Anda di halaman 1dari 12

PENGEMBANGAN MASYARAKAT MARITIM DAN DESA/KOMUNITAS

PANTAI DAN PULAU-PULAU

Nur Fadillah Khairani DL

Prodi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Kelautan dan


Perikanan, Universitas Hasanuddin

E-Mail: khairanidilla22@gmail.com

ABSTRAK

Pengembangan masyarakat maritim perlu dikembangkan untuk


meningkatkan daya saing. Kondisi geografis Indonesia yang didominasi
oleh laut memerlukan peningkatan infrastruktur maritim untuk kelancaran
distribusi barang dan kualitas pengangkutannya. Hingga saat ini,
ditemukan adanya inefisiensi transportasi laut dalam negeri. Secara lebih
rinci penulis menilai bahwa terdapat dua masalah pokok dalam
perwujudan konektivitas maritim, yaitu aspek internal dan eksternal yang
berhubungan dengan pengembangan masyarakat maritim dan
desa/komunitas pantai dan pulau-pulau. Sedangkan untuk
keberhasilannya penulis mengemukakan bahwa perbaikan fasilitas
pelabuhan, penyediaan energi, teknologi informasi, sumber daya manusia,
dan lain sebagainya.

Kata kuci : Masyarakat Maritim,Pengembangan masyarakat maritim.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah


masyarakat bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik
sumber hayatinya maupun non hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu

1
dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif.
Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya Indonesia adalah negara
maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun sangatlah ironis
sejak 46 tahun yang lalu kebijakan pembangunan kesehatan masyarakat
tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.

Munculnya tatanan masyarakat maritim sebagai suatu komunitas


tradisional berawal dari kebangkitan kerajaan maritim di Sulawesi Selatan
yang sangat berpengaruh di Kawasan Timur Indonesia pada abad XV –
XVII. Setidaknya, ada tiga ciri utama pola dasar pembentukan kehidupan
budaya masyarakat maritim yaitu kultur laut (tas‘ akkajang), tradisi agraris
(pallaon ruma) dan mobilitas pasar (pasa-maroae) atau pedagang. Ketiga
pola ini erat hubungannya dengan ekologi, letak geografis dan tatanan
sosial-budaya masyarakat maritim.

B. Tujuan

Agar pembaca mampu memahami pengembangan masyarakat


maritime baik desa,komuditas pantai dan pulau-pulau. Dan pembaca
dapat menganalisis sistem perekonomian, pembangunan Harapan
penulis, makalah ini mendapat kritikan dari pembaca agar penulis dapat
memperbaiki makalah-makalah selanjutnya.

2
PEMBAHASAN

A. Konsep Masyarakat Maritim Masyarakat


menurut Koentjaraningrat (1980), ialah kesatuan hidup manusia
yang beinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan
hidup manusia yang disebut masyarakat ialah berupa kelompok,
golongan, komunitas, kesatuan suku bangsa (ethnic group) atau
masyarakat negara bangsa (nation state). Interaksi yang kontinyu ialah
hubungan pergaulan dan kerja sama antar anggota kelompok atau
golongan, hubungan antar warga dari komunitas, hubungan antar warga
dalam satu suku bangsa atau antar warga negara bangsa. Adat istiadat
dan identitas ialah kebudayaan masyarakat itu sendiri. Selain itu, menurut
Ralph Linton (1956), dalam Sitorus et.al. (1998) mengartikan masyarakat
sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup
lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka
sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

Sementara itu, Soejono Soekanto (1990) merinci unsur-unsur


masyarakat sebagai berikut:

1. Manusia yang hidup bersama

2. Bercampur dalam waktu yang lama

3. Sadar sebagai suatu kesatuan

4. Sadar sebagai suatu sistem hidup bersama

Konsep suku bangsa mengacu pada kesatuan hidup manusia


yang memiliki dan dicirikan dengan serta dasar akan kesamaan budaya

3
(sistem-sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, pola ekonomi,
teknologi, seni, kepercayaan). atau sedesa, kesatuan suku bangsa,
kesatuan administratif, berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa
merupakan negara atau kerajaan, yang sebagian besar atau sepenuhnya
menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak
langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan nonhayati.

B. Pengembangan masyarakat maritim di Indonesia


Salah satu gagasan cemerlang Presiden Jokowi yang mendapat
dukungan publik dengan penuh antusiasme adalah tekadnya untuk
mewujudkan Indonesia sebagai PMD (Poros Maritim Dunia). Yakni
Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi
kelautan, hankam dan budaya maritim.  Lebih dari itu, Indonesia kelak
diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam
berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, IPTEK, hankam sampai
cara menata pembangunan kelautan (ocean governance). Visi Presiden
RI ke-7 itu sangat tepat dan beralasan.  

Pasalnya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di


dunia yang tersusun atas lebih dari 17.000 pulau, dirangkai oleh 95.181
km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan sekitar 70%
wilayahnya berupa laut.  Di wilayah pesisir dan laut itu terkandung
beragam SDA (Sumber Daya Alam) dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) yang sangat besar dan belum dimanfaatkan
secara optimal.

