaitu :
1. Keseimbangan antara pasokan (supply based) dan permintaan (demand
based) dari barang atau jasa yang dihasilkan dari mata pecaharian alternatif
yang akan dikembangkan harus seimbang dan berkelanjutan. Jangan sampai
mata pencaharian yang dikembangkan tidak memiliki pasar yang akan
menampung, sehingga produk yang dihasilkan menjadi mubazir.
2. Mata pencaharian alternatif yang dikembangkan harus mudah diadopsi oleh
masyarakat yang akan melaksanakannya dan sesuai dengan karakteristik
masyarakat setempat seperti adat istiadat, sosial budaya, kebiasaan, tatanan
kemasyarakatan dan lain-lain.
3. Mata pencaharian alternatif yang dikembangkan harus mempunyai resiko
kegagalan kecil, waktu yang cepat dan modal terjangkau.
4. Apabila dalam pengembangan mata pencaharian alternatif dibutuhkan
bantuan dana atau subsidi untuk keperluan hidup sebelum mata pencaharian
alternatif tersebut menghasilkan, maka bantuan dana tersebut harus
memperhatikan: kategori penerima subsidi, besarnya subsidi sama dengan
kebutuhan hidup minimum (sesuai pendapatan awal atau lebih kecil dari
pendapatan yang akan didapat dari hasil mata pencaharian alternatif yang
akan dikembangkan), jangka waktu pemberian subsidi dibatasi sampai
dengan hasil mata pencaharian alternatif menghasilkan, kesepakatan
bersama dan sebagainya.
5. Mata pencaharian yang akan dikembangkan harus tetap memperhatikan
aspek pelestarian lingkungan secara umum (daya dukung, karakterisitk, dsb).
6. Mata pencaharian alternatif yang akan dikembangkan harus dapat berjalan
secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, menetapkan mata pencaharian alternatif, maka beberapa
langkahlangkah yang dapat dilakukan unttuk memperoleh hasil yang optimal
diantaranya adalah :
 Mengidentifikasi jenis-jenis/bentuk-bentuk mata pencaharian alternatif
yang akan dikembangkan yang disesuaikan dengan syarat syarat di atas.
 Melakukan uji keberhasilan dari mata pencaharian tersebut sebelum
diterapkan.
 Menyiapkan perangkat baik teknis maupun non teknis dalam
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
E.Penanganan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Tercatat dan Tidak Diatur
Penanganan praktik-praktik IUU fishing bisa dilakukan dengan berbagai
pendekatan,
diantaranya yaitu hukum dan ekonomi. Untuk hukum, ada beberapa aturan-aturan
internasional yang harus Indonesia perhatikan. Adapun beberapa aturan
internasional yang
terkait dengan pemberantsan IUU fishing, antara lain:
 Hukum yang sifatnya mengikat atau legal binding, yaitu Konvensi PBB
tentang Hukum Laut 1982, the UN Fish Stock Agreement 1995, dan FAO
Compliance Agreement 1993.
 Hukum yang tidak mengikat atau not legally binding, yaitu Code of Conduct
for Responsible Fisheries (CCRF) tahun 1995, dan International Plan of
Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and
Unregulated (IUU) Fishing sebagai panduan dalam menghadapi
permasalahan IUU fishing.
Untuk itu, negara-negara anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA IUU
fishing ini kedalam suatu rencana aksi nasional atau National Plan of Action (NPOA)
(Adrianto, 2005).
Dalam perspektif negara berkembang yang memiliki sumberdaya ikan melimpah
seperti Indonesia, prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang termaktub dalam
CCRF dapat dijadikan panduan penting bagi implementasi perikanan yang
bertanggung jawab pada level lokal dan nasional. Upaya ini diperlukan dalam
konteks bahwa Indonesia berkontribusi dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan
perikanan global berkelanjutan, seperti halnya amanat Konvensi Hukum Laut 1982
yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun demikian, dalam adopsi CCRF
tersebut perlu dilakukan modifikasi atau penyesuaian karena perikanan di negara
berkembang adalah multi dan kompleks, tidak hanya melibatkan aspek teknologi,
namun juga eksosistem sistem sosial ekonomi masyarakat perikanan.
Secara ekonomi, untuk mengatasi IUU fishing adalah penguatan armada
tangkap nasional. Berdasarkan data statistik perikanan DKP tahun 2004, jumlah
armada perikanan.
Luky Adrianto, “Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam
Perspektif Negara Berkembang”, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional,
Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hlm 481. tangkap
Indonesia adalah 549.100 unit, didominasi oleh perahu tanpa motor, yaitu 256.830
unit (46,78%), motor tempel 165.337 unit (30,11%), dan kapal motor 126.933 unit
(23,11%). Sementara itu, kapal motor yang berjumlah 126.933 unit didominasi oleh
kapal motor yang berukuran di bawah 5 GT, yaitu 90.148 unit (71,02%)2.
Dengan demikian, sekitar 76% armada tangkap nasional didominasi oleh
armada tangkap skala kecil yang hanya beroperasi di sekitar pesisir pantai, yaitu
perahu tanpa motor dan motor tempel. Dengan kata lain, daya jangkau armada
tangkap nasional ke zona ekonomi eksklusif Indonesia (200 mil) sangat rendah,
apalagi untuk memasuki perairan internasional atau laut lepas. Oleh karena itu
sangat wajar, bila kapal ikan asing berkeliaran secara leluasa di perairan Indonesia.
Untuk mengatasi “kekosongan” armada tangkap nasional di perairan zona ekonomi
eksklusif Indonesia (ZEEI), maka perlu dilakukan penguatan armada tangkap
nasional.
Dengan demikian, armada tangkap nasional tidak akan menjadi tamu di wilayah
negaranya sendiri, sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Beberapa hal yang patut
diperhatikan dalam penguatan armada tangkap nasional, diantaranya yaitu:
1. Modernisasi armada “semut” nelayan kecil yang biasanya beroperasi di
sekitar pesisir pantai. Dengan kuatnya armada tangkap nasional di ZEEI,
maka dengan sendirinya menjadi pesaing dan bahkan menjadi informan bila
terjadi praktik-praktik IUU fishing.
2. Modernisasi armada tangkap nasional dapat dilakukan dengan cara
pemberian kebijakan bantuan modal.

