Anda di halaman 1dari 13

1.

Faktor-faktor yang mempengaruhi morfologi arsitektur tradisional di Nusantara


 Agama
Masuknya agama Hindu dan Budha banyak meninggalkan bangunan maupun budaya yang
sangat mempengaruhi bentuk arsitektur bangunan di Indonesia, seperti Candi Borobudur,
artefak dan benda bersejarah lainnya. Lalu masuk agama Islam ke Indonesia yang banyak
memberikan dampak pada bentuk arsitrektur bangunan, masuknya Islam tersebut tidak berarti
kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Indonesia mengalami proses akulturasi (proses
bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling
mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia.
 Budaya dan Adat istiadat atau Tradisi sehari-hari
Indonesia atau Nusantara merupakan kepulauan yang menjadi silang budaya pergerakan
manusia pada abad-abad pra sejarah. Persilangan tersebut pada akhirnya membentuk suatu
persebaran budaya yang beraneka ragam. Budaya lokal dalam arsitektur nusantara memberikan
ciri khas pada bangunan-bangunan di setiap daerah di Indonesia.
 Filosofi dan cara pandang hidup dari tiap suku
Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun
budaya. Setiap bangunan di Nusantara memiliki makna dan filosofi yang erat kaitannya dengan
budaya dan tradisi. Seperti bangunan rumah Joglo menerapkan nilai filosofi Jawa pada setiap
bagiannya, Salah satu ciri khas rumah Joglo adalah pintu rumah yang terletak di tengah. Pintu
utama ini dibangun sejajar dengan ruangan yang berada pada bagian belakang rumah. Filosofi
dari pintu rumah yang terletak di tengah adalah keterbukaan serta kedekatan antara penghuni
rumah dengan tamu.
 Iklim
Adaptasi terhadap iklim mempengaruhi penentuan bentuk pada arsitektur (Rapoport, 1969
dalam Said dan Aufa, 2012). Rapoport menguraikan bahwa aspek mendasar dalam mengatasi
permasalahan iklim ada pada kemampuan masyarakat melakukan pemilihan tapak, material
yang sesuai dengan iklim lokal, menggunakan sumber daya minimum untuk mendapatkan
kenyamanan maksimum, dan adaptasi model tradisional terhadap kondisi iklim. Seperti
penggunaan atap joglo pada rumah tradisional jawa dengan atap sosoran pada Bagian depan
memberi keuntungan dalam hal pengaliran air hujan pada iklim tropis di Indonesia.
Morfologi Bangunan Tradisional Sunda
Masyarakat Jawa Barat di kenal sebagai masyarakat yang agamis dan dekat dengan alam, salah satu
perwujudannya terlihat dari rumah adat Jawa Barat atau Sunda tersebut. Selain tempat bernaung dan
berlindung dari hujan dan terik matahari, rumah adat juga adalah sebagai perwujudan budaya dan
tradisi dari suatu wilayah, suku, ataupun ras itu sendiri.
1. Pola Pemukiman
Posisis atau tata letak bangunan suku Sunda mempunyai sebuah filosofi atau kepercayaan orang
sunda. Filosofi rumah adat suku Sunda yaitu arah matarahi terbit adalah arah yang baik untuk
mentukan posisi rumah. Hal ini akan mengingatkan kita pada arah kiblat sesuai dengan arah
matahari terbenam. Seperti rumah adat Sunda di permukiman Kampung Naga berorientasi ke Utara
dan Selatan yang berderet ke arah Timur-Barat.

