Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah pesisir dan lautan memiliki arti strategis karena merupakan wilayah
peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-
jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya
dipahami dan diintegrasikan secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan bias
daratan, akhirnya menjadikan lautan sebagai kolam sampah raksasa. Dari sisi social ekonomi,
pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha
asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di
Indonesia. Kekayaan sumber daya laut tersebut menimbulkan daya tarik dari berbagai pihak
untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi
pemanfaatannya.
Bila dibandingkan dengan kelompok pelaku ekonomi lainnya, kelompok ekonomi
yang mengalami kondisi keterasingan dari dinamika perekonomian nasiaonal lebih parah
terjadi pada kelompok nelayan. Hal ini banyak bersumber dari sifat dasar arena aktifitas yang
dimiliki yang tidak memiliki dukungan perangkat hukum yang memadai, seperti tidak
dimungkinkannya pemilikan laut atau kawasan pantai sebagai aset produksi, kebutuhan
investasi yang relatif besar dan beresiko tinggi, serta luas pemasaran yang cenderung hanya
untuk memenuhi kebutuhan local. Kondisi seperti ini mengakibatkan kelompok masyarakat
nelayan cenderung tertinggal jauh dibandingkan dengan kelompok lain yang bekerja
didaratan.
Hal ini yang muncul di permukaan dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas
hidup nelayan adalah keterdesakkan kelompok masyarakat ini akibat semakin intensifnya
penetrasi nelayan asing terhadap sumber daya dan pasar domestic. Pengusaha dalam bidang
marine-bisnis nasional dengan modal besar dengan jaringan pasar yang luas dan pemanfaatan
teknologi yang hampir mustahil tersaingi oleh kelompok masyarakat nelayan nasional. Upaya
perlindungan melalui peraturan daerah dan peningkatan kemandirian kelompok masyarakat
ini merupakan agenda yang mendesak untuk segera diselesaikan sebagai bagian integral
pengembangan masyarakat nelayan.
Keseluruhan kecenderungan pembangunan tersebut melahirkan ketersaingan
kelompok yang tidak hanya nampak pada tingkat pendapatan yang dimiliki, melainkam juga
pada kualitas hidup, pola aktifitas ekonomi, skala dan jenis output yang dihasilkan. Tentu saja
pergantian generasi pada kelompok masyarakat ini juga berlangsung secara marjinal dengan
segala konsekwensi social yang terbawa serta. Bila keadaan seperti ini berlanjut, maka
investasi yang dibutuhkan untuk pengelolaan sumber daya kelautan, dan upaya
pengembangan sumberdaya manusia makin bertambah mahal.

1. Pembangunan Kualitas Manusia


Menurut Brian dan White dalam Widodo, menyatakan ada 4 aspek yang terkandung
dalam pembangunan kualitas manusia sebagai sebagai upaya peningkatan kapasitas mereka :
1). Pembangunan harus memberikan penekanan pada kapasitas kepada apa yang harus dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta energi yang diperlukan.
2). Pembangunan harus menekankan pada pemerataan (equity) perhatian yang tidak merata pada
masyarakat, akan memecahkan masyarakat dan akan menghancurkan kapasitas mereka.
3). Pembangunan mengandung arti pemberian kuasa dan wewenang yang lebih besar pada
rakyat. Hal pembangunan baru cukup bermanfaat bagi masyarakat bila mereka memiliki
wewenang yang sepadan. Pembangunan harus mengandung upaya peningkatan wewenang
pada kelompok masyarakat lemah. Koreksi terhadap keputusan-keputusan yang tidak adil
tentang alokasi hanya dapat dilakukan bila kelompok lemah ini mempunyai wewenang yang
sangat besar.
4). Pembangunan mengandung kelangsungan perkembangan (sustainable) dan interdependensi
di antara Negara-negara dunia. Karena konsep kelangsungan dan kelestarian pembangunan,
kendala sumber daya yang terbatas dan langka akan menjadi pertimbangan pertama dalam
upaya peningkatan kapasitas.
Pemberdayaan pada hakikatnya merupakan suatu usaha untuk mengatasi ketidak
berdayaan individu dan masyarakat, mengatasi adanya perasaan inpotensial – emosional dan
sosial dalam menghadapai masalah dan meningkatkan kemampuan mengambil keputusan
yang menyangkut dirinya sendiri dan memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan
diri.pemberdayaan adalah peningkatan potensi atau daya individu dan masyarakat atas dasar
aspirasi dan kebutuhannya dan bertumpuh pada kemampuan dan perkembangan individu dan
masyarakat yang bersangkutan.