F.Dukungan Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap


Besarnya potensi sumberdaya ikan di Indonesia, seharusnya dapat
meningkatkan perekonomian nasional. Namun demikian, yang terjadi adalah
sebaliknya, negara dirugikan triliunan rupiah dan sumberdaya ikan mengalami
penurunan yang disertai semakin miskinnya masyarakat nelayan. Beberapa
kebijakan yang saat ini urgen untuk dilakukan guna menyelamatkan dan
mengembangkan perikanan tangkap di Indonesia, adalah:
 Subsidi BBM untuk nelayan.
 Regulasi terhadap permasalahan-permasalahan mendasar seperti Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing, serta persoalan yang menyangkut
perijinan terhadap operasi penangkapan ikan.
 Kebijakan yang terkait dengan dukungan (supporting) pendanaan dan
investasi.
 Advokasi dan diplomasi perikanan; seperti Peningkatan partisipasi Indonesia
dalam perikanan regional, utamanya sebagai anggota (contracting party) dari
Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for Conservation of
Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Kebijakan ini untuk membuka akses
Indonesia sebagai pemanfaat sumberdaya ikan (utamanya tuna) di perairan
internasional 2 DKP, Statistik Kelautan dan Perikanan tahun 2006, hlm 16.
(high seas), dan membuat Indonesia memiliki kuota produksi dan kuota
pasar internasional serta menghindari Indonesia dari kemungkinan embargo
produk perikanan-nya.
 Kebijakan pengembangan perikanan terpadu lintas sektoral yang
sustainable, hulu-hilir. Dimulai dari fishing ground-Pelabuhan Perikanan-
Pasar. Terkait dengan dukungan infrastruktur dan kebijakan.
G.Dukungan Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya
Keberhasilan pengembagan bisnis budidaya di Indonesia sangat memerlukan
empat prasyarat yang harus dilaksanakan secara integral dan simultan (Mahifal dan
Wahyudin, 2011).
 Pertama, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan kebijakan
makro yang efektif dan efisien terutama untuk menempatkan pengembangan
bisnis ini sebagai salah satu prime mover pembangunan ekonomi sektor
kelautan dan perikanan di Indonesia. Oleh karena itu, disain kebijakan
ekonomi makro Indonesia seoptimal mungkin harus berpihak pada proses
pengembangan bisnis budidaya ini untuk memberikan keleluasaan ruang
pertumbuhan dan pengembangan bisnis. Salah satu kebijakan makro yang
dapat diberikan, misalnya, proteksi terhadap datangnya (impor) komoditas
kelautan (price protection, tax, dan sebagainya) dan menjaga supply produk
lokal agar tetap kontinu. Pemerintah selaku pembuat kebijakan diwajibkan
memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap pengembangan bisnis
ini. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada
masyarakat Indonesia untuk menggarap dan memproduksi komoditas
budidaya secara bebas dengan perhitungan tanpa takut mengalami kerugian.
Kebebasan tersebut harus dibarengi dengan adanya pemberian property right
yang efisien secara ekonomi. Efisien secara ekonomi akan terwujud jika
property right yang dimiliki masyarakat menunjukkan sifat universal, eksklusif,
dapat diperjualbelikan secara sah dan memperoleh jaminan keamanan.
Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan insentif, berupa pemberian
kredit lunak yang diintegrasikan dengan sistem pembinaan berkala dan
kontinu, sehingga pemberian kredit tidak hanya dijadikan sebagai charity saja,
melainkan lebih ditujukan untuk memberikan stimulasi kepada pada
pembudidaya agar dapat meningkatkan kemampuan produksinya.
Pemerintah diharapkan mampu memberikan jaminan keamanan kepada para
pembudidaya berupa jaminan pasar yang kontinu dan stabilitas harga jual.
Dalam hal ini, pemerintah diharapkan dapat menetapkan harga dasar atau
harga break even point yang ditetapkan berdasarkan harga minimal
pembelian dan mempertimbangkan costbenefit usaha budidaya tersebut.