2. Tipe Bangunan
Menurut Badudu (1982:44-46) rumah adat Sunda dibagi menjadi dua tipe bangunan:
a. Tipe rumah untuk keteduhan, banyak tersebar di daerah-daerah datar dan pantai di Jawa Barat.
Ciri-ciri bangunan untuk keteduhan ini adalah :
 Lantai rumah langsung beralaskan tanah
 Di sekeliling rumah terdapat serambi yang
memberi keteduhan inti rumah.
 Serambi depan dapat berbentuk pendopo
dengan bubungan atap yang terpisah.
 Inti rumah terbagi menjadi beberapa ruangan
yang simetris kiri dan kanan yang digunakan
sebagai tempat menerima tamu serta kamar
tidur keluarga.
 Bentuk atapnya, umumnya pelana atau limas yang merupakan pengaruh dari bentuk atap
rumah Tradisional Jawa.
 Bahan bangunan untuk dinding lerbuat dari kayu atau bambu dengan atap terbuat dari daun
alang-alang atau daun enau. Tetapi sekarang banyak warga yang memakai batu bata untuk
dinding dan genting untuk atap.
b. Tipe bangunan untuk kehangatan, tersebar di daerah-daerah bukit dan pegunungan, khususnya
di daerah Sunda Priangan. Ciri-ciri bangunan untu kehangatan ini adalah :
 Rumah memiliki bentuk yang kompak,
dengan serambi kecil yang terbuka, inti
lebih sering tidak terbagi. Dapur termasuk
sebagai ruang berkumpul keluarga.
 Rumah dibangun di atas umpak atau rumah
panggung dengan tinggi 40 cm – 60 cm.
 Rumah inti ada bangunan lumbung padi
(Ieult), kandang ternak, pendopo
menumbuk padi, kolam ikan (balong) dan
bagi orang berada juga memiliki bangunan mushola kecil di dekat kolam ikan.
 Bahan bangunannya secara tradisional terbuat dari kayu atau bambu sebagai bahan
kerangka dan dinding. Untuk atap pada umumnya menggunakan ijuk.
3. Bentuk Atap
Dari segi bentuk atapnya rumah adat Sunda dibagi menjadi 5 (lima) bentuk atap. Diantaranya
(Muanas, dkk. 1984: 29-35):
a. Suhunan Lurus (Suhunan Jolopong) Dalam bahasa Sunda. Istilah Jolopong memlliki arti tergolek
lurus. Bentuk atap suhunan lurus (suhunan jolopong) adalah bentuk atap pelana.
b. Sikap Anjing sedang Duduk (Togo Anjing/tagog Anjing) Bentuk atap sikap anjing sedang duduk
(jogo anjing/tagog anjing) terbentuk karena ada pengaruh kebudayaan Jawa (Mataram).
c. Badak Bermulut Menganga (Sadak Heauy) Bangunan dengan atap bentuk badak bermulut
menganga (badak heuay) sangat mirip dengan bentuk atap togo anjing/tagog anjing.
Perbedaannya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap Ini langsung lurus ke atas
melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan rambu.
d. Perahu Tengkurab (Parahu Kumureb) Bentuk atap ini memliki empat buah bidang atap
menyerupai bentuk atap limasan. Bentuk atap parahu kumereb disebut bentuk atap jubleg
nangkub (Iesung yang menelungkup).
e. Sikap Burung Julang yang Merentangkan Sayap (Julang Ngapak) Bentuk atap julang ngapak
adalah bentuk atap yang melebar di kedua bidang sisi bidang atapnya. Jika dilihat tampak
depan, bentuk atap rumah menyerupai sayap burung julang (nama sejenis burung) yang sedang
merentang sayapnya.
2. Teori Perencanaan Kota Good City Menurut Kevin Lynch
Menurut Lynch di buku A Theory of Good City Form (1981), ada beberapa faktor utama yang
perlu diperhatikan dalam menghadirkan kota yang ideal, yang disebut sebagai dimensi
(dimensions). Dimensi tersebut yaitu:
a. Vital
Suatu kota dapat dikatakan vital atau memenuhi standar untuk hidup dan berkehidupan
didalamnya apabila memenuhi beberapa kriteria berikut:
a) Sustenance : Terkait kualitas, ketersediaan serta kecukupan air, udara, makanan, dan energi;
b) Safety : Terkait tingkat keselamatan yang dilihat dari keamanan terhadap pencemaran
lingkungan, wabah penyakit dan berbagai bahaya;
c) Consonance : Kesesuaian lingkungan dengan kebutuhan manusia terkait temperatur,
pergerakan, sensori, dan fungsi tubuh;
d) Kondisi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan dan keragaman genetik dari spesis-
spesis yang ditinjau dari segi ekonomi bermanfaat untuk manusia;
e) Terkait stabilitas keseluruhan komuniti ekologis saat sekarang dan pada masa yang akan
