Judul Penelitian
“ PERBANDINGAN POLA RUANG LUAR RUMAH TRADISIONAL BATAK
TOBA PADA DESA WISATA DAN DESA NON WISATA DI KABUPATEN
SAMOSIR”
(Studi Kasus : Desa Lumban Bolak Dan Huta Bolon)
B. Latar Belakang
Kabupaten Samosir merupakan salah satu kawasan wisata yang sudah cukup lama
dikenal oleh wisatawan dalam negeri maupun mancanegara. Salah satu yang membuatnya
sangat terkenal hingga ke penjuru dunia adalah objek wisata Danau Toba dan juga letaknya
yang tepat berada di tengah-tengah Danau Toba. Disamping itu, Kabupaten Samosir juga
dikenal sebagai daerah asal muasal nenek moyang suku Batak Toba, sehingga menjadikan
daerah ini kaya akan nilai-nilai sejarah yang masih dijaga. Seperti peninggalan-
peninggalan berupa bangunan tradisional, yaitu rumah adat Batak Toba yang hingga saat
masih jaga dan tersebar di beberapa lokasi di Samosir.
Biasanya Rumah Adat Batak Toba terdiri atas Rumah dan juga sopo (lumbung padi)
yang berada di depan rumah. Rumah dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang
berfungsi sebagai ruang bersama warga huta. Rumah adat dengan banyak hiasan (gorga),
disebut Rumah Gorga Sarimunggu atau Jabu Batara Guru. Sedangkan rumah adat yang
tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah berukuran besar, disebut
Rumah Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut Jabu Parbale-balean. Pada rumah
Adat Batak juga terdapat banyak ukiran yang disebut gorga. Warna-warna yang dipilih
adalah merah, hitam dan putih, yang maksudnya adalah warna dari alam yang mengacu
pada flora dan fauna.
Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan
berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai
filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup. Setiap rumah dibangun dengan
mengikuti keyakinan masyarakat Batak pada zaman dahulu yaitu mengenai konsep alam
semesta yang terdiri dari Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Demikianlah
rumah juga dibangun dengan mengikuti konsep tersebut yang terdiri dari Atap (banua
ginjang), Lantai dan badan rumah (banua tonga), dan tanah (banua toru).
1
Ruangan di rumah tradisional adalah sebuah ruang terbuka tanpa kamar-kamar,
walaupun di situ didiami beberapa keluarga, tetapi itu tidak berarti tidak ada pembagian
area, karena ini disesuaikan dengan pembagian kediaman dari rumah tersebut yang diatur
oleh adat yang kuat.
Untuk bagian luar ruangan Rumah Adat, suku Batak Toba mengikuti pola berbanjar
dua, yaitu suatu tata ruang lingkungan dengan komunitas yang utuh dan mantap. Pola
penataan desa atau lumban/ huta terdiri dari beberapa ruma dan sopo. Perletakan ruma dan
sopo tersebut saling berhadapan dan mengacu pada poros utara selatan. Sopo merupakan
lumbung, sebagi tempat penyimpanan makanan. Dalam hal ini, menunjukkan bahwa
masyarakat Batak selalu menghargai kehidupan, karena padi merupakan sumber kehidupan
bagi mereka.
Dengan ciri khas yang dimiliki oleh arsitektur tradisional Rumah Adat Batak Toba
tersebut, maka penulis akan meneliti beberapa rumah adat yang terdapat di daerah Samosir
yang masih mempertahankan keaslian dari pola ruang serta tampilan rumah adat. Daerah
yang akan dijadikan sebagai objek penelitian adalah beberapa perkampungan yang masih
memiliki rumah adat atau desa tradisional di Samosir. Desa tradisional yang dpilih adalah
desa yang sudah menjadi daerah wisata dan bukan daerah wisata. Dengan demikian,
nantinya akan diadakan perbandingan diantara kedua kategori desa tersebut. Hal yang akan
dibandingkan adalah pola ruang luar dalam pada Rumah Adatnya, serta kategori desa mana
yang masih tetap mempertahankan keaslian dari konsep arsitektur tradisonal Batak Toba.
C. Perumusan Masalah
Bagaimana pola ruang rumah adat tradisonal Batak Toba pada desa wisata (Huta Raja,
Lumban Bolak, Lumban Sitio) dan desa non wisata (Huta Siallagan, Huta Tomok, dan
Huta Bolon) di Kabupaten Samosir?
