Disusun oleh :
Universitas Padjadjaran
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum masyarakat pesisir sudah menjadi bagian dari masyarakat majemuk,
namun tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya rata-rata struktur masyarakat pesisir
merupakan gabungan antara karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena
struktur masyarakat pesisir sangat beragam, maka dapat membentuk sistem dan nilai
budaya yang merupakan akumulasi budaya dari masing-masing komponen struktur
masyarakat tersebut (Wahyudin, 2003).
Secara umum masyarakat pesisir sudah menjadi bagian dari masyarakat majemuk,
namun tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya rata-rata struktur masyarakat pesisir
merupakan gabungan antara karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena
struktur masyarakat pesisir sangat beragam maka dapat membentuk sistem dan nilai
budaya yang merupakan akumulasi budaya dari setiap komponen struktur masyarakat
tersebut (Waluyo, 2014).
Secara geografis, Madura merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur. Ada empat
kabupaten di kawasan itu, yaitu Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan.
Sebagian masyarakat Madura menggantungkan mata pencahariannya di wilayah pesisir.
Masyarakat pesisir adalah masyarakat sosial yang kelangsungan hidupnya ditunjang oleh
kemampuannya dalam mengelola sumber daya laut. Menurut Rahman dan Selviyanti
(2018), permukiman sosial selalu ditata secara alamiah oleh masyarakat permukiman
sesuai dengan budaya masyarakat yang bersangkutan. Artinya permukiman merupakan
salah satu produk budaya yang tersusun dari nilai-nilai, tradisi, dan sistem kelas sosial
sebagai bagian dari budaya itu sendiri. Menurut pernyataan tersebut, masyarakat pesisir
Madura harus memiliki pola hubungan tertentu yang telah membentuk stratifikasi sosial
di permukiman pesisir.
KAJIAN PUSTAKA
Menurut penelitian Singgih (2011), stratifikasi sosial merupakan suatu konsep yang
menunjukkan adanya stratifikasi dan / atau pengelompokan suatu kelompok sosial
(masyarakat). Contoh: Ada strata tinggi, strata menengah dan strata rendah dalam
masyarakat. Pembedaan dan / atau pengelompokan ini didasarkan pada adanya simbol-simbol
tertentu yang dianggap bernilai atau bernilai dalam suatu kelompok sosial (masyarakat) (baik
dalam aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya atau aspek lainnya) Berharga atau
bernilai). Max Weber dengan jelas menunjukkan perbedaan antara kelas sosial dan status
sosial dengan mengajukan konsep kelas sosial, status sosial, dan partai politik. Weber
percaya bahwa kelas sosial adalah stratifikasi sosial yang berkaitan dengan hubungan antara
produksi dan pengendalian kekayaan. Status sosial sekaligus merupakan perwujudan dari
stratifikasi sosial dan terkait dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat dalam
mengkonsumsi kekayaan dan / atau gaya hidupnya. Kelas-kelas sosial dalam masyarakat
dibedakan menurut posisi mereka yang berbeda dalam tatanan ekonomi (yaitu, posisi kendali
mereka atas alat-alat produksi).
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan orang yang hidup bersama di suatu wilayah
pesisir yang membentuk dan memiliki keunikan budaya yang berkaitan dengan
ketergantungan pada pemanfaatan sumber daya dan lingkungan pesisir. Namun jika dilihat
dari latar belakang pembangunan masyarakat, masyarakat pesisir adalah sekelompok
masyarakat yang hidup di wilayah pesisir, dan kehidupannya masih tertinggal.
BAB III
PEMBAHASAN
Stratifikasi sosial adalah sistem yang membedakan individu atau kelompok dalam
masyarakat, sistem tersebut menempatkan mereka dalam kelas sosial yang berbeda
secara hierarkis, dan memberikan individu hak dan kewajiban yang berbeda dari satu
lapisan ke lapisan lainnya. Sistem stratifikasi sosial membagi penduduk atau masyarakat
menjadi kelas-kelas bertingkat, yang tercermin pada kelas atas, menengah, dan bawah.