datang.
b. Sensible
Kepekaan rasa (sense) dalam suatu permukiman dapat dimiliki oleh seseorang apabila
telah terjalin suatu interaksi antara individu tersebut dengan permukiman yang dimaksud.
Kepekaan rasa sangat bergantung kepada kualitas dan bentuk ruang, namun selain itu juga
bergantung kepada budaya, sifat, kedudukan, pengalaman, dan tujuan tertentu dari individu
yang mengamatinya. Selain itu diperlukan juga adanya keselarasan antara aktivitas dan kondisi
fisik individu atau masyarakat, dengan bentuk serta ruang yang mewadahinya.
c. Well Fitted
Ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan “fit” atau tidaknya suatu kondisi adalah
bergantung pada tingkat kesesuaian dan keserasian antara prilaku / aktivitas sehari-hari, baik
yang spontan maupun yang terencana, dengan situasi dan kondisi ruang yang mewadahi
aktivitas tersebut. Kemampuan dalam menserasikan dan mendidik setiap individu untuk dapat
mempergunakan ruang-ruang kota dengan tepat, menjadi sangat penting dalam perbaikan &
pencapaian suatu kondisi yang “fit”. Lahan atau ruang kota yang dimanfaatkan tidak sesuai
dengan fungsinya, adalah contoh dari adanya penyimpangan terhadap kriteria ini.
d. Accessible
Tiga hal penting terkait akses adalah:
1) Keragaman akses,
2) Keadilan akses bagi tiap-tiap kelompok yang berbeda dalam suatu populasi, dan
3) Pengontrolan sistem akses itu sendiri.
Penekanan point ketiga adalah lebih kepada pelaksanaan kontrol sosial. Akses juga berkaitan
dengan pendidikan, produktivitas ekonomi, pengetahuan terkait sistem sosial & analisis dampak
psikologi dari suatu kota. Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut saya, kemiskinan di
perkotaan secara jelas telah menunjukan adanya keterbatasan akses bagi warga miskin, baik
untuk akses pendidikan, hunian, layanan kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.
e. Well Controlled
Suatu kota dapat dikatakan baik, apabila memiliki pengontrolan yang pasti, responsif,
serasi dengan penghuninya (baik untuk konteks waktu saat ini, maupun yang akan datang), dan
sesuai dengan struktur permasalahan yang ada di lokasi tersebut. Ukuran-ukuran yang
menentukan dan mempengaruhi suatu pengontrolan, bergantung pada konteks sosial &
lingkungan dari tiap-tiap permukiman. Pengontrolan harus cermat & efektif dalam menentukan
suatu penegasan, penyesuaian, toleransi & adaptasi. Apabila pengontrolan tidak cermat, maka
yang akan terjadi adalah melemahnya fungsi kontrol, dan berdampak pada terjadinya sejumlah
penyimpangan atas sejumlah aturan & norma yang telah ditetapkan. Hal-hal tersebut juga
terkait erat dengan peran dari pangkat, jabatan, kekuatan & pengaruh sejumlah pihak di dalam
suatu lokasi tertentu.
d. Efficiency & Justice
Efisiensi adalah suatu ukuran standar keseimbangan yang menghubungkan tingkat
keberhasilan pada beberapa kinerja tertentu dengan suatu kegagalan pada beberapa kinerja
yang lain. Efisiensi juga dapat diartikan sebagai suatu keseimbangan antara sesuatu yang
diperoleh dengan sesuatu yang dikeluarkan. Tolak ukurnya bisa bermacam-macam, diantaranya
adalah terkait korelasi antara biaya dengan sejumlah manfaat atau antara biaya dengan nilai-
nilai tertentu. Efisiensi juga berhubungan dengan persoalan lingkungan, penggunaan dan
pengolahan energi, sumber-sumber materi, kinerja politik, dan dampak-dampak serta sejumlah
manfaat terkait suatu kondisi psikologi tertentu. Untuk menjaga agar prinsip efisiensi dapat
berjalan dengan baik, maka diperlukan suatu instrumen untuk melindunginya. Instrumen
tersebut adalah nilai keadilan. Nilai tersebut terkait erat dengan persoalan keseimbangan &
persamaan hak maupun kewajiban bagi tiap-tiap orang, terkait hubungannya didalam suatu
masyarakat atau antar kelompok masyarakat. Pada prakteknya, keadilan juga terkait dengan
penentuan batas-batas kebebasan dalam bertindak dan penegakan hukum dalam menjaga hak
individu, kelompok & kepentingan umum.

Perubahan Kota Bandung yang Terjadi dari Masa Kolonial Sampai Saat I ni
1. Bandung dari Pembentukan Hingga Awal Abad ke-20 (1641 – 1909)
Kota Bandung pada masa
pemerintahan Hindia Belanda
merupakan sebuah gemeente
(setingkat kotapraja) yang berada di
bawah keresidenan bernama
“Preanger Regentschappen”.
Keresidenan ini terletak di sebelah
barat Pulau Jawa, meliputi wilayah
seluas 21.524 km2, atau sekitar satu
per enam luas Pulau Jawa (Mulyana,
2005: 41). Secara geografis Priangan terbagi menjadi wilayah barat, tengah dan timur. Wilayah
Priangan Barat terdiri dari Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, kemudian Kabupaten Bandung dan
Sumedang berada di Priangan Tengah, sementara Priangan Timur terdiri dari Kabupaten
Tasikmalaya, Ciamis, dan Garut. Keresidenan Priangan pernah beribukota di Cianjur, namun karena
beberapa sebab, mulai tahun 1864.
Baru setelah menjadi bagian wilayah administrasi Hindia Belanda, Keresidenan Priangan dibatasi
dengan konsep garis teritorial. Batas tersebut antara lain sebelah utara berbatasan dengan
Keresidenan Karawang, di sebelah barat dengan afdeeling Buitenzorg (Bogor), dan barat laut dengan
Keresidenan Batavia. Sementara di sebelah timur, Sungai Cimanuk membatasi wilayah Priangan
dengan Keresidenan Cirebon dan sebelah selatan langsung berhadapan dengan Samudera Hindia.
a. Terbentuknya Kota Bandung
Keberadaan Kota Bandung tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Kabupaten
Bandung karena secara geografis, wilayah kota Bandung pada mulanya merupakan bagian
Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung terbentuk pada tahun 1641 ketika Priangan diduduki
Mataram. Pembentukan Kabupaten Bandung ini tercantum dalam Piagam Sultan Agung
bertanggal 9 Muharam Tahun Alip atau tanggal 20 April 1641.
Setelah lebih dari tiga dasawarsa Bandung berada di bawah pengaturan administratif
Mataram, mulai dasawarsa kedelapan abad ke-17 atau tepatnya tahun 1677, Bandung beralih di
bawah pengaturan administratif VOC. Berdasarkan Peralihan kekuasaan dari Mataram ke VOC
segera mengubah penataan wilayah administratif yang diatur sebelumnya. Di masa awal VOC
berkuasa, wilayah Bandung termasuk dalam wilayah politik yang bernama Bataviasche
Ommelanden.
b. Perkembangan Bandung Hingga Awal 1900
Bandung sebagai sebuah wilayah administratif
baru yang terletak di pedalaman Jawa bagian Barat,
dalam perkembangannya kemudian mulai mendapat
perhatian manakala timbul gagasan untuk memindahkan
ibukota Keresidenan Priangan dari Cianjur. Gagasan
pemindahan ibukota Keresidenan Priangan pada tahun
1819 ini diungkapkan Andreas de Wilde. Dasar usulan ini
adalah agar daerah pedalaman Priangan bisa lebih cepat
berkembang sehingga tidak ketinggalan oleh
daerahdaerah lain yang ada di sekitar Batavia (Kunto,
1984: 15). Perkembangan Bandung yang sangat signifikan sejak menyandang status ibukota
Keresidenan Priangan, tidak hanya ditandai membaiknya berbagai infrastruktur, tetapi juga
ditandai oleh meningkatnya penduduk.
2. Perkembangan Kota Bandung Hingga Akhir Kekuasaan Kolonial (1909 – 1942)
Masa keemasan Bandung sebagai kota kolonial modern terjadi sepanjang periode permulaan
abad ke-20 hingga kejatuhan ekonomi tahun 1930. Pada masa keemasan ini, pembangunan semakin
gencar dilakukan dibandingkan masa awal kota Bandung abad ke-19. Tidak hanya itu, pertumbuhan
serta dinamika masyarakat Kota Bandung semakin metropolis dengan hiruk-pikuk aktivitas jasa,
perdagangan dan pusat-pusat hiburan. Iklan-iklan pariwisata di Bandung ramai melukiskan pesona
kota seperti pada semboyan Bandoeng Vooruit: “Don’t come to Bandoeng, if you left a wife at
home” (Kunto, 1986: 276). Semboyan ini menjadi metafora yang menggambarkan betapa cantiknya
Kota Bandung sehingga para pelancong akan ‘jatuh hati’ dibuatnya.
