Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan hutan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan atau pedesaan. Pemukiman
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan
yang

mendukung

4/1992).Perumahan

perikehidupan
adalah

dan

kelompok

penghidupan
rumah

yang

(UU

RI

berfungsi

No.

sebagai

lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana


lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya penyediaan air
minum, pembuangan sampah, listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan
lingkungan pemukiman berfungsi sebagaimana mestinya; dan sarana
lingkungan yaitu fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan
serta pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, seperti fasilitas
taman bermain, olah raga, pendidikan, pertokoan, sarana perhubungan,
keamanan, serta fasilitas umum lainnya.
Perumahan sehat merupakan konsep dari perumahan sebagai faktor
yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut
melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor risiko dan
berorientasi

pada

lokasi,

bagunan,

kualifikasi,

adaptasi,

manajemen,

penggunaan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta


mencakup unsur apakah rumah tersebut memiliki penyediaan air minum dan
sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta
pembuangan kotoran manusia maupun limbah lainnya (Komisi WHO
Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001).
Kawasan pemukiman didominasi oleh lingkungan hunian dengan
fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan, tempat bekerja yang memberi pelayanan dan kesempatan
kerja terbatas yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan
lingkungan pemukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk

ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan
terstuktur yang memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal.
Namun, kawasan pemukiman tak luput dari berbagai permasalahan.
Salah satunya adalah masalah lingkungan. Maka dari itu, dibuatlah makalah ini
agar pembaca dapat mengathui permasalahan lingkungan hidup seputar daerah
pemukiman. Serta dapat mengetahui cara penanggulangannya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat ditarik berdasarkan latar belakang diatas,
yaitu :
1. Faktor apa yang menyebabkan masalah lingkungan hidup daerah
permukiman ?
2. Apa dampak atau masalah yang diakibatkan ?
3. Bagaimana kriteria permukiman sehat menurut WHO ?
4. Bagaimana cara melindungi dan mengelola lingkungan hidup kawasan
permukiman ?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui faktor apa aja yang menyebabkan masalah lingkungan hidup
daerah permukiman.
2. Mengeathui dampak atau masalah yang diakibatkan.
3. Mengetahui kriteria permukiman sehat menurut WHO.
4. Mengetahui cara melindungi dan mengelola lingkungan hidup kawasan
permukiman.

D. Manfaat
Manfaat yang didapat dari makalah ini, yaitu :
1. Dapat mengetahui faktor apa aja yang menyebabkan masalah lingkungan
hidup daerah permukiman.
2. Dapat mengetahui dampak atau masalah yang diakibatkan.
3. Dapat mengetahui kriteria permukiman sehat menurut WHO.
4. Dapat mengetahui cara melindungi dan mengelola lingkungan hidup
kawasan permukiman.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor yang Menyebabkan Masalah Lingkungan Hidup Daerah


Permukiman
1. Faktor Urbanisasi dan Migrasi Penduduk
Substansi tentang urbanisasi yaitu proses modernisasi wilayah desa
menjadi kota sebagai dampak dari tingkat keurbanan (kekotaan) dalam
3

suatu wilayah (region) atau negara. Konsekuensinya adalah terjadi


perpindahan penduduk (dengan aktifitas ekonominya) secara individu atau
kelompok yang berasal dari desa menuju kota atau daerah hinterland
lainnya. Hal ini perlu dibedakan dengan pengertian tingkat pertumbuhan
kota (urban growth) yang diartikan sebagai laju (rate) kenaikan penduduk
kota, baik skala mandiri maupun kebersamaan secara nasional.
Ukuran tingkat keurbanan, biasanya dalam konteks kependudukan
yaitu dengan memproporsikan antara jumlah penduduk perkotaan terhadap
jumlah penduduk nasional. Tetapi masalah urbanisasi tidak harus
diinterpretasikan dalam konteks kependudukan semata, kenyataannya
harus mencakup dimensi perkembangan dan kondisi sosial, ekonomi
masyarakat, bahkan lebih jauh mencakup pula aspek budaya dan politik.
Pada intinya dalam aspek kegiatan ekonomi, pengertian urbanisasi
merupakan substansi pergeseran atau transformasi perubahan corak sosioekonomi masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan jasa-jasa
(Tommy Firman, 1996).
Rumusan beberapa faktor secara umum yang dapat mempengaruhi
terjadinya proses keurbanan, antara lain :
a) Ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi antara desa dengan
perkotaan
b) Peluang dan kesempatan kerja yang lebih terbuka di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah perdesaan
c) Terjadinya pola perubahan minat tentang lapangan pekerjaan dari
pertanian ke industri, utamanya bagi penduduk usia kerja di perdesaan
d) Lebih majunya teknologi dan infrastruktur prasarana transportasi,
sehingga memudahkan terjadinya mobilitas penduduk baik yang
permanen atau yang ulang alik.
e) Keberadaan fasilitas perkotaan yang lebih menjanjikan, utamanya aspek
pendidikan, kesehatan, pariwisata dan aspek sosial lainnya.
Proses urbanisasi perkotaan adalah suatu gejala umum yang
dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Proses pembangunan
yang berlangsung relatif pesat. Karena daya tarik kota sangat kuat, baik
yang bersifat ekonomis maupun non ekonomis. Keadaan daerah

perdesaan yang serba kekurangan merupakan pendorong yang kuat dalam


meningkatnya arus urbanisasi ke kota-kota besar.
Bagi kota yang mulai padat penduduknya, pertambahan penduduk
tiap tahunnya jauh melampaui penyediaan kesempatan kerja didalam
wilayahnya sehingga dirasakan menambah berat permasalahan kota.
Tekanan ekonomi dan kepadatan tinggal bagi kaum urban memaksa
mereka menempati daerah-daerah pinggiran (slum area) hingga
membentuk lingkungan permukiman kumuh.