Kelas sosial adalah realitas sosial yang penting, tidak hanya konsep teoritis, tetapi
juga diklasifikasikan sebagai: pertama, kekayaan dan pendapatan. Kekayaan dan
pendapatan merupakan penentu penting dari kelas sosial karena keduanya berperan
dalam menguraikan latar belakang keluarga dan gaya hidup seseorang. Kedua, bekerja.
Pekerjaan merupakan salah satu indikator terbaik untuk memahami gaya hidup
seseorang, sehingga pekerjaan tidak langsung merupakan indikator terbaik untuk
memahami kelas sosial seseorang. Ketiga, pendidikan. Kelas sosial dan pendidikan
saling mempengaruhi setidaknya dalam dua hal, yaitu pendidikan tinggi membutuhkan
uang dan motivasi. Jenis dan jenjang pendidikan akan mempengaruhi jenjang kelas
sosial. Selain mengakui keberadaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat, terdapat pula
unsur-unsur yang merupakan kelas sosial. Kedua elemen tersebut adalah status dan
fungsi (Maunah, 2015).
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan terlibat dalam kegiatan
sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan wilayah pesisir dan sumber daya laut. Oleh
karena itu, masyarakat pesisir sangat bergantung pada potensi dan kondisi sumberdaya
pesisir dan laut secara sempit. Masyarakat pesisir adalah sekelompok orang (nelayan,
pembudidaya ikan, pedagang ikan, dll.) Yang hidup bersama di wilayah pesisir dan
membentuk serta memiliki budaya yang unik terkait dengan pemanfaatan sumber daya
pesisir.
Masyarakat pesisir masih terbelakang dan terpinggirkan. Selain itu, banyak aspek
kehidupan yang tidak diketahui orang luar karena karakteristik masyarakat pesisir.
Mereka memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal pengetahuan, kepercayaan, peran
sosial dan struktur sosial. Di saat yang sama, di balik marginalisasi, masyarakat pesisir
tidak memiliki banyak cara untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Dari aspek biofisik kawasan, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang
terkandung di dalamnya, karakteristik kawasan pesisir tergolong unik. Oleh karena itu,
campur tangan manusia di kawasan tersebut dapat menimbulkan perubahan besar, seperti
bentang alam yang sulit diubah dan proses yang memenuhi air tawar Permintaan air dan
air laut telah menciptakan ekosistem yang unik. Dalam hal kepemilikan, wilayah pesisir
dan laut serta sumber daya yang dikandungnya biasanya terbuka.
Kelas sosial yang sangat penting dalam komunitas nelayan dan petani tambak
adalah kelas yang didasarkan pada penguasaan bahan produksi. Dalam komunitas
nelayan biasanya terdapat tiga kelompok yaitu:
1. Tingkat pertama dan tertinggi adalah orang-orang di atas perahu motor yang
dilengkapi dengan alat tangkap. Mereka sering disebut sebagai nelayan besar
atau modern. Biasanya mereka tidak melaut. Penangkapan diserahkan kepada
orang lain. Tenaga kerja atau tenaga kerja yang sering digunakan, hingga dua
atau tiga puluh.
2. Tingkat kedua adalah mereka yang memiliki kapal dengan mesin tempel. Di
kelas ini, pemilik biasanya ikut serta di laut dan memimpin kegiatan
memancing. Pekerja yang berpartisipasi mungkin ada, tetapi dibatasi, biasanya
hanya anggota keluarga.
3. Tingkat terakhir adalah pekerja nelayan. Meski nelayan kecil juga bisa
menjadi buruh, banyak dari mereka yang tidak memiliki alat produksi, hanya
tenaga sendiri.
Biasanya nelayan besar juga menjadi pedagang ikan. Namun biasanya ada
pengepul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini termasuk kategori tersendiri.