2. Paradigma Pembangunan Kualitas Manusia


Menurut Widodo, untuk dapat memberdayakan sumber daya manusia dapat
digunakan salah satu paradigma yang disebut dengan paradigma pembangunan yang
bertumpuh pada manusia.
Paradigma yang bertumpuh pada manusia ini, memberikan peran individu bukan sebagai
objek pembangunan, tetapi sebagai subjek (pelaku) yang menentukan tujuan, menguasai
sumber-sumber, mengarahkan proses menentukan hidup mereka. Karenanya paradigma
pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan rakyat sebagai lawan bagi pembangunan
yang berpihak pada produksi dan akumulasi.
Pokok pikiran dari paradigma pembangunan yang bertumpuh pada manusia, dijadikan
tumpuan dari pengelolaan sumber daya local yang disebut dengan community based
resources management (CBRM). CBRM merupakan sosok manajemen pembangunan yang
mencoba menjawab tantangan yaitu kemiskinan, memburuknya lingkungan hidup, dan
kurangnya partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan yang menyangkut dirinya.
CBRM merupakan mekanisme perencanaan “ people centered development” yang
menekankan pada teknologi social learning, dan strategi perumusan program yang bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengaktualisasikan diri (empowerment).

B. Rumusan Masalah?
1. Bagaimana mengentahui potensi Sumber Daya Pesisir dan Lautan dalam ruang lingkup
pemberdayaan masyarakat pesisir?
2. Bagaimana menjelaskan tentang strategi pemberdayaan masyarakat pesisir?
3. Bagaimana menjelaskan dinamika social kelompok masyarakat pesisir?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Potensi Sumber Daya Pesisir dan Lautan


Sektor kelautan mulai diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dalam pembangunan
sejak Repelita VI rezim Orde Baru. Sejak kemerdekaan sampai awal Repelita VI tersebut,
pemerintah lebih memperhatikan eksploitasi sumber daya daratan, karena pada masa tersebut
daratan mempunyai potensi yang sangat besar, baik sumber daya mineral maupun sumber
daya hayati, seperti hutan. Namun setelah hutan ditebang habis sumber minyak dan gas baru
sulit ditemukan di daratan, maka pemerintah berpaling ke sektor kelautan.
Potensi kelautan Indonesia sangat besar dan beragam, yakni memiliki 17.508 pulau
dengan garis pantai sepanjang 81.000 Km dan 5,8 juta kilometer laut atau sebesar 70% dari
luas total wilayah Indonesia. Potensi tersebut tercermin dengan besarnya keanekaragaman
hayati. Potensi budidaya perikanan pantai dan laut sentral pariwisata bahari.
Namun potensi kelautan yang besar tersebut baru dimanfaatkan sebagian kecilnya saja.
Sebagai contoh, potensi perikanan laut baru dimanfaatkan sebersar 62% saja. Potensi
perikanan pantai dan lautan juga baru dimanfaatkan sebagian kecil saja. Demikian juga
pariwisata bahari baru dimanfaatkan pada pulau-pulau tertentu saja. Biota laut untuk
pengembangan industri pangan, kosmetik, dan farmasi baru sebagian kecil dimanfaatkan.
Jasa perhubungan laut antara pulau di tanah air maupun dengan negara-negara lain sebagian
besar masih didominasi oleh pelayaran asing. Sumber minyak dan gas bumi dilaut sudah
banyak dimanfaatkan, namun baru sebagian kecil dari potensi yang ada.