Gambar 1. Pemukiman daerah pedesaan


Migrasi sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli telah
banyak membahas tentang teori migrasi tersebut dan sekaligus melakukan
penelitiantentang migrasi.Lee dalam Lisna Yoeliani P (1966) mendekati
migrasi dengan formula yang lebih terarah. faktor-faktor yang

mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi dapat dibedakan atas


kelompok sebagai berikut :
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migran.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan

migran

(destination)
c. Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening factors)
d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.
Gambar 2. Pemukiman padat di kota Jakarta

Faktor-faktor yang ada di tempat asal migran maupun di tempat


tujuan migran dapat terbentuk faktor positif maupun faktor negatif. Faktorfaktor di tempat asal migran misalnya dapat berbentuk faktor yang
mendorong untuk keluar atau menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di
daerah tempat tujuan migran fakor tersebut dapat berbentuk penarik
sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan orang
tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur, penghasilan yang
rendah di daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk pindah.
Namun rasa kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak
merupakan faktor yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi,

kesempatan kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran


merupakan faktor penarik untuk datang kesana namun ketidakpastian,
resiko yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan
sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan
migran tersebut.
Keberadaan penduduk migran di permukiman kumuh yang
menempati lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat dikategorikan
sebagai hunian ilegal atau lazim disebut hunian liar (squatter). Hal ini jelas
telah menimbulkan konflik antara penghuni dengan instansi yang
bertanggung jawab atas lahan yang ditempatinya, Meskipun mereka
tinggal pada permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga
Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat
menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan
tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga telah
berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang
demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot Kendari maupun pemilik
lahan untuk membebaskan permukiman demikian.
Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah memberi
kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan kota karena telah
menciptakan permukiman kumuh dengan segala implikasinya, namun
sebenarnya mereka juga memberi kontribusi positif bagi pembangunan
Kota. Kota Kendari telah memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari
daerah perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati kualitasnya
rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan
yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan
menyediakan produksi skala rumah tangga, terutama sangat diperlukan
bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik
sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan
sebagai distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh
yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat membantu
penduduk kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau

pegawai daerah golongan rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun


kontrakan yang relatif murah.
2. Faktor Lahan di Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat pesat telah
menyebabkan berbagai persoalan serius diantaranya adalah permasalahan
perumahan.

Permasalahan

perumahan

sering

disebabkan

oleh

ketidakseimbangan antara penyediaan unit hunian bagi kaum mampu dan


kaum tidak mampu di perkotaan. Di samping itu sebagian kaum tidak
mampu

tidak

menguasai

sumber

daya

kunci

untuk

menopang

kehidupannya, sehingga kaum tidak mampu ini hanya mampu tinggal di


unit-unit hunian sub standar di permukiman yang tidak layak.
Permasalahan perumahan di atas semakin memberatkan kaum
tidak mampu ketika kebijakan investasi pemanfaatan lahan mengikuti arus
mekenisme pasar tanpa mempertimbangkan secara serius pentingnya
keberadaan hunian yang layak bagi kaum miskin diperkotaan. Investasi
pemanfaatan lahan yang salah, semata-mata berpihak pada kaum mampu
pada akhirnya mendorong lingkungan permukiman kaum tidak mampu
yang tidak layak ini terus mengalami penurunan kualitas dan rentan
masalah sosial lainnya.
3. Faktor Sarana dan Prasarana Dasar
Secara umum karakteristik permukiman kumuh diwarnai juga oleh
tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar seperti halnya suplai
air bersih, jalan, drainase, jaringan sanitasi, listrik, sekolah, pusat
pelayanan kesehatan, ruang terbuka, pasar dan sebaginya. Bahkan hampir
sebagian besar rumah tangga di lingkungan permukiman kumuh ini
mampunyai akses yang sangat terbatas terhadap pelayanan sarana dan
prasarana dasar tersebut.
Rendahnya kemampuan pelayanan sarana dan prasarana dasar ini
pada umumnya disebabkan kemampuan pemerintah yang sangat terbatas
dalam pengadaan serta pengelolaan sarana dan prasarana lingkungan
permukiman, kemampuan dan kapasitas serta kesadaran masyarakat juga

terbatas pula. Bahkan juga disebabkan pula oleh terbatasnya peran


berbagai lembaga maupun individu atau pihak di luar pemerintah, baik
secara profesional atau sukarela dalam peningkatan permasalahan sarana
dan prasarana dasar.
4. Faktor Sosial Ekonomi
Pada umumnya sebagian besar penghuni lingkungan permukiman
kumuh mempunyai tingkat pendapatan yang rendah karena terbatasnya
akses terhadap lapangan kerja yang ada. Tingkat pendapatan yang rendah
ini menyebabkan tingkat daya beli yang rendah pula atau terbatasnya
kemampuan untuk mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar.
Di sisi lain, pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman
kumuh yang sebagian besar berpenghasilan rendah itu memiliki potensi
berupa tenaga kerja kota yang memberikan konstribusi sangat signifikan
terhadap kegiatan perekonomian suatu kota. aktivitas ekonomi di sektor
informal terbukti telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
berlangsungnya kehidupan produksi melalui sektor informal.
Dengan demikian tingkat pendapatan penghuni lingkungan
permukiman kumuh yang rendah ini merupakan permasalahan yang serius
keberlangsungan produtivitas suatu kota. Permasalahan sosial ekonomi
merupakan salah satu pendorong meningkatnya arus urbanisasi dari desa
ke kota, dari daerah pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi sehingga
menumbuhkan lingkungan permukiman kumuh baru.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah
juga menjadi faktor penyebab munculnya permukiman kumuh di daerah
perkotaan maupun di daerah pesisir. Keterbatasan penghasilan akibat dari
semakin sulintya mencari pekerjaan didaerah perkotaan membuat
masyarakat yang berada di garis kemiskinan semakin kesulitan untuk
menyediakan perumahan yang layak huni bagi mereka sendiri.
Ketika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, Masyarakat
berusaha dengan orientasi memenuhi kebutuhan hidup. Dan, ketika
mereka berhadapan dengan keterbatasan pekerjaan formal yang jelas
strukturnya, mereka menciptakan pekerjaan-pekerjaan informal yang

