Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT DAERAH PESISIR MADURA

Disusun oleh :

Nadira Utami (230204200022)

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Program Studi Pariwisata Bahari

Universitas Padjadjaran

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut data Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Indonesia


merupakan negara kepulauan dengan banyak negara kepulauan, sebanyak 17.504. Dari
jumlah tersebut, 7.870 memiliki nama, dan 9.634 belum memiliki nama. Banyaknya
pulau merupakan salah satu faktor banyaknya nelayan yang tersebar di seluruh nusantara
yang memiliki kurang lebih 2 juta nelayan. Seperti kita ketahui, Indonesia adalah negara
maritim, luas lautannya mencapai 2/3 dari total luas negara ini, memiliki kekayaan laut
yang melimpah, seolah-olah inilah bumi surga bagi setiap pelaut dan nelayan yang tinggal
di sini. Wilayah pesisir merupakan sumber daya potensial Indonesia, dan merupakan
wilayah tengah antara darat dan laut. Dari segi ruang dan ekologi, wilayah pesisir
memiliki keterkaitan antara dataran tinggi (darat) dan laut lepas. Pasalnya, kawasan
pesisir merupakan persimpangan antara darat dan laut.

Di wilayah pesisir terdapat pemukiman sosial bagi masyarakat yang hidup


berdampingan dengan perairan atau lingkungan pesisir. Karena berbagai faktor termasuk
budaya masyarakat, lingkungan kehidupan suatu daerah secara umum terbentuk.
Kebudayaan atau budaya masyarakat adalah keseluruhan sistem pemikiran, rasa, perilaku,
dan karya yang dihasilkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat yang secara alamiah menjadikan dirinya jati diri melalui proses
pembelajaran (Koentjaraningrat dalam Rahman dan Selviyanti, 2018).

Secara umum masyarakat pesisir sudah menjadi bagian dari masyarakat majemuk,
namun tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya rata-rata struktur masyarakat pesisir
merupakan gabungan antara karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena
struktur masyarakat pesisir sangat beragam, maka dapat membentuk sistem dan nilai
budaya yang merupakan akumulasi budaya dari masing-masing komponen struktur
masyarakat tersebut (Wahyudin, 2003).

Secara umum masyarakat pesisir sudah menjadi bagian dari masyarakat majemuk,
namun tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya rata-rata struktur masyarakat pesisir
merupakan gabungan antara karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena
struktur masyarakat pesisir sangat beragam maka dapat membentuk sistem dan nilai
budaya yang merupakan akumulasi budaya dari setiap komponen struktur masyarakat
tersebut (Waluyo, 2014).

Secara geografis, Madura merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur. Ada empat
kabupaten di kawasan itu, yaitu Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan.
Sebagian masyarakat Madura menggantungkan mata pencahariannya di wilayah pesisir.
Masyarakat pesisir adalah masyarakat sosial yang kelangsungan hidupnya ditunjang oleh
kemampuannya dalam mengelola sumber daya laut. Menurut Rahman dan Selviyanti
(2018), permukiman sosial selalu ditata secara alamiah oleh masyarakat permukiman
sesuai dengan budaya masyarakat yang bersangkutan. Artinya permukiman merupakan
salah satu produk budaya yang tersusun dari nilai-nilai, tradisi, dan sistem kelas sosial
sebagai bagian dari budaya itu sendiri. Menurut pernyataan tersebut, masyarakat pesisir
Madura harus memiliki pola hubungan tertentu yang telah membentuk stratifikasi sosial
di permukiman pesisir.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka permasalahan dalam


penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah terjadinya stratifikasi masyarakat berdasarkan berbagai


aspek?
2. Bagaimana proses terjadinya stratifikasi masyarakat daerah pesisir Madura?
3. Bagaimana perkembangan sosial budaya masyarakat daerah pesisir Madura
berdasarkan stratifikasinya?
1.3 Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sejarah terjadinya stratifikasi masyarakat berdasarkan berbagai aspek.


2. Menganalisis proses terjadinya stratifikasi masyarakat daerah pesisir Madura.
3. Menganalisis perkembangan sosial budaya masyarakat daerah pesisir Madura
berdasarkan stratifikasinya.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Stratifikasi Masyarakat

Menurut penelitian Singgih (2011), stratifikasi sosial merupakan suatu konsep yang
menunjukkan adanya stratifikasi dan / atau pengelompokan suatu kelompok sosial
(masyarakat). Contoh: Ada strata tinggi, strata menengah dan strata rendah dalam
masyarakat. Pembedaan dan / atau pengelompokan ini didasarkan pada adanya simbol-simbol
tertentu yang dianggap bernilai atau bernilai dalam suatu kelompok sosial (masyarakat) (baik
dalam aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya atau aspek lainnya) Berharga atau
bernilai). Max Weber dengan jelas menunjukkan perbedaan antara kelas sosial dan status
sosial dengan mengajukan konsep kelas sosial, status sosial, dan partai politik. Weber
percaya bahwa kelas sosial adalah stratifikasi sosial yang berkaitan dengan hubungan antara
produksi dan pengendalian kekayaan. Status sosial sekaligus merupakan perwujudan dari
stratifikasi sosial dan terkait dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat dalam
mengkonsumsi kekayaan dan / atau gaya hidupnya. Kelas-kelas sosial dalam masyarakat
dibedakan menurut posisi mereka yang berbeda dalam tatanan ekonomi (yaitu, posisi kendali
mereka atas alat-alat produksi).

2.2 Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan orang yang hidup bersama di suatu wilayah
pesisir yang membentuk dan memiliki keunikan budaya yang berkaitan dengan
ketergantungan pada pemanfaatan sumber daya dan lingkungan pesisir. Namun jika dilihat
dari latar belakang pembangunan masyarakat, masyarakat pesisir adalah sekelompok
masyarakat yang hidup di wilayah pesisir, dan kehidupannya masih tertinggal.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Stratifikasi Masyarakat Berdasakan Berbagai Aspek

Stratifikasi sosial adalah sistem yang membedakan individu atau kelompok dalam
masyarakat, sistem tersebut menempatkan mereka dalam kelas sosial yang berbeda
secara hierarkis, dan memberikan individu hak dan kewajiban yang berbeda dari satu
lapisan ke lapisan lainnya. Sistem stratifikasi sosial membagi penduduk atau masyarakat
menjadi kelas-kelas bertingkat, yang tercermin pada kelas atas, menengah, dan bawah.

Kelas sosial adalah realitas sosial yang penting, tidak hanya konsep teoritis, tetapi
juga diklasifikasikan sebagai: pertama, kekayaan dan pendapatan. Kekayaan dan
pendapatan merupakan penentu penting dari kelas sosial karena keduanya berperan
dalam menguraikan latar belakang keluarga dan gaya hidup seseorang. Kedua, bekerja.
Pekerjaan merupakan salah satu indikator terbaik untuk memahami gaya hidup
seseorang, sehingga pekerjaan tidak langsung merupakan indikator terbaik untuk
memahami kelas sosial seseorang. Ketiga, pendidikan. Kelas sosial dan pendidikan
saling mempengaruhi setidaknya dalam dua hal, yaitu pendidikan tinggi membutuhkan
uang dan motivasi. Jenis dan jenjang pendidikan akan mempengaruhi jenjang kelas
sosial. Selain mengakui keberadaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat, terdapat pula
unsur-unsur yang merupakan kelas sosial. Kedua elemen tersebut adalah status dan
fungsi (Maunah, 2015).

3.2 Proses Stratifikasi Masyarakat Daerah Pesisir Madura

Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan terlibat dalam kegiatan
sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan wilayah pesisir dan sumber daya laut. Oleh
karena itu, masyarakat pesisir sangat bergantung pada potensi dan kondisi sumberdaya
pesisir dan laut secara sempit. Masyarakat pesisir adalah sekelompok orang (nelayan,
pembudidaya ikan, pedagang ikan, dll.) Yang hidup bersama di wilayah pesisir dan
membentuk serta memiliki budaya yang unik terkait dengan pemanfaatan sumber daya
pesisir.

Masyarakat pesisir masih terbelakang dan terpinggirkan. Selain itu, banyak aspek
kehidupan yang tidak diketahui orang luar karena karakteristik masyarakat pesisir.
Mereka memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal pengetahuan, kepercayaan, peran
sosial dan struktur sosial. Di saat yang sama, di balik marginalisasi, masyarakat pesisir
tidak memiliki banyak cara untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Dari aspek biofisik kawasan, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang
terkandung di dalamnya, karakteristik kawasan pesisir tergolong unik. Oleh karena itu,
campur tangan manusia di kawasan tersebut dapat menimbulkan perubahan besar, seperti
bentang alam yang sulit diubah dan proses yang memenuhi air tawar Permintaan air dan
air laut telah menciptakan ekosistem yang unik. Dalam hal kepemilikan, wilayah pesisir
dan laut serta sumber daya yang dikandungnya biasanya terbuka.