Bagaimana perbedaan pola ruang serta tampilan dari rumah adat pada desa wisata
wisata (Huta Raja, Lumban Bolak, Lumban Sitio) dengan desa non wisata (Huta
Siallagan, Huta Tomok, dan Huta Bolon) di Kabupaten Samosir?
2
D. Tinjauan Pustaka
1. Rumah tradisional
Rumah tradisional batak toba
Rumah Adat Batak Toba yaitu Rumah Bolon (Rumah Gorga atau Jabu Si
Baganding Tua). Biasanya Rumah terdiri atas Rumah dan juga sopo (lumbung padi)
yang berada di depan rumah. Rumah dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang
berfungsi sebagai ruang bersama warga huta. Rumah adat dengan banyak hiasan
(gorga), disebut Rumah Gorga Sarimunggu atau Jabu Batara Guru. Sedangkan
rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah
berukuran besar, disebut Rumah Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut
Jabu Parbale-balean.
Pada rumah Adat Batak juga terdapat banyak ukiran yang disebut gorga.
Warna-warna yang dipilih adalah merah, hitam dan putih, yang maksudnya adalah
warna dari alam yang mengacu pada flora dan fauna.
3
Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah
adat tradisionil yang mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan
hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.
Masyarakat Batak Toba mengenal dua jenis rumah, yakini rumah Sitolumbea
dan rumah Sisampuran atau Sibaba ni amporik. Perbedaan yang sangat mencolok
dan jelas dari kedua bentuk rumah ini adalah tangga dan pintunya. Pada rumah
Sitolumbea, tangga dan pintunya berada didalam. Tangga terletak antara tiang
depan dan tiang dalam, sedangkan pintunya terdapat pada lantai. Sementara rumah
Sisampuran tangga dan pintunya berada pada bagian luar. Tangganya terdapat di
muka tiang.
4
tetapi perbedaan itu tidak terlalu terlihat dari segi pandangan sepintas. Maka dalam
pembahasan bagian-bagian rumah batak yang menjadi acuan adalah rumah batak
Sitolumbea.
Sebenarnya masih ada satu lagi yang disebut ‘sopo’. Sopo memang bukan satu
jenis rumah yang dihuni orang batak toba sebagai tempat tinggal menetap. Sopo
lebih sebagai penyimpanan padi, tempat pertemuan kawula muda, atau tempat para
wanita melakukan pekerjaan tangan, misalnya menenun ‘martonun’ atau mengayam
tikar yang disebut ‘membau lage’.
Tetapi bentuk sopo ini memang berbeda dari kedua jenis rumah yang disebut
di atas. Bentuknya lebih kecil dari rumah tempat tinggal. Sopo selalu memiliki dua
lantai. Lantai pertama digunakan sebagai tempat pertemuan anak muda atau tempat
para wanita melakukan pekerjaan tangan. Sedangkan lantai dua dipakai sebagai
pemuda-pemuda sekampung. Bagian tengah terbuka dengan empat atau enam tiang
besar yang pada ujungnya terdapat kepala tiang berbentuk bundar, yang dinamai
‘galapang’, karena bentuknya seperti roda yang dalam Bahasa batak toba berarti
‘galapang’. Maka dalam hal ini galapang tidak dimaksudkan sebagai tempat
sesajian seperti yang terdapat dalam rumah batak sitolumbea.
5
Bagian – Bagian Rumah Adat Batak Toba
Seperti rumah tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos
perlambang makro kosmos yang terbagi alas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni
Banua Toru (bawah bumi) untuk kaki rumah, Banua Tonga (dunia) untuk badan
rumah, Banua Ginjang (singa di langit) untuk atap rumah.
6
Tata Ruang Rumah Batak Toba
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yang dalam pangertian
Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat
galang lantai (halang papan) yang disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga
berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yang
mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot
do i boru ni tulang.”
Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat
tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua
yang kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tersebut.
Karena itu ada falsafah yang mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang
panompasan” yang dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela
atau perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon)
dan ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang
empunya rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh
gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat
pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan
berbentuk panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat
menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat
padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni
rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahul na
bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul
pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan
keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.
Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang
kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para para dibuat
“parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk,
baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yang mengatakan
“Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be
na oto tu pargadisan” yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat
menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah
mendapat perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
7
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di
sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan
tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yang
berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na
marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila
tangga yang cepat aus menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang.
Pengertian bahwa yang punya rumah adalah orang yang senang menerima tamu dan
sering dikunjungi orang karena orang tersebut ramah. Tangga tersebut dinamai
dengan “Tangga rege-rege”.
Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada
wilayah yang di atur oleh hukum hukum. Ruangan Rumah Batak itu biasanya di
bagi atas 4 wilayah (bahagian) yaitu:
a. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk
rumah, daerah ini biasa di tempati oleh keluarga tuan rumah.
b. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di
tempati oleh anak anak yang belum akil balik (gadis)
c. Jabu Suhat, ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah
ini di tempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu
belum ada rumah yang di ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang belum
memiliki rumah menempati Jabu Suhat.
d. Jabu Tampar Piring, ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan
pintu masuk. Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering
di sebut jabu tampar piring atau jabu soding jolo-jolo.
8
Gambar 2.26. Bagian-bagian dalam ruangan Rumah Adat Batak Toba.
Sumber : Buku Ornamen (Ragam Hias) Rumah Batak Toba.
9
Gambar 2.13. Sketsa desa adat Lumban Nabolon Parbagasan.
Sumber : Soeroto (2003: 102)
Huta merupakan kesatuan teritorial yang dihuni oleh keluarga yang berasal
dari satu klen yang dilengkapi 2 pintu gerbang (bahal) di sisi utara dan selatan huta.
Di sekitar gerbang masuk huta biasanya ditanam hariara (pohon beringin) yang
melambangkan alam semesta. Sekeliling kampung dipagar batu setinggi 2.00 m,
yang disebut parik. Parit dibangun sebagai upaya untuk mernberi batas teritorial
perkampungan dan sebagai pertahanan huta tersebut dari serangan musuh. Di
setiap sudut dibuat menara untuk mengintai musuh. Pola penataan lumban yang
terlindungi dengan pagar yang kokoh, dengan dua gerbang yang mengarah utara-
selatan, menunjukkan bahwa masyarakat Batak, memiliki persaingan dalam
kehidupan kesehariannya. Jika kita mengamati peta perkampungan Batak, maka
dapat kita ketahui terdapat beragam suku Batak, dengan lokasi yang berdekatan.
Oleh karena iu, pola penataan lumban berbentuk lebih menyerupai sebuah benteng
dari pada sebuah desa
10
Gambar 2.14. Perkampungan batak di Huta Sigurgur Atas
Sumber : Dokumen Kelompok.
Bentuk rumah dibangun dengan pola persegi panjang dengan bahan dasar
utama yang digunakan adalah kayu balok maupun papan dan ijuk serta songsong
boltok sebagai atap rumah. Dasar rumah dibangun setinggi 1,5 - 2 meter dari
11
permukaan tanah, dan bagian bawah biasanya digunakan untuk tempat ternak
(ayam, babi, dll).
2. Desa
Desa wisata
Desa wisata adalah suatu bentuk intergrasi antara atraksi, akomodasi, dan
fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat
yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993). Desa
wisata (rural tourism) merupakan pariwisata yang terdiri dari keseluruhan
pengalaman pedesaan, atraksi alam, tradisi, unsur-unsur yang unik yang secara
keseluruhan dapat menarik minat wisatawan (Joshi, 2012).
Maka, dapat disimpulkan bahwa desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi
antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu
struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang
berlaku. Suatu desa wisata memiliki daya tarik yang khas (dapat berupa keunikan
fisik lingkungan alam pedesaan, maupun kehidupan sosial budaya masyarakatnya)
yang dikemas secara alami dan menarik, sehingga daya tarik pedesaan dapat
12
menggerakkan kunjungan wisatawan ke desa tersebut (Kementrian Kebudayaan
dan Pariwisata, 2011: 1).
Menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR), yang dimaksud dengan desa wisata
adalah suatu daerah wisata yang menyajikan keseluruhan suasana yang
mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari sisi kehidupan sosial, ekonomi,
budaya, keseharian, adat-istiadat, memiliki arsitektur dan tata ruang yang khas dan
unik, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik, serta memiliki potensi
untuk dikembangkannya komponen kepariwisataan (Soetarso Priasukmana, 2001 :
37).
Desa wisata merupakan salah satu bentuk wisata pedesaan. Wisata pedesaan
merupakan perjalanan yang berorientasi menikmati suasana kehidupan pedesaan,
menghormati, serta memperoleh nilai tambah hidup dari budaya dan tradisi
masyarakat setempat serta lingkungan alam, juga meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat. Kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dan
lingkungannya merupakan obyek dan daya arik wisata. Lingkup desa wisata dapat
berupa alam, seperti gunung, persawahan, hutan, tebing, bentang alam, flora dan
fauna, juga taman laut; budaya seperti peninggalan sejarah, adat istiadat, tradisi,
kehidupan sehari-hari, dan karya arsitektur; atau berupa suajana, yaitu karya
budaya (benda) yang ‘menyatu’ dengan bentang alam.
Dalam artian yang sederhana, desa wisata merupakan suatu obyek wisata yang
memiliki potensi seni dan budaya unggulan di suatu wilayah pedesaan yang berada
di pemerintahan daerah. Desa wisata hidup mandiri dengan potensi yang
13
dimilikinya dan dapat menjual berbagai atraksi-atraksinya sebagai daya tarik
wisatawan tanpa melibatkan investor.
3.
E. Tujuan Penelitian
Untuk menemukan pola ruang rumah adat tradisonal Batak Toba pada desa wisata
(Huta Raja, Lumban Bolak, Lumban Sitio) dan desa non wisata (Huta Siallagan, Huta
Tomok, dan Huta Bolon) di Kabupaten Samosir
Untuk melihat perbedaan pola ruang serta tampilan dari rumah adat pada desa wisata
wisata (Huta Raja, Lumban Bolak, Lumban Sitio) dengan desa non wisata (Huta
Siallagan, Huta Tomok, dan Huta Bolon) di Kabupaten Samosir?
Manfaat yang didapat dari penelitian adalah untuk menemukan pola ruang pada rumah
adat batak tradisional yang terdapat di desa wisata (Huta Raja, Lumban Bolak, Lumban
Sitio) dan desa non wisata (Huta Siallagan, Huta Tomok, dan Huta Bolon).
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Metode pada penelitian ini adalah berupa metode deskriptif yang bersifat
komperatif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun
suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah
untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Menurut Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu
metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian
tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.
14
Menurut Whitney (1960: 160) metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan
interpretasi yang tepat.
b. Dokumentasi
Menurut Moleong (2001), yang dimaksud dokumen adalah setiap bahan tertulis
atau film yang dapat digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam
banyak hal dokumen dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk
meramalkan.
15
Dokumentasi ini dilakukan untuk melengkapi dan menambah validitas data yang
diperoleh melalui pengamatan, penggambaran, pengukuran, dan pemetaan. Sumber
informasi yang didokumentasikan adalah sumber informasi yang sangat penting dan
dapat menggambarkan bagaimana keadaan Desa Huta Raja yang sudah memakai
material modern pada rumah hunian mereka.
Analisis data dalam penelitian eksploratif dilakukan melalui tiga kegiatan yang
terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data / display data, dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi data adalah proses analisis data yang dilakukan untuk mereduksi dan
merangkum hasil-hasil penelitian dengan menitikberatkan pada hal-hal yang dianggap
penting oleh peneliti. Reduksi data bertujuan untuk mempermudah pemahaman
terhadap data yang telah terkumpul, sehingga data yang direduksi memberikan
gambaran lebih rinci. Hasil dari observasi dan dokumentasi disatukan dan dipiliah-pilah
sehingga didapatkan data yang penting.
Penyajian daya / display data adalah data-data yang sudah tersusun secara terperinci
untuk memberikan gambaran penelitian secara utuh. Data yang terkumpul secara
terperinci dan menyeluruh selanjutnya dicari pola hubungannya untuk mengambil
kesimpulan yang tepat. Fasad-fasad rumah (depan, samping, dan belakang) yang ada
digambar ulang sesuai dengan apa yang ada di lapangan, mulai dari dimensi, warna,
dll. Kemudian, fasad dari desa yang satu dibandingkan dengan fasad di desa lain.
Penyajian data selanjutnya disusun dalam bentuk uraian atau laporan sesuai dengan
hasil penelitian diperoleh.
H. Daftar Pustaka
Internet :
16
17