Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

WAWASAN SOSIAL BUDAYA BAHARI

SISTEM KEPERCAYAAN NELAYAN

MUHAMMAD KHAIDIR HUSAIN (D62114303)


LUVIANI ALDILLA (D62114304)
RISKA SAVITRI (D62114305)
MUH. ABDI DZIL IKRAM (D62114306)
MUH. ASRAFIL (D62114307)
MUH. AFDAL RIZAALDY (D62114308)
DEDI EKA WAHYUWIBOWO (D62114309)
MUH. YAMSYAR AHARI (D62114310)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setiap daerah di indonesia memiliki adat dan kepercayaan sendiri terkait
dengan proses penangkapan ikan. Biasanya memang unik dan memiliki ciri khas
sendiri. Keunikan dan kekhasan tersebut yang menjadi identitas dari masing-
masing daerah, terutama karena perbedaannya. Perbedaan ciri khas tersebut
muncul karena beberapa sebab di antaranya latar belakang agama, adat istiadat,
dan warisan turun-temurun dari nenek moyang.
Berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat
yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir. Masyarakat ini
bergantung hidup dengan megelola sumber daya alam yang tersedia di
lingkungannya yaitu kawasan perairan dan pulau-pulau kecil. Secara umum
sumber ekonomi mereka ialah sumber daya perikanan (tangkap dan budidaya)
menjadi sumber daya yang sangat penting dan sumber daya ini menjadi penggerak
dinamika ekonomi lokal di desa-desa pesisiran.
Salah satu masalah yang paling krusial yang di hadapi masyarakat pesisir
adalah kemiskinan. Sebagaimana yang banyak diungkapkan melalui berbagai
studi dan penelitian.
Dengan memperhatikan masalah-masalah sosial yang secara langsung
sering dihadapi oleh masyarakat pesisir, khususnya masalah kemiskinan dan
kerosakan lingkungan, merupakan alasan atau latar belakang yang perlu
dipertimbangkan secara saksama tentang masalah perlukan program
pemberdayaan masyarakat pesisir.

1.2. Tujuan Pembuatan Makalah


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai memmenuhi
pembuatan tugas. Selain itu juga dengan adanya tugas ini maka, dapat menambah
wawasan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa khususnya kami dalam mengetahui
sistim kepercayaan nelayan di pesisir.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
2.1.1. Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di wilayah
pesisiran. Wilayah ini adalah wilayah transisi yang menandai tempat perpindahan
antara wilayah daratan dan laut atau sebaliknya (Dahuri dkk. 2001: 5). Di wilayah
ini, sebagian besar masyarakatnya hidup dari mengelola sumber daya pesisir dan
laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh itu, dari perspektif
matapencariannya, masyarakat pesisir tersusun dari kelompok-kelompok
masyarakat yang beragam seperti nelayan, petambak, pedagang ikan, pemilik
toko, serta pelaku industri kecil dan menengah pengolahan hasil tangkap.
Di kawasan pesisiran yang sebahagian besar penduduknya bekerja
menangkap ikan, sekelompok masyarakat nelayan merupakan unsur terpenting
bagi eksistensi masyarakat pesisir. Mereka mempunyi peran yang besar dalam
mendorong kegiatan ekonomi wilayah dan pembentukan struktur sosial budaya
masyarakat pesisir. Sekalipun masyarakat nelayan memiliki peran sosial yang
penting, kelompok masyarakat yang lain juga mendukung aktivitas sosial
ekonomi masyarakat.
Masyarakat pesisir mengenal istilah taretan sema' (saudara dekat) dan
taretan jauh (saudara jauh). Batas untuk saudara dekat adalah tiga pupu, dan batas
untuk saudara jauh adalah empat pupu ke atas (bandingkan Sidiq, 1992:27).
Saudara dekat sering dianggap sebagai oreng dhalem (orang dalam), sedangkan
saudara jauh dianggap sebagai oreng lowar (orang luar). Hubungan-hubungan
sosial antarkerabat dalam masyarakat pesisir masih cukup kuat. Perbedaan status
sosial-ekonomi yang mencolok antarkerabat dapat menjadi penghalang
terciptanya hubungan sosial yang akrab di antara mereka. Banyak dari keluarga
kurang mampu yang merasa malu mengakui salah seorang kerabatnya yang
dipandang kaya di pesisir. Hubungan sosial tersebut biasanya akan tercipta dengan
baik jika masing-masing kerabat memiliki status sosial-ekonomi yang relatif
sepadan.
2.1.2. Masyarakat Nelayan
Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaannya
adalah menangkap ikan. Sebahagian hasil tangkapan tersebut dikonsumsi untuk
keperluan rumah atau dijual seluruhnya. Biasanya isteri nelayan akan mengambil
peran dalam urusan jual beli ikan dan yang bertanggung jawab mengurus
domestic rumahtangga.
Kegiatan melaut dilakukan setiap hari, kecuali pada musim barat, masa
terang bulan, atau malam jumat (libur kerja). Kapan waktu keberangkatan dan
kepulangan melaut umumnya ditentukan oleh jenis dan kualitas alat tangkap.
Biasanya nelayan akan berangkat kelaut pada sore hari setelah Ashar dan kembali
mendarat pada pagi hari.
Tingkat produktivitas perikanan tidak hanya menentukan fluktuasi
kegiatan ekonomi perdagangan desa-desa pesisir, tetap juga mempengaruhi pola-
pola konsumsi penduduknya. Pada saat tingkat penghasilan besar, gaya hidup
nelayan cenderung boros dan sebaliknya ketika musim paceklik tiba mereka akan
mengencangkan ikat pinggang, bahkan tidak jarang barang-barang yang
dimilikinya akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam masyarakat nelayan, struktur yang terkonstruksi merupakan
aktualisasi dari organisasi kehidupan perahu. Sistem organisasi nelayan memberi
ruang yang luas bagi tumbuhnya penghargaan terhadap nilai-nilai prestatif,
kompetitif, beorentasi keahlian, tingkatan solidaritas sosial kerana faktor nasib
dan tantangan alam, serta loyalitas terhadap pemimpin yang cerdas. Karena itu,
posissi sosial seorang nelayan atau pedagang ikan yang sukses secara ekonomis
dan memiliki modal kultural, seperti suka menderma dan sudah berhaji, sangat
dihormati oleh masyarakat di lingkungannya dan diikuti pendapatnya. Mereka ini
merupakan modal sosial berharga yang bisa didayagunakan untuk mencapai
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat pesisir.

2.1.2. Sisten Kepercayaan


Sistim kepercayan adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi sistim kepercayaan
bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang
manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga
menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam
dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh sistim
kepercayaan ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi
ke generasi lain yang sekalgus membentuk pola perilaku manusia sehari -hari baik
terhadap sesame manusia maupun terhadap alam dan yang gaib.
Satria (2002), menggunakan istilah sistem kepercayaan dan
mendefinisikannya sebagai suatu kekayaan intelektual mereka yang hingga kini
terus dipertahankan. Dalam beberapa literatur telah mendapat tempat sebagai
salah satu sumber ilmu pengetahuan seperti dalam metode RAPFISH (Ripid
Appraisal For Fish Heries). Inilah yang mesti dikembangkan lebih jauh dan
sepatutnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat nelayan dihargai sekaligus
dikombinasikan dengan temuan-temuan modern yang dilahirkan lembaga riset
atau perguruan tinggi. Sistem kepercayaan masyarakat yang terakumulasi
sepanjang sejarah hidup mereka mempunyai peranan sangat besar. Pandangan
bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan system kepercayaan yang
menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang
sangat positif untuk pengembangan berkelanjutan (Gadgil, et al., 1993).

2.2 Sistem Kepercayaan Nelayan


Konsep system kepercayaan berakar dari sistem pengetahuan dan
pengelolaan lokal atau tradisional (mitcheli, 1997). Sistim kepercayaan didasarkan
atas beberapa karakter penggunaan sumberdaya (Matowanyika, 1991), ialah
1. Sepenuhnya pedesaan.
2. Sepenuhnya didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat.
3. Integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan
keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan keluarga sebagai dasar
pembagian kerja.
4. Sistim distribusi yang mendorong adanya kerjasama.
5. Sistim pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat system
pemilikan bersama.
6. Sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman lokal.

2.2.1. Agama
Agama pada masyarakat pesisir (nelayan) agama merupakan salah satu
faktor kuat yang menyetir suatu tatanan yang ada di dalam masyarakat. Tuntunan
agama meresap hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Tuntunan
agama merupakan nilai yang menjadi landasan dari norma. Lalu, apa hubungan
nilai ini dengan ciri khas suatu daerah dalam kaitannya dengan penangkapan ikan?
Pengaruh agama memiliki peran yang besar dalam tata cara penangkapan ikan di
beberapa daerah di indonesia. Di dalam agama islam, hari jumat merupakan hari
suci dimana umat muslim terutama pria melaksanakan ibadah sholat jumat.

2.2.2. Adat Istiadat


Adat istiadat atau ritual pada masyarakat pesisir (nelayan) selain agama,
faktor yang juga mewarnai tatacara penangkapan ikan di indonesia adalah adat
istiadat. Salah satu adat istiadat yang kental di beberapa daerah adalah larung laut
salah satu adat istiadat yang kental di beberapa daerah adalah larung laut. Larung
laut ini merupakan kiriman persembahan kepada penguasa laut agar diberikan
hasil ikan yang melimpah dan perlindungan pada saat mereka menangkap ikan.
Larung laut biasa dilaksanakan bertepatan dengan momen-momen tertentu
misalnya syawalan. Nelayan di daerah demak, jawa tengah, biasanya melakukan
ritual ini pada awal bulan syawal.