 Kedua, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan


infrastruktur dan fasilitas pendukung budidaya lainnya, karena infrastruktur
dan fasilitas pendukung ini merupakan hal yang sangat krusial bagi
pengembangan bisnis budidaya. Pemerintah diharapkan dapat menyediakan
prasarana dan sarana jalan, telekomunikasi, energi dan sebagainya. Bahkan
pemerintah diharapkan dapat membangun prasarana jalan yang mampu
menghubungkan pusat-pusat produksi kelautan dan perikanan dengan
kapasitas jalan yang dapat dilalui kontainer. Selain itu, sistem transportasi
yang ramah terhadap pengembangan bisnis budidaya juga diperlukan,
dimana alat atau sarana dan prasarana transportasi tersebut terbilang efektif
dan efisien dalam mengangkut dan mendistribusikan komoditas yang
dihasilkan. Pengembangan infrastruktur hatchery udang, pabrik pengolah
rumput laut, pabrik pakan, dan sebagainya diharapkan dapat didorong
pengembangannya oleh pemerintah, melalui berbagai program
pengembangan. Revitalisasi dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas balai
budidaya yang tersebar di seluruh Indonesia juga penting dilakukan agar
supply bahan baku, benih, bibit dan sebagainya terkait dengan
pengembangan industri budidaya sangat perlu untuk dilakukan.
 Ketiga, pengembangan bisnis budidaya juga memerlukan dukungan
penelitian dan pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi ini
diarahkan untuk menghasilkan teknologi tepat guna terutama bagi upaya
pengembangan komoditas yang bernilai jual tinggi (high value) dan
mempunyai peluang untuk bersaing di pasar domestik maupun internasional.
Pengembangan teknologi dalam hal ini tidak saja berkutat dalam
pengembangan teknologi budidaya semata, melainkan juga semua faktor
terkait dalam hal teknologi pengolahan, teknologi distribusi atau
pengangkutan, dan teknologi-teknologi terkait lainnya. Hal terpenting lainnya
adalah adanya teknologi penanggulangan dan pencegahan penyakit serta
peningkatan kualitas produk, baik bagi produk mentah maupun produk olahan
agar kualitas produk yang dihasilkan dapat bersaing secara kompetitif di
pasar lokal dan internasional.
 Keempat, pengembangan bisnis budidaya di Indonesia memerlukan
pendekatan pengembangan yang dapat mengakomodasi secara integral dan
efisien setiap aktivitas produksi, pasca panen, distribusi dan pemasaran, yaitu
pendekatan sistem agribisnis berbasis komoditas budidaya. Sesuai dengan
sifat dan karakteristik komoditas budidaya yang mempunyai tingkat rentanitas
tinggi terhadap varibel waktu, maka pengembangan teknologi produksi, pasca
panen, strategi pemasaran, sistem angkutan produk dan sebagainya menjadi
bagian yang harus diperhatikan sebagai prasyarat pengembangan bisnis
budidaya di Indonesia ini. Sistem agribisnis berbasis budidaya ini akan sangat
tergantung pada seberapa besar pemerintah mampu mendorong sektor
swasta untuk dapat berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Aktivitas produksi
yang dijalankan para pembudidaya akan sangat membutuhkan modal dan
pembinaan bisnis agar dapat berkembang, mandiri dan berkelanjutan. Dalam
hal ini yang dapat dilakukan pemerintah adalah menyiapkan agar kebijakan