B. Masalah dan Isu Strategi


1. Masalah
Ada beberapa masalah yang dilihat dari beberapa aspek yang dihadapi dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pesisir, yaitu :
a. Aspek sosial
1. Masih lemahnya kesadaran masyarakat terhadap ancaman kerusakan pesisir.
2. Masih kurangnya keterlibatan dan kemampuan masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara
aktif dan diberdayakan dalam upaya berbagai pelestarian lingkungan serta dalam proses
pengambilan keputusan untuk pengelolaan sumber daya pesisir.
b. Aspek ekonomi
1. Belum dilaksanakannya secara optimal dan berkelanjutan kegiatan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya pesisir karena keterbatasan modal, sarana produksi, pengetahuan
dan keterampilan, serta faktor eksternal seperti keterbatasan pelayanan dan penyediaan
fasilitas oleh pemerintah.
2. Masih perlu ditingkatkannya koordinasi dalam penyusunan perencanaan dan pengambilan
keputusan oleh instansi-instansi pemerintah daerah yang berkaitan dengan pembangunan
pesisir.
c. Aspek ekologis
Masih rendahnya pengertian dan kesadaran masyarakat untuk melindungi, menjaga
keseimbangan dan memantapkan ekosistem pesisir, sehingga terjadi banyak pengrusakan
hutan bakau (magrove), tumbuh karang dalam jangka waktu pendek.
d. Aspek administratif
Masih perlunya ditingkatkan koordinasi dan mekanisme administrasi dan
penyusunan perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya pesisir dan perairan karena selama ini masih terdapat banyak tumpang tindih
wewenang dan tanggung jawab diantara lembaga-lembaga pemerintah.
2. Isu Strategi
Disamping permasalahan-permasalahan diatas, terdapat isu-isu strategi dalam
pengelolaan sumber daya pesisir dan laut untuk ke depan, yaitu :
a. Rendahnya sumber daya manusia terutama pada masyarakat bahari.
b. Lemahnya kemampuan kelembangaan pada sektor pemerintah dan masyarakat.
c. Belum dikelolahnya potensi sumber daya pesisir khususnya perikanan secara optimal sebagai
suatu usaha yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan pendapatan
daerah dan masyarakat
d. Belum dikembangkan secara optimal potensi pariwisata sebagai salah satu sektor andalan
dalam pembangunan daerah.
e. Kurang memadainya pembangunan diwilayah kepulauan baik pembangunan prasarana sosial
maupun prasarana fisik.

3. Studi Kasus
- Kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir dan lautan Indonesia
Pada umumnya, kerusakan tumbuh karang yang ada pada wilayah Indonesia
disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat desktruktif, yaitu penggunaan
bahan-bahan peledak, bahan beracun dan juga aktifitas penambangan karang untuk bahan
bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan
sedimentasi akibat meningkatnya erosi dan lahan atas.

- Pencemaran dan sedimentasi


Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan di Indonesia pada saat ini
telah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Kawasan yang termasuk kategori
tingkat pencemaran yang tinggi adalah Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimatan Timur, Riau, Lampung, dan sulawesi
Selatan. Kawasan dengan kategori pencemaran sedang adalah Provinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, DI Aceh, Jambi, Maluku, Sulawesi Utara. Sedangkan kawasan yang
tingkat pencemarannya rendah adalah Sulawesi Tenggara, Irian Jaya, Bengkulu.
Dari seluruh perairan di Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran yang
diakibatkan oleh tumpahan minyak adalah selat malaka, selat makassar, dan jalur-jalur yang
dilalui kapal tangker. Posisi strategi tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi,
dilain pihak juga mengundang resiko terhadap bahaya kerugian dari segi ekologis. Kerugian
secara ekologis tersebut berdampak cukup luas baik secara ekonomis maupun sumber daya
alam.