Sebagai daerah transit, perkembangan jasa akomodasi di Kota Bandung semakin meningkat pada
dekade kedua dan ketiga abad ke-20. Dalam majalah Mooi Bandoeng pada Desember 1933
diberitakan bahwa sampai tahun
tersebut di Kota Bandung telah
berdiri 41 hotel, dan terus
meningkat pada tahun-tahun
berikutnya.
Di sisi lain sektor jasa
transportasi juga berkembang dengan baik. Masyarakat Bandung umumnya menggunakan delman
dan sado sebagai sarana transportasi baik milik sendiri maupun sewaan, tercatat pada tahun 1903
jumlahnya kendaraan ini mencapai 687 buah. Delman dan sado juga menjadi sarana transportasi
wisatawan untuk berkeliling Kota Bandung. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penggunaan mobil
sebagai alat transportasi mulai ramai digunakan di Kota Bandung.
Di bidang transportasi pembangunan
di Kota Bandung sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, dilakukan melalui upaya-
upaya optimalisasi, khususnya optimalisasi
jalur kereta api. Perjalanan kereta api dari
Bandung menuju Batavia dan sebaliknya
melalui jalur kereta api baru lewat
Purwakarta dan Cikampek, sejak 1
November 1934 dapat ditempuh dalam 2
¾ jam (Kunto, 1984: 101).
3. Kota Bandung Masa Pendudukan Jepang 1942 – 1945
Pemerintahan militer Jepang yang menguasai bekas wilayah Hindia Belanda menjalankan ambisi
utamanya di negeri ini, yaitu memanfaatkan sumber daya untuk kepentingan perang. Bandung yang
sebelumnya identik dengan tempat peristirahatan dipegunungan, berubah menjadi kamp-kamp
penampungan.
Kota Bandung yang dahulu primadona bumi Priangan pun berubah menjadi penjara besar yang
merenggut kebebasan penghuninya. Tidak hanya orang-orang Eropa yang diperlakukan keji oleh
pemerintahan militer Jepang, pribumi yang dianggap sebagai masyarakat kelas dua juga sama malang
nasibnya.
4. Revolusi dan Pemulihan Ekonomi di Kota Bandung
Keadaan di Kota Bandung pada awal tahun 1947 dikabarkan masih sangat sunyi. Penduduk yang
pergi sejak malam pembumihangusan belum kembali dari pengungsian. Dapat dikatakan bahwa masalah
utama Kota Bandung pada waktu itu adalah kekurangan penduduk. Pasca perang mempertahankan
kemerdekaan yang ditandai dengan diakuinya kedaulatan Indonesia, upaya pemulihan ekonomi yang
hancur lebur saat perang memang tidak mudah. Upaya semacam trial error dilakukan guna membuat
roda perekonomian kembali berputar. Dekade 1950-an merupakan batu loncatan bagi Kota Bandung
untuk mempercantik diri menyambut tatapan mata dunia dengan rencana berlangsungnya perhelatan
internasional yaitu Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1950.
5. Kota Bandung Era Kontemporer 1968 – 2015
Geliat pembangunan Kota Bandung setelah menjadi tuan rumah Konferesi Asia Afrika, seperti
disinggung Haryoto Kunto, justru menjadi ‘semrawut’. Pembangunan infrastruktur dan kepadatan
penduduknya terus merapat ke tengah kota. Mulai dari kemacetan lalu lintas sampai pencemaran
lingkungan menjadi isu sehari-hari yang melekat dalam kehidupan orang Bandung. Padahal Kota
Bandung sejak tahun 1971 sudah memiliki rencana induk kota atau master plan sebagai tuntunan
membangun kota terencana. Di era kontemporer semangat pembangunan tumbuh kembali seiring
dikenalnya jati diri Kota Bandung sebagai kota kreatif.
Pembangunan infrastruktur disertai penggunaan teknologi
modern ditujukan untuk menjalankan fungsi kota pintar
(smart city).
Pertumbuhan jumlah penduduk dan bertambahnya
peranan serta fungsi kota yang semakin kompleks
merupakan alasan kuat perlunya pembangunan fisik Kota
Bandung untuk segera diperluas. Secara lebih spesifik,
pola pembangunan Bandung Raya pada wilayah pusat
(Kotamadya dan Kabupaten Bandung) yang tertuang
dalam Perda tersebut meliputi:
(1) Budidaya pertanian yang dikembangkan adalah
perkebunan, holtikultura dan hijauan makanan