makro seperti yang digambarkan di muka dapat diimplementasikan. Ketika
produksi berjalan, maka produk atau komoditas yang dihasilkan harus dijual
dan dalam hal ini jelas ketersediaan pasar sangat diperlukan. Dalam hal ini,
penting dikembangkan agar pasar utama adalah industri pengolahan dalam
negeri. Diharapkan melalui stimulans terhadap berkembangnya sektor industri
pengolahan dapat mengatasi persoalan pentingnya penyediaan pasar yang
membutuhkan bahan mentah untuk diolah. Selanjutnya hasil olahan juga
perlu pasar agar produktivitas usaha pengolahannya dapat kontinu, maka
yang perlu dilakukan adalah memberikan jaminan bahwa produk olahan yang
dihasilkan mempunyai daya saing yang tidak kalah dengan produk olahan
dari luar, sehingga kembali lagi pasar lokal dapat diambil sebagai pasar
utama penjualan produk olahan dari hasil budidaya ini. Keberadaan pasar
yang tidak berada langsung di tempat atau sentra produksi budidaya tentunya
memerlukan prasarana dan sarana transportasi yang efektif dan efisien.
Pemerintah juga dapat turut serta mempromosikan komoditas budidaya yang
dihasilkan melalui program-program promosi, seperti himbauan cinta produksi
dalam negeri, pameran internasional, dan promosi terkait lainnya. Pada
intinya adalah bagaimana produk yang dihasilkan di dalam negeri dapat
sejajar dan bersaing atau bahkan melebihi kualitas dan kuantitas produk luar,
minimal hal ini terjadi di bumi pertiwi tercinta ini sendiri.
Bila telah penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan disebabkan oleh dua
faktor yaitu, disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan ekonomi (economic
requirement) dan gagalnya kebijakan yang diterapkan (policy failure). Peningkatan
kebutuhan yang tak terbatas sering membuat tekanan yang besar terhadap
lingkungan dan sumberdaya yang ada, kebutuhan akan ketersediaan kayu memaksa
kita untuk menebang hutan secara berlebihan dan terjadinya ilegal logging,
kebutuhan transportasi untuk mobilitas dan mendukung laju perekonomian juga
sering menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan seperti pencemaran
udara, dan kejadian di laut dimana akibat kebutuhan ekonomi memaksa nelayan
melakukan kegiatan tangkap berlebih (over fishing). Oleh karena itu percepatan
pembangunan ekonomi sudah selayaknya dibarengi dengan ketersediaan
sumberdaya dan lingkungan yang lestari. (Bahtiar:2006)

Di dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP),
masyarakat telah mengembangkan berbagai jenis teknologi penangkapan baik
yang berskala tradisional maupun modern. Karena permintaan pasar akan komoditi
perikanan dan kelautan yang bernilai ekonomis penting, perkembangan teknologi dan
pola penangkapan masyarakat kadang kala kurang memperhatikan aspek keberlanjutan
SDKP. Penggunaan bom, potassium sianida dan ilegal fishing merupakan potret hitam
aktivitas masyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan untuk memenuhi kebutuhan pasar
baik lokal, regional dan internasional. Implikasi dari kegiatan tersebut, terjadinya
kerusakan lingkungan dan menurunnya SDKP, misalnya kerusakan terumbu karang dan
terjadinya overfishing untuk berbagai jenis SDKP di dalam wilayah perairan
Indonesia.