C. Skenario Pengembangan kelompok Nelayan


Pengembangan kelompok nelayan tidak dapat hanya didekati dari sudut yang sempit
atau secara sektoral. Pengembangan suatu sistem yang didasari oleh pendekatan
pembangunan masyarakat, merupakan cara yang terbaik. Dalam hubunga ini, pengembangan
kualitas kelembangaan, kualitas sumber daya manusia, dan infrastruktur penunjang dan atau
pemanfaatan infrastruktur yang telah ada kedalam skenario pengembangan, merupakan suatu
pola pembangunan masyarakat yang memerlukan perumusan permasalahan secara
terintegrasi. Interaksi fungsional keseluruhan variabel strategis tersebut diharapkan sanggup
menciptakan proses pemberdayaan kelompok masyarakat nelayan yang dapat
mempertahankan diri dan terlindungi dari pola interaksi yang sehat dengan kelembagaan lain
yang sejenisnya dan atau yang terkait dalam menjalankan usahanya.

D. Strategi Pengembangan
Terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam strategi pengembangan,
yaitu :
a. Penentuan kelompok sasaran yakni keluarga nelayan dengan melakukan pemetaan kualitas
hidup, potensi dan kendala pengembangan yang mereka hadapi
b. Selanjutnya ditentukan sasaran wilayah pengembangan yang merupakan pemetaan sumber
daya biota laut yang paling layak untuk dikembangkan baik dari sudut daya dukung yang
dimiliki maupun terhadap daya saing pada pasar regional, nasional, dan global.
c. Kemudian dirumuskan kendala kelembagaan yang dimiliki, baik yang telah melekat secara
historis maupun karena adanya perkembangan eksternal yang me\nyebabkan terciptanya
kendala kelembagaan.
d. Langkah penting lainnya adalah penentu mitra usaha bagi para kelompok nelayan, baik dari
lembaga pemerintah maupun swasta nasional atau asing. Dalam hubungan ini dilakukan
evaluasi peluang dan hambatan pengembangan kemitraan terhadap lembag-lembaga yang
terkait dan pemecahan yang paling memungkinkan untuk mengatasinya.
e. Perumusan model monitoring dan evaluasi dan lembaga-lembaga terkait.

1. Pengembangan Kope
2. rasi Nelayan dan Unit Usaha Nelayan
Terdapat beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dan dirumuskan, baik dalam
bentuk peraturan pemerintah, maupun aturan main koperasi nelayan dan atau unit usaha
nelayan yang terbentuk sebagai tindak lanjut pembentukan kelompok nelayan yang telah
dilakukan sebelumnya. Adapun aspek-aspek tersebut, paling tidak menyangkut beberapa hal
utama :
a. Rumusan bentuk profit shering antara anggota kelompok nelayan, koperasi dan pelaku
ekonomi swasta (nasional atau asing)
b. Hak dan kewajiban anggota dan pola manajemen kelompok / koperasi / unit usaha.
c. Sebagai lembaga yang menjembatani pihak nelayan dengan lembaga financial / perbankkan
dan kelompok nelayan
d. Perluasan pelayan koperasi atau kelompok nelayan yang bersifat non ekonomis, seperti
pelayanan jasa financial, bantuan teknis baik terhadap usaha ekonomi ekonomi yang
dilakukan maupun terhadap pemeriharaan asset produksi yang dimiliki, maupun terhadap
bantuan aktifitas social yang berkaitan dengan budaya setempat.

