20180610366
PENDAHULUAN
Seakan menjadi kutukan bagi rakyatnya sendiri, sampai dengan tahun 2010 masih
terdapat sekitar 31,6 juta jiwa rakyat negara ini yang terperosok kedalam lubang kemiskinan
yang paling dalam.
Jutaan keluarga tidak mendapatkan akses air bersih, seiring dengan makin menipisnya
daerah resapan air, berkurangnya jumlah DAS, dan pengelolaan sumber daya air yang buruk.
Dan masih jutaan anak yang tidak mendapatkan pendidikan, serta tidak tersedianya layanan
kesehatan yang mumpuni dan layak bagi publik.
Untuk itu upaya-upaya pemulihan perlu segera dilakukan secara menyeluruh yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada waktu lagi dan tidak ada pilihan lain, selain
memulihkan Indonesia. Agar tujuan bernegara dan berbangsa sebagaimana yang termaktub
dalam Proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 dapat segera terwujud.
Setelah enam puluh lima tahun dari tonggak cita-cita kemerdekaan dikumandangkan,
semakin hari bangsa ini semakin jauh dari pencapaian tersebut. Perjuangan yang didapat
dengan berdarah-darah seperti telah dikhianiti oleh anak bangsanya sendiri. Negara sebagai
penguasa sumberdaya alam, telah gagal mendistribukan hasilnya untuk kepentingan dan
kemaslahatan bangsa. Pengelolaan sumber daya alam yang diperuntukan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat telah gagal dicapai. Konsep bernegara yang berfungsi sebagai
pengatur dan pelayan rakyatnya, justru hanya melayani kepentingan elit kuasa dan para
pemodal. Re-publika (Indonesia) telah digantikan dengan Re-privata (swasta). Dan Indonesia
pun kembali terjajah.
Penjajah telah berganti wajah, berganti metode, bentuk dan gaya. Penjajah bukan lagi
representasi satu negara akan tetapi terakomodasi dalam berbagai lembaga, seperti WTO,
World Bank, ADB, yang dibungkus lewat berbagai perjanjian perdagangan seperti CAFTA,
G20 dan lain sebagainya. Dalam berbagai perjanjian tersebut negara-negara Industri tetap
mempertahankan supremasinya atas negara bekas koloni. Inilah yang disebut praktik
kolonialisme ekonomi pasca perang dingin.
Setelah pecahnya perang dunia kedua, perluasan ekonomi tetap memangsa aset-aset
negara bekas jajahan. Dan bahkan semakin kuat mencengkram sendi-sendi aset kehidupan
rakyat. Peran negara sebagai pelayan rakyat (re-publika) dipaksa untuk dikurangi dengan
berbagai proses ekonomi liberal. Penghapusan subsidi untuk rakyat, melakukan liberalisasi
sektor keuangan, melakukan penjualan aset Badan Usaha Milik Negara.
Hingga bebasnya perdagangan lintas negara yang menghancurkan usaha kecil rakyat
disektor pertanian, peternakan, perikanan dan industri rumah tangga. Menyandarkan
pembangunan pada utang luar negeri dan meninggalkan kemampuan mandiri dan berdikari.
Indonesia dewasa ini dipaksa menjalankan tiga fungsi yang menopang sendi ekonomi global
yakni, sumber daya alam yang berlimpah, buruh murah terpasang, dan pasar bagi produk
penjajah.
Risiko dan harga kehancuran lingkungan tidak dihitung bahkan diabaikan dalam
setiap investasi dan proyek utang. Pada gilirannya saat kondisi lingkungan rusak dan
tercemar, proyek pemulihan lingkungan kembali didesakan melalui dana utang (kasus waduk
dan perubahan iklim).
Dalam laporan PBB pada awal tahun 2000 umpamanya, telah diidentifikasi 5 jenis
kerusakan ekosistem yang terancam mencapai limitnya, yaitu meliputi ekosistem kawasan
pantai dan sumberdaya bahari, ekosistem lahan pertanian, ekosistem air tawar, ekosistem
padang rumput dan ekosistem hutan.
Kerusakan-kerusakan sumberdaya alam di dalam ekosistem-ekosistem tersebut terjadi
terutama karena kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga mengalami kerusakan yang
disebabkan karena terjadinya perubahan besar, yang mengarah kepada pembangunan
ekonomi yang tidak berkelanjutan.
Pengertian lingkungan hidup sebenarnya merupakan matriks fisikal dari pada gugus-
gugus sumber daya alam dalam suatu tatanan dimensi ruang yang terbatas, baik yang meliputi
di kawasan perkotaan (urban) maupun di wilayah-wilayah (supra urban).
Dalam hubungan dengan permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ini,
diperkirakan bahwa masalah ini berkait dengan nasib kemanusiaan pada umumnya dan
sekarang sedang menghadapi tantangan permasalahan yang sangat besar yang harus dicarikan
solusinya secara bersama.
Masalah ini muncul sebagai akibat dari terjadinya kemelut dari berbagai aktivitas
pengurasan dan degradasi beberapa jenis sumber-sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
sebagai akibat dari pihak-pihak yang bertanggung-jawab, dimana mereka telah melakukan
kebijaksanaan yang salah arah (misleading policy).
Kesalahan kebijaksanaan tersebut seperti baik terjadi pada masalah wilayah aliran
sungai, perairan pantai, perairan lepas pantai, sumberdaya bahari, sumberdaya hutan, udara
dll, terutama sumberdaya alam yang bersifat publik.
Padahal di lain pihak, sumberdaya alam dan lingkungan hidup ini merupakan tempat
bergantungnya banyak kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya, baik yang
pernah ada maupun yang sekarang masih hidup di semua lokasi tempat kehidupan yang
terdapat pada planit bumi yang terbatas ini.
Oleh karena itu maka sudah sayogyanya kita semua secara bersama-sama mempunyai
perhatian dan keterlibatan yang mendalam, agar pada akhirnya dapat membentuk rasa saling
ketergantungan dan kebersamaan satu sama lain yang sangat erat, sehingga secara bersama-
sama pula kita dapat memberi perhatian untuk mengarahkan kepada pencapaian satu tujuan
bersama, yaitu: untuk menjaga keselamatan nasib umat manusia dan makhluk hidup lainnya
di muka bumi ini.
Seperti dapat disaksikan dalam media masa baik di dalam maupun luar negeri, maka
hampir setiap hari kita dihadapkan kepada berbagai persoalan yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut, yang sebenarnya dapat dirasakan oleh setiap orang dan seluruh umat
manusia di muka bumi ini.
Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang dapat dilihat meliputi antara
lain: kerusakan hutan, daerah aliran sungai (watershed), kehilangan keragaman biologi
(biodiversity), erosi tanah/lahan yang berlebihan, kerusakan lahan yang dicirikan oleh
meluasnya padang alang-alang, kelebihan tangkapan ikan (over fishing), pencemaran udara,
kemacetan lalu lintas di kota-kota besar, yang di antaranya dapat berdimensi lokal, regional
maupun global.
Semua kejadian diatas seakan-akan merupakan gejala yang tampaknya seperti sudah
menjadi lumrah (biasa), yang sebenarnya dapat disaksikan dan terdapat di semua wilayah
maupun negara baik seperti di kawasan Asia-Pasifik, ataupun kawasan-kawasan lainnya di
dunia.
Di Asia, Afrika dan Amerika Latin, hampir semua masalah ekonominya merupakan
sebagai akibat dari salah satu persoalan yang sumber penyebabnya berkaitan dengan
sumberdaya alam, seperti apa yang disebut "Penyakit Belanda" atau Dutch Disease. Gejala
ini terjadi pada negera-negara penghasil sumber daya alam (minyak bumi dan gas bumi) yang
pernah mengalami "rejeki nomplok", karena pada suatu waktu terjadi kenaikan harga-harga
sumber daya alam yang berlipat kali, seperti yang terjadi pada harga minyak bumi atau gas
alam, yang terjadi pada permulaan dasawarsa 1970-an dan juga sekarang.
Akan tetapi setelah harga-harga sumberdaya alam tersebut menjadi turun anjlok
secara tiba-tiba, maka banyak negara-negara yang bersangkutan sulit sekali untuk
melaksanakan berbagai penyesuaian-penyesuaian dengan keadaan ekonomi yang baru
(economic adjustment).
Tetapi sekarang hutang Indonesia saja sudah mencapai lebih dari $ 200 milyar.
Dengan demikian aliran bersih (netflow) dari dana modal yang dulunya mengalir dari negara-
negara maju ke negara-negara berkembang sebagai bantuan, tetapi sejak tahun 1982 sampai
sekarang sudah berbalik, yaitu telah mencapai transfer yang melebihi dari $ 45 milyar per
tahun ke arah jurusan yang sebaliknya, yaitu dari negara miskin ke negara kaya.
Demikian juga pertumbuhan penduduk dunia sekarang dihuni oleh sekitar hampir 6
milyar manusia, telah bertumbuh dengan kecepatan yang setiap dekade akan berlipat lebih
kurang dua kali.
Ditambah dengan tingkat konsumsi sumber daya alam yang tidak merata, bahkan
mencapai tingkat keganjilan yang sangat asimetrik, di mana kurang lebih manusia di negara-
negara maju yang sebanyak hanya sekitar 1 milyar mengkonsumsi sumberdaya dunia sekitar
85 %; sedangan sebagian besar 4.6 milyar sisanya hanya mengkonsumsi 15 % sumberdaya
dunia, sehingga kehidupan mereka kebanyakan masih berada dalam kemiskinan.
Namun, dari pelajaran dan pengalaman-pengalaman yang berasal dari banyak negara-
negara dan wilayah-wilayah, telah diperoleh kesan yang menunjukkan bahwa menurut
kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa lebih banyak pengalaman yang menemui
kegagalan-kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan sumberdaya alam tersebut,
daripada yang telah berhasil.
Dalam menghadapi masalah ini ternyata bahwa negara atau wilayah yang telah
berhasil dengan baik (sukses) dalam mengatasi masalah tersebut, jumlahnya adalah hanya
sedikit saja, yaitu hanya beberapa negara atau lokasi wilayah yang mempunyai kemampuan
untuk menanggulangi atau mengatasi permasalahan tersebut. Adanya keyakinan empirik
seperti di atas menimbulkan beberapa implikasi, antara lain bahwa:
(1) Diperkirakan ada akar yang menjadi penyebab dari permasalahan yang timbul. Meskipun
adat dan kebudayaan antar negara-negara atau antar daerah/wilayah dalam suatu negara
berbeda-beda, tetapi dapat disaksikan adanya kesamaan-kesamaan dalam cara menimbulkan
terjadinya kegagalan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
(2) Pertumbuhan ekonomi sendiri sebenarnya bukan merupakan sebagai penyebab atau akibat
dari terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Tetapi yang menjadi
penyebab sebenarnya adalah bahwa di antara keduanya mempunyai hubunganhubungan yang
sangat muskil dan kompleks.
Persoalan utamanya disebabkan karena belum atau kurang banyak dipahami tentang
bentuk hubungan antara faktor-faktor yang menimbulkan dan akibat dari terjadinya degradasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, sehingga akibatnya penanggulangan masalah
sumberdaya alam dan lingkungan hidup menjadi terabaikan.
Atau, kalaupun ada yang dilakukan oleh beberapa pihak-pihak, maka tidak sedikit
bahwa negara/wilayah dan masyarakat yang bersangkutan hanya mencoba untuk
menanggulangi persoalan tersebut dengan hanya mengatasi gejala permukaannya saja, dan
kebanyakan tidak menyentuh akar permasalahannya dalam rangka pemecahan persoalan atau
mengatasi penyebab dasarnya.
Uraian di bawah ini pertama akan mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor yang
menjadi penyebab dari terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Pertama, diuraikan secara singkat beberapa faktor yang menjadi penyebab kerusakan
sumber daya alam/lingkungan hidup. Kemudian secara singkat diuraikan tentang pentingnya
analisis ekonomi yang berkaitan dengan proses degradasi sumberdaya alam/lingkungan hidup
dan diakhiri dengan dengan pemikiran perbaikan kebijaksanaan yang diperkirakan dapat
memperbaiki keadaan serta beberapa kesimpulan.
A. Kekuatan (Strenghts)
1. Dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau
yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) yang
melandaskan diri pada pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. UUPA
mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan
kehidupan yang berperi kemanusiaan dan berkeadilan sosial. Perwujudan keadilan
sosial dapat dilihat pada prinsip-prinsip dasar UUPA yakni prinsip negara menguasai
dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, prinsip penghormatan
terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas
tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya
pelestariannya dan prinsip nasionalitas.
2. Dirancang sesuai dengan kerangka acuan dan teori yang kuat.
3. Disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan implementasinya.
4. Ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan kebijakan sehingga
proses implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik.
5. Dilakukan sosialisasi kebijakan yang akan diterapkan sampai organisasi pelaksana
tingkat terbawah (street level bureaucracy).
6. Dilakukan pemantauan secara terus-menerus (monitoring).
7. Diberi bobot yang sama penting antara kebijakan dan implementasinya. Maksudnya
pembuat kebijakan harus menilai sama penting antara kebijakan dan
implementasinya. Karena itu, pembuat kerangka kerjanya dan tindakan lanjutnya
mendapatkan perhatian dan fokus yang sama pula, sehingga antara kebijakan dan
implementasinya tidak terjadi kesenjangan yang menyulitkan pelaksanaan
B. Kelemahan (Weakness)
C. Peluang (Opportunities)
1. Mendorong pelaksanaan inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (IP4T) untuk pembaruan agraria yaitu melaksanakan penataan
2. Perpres Nomor 88 tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam
Kawasan hutan, tujuannya agar proses penyelesaian dan pemberian perlindungan
hukum atas hak-hak masyarakat atas tanah-tanah yang dikuasai dalam Kawasan hutan
berjalan efektif.
3. Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria di tingkat Pusat dan Provinsi, dan mulai
2019 akan sampai pada tingkat Kabupaten/Kota.
4. Mendorong Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria sebagai payung hukum
untuk melaksanakan reforma agraria dalam jajaran yang lebih strategis merangkul
beberapa Kementerian / Lembaga.
D. Tantangan (Threats)
1. Dukungan dan penolakan dari lembaga eksternal. Jika lembaga eksternal mendukung
maka pelaksanaan kebijakan akan berhasil. Sebaliknya jika menolak maka
pelaksanaan kebijakan akan gagal. Oleh karena itu agar sukses pengambil kebijakan
dan para pelaksananya harus melakukan penyamaan visi dan persepsi dalam
kebijakan yang diambil.
2. Ketersediaan waktu dan sumber daya yang cukup.
3. Dukungan dari berbagai macam sumber daya yang ada. Makin banyak yang
mendukung makin tinggi tingkat kesuksesannya.
4. Kemampuan pelaksana kebijakan menganalisis kausalitas persoalan yang timbul dari
pelaksanaan kebijakan. Makin mampu para pelaksana kebijakan menganalisis
kausalitas antara satu kegiatan dengan kegiatan lain atau antara satu kegiatan dengan
dampaknya akan makin tinggi tingkat keberhasilannya.
5. Kepatuhan para pelaksana kebijakan terhadap kesepakatan dan tujuan yang telah
ditetapkan dalam tingkat koordinasi.
Kebijakan Pertambangan
A. Kekuatan (Strenght)
1. Sumber daya dan cadangan mineral dan batubara yang dimiliki sangat besar.
2. Tersedianya sumber daya manusia yang memadai dengan jumlah penduduknya yang
sangat besar.
3. Pertumbuhan ekonomi yang stabil.
4. Iklim investasi yang kondusif Perkembangan teknologi yang dimiliki
5. Kemampuan pengelolaan lingkungan yang lebih baik dibanding negara-negara
ASEAN lainnya.
B. Kelemahan (Weakness)
C. Peluang (Opportunities)
1. Jumlah penduduk MEA yang besar menjadi peluang pasar yang makin besar untuk
industri pertambangan mineral dan batubara
2. Pertumbuhan ekonomi negara‐negara ASEAN yang stabil.
3. Adanya pertumbuhan eksternalitas yang menguntungkan seperti peralihan
pengetahuan dan teknologi.
4. Peluang yang besar untuk investasi domestik dan asing terutama terhadap produk
unggulan.
5. Peluang yang besar untuk mengekspor tenaga kerja (SDM) yang berkualitas dan
profesional. Perbaikan alokasisumber-sumber daya produksi (modal, SDM dan
mesin).
D. Tantangan (Threats)
1. Tingkat persaingan antar negara MEA di sektor pertambangan mineral dan batubara
akan semakin tinggi.
2. Terjadi kekurangan ketersediaan bahan baku (input) di pasar dalam negeri.
3. Kualitas sumber daya manusia (SDM), teknologi dan modal negara ASEAN lainnya
yang lebih baik dari Indonesia.
4. Isu lingkungan yang beranggapan bahwa kegiatan penambangan selalu merusak dan
merugikan lingkungan
5. Adanya krisis moneter dan resesi multi dimensi yang bisa terjadi setiap saat.
6. Harga mineral dan batubara yang tidak menentu di pasar global.
7. Etos kerja dan daya saing produk negara anggota MEA yang lain yang sangat tinggi.
Kebijakan Perhutanan
A. Kekuatan (Strenghts)
B. Kelemahan (Weakness)
C. Peluang (Opportunity)
D. Tantangan (Threats)
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 arah kebijakan pengelolaan sumber daya
alam adalah bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan Hak Penguasaan oleh
Negara.
Hal itu kemudian diwujudkan dalam arah kebijakan peraturan perundang-undangan. Sejak
Era Reformasi, arah pengaturan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, yang
semula bersifat sentralistis diubah menjadi bersifat desentralistis, dimana kewenangan
pengelolaannya diserahkan terutama kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota dengan
otonomi seluas-luasnya, tanpa adanya dekonsentrasi yang merupakan kepanjangan tangan
Pemerintah Pusat.
Dengan demikian kendali dari Pemerintah Pusat menjadi lemah, dimana hal ini banyak
menimbulkan berbagai dampak negative. Karena itu kemudian pada tahun 2014 Pemerintah
melakukan evaluasi dan merevisi arah kebijakan pengelolaan pertambangan tersebut.
Sejak 2 Oktober 2014 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan pertambangan tidak lagi berada di tangan
pemerintah Kabupaten dan Kota, tetapi dibagi antara pemerintah pusat dan provinsi saja.
Dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 khususnya Pasal 14 jo.
Pasal 15 dan pelaksanaan Surat Edaran Menteri ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 jo.
lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kewenangan sub sektor mineral dan
batubara dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, di mana
kewenangan penerbitan Izin Usaha Pertambangan dalam rangka Penanaman Modal Asing
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
a. pengaturan tentang penggunaan lahan dimana di atas tanahtersebut sudah ada pemanfaatan
sektor lainnya, misalnya ada hutan, sehingga harus mendapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan. Namun tentunya hal tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang
111
aparatur, yaitu :
satu sisi sejak 2 Oktober 2014 Bupati dan Walikota tidak lagi
pegawai.
112
113
B. Saran
pengelolaan;
menuju sistem hukum yang responsif yang didasari prinsipprinsip keterpaduan, pengakuan
hak-hak asasi manusia, serta
114