Selain kegiatan penangkapan, kegiatan budidaya pesisir dan laut pun berkembang
sangat pesat dalam tiga dekade terakhir di seluruh wi la yah pesisir dan pulau-pulau
kecil di wi la yah perairan Indonesia. Kegiatan budidaya tersebut telah memacu
pertumbuhan ekonomi masyarakat, namun di sisi lain kegiatan budidaya dapat pula
menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil bila tidak
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Misalnya, perluasan areal budidaya
tambak di dalam kawasan mangrove merupakan salah satu penyebab utama rusaknya
ekosistem dan sumber daya mangrove di sebagian besar wilayah pesisir
Indonesia.
Padahal selurusnya pengelolaan perikanan memperhatikan mutu, keanekaragaman, dan
ketersediaan sumber daya perikanan baik untuk masa kini maupun generasi yang
akan datang, dalam konteks food security, pengentasan kemiskinan dan dalam rangka
mewujudkan pembangunan berkelanjutan (FAO: 1995). Di lain pihak, pengelolaan
perikanan terkait juga dengan ekosistem tempat sumber da ya tersebut berada.

Mencermati kondisi tersebut, maka diperlukan adanya strategi pemanfaatan


dan pengelolaan SDKP secara berkelanjutan. Menurut FAO (1995),
Monintja (1996) dan Arimoto, et al., (1999). sebagaimana dikutip oleh Amri
(2006) karakteristik pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang ramah lingkungan
meliputi:
1) Proses penangkapan yang di lakukan ramah Iingkungan
Penangkapan ikan ramah lingkungan memiliki beberapa ciri antara lain:
a. Memiliki selektivit as yang tinggi.
b. Alat tangkap yang dioperasikan hanya menangkap target spesies dengan
ukuran tertentu. Selektivitas alat tangkap bukan hanya terhadap ukuran
tetapi juga terhadap spesies.
c. Tidak merusak habitat/ekosistem, misalnya ekosistem terumbu karang.
d. Tidak membahayakan keanekaragaman hayati dan tidak menangkap
spesies yang d ilindungi.
e. Tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target.
f. Tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan.
Ada beberaga hal penting yang harus diperhatikan agar bisa memenuhi
kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (Martasuganda,
2002) misalnya untuk jaring insang adalah sebagai berikut:
a. Melakukan seleksi terhadap ikan yang akan dijadikan target tangkapan
atau ikan layak tangkap baik dari jenis ikan dan ukurannya dengan
membuat desain dan konstruksi alat tangkap yang disesuaikan dengan
jenis dan ukuran dari habitat perairan yang akan dijadikan target
tangkapan. Dengan demikian diharapkan bisa meminimumkan hasil
tangkapan sampingan yang tidak diharapkan dari habitat perairan yang
dilindungi.
b. Pengoperasian jaring insang di suatu kawasan perairan yang
dioperasikan pada siang hari, harus dilengkapi dengan pelampung
tanda sedangkan untuk yang dioperasikan pada malam hari, maka
pelampung tanda sebaiknya dilengkapi dengan cahaya (light bouy) atau
pelampung cahaya yang bertujuan agar kapal yang akan lewat bisa
menghindari alat tangkap yang dipasang.
c. Tidak memakai ukuran yang dilarang (berdasarkan S K. Menteri Pertanian No.
607/KPB/UM/9/1976 butir 3), yang menyatakan bahwa mata jaring di bawah
25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan.
d. Tidak melakukan kegiatan usaha penangkapan di perairan atau di daerah
penangkapan ikan yang sudah dinyatakan lebih tangkap (over fishing ), di
daerah kawasan konservasi yang dilarang, di daerah penangkapan yang
dinyatakan tercemar dengan logam berat dan kawasan perairan lainnya yang
dinyatakan terlarang.
e. Tidak melakukan pencemaran yang akan mengakibatkan berubahnya tatanan
lingkungan sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh tidak membuang alat