2. Pengembangan Model Adaptasi Teknologi Marikultural


Pengembangan model adaptasi teknologi, khususnya pembudidayaan hasil laut,
merupakan tahapan yang paling strategis. Adaptasi teknologi yang dimaksud disini bukan
hanya yang berhubungan dengan aspek keterampilan teknis, melainkan mencakup
pengorganisasian dan peningkatan kemampuan manejerial. Adapun tahapan dari materi yang
akan ditawarkan kepada kelompok masyarakat nelayan secara garis besarnya meliputi :
a. Pelatihan dan percontohan dalam bidang budidaya hasil laut. Aktifitas ini dilakukan secara
bertahap dan bergilir terhadap kelompok masyarakat nelayan pada wilayah sasaran.
b. Pemagangan bagi kelompok nelayan yang merupakan target pada tahap lebih lanjut pada
kelompok yang telah terlatih sebelumnya atas pengawasan kelompok penyuluhan, akan akan
dilaksanakan agar proses adaptasi teknologi dapat menyebar.
c. Studi banding di daerah yang lebih maju, kelompok nelayan yang kemudian hari
dianggapsanggup sebagai pengerak kelompok akan dipilh untuk berkunjung pada daerah
yang lebih maju.
d. Materi dasar yang akan merupakan titik bertkan proses adaptasi teknologi adalah :
1. Peningkatan keterampilan dalam proses produksi
2. Peningkatan kemampuan manajerial usaha
3. Peningkatan kemampuan kualiti control
4. Keterkaitan fungsional antara kegiatan budidaya hasil laut dan lingkungan hidup.