Saat berhadapan dengan nelayan kecil, biasanya mereka mendominasi.
Kegiatan sosial budaya di pesisir Madura sangat bergantung pada musim. Setiap
musim kemarau (nemor) yang terjadi setiap tahun tidak hanya akan merusak kegiatan
produksi pertanian dan kehidupan petani, tetapi juga menyulitkan nelayan untuk
menghidupi keluarganya. Bagi nelayan di perairan Selat Madura, kemarau panjang
sama saja dengan memperpanjang masa sulitnya memperoleh hasil tangkapan. Masa ini
sering disebut kelaparan. Di sisi lain, datangnya musim penghujan (nembara ')
merupakan pertanda dimulainya musim penangkapan ikan. Musim ikan akan
memberikan ruang yang cukup untuk memudahkan nelayan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Pada saat yang sama, menanggapi bencana kelaparan, beberapa istri nelayan
(tenaga kerja nelayan) terpaksa menjual semua barang rumah tangga yang dianggap
berharga, atau menggadaikannya ke pegadaian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mereka juga mengatakan bahwa tanggung jawab untuk menghadapi kehidupan yang
sulit ini sepenuhnya menjadi urusan nelayan. Sikap ini tidak pernah bisa menyelesaikan
(setidaknya meringankan) kesulitan hidup nelayan. Selain itu, nelayan yang tidak
bekerja di laut karena kelaparan akan berusaha sebaik mungkin.
Jika menelaah tradisi atau adat istiadat, salah satu perkembangan sosial budaya
di kawasan pesisir Madura terlihat dari masyarakat di kawasan Legon Timur yang
mewarisi kelembagaan budaya pasir masyarakat adat Legon yang tidak dapat
dipisahkan dari Timur. Dalam arti, aktivitas keseharian mereka tidak lepas dari pasir.
Mulai tidur, masak, makan, bahkan melahirkan. Menurut mereka, saat panas pasir akan
membuat cuaca menjadi dingin, dan saat dingin pasir akan menjadi panas. Oleh karena
itu, harus ada ruangan penuh pasir di setiap rumah mewah komunitas nelayan Legon
Timur. Kalaupun mereka bepergian, mereka akan membawa pasir ke dalam plastik
sebagai pendamping aktivitas (Dzulkarnain, 2009).
Selain itu, akibat penerapan stratifikasi sosial berbasis gender, dalam sistem
gender masyarakat nelayan, laki-laki (nelayan) terlibat dalam pekerjaan menangkap
ikan di laut. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan pekerjaan melaut, saat melaut di Madura (Majeng), nelayan harus
melaut paling lama tiga hari sebelum pulang. Sementara jika pemukiman (memancing
di laut di luar Madura) bertahan sekitar sebulan. Jika berada di darat, nelayan akan
memperbaiki alat tangkap dan perahu mereka. Biasanya para nelayan mendapatkan
pendampingan dari anak-anak, istri dan kerabat, serta tetangganya saat menangani
pekerjaan ini. Kesibukan nelayan dalam kegiatan menangkap ikan memberikan ruang
bagi istri mereka, memungkinkan istri mereka untuk sepenuhnya mengemban tanggung
jawab keluarga dan menanggung segala akibatnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Dzulkarnain, I. (2009). Dinamika Relasi Suami Istri Pada Masyarakat Pesisir Madura (Studi
Terhadap Manusia Pasir Di Sumenep). Jurnal Pamator, 2(1).
Maunah, B. (2015). Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif Sosiologi
Pendidikan. Ta'allum: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 19-38.
Rahman, B., & Selviyanti, E. (2018). Studi Literatur: Peran Stratifikasi Sosial Masyarakat
Dalam Pembentukan Pola Permukiman. Jurnal Planologi, 15(2), 195-215.
Waluyo, A. (2014). Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Secara
Terpadu yang Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Pulau Raas Kabupaten Sumenep
Madura). Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and
Technology, 7(2), 75-85.