tangkap jaring bekas atau gotongan-gotongan jaring atau benda lain
(bahan bakar bekas pakai, seperti oli, bensin, dan bahan kimia lainnya).
2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap)
Pemanfaatan sumberdaya hayati dapat berkelanjutan jika volume produksi
dari suatu usaha yang di lakukan dapat memberikan suplai yang tetap,
sehingga dapat memberikan jaminan bagi sektor lain segerti pengolahan dan
pemasaran
3) Harga dan pemasaran terjamin
Dalam rangka mendorong pemanfaatan sumberdaya hayati laut secara
berkelanjutan maka harus ada jaminan pemasaran dan harga hasil
tangkapan yang wajar. Fluktuasi harga yang terlaIu tinggi atau tidak
terjaminnya pasar akan berdampak terhadap kelangsungan usaha.
4) Usaha penangkapan masih menguntungkan
Potensi sumberdaya ikan yang terdapat pada suatu perairan sangat
menentukan keuntungan suatu usaha penangkapan. Oleh sebab itu data dan
informasi yang akurat mengenai potensi sumberdaya ikan di suatu kawasan
perairan sangatlah penting, termasuk spesies, habitat dan musimnya.
Ketersediaan informasi dan data tersebut akan meningkakan efisiensi usaha
penangkapan yang akan dikembangkan.
5) Tidak menimbulkan konflik sosial
Konflik sosial dalam bidang perikanan, khususnya penangkapan ikan
merupakan suatu gejala sosial yang sering ditemukan disebabkan karena
perebutan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas.
6) Memenuhi persyaratan legal
Aspek legalitas merupakan hal penting dalam setiap usaha, termasuk usaha
penangkapan ikan. Adanya kepastian hukum dalam berusaha yang dilakukan
oleh para nelayan akan memberikan jaminan ketenangan dalam berusaha.
7) Minim investasi
Investasi yang tinggi dalam pemanfaatan sumberdaya laut cenderung akan
mengeksploitasi sumber daya alam, sehingga akan berdampak pada sektor lain.
8) Penggunaan bahan bakar minyak yang optimal.
9) Bahan bakar minyak merupakan sumber daya energi yang sangat vital dalam kegiatan
penangkapan ikan. Naik nya harga bahan bakar minyak, khususnya solar telah
menyebabkan terpuruknya nelayan di wilayah perairan Indonesia.

Disamping kegiatan penangkapan ikan, pemanfaatan dan pengelolaan SDKP


juga dapat dilakukan dengan pembudidayaan daerah pesisir dan laut. Pembudidayaan
itu antara lain tambak, budidaya rumput laut, dan budidaya kepiting rajungan.
Pembudidayaan daerah pesisir dan laut juga harus dilakukan dengan
memperhatikan
kelangsungan ekosistem, antara lain yang telah dilakukan oleh masyarakat di
provinsi
Sulawesi Selatan yaitu :
1) Budidaya Tambak dengan Pola Silvofishery System

Teknologi budidaya tambak dengan pola silvofishery system oleh


masyarakat di Sinjai dilakukan terlebih dahulu dengan menanam bakau di
wilayah pesisir Kabupaten Sinjai. Setelah bakau-bakau tersebut besar, bakau
nya di tebang dan tanah yang timbul dari kegiatan penanaman bakau
tersebut dibuat jadi tambak. Setelah terbentuk tambak, pada pematang
tambak ditanami lagi dengan bibit bakau dan masyarakat bisa memelihara
ikan bandeng (Channos channos), udang windu (Penaeus monodon) dan
rumput laut (Gracillaria) di dalam tambak tersebut.
Dengan mode1 silvofishery system tersebut diatas, aspek ekonomi masyarakat
terpenuhi dari kegiatan budidaya ikan, udang dan rumput laut dalam tambak,
sedangkan aspek perlindungan pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan
tetap menjaga bakau-bakau di pematang tambak dan bagian terluar dari
tambak yang terbentuk dengan greenbelt sekitar 100-200 meter. Kegiatan
penanaman bakau dan pe mbuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh
masyarakat walaupun tanpa bantuan pemerintah sehingga konsep dengan
sendirinya di wilayah pesistr tersebut.