E. Dinamika Sosial Masyarakat Pesisir


a. Konteks Masyarakat Nelayan
Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut
(Kusnadi, 2009).
Menurut Imron (2003) dalam Mulyadi (2005), nelayan adalah suatu kelompok
masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara
melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai,
sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Seperti masyarakat
yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah politik, sosial dan ekonomi
yang kompleks. Masalah-masalah tersebut antara lain:
1. Kemiskinan, kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat.
2. Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga memengaruhi dinamika usaha.
3. Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada.
4. Kualitas sumberdaya mayarakat yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan,
kesehatan, dan pelayanan public.
5. Degradasi sumberdaya lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil.
6. Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama
pembangunan nasional (Kusnadi, 2006 dalam Kusnadi 2009).
Masalah actual lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa potensi untuk
berkembangnya jumlah penduduk miskin di kawasan pesisir cukup terbuka. Hal ini
disebabkan dua hal penting berikut ini:
1) Meningkatnya degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan pesisir laut. Degradasi
lingkungan ini terjadi karena pembuangan limbah dari wilayah darat atau perubahan tata guna
lahan di kawasan pesisir untuk kepentingan pembangunan fisik. Kondisi demikian akan
menyulitkan nelayan memperoleh hasil tangkapan, khususnya di daerah-daerah perairan yang
sudah dalam kondisi tangkap lebih.
2) Membengkaknya biaya-biaya operasi penangkapan karena meningkatnya harga bahan bakar
minyak (bensin dan solar), sehingga nelayan mengurangi kuantitas operasi penangkapan.
Untuk menyiasati kenaikan harga bahan bakar ini, nelayan menggunakan bahan bakar
minyak tanah dicampur dengan oli bekas atau solar. Bahan bakar oplosan ini untuk
menggantikan bahan bakar bensin dan solar. Hal ini berdampak negatif terhadap kerusakan
mesin perahu, sehingga dapat membebani biaya investasi nelayan.
Kedua hal di atas berpengaruh signifikan terhadap perolehan pendapatan nelayan dan
kelangsungan usaha nelayan.
b. Penggolongan Nelayan
Beberapa kelompok nelayan memiliki beberapa perbedaan dalam karakteristik sosial
dan kependudukan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada kelompok umur, pendidikan, status
sosial dan kepercayaan. Dalam satu kelompok nelayan sering juga ditemukan perbedaan
kohesi internal, dalam pengertian hubungan sesama nelayan maupun hubungan
bermasyarakat (Townsley 1998 dalam Widodo, 2006).
Charles 2001 dalam Widodo 2006 membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok
yaitu:
1. Nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk
memenuhi kebutuhan sendiri.
2. Nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyak
memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk
melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang sangat kecil.
3. Nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), yaitu orang-orang yang secara prinsip
melakukan kegiatan penangkapan hanya sekedar untuk kesenangan atau berolahraga, dan
4. Nelayan komersial (commercial fishers), yaitu mereka yang menangkap ikan untuk
tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar ekspor.
Kelompok nelayan ini dibagi dua, yaitu nelayan skala kecil dan skala besar.
Dari empat pengelompokan tersebut sudah sangat sulit menemukan dua kelompok
yang pertama. Sementara kelompok ketiga walaupun di beberapa negara maju berbagai
kegiatannya telah terdokumentasi dengan baik namun di beberapa negara berkembang seperti
Indonesia misalnya, sulit ditemukan. Di samping pengelompokkan tersebut, terdapat
beberapa terminologi yang sering digunakan untuk menggambarkan kelompok nelayan,
seperti nelayan penuh untuk mereka yang menggantungkan keseluruhan hidupnya dari
menangkap ikan; nelayan sambilan untuk mereka yang hanya sebagian dari hidupnya
tergantung dari menangkap ikan (lainnya dari aktivitas seperti pertanian, buruh dan tukang);
juragan untuk mereka yang memiliki sumberdaya ekonomi untuk usaha perikanan seperti
kapal dan alat tangkap; dan anak buah kapal (ABK/pandega) untuk mereka yang
mengalokasikan waktunya dan memperoleh pendapatan dari hasil pengoperasian alat tangkap
ikan, seperti kapal milik juragan.
Disamping pembagian diatas, Widodo 2006 juga mengemukakan beberapa
pembagian lain seperti daya jangkau armada perikanan dan juga lokasi penangkapan ikan.
Dapat disebutkan misalnya nelayan pantai atau biasanya disebut:
1. Perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang didominasi oleh
perahu tanpa motor atau kapal motor tempel,
2. Perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT, dan
3. Perikanan samudera untu kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target
perikanan tunggal seperti tuna.
c. Posisi Nelayan dalam Masyarakat Pesisir
Menurut Kusnadi (2009), dalam perspektif stratifikasi sosial ekonomi, masyarakat
pesisir bukanlah masyarakat yang homogeny. Masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompok-
kelompok sosial yang beragam. Dilihat dari aspek interaksi masyarakat dengan sumberdaya
ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir, masyarakat pesisir terkelompok sebagai berikut:
1. Pemanfaat langsung sumberdaya lingkungan, seperti nelayan (yang pokok),
pembudidaya ikan di perairan pantai (dengan jarring apung atau karamba), pembudidaya
rumput laut/mutiara, dan petambak.
2. Pengolah hasil ikan atau hasil laut lainnya, seperti pemindang, pengering ikan, pengasap,
pengusaha terasi/krupuk ikan/tepung ikan, san sebagainya; dan
