Anda di halaman 1dari 12

BAB II ruangan atau kamar di rumah adat

yang berupa rumah panggung.


LANDASAN TEORI Bangunan tradisional lainnya yang
menjadi pelengkap dalam sebuah
2.1 Desa Budaya Lingga komunitas masyarakat Batak Karo
dahulu kala, juga berupa rumah
Desa Lingga merupakan panggung. Bangunan tersebut
wilayah bekas Kerajaan Lingga Tanah memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Karo, yang berada di Kabupaten Seperti jambur, digunakan sebagai
Karo, Sumatera Utara. Meski hanya tempat penyelenggaraan pesta dan
sebuah kampung kecil yang berada musyawarah. Kemudian, griten yang
tak jauh dari kaki Gunung Sinabung, digunakan sebagai tempat
salah satu puncak tertinggi di penyimpanan kerangka jenazah
Sumatera Utara, ternyata desa ini keluarga atau leluhur sang pemilik
cukup terkenal dengan objek wisata rumah.
sejarah yaitu rumah adat dan kesenian
karo lainnya. Hal yang membuat desa Selain itu, juga ada Museum
ini terkenal, karena masih terdapat Karo Lingga untuk para wisatawan
sejumlah bangunan tradisional adat yang datang berkunjung. Di sana
Batak Karo yang sudah berusia disimpan benda- benda tradisional
ratusan tahun. Bangunan utamanya Karo, seperti capah (piring kayu besar
adalah rumah adat Batak Karo untuk sekeluarga), tungkat (tongkat),
Siwaluh Jabu yang berusia sekitar 250 alat-alat musik dan lain sebagainya.
tahun. Selain itu, sejumlah bangunan
tradisional lainnya juga masih berdiri
di sana. Seperti jambur, griten, sapo
ganjang (sapopage)dankantur-kantur. 2.2 Letak dan Kondisi Geografis

Ciri khas Siwaluh Jabu ada


pada kedua ujung atapnya yang
terbuat dari ijuk. Di sana terpasang
tanduk atau kepala kerbau, di atas
anyaman bambu berbentuk segitiga
yang disebut “ayo-ayo”. Kepala
kerbau dengan posisi menunduk ke
bawah itu dipercaya penduduk
sebagai penolakbala. Siwaluh Jabu
sendiri memiliki fungsi yang unik.
Rumah adat ini biasanya dihuni oleh 8
keluarga yang masih memiliki Kabupaten Karo terletak di dataran
hubungan kekerabatan. Sesuai dengan tinggi Pegunungan Bukit Barisan dan
namanya, bahasa Batak Karo “waluh” merupakan Daerah Hulu Sungai.
yang berarti delapan, dan “jabu” yang secara geografis terletak diantara
berarti keluarga atau ruang utama.
Namun, sama sekali tidak ada
2°50’–3°19’ Lintang Utara dan Kabupaten Karo
97°55’–98°38’

Letak desa rumah adat suku karo Tanah Karo terletak di kaki Gunung
Sinabung (foto diambil sekitar tahun
1917).
Kabupaten Karo terletak di
dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang
terkenal dengan di wilayah ini adalah
Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi
merupakan salah satu kota turis di
Sumatera Utara yang sangat terkenal
dengan produk pertaniannya yang
unggul. Salah satunya adalah buah
Penyebaran desa adat suku jeruk dan produk minuman yang
karo berada di sekitar kaki gunung terkenal yaitu sebagai
sinabung, banyak masyarakat penghasil Markisa Jus yang terkenal
memanfaatkan tanah disekitar gunung hingga seluruh nusantara. Mayoritas
sinabung yang mengandung banyak suku Karo bermukim di daerah
mineral untuk bercocok taman pegunungan ini, tepatnya di
daerah Gunung Sinabung dan Gunung
Wilayah pengaruh suku Karo Sibayak yang sering disebut sebagai
atau "Taneh Karo Simalem". Banyak
Sering terjadi kekeliruan dalam
keunikan-keunikan terdapat pada
percakapan sehari-hari di masyarakat
masyarakat Karo, baik dari geografis,
bahwa Taneh Karo diidentikkan
alam, maupun bentuk masakan.
dengan Kabupaten Karo. Padahal,
Masakan Karo, salah satu yang unik
Taneh Karo jauh lebih luas daripada
adalah disebut terites. Terites ini
Kabupaten Karo karena meliputi:
disajikan pada saat pesta budaya,
seperti pesta pernikahan, pesta
memasuki rumah baru, dan pesta  Kecamatan Tiga Lingga
tahunan yang dinamakan -kerja  Kecamatan Gunung Sitember
tahun-. Trites ini bahannya diambil
dari isilambung sapi/kerbau, yang
belum dikeluarkan sebagai Kabupaten Aceh Tenggara
kotoran.Bahan inilah yang diolah Taneh Karo di kabupaten Aceh
sedemikian rupa dicampur dengan
Tenggara meliputi:
bahan rempah-rempah sehingga
aroma tajam pada isi lambung  Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa
berkurang dan dapat dinikmati. Lau Deski, Lau Perbunga, Lau
Masakan ini merupakan makanan Kinga)
favorit yang suguhan pertama  Kecamatan Simpang Simadam
diberikan kepada yang dihormati.

Kabupaten Deli Serdang


Kota Medan  Kecamatan Tanjung Morawa
Pendiri kota Medan adalah seorang  Kecamatan Sinembah Tanjung
putra Karo yaitu Guru Patimpus Muda Hulu
Sembiring Pelawi.  Kecamatan Sinembah Tanjung
Muda Hilir
 Kecamatan Sibolangit
Kota Binjai
 Kecamatan Pancur Batu
Kota Binjai merupakan daerah yang  Kecamatan Kutalimbaru
memiliki interaksi paling kuat
 Kecamatan Deli Tua
dengan Kota Medan disebabkan oleh
 Kecamatan Biru-biru
jaraknya yang relatif sangat dekat dari
Kota Medan sebagai ibukota
Provinsi Sumatera Utara.

Kabupaten Dairi 2.3 Masyarakat dan Kebudayaan


Wilayah Kabupaten Dairi pada Suku Karo
umumnya sangat subur dengan
Masyarakat Karo mendiami
kemakmuran masyarakatnya melalui wilayah Kabupaten Karo. Orang Karo
perkebunan kopinya yang sangat memiliki pedoman sikap perilaku
berkualitas. Sebagian Kabupaten dalam kehidupan sehari-hari, yang
Dairi yang merupakan bagian Taneh disebut dengan:
Karo:

 Kecamatan Taneh Pinem


bersikap, bertutur, menyapa,
memanggil dan sopan santun secara
keseluruhan.

- Rakut si Telu

- Merga si Lima Adalah tiga unsur kekerabatan


yang saling berkaitan,
Terdiri atas lima merga yakni Kalibumbu, Sanina dan Anak
terbesar yakni Peranginangin, Karo- Beru. Tiga unsur kekerabatan yang
karo, Ginting, Sembiring dan Tarigan menjadi sumber sikap perilaku
. Merga adalah organisasi kekerabatan seseorang dalam kehidupan
orang Karo. Merga diperhitungkan masyarakat Karo disebut Sangkep
dari garis keturunan ayah melalui satu nggeluh. Kalibumbu adalah merga ibu
nenek moyang laki-laki. Merga atau merga istri dan saudaranya yang
tersebut sangat dijunjung tinggi dan merupakan pihak kerabat pemberi
merupakan penentu kekerabatan, gadis. Senina adalah kelompok
keturunan, dan jodoh. kerabat semerga. Anak Beru adalah
kelompok kerabat yang menerima
gadis.

2.4 Rumah Adat

- Tutur si Waluh

Merupakan delapan tutur yang Sejarah Rumah Adat Batak Karo


menjadi pedoman bagi masyarakat
Karo untuk berkomunikasi antar Rumah Adat Si Waluh Jabu paling
sesama dari lima merga besar. Tutur mudah ditemui, karena
si Waluh menata bagaimana cara peninggalannya masih tersebar di
beberapa wilayah tanah adat Karo. Di masa lalu, dalam
Salah satunya adalah Desa Lingga membangun rumah adat harus
yang merupakan wilayah bekas dilakukan dengan ritual panjang. Di
Kerajaan Lingga Tanah Karo, berada dalam rumah adat, terdapat banyak
di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. aturan dan pantangan adat yang harus
Bangunan utamanya adalah rumah dipatuhi oleh setiap keluarga yang
adat Batak Karo Siwaluh Jabu yang tinggal di dalam rumah adat. Bicara
berusia sekitar 250 tahun. Selain itu, tidak boleh sembarangan, tidak boleh
sejumlah bangunan tradisional duduk di tengah ruangan, tidak boleh
lainnya juga masih berdiri di sana. duduk di tungku, karena tungku
Seperti jambur, griten, lesung dan adalah tempat untuk memasak dan
lembung. lain-lain.

Ciri khas Siwaluh Jabu ada


pada kedua ujung atapnya yang
terbuat dari ijuk dan terpasang tanduk
atau kepala kerbau, di atas anyaman
bambu berbentuk segitiga yang
disebut “ayo-ayo”. Kepala kerbau
dengan posisi menunduk ke bawah itu
dipercaya penduduk sebagai penolak
bala.

Rumah tua di Desa Budaya


Lingga ini berdiri kokoh. Halamannya
ditumbuhi rumput tipis. Anjing lalu-
lalang di seputarannya. Masyarakat
Lingga menyebut rumah itu Gerga.
Sebagian menyebutnya Sepulu dua
Jabu, artinya dua belas keluarga. Di
depannya juga ada rumah serupa.
Tapi hanya bisa dihuni delapan
Konsep rumah adat Karo ini keluarga. Nama rumah itu, Blangayo.
oleh para arsitek di masa awal Ada juga yang bilang Waluh Jabu,
pembangunan rumah adat ini sangat yang berarti delapan keluarga.
lengkap, sampai memikirkan
kekuatan bangunan, sehingga apabila Keduanya berbentuk
terjadi gempa rumah adat akan tetap panggung, tapi agak lancip, dan
berdiri kokoh. dipenuhi ukiran, yang semua
ukirannya tentu punya makna.
Besarnya, hampir dua kali lapangan
volly. Atap dilapisi daun ijuk, yang “Kalau dulu adatnya masih
mulai ditumbuhi lumut hijau. Di kental. Banyak pantangannya. Itu di
bubung yang menghadap ke Barat, jalan tengah kita nggak dibolehkan
tanduk kerbau jantan menjulang untuk duduk, labah (sial) istilahnya.
angkuh. Sedang yang menghadap ke Kan melalui jalan tengah itu kita
Timur, adalah tanduk kerbau betina. nyapu lantai, banyak debu,
Mitosnya, kedua tanduk itu sebagai dianggapnya kita juga sampah kalau
alat tolak bala, yang menyerang dari duduk di situ. Di tungku juga nggak
Timur dan Barat.Memasuki rumah boleh. Itu kan tempat kita memasak,
tersebut, kesan angker langsung untuk hidup, ya nggak boleh kita
menyergap. Gelap. Tak ada lampu duduki.”
yang menerangi. Beberapa tiang
penyangga berukuran sebesar pelukan Karena banyaknya pantangan
orang dewasa. Bau pengap menusuk tersebut, sekarang, masyarakat
hidung. Ditambah bau kotoran Budaya Lingga lebih memilih untuk
kelelawar yang berserak di lantai. tidak lagi tinggal di rumah bersejarah
Pada tiang penyangga, tali jemuran tersebut. “Dulu ada 28 rumah.
menjulang, menggantung beberapa Sekarang cuma sisa dua, itupun
pasang pakaian kering. dengan kondisi yang
memperihatinkan, yang lain rusak
Di kiri-kanan di dalam rumah, ditinggal penghuni,”
berjejer masing-masing lima rumah
lagi. Jadi, ada rumah di dalam rumah.
Ukurannya tidaklah besar, sekitar
enam meter saja. Dalam tiap-tiap
rumah berbentuk lancip, mirip bak
truk terbuka, yang dibentuk dari
turunan atap. Di tempat itulah setiap
keluarga tinggal.

Para (tungku memasak), berada


di antara dua rumah. Bentuknya
petak. Di atas para, terdapat tempat
menyimpan kayu bakar, yang rumah adat siwaluh jabu
digantung di atas plafon. Dua
keluarga harus berbagi jatah
memasak. Hanya ada lima para.

Dinding rumah berusia sekitar


400 tahun ini tergolong unik. Ukiran
lima warna, dengan motif saling kait
menambah daya tarik. Sayang, tak
banyak yang tahu makna lima warna
itu. Hanya sebagian orang tua yang
paham makna dari warna itu.
Adapun cara dukun untuk
siwaluh jabu mengetahui hal tersebut adalah dukun
mengambil segenggam tanah pertapakan
dan dilengkapi dengan belo cawir (sirih).
Rumah tradisional masyarakat Karo Tanah bersama sirih itu diletakkan pada
terdiri atas dua macam, yaitu suatu tempat sebelum tidur dengan terlebih
“siwaluh jabu” (rumah biasa) dan dahulu mengucapkan meminta firasat
“rumah adat siwaluh jabu” (rumah kepada roh yang berkuasa, melalui
adat). Biasanya penghuni yang mimpinya. Besok
menempati rumah siwaluh jabu tidak harinya, dukun memperhatikan mimpinya
terikat oleh merga dan peraturan adat. dan menanyakan mimpi anggota
keluarga yang mendirikan rumah itu.
Apabila dukun dalam mimpinya menerima
firasat baik begitu juga mimpi anggota
Proses Pembangunan Rumah Adat keluarga yang mendirikan rumah, maka
Karo areal itu dapat digunakan.
1. Padi-padiken Tapak Rumah 2. Ngempak
Setelah pertapakan didapat,
maka keluarga-keluarga yang mendirikan
rumah itu menetapkan hari “Salangsari”
(baik) dengan perantaraan dukun, untuk
dapat pergi ke suatu hutan guna mencari
kayu untuk rumah tersebut. Pada suatu hari
yang telah ditentukan mereka berangkat ke
sebuah hutan bersama seorang gadis yang
masih mempunyai ayah dan ibu, dengan
tujuan mencari kayu untuk ditebang. Pada
saat penebangan pertama, dukun
memperhatikan bagaimana cara tumbang
Beberapa keluarga yang bermaksud kayu tersebut. Bila pada penebangan
mendirikan Rumah Adat itu, mencari pertama itu ternyata ada tanda-tanda yang
dan menentukan pertapakan rumah yang kurang baik, maka diulang kembali sampai
bakal dibangun. Apabila pertapakan itu mendapat firasat yang baik. Penebangan
sudah diperoleh dan dianggap baik kayu pertama ini disebut “Ngempek”
letaknya, maka akan diadakan suatu acara
yang dinamai “pad-padiken Tampak
Rumah.” Hal ini bertujuan untuk 3. Ngerintak Kayu
mengetahui apakah pertapakan tersebut
Setelah perkayuan dari rumah itu
serasi dan tidak menimbulkan bala yang
sudah dikumpulkan secukupnya, hal
menempatinya kelak. Biasanya acara Padi
ini bertujuan untuk mengundang penduduk
padiken Tapak Rumah diatur pengetua
desa agar bersedia memberikan
adat dan dukun untuk mendapatkan suatu
bantuan tenaga dalam menarik kayu dari
firasat. Bila ternyata setelah upacara itu
hutan.
dilaksanakan hasilnya kurang baik maka
dicari pertapakan lain.
Demikianlah, kayu itu secara bertahap sesuai dengan yang diperlukan, dan
ditarik bersama oleh penduduk pekerjaan yang berikutnya dikerjakan
sampai semuanya selesai dan terkumpul pekerja mahat (memahat) perkayuan. Pada
pada tempat yang telah ditentukan. Setelah waktu mahat, masing-masing orang
selesai pekerjaan Ngerintak kayu, biasanya empunya memanggil kawannya lima orang
diadakan suatu kenduri. Semua orang dilengkapi dengan peralatannya. Mula-
turut menarik kayu itu dan tukang yang mula Pande (tukang) memberikan petunjuk
akan mengerjakannya diundang dimana yang dilanjutkan dengan “Pemahatan
diadakan jamuan makan bersama. Biaya pertama” oleh dukun. Selanjutnya
kenduri itu menjadi tanggungan keluarga- baru dapat dilanjutkan pekerjaan oleh
keluarga yang mendirikan rumah. orang-orang yang telah ditentukan.

4. Pebelit-belitken 6. Ngapaken Tekang


Sebelum pande (tukang) mulai
bekerja pada suatu hari yang telah
ditentukan diadakan suatu acara yang
disebut “Pebelit-belitken”, yang mana
pada acara ini dihadiri oleh keluarga-
keluarga yang mendirikan rumah beserta
anak beru, senina, kalimbubu, Pengetua
atau Bangsa Tanah serta Pande (tukang)
rumah yang bakal dibangun.
Setelah “Binangun” (tiang besar) selesai
Acara ini bertujuan untuk mengikat suatu dikerjakan dan ditegakkan di
perjanjian antara pihak pendir atas (fondasi), begitu juga peralatan
rumah dengan pande disaksikan oleh pihak pekerjaan, perkayuan besar dibahagian
Senina dan kalimbubu dan dijamini oleh bawah rumah itu selesai dipasang, maka
Anak Berunya masing-masing. Pada acara sebahagian dari pekerjaan Pande (tukang)
ini juga diadakan jamuan makan. telah dapat dikatakan selesai. Oleh
karenanya pekerjaan dapat dilanjutkan
5. Mahat dengan “Ngampaken Tekang” yaitu
mengangkat dan menaikan belahan balok
panjang yang berfungsi sebagai tutup yang
letaknya memanjang di dalam rumah
itu. Pekerjaan ini juga harus disertai oleh
tenaga gotong-royong oleh keluarga yang
mendirikan rumah tersebut.

Beberapa hari setelah acara Perbelit-


belitken, Pande (tukang) telah
dapat melakukan tugasnya. Kayu yang
telah tersedia itu mulai diukur dan dikupas 7. Ngapeken Ayo
dengan “Beliung” (semacam kampak)
atap. Pemasangannya harus pada malam
hari sesuai dengan kebiasaan
dan kepercayaan masyarakat. Dasar dari
tempat melekatkan tanduk itu dibuat dari
tali ijuk dilipat dengan semacam perekat
dan diberi warna dengan cat putih.
Kemudian selanjutnya pekerjaan adalah
mengerjakan bahagian “Ture” (serambi)
dan tangannya.
Demikianlah urutan acara-acara didalam
Rumah Adat Karo mempunyai “Ayo”,
pelaksanaan yang mendirikan Rumah Adat
yaitu bagian atas rumah yang
Karo, menurut kebiasaan yang berlaku
berbentuk segi tiga. Ayo Rumah Adat itu
pada suku Karo.
terbuat dari bambu dengan anyaman
bercorak khusus diberi ragam warna Rumah Adat Karo dilihat dari segi
dengan motif hiasan bidang. Bayu-bayu bangunan atau bentuknya ada dua
(anyaman bambu) yang dipergunakan macam. Satu dinamai “Rumah Adat Biasa”
menjadi Ayo rumah itu, dijepit dengan dan satu lagi “Rumah Anjung-ajung”.
semacam papan yang bagian bawahnya Rumah Adat Biasa mempunyai dua Ayo,
diberi ukiran. Setelah Ayo itu selesai sedangkan Rumah Adat Anjung-ajung
dikerjakan, lalu dipasang menurut Pande mempunyai delapan Ayo. Bila ditinjau
(tukang) dengan dibantu beberapa orang. dari segi arsitektur bangunannya yang
indah. Selain dari segi keindahannya,
dikenal berfungsi sebagai pembinaan
keluarga dan social Disamping itu Rumah
8. Memasang Tanduk Adat Karo mempunyai keistimewaan
dalam hal pembuatannya. Rumah itu dapat
berdiri dengan megahnya walaupun
dengan peralatan yang sederhana dan tidak
menggunakan paku untuk perekatnya.

Walaupun bagian-bagian dari rumah itu


telah dikerjakan dan rumah itu
dapat dipergunakan, tapi sebelum dipasang
tanduknya berarti belum selesai. Oleh
karena itu dipasang tanduk pada Rumah
Adat Karo sudah menjadi keharusan dan
tidak dapat diabaikan.
Tanduk itu terdiri dari sepasang tanduk
kerbau yang letaknya dipasang di puncak
Bagian-Bagiannya

Keterangan :

1. Jabu bena kayu (jabu raja)


untuk merga taneh.
Gambar disamping adalah tata ruang
2. Jabu lepar bena kayu dalam bangunan, dan merupakan
(jabu sungkun berita) perspektif bagian-bagian dari dalam
bangunan. Tata ruang yang berbentuk
3. Jabu sidapurken bena linier seperti sebuah garis lurus ini
kayu (jabu peninggel-ninggel) membuat adanya flow berupa lorong
panjang ditengah-tengah bangunan.
4. Jabu sidapurken lepar
bena kayu (jabu singkapur belo)

5. Jabu ujung kayu

6. Jabu lepar ujung kayu


(jabu simangan-minem)

7. Jabu sidapurken ujung


kayu (jabu arinteneng)

8. Jabu sidapurken lepar


ujung kayu (jabu biacara guru)
Gambar disamping adalah gambar
blueprint dari denah dan potongan
bangunan. Serta denah konstruksi
I. Lebah = pintu III. Redan atap bangunan Rumah Adat Batak
= tangga Karo.

II. Ture = terras IV. Dapur Bangunan Rumah Adat Batak Karo
dan dalikan = tangku ini berukuran 17×12 m2 yang
merupakan rumah panggung dengan
ketinggian bangunan dari tanah
mencapai 12 m
Tata-tata Ruang
Ornamen dan Ragam Hiasan
Rumah Adat Karo

Marga siangin-angin

Marga ginting

Marga sembiring
Marga tarigan
Ornamen-ornamen mengandung arti
mistik, ini berkaitan dengan
kepercayaan pada masa itu. Secara
umum menggambarkan jati diri,
kebersatuan keluarga dan
permohonan keselamatan. Bahan
pewarnanya dibuat dari alam (dah
atah taneh). Selalu menggambarkan
cicak di dinding rumah mereka, baik
nampak seperti cicak sebenarnya ata
upun bentuk yang menyerupainya
artinya, orang Batak dapat beradaptasi
dengan lingkungannya seperti hidup
Marga karo-karo cicak.

Dinding rumah terdapat ukiran 5


warna, dengan motif saling kait, yang
masing-masing warna pastilah
memiliki makna sendiri, yang
BAB III
sayangnya tidak diketahui secara pasti
tentang makna tersebut. Menurut PROSES PENELITIAN
penuturan warga Karo, hanya tinggal
para orang tua lanjut usia saja yang Penelitian ini dilakukan dengan
paham mengenai makna 5 warna cara mengambil materi dari berbagai
tersebut. Menurut seorang warga referensi yang bisa penulis dapatkan
Karo, bahwa 5 warna ukiran tersebut
melambangkan keakraban dan
kekerabatan antara 5 marga besar
dalam suku Batak Karo

Anda mungkin juga menyukai