memberi peluang untuk melangsungkan kehidupan. Tercukupinya


kebutuhan hidup adalah konsep sederhana tentang kebahagiaan yang
dimiliki oleh kaum miskin. Namun, dalam usaha mereka tersebut, mereka
berhadapan dengan roda pembangunan ciptaan penguasa yang tidak
berpihak pada mereka.
Persoalan ketidak mampuan ekonomi merupakan imbas urbanisasi,
lonjakan pengangguran, serta tingginya tuntutan dan biaya hidup yang
memaksa manusia kota kreatif untuk berusaha di bidang ekonomi.
Berdasar survei Bappenas pada 2002, kuantitas pekerja di sektor informal
selalu paralel dengan tingkat Pemutusan Hubungan Kerja serta angka
pengangguran. Semakin tinggi angka Pemutusan Hubungan Kerja dan
tingkat pengangguran, berarti jumlah Pekerja pada sektor informal juga
akan bertambah. Urbanisasi juga menyumbang pertambahan pekerja pada
sektor informal lantaran para pendatang dari perdesaan umumnya tak
memiliki keterampilan yang memadai di sektor formal. (Jawa Pos,
17/02/06).
Aktivitas-aktivitas formal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan
dipinggiran kota saja, tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas
ekonomi. Aktivitas-aktivitas ekonomi informal adalah cara melakukan
sesuatu yang ditandai dengan :
a. Mudah untuk dimasuki
b. Bersandar pada sumber daya lokal
c. Usaha milik sendiri
d. Operasinya dalam skala kecil
e. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif
f. keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal
g. Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.
Aktivitas-aktivitas

sektor

informal

pada

umumnya

dikesampingkan, jarang didukung, bahkan seringkali diatur oleh aturan


yang ketat, dan terkadang tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Menurut Daldjoeni (1987:172), mereka yang masuk ke dalam
sektor informal adalah mereka yang harganya berada di kelas dua, artinya
bahwa mereka yang orientasi pemasarannya untuk golongan menengah ke

10

bawah. Untuk itu, mereka harus lebih diformalkan, lebih dipadatmodalkan,


lebih ditatabukukan, lebih dibadanhukumkan, dan lebih dikenai pajak.
Secara implisit dalam kegiatan perdagangan, kegiatan informal dalam
bentuk pedagang kaki lima. Ditinjau dari karakteristik kehadirannya,
timbul sektor informal karena :

1. Tingkat persaingan pekerjaan yang tidak diimbangi dengan tersedianya


lapangan pekerjaan yang memadai.
2. Tidak adanya hubungan kerja kontrak jangka panjang seperti halnya
yang dimiliki oleh sektor formal, sehingga mengakibatkan mobilitas
angkatan kerja dalam sektor informal menjadi relatif lebih tinggi.
3. Meningkatnya arus urbanisasi.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah,
untuk membangun rumah yang layak huni menambah daftar panjang
permasalahan permukiman kumuh diperkotaan dan daerah pesisir. Jika
golongan miskin dianggap tidak mampu untuk membantu dirinya sendiri
dalam membangun rumah yang layak huni maka mereka seharunya
dibantu. Dalam konteks perumahan, kecenderungan ini berarti hanya
pemerintah sajalah yang mampu membangun perumahan yang layak huni
bagi masyarakat miskin. Menurut Turner dalam Alan gilbert dkk,
pemerintah sebaiknya membangun perumahan swadaya. Dan itu akan
terjadi manakala masyarakat miskin tersebut memahami peranannya
bahwa perumahan merupakan bagian dari hidup mereka.

5. Faktor Sosial Budaya


Permukiman kumuh juga sering ditandai oleh tingkat pendidikan
dan keterampilan yang sangat rendah. Pada umumnya tingkat pendidikan
dan keterampilan yang rendah ini sangat erat dengan rendahnya tingkat
pedapatan penduduk sehingga mambatasi akses terhadap peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
Di samping itu struktur sosial penghuni lingkungan permukiman
sangat majemuk dengan beragam norma-norma sosialnya masing-masing.

11

Keragaman ini kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman, saling tidak


percaya antar penghuni, yang menyebabkan rendahnya tingkat kohesivitas
komunitas. Masing-masing mengikuti struktur hubungan antar sesama dan
budaya yang beragam, yang mempengaruhi bagaimana sebuah individu,
keluarga dan tetangga dalam berinteraksi di lingkungannya. Sehingga
kadang-kadang menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga yang
berbasis pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan kesejahteraan
bersama.
Konflik sosial antara warga kota dapat dilihat dari konflik untuk
mencari pekerjaan dan semakin tingginya angka kejahatan dikota
membuat kota semakin tidak aman bagi masyarakat kota. Argumentasi
disorganisasi atau nuansa di kota yang aman hampir tidak dapat dipungkiri
bahwa rasa aman hidup dikota semakin hilang. Hal ini akibat dari perilaku
yang terlepas dari kontrol sosial terhadap nilai-nilai masyarakat. Kaum
migran desa-kota cenderung berharap mereka akan mampu memperbaiki
posisi sosial ekonomi mereka ketika melakukan migrasi kekota. Mereka
dipenuhi pikiran untuk memapankan hubungan pekerjaan dan nilai
finansial yang akan didapatkannya ketika berada dikota. Namun perlu
diketahui bahwa persaingan dikota jauh lebih besar dibandingkan dengan
di desa. (darsono Wisadirana : 2004)
Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan/skill dan potensi
akan tersingkir dari dunia usaha yang sifatnya formal. Akibatnya untuk
mencari pekerjaan mereka menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan
bergerak dalam sektor usaha informal.
Kasus kejahatan yang dapat terjadi dari konflik sosial adalah akibat
semakin tingginya jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin
yang tidak mampu untuk bersaing. Maka muncullah kejahatan sebagai
jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan yang lebih cepat. Pencurian
dan perampokkan dipermudah lagi oleh tidak adanya sosialisasi dengan
sikap acuh tah acuh sesama masyakat yang bersifat individualistis. Dan
sesama masyarakat saling tidak kenal dan puas dengan kehidupan
subsistem. Tetapi orang-orang miskin dikota mungkin tidak memiliki

12

alternatif perkerjaan lain kecuali harus mencuri dan merampok untuk


mempertahankan kehidupan mereka. Kadang ada juga yang secara
terorganisir melakukan perampokkan dan pencurian dengan modus yang
berbeda-beda. Konflik sosial lain akibat tidak adanya lapangan pekerjaan
yang dapat menampung kaum migran adalah dengan melakukan pekerjaan
sebagai pemulung atau pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan.
(Daldjoeni: 1997)
Masyarakat yang bermigrasi kekota juga membawa nilai-nilai
sosial yang ada dalam masyarakat desa. Sementara masyarakat kota yang
heterogen memiliki cirinya sendiri. Salah satu ciri masyarakat kota dalam
Alan Gilbert mengungkapkan bahwa ciri masyarakat kota ditandai dengan,
sebagai berikut.
a. Lebih terbuka terhadap perubahan
b. Kota merupakan pintu gerbang ide-ide dan budaya yang baru.
c. Masyarakat kota lebih kritis terhadap perubahan harga barang dan
lainnya
d. Lebih rasional
e. Faktor pendidikan dan informasi sangat dibutuhkan
f. Proses individualisme lebih mencolok dibandingkan dengan suasana
g.
h.
i.
j.

kekeluargaan
Aktivitas dan jarak sosial yang lebih padat
Dikelompokkan oleh kepentingan
Kerawanan dan berdampak pada persaingan dan agresivitas
Keragaman pekerjaan baik dari sektor industri maupun sektor jasa.
Menurut Betrand (1987) Dalam (Darsono Wisadirana , 2005 : 23)

masyarakat merupakan hasil dari suatu perubahan budaya dan akumulasi


budaya. Jadi masyarakat bukan sekedar jumlah penduduk saja melainkan
sebagai suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka. Sehingga
menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Dimana dari hubungan antar mereka ini terbentuk suatu kumpulan
manusuia kemudian menghasilkan suatu budaya. Jadi masyarakat
merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dan menghasilkan
kebudayaan.

13

Masyarakat dan kebudayaan sebenarnya merupakan perwujudan


dari perilaku manusia. Antara masyarakat dan kebudayaan dalam
kehidupan yang nyata, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
sosial bagaikan dua sisi mata uang. Tidak ada masyarakat yang tidak
mempunyai kebudayaan atau sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa
masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.
Kota pun menjadi fokus dari perubahan sosial yang mengisinkan
hadirnya kegiatan-kegiatan personal yang menyimpang. Tingkat kejahatan,
kenakalan remaja, dan kegiatan menyimpang lainnya menjadi cukup tinggi
di daerah perkotaan. Jika sektor informal bisa menampung tenga kerja
kaum marginal maka pemerintah kota tidak perlu membatasi mereka untuk
mencari penghidupan pada sektor inforal ini. Karena pada kenyataannya
meraka tidak mampu untuk ditampung pada sektor formal karena
keterbatasan-keterbatasan yang ada pada masyarakat marjinal. (Daljoeni :
1997)
Daerah-daerah permukiman liar tadi merupakan penerusan dari
kehidupan perdesaan yang serba luwes. Pendudukya lebih gigih
mempertahankan tanah yang terlanjur mereka tempati sehingga sulit untuk
melakukan penggusuran. Ciri-ciri sosial ekonomi kaum penghuni gubuggubug liar yang tergolong kaum marjinal dan penduduk termiskin terdiri
atas para urbanisan yang paling baru datangnya. Tetapi mereka merupakan
penggerak kota karena bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pelabuhan, dan
buruh kasar yang membuat ekonomi berjalan terus.
Oleh karena itu setiap penanganan permukiman kumuh harus
secara serius melaksanakan identifikasi asal-usul tumbuh kembangnya
lingkungan permukiman tersebut guna membantu melakukan rekonstruksi
nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berlaku di dalamnya, termasuk
keterkaitan dengan konfigurasi struktur sosial budaya kota.

6. Faktor Tata Ruang

14

Dalam konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh merupakan


bagian yang tidak terpisahkan dari konsfigurasi struktur ruang kota. oleh
karena itu, perencanaan tata ruang kota perlu didasarkan pada pemahaman
bahwa pengembangan kota harus dilakukan sesuai dengan daya dukunya
termasuk daya dukung yang relatif rendah di lingkungan permukiman
kumuh.
Investasi yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota akan
menimbulkan dampak yang merusak lingkungan serta berpotensi
mendorong tumbuhkembangnya lingkungan permukiman kumuh atau
kantong-kantong lingkungan permukiman kumuh baru, bahkan bisa jadi
akan menghapus lingkungan permukiman lama atau kampung-kampung
kota yang mempunyai nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada
saat itu lingkungan telah mengalami kemerosotan atau memburuk.
7. Faktor Aksebilitas
Secara umum, salah satu penyebab munculnya permukiman kumuh
adalah terbatasnya akses penduduk miskin kepada kapital komunitas
(community capital). Kapital komunitas ini meliputi kapital terbangun,
individu dan sosial serta lingkungan alam.Kapital terbangun meliputi
informasi, jalan, sanitasi, drainase, jaringan listrik, ruang terbuka,
perumahan, pasar, bangunan-bangunan pelayanan publik, sekolah dan
sebagianya. Kapital individu, antara lain meliputi pendidikan, kesehatan
kemampuan dan keterampilan. Kapital sosial, antara lain meliputi
koneksitas dalam suatu komunitas-cara manusia berinteraksi dan
berhubungan dengan lainnya. Dalam skala lebih luas, sekelompok manusia
membentuk organisasi, baik organisasi sukarela, bisnis melalui perusahaan
maupun pemerintah dan sebagainya, termasuk berbagai sistem sosial yang
ada, termasuk kebijakan pembangunan kota.
Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam,
pelayanan ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam adalah apa saja
yang diambil dari alam sebagai bagian dari bahan dasar yang dipakai
untuk proses produksi. Pelayanan ekosistem antara lain berupa

15

kemampuan tanah untuk budidaya tanaman yang bisa memberikan bahan


makanan, bahan untuk pakaian dan sebagainya.
8. Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam hal
pencapaian pekerjaan dan pendapatan. Meskipun begitu, pendidikan
sangat ditentukan oleh pendidikan itu sendiri dan pekerjaan orang tua
untuk mampu menyekolahkan anak mereka pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Hal ini berarti perbedaan latar belakang budaya dan sosial
ekonomi (pendidikan dan pekerjaan) orang tua tidak hanya berpengaruh
terhadap pendidikan anak. tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan dan
pendapatan mereka. Sedangkan faktor lain seperti : tempat tinggal, agama,
status perkawinan dan status migrasi, serta umur sangat kecil pengaruhnya
terhadap pencapaian pekerjaan dan pendapatan.
Banyak kaum migran tidak bisa bekerja dengan standar-standar
yang tinggi. Sementara persaingan untuk mencari lapangan kerja sangat
tinggi dan kesemuanya dituntut dengan tingkat propesionalisme dan
tingkat pendidikan pula yang harus dapat bersaing dengan orang lain.
Dilain pihak kota-kota di Indonesia memiliki kelebihan jumlah tenaga
kerja yang belum dapat tersalurkan baik yang memiliki pendidikan tinggi
maupun mereka yang sama sekali tidak memiliki skill dan keterampilan
yang tinggi untuk bisa bertahan pada jalur formal. Elemen lain yang juga
menentukan adalah tidak adanya lapangan kerja yang disiapkan oleh
pemerintah. Dampak dari akumulasi kejadian tersebut memunculkan
angka pengangguran yang setiap tahunnya semakin bertambah.

B. Dampak yang diakibatkan Masalah Lingkungan Daerah Permukiman


Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang,
memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri
Negara berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk
perkotaan terutama kota kota besar dari negara tersebut, sebagai akibat
dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Kaum urban

16

dari kalangan miskin, biasanya menyasar pinggiran kota yang belum


memiliki fasilitas ruang kota agar lebih murah. Salah satu akibatnya
adalah munculnya permukiman kelompok sosial kota terpinggirkan, yang
tidak terencana, tidak memliki fasilitas infrastruktur yang semakin lama
semakin berkembang secara alami dan akhirnya tumbuh tidak terkendali
menjadi wilayah permukiman yang serba semrawut dan kumuh (Hadi
Sabari, 2007).
Permasalahan secara umum bidang perumahan dan permukiman di
Indonesia yang ada pada saat ini adalah sebagai berikut:
1. Belum

terlembaganya

sistem

penyelenggaraan

perumahan

dan

pemukiman
a. Secara umum sistem penyelenggaraan di bidang perumahan dan
permukiman masih belum mantap baik di tingkat pusat, wilayah,
maupun lokal, ditinjau dari segi sumber daya manusia, organisasi,
tata laksana, dan dukungan prasarana serta sarananya.
b. Belum mantapnya pelayanan dan akses terhadap hak atas tanah
untuk perumahan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan
berpendapatan rendah. Kapasitas pemerintah daerah juga masih
relatif

terbatas

untuk

dapat

melaksanakan

secara

efektif

penyelenggaraan administrasi pertanahan yang memadai, yang dapat


menjamin kecukupan persediaan lahan, yang dapat mengembangkan
pasar

lahan

secara

efisien

dan

pemanfaatan

lahan

yang

berkelanjutan, yang dapat mengurangi hambatan hukum dan sosial


terhadap akses yang adil dan seimbang kepada lahan, terutama bagi
penduduk yang difabel, perempuan, dan kelompok yang rentan, dan
yang mampu memfasilitasi akses kepada lahan dan keamanan status
kepemilikan bagi seluruh kelompok masyarakat.
c. Belum efisiennya pasar perumahan, seperti ditunjukkan melalui
kondisi dan proses perijinan pembangunan perumahan dan sertifikasi
hak atas tanah yang masih memprihatinkan, relatif mahal dan kurang
transparan; belum adanya standarisasi dokumen KPR, seleksi
nasabah, penilaian kredit, dan dokumen terkait lainnya; dan proses

17

sita

jaminan

yang

masih

berlarut-larut.

Kondisi

ini

ikut

mempengaruhi ketidakpastian pasar perumahan, serta sistem dan


mekanisme pembiayaan perumahan. Untuk lebih menjamin pasar
perumahan

yang

efisien,

perlu

dihindari

intervensi

yang

mengganggu penyediaan dan menyebabkan distorsi permintaan akan


perumahan, dan membuat instrumen yang fleksibel untuk regulasi
perumahan, termasuk pasar sewa perumahan dengan mengingat
kebutuhan khusus dari kelompok masyarakat yang rentan.
2. Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan
terjangkau
a. Tingginya kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau masih
belum dapat diimbangi karena terbatasnya kemampuan penyediaan
baik oleh masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Secara nasional
kebutuhan perumahan masih relatif besar, sebagai gambaran status
kebutuhan perumahan pada tahun 2000 meliputi: (i) kebutuhan
rumah yang belum terpenuhi (backlog) sekitar 4,3 juta unit rumah,
(ii) pertumbuhan kebutuhan rumah baru setiap tahunnya sekitar 800
ribu unit rumah; serta (iii) kebutuhan peningkatan kualitas
perumahan yang tidak memenuhi persyaratan layak huni sekitar 13
b.

juta unit rumah (25%).


Ketidakmampuan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah
untukm mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau serta
memenuhi standar lingkungan permukiman yang responsif (sehat,
aman, harmonis dan berkelanjutan). Hal ini disebabkan karena
terbatasnya akses terhadap sumber daya kunci termasuk informasi,
terutama yang berkaitan dengan pertanahan dan pembiayaan

perumahan.
c.
Belum tersedianya dana jangka panjang bagi pembiayaan
perumahan yang menyebabkan terjadinya mismatch pendanaan
dalam pengadaan perumahan. Di samping itu, sistem dan mekanisme
subsidi

perumahan

bagi

kelompok

masyarakat

miskin

dan

berpengahasilan rendah masih perlu dimantapkan, baik melalui


18

mekanisme pasar formal maupun melalui mekanisme perumahan


yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat. Mobilisasi sumbersumber pembiayaan perumahan masih harus diefektifkan dengan
mengintegrasikan

pembiayaan

perumahan

ke

dalam

sistem

pembiayaan yang lebih luas dan memanfaatkan instrumen yang ada


sekarang atau mengembangkan instrumen baru untuk lebih
memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi penduduk yang
mempunyai keterbatasan akses kepada kredit.
3. Menurunnya kualitas lingkungan permukiman
a. Secara fungsional, sebagian besar kualitas

perumahan

dan

permukiman masih terbatas dan belum memenuhi standar pelayanan


yang memadai sesuai skala kawasan yang ditetapkan, baik sebagai
kawasan perumahan maupun sebagai kawasan permukiman yang
berkelanjutan. Masih terdapat banyak kawasan yang tidak dilengkapi
dengan

berbagai

prasarana

dan

sarana

pendukung,

seperti

terbatasnya ruang terbuka hijau, lapangan olah raga, tempat usaha


dan perdagangan secara terbatas, fasilitas sosial dan fasilitas umum,
disamping masih adanya keterbatasan di bidang prasarana dasar
perumahan dan permukiman, seperti air bersih, sanitasi, dan
pengelolaan limbah.
b. Secara fisik lingkungan, masih banyak ditemui kawasan perumahan
dan permukiman yang telah melebihi daya tampung dan daya
dukung lingkungan, menghadapi dampak kesalingterkaitannya
dengan skala kawasan yang lebih luas, serta masalah keterpaduannya
dengan sistem prasarana dan sarana baik di perkotaan maupun di
perdesaan. Dampak dari semakin terbatas atau menurunnya daya
dukung lingkungan di antaranya adalah dengan meningkatnya
lingkungan

permukiman

kumuh

lingkungan permukiman kumuh

pertahunnya,

sehingga

luas

seperti pada tahun 2000 telah

mencapai sekitar 47.500 ha yang tersebar tidak kurang dari sekitar


10.000

lokasi.

Adanya

perubahan

fungsi

lahan

untuk
19

mengakomodasi kebutuhan perumahan dan permukiman serta proses


urbanisasi juga tidak selalu telah memperhatikan dampaknya
terhadap lingkungan, termasuk dari segi keanekaragaman hayati.
Secara non-fisik lingkungan, pertumbuhan kawasan perumahan dan
permukiman juga tidak selalu telah mengantisipasi potensi timbulnya
c.

kesenjangan dan kerawanan sosial.


Secara visual wujud lingkungan, juga terdapat kecenderungan yang
kurang positif bahwa sebagian kawasan perumahan dan permukiman
telah mulai bergeser menjadi lebih tidak teratur, kurang berjati diri,
dan kurang memperhatikan nilai-nilai kontekstual sesuai sosial
budaya setempat serta nilai-nilai arsitektural yang baik dan benar.
Selain itu, kawasan yang baru dibangun juga tidak secara berlanjut
dijaga penataannya sehingga secara potensial dapat menjadi kawasan
kumuh yang baru. Perumahan dan permukiman yang spesifik, unik,
tradisional, dan bersejarah juga semakin rawan keberlanjutannya,
padahal merupakan asset budaya bangsa yang perlu dijaga
kelestariannya.

20

Gambar 3. Drainase di daerah pemukiman


Berbagai

perkembangan,

isu

strategis,

dan

permasalahan

perumahan dan permukiman tersebut tidak terlepas dari dinamika dan


kemajemukan perubahan-perubahan di dalam pembangunan ekonomi,
kesejahteraan sosial, dan pembangunan lingkungan, yang tidak saja
mengikuti perubahan berdimensi ruang dan waktu, tetapi juga perubahan
kondisi khususnya bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kemampuan
pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman yang masih
relatif terbatas dan mulai bertumbuh-kembangnya peran dan potensi
masyarakat di dalam mengatur dan melaksanakan sendiri
Kebutuhannya akan perumahan dan permukiman, juga sangat
mendasari kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan
permukiman. Rumusan kebijakan dan strategi tersebut diharapkan
realistik, dengan mengkaitkannya dengan kebijakan ekonomi makro,
sosial,

demografi,

lingkungan,

dan

kebudayaan.

Disamping

itu,

implementasinya dapat mendorong pendekatan pemberdayaan masyarakat


dalam pembangunan, pemeliharaan dan rehabilitasi perumahan dan
permukiman di perkotaan dan perdesaan, serta telah mengadopsi dan
melaksanakan pendekatan lintas sektoral dan desentralisasi.

21

Dampak yang terjadi dari masalah lingkungan sektor pemukiman


adalah sebagai berikut :
1. Pemadatan bangunan (densifikasi)
Menurut (Suwasti, 1974) Permukiman di daerah perkotaan akan
timbul daerah

daerah permukiman yang kurang layak huni, sangat

padat dan akan membawa suatu akibat pada kondisi lingkungan


permukiman yang buruk atau disebut dengan daerah kumuh (slum).
Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini, khususnya
di kota-kota besar di antaranya wilayah perkotaan menjadi memburuk
dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir,
penyakit menular, dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Di
sisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatan
maupun kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh di bawah garis
kemiskinan.
2. Kurang Tersedianya Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan adalah bagian
dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan
dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya,
ekonomi, dan estetika
Fungsi ruang terbuka hijau dalam suatu kawasan memberikan
konstribusi menjaga keseimbangan lingkungan dan justru akan
menambah nilai eksternalitas kawasan yang berdampak pada harga riel
produk rumah yang semakin tinggi.

22

Gambar 4. Ruang terbuka hijau


3. Permukiman kumuh
Permukiman kumuh adalah Lingkungan yg berpenghuni padat
(melebihi 500 org per Ha) Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah.
Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standart Sarana
prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan
Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diluar
perundang undangan yang berlaku.
4. Urbanisasi
Menurut Bintarto (1983: 9-10) pengertiannya dapat dilihat dari
beberapa sektor, misalnya :
a. Dari segi Demografi, urbanisasi ini dilihat sebagai suatu proses
yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan
perubahan dalam jumlah penduduk dalam satu wilayah.
b. Dari segi ekonomi, urbanisasi ini dilihat dari perubahan struktural
dalam sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat pada banyaknya

23

penduduk desa yang meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian


beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja yang sifatnya
c.

nir/nonagraris di kota.
Dari sudut pandang seorang ilmuwan perilaku (behavioral
scientist) urbanisasi dilihat dari segi pentingnya atau sejauh mana
manusia itu dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang berubahubah baik yang disebabkan oleh kemajuan teknologi.

5. Kurang tersedianya pasokan air bersih


Jika pemukiman di daerah perkotaan semakin padat , dan
perilaku dari masyarakat yang berada di sekitar lingkungan yang tidak
memperhatikan kebersihan di daerahnya yaitu dengan cara membuang
sampah sembarangan yang akhirnya menyebabkan pencemaran air serta
menimbulkan banjir sehingga mengakibatkan pasokan air bersih untuk
di konsumsi berkurang dan kondisinya sangat mengkhawatirkan karena
dapat menimbulkan berbagai macam penyakit.
6. Kesehatan lingkungan
UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menegaskan,
bahwa kesehatan lingkungan untuk mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal, dilakukanantara lain melalui peningkatan
sanitasi lingkungan pada tempat tinggal maupun terhadap bentuk atau
wujud substantifnya berupa fisik, kimia atau biologis termasuk
perubahan

perilaku

yang

diselenggarakan

untuk

mewujudkan

lingkungan yang sehat, yaitu keadaan lingkungan yang bebas dari risiko
yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia. pada
kenyataanya

kesehatan

lingkungn

di

daerah

perkotaan

belum

tersalurkan dengan baik. Ini di karenakan kurang sadarnya masyarakat


akan kepentingan kesehatan serta juga pelopor adanya pencemaran
lingkungan yaitu adanya pabrik industry yang berada di sekitar rumah
warga yang mengakibatkan lingkungan di sekitar pabrik tersebut bisa di
katakan tercemar.

24

7. Pertambahan jumlah penduduk indonesia setiap tahun


Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan di 34 negara
sedang berkembang baru 275 juta (atau 38%) dari 724 juta total
penduduk perkotaan di seluruh dunia. Pada tahun 2001 penduduk
perkotaan di seluruh dunia meningkat menjadi 3 miliar jiwa, dan di
negara sedang berkembang dua pertiga diantaranya tinggal di kota-kota
metropolitan. Bahkan diperkirakan jumlah penduduk perkotaan di
negara-negara yang sedang berkembang akan meningkat menjadi 4,1
miliar atau 80% dari seluruh penduduk perkotaan di dunia.(World
Bank, World Development Report,2000).
C. Kriteria Pemukiman Sehat
Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman adalah kondisi
fisik, kimia, dan biologik di dalam rumah, di lingkungan rumah dan
perumahan, sehingga memungkinkan penghuni mendapatkan derajat
kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan
pemukinan adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam
rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di
perumahan dan/atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan
kesehatan.
Persyaratan kesehatan perumahan yang meliputi persyaratan
lingkungan perumahan dan pemukiman serta persyaratan rumah itu
sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan perumahan berpengaruh
sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga
dan masyarakat (Sanropie, 1992).
Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman
menurut

Keputusan

Menteri

Kesehatan

(Kepmenkes)

No.829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai berikut :


1. Lokasi

25

a. Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran


sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah
gempa, dan sebagainya;
b. Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah atau bekas tambang;
c. Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran
seperti alur pendaratan penerbangan.
2. Kualitas udara
Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari
gangguan gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan
sebagai berikut :
a. Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi;
b. g/m3 ;g maksimum 150 Debu dengan diameter kurang dari 10
c. Gas SO2 maksimum 0,10 ppm;
d. Debu maksimum 350 mm3 /m2 per hari.
e. Kebisingan dan getaran
f. Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A;
g. Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik .
3. Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman
a. Kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg
b. Kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg
c. Kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg
d. Kandungan Benzopyrene maksimum 1 mg/kg
4. Prasarana dan sarana lingkungan
a. Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga
dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan;
b. Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan
vektor penyakit;

26

c. Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan


tidak

mengganggu

kesehatan,

konstruksi

trotoar

tidak

membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan harus


memiliki

pagar

pengaman,

lampu

penerangan,

jalan

tidak

menyilaukan mata;
d. Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang
memenuhi persyaratan kesehatan;
e. Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus
memenuhi persyaratan kesehatan
f. Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi
syarat kesehatan;
g. Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi,
tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain
sebagainya;
h. Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya;
i. Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi
kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan.
5. Vektor penyakit
a. Indeks lalat harus memenuhi syarat;
b. Indeks jentik nyamuk dibawah 5%.
6. Penghijauan
Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan
pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan
kelestarian alam. Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah
tinggal menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah
sebagai berikut :
a. Bahan bangunan
1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang
dapat membahayakan kesehatan, an tara lain : debu total kurang
dari 150 mg/m2 , asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam,
plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan;
2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen.
b. Komponen dan penataan ruangan
1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan;

27

2) Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar


cuci kedap air dan mudah dibersihkan;
3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan;
4) Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir;
5) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya;
6) Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.
c. Pencahayaan
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak
langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas
penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
d. Kualitas udara
1) Suhu udara nyaman antara 18 30 o C;
2) Kelembaban udara 40 70 %;
3) Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam;
4) Pertukaran udara 5 kaki 3 /menit/penghuni;
5) Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam;
6) Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3
7) Ventilasi : Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen
minimal 10% luas lantai.
8) Vektor penyakit : Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang
bersarang di dalam rumah.
e. Penyediaan air
1) Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas
minimal 60 liter/ orang/hari;
2) Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih
dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan
Kepmenkes 907 tahun 2002.
f. Pembuangan Limbah
1) Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari
sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari
permukaan tanah;
2) Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak
menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air
tanah.

28

D. Cara Melindungi dan Mengelola Lingkungan Hidup Kawasan


Permukiman
1. Menyediakan ruang terbuka hijau.
2. Mengurangi urbanisaasi ke kota metropolitan.
3. Peningkatan sanitasi lingkungan pada tempat tinggal maupun
terhadap bentuk atau wujud substantifnya berupa fisik, kimia, atau
biologis.
4. Menyediakan rumah susun yang dapat ditinggali oleh para
tunawisma.
5. Menyediakan drainase di perumahan-perumahan warga.
6. Pengelolaan sampah dibagi menjadi dua sistem, yaitu sistem
modern dan sistem tradisional. Sistem tradisional yaitu dengan cara
membakar dan menimbun sampah. Sistem modern yaitu dengan
cara mengelola limbah rumahtangga menjadi bahan yang bernilai
ekonomis.

29

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Permasalahan lingkungan sektor pemukiman dapat terjadi karena di
sebabkan oleh beberapa fakto yaitu :
a. Belum terlembaganya sistem penyelenggaraan perumahan dan
pemukiman
b. rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan
terjangkau

c. Menurunnya kualitas lingkungan permukiman


2. Kurangnya kesadaran masyarakat akan lingkungan yang berada di
sekitarnya , solusi yang terbaik untuk mengatasi permasalahn lingkungan
sektor pemukiman yaitu denga cara sebagai berikut :
a. Menyediakan ruang terbuka hijau
b. Mengurangi urbanisasi di lingkungan perkotaan
c. Menyediakan drainase
d. Mengelola limbah sampah rumah tangga menjadi sebuah produk
yang bernilai ekonomis

B. Saran
1. Sebaiknya kita sebagai masyarakat harus bisa memperhatikan lingkungan
sekitar kita , memedulikan lingkungan sekitar dengan cara merawatnya ,
dan tidak membuang sampah sembarangan
2. Pemerintah selain memberikan rumah susun juga harus memberikan
lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum punya pekerjaan. Dan

30

masyarakat harus selalu menjaga lingkungannya agar tetap indah, bersih,


dan teratur.

31

Anda mungkin juga menyukai