DESA TIGAWASA
DOSEN PEMBIMBING :
IR. PRIMI ARTININGRUM, M.ARCH.
DISUSUN OLEH :
1. NAFISAH UZDAH HANINDIAH (41218010021)
2. NABILLA RAHMA (41218010030)
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Pada makalah yang berjudul
‘Arsitektur Nusantara Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia’ sebagai pokok bahasan,
penulis Mencoba memaparkan latar belakang dan pokok permasalahan yang dialami
Indonesia mengenai jati diri bangsa. Maksud ditulisnya karangan ilmiah ini di samping
untuk memenuhi tugas Bahasa dan Sastra Indonesia, juga untuk menambah pengetahuan
dan pengalaman penulis tentang menulis makalah serta menambah wawasan penulis dan
pembaca mengenai Arsitektur Nusantara.
Penulis menyadari bahwa telah banyak menerima bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak untuk menyelesaikan karangan ilmiah ini, oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih.Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada
masyarakat dari penyusunan makalah ini. Karena itu kami berharap semoga makalah ini
dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.Penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam karangan tulis ini. Penulis berharap semoga karangan tulis ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya bagi para pembaca.
KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang............................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................5
PEMBAHASAN & ISI.............................................................................................................5
2.1 Pengertian Arsitektur Vernakuler....................................................................................5
2.2 Pengertian Rumah Tradisional Bali............................................................................6
2.3 Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Tradisional Bali.............................................8
2.4 Konsep-konsep Arsitektur Bali.................................................................................10
2.5 Pola Ruang Rumah Tradisional Bali.........................................................................12
2.6 Pola Ruang Pemukiman dan Rumah Tradisioanl pada Desa Tigawasa....................15
KESIMPULAN.......................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21
Bali memiliki beragam kebudayaan dan adat istiadat yang beragam mulai dari seni
tari, seni rupa, seni tabuh, seni bangunan, dan lain-lain. Pada kesempatan ini penulis akan
membahas salah satu bagian dari kebudayaan bali yaitu bangunan tradisional Bali, Bali
merupakan salah satu daerah yang mempunyai ciri khas bangunan dan pemukiman yang
berlandaskan konsep Agama Hindu yang dimuat dalam Asta Kosala Kosali yang dijadikan
pedoman dalam membangun bangunan tradisional Bali.Pola-pola desa adat di Bali telah
menjadikan pulau Bali memiliki ciri khas tersendiri dalam pengembangan pola desa.
Arsitektur tradisional Bali tercipta dari hasil akal budi manusia dimana pengejewantahannya
di dasari oleh pandangan terhadap alam semesta, sikap hidup, norma, agama, kepercayaan
dan kebudayaan masa lalu. Di era globalisasi ini arsitektur tradisional bali mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Terbukti dari banyaknya ditemukan bangunan-bangunan
modern yang tetap mgenggunakan konsep arsitektur tradisional Bali. Berkenaan dengan hal
tersebut penulis ingin meneliti lebih jauh konsep dan unsur seni yang terdapat dalam
bangunan tradisional Bali. Kegiatan ini bermanfaat dalam memahami dan pemelestariannya
di masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal tersebut penulis telah melakukan Observasi
kesalah satu objek bangunan tradisional Bali yang bertempat di Desa Tigawasa.
Desa Tigawasa adalah salah satu Desa Bali Aga yang ada di Bali. Desa Adat
Tigawasa memiliki perbedaan dengan desa-desa yang ada di Bali lainnya yang telah
mendapat pengaruh dari kedatangan Majapahit. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik
sosial budaya masyarakat serta pada pola tata ruang permukiman rumahnya. Tujuan studi ini
adalah untuk mengindentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Desa Adat Tigawasa
dan pola tata ruang permukiman rumah yang terbentuk. Kemudian menganalisis pola tata
ruang permukiman rumah tradisional yang terbentuk akibat pengaruh dari sosial budaya
masyarakatnya serta perubahan-perubahan pola ruangnya. Metode yang digunakan adalah
metode deskriptif-evaluatif. Data–data diperoleh melalui observasi lapangan, kuisioner, serta
wawancara. Hasil studi diketahui bahwa pola permukiman makro desa Tigawasa dilandasi
oleh konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala, tata ruang makronya dibagi menjadi tiga zona.
Tingkat hunian rumah (mikro) dilandasi oleh konsep hulu–teben pada konsep tata letaknya.
Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi memiliki tingkat kesakralan/kesucian lebih
tinggi dari wilayah yang bertopografi rendah. Pola tata ruang permukiman terbentuk akibat
pengaruh sistem kepercayaan masyarakatnya sebagai pemeluk Agama Hindu Sekte Dewa
Sambu. Terdapat perubahan pola permukiman rumah antara lain material bangunan serta
lokasi dapur yang bergeser dari dalam bangunan utama (sakaroras) kini berada diluar
sakaroras. Kata Kunci: Pola ruang, permukiman rumah, Bali aga, desa adat
Berdasarkan pada latar belakang tersebut adapun rumusan masalah yang akan dibahas
pada paper ini adalah sebagai berikut.
f. Bagaimana Pola Ruang pemukiman dan rumah tradisional pada Desa Tigawasa ?
1.3 Tujuan
f. Mengetahui Pola Ruang pemukiman dan rumah tradisional pada Desa Tigawasa.
Kebudayaan Indonesia aseli dan Hindu terlihat buahnya pada Arsitektur Bali.
Tampilan konfigurasi Budaya aseli, Hindu/Budha dan Islam terlihat buahnya pada
Arsitektur Jawa. Tampilan gabungan budaya Indonesia aseli dan Islam terlihat pada
Arsitektur Aceh, Minangkabau. Sedangkan dikota kota besar terjadi konfigurasi
gabungan Kebudayaan Indonesia aseli,Hindu dan Islam dengan nilai modern yang
menghasilkan tampilan arsitektur inovatip. Kebudayaan tersebut mengembangkan
sistem normatif yang tidak berakar secara utuh dari budaya masyarakat etnik tertentu .
Arsitektur Bali terutama arsitektur tradisional Bali adalah sebuah aturan tata
ruang turun temurun dari masyarakat Bali seperti lontar Asta Kosala kosali, Asta
Patali, dan lain-lain yang sifatnya luas meliputi segala aspek kehidupan masyarakat
Bali.Ini pula yang mesti dipahami oleh arsitek Bali dalam merancang sebuah
bangunan dengan memperhatikan tata ruang masyarakat Bali (arsitektur Bali).
6) Konsep Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala
manusia yang meliputiAstha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A
Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.
Selain ada kosep diatas juga ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai
pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa Bali Aga yang meninggalkan
beberapa data arsitktur , diantaranya adalah konsep Bale Agung yang sampai sekarang
merupakan bagian dari setiap desa adat Bali, Dalam lontarnya diungkapkan teori-teori
Arsitekturnya yaitu bangunan seperti pertahanan perang, dan pemanfaatan sungai
sebagai potensi site.Empu Kuturan Sebagai budayawan besar mendampingi Anak
Wungsu yang memerintah Bali sekitar abad ke-11, juga merupakan seorang Arsitek
yang banyak meninggalkan teori-teori Arsitektur, sisiologi, adat dan agama.Tata pola
Dang Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendra atau Pedanda sakti
Wawurauh merupakan budayawan besar pada masa pemerintahan Dalem
Waturenggong sekitar pada abad ke-14 ( masa Majapahit menguasai Bali). Beliau
merupakan Arsitek besar dengan peninggalan konsep-konsep Arsitektur, agama, dan
pembaruan diberbagai bidang budaya lainnya.Padmasana merupakan konsep beliau
untuk banguanan menuju Tuhan Yang Maha Esa.Tirtayatra merupaka sebuah budaya
di Bali yang berarti perjalanan suci atau keagamaan. Tirtayatra ini juga merupakan
peninggalan dari Dang Hyang Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau
mengelilingi pantai di Bali, dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa Tenggara Timur,
perjalanan ini menuju ke pura- pura di daerah-daerah tersebut.
Perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh
sejarah Bali Aga berikut zaman majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang
hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintah Raja anak Wungsu di Bali banyak
mewarisi landasan pembangunan arsitektur Bali.
a. Masa Prasejarah
f. Masa Kemerdekaan
Tradisiaonal Bali berdasarkan pada nilai tata ruang yang dibentuk oleh tiga
sumbu berikut:
a. Sumbu Cosmos : Bhur, Bhuah dan Swah (hydrosfir, litosfir, dan atmosfir)
Manusia (bhuana alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain
memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan
fungsi. Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan
harmonis dan selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu).Rahim sebagai
tempat yang memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut,
demikian pula halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam
semesta, ini yang kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu. Dengan
alasan itu pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan
senilai dengan suatu Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri
HitaKarana.
Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti kemakmuran,
baik, gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab musabab atau sumbernya
sebab (penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan),
yaitu: 1). Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3).Angga
(jasad/fisik) (Majelis Lembaga Adat, 1992:15).
Bhuana agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan
oleh manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu
Tri Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan.
Konsep Tri Hita Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang
diidentifikasi; Parhyangan 10 /Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa,
Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah sebagai unsur
Angga/jasad (Kaler, 1983:44). Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya
susunan kosmos dari yang paling makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal
yang paling mikro (bhuana alit/manusia).Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma
(Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca
Maha Bhuta.Dalam permukiman, jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga adalah
pawongan (masyarakat) dan jasad adalah palemahan (wilayah desa).Demikian pula
halnya dalam banjar, jiwa adalah parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan
(warga banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal,
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau
keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga,
memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti
tiga dan Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama
Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung,
pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan
Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal, dimana nilai
utama pada posisi teratas/sakral,madya pada posisi tengah dan nista pada posisi
terendah/kotor.
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana
agung) sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah;
gunung memiliki nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista.
Dalam perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya),
Kuburan (nista), juga berlaku dalam skala rumah dan manusia. Susunan Tri Angga
dalam susunan Tri Angga yang memberi arahan tata nilai secara vertikal (secara
horisontal ada yang menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben,
merupakan pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhuana
agung dan Bhuana alit.
Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain: 1). berdasarkan sumbu bumi yaitu:
arah kaja-kelod (gunung dan laut), 2). arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah), 3).
berdasarkan sumbu Matahari yaitu; Timur- Barat (Matahari terbit dan terbenam)
(Sulistyawati. dkk,1985:7). Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-
kelod/laut), memberikan nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah
kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari; nilai utama pada arah matahari
terbit dan nista pada arah matahari terbenam. Jika kedua sistem tata nilai ini
digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala,yang membagi
ruang menjadi sembilan segmen.
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan
dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata
Nawa Sanga Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam
penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana
kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah
utamaning utama (kaja- kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada
daerah nistaning nista (klod- kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di
tengah . Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah
Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-
selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga
Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura
desa.Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh (barat
daya) yang mengarah ke laut.Peruntukan perumahan dan banjar berada pada
peruntukan madya (barat-laut).
b) Pola Linear
c) PolaKombinasi
1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang kurang
dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan ini terletak di
daerah pegunungan yang membentang membujur di tangah- tangah Bali,
sebagian beralokasi di Bali Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola perumahan
Bali Aga dicirikan dengan adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi
sebagai ruang terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama
desa. Contoh perumahan Bali Aga: Julah (di Buleleng), Tenganan, Timbrah
dan Bugbug (diKarangasem).
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak
merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang
yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan
sumbu gunung Agung.Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya
perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut.Seperti
halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara
dapur dan tempat pemujaan keluarga.Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat
tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik
dengan arah utara, selatan, timur dan barat.Bagi mereka arah timur dengan sumbu
hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi
tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut
pamerajan.Bagian-bagian pada rumah tinggal tradisional Bali sebagai berikut.
4. Mrajan atau sanggah, terleteak dibagian timur laut atau kaja kangin pada
sembilan petak pola ruang, merupakan area suci pada rumah berfungsi
sebagai tempat pemujaan.
6. Bale Delod Dalam komposisi bangunan rumah saka kutus ini menempati
letak bagian kelod yang juga disebut Bale delod, dalam proses
pembangunan bale delod letaknya dari bale meten diukur dengan
menggunakan tapak kaki dengan pengurip angandang tergantung dari
kecenderungan penghuni rumah. Bale delod difungsikan sebagai
sumanggem, bangunan untuk upacara adat, tamu dan tempat bekerja atau
serbaguna. Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran 355 m x
570 m, dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan tiga anak tangga kearah
natah. Konstruksi terdiri delapan tiang tiga deret di depan dan ditengah dua
deret dibelakang, dengan satu balai balai mengikat empat tiang hubungan
balai balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton dan empat tiang
lainnya berdiri dengan senggawang sebagai stabilitas. Bangunan dengan
dinding penuh pada luan sisi kangin dan sisi kelod dan terbuka kearah
natah, konstruksi atap limas.
7. Bale Daje Bangun rumah yang paling awal dibangun dalam perumahan,
type bangunan sake kutus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan
fungsi tunggal sebagai tempat tidur yang disebut bale meten.
Komposisinya berada di 21 sisi kaja natah (halaman tengah) menghadap
kelod berhadapan dengan sumanggem/bale delod. Dalam proses
membangun rumah bale meten merupakan bangunan awal. Jaraknya
delapan tapak kaki dengan pengurip angandang diukur dari tembok
pekarangan sisi kaja. Selanjutnya bangunan yang lainnya di bangun
dengan jarak yang diukur dari bale meten.Bentuk bangunan segi empat
panjang, dengan ukuran 5 m x 2,5 m, dengan tinggi lantai sekitar 1,2 m
dengan empat atau lima anak tangga kearah natah lantai lebih tinggi dari
bangunan lainnya untuk estetika. Konstruksi terdiri delapan tiang yang
dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masing-masing balai-balai
memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang-tiang
dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar likah dan galar. Stabilitas
konstruksi dengan sistim lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang
senggawang tidak ada pada bale sekutus. Bangunan dengan dinding penuh
pada keempat sisi dan pintu keluar masuk kearah natah.
8. Bale Dauh / Loji ini terletak di bagian Barat ( Dauh natah umah ), dan
sering pula disebut dengan Bale Loji, serta Tiang Sanga. Fungsi Bale Dauh
ini adalah untuk tempat menerima tamu dan juga digunakan sebagai
tempat tidur anak remaja atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale
Dauh ini adalah 1 buah bale – bale yang terletak di bagian dalam. Bentuk
2.6 Pola Ruang Pemukiman dan Rumah Tradisioanl pada Desa Tigawasa
Pola Pemukiman
Pola pemukiman Desa Tigawasa memiliki pola permukiman memusat.
Permukiman masyarakat mengelompok di tengah-tengah desa yang di kelilingi oleh
kawasan perkebunan dan tegalan dan perkembangannya menyebar pada lokasi
pertanian yang berada pada luar wilayah Banjar Dauh Pura. Banjar Dauh Pura berada
di pusat atau di tengah-tengah desa dan terdapat rumah dadia sebanyak 37 buah dan
tempat suci, yaitu Pura Desa dan Pura Dalem yang menjadi satu dengan Pura Desa,
sedangkan Banjar lainnya berada mengelilingi Banjar Dauh Pura dengan wilayahnya
berada diluar wilayah utama Desa Tigawasa, biasanya masyarakat mengatakan
wilayah tersebuut dengan iistilah “kubu”. Kubu merupakan rumah tinggal diluar
pusat pemukiman di ladang, di perkebunan atau tempat-tempat kehidupan lalinnya.
Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan permukiman,
menempati unit-unit perkebunan atau ladang-ladang yang berjauhan tanpa penyediaan
Analisis karakteristik pola tata ruang permukiman rumah tradisional Desa Tigawasa
Analisis karakteristik pola tata ruang permukiman rumah tradisional Desa Tigawasa
bertujuan untuk mengetahui penerapan filosofi dan konsepsi tata ruang tradisional
masyarakat Desa Tigawasa, sehingga nanti dapat memberikan gambaran mengenani filosofi
dan konsepsi serta pergeseran-pergeseran tata ruang yang ada.
Awig – awig (Hukum adat) Desa Tigawasa dalam pengaturan tata ruang desa
Sebagai salah satu desa tua di Bali pada khususnya Kabupaten Buleleng keberadaan
Desa Adat Tigawasa bisa terjaga hingga kini dikarenakan dalam setiap kehidupan masyarakat
selalu berpegang pada awig–awig desa. Begitu juga halnya dengan pemanfaatan wilayah desa
yang telah diatur dalam ketentuan desa adat. Jika ada masyarakat yang melanggar maka akan
mendapatkan sanksi, mulai dari pamindanda (denda) hingga dikeluarkan dari keanggotaan
krama desa adat.
Hukum adat (awig–awig) adalah aturan yang dibuat oleh warga (krama) desa adat
yang dipakai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari masayarakat Desa Adat
Tigawasa, baik dalam kehidupan sosial budaya dan dalam pelaksaan tara ruang desa maupun
dalam pekarangan.
Menurut konsepsi masyarakat Bali pada umumnya, tata ruang yang dimaksudkan
adalah aturan penempatan ruang–ruang yang mengacu pada fungsi tertentu serta tata nilai
yang diberikan terhadap fungsi tersebut dengan berlandaskan pada ajaran agama Hindu di
Bali. Seperti yang diungkapkan Parwata (2004), bahwa pengaturan tata ruang masyarakat
Bali dilandasi oleh Konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari zona parahyangan (ruang
utama/suci), palemahan (wilayah desa/ruang interaksi dan kegiatan masyarakat), pawongan
(manusia).
Penerapan konsep Tri Mandala terbagi menjadi Zona Utama, Zona Madya, Zona
Nista. Zona Utama adalah wilayah yang terletak pada sisi (Hulu) selatan desa topografi
tinggi. Zona Utama merupakan zona suci (parahyangan) bangunan bangunan suci ataupun
Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 17
segala hal yang berkaitan dengan pemujaan diarahkan pada zona ini. Zona Madya, zona ini
berda di tengah-tengah desa zona ini merupakan pusat permukiman masyarakat (pawongan)
desa tigawasa. Untuk Zona Nista terletak pada sisi utara desa (Teben) topografi rendah,
wilayah ini merupakan wilayah yang paling “kotor”, karena pada zona ini terdapat
merupakan zona ini merupakan tempat pembuangan akhir untuk segala yang kotor. ciri
khusus yaitu keberadaan kuburan
Ciri utama fisik Desa Bali pegunungan adalah ruang terbuka cukup luasyang
memanjang (linier) dari arah utara menuju selatan (kaja-kelod), yang membagi desa menjadi
dua bagian. Pada posisi yang diametral, yakni pada ujung utara (kaja)terletak Pura Puseh
(tempat pemujaan untuk Dewa Wisnu, yaitu Dewa Penciptaan), di tengah sebagai tempat
Pula Bale Agung (tempat pemujaan untuk Dewa Siwa). Fasilitass umum atau infrastruktur
berada di tengah desa dan hunian penduduk berada pada sisi kiri dan kanan jalan utama desa.
1. Pembatasan terhadap bagian rumah yang boleh direnovas, seperti hanya sebatas
estetika bangunan. Namun jika sampai merubah unit bangunan hendaknya dilarang
karena dapat menghilangkan ciri pola ruang tradisional yang dimiliki.
2. Memberikan itensif terhadap penduduk yang masih menjaga rumah tradisional Bali
Aga
3. Dalam pembangunan bangunan baru diharapkan masyarakat tetap mengacu pada
konsep Hulu Teben sehingga kelestarian pola ruang tradisional yang telah ada tetap
bertahan dan lestari.
4. Memberikan pemahaman-pemahaman kepada generasi muda akan pentingnya
menjaga kelestarian rumah tradisional Bali Aga Desa Tigawasa sebagai suatu warisan
yang berharga shingga nantinya jika sampai pada saat generasi tersebut mendiami
rumah tradisional senantiasa selalu menjaga kelestarian dari rumah tradisional Bali
Aga tersebut.
Pola Ruang Permukiman dan Rumah Tradisional Bali Aga . (t.thn.). Diambil kembali
dari
https://moondoggiesmusic.com/contoh-makalah/
Pola Ruang Permukiman dan Rumah Tradisional Bali Aga Banjar Dauh Pura
Tigawasa. (t.thn.). Diambil kembali dari
https://www.academia.edu/6986372/Pola_Ruang_Permukiman_dan_Rumah_Tradisi
onal_Bali_Aga_Banjar_Dauh_Pura_Tigawasa
pola ruang permukman dan rumah tradisional baliaga banjar dauh pura tigawasa.
(t.thn.). Diambil kembali dari
https://www.researchgate.net/publication/315534582_POLA_RUANG_PERMUKIMA
N_DAN_RUMAH_TRADISIONAL_BALI_AGA_BANJAR_DAUH_PURA_TIGAWASA
Rumah Tradisional Bali. (t.thn.). Diambil kembali dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/92d0addc0b3e1bbf82d65d
2d8cd8c4ad.pdf