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat


kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui 11
sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya,
(3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan,
(5) pertambangan dan energi (ESDM), (6) pariwisata bahari, (7) hutan
mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau

4
kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional. Total
nilai ekonomi kesebelas sektor ekonomi kelautan itu sekitar 1,2 trilyun
dolar AS/tahun, dan dapat menyediakan lapangan kerja sedikitnya untuk
40 juta orang.  Sampai sekarang, potensi ekonomi kelautan yang luar
biasa besar itu baru dimanfaatkan sekitar 22% dari total potensinya.

C. Pemberdayaan Masyarakat maritim di desa/komunitas pantai


dan pulau-pulau
pemberdayaan adalah suatu proses untuk berdaya, memiliki
kekuatan, kemampuan dan tenaga untuk menguasai sesuatu. Karena itu
maka pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat adalah suatu proses
untuk memiliki atau menguasai kehidupan atau status sosial ekonomi
yang lebih baik. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan
masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi,
jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan
pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Menurut Hikmat (2006),
pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh
kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-haknya
menurut undang-undang.

Menurut Kusnadi (2009) pemberdayaan masyarakat nelayan


diartikan sebagai usaha-usaha sadar yang bersifat terencana, sistematik,
dan berkesinam-bungan untuk membangun kemandirian sosial, ekonomi,
dan politik masyarakat nelayan dengan mengelola potensi sumber daya
yang mereka miliki untuk mencapai kesejahteraan sosial yang bersifat
ber-kelanjutan.

Diperlukan prasyarat/kondisi dan proses yang sistemik didalam


pemberdayaan ekonomi rakyat terutama yang ter-golong masyarakat
miskin, seperti masyarakat nelayan tradisional di pedesaan,komoditas
pantai maupun pulau-pulau yang dimaksudkan adalah:

5
(1) adanya kondisi pemberdayaan
(2) memberikan kesempatan agar masyarakat semakin berdaya
(3) perlindungan agar keberdayaan dapat berkembang
(4) meningkatkan kemampuan agar semakin berdaya
(5) fungsi pemerintah

Sedangkan proses pemberdayaan masyarakat miskin dapat


dilakukan secara bertahap melalui tiga fase yaitu: (1) fase inisial, dimana
pemerintah yang paling dominan dan rakyat bersifat pasif; (2) fase
partisipatoris; dimana proses pemberdayaan berasal dari pemerintah
bersama masyarakat, dan (3) fase emansipatoris, masyarakat sudah
dapat menemukan kekuatan dirinya sehingga dapat melakukan
pembaharuan-pembaharuan dalam mengaktualisasikan dirinya (Pranaka
& Prijono, 1996), dengan bermuara pada tiga sasaran pokok yaitu: (1)
meningkatnya pendapatan masyarakat di tingkat bawah dan menurunnya
jumlah penduduk yang terdapat di bawah garis kemiskinan; (2)
berkembangnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kegiatan
sosial ekonomi produktif masyarakat di daerah pedesaan; dan (3)
berkembangnya kemampuan masyarakat dan meningkatnya kapasitas
kelembagaan masyarakat, baik aparat maupun warga (Sumodiningrat
2000 dalam Juliantara, 2000)

Dengan dilakukan melalui tiga arah yaitu: (1) penciptaan suasana


dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling); (2) penguatan potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat
(empowering); dan (3) perlindungan (protecting) terhadap pihak yang
lemah agar jangan bertambah lemah serta mencegah terjadi persaingan
yang tidak seimbang dan eksploitasi yang kuat atas yang lemah
(Kartasasmita, 1996), serta menggunakan tiga pendekatan ,
yaitu: pertama, pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan
masyarakat harus terarah yakni berpihak kepada orang

6
miskin, kedua, pendekatan kelompok, artinya secara bersama-sama untuk
memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi. Ketiga, pendekatan
pendampingan, artinya selama proses pembentukan dan
penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu didampingi oleh
pendamping yang profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan
dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya
kemandirian (Kartasasmita, 1996 dalam Soegijoko, 1997).

Berdasarkan konsep tersebut, proses pemberdayaan secara


umum meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: merumuskan relasi
kemitraan, mengartikulasikan tantangan dan mengidentifikasi berbagai
kekuatan yang ada, mendefinisikan arah yang ditetapkan, mengeksplorasi
sistem-sistem sumber, menganalisis kapabilitas sumber, menyususn
frame pemecahan masalah, mengoptimalkan pemanfaatan sumber dan
memperluas kesempatan-kesempatan, mengakui temuan-temuan, dan
mengintegrasikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai (Mulekom
1999).

Berkaitan dengan pemberdayan masyarakat pesisir, ada


beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memberdayakan
masyarakat pesisir, di antaranya adalah:

1. Strategi Fasilitasi, yaitu mengharapkan kelompok yang menjadi


sasaran program sadar terhadap pilihan-pilihan dan sumberdaya
yang dimiliki. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif, yaitu
agen peubah secara bersama-sama dengan kliennya (masyarakat)
mencari penyelesaian.
2. Strategi edukatif, yaitu strategi yang diperuntukan bagi masyarakat
yang tidak mempunyai pengetahuan dan keahlian terhadap segmen
yang akan diberdayakan.