Kelas sosial yang sangat penting dalam komunitas nelayan dan petani tambak
adalah kelas yang didasarkan pada penguasaan bahan produksi. Dalam komunitas
nelayan biasanya terdapat tiga kelompok yaitu:

1. Tingkat pertama dan tertinggi adalah orang-orang di atas perahu motor yang
dilengkapi dengan alat tangkap. Mereka sering disebut sebagai nelayan besar
atau modern. Biasanya mereka tidak melaut. Penangkapan diserahkan kepada
orang lain. Tenaga kerja atau tenaga kerja yang sering digunakan, hingga dua
atau tiga puluh.
2. Tingkat kedua adalah mereka yang memiliki kapal dengan mesin tempel. Di
kelas ini, pemilik biasanya ikut serta di laut dan memimpin kegiatan
memancing. Pekerja yang berpartisipasi mungkin ada, tetapi dibatasi, biasanya
hanya anggota keluarga.
3. Tingkat terakhir adalah pekerja nelayan. Meski nelayan kecil juga bisa
menjadi buruh, banyak dari mereka yang tidak memiliki alat produksi, hanya
tenaga sendiri.

Biasanya nelayan besar juga menjadi pedagang ikan. Namun biasanya ada
pengepul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini termasuk kategori tersendiri.
Saat berhadapan dengan nelayan kecil, biasanya mereka mendominasi.

Selain itu, di masyarakat pesisir Madura juga terdapat stratifikasi sosial


berbasis gender yang membuat posisi kerja laki-laki dan perempuan di wilayah
tersebut berbeda. Penangkapan ikan di laut masih menjadi tanggung jawab laki-laki,
sedangkan perempuan terlibat aktif dalam perdagangan ikan di darat. Pembagian kerja
sosial ini merupakan sistem gender yang diterapkan pada masyarakat pesisir Madura.
Oleh karena itu, dalam sistem gender masyarakat pesisir di Madura terdapat sistem
standarisasi peran, yaitu tanah adalah wilayah perempuan dan laut adalah wilayah
laki-laki (Dzulkarnain, 2009).

3.3 Perkembangan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Madura Berdasarkan


Stratifikasinya

Kegiatan sosial budaya di pesisir Madura sangat bergantung pada musim. Setiap
musim kemarau (nemor) yang terjadi setiap tahun tidak hanya akan merusak kegiatan
produksi pertanian dan kehidupan petani, tetapi juga menyulitkan nelayan untuk
menghidupi keluarganya. Bagi nelayan di perairan Selat Madura, kemarau panjang
sama saja dengan memperpanjang masa sulitnya memperoleh hasil tangkapan. Masa ini
sering disebut kelaparan. Di sisi lain, datangnya musim penghujan (nembara ')
merupakan pertanda dimulainya musim penangkapan ikan. Musim ikan akan
memberikan ruang yang cukup untuk memudahkan nelayan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari.

Pada saat yang sama, menanggapi bencana kelaparan, beberapa istri nelayan
(tenaga kerja nelayan) terpaksa menjual semua barang rumah tangga yang dianggap
berharga, atau menggadaikannya ke pegadaian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mereka juga mengatakan bahwa tanggung jawab untuk menghadapi kehidupan yang
sulit ini sepenuhnya menjadi urusan nelayan. Sikap ini tidak pernah bisa menyelesaikan
(setidaknya meringankan) kesulitan hidup nelayan. Selain itu, nelayan yang tidak
bekerja di laut karena kelaparan akan berusaha sebaik mungkin.