ternak serta usaha peternakannya, adapun industri


secara selektif dikembangkan di sekitar Bandung;
(2) Lokasi pendidikan tinggi disebarkan di sekitar
Bandung antara lain di Jatinangor;
(3) Utilitas dan fasilitas perkotaan terutama sebagai
Ibu Kota Provinsi terus disempurnakan;
(4) Kota-kota pusat pertumbuhan dan Ibu Kota
Kabupaten dikembangkan dengan jarak yang
memadai di sekitar Kotamadya Bandung;
(5) Konservasi sumber daya alam dengan
mengusahakan pengembangan hutan di
bagian utara dan beberapa pegunungan
yang merupakan sumber air.

Salah satu proyek besar adalah Teknopolis yang diharapkan dapat menjadi Silicon Valley-nya
Indonesia di masa depan. Bandung telah menyiapkan lahan seluas 800 ha di wilayah Gedebage sebagai
proyek Teknopolis mendukung pembangunan smart city. Total investasi proyek itu mencapai sekitar 800
juta dollar AS (Pikiran Rakyat, 2014). Teknopolis memang bukan konsep baru. Pada 1970-an, gagasan itu
sempat diterapkan dengan membangun lokasi yang nyaman untuk pertumbuhan dan penyebaran
industri-industri baru.
Perencanaan Pemkot Bandung dalam membangun smart city yang terintegrasi, mendekati definisi ideal,
setidaknya dalam moda tranportasi massal, tersusun lengkap dalam master plan ‘Bandung Urban
Mobility Project’. Bandung merintis proyek besar smart city yang direncanakan rampung pada 2031.
Proyek besar tersebut fokus pada transportasi public dengan perencanaan yang dibentuk meliputi
berbagai hal yang mendukung hampir semua lini dalam masyarakat di antaranya:
(1) ‘Live, Work, Play’ merupakan strategi terpadu untuk segala kebutuhan masyarakat. Pada tahap awal,
demi mewujudkan kota terpadu yang perlu diperhatikan, yaitu kebutuhan perjalanan masyarakat
seperti ke tempat tinggal (perumahan), wisata (hiburan), pendidikan, dan lain-lain.
(2) Road Network, yaitu peningkatan prasarana/infrastruktur transportasi. Konsep ini bertujuan
memperkuat struktur jaringan jalan di Kota Bandung dengan meningkatkan kapasitas jaringan jalan.
(3) Public Transport yang merupakan pengembangan sarana angkutan umum berbasis angkutan umum
massal. Dalam pelaksanaannya, strategi yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan Sarana
Angkutan Umum Massal (SAUM).
(4) Technology and Behaviour.
DAFTAR PUSTAKA

 Sitti Wardiningsih. 2015. ARSITEKTUR NUSANTARA MEMPENGARUHI BENTUK BANGUNAN YANG


BERKEMBANG DI INDONESIA
 Anggle Nur IIham & Afriyanto Sotyan SB. 2012. TlPOLOGI BANGUNAN RUMAH TINGGAL ADAT
SUNDA DI KAMPUNG NAGA JAWA BARAT (Building Typology of Sundanese Traditional Houses at
Kampung Naga, West Java)
 https://lenteramata.com/rumah-adat-sunda/
 https://nauvalreferensi.wordpress.com/2011/01/11/teori-good-city-form/
 Eko Yulianto, Wahyu Dewati, Reiza D. Dienaputra, Yuswadi Saliya, Ardi Wibawa, Allan Akbar.2020.
GELIAT KOTA BANDUNG DARI KOTA TRADISIONAL MENUJU MODERN

Anda mungkin juga menyukai