Anda di halaman 1dari 27

ANALISIS STRENGHT WEAKNESS OPPORTUNITIES THREATS (SWOT) ATAS

KEBIJAKAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA

Sheilla Safira Navalinda

20180610366

PENDAHULUAN

Sumber daya alam berlimpah yang tidak diperuntukkan sebesar-besarnya untuk


kemakmuran rakyat menjadikan negeri kaya raya bernama Indonesia, dieksploitasi untuk
kepentingan negara industri maju dan kuasa modal di Indonesia.

Seakan menjadi kutukan bagi rakyatnya sendiri, sampai dengan tahun 2010 masih
terdapat sekitar 31,6 juta jiwa rakyat negara ini yang terperosok kedalam lubang kemiskinan
yang paling dalam.

Jutaan keluarga tidak mendapatkan akses air bersih, seiring dengan makin menipisnya
daerah resapan air, berkurangnya jumlah DAS, dan pengelolaan sumber daya air yang buruk.
Dan masih jutaan anak yang tidak mendapatkan pendidikan, serta tidak tersedianya layanan
kesehatan yang mumpuni dan layak bagi publik.

Eksploitasi terhadap hutan, bahan tambang, migas, perampasan tanah (landgrabing)


dan sumberdaya alam lainnya telah menyebabkan kerusakan pada air, tanah dan udara yang
berakibat pada bencana ekologis dan tersingkirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupan.

Untuk itu upaya-upaya pemulihan perlu segera dilakukan secara menyeluruh yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada waktu lagi dan tidak ada pilihan lain, selain
memulihkan Indonesia. Agar tujuan bernegara dan berbangsa sebagaimana yang termaktub
dalam Proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 dapat segera terwujud.

Tujuan perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lain adalah menuju Negara


Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Merdeka dan berdaulat secara
politik untuk menentukan arah Negara Bangsa. Merdeka secara ekonomi yang berpihak pada
kepentingan rakyat banyak. Merdeka secara sosial dan budaya agar memiliki identitas dan
jatidiri dan mampu memberikan ruang sebesar-besarnya untuk mencerdaskan kehidupan
berbangsa. Agar ini tercapai maka dibutuhkan i’tikad politik yang meniadakan monopoli dan
pengusaan besar-besaran sumberdaya alam oleh swasta dan asing, sehingga kesejahteraan
benar-benar untuk publik.

Setelah enam puluh lima tahun dari tonggak cita-cita kemerdekaan dikumandangkan,
semakin hari bangsa ini semakin jauh dari pencapaian tersebut. Perjuangan yang didapat
dengan berdarah-darah seperti telah dikhianiti oleh anak bangsanya sendiri. Negara sebagai
penguasa sumberdaya alam, telah gagal mendistribukan hasilnya untuk kepentingan dan
kemaslahatan bangsa. Pengelolaan sumber daya alam yang diperuntukan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat telah gagal dicapai. Konsep bernegara yang berfungsi sebagai
pengatur dan pelayan rakyatnya, justru hanya melayani kepentingan elit kuasa dan para
pemodal. Re-publika (Indonesia) telah digantikan dengan Re-privata (swasta). Dan Indonesia
pun kembali terjajah.

Penjajah telah berganti wajah, berganti metode, bentuk dan gaya. Penjajah bukan lagi
representasi satu negara akan tetapi terakomodasi dalam berbagai lembaga, seperti WTO,
World Bank, ADB, yang dibungkus lewat berbagai perjanjian perdagangan seperti CAFTA,
G20 dan lain sebagainya. Dalam berbagai perjanjian tersebut negara-negara Industri tetap
mempertahankan supremasinya atas negara bekas koloni. Inilah yang disebut praktik
kolonialisme ekonomi pasca perang dingin.

Setelah pecahnya perang dunia kedua, perluasan ekonomi tetap memangsa aset-aset
negara bekas jajahan. Dan bahkan semakin kuat mencengkram sendi-sendi aset kehidupan
rakyat. Peran negara sebagai pelayan rakyat (re-publika) dipaksa untuk dikurangi dengan
berbagai proses ekonomi liberal. Penghapusan subsidi untuk rakyat, melakukan liberalisasi
sektor keuangan, melakukan penjualan aset Badan Usaha Milik Negara.

Hingga bebasnya perdagangan lintas negara yang menghancurkan usaha kecil rakyat
disektor pertanian, peternakan, perikanan dan industri rumah tangga. Menyandarkan
pembangunan pada utang luar negeri dan meninggalkan kemampuan mandiri dan berdikari.
Indonesia dewasa ini dipaksa menjalankan tiga fungsi yang menopang sendi ekonomi global
yakni, sumber daya alam yang berlimpah, buruh murah terpasang, dan pasar bagi produk
penjajah.

Kebijakan ekonomi politik yang eksploitatif di mana telah terjadi ketimpangan


penguasaan agraria yang sangat mencolok ini, telah menyebabkan kehancuran ekologis di
hampir setiap jengkal tanah di Indonesia. Kehancuran ekologis semakin besar terjadi karena
bersekutunya elit kuasa negeri dengan para kuasa modal.

Sementara risiko kerusakan lingkungan dan hilangnya aset-aset untuk


keberlangsungan hidup dipikul oleh rakyat. Elit kuasa dan pemilik modal memiliki
kekerabatan yang erat dengan kerusakan dan kehancuran sistem ekologis. Setelah
sumberdaya air, sumberdaya pangan kini dalam proses privatisasi. Swasta dan asing akan
secara legal melakukan perampasan lahan (land grabing).

Risiko dan harga kehancuran lingkungan tidak dihitung bahkan diabaikan dalam
setiap investasi dan proyek utang. Pada gilirannya saat kondisi lingkungan rusak dan
tercemar, proyek pemulihan lingkungan kembali didesakan melalui dana utang (kasus waduk
dan perubahan iklim).

Kehancuran lingkungan sudah merata sebarannya di Indonesia. Wujud paling mudah


untuk dikenali adalah berbagai bencana ekologis yang terjadi setiap hari di seluruh nusantara,
sambung menyambung tanpa jeda. Kondisi ini diperparah dengan situasi geografis Indonesia
yang berada di kawasan rentan bencana dan ancaman perubahan iklim.

Dalam kerangka penyelamatan Indonesia inilah gerakan lingkungan hidup mengambil


inisiatif mengajak para pihak untuk terlibat dalam Gerakan Pemulihan Indonesia. Gerakan ini
adalah upaya pembalikan krisis multidimensi yang menjangkiti Indonesia. Memperbaiki tata
kehidupan berbangsa secara utuh, mewujudkan keadilan ekologis dengan cara populer dan
semangat progresif.

PERMASALAHAN KEBIJAKAN SUMBER DAYA DI INDONESIA

Permasalahan pengelolaan sumberdaya alam menjadi sangat penting dalam


pembangunan ekonomi pada masa kini dan masa yang akan datang. Di lain pihak sumber
daya alam tersebut telah banyak mengalami kerusakan-kerusakan, terutama berkaitan dengan
cara-cara eksploitasinya guna mencapai tujuan bisnis dan ekonomi.

Dalam laporan PBB pada awal tahun 2000 umpamanya, telah diidentifikasi 5 jenis
kerusakan ekosistem yang terancam mencapai limitnya, yaitu meliputi ekosistem kawasan
pantai dan sumberdaya bahari, ekosistem lahan pertanian, ekosistem air tawar, ekosistem
padang rumput dan ekosistem hutan.
Kerusakan-kerusakan sumberdaya alam di dalam ekosistem-ekosistem tersebut terjadi
terutama karena kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga mengalami kerusakan yang
disebabkan karena terjadinya perubahan besar, yang mengarah kepada pembangunan
ekonomi yang tidak berkelanjutan.

Padahal sumberdaya tersebut merupakan pendukung utama bagi kehidupan manusia,


dan karenanya menjadi sangat penting kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan kehidupan
masyarakat manusia yang mengarah kepada kecenderungan pengurasan (depletion) dan
degradasi (degradation). Kecenderungan ini baik dilihat dari segi kualitas maupun
kuantitasnya dan terjadi di hampir semua kawasan, baik terjadi di negara-negara maju
maupun negara berkembang atau miskin.Alam, Jakarta 17 Oktober 2000.

Pengertian lingkungan hidup sebenarnya merupakan matriks fisikal dari pada gugus-
gugus sumber daya alam dalam suatu tatanan dimensi ruang yang terbatas, baik yang meliputi
di kawasan perkotaan (urban) maupun di wilayah-wilayah (supra urban).

Dalam hubungan dengan permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ini,
diperkirakan bahwa masalah ini berkait dengan nasib kemanusiaan pada umumnya dan
sekarang sedang menghadapi tantangan permasalahan yang sangat besar yang harus dicarikan
solusinya secara bersama.

Masalah ini muncul sebagai akibat dari terjadinya kemelut dari berbagai aktivitas
pengurasan dan degradasi beberapa jenis sumber-sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
sebagai akibat dari pihak-pihak yang bertanggung-jawab, dimana mereka telah melakukan
kebijaksanaan yang salah arah (misleading policy).

Kesalahan kebijaksanaan tersebut seperti baik terjadi pada masalah wilayah aliran
sungai, perairan pantai, perairan lepas pantai, sumberdaya bahari, sumberdaya hutan, udara
dll, terutama sumberdaya alam yang bersifat publik.

Padahal di lain pihak, sumberdaya alam dan lingkungan hidup ini merupakan tempat
bergantungnya banyak kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya, baik yang
pernah ada maupun yang sekarang masih hidup di semua lokasi tempat kehidupan yang
terdapat pada planit bumi yang terbatas ini.

Oleh karena itu maka sudah sayogyanya kita semua secara bersama-sama mempunyai
perhatian dan keterlibatan yang mendalam, agar pada akhirnya dapat membentuk rasa saling
ketergantungan dan kebersamaan satu sama lain yang sangat erat, sehingga secara bersama-
sama pula kita dapat memberi perhatian untuk mengarahkan kepada pencapaian satu tujuan
bersama, yaitu: untuk menjaga keselamatan nasib umat manusia dan makhluk hidup lainnya
di muka bumi ini.

Seperti dapat disaksikan dalam media masa baik di dalam maupun luar negeri, maka
hampir setiap hari kita dihadapkan kepada berbagai persoalan yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut, yang sebenarnya dapat dirasakan oleh setiap orang dan seluruh umat
manusia di muka bumi ini.

Berhubung karena persoalan yang menyangkut sumberdaya alam dan lingkungan


hidup berlaku di setiap negara, tidak terkecuali apakah negara tersebut kaya atau miskin,
maka degradasi sumber-sumberdaya alam dan lingkungan hidup persoalannya lebih tersebar
di semua negara, jika dibandingkan dengan permasalahan ekonomi lainnya, seperti hutang
luar negeri ataupun inflasi yang melanda perekonomian di beberapa negara umpamanya.

Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang dapat dilihat meliputi antara
lain: kerusakan hutan, daerah aliran sungai (watershed), kehilangan keragaman biologi
(biodiversity), erosi tanah/lahan yang berlebihan, kerusakan lahan yang dicirikan oleh
meluasnya padang alang-alang, kelebihan tangkapan ikan (over fishing), pencemaran udara,
kemacetan lalu lintas di kota-kota besar, yang di antaranya dapat berdimensi lokal, regional
maupun global.

Semua kejadian diatas seakan-akan merupakan gejala yang tampaknya seperti sudah
menjadi lumrah (biasa), yang sebenarnya dapat disaksikan dan terdapat di semua wilayah
maupun negara baik seperti di kawasan Asia-Pasifik, ataupun kawasan-kawasan lainnya di
dunia.

Demikian juga, terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan kemandekan ekonomi


(economic stagnation) yang terutama terjadi di negara-negara miskin yang mengalami
kerusakan tersebut, di mana beban-beban berat hutang luar negeri masih harus ditanggung
oleh banyak negara-negara miskin tersebut.

Di Asia, Afrika dan Amerika Latin, hampir semua masalah ekonominya merupakan
sebagai akibat dari salah satu persoalan yang sumber penyebabnya berkaitan dengan
sumberdaya alam, seperti apa yang disebut "Penyakit Belanda" atau Dutch Disease. Gejala
ini terjadi pada negera-negara penghasil sumber daya alam (minyak bumi dan gas bumi) yang
pernah mengalami "rejeki nomplok", karena pada suatu waktu terjadi kenaikan harga-harga
sumber daya alam yang berlipat kali, seperti yang terjadi pada harga minyak bumi atau gas
alam, yang terjadi pada permulaan dasawarsa 1970-an dan juga sekarang.

Akan tetapi setelah harga-harga sumberdaya alam tersebut menjadi turun anjlok
secara tiba-tiba, maka banyak negara-negara yang bersangkutan sulit sekali untuk
melaksanakan berbagai penyesuaian-penyesuaian dengan keadaan ekonomi yang baru
(economic adjustment).

Hutang-hutang negara berkembang sekarang secara kumulatif telah melebihi satu


triliun dollar, sehingga pembayaran untuk suku bunganya saja pada permulaan 1980-an saja
(jauh sebelum terjadi krisis) telah mencapai $ 60 milyar per tahun.

Tetapi sekarang hutang Indonesia saja sudah mencapai lebih dari $ 200 milyar.
Dengan demikian aliran bersih (netflow) dari dana modal yang dulunya mengalir dari negara-
negara maju ke negara-negara berkembang sebagai bantuan, tetapi sejak tahun 1982 sampai
sekarang sudah berbalik, yaitu telah mencapai transfer yang melebihi dari $ 45 milyar per
tahun ke arah jurusan yang sebaliknya, yaitu dari negara miskin ke negara kaya.

Aliran pembayaran hutang-hutang tersebut sekarang harus dibayarkan oleh negara


berkembang yang miskin di sebelah selatan kepada negara kaya di utara (Scientific
American 1990)

Demikian juga pertumbuhan penduduk dunia sekarang dihuni oleh sekitar hampir 6
milyar manusia, telah bertumbuh dengan kecepatan yang setiap dekade akan berlipat lebih
kurang dua kali.

Menurut Bagian Populasi Perserikatan Bangsa-bangsa menjelang tahun 2025


diproyeksikan penduduk dunia akan mencapai 8.5 milyar dan 95 % dari jumlah tersebut akan
menghuni negara-negara berkembang.

Ditambah dengan tingkat konsumsi sumber daya alam yang tidak merata, bahkan
mencapai tingkat keganjilan yang sangat asimetrik, di mana kurang lebih manusia di negara-
negara maju yang sebanyak hanya sekitar 1 milyar mengkonsumsi sumberdaya dunia sekitar
85 %; sedangan sebagian besar 4.6 milyar sisanya hanya mengkonsumsi 15 % sumberdaya
dunia, sehingga kehidupan mereka kebanyakan masih berada dalam kemiskinan.

Demikian juga keganjilan tersebut berlaku di negara-negara berkembang seperti


Indonesia di mana penyebaran baik yang menyangkut kekuasaan untuk akses, konsentrasi
penduduk maupun kekayaan ekonomi keadaaannya juga telalu memusat pada suatu wilayah
atau lokasi tertentu.

Struktur asimetrik (asymetric structure) yang demikian akan menyebabkan terjadinya


kemubaziran dan/atau pemborosan sumberdaya alam di negara/wilayah yang maju dan
sebaliknya terjadi kemiskinan di negara/wilayah kurang berkembang, yang pada gilirannya
mempunyai implikasi terhadap percepatan terjadinya degradasi sumber- sumberdaya alam
dan lingkungan hidup.

Dari sudut ekonomi, meskipun pertumbuhan ekonomi secara potensial dapat


mendorong suatu negara (atau wilayah dalam negara), kearah kemampuan untuk mengatasi
permasalahan yang menyangkut pelestarian sumberdaya alam secara lebih efektif.

Namun, dari pelajaran dan pengalaman-pengalaman yang berasal dari banyak negara-
negara dan wilayah-wilayah, telah diperoleh kesan yang menunjukkan bahwa menurut
kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa lebih banyak pengalaman yang menemui
kegagalan-kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan sumberdaya alam tersebut,
daripada yang telah berhasil.

Dalam menghadapi masalah ini ternyata bahwa negara atau wilayah yang telah
berhasil dengan baik (sukses) dalam mengatasi masalah tersebut, jumlahnya adalah hanya
sedikit saja, yaitu hanya beberapa negara atau lokasi wilayah yang mempunyai kemampuan
untuk menanggulangi atau mengatasi permasalahan tersebut. Adanya keyakinan empirik
seperti di atas menimbulkan beberapa implikasi, antara lain bahwa:

(1) Diperkirakan ada akar yang menjadi penyebab dari permasalahan yang timbul. Meskipun
adat dan kebudayaan antar negara-negara atau antar daerah/wilayah dalam suatu negara
berbeda-beda, tetapi dapat disaksikan adanya kesamaan-kesamaan dalam cara menimbulkan
terjadinya kegagalan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

(2) Pertumbuhan ekonomi sendiri sebenarnya bukan merupakan sebagai penyebab atau akibat
dari terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Tetapi yang menjadi
penyebab sebenarnya adalah bahwa di antara keduanya mempunyai hubunganhubungan yang
sangat muskil dan kompleks.

Persoalan utamanya disebabkan karena belum atau kurang banyak dipahami tentang
bentuk hubungan antara faktor-faktor yang menimbulkan dan akibat dari terjadinya degradasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, sehingga akibatnya penanggulangan masalah
sumberdaya alam dan lingkungan hidup menjadi terabaikan.

Atau, kalaupun ada yang dilakukan oleh beberapa pihak-pihak, maka tidak sedikit
bahwa negara/wilayah dan masyarakat yang bersangkutan hanya mencoba untuk
menanggulangi persoalan tersebut dengan hanya mengatasi gejala permukaannya saja, dan
kebanyakan tidak menyentuh akar permasalahannya dalam rangka pemecahan persoalan atau
mengatasi penyebab dasarnya.

Uraian di bawah ini pertama akan mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor yang
menjadi penyebab dari terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Pertama, diuraikan secara singkat beberapa faktor yang menjadi penyebab kerusakan
sumber daya alam/lingkungan hidup. Kemudian secara singkat diuraikan tentang pentingnya
analisis ekonomi yang berkaitan dengan proses degradasi sumberdaya alam/lingkungan hidup
dan diakhiri dengan dengan pemikiran perbaikan kebijaksanaan yang diperkirakan dapat
memperbaiki keadaan serta beberapa kesimpulan.

Dalam uraian tersebut dimulai tinjauan umum tentang perubahan-perubahan yang


terjadi di dalam perekonomian dan kemasyarakatan, maupun perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam paradigma (kerangka berfikir dasar) ekonomi pembangunan mutakhir.

Perubahan pola berfikir tersebut sayogyanya dapat disumbangkan kepada Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional dalam rangka menuju kepada sistem pembangunan
yang berkelanjutan

ANALISIS STRENGTH WEAKNESS OPPORUNITY THREATS (SWOT)

 Kebijakan Pertanahan di Indonesia

A. Kekuatan (Strenghts)

1. Dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau
yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) yang
melandaskan diri pada pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. UUPA
mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan
kehidupan yang berperi kemanusiaan dan berkeadilan sosial. Perwujudan keadilan
sosial dapat dilihat pada prinsip-prinsip dasar UUPA yakni prinsip negara menguasai
dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, prinsip penghormatan
terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas
tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya
pelestariannya dan prinsip nasionalitas.
2. Dirancang sesuai dengan kerangka acuan dan teori yang kuat.
3. Disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan implementasinya.
4. Ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan kebijakan sehingga
proses implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik.
5. Dilakukan sosialisasi kebijakan yang akan diterapkan sampai organisasi pelaksana
tingkat terbawah (street level bureaucracy).
6. Dilakukan pemantauan secara terus-menerus (monitoring).
7. Diberi bobot yang sama penting antara kebijakan dan implementasinya. Maksudnya
pembuat kebijakan harus menilai sama penting antara kebijakan dan
implementasinya. Karena itu, pembuat kerangka kerjanya dan tindakan lanjutnya
mendapatkan perhatian dan fokus yang sama pula, sehingga antara kebijakan dan
implementasinya tidak terjadi kesenjangan yang menyulitkan pelaksanaan

B. Kelemahan (Weakness)

1. Kebijakan Pertanahan dinilai tidak mempertegas tentang pengakuan hak-hak


masyarakat adat. Keberadaan hak ulayat dalam masyarakat adat nantinya akan
didelegasikan kepada instansi pemerintah. Ini berbeda dengan UUPA dimana
pengelola hak ulayat adalah masyarakat itu sendiri.
2. Kebijakan Pertanahan menonjolkan sektoralisme dalam pengelolaan sumber daya
agraria. Dalam RUU SDA, baik pembatasan pemilikan, penguasaan tanah,
penggunaan dan pemanfaatan tanah diserahkan pengaturannya kepada masing-
masing instansi pengelola.
3. Kebijakan Pertanahan dinilai membuka peluang monopoli dalam penguasaan
sumber-sumber agraria.
4. Penyederhanaan hak dalam Kebijakan Pertanahan justru mengacaukan sistem hukum
dari hak yang sudah dikenal selama ini.

C. Peluang (Opportunities)
1. Mendorong pelaksanaan inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (IP4T) untuk pembaruan agraria yaitu melaksanakan penataan
2. Perpres Nomor 88 tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam
Kawasan hutan, tujuannya agar proses penyelesaian dan pemberian perlindungan
hukum atas hak-hak masyarakat atas tanah-tanah yang dikuasai dalam Kawasan hutan
berjalan efektif.
3. Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria di tingkat Pusat dan Provinsi, dan mulai
2019 akan sampai pada tingkat Kabupaten/Kota.
4. Mendorong Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria sebagai payung hukum
untuk melaksanakan reforma agraria dalam jajaran yang lebih strategis merangkul
beberapa Kementerian / Lembaga.

D. Tantangan (Threats)

1. Dukungan dan penolakan dari lembaga eksternal. Jika lembaga eksternal mendukung
maka pelaksanaan kebijakan akan berhasil. Sebaliknya jika menolak maka
pelaksanaan kebijakan akan gagal. Oleh karena itu agar sukses pengambil kebijakan
dan para pelaksananya harus melakukan penyamaan visi dan persepsi dalam
kebijakan yang diambil.
2. Ketersediaan waktu dan sumber daya yang cukup.
3. Dukungan dari berbagai macam sumber daya yang ada. Makin banyak yang
mendukung makin tinggi tingkat kesuksesannya.
4. Kemampuan pelaksana kebijakan menganalisis kausalitas persoalan yang timbul dari
pelaksanaan kebijakan. Makin mampu para pelaksana kebijakan menganalisis
kausalitas antara satu kegiatan dengan kegiatan lain atau antara satu kegiatan dengan
dampaknya akan makin tinggi tingkat keberhasilannya.
5. Kepatuhan para pelaksana kebijakan terhadap kesepakatan dan tujuan yang telah
ditetapkan dalam tingkat koordinasi.

Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang (O) Tantangan (T)


 Perwujudan  Kebijakan  Mendorong  Dukungan
keadilan Pertanahan pelaksanaan dan
sosial dapat dinilai tidak inventarisasi penolakan
dilihat pada mempertegas penguasaan, dari
prinsip- tentang pemilikan, lembaga
prinsip dasar pengakuan hak- penggunaan, dan eksternal.
UUPA yakni hak masyarakat pemanfaatan Jika
prinsip adat. tanah (IP4T) lembaga
negara  Kebijakan untuk pembaruan eksternal
menguasai Pertanahan agraria yaitu mendukung
dan menonjolkan melaksanakan maka
digunakan sektoralisme penataan pelaksanaan
untuk dalam  Perpres Nomor kebijakan
sebesar- pengelolaan 88 tahun 2017 akan
besarnya sumber daya tentang berhasil
kemakmuran agrarian penyelesaian  Ketersediaa
rakyat,  Kebijakan penguasaan tanah n waktu dan
prinsip Pertanahan dalam Kawasan sumber
penghormata dinilai hutan, tujuannya daya yang
n terhadap membuka agar proses cukup.
hak atas peluang penyelesaian dan  Dukungan
tanah monopoli dalam pemberian dari
masyarakat penguasaan perlindungan berbagai
hukum adat, sumber-sumber hukum atas hak- macam
asas fungsi agraria. hak masyarakat sumber
sosial semua  Penyederhanaan atas tanah-tanah daya yang
hak atas hak dalam yang dikuasai ada. Makin
tanah, prinsip Kebijakan dalam Kawasan banyak
landreform, Pertanahan hutan berjalan yang
prinsip justru efektif. mendukung
perencanaan mengacaukan  Pembentukan makin
dalam sistem hukum Gugus Tugas tinggi
penggunaan dari hak yang Reforma Agraria tingkat
tanah dan sudah dikenal di tingkat Pusat kesuksesan
upaya selama ini dan Provinsi, dan nya
pelestarianny mulai 2019 akan  Kepatuhan
a dan prinsip sampai pada para
nasionalitas. tingkat pelaksana
 Dirancang Kabupaten/Kota. kebijakan
sesuai  Mendorong terhadap
dengan Peraturan kesepakatan
kerangka Presiden tentang dan tujuan
acuan dan Reforma Agraria yang telah
teori yang sebagai payung ditetapkan
kuat. hukum untuk dalam
 Disusun melaksanakan tingkat
korelasi yang reforma agraria koordinasi.
jelas antara dalam jajaran
kebijakan yang lebih
dan strategis
implementasi merangkul
nya. beberapa
 Ditetapkan Kementerian /
adanya Lembaga.
organisasi
yang
mengkoordin
ir
pelaksanaan
kebijakan
sehingga
proses
implementasi
kebijakan
dapat
berjalan
dengan baik.
 Dilakukan
sosialisasi
kebijakan
yang akan
diterapkan
sampai
organisasi
pelaksana
tingkat
terbawah
(street level
bureaucracy).
 Dilakukan
pemantauan
secara terus-
menerus
(monitoring).
 Diberi bobot
yang sama
penting
antara
kebijakan
dan
implementasi
nya.

 Kebijakan Pertambangan

A. Kekuatan (Strenght)

1. Sumber daya dan cadangan mineral dan batubara yang dimiliki sangat besar.
2. Tersedianya sumber daya manusia yang memadai dengan jumlah penduduknya yang
sangat besar.
3. Pertumbuhan ekonomi yang stabil.
4. Iklim investasi yang kondusif Perkembangan teknologi yang dimiliki
5. Kemampuan pengelolaan lingkungan yang lebih baik dibanding negara-negara
ASEAN lainnya.

B. Kelemahan (Weakness)

1. Infrastruktur (dermaga, jalan, pelabuhan, ketersediaan energi listrik dll) belum


memadai. Angkutan ekspor mineral dan batubara masih mengandalkan sarana
transportasi negara lain
2. Pangsa pasar ekspor Indonesia yang rendah
3. Rendahnya Law Enforcement.
4. Lemahnya kemanan sosial.
5. Lemahnya birokrasi perijinan.
6. Daya saing produk Indonesia lemah

C. Peluang (Opportunities)

1. Jumlah penduduk MEA yang besar menjadi peluang pasar yang makin besar untuk
industri pertambangan mineral dan batubara
2. Pertumbuhan ekonomi negara‐negara ASEAN yang stabil.
3. Adanya pertumbuhan eksternalitas yang menguntungkan seperti peralihan
pengetahuan dan teknologi.
4. Peluang yang besar untuk investasi domestik dan asing terutama terhadap produk
unggulan.
5. Peluang yang besar untuk mengekspor tenaga kerja (SDM) yang berkualitas dan
profesional. Perbaikan alokasisumber-sumber daya produksi (modal, SDM dan
mesin).

D. Tantangan (Threats)

1. Tingkat persaingan antar negara MEA di sektor pertambangan mineral dan batubara
akan semakin tinggi.
2. Terjadi kekurangan ketersediaan bahan baku (input) di pasar dalam negeri.
3. Kualitas sumber daya manusia (SDM), teknologi dan modal negara ASEAN lainnya
yang lebih baik dari Indonesia.
4. Isu lingkungan yang beranggapan bahwa kegiatan penambangan selalu merusak dan
merugikan lingkungan
5. Adanya krisis moneter dan resesi multi dimensi yang bisa terjadi setiap saat.
6. Harga mineral dan batubara yang tidak menentu di pasar global.
7. Etos kerja dan daya saing produk negara anggota MEA yang lain yang sangat tinggi.

Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang (O) Tantangan (T)


 Sumber daya  Infrastruktur  Jumlah  Tingkat
dan (dermaga, penduduk persaingan
cadangan jalan, MEA yang antar negara
mineral dan pelabuhan, besar menjadi MEA di
batubara ketersediaan peluang pasar sektor
yang dimiliki energi listrik yang makin pertambanga
sangat besar. dll) belum besar untuk n mineral
 Tersedianya memadai. industri dan batubara
sumber daya Angkutan pertambangan akan
manusia ekspor mineral dan semakin
yang mineral dan batubara tinggi.
memadai batubara  Pertumbuhan  Terjadi
dengan masih ekonomi kekurangan
jumlah mengandalka negara‐negara ketersediaan
penduduk n sarana ASEAN yang bahan baku
yang sangat transportasi stabil. Adanya (input) di
besar. negara lain pertumbuhan pasar dalam
 Pertumbuhan  Pangsa pasar eksternalitas negeri.
ekonomi ekspor yang  Kualitas
yang stabil Indonesia menguntungk sumber daya
 Iklim yang rendah an seperti manusia
investasi  Rendahnya peralihan (SDM),
yang Law pengetahuan teknologi
kondusif dan modal
 Perkembanga Enforcement dan teknologi negara
n teknologi  Lemahnya  Peluang yang ASEAN
yang dimiliki kemanan besar untuk lainnya yang
 Kemampuan sosial di investasi lebih baik
pengelolaan wilayah yang domestik dan dari
lingkungan kaya akan asing terutama Indonesia.
yang lebih sumber daya terhadap  Isu
baik tambang. produk lingkungan
dibanding  Lemahnya unggulan. yang
negara- birokrasi  Peluang yang beranggapan
negara perijinan besar untuk bahwa
ASEAN yang mengekspor kegiatan
lainnya berbelit-belit tenaga kerja penambanga
dan (SDM) yang n selalu
banyaknya berkualitas merusak dan
punggutan dan merugikan
liar. profesional. lingkungan.
 Daya saing  Perbaikan  Adanya
produk alokasisumber krisis
Indonesia -sumber daya moneter dan
lemah produksi resesi multi
perusahaan (modal, SDM dimensi
dan industri. dan mesin). , yang bisa
terjadi setiap
saat.
 Harga
mineral dan
batubara
yang tidak
menentu di
pasar global.
 Etos kerja
dan daya
saing produk
negara
anggota
MEA yang
lain yang
sangat
tinggi.

 Kebijakan Perhutanan

A. Kekuatan (Strenghts)

1. Sumberdaya manusia kehutanan tersedia


2. Sumberdaya hutan tersedia
3. Hasil-hasil pembangunan hutan yang selama ini telah dilaksanakan
4. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) belum selaras dengan pengelolaan hutan
5. Dukungan Internasional yang besar untuk pengelolaan hutan
6. Keberadaan mitra kehutanan serta potensi peran serta masyarakat yang potensial
dalam mendukung pembangunan kehutanan melalui keterlibatannya dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan,

B. Kelemahan (Weakness)

1. Penyediaan lapangan kerja di bidang kehutanan rendah


2. Distribusi manfaat kehutanan kurang berkeadilan
3. Pemberian akses terhadap kebijaksanaan dan informasi kehutanan rendah
4. Penyelenggaraan kehutanan belum sinergi
5. Kelembagaan dan kemampuan mengelola kemampuan mengelola sumber daya hutan
masih lemah
6. Industri kehutanan tidak ada arah yang jelas, tidak kompetitif dan kurang dukungan
yang serius dari pemerintah
7. Pemberian peran kepada masyarakat kurang berkeadilan
8. Pemanfaatan SDM kehutanan untuk pengelolaan hutan tidak optimal
9. Kepastian dan pelayanan usaha dibidang kehutanan masih rendah
10. Peraturan perundang-undangan bidang kehutanan belum sepenuhnya dapat diterapkan
atau diimplementasikan
11. Terbatasnya sarana prasarana yang mendukung
12. Kebijakan investasi dalam pengembangan usaha kehutanan kurang menarik
13. Kawasan hutan yang belum mantap

C. Peluang (Opportunity)

1. Peraturan perundang-undangan bidang kehutanan yang mendukung pengelolaan


sumberdaya alam hutan
2. Potensi pemanfaatan sumberdaya hutan besar
3. Komitmen dalam negri dalam menyelenggarakan kehutanan
4. Permintaan pasar terhadap hasil sumberdaya hutan tinggi
5. Peluang investasi sumberdaya hutan tinggi

D. Tantangan (Threats)

1. Eksplorasi Departemen Kehutanan sebagai penyelenggara pengelolaan hutan lestari


2. Penduduk miskin di dalam atau di sekitar hutan
3. Pencurian kayu dan perdagangan kayu illegal masih kerap terjadi
4. Kebakaran hutan yang masih belum bisa diatasi dengan baik
5. Meningkatnya akses usaha kehutanan
6. Ketergantungan terhadap sumber daya hutan tinggi
7. Kebutuhan lahan sangat tinggi
8. Luasnya hutan yang rusak dan laju kerusakan hutan yang tinggi

Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang (O) Tantangan (T)


 Sumberday  Penyediaan  Peraturan  Eksplorasi
a manusia lapangan kerja perundang- Departemen
kehutanan di bidang undangan Kehutanan
tersedia kehutanan bidang sebagai
 Sumberday rendah kehutanan penyelengg
a hutan  Distribusi yang ara
tersedia manfaat mendukung pengelolaan
 Hasil-hasil kehutanan pengelolaan hutan lestari
pembangun kurang sumberdaya  Penduduk
an hutan berkeadilan alam hutan miskin di
yang  Pemberian  Potensi dalam atau
selama ini akses terhadap pemanfaatan di sekitar
telah kebijaksanaan sumberdaya hutan
dilaksanaka dan informasi hutan besar  Pencurian
n kehutanan  Komitmen kayu dan
 Ilmu rendah dalam negri perdaganga
Pengetahua  Penyelenggara dalam n kayu
n dan an kehutanan menyelenggar illegal
Teknologi belum sinergi akan masih kerap
(IPTEK)  Kelembagaan kehutanan terjadi
belum dan  Permintaan  Kebakaran
selaras kemampuan pasar terhadap hutan yang
dengan mengelola hasil masih
pengelolaan kemampuan sumberdaya belum bisa
hutan mengelola hutan tinggi diatasi
 Dukungan sumber daya  Peluang dengan baik
Internasion hutan masih investasi  Meningkatn
al yang lemah sumberdaya ya akses
besar untuk  Industri hutan tinggi usaha
pengelolaan kehutanan kehutanan
hutan tidak ada arah  Ketergantun
 Keberadaan yang jelas, gan
mitra tidak terhadap
kehutanan kompetitif dan sumber
serta kurang daya hutan
potensi dukungan tinggi
peran serta yang serius  Kebutuhan
masyarakat dari lahan sangat
yang pemerintah tinggi
potensial  Pemberian  Luasnya
dalam peran kepada hutan yang
mendukung masyarakat rusak dan
pembangun kurang laju
an berkeadilan kerusakan
kehutanan  Pemanfaatan hutan yang
melalui SDM tinggi
keterlibatan kehutanan
nya dalam untuk
perencanaa pengelolaan
n, hutan tidak
pelaksanaa optimal
n dan  Kepastian dan
pengawasa pelayanan
n usaha dibidang
kehutanan
masih rendah
 Peraturan
perundang-
undangan
bidang
kehutanan
belum
sepenuhnya
dapat
diterapkan
atau
diimplementas
ikan
 Terbatasnya
sarana
prasarana yang
mendukung
 Kebijakan
investasi
dalam
pengembangan
usaha
kehutanan
kurang
menarik
 Kawasan
hutan yang
belum mantap

SARAN DAN ARAHAN MASA DEPAN

A. Arahan Masa Depan

Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 arah kebijakan pengelolaan sumber daya
alam adalah bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan Hak Penguasaan oleh
Negara.

Hal itu kemudian diwujudkan dalam arah kebijakan peraturan perundang-undangan. Sejak
Era Reformasi, arah pengaturan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, yang
semula bersifat sentralistis diubah menjadi bersifat desentralistis, dimana kewenangan
pengelolaannya diserahkan terutama kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota dengan
otonomi seluas-luasnya, tanpa adanya dekonsentrasi yang merupakan kepanjangan tangan
Pemerintah Pusat.

Dengan demikian kendali dari Pemerintah Pusat menjadi lemah, dimana hal ini banyak
menimbulkan berbagai dampak negative. Karena itu kemudian pada tahun 2014 Pemerintah
melakukan evaluasi dan merevisi arah kebijakan pengelolaan pertambangan tersebut.

Sejak 2 Oktober 2014 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan pertambangan tidak lagi berada di tangan
pemerintah Kabupaten dan Kota, tetapi dibagi antara pemerintah pusat dan provinsi saja.
Dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 khususnya Pasal 14 jo.
Pasal 15 dan pelaksanaan Surat Edaran Menteri ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015 jo.
lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kewenangan sub sektor mineral dan
batubara dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, di mana
kewenangan penerbitan Izin Usaha Pertambangan dalam rangka Penanaman Modal Asing
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Permasalahan pengelolaan pertambangan terkait materi hukum yaitu pasal-pasal yang


mengatur tentang pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara itu sendiri. Dapat
disebutkan disini terkait dengan :

a. pengaturan tentang penggunaan lahan dimana di atas tanahtersebut sudah ada pemanfaatan
sektor lainnya, misalnya ada hutan, sehingga harus mendapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan. Namun tentunya hal tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang

kehutanan, dimana harus melihat pada status hutan yang

bersangkutan. Jika menyangkut hutan konservasi maka tidak

dapat dialihfungsikansama sekali. Hal ini sering menjadi

permasalahan dalam implementasinya.

b. pengaturan terkait kepemilikan saham asing, dimana ada

kewajiban Perusahaan asing wajib mendivestasikan sahamnya

sebesar 51 persen. Beberapa perusahaan besar sampai saat ini

masih belum melaksanakan kewajiban tersebut, padahal sudah

puluhan tahun beroperasi di Indonesia.

c. pengaturan penetapan wilayah pertambangan rakyat juga

menjadi problem besar, yang pada akhirnya menjadi penyebab

kerusakan lingkungan yang cukup besar. Kriteria

pertambangan rakyat adalah untuk masyarakat setempat

dengan menggunakan peralatan sederhana dan hanya untuk


memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tidak untuk komersiil.

Namun kenyataannya sebagian besar justru dikomersiilkan dan

tanpa adanya Izin Pertambangan Rakyat. Dengan tidak adanya

izin, maka berbagai kewajiban pun tidak dilaksanakan. Inilah

yang disebut pertambangan illegal.

d. pengaturan yang mewajiban kegiatan reklamasi dan pasca

tambang bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan

penambangan di Indonesia. Bahkan dalam regulasi diwajiban

bagi perusahaan untuk mendepositkan jaminan untuk kegiatan

reklamasi dan pascatambang tersebut. Seharusnya dengan

111

jaminan tersebut, apabila terjadi kerusakan lingkungan, maka

dengan jaminan tersebut dapat dilakukan pemulihan

lingkungan yang dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun

dalam implementasinya, hal ini tidak terjadi demikian.

e. Pengaturan kewajiban nilai tambah bagi perusahaan yang akan

menjual hasil penambangannya. Dengan kewajiban

mengolahnya di dalam negeri terlebih dahulu. Ini menjadi

persoalan besar, karena sarana yaitu smelter untuk

pengolahannya belum tersedia. Yang kemudian hal itu

diwajibkan kepada perusahaan untuk mmebangun smelter

terlebih dahulu. Padahal pembangunan smelter memerlukan

dana yang sangat besar. Hal ini akhirnya menjadi

permasalahan panjang bagi Pemerintah.


3. Selanjutnya permasalahan hukum menyangkut kelembagaan dan

aparatur, yaitu :

a. setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,

menjadi permasalahan di lapangan, siapa yang memiliki

kewenangan penerbitan izinnya selama masa transisi ini. Di

satu sisi sejak 2 Oktober 2014 Bupati dan Walikota tidak lagi

memiliki kewenangan, namun di sisi lain Gubernur belum

memiliki aparatur untuk melaksanakannya. Sehingga hal ini

menimbulkan keos di dunia pertambangan.

b. Inspektur Tambang sebagai aparatur yang mengawasi jalannya

kegiatan penambangan setelah mendapatkan izin, juga sangat

kekurangan jumlahnya dibandingkan dengan keberadaan

kegiatan pertambangan yang ada di Indonesia. Pasca UndangUndangNomor 23 Tahun 2014


pengelolaan Inspektur Tambang

dan Pejabat Pengawas menjadi kewenangan Pemerintah Pusat

dalam hal ini Kementerian ESDM, mulai dari penerimaan,

penempatan, karier, penggajian dan operasional penugasan

pegawai.

c. Kelembagaan dinas pertambangan yang sebelumnya ada di

seluruh Kabupaten dan Kota di Indonesia, akan diapakan ?

112

4. Permasalahan dalam hal pelayanan hukum, Aparatur pemberi

izin yang berwenang saat ini hanya Gubernur dan Pemerintah

Pusat. Dapat dibayangkan bahwa Gubernur yang secara

kedudukan berada di Provinsi, harus memberikan izin sampai ke


pelosok-pelosok Kabupaten dan Desa-Desa yang letaknya sangat

jauh. Hal ini tentunya akan menimbulkan permasahan di

lapangan. Selain itu dalam pemberian pelayanan hukum dalam

pemberian perizinan, sering pemohon izin dikecewakan, karena

banyak dari izin yang diberikan ternyata tumpang tindih dengan

sektor lainnya. Yang pada akhirnya kegiatan penambangan tidak

dapat dilaksanakan, walaupun izin pertambangan sudah diperoleh

dengan memenuhi berbagai persyaratan (persyaratan teknis,

administratif, finansiil dan lingkungan).

5. Permasalahan dalam hal budaya hukum, yang masih belum

menjadi pola terstruktur dalam pembuatan berbagai kebijakan

maupun penerbitan perizinan adalah keikutsertaan masyarakat.

Hal ini akhirnya berujung kepada penolakan masyarakat terhadap

kegiatan penambangan yang dilakukan diwilayahnya.

6. Dampak yang ditimbulkan dari berbagai permasalahan tersebut

di atas, yang pasti adalah terjadi nya kerusakan lingkungan dan

pencemaran lingkungan. Di samping itu terjadi penyimpangan

keuangan Negara yang dilakukan oleh aparatur pemerintah

daerah secara massif (hal ini terbukti dengan ditetapkan bupati

sebagai tersangka kasus korupsi).

Untuk kerusakan lingkungan memang sudah sangat massif

dirasakan, sehingga perlu penataan ulang terhadap pemberian

perizinan pertambangan. Juga perlu law enforcement yang jelas

terhadap pelaksanaan kegiatan penambangan, sehingga berbagai


kebijakan dapat diterapkan secara efektif.

7. Upaya yang telah dilakukan Pemerintah, antara lain :

a. Setelah Penataan IUP selesai dilakukan maka pemberian status

CnC bagi IUP yang terbit setelah penetapan WP (UU 4/2009)

tidak lagi diperlukan. Hal ini juga perlu ditindaklanjuti oleh

113

penyesuaian regulasi Kementerian/ Lembaga sektor lain yang

mensyaratkan status CnC.

b. Kementerian ESDM telah menyerahkan 11 urusan pelayanan

perizinan sub sektor Mineral dan batubara Ke BKPM melalui

Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pendelegasian

Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral

dan Batubara dalam rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu

Satu Pintu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

B. Saran

1. Mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ekonomi, ekologi

dan sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam.

2. Menumbuhkan tanggung jawab sosial dan praktik ekoefisiensi di

tingkat perusahaan dengan mengintegrasikan biaya lingkungan

dan biaya sosial terhadap biaya produksi;

3. Menerapkan teknologi yang terbaik dan tersedia, termasuk

teknologi tradisional untuk kegiatan konservasi, rehabilitasi

sumber daya alam;

4. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang menjamin


keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi sumber daya

alam, yang didukung oleh kepastian hukum atas kepemilikan dan

pengelolaan;

5. Menata kelembagaan, termasuk pendelegasian kewenangan dalam

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara

bertahap kepada pemerintah daerah;

6. Melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang ada

menuju sistem hukum yang responsif yang didasari prinsipprinsip keterpaduan, pengakuan
hak-hak asasi manusia, serta

keseimbangan ekologis, ekonomis, dan pengarusutamaan gender;

7. Melakukan reorientasi paradigma pembangunan yang mengakui

hak-hak publik terhadap pengelolaan sumber daya alam;

8. Mendorong budaya yang berwawasan lingkungan melalui

revitalisasi budaya lokal dan menumbuhkan etika lingkungan

dalam pendidikan dan lingkungan masyarakat;

114

9. Mengembangkan pola kemitraan dengan melakukan koordinasi

dengan instansi terkait dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber

daya alam untuk kegiatan pertambangan.

Anda mungkin juga menyukai