2) Budidaya Rumput Laut

Sulawesi SeIatan merupakan salah satu sentra pengembangan rumput laut di


Indonesia. Untuk lebih mengembangkan potensi tersebut, Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan menetapkan kawasan pengembangan rumput
laut pada tujuh kabupaten berdasarkan SK Gubernur No 904/XI/1996
tentang pusat pengembangan produksi rumput laut di Sulawesi SeIatan.
Kawasan pengembangan tersebut adalah Kabupaten Pangkep, Maros,
Takalar, Jemponto, Bulukumba, Sinjai dan Selayar.
Budidaya rumput laut yang telah dikembangkan di wilayah pesisir Sulawesi
Selatan dan pulau -pulau keci1 di Liukangn Tupabbiring, Ujung Tanah dan Pulau
Sembilan adalah rumput laut jenis Eucheuma cottonii dan Gracillaria
verucosa. Pengembangan budidaya Eucheuma dilakukan di laut,
sedangkan Gracillaria pada umumn ya dilakukan di dalam tambak.

3) Budidaya Kepiting Rajungan

Kepiting rajungan merupakan salah satu komoditi penting perikanan yang pada
saat ini mengalami peningkatan produksi, baik diperoleh dari usaha
penangkapan di alam, maupun dari hasil budidaya. Produksinya
mengalami peningkatan setiap tahun dan sampai tahun 1997 produksi
rajungan telah mencapai 14.338 ton dari hasil penangkapan di alam dan
2.095 ton dari hasil budidaya.
Komoditi rajungan Indonesia sudah mendapat tempat di pasaran
internasional yaitu 60 persen kebutuhan Amerika dipasok dari Indonesia. Ini
berarti bahwa pasaran rajungan sudah mendapat tempat khusus di
pasaran internasional dan nelayan di tanah air pun secara tidak langsung
mendapat tambahan penghasilan lewat komoditi tersebut. Produksi daging
rajungan yang masuk ke pasaran Amerika setiap tahunnya sekitar 8-9
juta ton (Suam Pembaharuan, 2002).

Menurut Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah Provinsi


Sulawesi Selatan (BPPMD, 2002), daerah penangkapan rajungan di
Sulawesi SeIatan terutama terdapat pada perairan Teluk Bone dan
Liukang Tupabbiring di Selat Makassar. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa jumlah produksi rajungan sebesar 672.10 ton diperoleh dari
daerah penangkapan di pesisir pantai sekitar Liukang Tupabbiring.
Karena tingginya permintaan akan kepiting rajungan jumlah populasi
rajungan cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Menurut
Suara Pembaharuan (2005), produksi daging rajungan di lndonesia
sekitar 8.800 ton pertahun, terdiri dari 70 persen berasal dari
penangkapan di alam dan hanya sekitar 30 persen yang dihasilkan
dari kegiatan budidaya.
Pada bulan Mei 2006 Kelompok Tani Mattiro Deceng, Desa Pancana,
telah mencoba budidaya kepiting rajungan dengan menggunakan sistem
polikultur antara rumput laut dan ikan bandeng di Kabupaten Baru,
Sulawesi Selatan. Hasilnya menunjukkan bahwa dari berat bibit 3-5
gram/ekor, jumlah bibit 1000 ekor/ha dengan lama pemeliharaan 2 bulan
dapat menghasilkan 50 kg kepiting rajungan dengan bobot rata-rata 100
gr/ekor dengan harga Rp 20.000/kg.
Keunggulan dari budidaya kepiting rajungan adalah kepiting jenis ini tidak
menggali dan merusak pematang sehingga aman untuk dibudidayakan. Saat
ini, budidaya kepiting rajungan ini sedang dicobakan dengan kepadatan 2000-
3000 ekor bibit/ha. Walaupun masih dalam taraf uji coba, budidaya kepiting
rajungan ini memiliki prospek yang sangat baik untuk terus
dikembangkan di masa depan.