Jika menelaah tradisi atau adat istiadat, salah satu perkembangan sosial budaya
di kawasan pesisir Madura terlihat dari masyarakat di kawasan Legon Timur yang
mewarisi kelembagaan budaya pasir masyarakat adat Legon yang tidak dapat
dipisahkan dari Timur. Dalam arti, aktivitas keseharian mereka tidak lepas dari pasir.
Mulai tidur, masak, makan, bahkan melahirkan. Menurut mereka, saat panas pasir akan
membuat cuaca menjadi dingin, dan saat dingin pasir akan menjadi panas. Oleh karena
itu, harus ada ruangan penuh pasir di setiap rumah mewah komunitas nelayan Legon
Timur. Kalaupun mereka bepergian, mereka akan membawa pasir ke dalam plastik
sebagai pendamping aktivitas (Dzulkarnain, 2009).
Selain itu, akibat penerapan stratifikasi sosial berbasis gender, dalam sistem
gender masyarakat nelayan, laki-laki (nelayan) terlibat dalam pekerjaan menangkap
ikan di laut. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan pekerjaan melaut, saat melaut di Madura (Majeng), nelayan harus
melaut paling lama tiga hari sebelum pulang. Sementara jika pemukiman (memancing
di laut di luar Madura) bertahan sekitar sebulan. Jika berada di darat, nelayan akan
memperbaiki alat tangkap dan perahu mereka. Biasanya para nelayan mendapatkan
pendampingan dari anak-anak, istri dan kerabat, serta tetangganya saat menangani
pekerjaan ini. Kesibukan nelayan dalam kegiatan menangkap ikan memberikan ruang
bagi istri mereka, memungkinkan istri mereka untuk sepenuhnya mengemban tanggung
jawab keluarga dan menanggung segala akibatnya.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang diulas pada bagian pembahasan, maka penulis


menyimpulkan bahwa:

1. Stratifikasi masyarakat bersumber dari konsep hierarki masyarakat


setempat yang menganut simbol-simbol tertentuu berdasarkan berbagai
aspek layaknya pekerjaan, pendidikan, kekayaan, gender, serta aspek yang
dipercaya dapat membedakan kelas-kelas sosial dalam suatu lingkungan
masyarakat.
2. Stratifikasi masyarakat daerah pesisir madura terbagi berdasarkan
penguasaan alat produksi di wilayah tersebut yang mana terdiri atas tiga
tingkatan yaitu kelas pertama untuk masyarakat pemilik kapal motor
lengkap beserta alatnya, kelas kedua untuk pemilik perahu motor tempel,
terakhir yaitu golongan buruh atau nelayan. Selain itu, terdapat pula
stratifikasi sosial yang membedakan kedudukan golongan berdasarkan
gender yaitu laki-laki sebagai penguasa daerah laut dan perempuan sebagai
penguasa daerah darat.
3. Kehidupan sosial budaya masyarakat daerah pesisir Madura bergantung
sepenuhnya pada kondisi musim. Selain itu, beberapa tradisi yang berlaku
didasarkan oleh pola hubungan kondisi wilayah dengan interaksi
masyarakat sekitar. Pembagian stratifikasi berdasarkan gender pun
membuat adanya interaksi sosial budaya yang khas.

4.2 Saran

Berdasarkan kondisi faktual yang terjadi dalam masyarakat daerah pesisir


Madura, berikut saran yang diajukan oleh penulis:

1. Pemerintah hendakanya memperhatikan pemberdayaan masyarakat


wilayah pesisir sehingga mereka memiliki kondisi ekonomi, sosial, dan
budaya yang stabil serta setara dengan masyarakat permukiman lainnya
agar tak terjadi ketimpangan.
2. Masyarakat daerah pesisir memiliki tuntutan untuk berpola pikir kreatif
serta mengembangkan potensi daerah dan kemampuan yang mereka miliki
sehingga tak hanya bergantung pada hasil musiman.
REFERENSI

Dzulkarnain, I. (2009). Dinamika Relasi Suami Istri Pada Masyarakat Pesisir Madura (Studi
Terhadap Manusia Pasir Di Sumenep). Jurnal Pamator, 2(1).

Maunah, B. (2015). Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif Sosiologi
Pendidikan. Ta'allum: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 19-38.

Rahman, B., & Selviyanti, E. (2018). Studi Literatur: Peran Stratifikasi Sosial Masyarakat
Dalam Pembentukan Pola Permukiman. Jurnal Planologi, 15(2), 195-215.

Singgih, D. S. (2010). Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif


Sosiologi. Masyarakat Kebudayaan dan Politik Unair, 20(1).

Wahyudin, Y. (2003). Sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir. Pelatihan


Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.

Waluyo, A. (2014). Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Secara
Terpadu yang Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Pulau Raas Kabupaten Sumenep
Madura). Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and
Technology, 7(2), 75-85.

Anda mungkin juga menyukai