2.2.3. Ritual Kepercayaan Nelayan


Proses ritual kepercayaan yang dianut oleh nelayan dari berbagai macam
daerah di indonesia, antara lain:
1. Suku bajo
Walaupun suku bajo beragama islam, namun mereka masih hidup
dalam dimensi leluhur. Masyarakat suku bajo percaya pantangan-
pantangan larangan meminta sesuatu kepada tetangga seperti minyak
tanah, garam, air atau apapun setelah magrib. Mereka juga percaya dengan
upacara tebus jiwa. Melempar sesajen ayam ke laut. Artinya kehidupan
pasangan itu telah dipindahkan ke binatang sesaji. Ini misalnya dilakukan
oleh pemuda yang ingin menikahi perempuan yang lebih tinggi status
sosialnya.

2. Suku Bugis, Makassar, dan Madura


Nelayan Bugis, Makassar dan Madura memiliki ritual berupa doa
dan penyembahan sesaji untuk menghadapi dan melawan seperti :
rintangan arus dan ombak besar yang diarunginya ,dalamnya laut yang
diselami untuk mencari teripang,berbahaya dan angkernya tempat yang
kaya sumber dayanya dan ancaman raksasa laut (gurita,hiu,dan paus).

3. Suku Mandar
Nelayan Mandar memiliki ritual laut, yang terkait dengan
penghidupannya di laut, kepercayaannya terhadap penguasa alam semesta
(Allah swt), alam gaib dan hal-hal yang membahayakan di laut. Tuhan dan
alam gaib menjadi pusat dari pelaksanaan ritual. Nabi khidir
direpresentasikan sebagai penguasa laut. Tujuan utama dari ritual nelayan
mandar adalah untuk mendapatkan rezeki yang memadahi, perlindungan
dari tuhan agar terhindar dari bahaya laut (kawao, badai, hantu laut dan
sebaginya). Demikian juga untuk mendapatkan barokah dari allah swt.
Ritual dibagi 3: ritual konstruksi (ritual pembuatan perahu hingga
penurunan awal perahu ke laut). Ritual produksi (ritual sebelum
melaksanakan pekerjaan melaut). Ritual distribusi (berupa upacara
syukuran hasil tangkapan dan ritual syukuran awal bulan ramadhan).

4. Suku lamalera
Suku lamalera adalah suku yang menetap di kabupaten lembata,
nusa tenggara timur. Ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan
setempat yakni:
- Bito berue merupakan suatu sistim kepercayaan ritual yang
dilakukan oleh nelayan setempat sebelum menggunakan
sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di pantai dengan
menggunakan bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya
masih utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut (aho male) ,
lalu darahnya dioles disekeling sampan/juku baru.
- Lepa nua dewe sistim kepercayaan ritual ini dilakukan untuk
melepas pukat yang ukurannya kecil yang dalam bahasa setempat
disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat tangkap tradisional
masyarakat setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang
biasanya pada musim-musim tertentu selalu muncul diperairan laut
daerah setempat dalam jumlah yang sangat banyak.
- Bruhu brito merupakan suatu tradsi oleh masyarakat nelayan
setempat sebelum melepas pukat baru untuk menangkap jenis ikan
selain tembang.
- Tula lou wate upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan
kepada leluhur di laut dengan maksud memanggil ikan agar ikan
dapat berkumpul dan memberikan hasil tangkapan yang banyak.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pendekatan pemberdayaan sistim kepercayaan diharapan akan terjadi
perubahan dasar perilaku sosial yang berkaitan dengan perilaku konservasi
sumberdaya pesisir dan laut. Perubahan tersebut hanya dapat terlaksana apabila
secara penuh didasarkan pada kesadaran, keiklasan dan kesungguhan semua pihak
yang terlibat (stakeholders) dalam proses mobilisasi sosial.
Peluang sistim kepercayaan merupakan pranatara-pranatara social budaya
dan jaringan sosial yang dimiliki oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Potensi ini
sebagai modal sosial budaya (cultural capital) yang berharga yang memiliki
peranan dalam memobilisasi perubahan perilaku sosial secara sadar dan keiklasan
kearah yang lebih baik dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alamlaut dan pesisir.

3.2. Saran
Untuk mengetahui sistim kepercayaan masyarakat di pesisir dalam
penegelolaan sumber daya laut maka harus dilakukan dengan benar- benar teliti
sehingga apa yang menjadi tujuan dan harapan kita dapat tercapai dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai