Anda di halaman 1dari 11

WAWASAN SOSIAL BUDAYA BAHARI

Sistem Kepercayaan Masyarakat Bahari

Disusun oleh :

Luigi Satrio Purnamawang (D111 15 305)

Alsya Mangessi (D111 15 306)

William Ignatius (D111 15 307)

A. Khalid Yoddang (D111 15 308)

Julio Olanta (D111 15 309)

Resky Anugrah Djafar (D111 15 310)

TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai, dan
mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan
adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai
salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup
bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada
penguasa alam semesta.
Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun
Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti
misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga memengaruhi kesenian.
Masyarakat bahari atau masyarakat pesisir juga tidak luput dari yang namanya sistem
kepercayaan. Ini disebabkan oleh budaya dan adat istiadat yang meraka anut dan telah
diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka.
Berdasarkan aspek geografis, masyarakat bahari merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir. Masyarakat ini bergantung hidup dengan megelola sumber daya
alam yang tersedia di lingkungannya yaitu kawasan perairan dan pulau-pulau kecil. Secara
umum sumber ekonomi mereka ialah sumber daya perikanan (tangkap dan budidaya) menjadi
sumber daya yang sangat penting dan sumber daya ini menjadi penggerak dinamika ekonomi
lokal di desa-desa pesisiran.

1.2 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa khususnya dalam mengetahui sistim kepercayaan masyarakat bahari.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masyarakat Bahari / Pesisir


Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di wilayah pesisiran. Wilayah ini
adalah wilayah transisi yang menandai tempat perpindahan antara wilayah daratan dan laut atau
sebaliknya. Di wilayah ini, sebagian besar masyarakatnya hidup dari mengelola sumber daya
pesisir dan laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh itu, dari perspektif
matapencariannya, masyarakat pesisir tersusun dari kelompok-kelompok masyarakat yang
beragam seperti nelayan, petambak, pedagang ikan, pemilik toko, serta pelaku industri kecil dan
menengah pengolahan hasil tangkap.
Di kawasan pesisiran yang sebahagian besar penduduknya bekerja menangkap ikan, sekelompok
masyarakat nelayan merupakan unsur terpenting bagi eksistensi masyarakat pesisir. Mereka
mempunyi peran yang besar dalam mendorong kegiatan ekonomi wilayah dan pembentukan
struktur sosial budaya masyarakat pesisir. Sekalipun masyarakat nelayan memiliki peran sosial
yang penting, kelompok masyarakat yang lain juga mendukung aktivitas sosial ekonomi
masyarakat.
Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaannya adalah menangkap
ikan. Sebahagian hasil tangkapan tersebut dikonsumsi untuk keperluan rumah atau dijual
seluruhnya. Biasanya isteri nelayan akan mengambil peran dalam urusan jual beli ikan dan yang
bertanggung jawab mengurus domestic rumahtangga.
Kegiatan melaut dilakukan setiap hari, kecuali pada musim barat, masa terang bulan, atau malam
jumat (libur kerja). Kapan waktu keberangkatan dan kepulangan melaut umumnya ditentukan
oleh jenis dan kualitas alat tangkap. Biasanya nelayan akan berangkat kelaut pada sore hari
setelah Ashar dan kembali mendarat pada pagi hari.
Tingkat produktivitas perikanan tidak hanya menentukan fluktuasi kegiatan ekonomi
perdagangan desa-desa pesisir, tetap juga mempengaruhi pola-pola konsumsi penduduknya. Pada
saat tingkat penghasilan besar, gaya hidup nelayan cenderung boros dan sebaliknya ketika
musim paceklik tiba mereka akan mengencangkan ikat pinggang, bahkan tidak jarang barang-
barang yang dimilikinya akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam masyarakat nelayan, struktur yang terkonstruksi merupakan aktualisasi dari organisasi
kehidupan perahu. Sistem organisasi nelayan memberi ruang yang luas bagi tumbuhnya
penghargaan terhadap nilai-nilai prestatif, kompetitif, beorentasi keahlian, tingkatan solidaritas
sosial kerana faktor nasib dan tantangan alam, serta loyalitas terhadap pemimpin yang cerdas.
Karena itu, posissi sosial seorang nelayan atau pedagang ikan yang sukses secara ekonomis dan
memiliki modal kultural, seperti suka menderma dan sudah berhaji, sangat dihormati oleh
masyarakat di lingkungannya dan diikuti pendapatnya. Mereka ini merupakan modal sosial
berharga yang bisa didayagunakan untuk mencapai keberhasilan program pemberdayaan
masyarakat pesisir.

B. Sistem Kepercayaan
Sistim kepercayan adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas ekologis. Jadi sistim kepercayaan bukan hanya menyangkut pengetahuan atau
pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia,
melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam
dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh sistim
kepercayaan ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
lain yang sekalgus membentuk pola perilaku manusia sehari -hari baik terhadap sesame manusia
maupun terhadap alam dan yang gaib.
Sistim kepercayaan didasarkan atas beberapa karakter penggunaan sumber daya,ialah
1. Sepenuhnya pedesaan
2. Sepenuhnya didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat
3. Integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai
kunci sistem distribusi dan keluarga sebagai dasar pembagian kerja
4. Sistim distribusi yang mendorong adanya kerjasama
5. Sistim pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat system pemilikan
bersama
6. Sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman lokal.
C. Faktor Faktor yang mempengaruhi Sistem Kepercayaan
1. Agama
Agama merupakan salah satu faktor kuat yang menyetir suatu tatanan yang ada di dalam
masyarakat. Tuntunan agama meresap hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Tuntunan agama merupakan nilai yang menjadi landasan dari norma. Lalu, apa hubungan nilai
ini dengan ciri khas suatu daerah dalam kaitannya dengan penangkapan ikan?. Yap, pengaruh
agama memiliki peran yang besar dalam tata cara penangkapan ikan di beberapa daerah di
Indonesia. Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari suci dimana umat muslim terutama
pria melaksanakan ibadah sholat Jumat.

2. Adat istiadat atau ritual pada masyarakat pesisir (nelayan)


Selain agama, faktor yang juga mewarnai tatacara penangkapan ikan di Indonesia adalah adat
istiadat. Salah satu adat istiadat yang kental di beberapa daerah adalah larung laut Salah satu adat
istiadat yang kental di beberapa daerah adalah larung laut. Larung laut ini merupakan kiriman
persembahan kepada penguasa laut agar diberikan hasil ikan yang melimpah dan perlindungan
pada saat mereka menangkap ikan. larung laut biasa dilaksanakan bertepatan dengan momen-
momen tertentu misalnya syawalan. Nelayan di daerah Demak, Jawa tengah, biasanya
melakukan ritual ini pada awal bulan syawal.

D. Proses Ritual Kepercayaan yang Dianut Oleh Nelayan dari Berbagai Macam Daerah di
Indonesia
1. Suku Bajo
Walaupun Suku Bajo beragama Islam, namun mereka masih hidup dalam dimensi leluhur.
Masyarakat Suku Bajo percaya pantangan- pantangan larangan meminta sesuatu kepada tetangga
seperti minyak tanah, garam, air atau apapun setelah magrib. Mereka juga percaya dengan
upacara tebus jiwa. Melempar sesajen ayam ke laut. Artinya kehidupan pasangan itu telah
dipindahkan ke binatang sesaji. Ini misalnya dilakukan oleh pemuda yang ingin menikahi
perempuan yang lebih tinggi status sosialnya.

2. Suku Bugis, Makassar, dan Madura


Nelayan Bugis ,Makassar dan Madura memiliki ritual berupa doa dan penyembahan sesaji untuk
menghadapi dan melawan seperti : rintangan arus dan ombak besar yang diarunginya ,dalamnya
laut yang diselami untuk mencari teripang,berbahaya dan angkernya tempat yang kaya sumber
dayanya dan ancaman raksasa laut (gurita,hiu,dan paus).

3. Suku Mandar
Nelayan Mandar memiliki ritual laut, yang terkait dengan penghidupannya di laut,
kepercayaannya terhadap penguasa alam semesta (Allah SWT), alam gaib dan hal-hal yang
membahayakan di laut. Tuhan dan alam gaib menjadi pusat dari pelaksanaan ritual. Nabi khidir
direpresentasikan sebagai penguasa laut. Tujuan utama dari ritual nelayan Mandar adalah untuk
mendapatkan rezeki yang memadahi, perlindungan dari Tuhan agar terhindar dari bahaya laut
(kawao, badai, hantu laut dan sebaginya). Demikian juga untuk mendapatkan barokah dari Allah
SWT. Ritual dibagi 3: Ritual konstruksi (ritual pembuatan perahu hingga penurunan awal perahu
ke laut). Ritual produksi (ritual sebelum melaksanakan pekerjaan melaut). Ritual distribusi
(berupa upacara syukuran hasil tangkapan dan ritual syukuran awal bulan ramadhan).

4. Suku Lamalera
Suku Lamalera adalah suku yang menetap di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Ritual
yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat yakni:
> Bito Berue
Merupakan suatu sistim kepercayaan ritual yang dilakukan oleh nelayan setempat sebelum
menggunakan sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di pantai dengan menggunakan
bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya masih utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua
adat laut (Aho Male) , lalu darahnya dioles disekeling sampan/juku baru.
> Lepa Nua Dewe
Sistim kepercayaan ritual ini dilakukan untuk melepas pukat yang ukurannya kecil yang dalam
bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat tangkap tradisional masyarakat
setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang biasanya pada musim-musim tertentu selalu
muncul diperairan laut daerah setempat dalam jumlah yang sangat banyak.
> Bruhu Brito
Merupakan suatu tradsi oleh masyarakat nelayan setempat sebelum melepas pukat baru untuk
menangkap jenis ikan selain tembang.
> Tula Lou Wate
Upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan kepada leluhur di laut dengan maksud
memanggil ikan agar ikan dapat berkumpul dan memberikan hasil tangkapan yang banyak.

5. Pesisir Utara Jawa


Kepercayaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat pesisir beragama Islam, meski tidak
menutup dianutnya kepercayaan lain seperti Kristen Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu.
Kerohanian yang terdapat di pesisir utara Jawa Tengah misalnya Panggung Pesantren di Tegal.
Panggung Pesantren yang mayoritas warga Indonesia asli atau pribumi yang taat pada tuntunan
agama, yaitu Islam, yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Namun demikian bukan berarti
warga Panggung Pesantren melarang agama lain, justru warga yang beragama non Islam dapat
menyesuaikan diri. Warga Panggung Pesantren tidak hanya fanatik dalam melaksanakan sholat
saja namun masih berusaha mempertahankan diri melaksanakan kebiasaan nenek moyangnya,
antara lain :

a. Rebo Wekasan, dengan mengadakan pengajian di lingkungan pesantren.


b. Mengadakan selamatan atau tahlilan untuk 1 sampai 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak 1
hingga 3.
c. Bersih kubur, membaca doa (tahlil di makam)
Selain itu, masyarakat pesisir masih memelihara makam orang yang dianggap sebagai cikal
bakal masyarakat di daerahnya dan berhasil mengembangkan agama Islam di daerah ini.
Sementara itu di hampir seluruh masyarakat desa Tulakan Keling Jepara mengenal
upacara tradisi tinggalan nenek moyang mereka yang disebut Jembul. Tradisi ini menurut
penuturan warga mulai ada sejak zaman Ratu Kalinyamat, salah seorang raja perempuan yang
berkuasa di wilayah tersebut. Tradisi Jembul saat ini berupa dua tandu usungan, yakni tandu
usungan yang disebut dengan Jembul Yoni dan tandu usungan yang disebut dengan Jembul
Lingga. Pada tandu usungan jembul Yoni terdapat aneka makanan seperti jadah, gemblong,
jenang, tape dan aneka jajan pasar lainnya. Di antara makanan yang ditata rapi ini terdapat hiasan
belahan bambu, konon hiasan bambu ini dimaksudkan untuk melambangkan Adipati Arya
Penangsang. Sangat berbeda penamplannya dibanding Jembul Lingga. Jembul yang satu ini
sama sekali tidak dilengkapi dengan hiasan, bahkan di atas jembul ini cenderung terdapat nasi
tumpeng komplit dengan aneka lautnya. Upacara tradisi Jembul dimulai dari Desa Sonder, desa
di mana Ratu Kalinyamat memulai bertapa untuk melakukan protesnya. Di desa ini, seluruh
peserta ritual memulai prosesinya dengan cara dhahar kembul alias makan bersama seluruh hasil
bumi dan hasil pertanian mereka. Usai makan bersama, Kepala Desa Tulakang menyerahkan
kepada 4 dusun yang ada di desa Tulakan untuk melanjutkan prosesi ritual di dusun masing-
masing.

6. Pesisir Desa Balauring


Desa Balauring merupakan ibukota Kecamatan Omesuri danmerupakan suatu wilayah perairan
teluk yang cukup dalam sehingga di tempat ini terdapat sebuah dermaga yang dapat melayani
pendaratan kapal-kapal ikan dan kapal-kapal perintis lainnya. Karakteristik masyarakat di Desa
Balauring sedikit berbeda dengan masyarakat pesisir di desa-desa lainnya. Hal ini disebabkan
oleh komunitas masyarakatnya yang cukup heterogen dan pola peradaban penduduk di wilayah
desa ini sudah banyak dipengaruhi oleh masyarakat pendatang.
Masyarakat pendatang yang bermukim di wilayah pesisir di desa Balauring yakni dari suku Bajo
dan Bugis. Oleh karena itu system kepercayaan ritual yang berkaitan adat istiadat yang
berhubungan dengan kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir sudah tidak
ditemukan pada masyarakat di desa ini. Sebagai contoh banyak masyarakat dari Suku Bajo
memiliki bangunan rumah panggung di atas laut. Mereka menebang pohon bakau dan
selanjutnya digunakan sebagai bahan bangunan dan jembatang/jalan pengubung antara rumah
yang satu dan lainnya.
Perilaku masyarakat dan pola pemukinan seperti ini tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai
dan aspek-aspek konservasi sumberdaya. Perilaku dan pola pemukiman semacam ini memberi
dampak yang cukup besar terhadap kerusakan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir lainnya
serta tingkat pencemaran limbah rumah tangga yang cukup tinggi di wilayah perairan Teluk
Balawuring.

7. Pesisir Desa Wailolong


Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan memiliki sstim
kepercayaan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di darat. Di desa ini, terdapat
sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada penguasanya yang
disebut hari dan penguasa di darat yang disebut neda . Adanya sistim kepercayaan ini
mendorong pemangku adat lemaq untuk melakukan ritual kolo umen bale lamaq yakni
upacara memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan,
budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman bakau. Namun
demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan sifatnya perorangan, belum
merupakan suatu kesepakatan bersama.
8. Sistim Kepercayaan Masyarakat Nelayan Di Pesisir Desa Lebewala
Masyarakat pesisir Desa Lebewala Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata mempunyai system
keprcayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir. Dalam pemanfaatan
sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur masyarakat setempat adalah poan kemer puru
larang yakni suatu tradisi larangan secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-
hasil laut secara bebas.Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan
dukun- dukun melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan melakukan ritual dan
selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata
Molang akan melakukan ritual pelarangan kembali wilayah perairan tersebut.
Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa Lebewala juga
memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni berupa sanksi denda
dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan besar senilai satu juta rupiah.
Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran pemerintah tampaknya membuat masyarakat
kawasan pesisir desa ini cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan
teripang secara bebas.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat bahari di setiap wilayah di seluruh Indonesia
memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Perbedaan perbedaan inilah yang menjadi ciri
khas dari sistem kepercayaan yang dianut oleh suatu sistem masyarakat bahari. Contohnya, Suku
Bajo dan Masyarakat pesisir utara Pulau Jawa sama-sama menganut agama Islam sebagai agama
mayoritasnya, akan tetapi mereka memiliki perbedaan dalam menjalankan sistem
kepercayaannya.
Pendekatan pemberdayaan sistim kepercayaan diharapan akan terjadi perubahan dasar perilaku
sosial yang berkaitan dengan perilaku konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Perubahan
tersebut hanya dapat terlaksana apabila secara penuh didasarkan pada kesadaran, keiklasan dan
kesungguhan semua pihak yang terlibat (stakeholders) dalam proses mobilisasi sosial.
Peluang sistim kepercayaan merupakan pranatara-pranatara sosial budaya dan jaringan sosial
yang dimiliki oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Potensi ini sebagai modal sosial budaya yang
berharga yang memiliki peranan dalam memobilisasi perubahan perilaku sosial secara sadar dan
keiklasan kearah yang lebih baik dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alamlaut dan pesisir.
DAFTAR PUSTAKA

http://aludinkedang.blogspot.co.id/2011/05/sistim-kepercayaan-masyarakat-nelayan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Sistem_Kepercayaan

http://riandonok.blogspot.co.id/2015/04/sistem-kepercayaan-masyarakat-pesisir.html

http://sofyanida.blogspot.co.id/2015/03/makalah-wsbm-sistim-kepercayaan-nelayan.html

Anda mungkin juga menyukai