Anda di halaman 1dari 15

1.

a) Arsitektur Otentik Desa Kete’ Kesu Rumah Tongkonan

Arsitektur Toraja adalah salah satu arsitektur yang ada di Indonesia yang memiliki ciri
dan karakteristik yang khas dan berbeda. Rumah Tongkonan adalah rumah asli suku
Toraja. Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia.

● Lokasi

Desa Kete Kesu terletak 4 km di bagian


tenggara Rantepao, Kete Kesu terdiri
dari padang rumput dan padi yang
mengelilingi rumah adat Tana Toraja,
yaitu Tongkonan. Tidak hanya terdiri
dari 6 Tongkonan dan 12 lumbung padi,
Kete Kesu juga memiliki tanah
seremonial yang dihiasi oleh 20 menhir.

● Tongkonan

Rumah adat Toraja disebut Tongkonan (tongkon=duduk). Tongkonan harus


menghadap ke utara, karena menurut ajaran Alluk Todolo kepala rumah harus berimpit
dengan kepala langit (Ulunna langi’) sebagai sumber kehidupan. Bangunan terbagi atas
tiga bagian, yaitu:

1. Ulu Banua (atap rumah) simbolisasi dari dunia atas,

2. Kalle Banua (badan rumah) simbolisasi dari dunia tengah, dan

3. Sulluk Banua (kaki/kolong rumah) simbolisasi dunia bawah.

● Pola Pemukiman

Perkampungan suku Toraja


mengikuti pola berbanjar dua.
Halaman yang memanjang di
antara deretan tongkonan dan
alang disebut uluba’bah.
Uluba’bah sebagai pusat
kesatuan lingkungan. Di
halaman ini dilaksanakan
segala aktivitas keluarga
serumpun yang menyangkut
upacara adat.

Dalam pola pemukiman Toraja


terdiri atas tongkonan (rumah)
dan alang (lumbung) yang
dibangun berhadapan dan dianggap sebagai pasangan suami istri. Rumah tertua
berada di ujung arah matahari tenggelam atau
barat, dan berturut-turut ke arah mata hari terbit
yang lebih baru dari sebelumnya. Sebuah
tongkonan dapat saja berpasangan dengan
beberapa alang, tergantung pada luasnya areal
persawahan milik rumpun keluarga tersebut.

Bila dereten tongkonan dipandang sebagai


unsur pertama dalam kompleks rumah adat
Toraja, deretan lumbung atau alang sebagai
unsur ke dua, halaman di antara kedua deretan
sebagai unsur ke tiga, maka unsur ke empat
adalah kuburan. Kuburan berada di belakang dari deretan tongkonan, berupa tebing.

● Susunan Ruang

Ruang dalam tongkonan terdiri atas 3 bagian. Ruang di bagian depan (utara)
disebut tangdo’, berfungsi sebagai ruang istirahat dan tempat tidur bagi tamu
keluarga, sedang fungsi religiusnya sebagai tempat untuk melaksanakan upacara
pengucapan syukur. Ruang tengah disebut sali’, lebih luas dan agak rendah dari
ruang lainnya, berfungsi sebagai dapur, tempat makan dan musyawarah keluarga.
Bila ada orang mati yang sedang dalam proses pelaksanaan upacara pemakamanya
maka biasanya ditempatkan di ruang ini. Sedang ruang belakang (selatan) atau yang
disebut dengan sumbung, dipergunakan untuk tidur oleh anggota keluarga.
● Konstruksi Tongkonan

Sebagaimana umumnya rumah tradisional lain Tongkonan pun memanfaatkan


sumber daya alam setempat, seperi batu kali, kayu, bambu, rotan, dan ijuk. Di bagian
sulluk banua pondasi rumah adat Toraja menggunakan batu kali yang diletakkan diatas
tanah, dimana tiang-tiang bangunan berdiri bebas diatasnya. Jumlah tiangnya banyak
dengan modul rapat, sehingga terkesan sangat kokoh. Tiap tongkonan mempunyai dua
jenis tiang dengan fungsi berbeda, yaitu tiang garopang dan tiang lentong alla. Tiang
garopang berfungsi memikul beban konstruksi atap, sedang tiang lentong alla fungsinya
hanya menopang balok lantai.

Konstruksi rumah adat Toraja merupakan satu kesatuan yang utuh dan tahan
gempa. Sistem hubungan tiang dan balok disebut silongko (berkaitan) dan siamma
(jalur) yang diperkuat dengan pen, alur, dan pengikat rotan.
Tiang lentong alla terdiri atas 24 tiang berukuran 8x8 cm. Jumlah tiang
garopang 8 tiang berukuran 15x15 cm. Sedangkan untuk menahan berat anjungan
atap terdapat 2 tiang penopang yang disebut Tulak Somba. Tiang kayu berukuran
25x35 cm ini ditempatkan di depan dan belakang tongkonan. Pada tongkonanan
adat, Tulak Somba menjadi tempat menggantung tanduk-tanduk kerbau. Deretan
muka dan belakang tongkonan harus bertiang ganji (5 atau 7 tiang) dengan modul
0,64m.

Di dalam ruangan terdapat tiang utama, disebut A’riri Posi (tiang pusat), yakni
tiang tengah antara ruang sali dan sumbung. Tiang ini hanya ada pada tongkonan
yang berfungsi adat. Keseluruhan tiang-tiang lentong alla dan garopang diperkuat
oleh 3 susun balok pipih yang menusuk ke dalam tiang kearah kiri-kanan, depan dan
belakang rumah. Balok-balok ini disebut roroan tangnga kearah lebar dan roroan
sa’da ke arah panjang. Terakhir dipasak balok-balok tangdan yang berfungsi
mengikat seluruh tiang lentong alla dan garopang kearah panjang dan lebar
bangunan. Balok tangdan adalah tempat meletakkan papan lantai. Lantai tongkonan
memakai papan yang terbuat dari kayu uru.
Bagian kalle banua dimulai dari pemasangan 4 balok panggosokan di atas
balok tangdan. Dua balok penahan dinding samping kiri-kanan disebut panggosokan
sa’da, dan dua balok penahan dinding depan dan belakang disebut panggosokan
tangnga.

Pada tepi atas dinding keliling rumah dipasang 4 balok samborinding sebagai
pengikat. Konstruksi dinding diperkuat oleh tiang-tiang sangkinan rinding yang
terletak vertikal antara panggosokan dan samborinding. Ke arah horizontal diperkuat
balok peassa yang mengikat sangkinan rinding. Dinding rumah berupa papan-papan
dipasang dengan sistem jalur (siamma) pada sangkinan rinding.

Posisi pintu terletak dibagian kolong sebelah kanan dengan besaran pintu
berukuran kecil 60cm x 60cm. Jendela-jendela berukuran kecil dan sedikit. Ukuran
pintu dan jendela menyesuaikan dengan kondisi iklim lingkungan Toraja yang
dingin. Tangga pada rumah tongkonan umumnya berjumlah ganjil. Hal ini sesuai
dengan pandangan bilangan genap kurang baik artinya.
Pekerjaan atap (Ulu Banua) diawali dengan memasang 4 buah balok sangka’
melintang di atas ruang, dan tempat bertumpuhnya tiang-tiang bubungan.
Penonjolan atap bagian depan dan belakang rumah yang disebut longa
mengakibatkan konstruksi kuda-kuda yang sulit. Longa ditopang oleh 2 tiang tulak
somba. Selain itu, terdapat kayu book tempat melekatnya tulang-tulang atap serta 4
tiang bubungan (petuo). Kemudian di pasang kayu palele’ tempat mengikat
tarampak, dan rampanan papa tempat melekatnya atap. Penutup atapnya dari
belahan bamboo yang disusun bertumpuk berbalikan dan ditusuk bambu kecil,
sehingga membentuk lembaran atap. Selanjutnya dipasang penutup bubungan
rumah berupa susunan bamboo yang dipecah-pecah dengan dilapisi ijuk sebagai
penahan air hujan.

● Alang (Lumbung)

Bangunan tempat menyimpan padi disebut Alang, berhadap-hadapan dengan


tongkonan mengapit halaman Ulu’babah. Alang menjadi simbol status sosial
ekonomi pemiliknya. Semakin banyak Alang yang dimiliki suatu keluarga maka
semakin tinggi status sosialnya. Alang juga terbagi tiga bagian yaitu ullu (kepala),
kalle (badan), dan suluk (kaki).
Bangunan Alang ditopang oleh 4,6,8, sampai 12 tiang
bulat dari kayu banga atau batang lontara’. Jumlah tiang ini
juga berhubungan dengan tingkatan sosial si pemilik. Alang
untuk kasta Tana’ Karurung hanya boleh memakai 4 tiang.
Alang bertiang 12 diperuntukan bagi golongan Puang.
Bagian atas Alang berupa ruang tertutup dipakai sebagai
lumbung padi. Dindingnya dari papan-papan yang
berukiran dan memiliki sebuah pintu kecil di dinding depan
untuk memasukkan dan mengeluarkan padi. Bagian kaki
dimanfaatkan untuk bersantai dan menerima tamu, dengan
membuat lantai papan setinggi 60-75 cm dari tanah.

