Rumah jantan terletak disebelah selatan, fungsinya sebagai rumah tinggal, sedangkan rumah betina
terletak di sebelah utara, fungsinya sebagai tempat menyimpan padi.
Disebut Rumah Bolon karena suku batak toba sangat percaya akan Tuhan mereka yaitu MULA JADI
NA BOLON, jadi rumah bolon berarti rumah Tuhan. Rumah dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas
yang berfungsi sebagai ruang bersama warga huta. Ada beberapa sebutan untuk rumah Batak,
sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga
Sarimunggu atau Jabu.Batara Guru. Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng
atau Jabu Batara Siang. Rumah berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran
kecil, disebut Jabu Parbale-balean. Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu rumah adat yang
menjadi hak anak bungsu. Penataan lumban berbentuk lebih menyerupai sebuah benteng
dari pada sebuah desa.
Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah tradisional
lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos yang terbagi alas 3
bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi) untuk kaki rumah, banua tonga
(dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singadilangit) untuk atap rumah.
Pada penataan bangunan yang terdiri dari beberapa ruma dan sopo sangat menghargai
keberadaan sopo, yaitu selalu berhadapan dengan rumah dan mengacu pada poros utara selatan.
Hal ini menunjukkan pola kehidupan masyarakat Batak Toba yang didominasi oleh bertani, dengan
padi sebagai sumber kehidupan yang sangat dihargainya. Di dalam lumban, terdapat beberapa
rumah dan sopo yang tertata secara linear. Beberapa ruma tersebut menunjukkan bahwa ikatan
keluarga yang dikenal dengan extended family dapat kita ketemukan dalam masyarakat Batak Toba.
Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak
(rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang
Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur membentang lais,
ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah
ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda
keramat (ugasan homitan).
Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan Belanda
bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah :
- Banua toru (bawah)
- Banua tonga (tengah)
- Banua ginjang (atas)
ATAP
Atap Rumah Bolon mengambil ide dasar dari punggung kerbau, bentuknya yang melengkung
menambah nilai keaerodinamisannya dalam melawan angin danau yang kencang.
Atap terbuat dari ijuk, yaitu bahan yang mudah didapat didaerah setempat. Suku batak menganggap
Atap sebagai sesuatu yang suci, sehingga digunakan untuk menyimpan pusaka mereka.
BADAN RUMAH
Badan rumah terletak dibagian tengah atau dalam mitologi batak disebut dunia tengah, dunia
tengah melambangkan tempat aktivitas manusia seperti masak, tidur, bersenda gurau. Bagian badan
rumah dilengkapi hiasan berupa ipon ipon untuk menolak bala.
PONDASI
Pondasi rumah batak toba menggunakan jenis pondasi cincin, dimana batu sebagai tumpuan dari
kolom kayu yang berdiri diatasnya.
Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri diatas batu ojahan struktur yang fleksibel, sehingga
tahan terhadap gempa
Mengapa memakai pondasi umpak?, karena pada waktu tersebut masih banyaknya batu ojahan
dan kayu gelonggong dalam jumlah yang besar. Dan belum ditemukannya alat perekat seperti
semen
DINDING
Dinding pada rumah batak toba miring, agar angin mudah masuk
Tali-tali pengikat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat
ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang, maksudnya
ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan
semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.
Pintu Utama Menjorok kedalam dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran,
lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, dalam
bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain:
tiang, tustus(pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, tureture, sijongjongi, sitindangi, so
ngsongboltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya
yang diperlukan. Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan
dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak Toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk
gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada
“pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan
mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah
bentuk “Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan
kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande dengan alat
tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara
nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang
“jabu suhat” dan “si tampar piring”.
Salah satu hal penting yang mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan
pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh
berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini
berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit
dijungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Untuk
keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yang bobotnya cukup
berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan”sebagai
isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.
Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar
ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di
depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai
simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam
menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu
ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya
pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu
diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama
disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa
Batak disebut“Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.
Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya
tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang
berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati.
Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam
peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati”.
“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan.
Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai
pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam
keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam
kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena
itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter
seperti itu disebut“Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang selalu peduli
terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.
Pemanfaatan Ruangan
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tersebut
dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yang empunya rumah ruangan tersebut digunakan
sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai
tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk
panggung yang disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya
dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”.
Hal itu penyebab maka penghuni rumah yang tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai
“Parbahul-bahul na bolon”. Dan ada juga falsafah yang mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul
pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan keinginan agar
murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.
Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya
untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah para-para dibuat “parlabian” digunakan tempat
rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu
ada fatsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja
ndang adong be na oto tu pargadisan” yang artinya kira-kira jika manusia yang bijak bestari diangkat
menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat
perlakuan yang adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yang berada di sebelah depan rumah dan
menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di
“tampunak”. Karena itu ada falsafah yang berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni
pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yang cepat aus
menandakan bahwa tangga tersebut sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yang punya rumah
adalah orang yang senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tersebut
ramah. Tangga tersebut dinamai dengan “Tangga rege-rege”.
Gorga
Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka
rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera
Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang
asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang
rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di
samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda
kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda
tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian,
alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat
tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama,
beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya.
Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan berteduh dari
hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai filosofi yang dapat
dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.
Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yang
mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-
hari, dalam rangka pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yang terkandung didalamnya sebagai bentuk
cagar budaya, yang diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat
diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta