Anda di halaman 1dari 10

PENGAMATAN ASPEK PRINSIP TEPAT GUNA PADA RUMAH

MAKAN DAGO PANYAWANGAN


Kevin Mochamad Oktafarel – 15217055
Program Studi Arsitektur
Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang penerapan arsitektur tepat guna di aspek ekologi, energi,
ekonomi, dan sosial/budaya pada Rumah Makan Dago Panyawangan, Kota Bandung
yang mengadaptasi konsep rumah adat tradisional sunda. Rumah tradisional merupakan
salah satu warisan budaya dari bangsa Indonesia yang sudah berkembang seiring waktu
hingga saat ini dan telah melewati berbagai macam uji coba sehingga dapat dipastikan
termasuk arsitektur yang tepat guna. Saat ini sudah banyak bangunan yang
mengadaptasi konsep dan bentuk dari rumah tradisional nusantara, khususnya Sunda,
salah satunya yakni rumah makan Dago Panyawangan yang mengadaptasi bentuk
maupun nilai dari bangunan tradisional Sunda. Tujuan dari pengamatan ini adalah
apakah rumah makan ini menerapkan prinsip tepat guna pada arsitekturnya. Untuk
memperoleh data, dilakukan pengamatan berupa observasi dan studi literature. Metode
yang digunakan yakni deskriptif analitis yang bertujuan untuk mendeskripsikan kata-kata
serta dilakukan penilaian kinerja sederhana yang terkonversi menjadi angka untuk
menentukan tingkat ketepatgunaan suatu bangunan. Hasil yang didapatkan yakni berupa
kesimpulan dari penilaian berbasis angka, yakni rumah makan Dago Panayangan
menerapkan prinsip tepat guna pada bangunannya dengan nilai di atas 50. Faktor utama
yang membuat bangunan ini tepat guna antara lain yaitu penggunaan material alami,
lokal, dan metode konstruksi yang juga menggunakan tenaga kerja lokal. Hal ini dilihat
dari sambungan bangunan yang menggunakan tali rotan sehingga instalasi pasti
dilakukan oleh tenaga manusia. Konsep arsitektur Sunda juga sesuai dengan letak
geografis dari rumah makan ini yang berada di Bandung, yang notabene mayoritas
adalah suku Sunda.

Kata kunci: arsitektur tepat guna, teknologi tepat guna, bangunan tradisional sunda

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku,
bahasa, dan agama. Kemajemukan ini terjalin dalam sebuah ikatan persatuan bangsa yang
utuh dan berdaulat, yakni bangsa Indonesia. Ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia,
yakni “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “beraneka ragam namun tetap satu”, juga
menjadi salah satu latar belakang yang membuat kemajemukan bangsa Indonesia dapat
bersatu dengan harmonis.
Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan salah satu kekayaan bangsa yang
jarang dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Terdapat lebih dari 1300 suku dan adat,
serta lebih dari 1000 bahasa yang tersebar dari sudut Pulau Sumatera hingga Papua.
Masing-masing suku bangsa di Indonesia pastilah memiliki kebiasaan, adat-istiadat,
kepercayaan, kebudayaan, hingga bangunan yang mereka tinggali dan kemudian menjadi
kebanggaan dan identitas suku tersebut. Kini, bangunan tempat tinggal khas dari masing-
masing suku yang ada di Indonesia dikenal dengan nama rumah adat tradisional.
Rumah adat tradisional merupakan salah satu warisan kearifan lokal yang dimiliki
oleh masyarakat Indonesia saat ini. Rumah-rumah tradisional di Indonesia memiliki
keistimewaan dari segi keberagaman bentuk dan gayanya sejajar dengan keistimewaan
dari segi adat-istiadat, bahasa, sastra, musik, tari, dan berbagai warisan lainnya. Masing-
masing rumah tradisional telah memperlihatkan karakteristik masing-masing yang telah
menjadi ciri khas kebudayaan suku bangsa tersebut, yang dapat dilihat dari material,
metode konstruksi, serta penggunaan tenaga kerja yang semuanya lokal. Hal ini dapat
diamati dari bentuk atap, bentuk bangunan, dan macam sambungan yang digunakan dan
dikembangkan oleh masyarakat setempat sehingga tidak heran apabila setiap rumah adat
tradisional di tiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing. Karena sumber daya
yang digunakan berasal dari daerah setempat atau lokal, maka rumah adat tradisional
dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk arsitektur yang tepat guna.
Salah satu rumah adat yang ada di Indonesia yakni rumah adat dari suku Sunda,
salah satu suku di Indonesia yang terletak di Jawa Barat. Arsitektur vernakular yang
berkembang di Jawa Barat adalah arsitektur yang mengadopsi dari rumah adat Sunda.
Saat ini sudah banyak bangunan yang mengadaptasi bangunan adat Sunda namun dengan
fungsi yang beranekaragam, salah satunya adalah rumah makan Dago Panyawangan.
Karena tipologi fungsi bangunan yang berbeda-beda ini, penulis ingin mengetahui apakah
prinsip tepat guna akan tetap ada apabila terjadi perubahan fungsi. Oleh karena itu,
penulis mengambil sebuah contoh kasus rumah makan yang benar-benar mengadopsi
rumah adat tradisional Sunda dan bagaimana prinsip tepat guna bekerja pada bangunan
itu. Bangunan yang akan dianalisis adalah rumah makan Dago Panyawangan yang
terletak di Dago Bawah, Kota Bandung, Jawa Barat.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut.
a. Apakah bangunan dari rumah makan Dago Panyawangan, sebagai bangunan yang
bergaya rumah adat Sunda, termasuk arsitektur tepat guna?
b. Bagaimana penerapan arsitektur tepat guna pada rumah makan Dago
Panyawangan?

1.3. Batasan Masalah


Agar pengamatan ini lebih terarah dan terfokus, penulis membatasi ruang lingkup
pengamatan hanya pada masalah sebagai berikut.
a. Ketepatgunaan bangunan Dago Panyawangan yang akan diukur adalah pada
aspek atau komponen ekologi, energi, ekonomi, dan sosial/budaya.
b. Penerapan arsitektur tepat guna pada bangunan Dago Panyawangan yang akan
diamati adalah pada aspek atau komponen ekologi, energi, ekonomi, dan sosial
budaya.

1.4. Maksud dan Tujuan


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk:
a. mengetahui apakah Rumah Makan Dago Panyawangan tepat guna atau tidak; dan
b. mengetahui bentuk penerapan arsitektur tepat guna pada Rumah Makan Dago
Panyawangan.

2. KAJIAN TEORI
2.1. Teknologi Tepat Guna
Teknologi tepat guna adalah teknologi yang sederhana, mudah digunakan, dan
dikelola masyarakat setempat dan memberikan efek positif pada masyarakat, serta
ditujukan untuk membantu memecahkan permasalahan kebutuhan manusia dan
lingkungan setempat. Indikator bahwa suatu teknologi dikatakan tepat guna yakni dapat
dilihat dari 4 komponen aspek performa/kinerja, yakni: komponen ekologi, energi,
ekonomi, dan sosial/politik/budaya. Oleh karena itu, teknologi tepat guna takkan lepas
dari aspek ekologi, energi, ekonomi, dan sosial/politik/budaya.

2.2. Arsitektur Tepat Guna


Arsitektur tepat guna adalah arsitektur – bangunan dan lingkungan binaan – yang
meliputi desain, wujud fisik, teknologi membangun, proses pemakainan dan
pemeliharaan bangunan, yang terbentuk berdasarkan kemampuan masyarakat setempat
dan dapar memberi manfaat positif yang semuanya ditujukan untuk pemenuhan
kebutuhan dan menjaga lingkungannya. Arsitektur tepat guna tentunya menggunakan
atau menerapkan teknologi tepat guna. Indikator bahwa sebuah karya arsitektur dikatakan
tepat guna yakni dapat dilihat dari 3 komponen aspek performa/kinerja, yakni: komponen
lingkungan (termasuk energi), ekonomi, dan sosial/politik/budaya.

2.3. Bangunan Adat Sunda


Konsep bangunan rumah Sunda yang berbentuk panggung memiliki filosofi
bahwa manusia tidaklah hidup di alam langit atau alam kahyangan dan juga tidak hidup
di dunia bawah, maka manusia harus hidup di pertengahannya dan tinggal di tengah-
tengah. Oleh karena itu konsep tersebut dituangkan dalam bentuk rumah panggung
sebagai realisasi nyata. Rumah dalam bahasa sunda juga disebut ‘bumi’ yang sama
dengan bumi tempat kita pijak. Ini mencerminkan bahwa rumah dalam adat Sunda lebih
dari sekedar tempat untuk tinggal dan berteduh.
Rumah adat suku sunda, pada umumnya memiliki bentuk seperti rumah panggung
dengan ukuran 30 – 60 m2, yang relatif kecil dan sederhana. Material yang digunakan
untuk membangun rumah ini merupakan material yang didapat langsung dari alam sekitar
dan tidak mencemari atau membahayakan alam sekitar, yakni kayu dan bambu. Pada
umumnya, tidak ada peralatan elektronik, mesin, dan furnitur berat karena material-
material yang digunakan sangat ringan dan tidak bisa menahan beban benda-benda berat.
Masyarakat asli suku Sunda, yang dapat dijumpai di Kampung Naga, biasa
mengonsumsi nasi, ikan, buah, dan sayur dari ladang, kebun, dan kolam mereka. Oleh
karena itu, setiap rumah biasanya memiliki kolam yang disebut balong yang digunakan
untuk budidaya ikan yang dapat dikonsumsi sendiri ataupun dijual, serta menyesuaikan
dengan lokasi ladang yang menjadi tempat mata pencaharian masyarakat setempat.
Di dalam buku yang berjudul Arsitektur Rumah dan Permukiman Tradisional di
Jawa Barat karya Ismet Belgawan Harun (2011), menjelaskan mengenai bentuk dan arti
dari rumah adat tradisional Sunda. Bangunan adat tradisional Sunda memiliki bentuk atap
yang khas dengan silangan kayu atau simpulan berbentuk lingkaran di ujung atas
bubungannya. Bentuk silangan ini dikenal dengan nama cagak gunting atau capit hurang,
yang mengisyaratkan adanya dunia atas yang maha luas, sedangkan lingkaran
melambangkan kehidupan di bumi yang berputar. Dalam buku karangan Purnama Salura
yang berjudul Sundanese Architecture, bentuk atap rumah Sunda dapat dibedakan sebagai
berikut:
a. Suhunan Jolopong
Atap ini memiliki panjang yang sama pada kedua bidang atapnya.

Gambar 1 Sketsa atap suhunan jolopong


(Sumber: Koleksi Yan Yan Ariesandi Nugraha pada Blognya, 2012)
b. Tagog Anjing
Bangunan dengan atap ini memiliki atap dengan dua bidang atap tak sama panjang
yang bertemu pada garis bubungan.

Gambar 2 Sketsa atap tagog anjing


(Sumber: Koleksi Yan Yan Ariesandi Nugraha pada Blognya, 2012)

c. Badak Heuay
Atap tipe ini memiliki bentuk yang mirip dengan atap tagong anjing namun bagian
atap yang lebih panjang melewati bubungan dan terlihat lebih tinggi dari bidang
atap yang pendek.

Gambar 3 Sketsa atap badak heuay


(Sumber: Koleksi Yan Yan Ariesandi Nugraha pada Blognya, 2012)
d. Perahu Kumereb
Atap ini memiliki 4 bidang atap berbentuk perisai.

Gambar 4 Sketsa atap perahu kumereb


(Sumber: Koleksi Yan Yan Ariesandi Nugraha pada Blognya, 2012)

e. Julang Ngapak
Atap ini prinsipnya seperti atap suhunan jolopong namun masing-masing bidang
atapnya ditekuk sehingga kemiringan atapnya lebih kecil.

Gambar 5 Sketsa atap julang ngapak


(Sumber: Koleksi Yan Yan Ariesandi Nugraha pada Blognya, 2012)

2.4. Prinsip Tepat Guna pada Bangunan Adat Sunda


Rumah adat suku Sunda memiliki bentuk rumah panggung yang menggunakan
material lokal seperti bambu dan kayu, yang kemudian diolah tanpa mengubah sifat
dasarnya dan memudahkan pengembalian material tersebut ke alam lagi. Material yang
digunakan pun mudah didapat di lingkungan sekitar dan mudah diolah oleh masyarakat
setempat. Oleh karena itu, rumah adat tradisional Sunda relatif ringan. Rumah adat yang
ringan ini membuat masyarakat, yang memiliki tradisi berpindah ladang, dapat
memindahkan rumah mengikuti lokasi ladang sang pemilik rumah, sehingga rumah ini
bersifat sementara. Dengan demikian, rumah adat tradisional Sunda merupakan arsitektur
yang menerapkan prinsip tepat guna.
3. OBJEK PENGAMATAN
3.1. Data Objek Pengamatan
Nama Objek : Rumah Makan Sunda Dago Panyawangan
Lokasi Objek : Jalan Ir. H. Juanda 127, Dago Bawah, Bandung
Fungsi Objek : Rumah makan keluarga, komersil
Waktu Pengamatan : Minggu, 10 November 2019

3.2. Dokumentasi Objek Pengamatan

Gambar 6 Eksterior Dago Panyawangan Gambar 7 Interior Dago Panyawangan

Gambar 8 ‘Balong’ di Dago Panyawangan Gambar 9 Penggunaan material kayu dan


bambu serta sambungan tali rotan di Dago
Panyawangan
(Sumber: tripadvisor.com)
4. RUMAH MAKAN DENGAN ARSITEKTUR KHAS SUNDA
Dago Panyawangan merupakan salah satu rumah makan yang mengadaptasi
konsep dan bentuk rumah adat tradisional Sunda. Material yang digunakan pada
bangunan ini merupakan material seperti pada rumah adat Sunda pada umumnya, yakni
kayu, bambu, dan sambungan-sambungannya menggunakan tali dan rotan. Bentuk atap
bangunan ini mengadaptasi bentuk atap Suhunan Jolopong dengan cagak gunting pada
bubungannya. Interior pada bangunan ini juga mengadaptasi suasana rumah tradisional
Sunda yakni pada material alam, warna alam, dan terdapat balong di dalam bangunan ini
sehingga ambience yang tercipta membuat pengunjung merasakan tentramnya berada di
dalam bangunan dengan budaya Sunda yang kental.
Berdasarkan uraian mengenai arsitektur tepat guna pada bab kajian teori,
dijelaskan bahwa suatu bangunan disebut sebagai arsitektur tepat guna salah satunya
adalah jika bangunan tersebut menggunakan teknologi tepat guna serta memenuhi kriteria
dari indikator keberhasilan tepat guna. Komponen penilaian dari indikator keberhasilan
tepat guna terdiri dari empat aspek, yakni aspek ekologi, energi, ekonomi, dan
sosial/budaya. Uraian penilaian tertera pada Tabel 1 di bawah yang terdiri dari angka 10
dan 5 apabila bangunan tersebut tepat guna pada aspek tersebut, -5 dan -10 apabila
bangunan tersebut dinilai tidak tepat guna pada aspek tersebut, dan 0 apabila tidak di
antara keduanya. Jika nilai total indikator lebih dari 50, maka bangunan tersebut termasuk
kategori bangunan yang menerapkan prinsip tepat guna.

Tabel 1
Indikator Keberhasilan Prinsip Tepat Guna
Kasus: Rumah Makan Dago Panyawangan

Komponen Ekologi 10 5 0 -5 -10


Tidak membuang polutan/ bahan beracun ke lingkungan v
Menjaga dan memelihara habitat alam yang ada v
Mengembalikan pada kondisi ekosistem tumbuhan dan hidup v
Mendaurulang sisa bahan makanan organik dan membentuk tanah bagian
v
atas subur
Memproduksi bahan makanan v
Komponen Energi
Konservasi sumber-sumber daya alam yang terbaharukan v
Mengkonservasi sumber-sumber daya alam yang tidak terbarukan v
Menggunakan secara bijak sumber energi yang terbarukan v
Mempromosikan penggunaan material daur ulang v
Mengurangi ketergantungan pada transportasi v
Komponen Ekonomi
Berumur panjang (Longlife) v
Biaya rendah (inisial dan operasional/perawatan) v
Mengutamakan produksi skala kecil yang dimiliki masyarakat setempat v
Mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan mata pencaharian
masyarakat setempat sehingga dapat menambah/meningkatkan v
pendapatan (income)
Menggunakan keterampilan tenaga kerja setempat dan dapat
v
meningkatkan keterampilannya
Komponen Sosial/Budaya
Membuat masyarakat hidup lebih baik (manusiawi) v
Membuat mesyarakat/orang lebih fleksibel dan adaptable terhadap
v
persoalan baru
Membuat masyarakat percaya diri dan bersahabat v
Masyarakat menjadi lebih memahami dan memanfaatkan teknologi
v
tersebut
Menjaga dan membuat alam lebih indah v
TOTAL 95

Berdasarkan hasil indikator keberhasilan tepat guna, Dago Panyawangan berhasil


mendapatkan total nilai sebesar 95 dari nilai maksimum 200. Hal ini menunjukkan bahwa
arsitektur dari Dago Panyawangan menerapkan prinsip tepat guna. Komponen yang
paling menyumbang nilai terbesar adalah komponen energi dan sosial budaya. Komponen
energi terkait dengan aspek manajemen dan penggunaan energi pada bangunan ini.
Adaptasi rumah adat sunda merupakan solusi untuk mengefisiensikan energi baik dari
bentuk bangunan, banyak bukaan, hingga material yang digunakan. Penggunaan ventilasi
dan dinding anyaman bambu membuat semilir angin dapat masuk dan menembus
sehingga terdapat penghawaan alami dari bangunan ini yang membuat energi yang
digunakan lebih efisien. Material dan tenaga pekerja lokal dan alami membuat proses
operating and management bangunan ini menjadi lebih mudah dan menyejahterakan
masyarakat sekitar.
Jika ditinjau dari aspek sosial/budaya, rumah makan ini menjadi salah satu
bangunan yang unik di antara bangunan-bangunan di Kota Bandung dan mudah diingat
karena iconic dan menggunakan arsitektur tradisional Sunda. Sebagai rumah makan, tentu
bangunan ini memiliki daya tarik tersendiri bagi turis yang akan berkunjung dan menjadi
salah satu destinasi wisata kuliner di Kota Bandung sehingga memberikan nilai positif
bagi lingkungan sekitar dan perekonomian Kota Bandung. Bangunan ini juga berhasil
menghiasi tanah Bandung dengan indah dan berhasil membaur dengan bangunan lain
diperkotaan.
5. KESIMPULAN
Rumah makan Dago Panyawangan masih menggunakan material kayu dan bambu
pada bangunan. Sambungan pada bangunan ini masih menggunakan rotan dan tali temali
sehingga metode konstruksi pasti menggunakan tenaga pekerja, bukan mesin.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa rumah makan Dago
Panyawangan yang terdapat di Jalan Ir. H. Juanda no. 127, Bandung, dapat dikategorikan
sebagai arsitektur tepat guna dengan total poin 95 dari 200.

DAFTAR PUSTAKA
Salura, Purnama. 2007. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Bandung: Cipta
Sastra Salura
Harun, Ismet Belgawan dkk. 2011. Arsitektur Rumah dan Permukiman Tradisional di
Jawa Barat. Bandung: Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Barat
Mihalyi, Gabriella. 2007. The Sundanese House. Situs:
http://www.architectureweek.com/2007/0307/culture_1-1.html diakses pada
tanggal 13 November 2019.
Nurrohman. Muhammad Arif. 2015. Julang Ngapak, Filosofi Sebuah Bangunan. Situs:
https://budaya-indonesia.org/Julang-Ngapak-Filosofi-Sebuah-Bangunan diakses
pada 12 November 2019
Trip Advisor Indonesia. Ulasan Dago Panyawangan. Situs:
https://www.tripadvisor.co.id/Restaurant_Review-g297704-d4233453-Reviews-
Dago_Panyawangan-
Bandung_West_Java_Java.html#photos;aggregationId=101&albumid=101&filte
r=7&ff=293347866 diakses pada 10 November 2019
Kuliah Sejarah dan Tradisi Arsitektur Indonesia 2019 oleh Indah Widiastuti, ST., MT.,
Ph.D. dan Dr. Eng. Arif Sarwo Wibowo, S.T., M.T.
Kuliah Arsitektur Tepat Guna oleh Prof. Sugeng Triyadi

Anda mungkin juga menyukai