● Ragam Hias

Bagi suku toraja kesenian mengukir lahir sejalan dengan berkembangnya


peradaban. Pengaruh kesenian Hindu-Jawa melahirkan inovasi ragam hias yang
terukir indah pada badan bangunan tongkonan dan alang. Ukiran dan pewarnaan
dikerjakan sebelum dipasang. Warna-warna yang dipakai yaitu merah, putih, kuning,
dan hitam. Keempat warna dasar itu berasal dari bahan alam asli (arang, kapur,
sumba, dan tanah), yang masing-masing memiliki makna spiritual.

Secara garis besar terapat empat jenis ukiran asli Toraja, yaitu:

1. Garonto Passura’: empat ukiran dasar lambing kearifan hidup suku Toraja,
2. Passura’ Todolo: ukiran tua lambang tata acara persembahan kepada leluhur,

3. Passura’ Malolle’: ukiran lambing pergaulan dan kemajuan masyarakat,

4. Passura’ Pa’barean: ukiran lambing kegembiraan.

Bangunan toraja banyak menggunakan ragam hias yang melukiskan


simbol-simbol dari benda langit, flora, fauna. Contohnya ialah:

● Pa’barre allo yang berbentuk matahari melambangkan hidup manusia yang


bersumber dari Tuhan Pencipta semesta alam.

● Pa’daun bolo yang berbentuk daun sirih ditempatkan di dinding depan sebagai
penghormatan kepada Deata-Deata.

● Kabongo’ yaitu kepala kerbau belang hitam putih. Pada patung ini dipasang
tanduk kerbau asli dan ditempatkan pada dinding depan dan belakang
tongkonan. Sebagai simbol pemegang kekuasaan, kekayaan, dan kemakmuran.

● Pa’manuk londong yang berbentuk ukiran kepala ayam jantan sedang berkokok
ditempatkan di atas Kabongo’. Sebagai simbol norma dan aturan-aturan dalam
masyarakat yang harus dipatuhi.

● Pa’tedong ukiran seekor kerbau yang sedang berdiri. Ditempatkan pada semua
papan sangkinan rinding yang melambangkan keharusan bekerja untuk
mencapai kemakmuran.
● Pa’bulintang siteba yang berbentuk katak melompat diletakkan di sudut dinding
depan tongkonan yang bermakna manusia harus selalu berusaha agar dapat
hidup layak.

● Pa’ssussuk berupa garis-garis sejajar, yang diukir pada seluruh dinding


tongkonan dan alang. Mengandung makna adanya asas demokrasi dalam hidup
bermasyarakat, dimana semua orang punya hak dan kewajiban yang sama.

● Passura’ Pa’kadang Pao, yaitu ukiran yang melambangkan kemampuan


mencari sesuatu.
● Passura’Pa’Tangke Lumu, yaitu ukiran yang berbentuk lumut melambangkan
hubungan sosial masyarakat.

Terdapat 4 ukiran dasar Garonto Passura’ yang harus ada pada Tongkonan
Layuk dan Tongkonan Pekaindoran, yaitu pa’barre allo, pa’tedong, pa’manuk
londong, pa’sussuk.

b) Arsitektur Eksotik Masjid Jami Sumenep

● Sejarah

Pembangunan Masjid Jamik dimulai pada tahun 1198 H (1779 M) dan selesai
pada tahun 1206 H (1787 M). Pada masa pembangunannya hidup berbaur berbagai
etnis masyarakat yang saling memberikan pengaruh. Dapat dilihat dari adanya
unsur-unsur budaya yang ada pada arsitekturnya, diantaranya unsur Islam, Hindu, Cina,
dan Eropa. Tujuan dibangun Masjid sebagai tempat peribadatan dan sebagai penanda
telah masuknya agama islam di lingkungan Keraton Sumenep.

● Bentuk & Design Bangunan

Bentuk bangunan Masjid Jamik Sumenep dibangun dengan referensi


bangunan masjid di Jawa yaitu Masjid Demak dan Masjid Agung Surakarta.
Penggunaan atap tajug bertumpuk dua dan tiga.

Menara memiliki bentuk atap


persegi enam dengan kombinasi bentuk
kubah. Bentuk atap yang bagian ujungnya
menuju ke atas yang dimaksud mengarah
hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menara Masjid Jamik dengan bentuk
mustaka, perletakkan pada bangunan peribadatan, bentuk dasar segi yang semakin
keatas semakin mengerucut terinsiprasi dari bentuk pagoda.

Gapura memiliki bentuk atap kubah yang melengkung pada bagian ujungnya.
Bentuk atap gapura Masjid Jamik yang merucut keatas melambangkan ketuhanan.
Ujung atap melengkung diambil dari bentukan ranting cemara. Bentukan dinding
samping seperti tangga.

Ragam hias yang terdapat pada mimbar, maksurah dan mihrab adalah
bentuk tumbuhan bunga hutan yang melambangkan keanekaragaman kehidupan.
Ragam hias motif tumbuhan yang terdapat pada pintu merupakan motif tumbuhan
Bunga China yang melambangkan keikhlasan hati. Ragam hias yang terdapat diatas
pintu merupakan tulisan Tionghoa 卍 wan yang memiliki arti tak terhingga, lambang
tersebut digunakan oleh aliran Buddha. Ragam hias pada menara berbentuk
Kelelawar melambangkan keberuntungan, kebahagiaan dan panjang` umur.
● Tata Ruang dan Fungsi Ruang`

Masjid Jamik berfungsi


sebagai tempat untuk ibadah,
dakwah dan kegiatan agama.
Ruang-ruang pada Masjid
Jamik berupa serambi depan,
serambi kanan, serambi kiri,
ruang utama, tempat wudhu,
toilet, takmir, dan pe
dopo. Serambi kanan berfungsi
sebgai ruang shalat untuk pria.
Serambi kiri berfungsi untuk
ruang shalat untuk wanita.
Serambi depan berfungsi
sebagai ruang shalat dan
ceramah.

Fungsi ruang pada menara sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan.

Ruang pada gapura terdiri dua ruang penjaga dan pada bagian atas gapura
terdapat ruang penyimpanan bedug. Ruang penjaga pada bangunan gapura tersebut
bukan lagi berfungsi sebagai tempat untuk penjaga tetapi sebagai tempat
penyimpanan barang.
● Konstruksi

Ruang utama ditopang oleh 13 tiang, yaitu satu tiang ditengah-tengah ruang,
empat tiang di utara, empat tiang di timur, empat tiang di selatan dan empat tiang di
barat. Ketigabelas tiang berbentuk silinder dibuat dari semen dan mempunyai hiasan
susunan pelipit rata dan setengah lingkaran berbentuk segi delapan di tubuh dan
puncaknya. Jumlah pilar yang terdapat didalam bangunan berjumlah 13 yang
mengartikan rukun shalat. Pada keempat serambi terdapat 28 tiang berbentuk bulat
tingginya 4,2 m. Pada puncak tiang terdapat hiasan pelipit rata dan setengah
lingkaran berbentuk segi delapan. Antara tiang dihubungkan lengkung penopang
atap serambi.

Mimbar, mihrab, maksurah berupa tiang pilaster semen dihias dengan tegel
keramik seluruh permukaannya. Mimbar, mihrab dan maksurah berada dalam satu
massa bangunan menyimbolkan bahwa harus seimbang antara urusan dunia, tuhan
dan ilmu pengetahuan.

Terdapat dua macam bentuk atap Masjid


Jamik, yaitu bentuk atap tajug tumpuk dua pada
serambi dan atap tajug tumpuk tiga pada ruang
utama. Pada bagian atap menggunakan konstruksi
kayu jati dengan penutup atap pada serambi
menggunakan genteng tanah liat sedangkan pada
ruang utama menggunakan seng berwarna hijau. Pada bagian puncak atap ketiga
terdapat mustaka. Hiasan tersebut dari tanah liat yang dicat warna emas. Bentuk
atap tajug setiap tumpuknya memiliki perlambangan yang berbeda jika dikaitkan
dengan agama, tajug tumpuk satu melambangkan iman, tajug tumpuk dua
melambangkan islam dan tajug tumpuk terakhir melambangkan ikhsan.

Konstruksi bangunan Masjid Jamik, gapura dan menara sebagian besar


sudah menggunakan material yang modern yaitu penggunaan batu kapur sebagai
penutup dinding dengan sistem konstruksi satu bata. Konstruksi lantai sudah
diperkeras dan menggunakan plesteran dan keramik.

Anda mungkin juga menyukai