Sumber daya ikan merupakan sumber daya terbarukan dengan tingkat


kompleksitas dan ketidakpastian yang relatif tinggi. Kompleksitas yang tinggi
menyangkut interaksi ekosistem yang melekat pada sumber daya ikan itu sendiri,
sementara ketidakpastian yang tinggi diakibatkan karena sifat sumber daya ikan
itu sendiri yang fugitive (Fauzi, 2004: 135). Dengan demikian strategi pemanfaatan
dan pengelolaan SDKP tidak boleh dilakukan secara parsial. Jika memang
menginginkan keberlanjutan SDKP, maka perlu dilakukan konservasi secara
menyeluruh, tak hanya terhadap ikan, melainkan juga terumbu karang, rumput laut,
mangrove, dan habitat lainnya disamping juga perairan itu sendiri.
Pemanfaatan dan pengelolaan SDKP haruslah senantiasa dilaksanakan secara terpadu
dan berimbang. Pengaturan-pengaturan tidak akan berfungsi efektif tanpa didukung oleh
penegakan hukum yang memadai, penyadaran masyarakat dan partisipasi aktif dari semua
stakeholder di dalam memelihara dan melestarikan SDKP. Sebagaimana disebutkan
dalam code of conduct for responsible fisheries (FAO:1995), “ States and users of
living aquatic resources should conserve aquatic ecosystems. The right to
fish carries with it the obligation to do so in a responsible manner so as to
ensure effective conservation and management of the living aquatic resources”.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Masyarakat pesisir diharapkan memperoleh manfaat terbesar dalam
pembangunan wilayah pesisir. Dalam rangka mendukung pembangunan pesisir
maka kebijakan sosial ekonomi perlu direkayasa-ulang (re-engineering), yakni
diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sekaligus menjaga kelestarian
sumberdaya sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dipercepat
serta dilakukan secara berkelanjutan.
Berbagai program pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dikembangkan saat ini,
pada
intinya harus menjawab dua hal mendasar, yaitu:
1. kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan sumberdaya pesisir yang
terancam seperti tanah, air, pemandangan dan nilai-nilai estetika lainnya,
serta komponen-komponen alamiah seperti pantai, bukit pasir, daerah estuari,
pulau-pulau kecil dan lain sebagainya.
2. kebutuhan untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya pesisir secara
rasional, mencari resolusi atas konflik pemanfaatan, dan mencapai
keseimbangan rasional antara pembangunan dan pelestarian sumberdaya.
Pengembangan masyarakat pesisir harus didasarkan pada pengelolaan wilayah
pesisir, daerah aliran sungai dan laut yang komperehensif, sehingga menuntut (1)
perhatian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai sumberdaya alam yang
unik; (2) optimalisasi pemanfaatan serbaneka dari ekosistem pesisir dan lautan
dengan mengitegrasikan segenap informasi ekologis, ekonomis dan sosial; (3)
peningkatan pendekatan multidisipliner dan koordinasi antar sektoral dalam
mengatasi permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan laut yang kompleks.
Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat memberikan hasil diantaranya, Yaitu :
(1) terpeliharanya kualitas lingkungan pesisir dan lautan beserta sumberdaya di
dalamnya
(2) membaiknya kondisi sosial ekonomi-budaya masyarakat pesisir.

4.2 Saran
Kebijakan pembangunan perlu memberikan keberpihakan kepada masyarakat
pesisir
agar kelompok masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan dapat segera
mengejar
ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnnya sehingga tujuan pembangunan
untuk
mencapai kesejahteraan yang adil bagi segenap bangsa Indonesia dapat
diwujudkan.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Amri, Ani. 2006. Arahan Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan di Kepulauan Spermonde. www.google.com
Bahtiar, Rizal. 2006. Bencana Alam dan Hari Bumi. w ww.tempointeraktif.com.
Bahtiar, Rizal. 2007. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan dalam Kegiatan
Ekonomi. www.google.com
FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan
Aplikasi.
Adrianto, L. 2005. Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam
Perspektif Negara Berkembang. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta,
Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hlm 481.
Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries
Technical

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai