Anda di halaman 1dari 39

A.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BATAK

Arsitektur Batak mengacu kepada yang berhubungan dengan tradisi dan desain
arsitektural dari berbagai suku Batak di Sumatra Utara, Indonesia. Terdapat enam kelompok
suku Batak yang berbicara dalam bahasa tersendiri namun berhubungan: Angkola,
Mandailing di sebelah selatan, Batak Toba, di sebelah utara Pakpak/Dairi, Simalungun, dan
Karo. Sementara kelompok suku bangsa ini sekarang adalah umat Muslim atau Kristiani,
unsur-unsur agama Batak kuno tetap ada, terutama di antara suku Karo.

Bale ("balai pertemuan"), rumah, dan sopo ("lumbung padi") adalah tiga tipe bangunan
utama yang umum dalam kelompok suku Batak yang berbeda. Rumah ini secara tradisional
merupakan sebuah rumah besar di mana sekelompok keluarga hidup secara bersama-sama.
Pada siang hari, bagian interiornya merupakan ruang aktivitas bersama, dan pada malam hari,
kain atau tirai tenunan memberi privasi kepada masing-masing keluarga. Kebanyakan orang
Batak sekarang tinggal di rumah-rumah modern, dan banyak rumah tradisional ditelantarkan
atau dalam kondisi perbaikan yang buruk.

Arsitektur dan tata letak desa dari enam kelompok suku Batak juga menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Rumah Batak Toba, misalnya, berbentuk perahu dengan atap
pelana berukir yang rumit dan tonjolan atap yang menjulang. Rumah-rumah Batak Karo
berdiri dalam deretan. Keduanya dibangun di atas tumpukan dan berasal dari model Dong-
Son kuno.

Suku Batak Toba dan Karo tinggal di desa-desa permanen dan membudidayakan padi dan
sayuran beririgasi. Di sisi lain, suku Angkola, Mandailing, dan Pakpak mempraktikkan

1
pertanian peladangan yang membutuhkan seringnya perubahan lokasi dan desa-desa mereka
hanya semipermanen.

DESA BATAK KARO

Budidaya padi beririgasi dapat menyokong populasi yang besar, dan orang Batak
Toba dan Karo tinggal di desa-desa yang padat, yang dibatasi bagi sekitar sepuluh rumah
untuk menghemat lahan pertanian. Pertanian peladangan yang tidak beririgasi menyokong
desa-desa yang lebih kecil dengan hanya beberapa rumah. Semua desa terletak di dekat anak
sungai dan sawah. Peperangan Batak yang destruktif sebelum abad kedua puluh mendapati
desa-desa berada di posisi yang bisa dipertahankan dengan mudah. Tembok pertahanan dari
bambu tinggi membentengi desa-desa Pakpak dan pengadang berupa tembok dari tanah
dengan pagar dan pepohonan bambu.

1. Pengertian Rumah Adat Batak/Bolon

2
Rumah adat batak adalah rumah Bolon yang biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu
rumah dan sopo (lumbung padi). Lumbung padi itulah yang ada di depan rumah dan dibatasi
dengan pelataran luar. Pelataran tersebutlah yang memiliki fungsi sebagai ruang bersama
warga.

2. Filosofi Rumah Bolon

Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan
berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai
filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.

Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat
tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam
tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.

Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya
sebagai bentuk cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar
kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap
budayanya.

3. Keunikan Rumah Bolon

Ciri umum Rumah Bolon yaitu keindahan yang khas terdapat pada bagian atap rumah,
dimana bentuknya lancip pada bagian depan dan belakangnya. Pada bagian depan atap rumah
ini dibuat lebih panjang dari pada bagian belakangnya.
Dengan bentuk atap demikian di percaya dapat turut mendoakan keturunan pemilik
rumah adat ini agar lebih sukses dari nenek moyangnya.
Rumah Bolon setiap jenis suku yang ada di Sumatra Utara adalah memiliki ciri-ciri bentuk
persegi panjang, jenis rumah panggung, rumah bolon memiliki banyak tiang penyangga
dengan ketinggian rata-Rata 1,75m, untuk masuk ke atau naik ke dalam Rumah Bolon harus
melalui tangga yang dibuat dengan jumlah anak tangga yang selalu ganjil.
Keunikan Rumah Bolon memiliki ornamen Gorga atau ukiran khas yang memiliki
makna sebagai tolak bala dari segala macam bentuk bahaya seperti bahaya wabah penyakit
dan lain-lain. Ornamen ukiran Rumah Bolon biasanya ditempatkan pada dinding rumah
bagian luar, terletak di atas pintu rumah, ukiran biasanya berbentuk ular, cicak dan kerbau,

3
dan lambang-lambang hewan tersebut memiliki arti tersendiri. Adapun arti dari masing-
masing Gorga atau ukiran hewan tersebut adalah :

Arti Lambang Kerbau


Menggambarkan bahwa kerbau merupakan hewan yang telah berjasa membantu
pekerjaan manusia, dan gambar kerbau juga merupakan bentuk ucapan terimakasih bahwa
kerbau telah bekerja keras membatu manusia menggarap ladang pertanian miliki masyarakat.

Arti Lambang Ular

Menurut kepercayaan suku Batak Sumatra Utara, Ular yang masuk kedalam rumah
memiliki makna, bahwa penghuni rumah tersebut akan mendapatkan berkah,oleh sebab itu
Gorga ular di sematkan pada rumah bolon ini agar senantiasa penghuni rumah selalu
mendapatkan rahmat serta keberkahan yang melimpah dari Tuhan.

Arti Lambang Cicak


Gorga cicak memiliki simbol atau makna bahwa orang suku batak sangat lah mudah
bergaul dan menyesuaikan diri di lokasi perantauan yang jauh sekalipun.
Gorga yang dilukis dengan bentuk cicak memiliki arti bahwa orang Batak mampu bertahan
hidup dimanapun dia berada, meskipun dia sedang merantau di daerah yang sangat jauh.

4
4. Fungsi Rumah Bolon

Pada zaman dahulu Rumah Bolon berfungsi sebagai tempat tinggal bagi masyarakat
suku batak Sumatra Utara, keberadaan Rumah Bolon kini terbilang langka dan jarang sekali
di temui.Selain sebagai tempat tinggal masyarakat suku batak, dulu Rumah Bolon juga
difungsikan sebagai tempat tinggal 13 raja dari Sumatra Utara.

Rumah Adat Batak Karo

Suku Karo merupakan salah satu suku tertua di Indonesia. Beberapa peninggalan suku
Karo sejak berabad-abad yang lalu, masih bisa ditemukan di daerah Taneh Karo, yaitu berupa
rumah-rumah adat tradisional suku Karo.
Beberapa rumah adat ternyata sudah sangat tua sekali. Memiliki kesan mistis tapi memiliki
daya tarik yang khas bagi setiap orang yang melihatnya.
Rumah adat suku Karo, sebagai Gerga adalah tempat tinggal sang Raja yang penuh
dengan motif ukiran penuh makna. Rumah adat Karo yang paling populer adalah rumah adat
Si Waluh Jabu.
Sebenarnya Rumah Adat Karo, terdapat beberapa jenis, yaitu:

 Gerga, adalah tempat tinggal sang Raja yang penuh dengan motif ukiran penuh
makna.
 Belang Ayo, memiliki bentuk yang mirip dengan Gerga, sehingga kadang Belang Ayo
dianggap sama dengan Gerga.
 Si Waluh Jabu, artinya "delapan rumah" atau makna sebenarnya berarti "delapan
keluarga" dalam satu kekerabatan. Rumah adat Si Waluh Jabu adalah nama lain dari
Gerga atau Belang Ayo. Rumah adat Si Waluh Jabu ini yang paling banyak masih
bisa ditemui di beberapa wilayah adat Taneh Karo.

5
 Sepulu Jabu, artinya dalam satu rumah terdiri dari 10 keluarga dalam satu
kekerabatan. Berukuran lebih besar dari Si Waluh Jabu.
 Sepulu Dua Jabu, di dalamnya terdapat 12 keluarga dalam satu kekerabatan. Tidak
memiliki kamar seperti Rumah Adat Si Waluh Jabu dan Sepuluh Jabu.
 Sepulu Enem Jabu, mungkin merupakan Rumah Adat tertinggi di Indonesia. Di huni
oleh 16 keluarga dalam satu kekerabatan. Karena Sepuluenem Jabu ini adalah Rumah
Adat Karo yang terbesar, kemungkinan Sepuluenem Jabu ini bisa saja merupakan
suatu Istana Kerajaan orang Karo yang dihuni oleh para keluarga Kerajaan di masa
lalu.
 Si Enem Jabu, rumah adat yang berukuran lebih kecil dari si Waluh Jabu, dan dihuni
oleh 6 keluarga dalam satu kekerabatan.
 Si Empat Jabu, rumah adat yang berukuran paling kecil, dan dihuni oleh 4 keluarga
dalam satu kekerabatan.
 Jambur, adalah suatu Balai Pertemuan Adat. Bangunan berbentuk rumah adat Karo
dengan atap ijuk, merupakan tempat pelaksanaan acara-acara adat (adat perkawinan,
adat dukacita) dan kegiatan-kegiatan masyarakat lainnya. Jambur juga digunakan
untuk tempat anak muda tidur. Para pemuda bertanggung jawab atas keamanan
kampung mereka. Para pemuda tidak pantas tidur bersama orangtuanya dalam satu
kelambu yang disekat-sekat dan sempit. Oleh karena itu para pemuda tidur di Jambur.
Selain itu Jambur juga menjadi sarana bagi pemuda desa lain menginap jika
kemalaman dalam perjalanan, atau pemuda yang datang bertandang untuk melihat
pujaan hatinya yang disebut naki-naki.
 Griten (Geriten), bangunan adat tempat menyimpan tengkorak keluarga yang telah
meninggal. Terdiri dari 2 tingkat dan berbentuk panggung, berdiri di atas tiang
penyangga bangunan.
 Sapo Page, artinya lumbung padi. Bentuk seperti rumah adat. Berada di halaman
depan rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo Page terdiri dari dua tingkat dan
berdiri di atas tiang. Lantai bawah tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk
tempat duduk-duduk, beristirahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas
berfungsi untuk menyimpan padi.
 Lesung, juga digunakan sebagai lumbung padi.
 Keben, digunakan untuk penyimpanan beras, merupakan bagian penting dari budaya
Karo, karena beras merupakan tingkat status yang menunjukkan kekayaan seseorang.

6
Rumah adat Batak Karo berukuran 17 x 12 m² dan tingginya 12 m² bangunan ini simetris
pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit
untuk membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun
dengan enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunungan atau sungai.
Delapan dari tiang-tiang ini menyanga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya
penyangga lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap kedua pintu
masuk dan kedelapan jendela dipasang diatas dinding yang miring, di atas lingkaran balok.
Tinggi pintu kira-kira 1,5 m hal ini membuat orang yang masuk ke dalam harus
menundukkan kepala dan jendela ukuran nya lebih kecil. Pintu mempunyai daun jendela
tunggal.

Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari
susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada sebuah
kerangka dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon aren atau
bambu. Bubungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. bagian terendah
dari atap pertama dibagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua dinding
dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dinding atap yang menonjol ditutup
dengan tikar bambu yang sangat indah.

 Keunikkan Rumah Adat Batak Karo

1.Rumah Adat Suku Batak Karo Dibangun Tanpa Menggunakan Paku.

Rumah adat suku karo sama sekali tidak menggunakan Paku,Tapi bukan berarti rumah adat
suku karo tidak kokoh,bahkan menurut masyarakat karo sendiri rumah adat karo Sangat
Kokoh dan Tahan Terhadap Guncangan Seperti yang disebabkan oleh gempa bumi

7
misalnya.Itu karena pondasi dan susunan kayu pada saat membangun Rumah adat karo,dibuat
agar tahan terhadap guncangan,Tiang-tiang utama rumah adat tersebut dibuat dengan kayu-
kayu yang besar dan sangat kokoh,Sehingga tentu saja Rumah adat ini dapat berdiri kokoh
karena Pondasi dan Tiang utama yang sangat Kokoh tersebut.

2.Rumah adat karo di huni oleh 8 keluarga


Rumah Siwaluh Jabu berarti Rumah 8 Keluarga dalam bahasa karo,jadi sesuai dengan
namanya rumah ini dihuni oleh 8 keluarga,karena itulah rumah adat karo biasanya dibuat
besar karena dihuni oleh 8 keluarga,dan uniknya setiap dapur para keluarga ini memiliki Satu
Tungku api,karena didalam rumah adat karo juga akan dibuat tungku api untuk memasak dan
menghangatkan badan,seperti yang kita tahu juga bahwa suku karo tinggal di dataran tinggi
jadi sudah pasti dingin,disaat itulah tungku api sangat di perlukan.

3. Jenis kayu yang boleh dipakai untuk membangun, hanya boleh dari 3 jenis saja

Untuk membangun satu rumah adat karo,terdapat satu persyaratan yaitu untuk membangun
rumah adat karo hanya boleh menggunakan 3 jenis kayu yang sudah ditentukan, itu
dikarenakan setiap jenis kayu ini memiliki makna/arti yang berbeda dan sudah pasti akan
mempengaruhi keaslian rumah adat tersebut. Berikut adalah 3 jenis kayu yang digunakan
masyarakat karo untuk membangun Rumah Siwaluh jabu:
· Kayu Ndrasi, diyakini menjauhkan keluarga yang tinggal di rumah tersebut tidak
mendapatkan sakit
· Kayu Ambartuah, dipakai supaya mereka diberi tuah, ataupun kesejahteraan hidup.
· Kayu Sibernaik, dipakai untuk mendoakan kemudahan rezeki.

 Tahap Pembangunan Siwaluh Jabu (Rumah Adat Orang Karo)

8
Tahap pertama disebut dengan Padi-padiken Tapak Rumah. Pihak keluarga akan
mencari letak dan menetukan arah rumah untuk dibangun. Hampir sama seperti
fengsui pada masyarakat tionghoa, orang Karo jaman dulu pun percaya akan letak dan
arah yang baik dalam penentuan rumah. Dibutuhkan bantuan dukun untuk
menentukan poin yang satu ini.
Tahapan kedua namanya Ngempak. Setelah mendapat letak dan arah yang baik,
sekarang waktunya untuk menentukan tanggal yang baik untuk mencari kayu di
hutan. Lagi-lagi dukun akan dilibatkan dalam tahapan ini. Salah satu cara untuk
melihat apakah itu tanggal baik atau tidak, dilihat dari cara jatuhnya kayu saat
ditebang. Dukunlah yang dapat melihat hal ini baik atau tidak.
Tahapan ketiga disebut dengan Ngerintak Kayu. Sebagai sebuah permohonan
untuk membantu membawa kayu-kayu yang sudah ditebang dari hutan, pihak
keluarga yang membangun Siwaluh Jabu akan membagikan sirih kepada warga desa.
Usai kayu-kayu tersebut dibawa ke tempat yang telah ditentukan, acara makan
bersama akan digelar.
Tahapan keempat disebut dengan Pebelit-belitken. Para pekerja yang akan
membangun Siwaluh Jabu akan berkumpul di rumah si pemilik rumah. Di sini akan
dibicarakan mengenai lama pekerjaan dan berapa upah yang akan dibayarkan kepada
para pekerja.
Tahapan kelima disebut dengan Mahat. Bisa dikatakan tahap pembangunan baru
benar-benar dimulai pada tahap ini. Kayu-kayu yang sudah dibawa tadi akan dipahat
dan dipotong sesuai dengan peruntukannya.
Tahapan keenam dikenal dengan istilah Ngampeken Tekang. Setelah fondasi
berhasil didirikan, keluarga dan warga desa diminta untuk membantu proses
pemasangan balok kayu di atas fondasi-fondasi tersebut. Karena kayu-kayunya cukup
besar dan berat, diperlukan banyak tenaga dan kerja sama untuk memasangnya.

Selain kayu, material lain yang diperlukan untuk membangun Siwaluh Jabu adalah Bambu
dan juga Ijuk. Bambu diperlukan untuk membuat kerangka atap dan juga Ture (semacam
teras), sedangkan Ijuk digunakan sebagai atap. Alasan dipilihnya ijuk karena bahan ini tidak
membuat panas ruangan saat siang dan cukup kuat saat hujan menerjang.

9
Tahapan ketujuh disebut Ngampeken Ayo. Kalau kalian lihat ada anyaman bambu
pada bagian atap Siwaluh Jabu, itulah yang dinamakan Ayo. Pada tahap inilah
anyaman bambu tersebut akan dipasang.
Dan yang terakhir Pemasangan Tanduk Kerbau. Bisa dibilang tahapan ini adalah
tahapan finishing. Pemasangan tanduk kerbau harus dilakukan di malam hari dan
untuk mengikatkannya di bagian atas digunakanlah tali ijuk. Tanduk kerbau ini
dipercaya sebagai penolak bala. Orang yang memiliki keinginan buruk tidak akan bisa
memasuki rumah ini karena sudah ditangkal oleh si tanduk kerbau.

 Bagian Rumah Siwalu Jabu

- Denah

10
Dari proses pembangunan rumah, nini beranjak menceritakan bagian-bagian dari setiap
rumah. Dari penjelasan nini, saya membagi Siwaluh Jabu ke dalam 4 bagian yaitu bagian
atas, bagian tengah, bagian bawah dan bagian luar.
- Bagian Bawah

Karena rumah ini merupakan rumah panggung (rumah yang memiliki kolong), Jaman
dahulu bagian bawah rumah biasa digunakan sebagai tempat untuk menyimpan ternak seperti
babi, sapi atau kambing. Seiring dengan kemajuan jaman dan banyaknya penyuluhan yang
dilakukan baik oleh pemerintah atau LSM, ternak-ternak tidak lagi diletakkan di sini untuk
alasan kesehatan. Mereka dipindahkan sekian ratus meter dari rumah guna menjaga jarak
aman. Kini bagian bawah rumah lebih sering dibiarkan kosong atau digunakan sebagai
tempat untuk menyimpan gerobak atau kayu.

- Bagian Tengah

Dapur yang masih sangat Tradisional, 1 Rak Menggantung yang kini lebih banyak
dapur dapat digunakan oleh 2 jabu digunakan sebagai tempat untuk menyimpan
searah bersamaan peralatan dapur dan peralatan kerja

11
Bagian tengah ini merupakan bagian utama atau bagian inti dimana para penghuni
Siwaluh Jabu beraktivitas. Mereka makan, tidur, masak, bersenda gurau di bagian tengah ini.
Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, terdapat 8 jabu yang saling berhadapan dengan
urutan yang tidak sembarangan. Tiap jabu dibatasi dengan sekat untuk memisahkan satu
keluarga dengan keluarga yang lainnya dan untuk menutupi tiap Jabu digunakanlah sebuah
kain.

Terdapat 4 dapur yang terletak di depan jabu. 1 dapur bisa digunakan oleh 2 keluarga
secara bersamaan. Memasak di sini masih cukup tradisional, belum menggunakan gas
melainkan masih menggunakan kayu bakar. Bahkan untuk menyetrika pun masih digunakan
setrika yang menggunakan bara untuk menghasilkan panasnya.

Di atas tempat memasak terdapat sebuah rak kayu menggantung. Dulu rak ini
digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan padi sebelum ditumbuk di lesung. Namun
tempat ini sekarang kebih sering difungsikan sebagai tempat untuk meletakkan gelas, piring
atau perkakas untuk kerja seperti pacul, kapak dan pisau.

Terdapat 2 pintu di bagian depan dan belakang serta 2 jendela di masing-masing sisi
Siwaluh Jabu. Pintu sengaja dibuat kecil/pendek agar siapapun yang mau masuk ke dalam

12
harus menunduk. Hal ini menunjukkan suatu bentuk kesopanan dalam adat istiadat orang
Karo.

- Bagian Atas

Bagian atas digunakan sebagai tempat untuk menyimpan kayu bakar. Untuk
meletakkan kayu bakar di bagian atas, terdapat 2 buah tangga yang bisa digunakan. Tangga
tersebut dapat dipindahkan untuk mempermudah peletakkan atau pengambilan kayu-kayu
tersebut.
- Bagian Luar

Lesung tempat untuk menumbuk padi

Ada 2 tempat di bagian luar yang kerap menjadi tempat munculnya benih-benih cinta di
kalangan muda-mudi Karo. Letaknya ada di bagian depan dan dibelakang Siwaluh Jabu,
namanya Ture. Terbuat dari bambu yang disusun secara mendatar lengkap dengan tangga
untuk menaikinya, Ture alias teras ini biasa dijadikan tempat untuk menganyam tikar oleh
kaum wanita. Saat sedang menganyam inilah biasanya pria Karo akan datang mengampiri
untuk menemani si wanita.

13
B. ARSITEKTUR TRADISIONAL NIAS

Pulau Nias terletak di Indonesia bagian Barat tepatnya diwilayah Sumatera Utara
dipisahkan oleh selat mentawai.
Pulau Nias membentang pada area seluas 4.771 km2 dan dihuni oleh sekitar 639,675
jiwa termasuk suku batak, malay, cina dan penduduk pribumi “Ono Niha” yang bagi
masyarakat Nias berarti “Anak Manusia”.
Nias merupakan salah satu dari 7 tempat didunia yang masih memelihara budaya
megalitik (budaya zaman batu).

Sejarah Masyarakat Nias

Pulau nias memiliki banyak desa-desa tradisional dengan susunan arsitektur,


lansekap, dan banguan yangtersusun rapi. Dimasa lalu, setiap desa dipimpin oleh seorang raja
dan setiap desa terletak di area yangsulit untuk dicapai, gunanya ialah untuk mempersulit
serangan dari desa lain, karena sring terjadi perangantar desa. Hingga, pada masa lalu,
masyarakat nias terdiri dari golongan “Raja, Bangsawan, Rakyat jelata dan
Budak”.
Rumah nias merupakan wujud dari kebijaksanaan dan kecerdasan leluhur
suku nias dalam membuat hunian yang tahan terhadap gempa.

14
1. Pengertian Rumah Adat Nias

RUMAH ADAT NIAS SELATAN RUMAH ADAT NIAS UTARA

Rumah adat Nias (bahasa Nias: Omo Hada) adalah suatu bentuk rumah panggung
tradisional orang Nias, yaitu untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu terdapat pula rumah
adat Nias jenis lain, yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah tempat kediaman para kepala
negeri (Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan.

2. Keunikan Rumah Adat Nias

Rumah adat Nias atau yang biasa disebut dengan Omo Hada adalah suatu
bentuk rumah panggung tradisional orang Nias, yaitu untuk masyarakat pada umumnya.
Selain itu terdapat pula rumah adat Nias jenis lain, yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah
tempat kediaman para kepala negeri (Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum
bangsawan.

15
Omo Hada, sama seperti Omo Sebua, merupakan rumah rakyat jelata yang berbentuk
persegi. Untuk tindakan perlindungan, pintu dibuat untuk menghubungkan setiap rumah,
yang memungkinkan warga desa untuk berjalan di sepanjang teras tanpa harus menginjakkan
kaki di tanah.

Setiap Omo Hada memiliki enam tiang utama yang menyangga seluruh bangunan.
Empat tiang tampak di ruang tengah rumah, sedang dua tiang lagi tertutup oleh papan dinding
kamar utama. Dua tiang di tengah rumah itu disebut simalambuo berupa kayu bulat yang
menjulang dari dasar hingga ke puncak rumah.

Rumah Adat Nias Utara

Rumah di Nias Utara memiliki atap loteng yang lebar dan kisi-kisi jendela yang besar
sehingga dapat memberikan penerangan yang maksimal di siang hari dan juga ventilasi yang
baik. Kisi-kisi jendela serta ruang pada bagian atap yang luas membuat sirkulasi udara dapat
masuk ke dalam rumah dan menciptakan suhu yang sejuk di dalam rumah.

16
Lantai utama dibagi menjadi ruang pertemuan, Talu Salo, dan kamar tidur. Dapur dan
kamar mandi berada di paviliun di bagian belakang rumah. Mereka hanya memiliki sedikit
perabotan. Barang-barang mereka kebanyakan diletakkan di dalam lemari atau peti. Furnitur
yang penting diletakkan di sepanjang kisi-kisi jendela yang biasanya digunakan sebagai kursi.
Untuk memaksimalkan elastisitas konstruksi bangunan, pilar-pilar tidak didirikan di
atas tanah, melainkan di atas pondasi batu. Hal ini merupakan teknik perlindungan untuk
menghindari kontak langsung antara tanah dengan kayu agar konstruksinya dapat tahan lebih
lama.

 Ciri khas rumah Tradisional Nias Utara

17
1. Bentuk dasar elips atau oval

2. Lebar rumah 10 meter, panjang 15 meter, tinggi 9-13 meter

3. Pintu masuk dari sebelah bawah. Sisi depan dan belakang agak lurus

4. Jarak antara tiang-tiang rumah tidak selalu sama

5. Jarak antara dua barisan tiang di depan lebih lebar orang bisa berjalan di tengah

6. Jarak antara tiang-tiang di belakang lebih rapat beban rumah di lebih besar

7. 8 lembar papan Siloto (seloto) melintang di atas 62 tiang dari muka ke belakang

8. 1 Siloto di ujung kiri dan 1 di ujung kanan 6 tiang : 2 x 6 = 12 tiang

9. 2 Siloto berikut sebelah kiri dan kanan 8 tiang : 4 x 8 = 32 tiang

10. 2 Siloto di pertengahan rumah 9 tiang : 2 x 9 = 18 tiang

11. Jumlah tiang (diluar tiang-tiang penunjang) 12 + 32 + 18 = 62 tiang

 Arsitektur Hunian Nias Utara

RUMAH ADAT NIAS MORO JALAN MASUK

 “Omo” merupakan sebutan rumah bagi masyarakat nias. Ada dua macam
bentuk rumah adat nias, yakni “Omo Hada” yang merupakannama dari rumah adat
dan “Omo Pasisir” yang merupakan nama rumah biasa yang sudah
terpengaruhi oleh budaya luar.
 Omo Hada merupakan rumah bagi kalangan Tuhenori, Sawana, dan pada rangsawan.
Omo hada merupakan rumah besar yang sangat megah terbuat dari kayu dan
beralaskan daun rumbia.

18
 Berdasarkan bentuknya, rumah tadisional Nias bisa dibedakan menjadi 3 tipe rumah
adat berdasarkan penelitian yang diadakan oleh Alain M. Viaro Arlette Ziegler yang
didasarkan pada bentuk atap dan denah lantai bangunan.

INTERIOR DAPUR INTERIOR RUMAH


NIAS MORO NIAS MORO

Omo Hada merupakan rumah asli penduduk nias, dimana dirancang oleh leluhur suku nias
dengan memperhatikan kondisi lingkungan pulau nias, dimana dahulu sering terjadi gempa
bumi dan perang antar suku.

Material Penyusun Rumah Adat “Omo Hada”

Struktur kolom penguat rumah nias moro


tersusun dari batang kayu utuh yang telah
dikuliti dan telah dikeringkan sehingga tidak
lendut saat pemasangan disebut juga “Tiang
Ehomo”. Tiap-tiap struktur kayu diletakan pada
sebuah batu yang ditata mendatar disebut juga
STRUKTUR DAN BAHAN
PENYUSUN PONDASI “Batu Gahemo” yang berfungsi sebagai
pondasi pada tiap kolom kayu. Penataan kolom
kayu disusun dengan pola grid.

Lantai rumah moro tersusun dari papan kayu


yang ditata dengan pola melintang dan diselingi
dengan satu deret papan kayu dengan pola
membujur disebut juga Fafa Gahembato.
Bahan kayu yang biasa digunakan ialah kayu
berua atau menawo dano. Lantai disusun diatas
STRUKTUR DAN BAHAN batang kayu yang lebih kecil yang disebut
PENYUSUN LANTAI
“Siloto” lalu diletakkan paa struktur penompang
lantai yang disebut juga “Lali Owo”.

19
Dinding rumah moro terbuat dari papan kayu
yang di tata membujur diantara kolom-
kolom kayu yang disebut juga fafa. Bahan
kayu yang biasanya digunakan ialah kayu
berua atau menawa dano.
Pada arsitektur rumah nias ini, jendela ruang
STRUKTUR DAN BAHAN hanya berupa lubang pada dindingnya yang
PENYUSUN DINDING berupa lubang pada dinding yang diberi
teralis kayu.

 Nama Bagian-bagian Rumah “Omo Hada”


1. Batu Gahemo

B a t u p e r m u k a a n r a t a y a n g d i g u n a k a n u n t u k menyanggah
tiang Ehomo (memisahkan tiang Ehomo daripermukaan tanah) Batu cadas
sungai yang pahat berbentuk kotak.

2. Batu Ndriwa

B a t u d e n g a n p e r m u k a a n r a t a y a n g d i g u n a k a n u n t u k menyanggah
tiang Ndriwa (memisahkan tiang Ndriwad a r i p e r m u k a a n t a n a h ) B a t u
c a d a s s u n g a i ya n g p a h a t .

3. Ehomo

T i a n g k a y u b u l a t ( p i l l a r ) p e n ya n g g a h s t r u k t u r b a n g u n a n tradisional
Nias yang diletakan secara vertikal. Berbentuk balok bulat dan menggunakan
material kayu Berua atau Manawo Dano.

4. E h o m o M b u m b u
Tiang kayu bulat (pillar) penyanggah atap.
5. Fafa
Papan kayu Menggunakan material kayu Berua atau Manawa Dano.
6. Fafa Gahembato
Papan untuk lantai Menggunakan material kayu Berua atau
Manawa Dano.
7. Gaso Matua (Fanimba)

20
Balok kayu yang menjadi bagian dari struktur kerangka atap bangunan tradisional Nias
Selatan.
8. Lali’owo
Balok yang membujar yang menyanggah papan lantai struktur bangunan tradisional.
Berbentuk balok bulat dan menggunakan material kayu Berua atau Manawa Dano.
9. Sago
Atap daun rumbia.
10. Siloto
Balok melintang yang menyanggah papan lantai struktur bangunan tradisional.
Menggunakan material kayu Berua atau Manawa Dano.

 Perkembangan Arsitektur Nias Masa Kini

Arsitektur Hunian “Omo Pasisir”


Pada dasarnya, Omo Pasisir tidak jauh berbeda dari Omo Hada yang merupakan
rumah adat Nias. Perbedaan antara Omo Pasisir dan Omo Hada ialah pada omo pasisir,
Fasada, bentuk, tata letak, dan material penyusun bangunannya yang sudah mengalami
perubahan mengikuti perkembangan jaman.
Pada sambungan-sambungan tiang bangunan sudah banyak menggunakan bahan
olahan pabrik seperti paku dan sebagainya. Sedangkan pada fasada rumah, telah mengalami
perkembangan dan tata letak baru. Juga telah memiliki unsur pewarnaan buatan industri. Hal
ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya kebutuhan akan praktisnya pemasangan, bahan
pembuatan alami yang semakin sulit di dapatkan, serta daya tahan dan keawetan bahan.

21
Arsitektur Lingkungan
Perubahan arsitektur Nias tidak hanya sebatas terjadi dalam konsep hunian semata.
Melainkan juga mencakup tatanan pemukiman. Pada tatanan pemukiman Nias pada masa
lampau, order antara penduduk dan pemimpin terlihat dengan jelas. Penempatan arah
terhadap area pemukiman, serta kepercayaan masyarakat setempat masih sangat kuat.
Perubahan arsitektur Nias pada masa kini terlihat dari pola penataan wilayah. Dimana
order wilayah antara pemimpin dan rakyat biasa bisa dikatakan hampir tak terlihat. Selain itu,
pola penataan lingkungan juga sudah tidak terlalu jelas, melainkan lebih condong mengikuti
lajur jalur akses warga.

C. ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang yang mewadahi
kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun menurun dengan segala
aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu hingga sekarang. Arsitektur Bali adalah gaya
arsitektur vernacular yang didesain menggunakan bahan-bahan lokal untuk membangun
bangunan, struktur, dan rumah-rumah, serta mencerminkan tradisi lokal.

22
Arsitektur Bali sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu Bali, serta unsur Jawa kuno.
Bahan yang biasa digunakan di rumah-rumah dan bangunan Bali antara lain atap jerami, kayu
kelapa, bambu, kayu jati, batu, dan batu bata. Arsitektur Bali memiliki karakteristik
menggunakan budaya kuno dan kesenian di setiap elemen desain.

Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan manuskrip Hindu bernama “Lontar
Asta Kosala Kosali” yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan
aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam Asta Kosala Kosali disebutkan bahwa
aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan-aturan anatomi tubuh pemilik
rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang mempunyai
wewenang membantu pembangunan rumah atau pura.

1. Filosofi Rumah Adat Bali


2.

Filosofi dari desain arsitektur Bali berpusat pada agama Hindu, organisasi ruang, dan
hubungan sosial yang bersifat komunal. Sebuah rumah atau villa di Bali dibangun dan
dirancang dengan 7 filosofi berikut:

1. Tri Hata Karana - Menciptakan harmoni dan keseimbangan antara 3 unsur kehidupan
- atma atau manusia, angga atau alam, dan khaya atau dewa-dewa.

23
2. Tri Mandala - aturan pembagian ruang dan zonasi
3. Sanga Mandala - seperangkat aturan pembagian ruang dan zonasi berdasarkan arah
4. Tri Angga - konsep atau hierarki antara alam yang berbeda
5. Tri Loka - mirip dengan Tri Angga tetapi dengan alam yang berbeda
6. Asta Kosala Kosali - 8 pedoman desain arsitektur tentang simbol, kuil, tahapan, dan
satuan pengukuran
7. Arga Segara - axis suci antara gunung dan laut

Berdasarkan filosofi tersebut, arsitektur Bali berfokus pada 4 aspek, yaitu:

Sistem ventilasi yang baik. Pada rumah Bali ataupun villa, jendela besar selalu digunakan
untuk sirkulasi udara dan sering dibuat pula ruang di antara atap dan dinding bangunan.

Fondasi yang kokoh. Berdasarkan pada filosofi Tri Loka, tubuh manusia mirip dengan
rumah, maka dibuatlah fondasi dengan dasar yang kuat, seperti kaki bagi manusia, fondasi
yang kuat pada sebuah rumah akan memberikan kekuatan.

Sebuah halaman besar. Berdasarkan konsep yang selaras dengan alam, rumah khas Bali
harus memiliki halaman yang luas untuk berkomunikasi dengan alam sekitarnya.

Tembok penjaga. Tembok tinggi yang melindungi rumah dari pandangan orang luar,
memberikan privasi dan perlindungan dari orang lain, serta untuk menangkal ilmu hitam dan
roh-roh jahat agar tidak masuk ke dalam rumah.

24
Bali memiliki suatu ciri khas yang berbeda dan kuat. Arsitektur Bali sangat digemari dimana-
mana, hingga ke mancanegara. Walaupun pada beberapa bagian masih terdapat unsur-unsur
Hindu Jawa Kuno, Bali tetap memiliki ciri khasnya tersendiri. Berikut adalah unsur-unsur
yang menjadi ciri khas arsitektur Bali:

Adanya pura atau kuil umat Hindu. Masuknya agama Hindu di pulau Bali
memberikan dampak yang cukup signifikan, terutama pada gaya arsitekturnya. Arsitektur
Bali secara umum didominasi oleh pengaruh Hindu sejak kedatangan Majapahit ke pulau ini
pada abad 15. Kedatangan Majapahit ini juga meninggalkan kebudayaan berupa teknik
pahatan pada batu yang kemudian difungsikan sebagai patung atau Pura. Seiring dengan
perkembangan zaman, kehadiran patung dan pura kecil begitu melekat dan identik dengan
gaya arsitektur Bali.

25
Pada agama Hindu sendiri terdapat konsep Tri loka, yakni pemisahan eksistensi antara alam
para Dewa, alam manusia, dan alam iblis atau roh jahat. Konsep ini kemudian direfleksikan
dari bentuk pura Bali dan menjadikan pura ini sedikit berbeda dengan pura yang ada di India,
negara asal agama Hindu. Mayoritas pura di Bali didesain dengan 3 tingkatan, dimana tingkat
tertinggi merepresentasikan tingkat kesakralan dan pemujaan untuk Dewa-Dewa atau Sang
Hyang Widi.

Adanya pengaruh dari kepercayaan Polytheisme. Polytheisme atau pemujaan kepada


banyak dewa merupakan kebudayaan awal yang eksis di pulau Bali sebelum kedatangan
Hindu ke pulau tersebut. Maka dari itu, di beberapa gaya arsitekturnya masih dapat kita temui
unsur-unsur kebudayaan ini. Orang-orang Bali kerap membangun pura atau rumah mereka
dengan konsep terbuka, terutama untuk hal-hal yang bersifat peribadatan atau pemujaan
kepada dewa-dewa. Bahkan, kita sering melihat dalam satu kompleks pura terdapat lebih dari
satu pura di mana masing-masing pura digunakan untuk memuja Dewa yang berbeda.

26
Untuk bangunan-bangunan yang tidak didesain untuk kegiatan pemujaan, bangunan tersebut
kebanyakan dibuat dari bambu dan material lain yang kental akan nuansa alaminya, seperti
batuan-batuan alam. Hal ini juga dapat dilatar belakangi oleh budaya mereka yang
mengharuskan membangun pura lebih bagus dari pada rumah mereka sendiri.

Orientasi kepada hal sakral. Gaya arsitektur Bali yang asli tidak dibuat dengan
sembarangan, melainkan dengan konsep dan perhitungan yang matang dan
merepresentasikan kesakralan. Tidak hanya pada bangunan pura atau rumah pribadi,
bangunan-bangunan kecil lainnya juga didesain dengan mempertimbangkan konsep ini.

Struktur rumah tradisional yang kompleks. Rumah-rumah di Bali cenderung memiliki


struktur yang kompleks namun tertata rapi. Rumah-rumah berasitektur tradisional Bali tidak
hanya terdiri atas satu unit stuktur, tapi memiliki sekumpulan bangunan-bangunan. Tiap
bangunan dihuni satu kepala keluarga. Biasanya, mereka yang tinggal di kompleks ini

27
merupakan keluarga besar dan berasal dari keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks
bangunan ini dibangun tembok yang tidak terlalu tinggi, namun cukup memisahkannya
dengan dunia luar.

Pada kompleks bangunan ini terdapat satu pura untuk sembahyang, dapur yang digunakan
untuk bersama, area untuk tidur, serta area untuk pertemuan penting atau perjamuan. Untuk
tujuan itu, biasanya pada kompleks bangunan dibangun 2 macam paviliun, yaitu paviliun
untuk menerima tamu serta paviliun khusus untuk upacara adat dan ritual keagamaan.

Mirip seperti rumah-rumah tradisional di pulau Jawa, rumah khas Bali dibangun di dalam
kompleks yang dikelilingi oleh dinding lumpur bercat putih atau batu bata, bergantung pada
kekayaan dari pemilik rumah. Kompleks rumah tradisional Bali didominasi oleh paviliun
(bale) yang mengelilingi halaman tengah (natah). Elemen arsitektur lainnya yang ada dalam
kompleks rumah ditata sesuai dengan konsep kesakralan yang ada di Bali dan mata angin.
28
Kuil keluarga merupakan area yang paling suci dari keseluruhan kompleks rumah, dan
terletak di Timur Laut (Kaja-Kangin) yang diidentifikasikan sebagai kepala dari kompleks
rumah. Kuil keluarga ini selalu dikurung di dalam tempat suci (Pamerajan). Kuil yang paling
penting adalah Kamulan Sanggah, sebuah kuil yang berisi tiga kompartemen yang
didedikasikan untuk trimurti Hindu Brahma, Wisnu dan Siwa.

2 Macam-Macam Bangunan Rumah Adat Bali


Arsitek yang biasa menangani rumah adat Bali tentunya memiliki pedoman tersendiri
untuk membangun rumah adat tersebut. Misalnya berpedoman kepada kosala kosali, dengan
begitu arsitek dapat mendesain rumah adat bali yang diinginkan. Dibawah ini beberapa
bangunan rumah adat Bali :

Bangunan Angkul-angkul

Angkul-angkul adalah bangunan yang


menyerupai gapura yang juga memiliki
fungsi sebagai pintu masuk. Ada hal
yang membedakan angkul-angkul ini
dengan yang lainnya, yaitu bangunan ini
memiliki atap di atasnya.

29
Aling-Aling

Bangunan ini adalah bangunan


yang berdominan sebagai
pembatas antara angkul-angkul
dan pekarangan ruangan atau
biasa di sebut dengan tempat
suci. Ternyata aling-aling ini
mempunyai arti tersendiri yaitu
terkenal dengan adanya hal-hal
positif yang masuk jika terdapat
aling-aling di rumah tersebut.

Banggunan Sanggah

Bangunan sanggah adalah


bangunan suci yang biasanya
terletak di sebelah ujung timur
laut dari rumah. Fungsi dari
bangunan sanggah sebagai
tempat sembahyang bagi
keluarga besar yang biasa
melakukan sembahyang umat
hindu.

3. Struktur Ruangan Rumah Dan Fungsinya

30
Nama gapura bentar ternyata memiliki keunikan tersendiri dengan desain pintu utama untuk
masuk yang begitu besar yang sengaja tidak di kasih pembatas. Terdapat ukiran yang begitu
unik sekali sehingga menyerupai seperti halnya candi.

Jika kalian masuk ke dalam dan melihat sebagian pagar tembok, maka tak terbayang pada
pikiran anda tentang keragaman kehidupan pada bali yang masih kental.

Di depan rumah juga terdapat semacam gapura atau biasa orang bali menyebutnya yaitu
singgah. Tempat ini biasa digunakan oleh umat hindu dalam melakukan sembahyang atau
beribadah kepada tuhannya.

Dengan begitu gapura atau tempat singgah yang biasa orang Bali menyebutnya itu semakin
membuktikan betapa kuatnya dan begitu kentalnya masyarakat Bali memegang adat yang
sudah diwariskan kepada masyarakatnya yang erat dengan falsafah asta kosala kosali.

Jika kita sudah masuk ke bagian dalam rumah, maka kita banyak menemukan berbagai
ruangan dan begitu juga fungsinya, diantaranya:

 Penginjeng Karang

Tempat satu ini merupakan tempat


pemujaan yang khusus menjaga
pekarangan, bukan untuk ibadah, karena
tempat ibadah yang dimiliki berada di
depan rumah. Pemujaan ini biasanya ada
waktu puja sendiri.

 Bale Manten

31
Dari namanya saja sudah bisa di tebak kalau tempat ini condong ke tempat yang berbau
dengan yang namanya pengantin. Ternyata tempat ini adalah suatu ruangan

Kamar yang biasa di gunakan oleh kepala keluarga atau anak gadis atau bahkan tempat untuk
penyimpanan barang. Tak jarang ruangan ini juga di gunakan sebagai tempat pasangan
pengantin yang baru menikah.

 Bale Gede Atau Bale Adat

Bale itu di ambil dari kata balai yang biasa di artikan sebagai tempat kumpul. Di rumah adat
bali itu terdapat bale atau balai gede dan juga bale adat yang biasa di gunakan sebagai tempat
kumpulnya keluarga besar atau sekedar pertemuan-pertemuan adat atau kepala suku.

 Bale Dauh

Bale dauh adalah sebuah ruangan yang khusus di gunakan untuk anak lelaki,
ditempati oleh anak lelaki yang terdapat di rumah adat tersebut. Terkadang bale dauh itu di

32
gunakan sebagai tempat kerja atau digunakan sebagai tempat diadakannya pertemuan-
pertemuan pekerjaan.

Jika keluarga yang menempati rumah adat tersebut dan memiliki putra laki-laki
biasanya di ruangan sini lah putranya tidur.

 Paon

Paon itu diartikan sebagai dapur tempat memasak, jadi rumah adat tersebut memiliki tempat
untuk memasak sendiri yang di artikan sebagai paon. Ruangan ini biasanya terletak di
belakang rumah adat.

 Lumbung

Lumbung itu adalah tempat khusus yang digunakan untuk tempat penyimpanan. Tidak semua
barang yang di simpan di letakkan di lambung ini, akan tetapi lambun tersebut khusus

33
digunakan sebagai tempat penyimpanan makanan pokok, misalnya padi, jagung dan masih
banyak lagi.

D. ARSITEKTUR TRADISIONAL LOMBOK

Bagi masyarakat Sasak tradisional, rumah bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi,
melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi bagi penghuninya, baik
arsitektur maupun tata ruangnya.
Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah
dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah. Atap dan bubungannya (bungus)
terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu, hanya mempunyai satu berukuran
kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk)
yang meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda,
ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan
dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa
empat persegi panjang. Selain itu ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem
geser. Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan
lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau atau kuda, getah, dan abu jerami.
Undak-undak (tangga), digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan bale dalem.
Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola
pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan
keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk
mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah,
maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan
harmoni penduduk setempat.

34
Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan Karang
Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali. Selain
tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan sederhana para
penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang nafkah
harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah. Lantai rumah itu adalah campuran dari
tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam
batu bateri, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran kerbau atau kuda di
bagian permukaan lantai. Materi membuat lantai rumah itu berfungsi sebagai zat perekat,
juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu digunakan, oleh warga di Dusun
Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa bersenyawa dengan tanah liat yang
merupakan jenis tanah di dusun itu.

1. Filosofi Dan Budaya

Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu
menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih
kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia
berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa
pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam
(barat/kiblat).

Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Posisi
membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud
penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu.

Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros
sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu,
misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis,
melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, seperti mengantisipasi gagal panen akibat
cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran
jika ada salah satu anggota keluarga meninggal.

Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki
yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi
alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang

35
duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun,
mungkin dia sakit.

Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan.
Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat
dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh
istri.

Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-


minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.

Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi)
secara bersamaan

Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya
anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan
manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk) bale
(penunggu rumah), dan sebaginya.

Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya


faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis)
menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep
pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik
tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun
temurun.

2. Material Bangunan

36
Sementara material yang dibutuhkan untuk membangun rumah antara lain:

 kayu-kayu penyangga,
 bambu, anyaman dari bambu untuk dinding,
 jerami dan alang-alang digunakan untuk membuat atap,
 lantai tanah. getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami, digunakan sebagai bahan
campuran untuk mengeraskan lantai.

3. Pola Penataan Ruang


Hal yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola
pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan
keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk
mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok.

Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti
menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.

Ruangan pada bale lumbung dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya adalah inan bale
(ruang induk) yang meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan
harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum
dimakamkan.

Selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, dan kehidupan sederhana
para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang
nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah. Lantai rumah itu adalah dari
tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam
batu bateri.

Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam. Anak
tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan
mati.

Juga sebagai keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau berugak bertiang empat simbol
syariat Islam: Al Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas). Anak yang yunior dan senior dalam usia
ditentukan lokasi rumahnya.

37
Rumah orangtua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu
berada di tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap
dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.

 Rumah Adat Sasak Bale Tani

TAMPAK DEPAN TAMPAK SAMPING

TAMPAK BELAKANG

Bale Tani merupakan rumah tinggal masyarakat yang berprofesi sebagai petani. I Gusti Ayu
Vadya Lukita S mengatakan bahwa bentuk arsitektur Bale Tani memiliki makna yang
dalam. Bentuk Bale Tani yang meninggi di bagian belakang melambangkan hubungan
manusia dengan Tuhan. Sosoran atap di bagian depan melambangkan hubungan manusia
dengan sesama. Bentuk arsitektur Bale Tani menggambarkan hubungan antar sesama
manusia, nenek moyang dan Tuhan Yang Maha Esa harus seimbang.

BALE LUAR

38
Interior Bale Tani dibagi menjadi dua bagian, yaitu Bale Luar dan Bale Dalam. Bale Luar
menggambarkan hubungan antar manusia yang harus saling menghormati dan
mempertahankan sikap kekeluargaan.

BALE DALAM

Bale Dalem menggambarkan peran wanita yang sangat penting dalam sebuah keluarga,
karena di dalamnya terdapat dapur dan tempat tidur untuk anak perempuan yang masih
perawan.

Bentuk pada Bale Tani atau Bale Gunung Rata juga menggambarkan kesamarataan derajat
semua manusia di hadapan Tuhan juga ajaran untuk saling menghargai sesama manusia.

39

Anda mungkin juga menyukai