3. Penunjang kegiatan ekonomi perikanan, seperti pemilik toko atau warung, pemilik
bengkel (montir dan las), pengusaha angkutan, tukang perahu dan buruh kasar (manol).
Tingkat keragaman (heterogenitas) kelompok-kelompok sosial yang ada dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan desa-desa pesisir. Desa-desa pesisir atau desa-desa nelayan yang
sudah berkembang lebih maju dan memungkinkan terjadinya diversifikasi kegiatan ekonomi,
tingkat keragaman kelompok-kelompok sosialnya lebih kompleks daripada desa-desa pesisir
yang belum berkmbang atau yang terisolasi secara geografis. Di desa-desa pesisir yang sudah
berkembang biasanya dinamika sosial berlangsung secara intensif.
Selanjutnya Kusnadi (2009) mengatakan, di desa-desa pesisir yang memiliki potensi
perikanan tangkap (laut) cukup besar dan memberi peluang mata pencarian bagi sebagian
besar masyarakat pesisir melakukan kegiatan penangkapan, masyarakat atau kelompok sosial
nelayan merupakan pilar sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir. Karena masyarakat
nelayan berposisi sebagai produsen perikanan tangkap, maka kontribusi mereka terhadap
dinamika sosial ekonomi lokal sangatlah besar. Peluang kerja di sektor perikanan tangkap ini
tidak hanya memberi manfaat secara sosial ekonomi kepada masyarakat lokal, tetapi juga
kepada masyarakat-desa-desa lain di daerah hulu yang berbatasan dengan desa nelayan
tersebut.
Karena masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam
struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik
kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Karakteristik yang
menjadi ciri-ciri sosial budaya masyarakat nelayan adalah sebagai berikut: memiliki struktur
relasi patron-klien yang sangat kuat, etos kerja tinggi, memanfaatkan kemampuan diri dan
adaptasi optimal, kompetitif dan berorientasi prestasi, apresiatif terhadap keahlian, kekayaan
dan kesuksesan hidup, terbuka dan ekspresif, solidaritas sosial tinggi, sistem pembagian kerja
berbasis seks (laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum perempuan), dan
berperilaku “konsumtif” (Kusnadi, 2009).
Patron-klien merupakan basis relasi sosial masyarakat nelayan atau masyarakat
pesisir. Relasi sosial patron-klien sangat dominan dan terbentuk karna karakteristik kondisi
mata pencarian, sistem ekonomi, dan lingkungan. Hubungan-hubungan demikian terpola
dalam kegiatan organisasi produksi, aktivitas pemasaran, dan kepemimpinan sosial. Pola-pola
hubungan patron-klien dapat menghambat atau mendukung perubahan sosial ekonomi.
Namun demikian, dalam kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi, pola-pola hubungan patron-
klien harus diperlakukan sebagai modal sosial atau potensi pemberdayaan masyarakat
(Kusnadi, 2009).
d. Nelayan dan Kemiskinan
Menurut Mulyadi (2007), kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan
multidimensional, baik dilihat dari aspek kultural maupun aspek struktural. Ada empat
masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack
of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level-
security) dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan polotik sehingga menyebabkan
kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan
(powerlessness) dalam segala bidang.
Dilihat dari lingkupnya, kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana dan
kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat diindikasikan pada ketersediaan prasarana
fisik di desa-desa nelayan, yang pada umumnya masih sangat minim, seperti tidak
tersedianya air bersih, jauh dari pasar, dan tidak adanya akses untuk mendapatkan bahan
bakar yang sesuai dengan harga standar. Kemiskinan prasarana secara tidak langsung juga
memiliki andil bagi munculnya kemiskinan keluarga, kemiskinan prasarana jugadapat
mengakiban keluarga yang berada garis kemiskinan (near poor) bisa merosot ke dalam
kelompok keluarga miskin (Mulyadi, 2007).
Menurut Soetrisno (1995) dalam Mulyadi 2007, hal utama yang terkandung dalam
kemiskinan adalah kerentanan dan ketidakberdayaan. Dengan kerentanan yang dialami, orang
miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada
nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk
keperluan melaut. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual,
dan tidak ada dana cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan yang mendesak. Hal
yang sama juga dialami oleh nelayan buruh, mereka merasa tidak berdaya di hadapan para
juragan yang telah mempekerjakannya, meskipun bagi hasil yang diterimanya dirasakan tidak
adil.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang menjadi
kesimpulan dalam makalah ini, sebagai berikut :
1. Pemberdayaan pada hakikatnya merupakan suatu usaha untuk mengatasi untuk mengatasi
ketidakberdayaan individu dan masyarakat dalam menghadapi masalah dan meningkatkan
kemampuan mengambil keputusan yang menyangkut dirinya sendiri dan memberi
kesempatan untuk mengaktualisasikan diri.
2. Bila dilihat dari studi kasus, maka dapat disimpulkan bahwa masih kurangnya masyarakat
pesisir terhadap ancaman kerusakan pesisir dan laut, seperti kegiatan-kegiatan perikanan
yang bersifat desktruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun, dan lain-
lain
3. Bila dibandingkan dengan kelompok ekonomi lainnya, kelompok pelaku ekonomi yang
mengalami keterasingan dari dinamika perekonomian nasional lebih parah terjadi pada
kelompok nelayan.
4. Rendahnya pemanfaatan potensi sumber daya pesisir dan lautan yang sedemikian besar
terutama disebabkan karena berbagai macam Kendala yang dihadapi terutama pada
masyarakat pesisir misalnya : rendahnya kualitas SDM, keterbatasan akses pasar, sumberdaya
financial, teknologi dan lain-lain.

B. Saran
Makalah ini masih memiliki kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan.

Anda mungkin juga menyukai