7
3. Strategi persuasive, yaitu strategi yang ditujukan untuk membawa
perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku. Strategi ini lebih
cocok digunakan bila target tidak sadar terhadap kebutuhan
perubahan atau mempunyai komitmen yang rendah terhadap
perubahan.
4. Strategi kekuasaan, yaitu strategi yang efektif membutuhkan agen
peubah yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus
atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk
monopolis akses. Untuk terlaksananya strategi-strategi tersebut,
program unggulan harus dibuat dan dilaksanakan secara terstrukur
dan terencana dengan komitmen yang kuat (Sen dan Nielsen 1996).

Contohnya Di daerah Sulawesi Selatan telah banyak ahli dari


berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial yang menaruh perhatian dan
melakukan pengkajian tentang masyarakat nelayan, yang kemudian
telah menghasilkan karyakarya ilmiah di bidang maritim. Beberapa ahli
yang telah melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah pada bidang
maritim, diantaranya adalah M. Arifi n Sallatang (1982), yang menelaah
kelompok PinggawaSawi dari sudut dan pendekatan sosiologi dengan
memfokuskan pada kelompok kecil; H.S. Ahimsa Putra (1991), yang
mengkaji pinggawa-sawi melalui pendekatan sejarah dan politik; serta
Ansar Arifi n (2011b), yang mengkaji pemetaan sosial dengan studi
kasus pada kelembagaan nelayan miskin di Kota Parepare, Sulawesi
Selatan.
Dalam relasi patron-klien, terutama bagi nelayan yang berstatus
sawi (buruh nelayan) hanya memiliki kesempatan untuk melakukan
hubungan sosial (interaksi) secara intens dengan sesama anggota
dalam kelompoknya, ketika kelompok sedang melakukan pelayaran dan
penangkapan ikan. Aktivitas nelayan yang sehariharinya terkonsentrasi
di laut, secara tidak disadari, telah menjadi perangkap atau jebakan
bagi dirinya. Keasyikan dalam melakukan pekerjaan sebagai nelayan

8
telah turut mempengaruhi kesempatan mereka untuk memperoleh
keterampilan lain dan kesempatan ekonomi dan sosial-budaya yang
lebih luas untuk meningkatkan kapabilitasnya. Kondisi ini yang telah
membuat para nelayan sawi kurang dan bahkan tidak menyadari bahwa
akumulasi tekanan struktural yang terjadi secara internal dan eksternal
telah mengkonstruksi dirinya kedalam sebuah kondisi yang terjebak
dalam kemiskinan. Keadaan ini yang disebut oleh Anthony Giddens
sebagai “motivasi tak sadar”, atau ketidakmampuan sawi memberikan
ungkapan verbal terhadap tindakan, sekalipun hal itu merupakan
keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakannya (Giddens,
2010:64).
Kondisi tersebut umumnya dialami oleh aktor sawi sebagai akibat
dari adanya ketidaksadaran mereka terhadap bagaimana kekuatan
struktur signifi kasi, struktur dominasi, dan struktur legitimasi bekerja
dalam ruang pertukaran sosial dengan pinggawa perahu (pinggawa
kecil) dan pinggawa pemilik modal produksi (pinggawa besar).

9
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendefenisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga
pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif,
dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah
pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat
dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yanag
secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar
sebelah hulu dari Kecamatan atau Kabupaten atau kota yang
mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai
untuk Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk Kabupaten/Kota.
Sedangkan dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah
wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada
penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab
(Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2000).

pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu adalah


pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau
lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan
(pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai
pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam kontek
ini, keterpaduan (integration) mengendung tiga dimensi: sektoral,
bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral
berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung
jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat
pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat
pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan

10
sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa didalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar
pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang
melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum
dan lainnya yang relevan karena wilayah pesisir pada dasarnya
terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara
kompleks dan dinamis.

B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih
terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis
akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Ansar. 2012. Optimalisasi Kelembagaan Ekonomi Nelayan di


SulawesiBarat,https://drive.google.com/file/d/1apPqRFA7HJ_XtYJPGteG
wadw_OT7zso/view?usp=sharing

Lasabuda, R. (2013). Pembangunan wilayah pesisir dan lautan


dalam perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah
Platax, 1(2), 92-101.

Tahir, A., Boer, M., Susilo, S. B., & Jaya, I. (2009). Indeks
Kerentanan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Barrang Lompo-
Makasar. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine
Sciences, 14(4), 183-188.

Utomo, A. T. S. (2010). Optimalisasi pengelolaan dan


pemberdayaan pulau-pulau terluar dalam rangka mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Dinamika
Hukum, 10(3), 319-328.

Hasyim, C. L., & Ohoiwutun, E. C. (2017). Peran Komunikasi dalam


Pemberdayaan Pembangunan Masyarakat Pesisir (Pmp) di Kabupaten
Maluku Tenggara. None, 18(1), 31-42.

12

Anda mungkin juga menyukai