Anda di halaman 1dari 3

Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk, struktur, dan cara

pembuatannya diwariskan secara turun menurun dan dapat dipakai untuk melakukan
aktivitas kehidupan dengan sebaik baiknya. Bangunan tradisional Batak Karo
memperlihatkan saat itu telah menggunkan konsep membangun yang menyesuaikan diri
dengan iklim tropis lembap. Ini dapat dilihat dari sudut kemiringan atap yang cukup besar,
teritisan yang lebar dan lantai bangunan yang diangkat dari muka tanah.

Rumah adat Karo terkenal kerena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial budayanya.
Rumah Adat Karo memiliki kontruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua
kompenen bangunan seperti tiang, balok, kolam, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap
utuh seperti aslinya tanpa adanya melakukan penyurutan atau pengolahan. Pertemuan
antar komponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat
menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah,
bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalam setengah meter,
dialasi dengan beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat karo berbentuk
panggung dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 m dari timur
ke barat dengan pintu pada kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan rumah adat
karo biasanya mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka
semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture.
Biasanya membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu
rumah mengenai besar, tempat dan hal hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan
tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan
menggambil kayu ke hutan mereka menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon
kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan penjaga hutan
agar jangan murka kepada mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah.
Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat
agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh Yang Maha Kuasa agar tidak terjadi hal
hal yang buruk.

Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak
keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru sebelum rumah itu ditempati.
Mereka akan mempimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni maupun tidak.
Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah baru (pesta memasuki
rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas semua batu tersebut kepada saudara-
saudara dan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama pada
kerabat, kenalan dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan
acara ngerana (memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak berkompeten
seperti : kalimbubu anak beru dan senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar
untuk rumah baru guru akan menepung tawari bagian-bagian tertentu dari rumah
tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam
rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menepati rumah tersebut. Acara
lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal
jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut. Gendang tersebut juga menunjukkan
rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.
Keberadaan rumah adat Karo juga tak terlepas dari pembentukan kuta (kampung) di tanah
karo yang berawal dari barung, kemudian menjadi talun, dan menjadi kuta dan di
dalam kuta yang besar terdapat kesain. Pada sebuah barung biasa nya hanya terdapat
sebuah sebuah rumah sederhana, ketika sebuah barung berkembang dan sudah terdapat 3
rumah di dalamnya disebut dengan talun dan bila telah terdapat lebih dari 5 rumah adat
disebut sebagai kuta ketika kuta sudah berkrmbang lebih pesat dan lebih besar maka kuta
dibagi atas beberapa kesain (halaman/pekarangan), disesuaikan dengan merga-merga yang
pertama menteki (mendirikan ) kuta tersebut.
Struktur bangunan rumah adat karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagian dunia atas,
badan rumah sebagai dunia tengah dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa karo
disebut dibata atas, dibata tengah, dan dibata teruh (allah atas, allah tengah dan allah bawah).
Pembagian anatomi rumah adat karo menggambarkan dunia atas tempat yang disucikan,
dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak
untuk tempat binatang peliharaan, yang dalam kepercayaan suku Karo disukai oleh Tuhan
banua koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak menganggu kehidupan
manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya yang
sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan,
pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai
memasuki rumah. Semuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau
sebagai korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo
akan  kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.
Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang
penempatan jabunya di dalam rumah  diatur menurut ketentuan adat dan di dalam rumah
itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat
Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan
rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai
kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah
adat.

Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat besar, terdiri
dari empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap unit keluarga besar (jabu) atau
untuk dua jabu. Oleh karena itu antara empat sampai dua belas keluarga dapat tinggal
dirumah tersebut dan dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang
(suami, istri dan tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh dua puluh
sampai enam puluh orang. Anak-anak tidur dengan orang tua sampai menjelang usia
dewasa, pada pria dewasa (bujangan) tidur dibale-bale lumbung dan para gadis bergabung
dengan keluarga lain dirumah lainnya.
Rumah adat Batak Karo berukuran 17 x 12 m² dan tingginya 12 m² bangunan ini simetris
pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit
untuk membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun
dengan enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunungan atau sungai.
Delapan dari tiang-tiang ini menyanga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya
penyangga lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap kedua pintu
masuk dan kedelapan jendela dipasang diatas dinding yang miring, di atas lingkaran balok.
Tinggi pintu kira-kira 1,5 m hal ini membuat orang yang masuk ke dalam harus
menundukkan kepala dan jendela ukuran nya lebih kecil. Pintu mempunyai daun jendela
tunggal.

Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari
susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada
sebuah kerangka dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon
aren atau bambu. Bubungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm.
bagian terendah dari atap pertama dibagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar
pada semua dinding dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dinding atap yang
menonjol ditutup dengan tikar bambu yang sangat indah.

Fungsi utama dari ujung atap yang menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap keluar
dari tunggku dalam rumah. Pada bagian depan dan belakang rumah adalah panggung
besar yang disebut ture kontruksinya sederhana dari potongan bambu melingkar dengan
diameter 6 cm. Panggung ini digunakan untuk tempat mencuci, menyiapkan makanan,
sebagai tempat pembuangan (kotoran hewan) dan sebagai ruang masuk utama. Jalan
masuk menuju ture adalah tangga bambu atau kayu

Anda mungkin juga menyukai