Anda di halaman 1dari 23

RUMAH TRADISIONAL BALI

DESA TIGAWASA

DOSEN PEMBIMBING :
IR. PRIMI ARTININGRUM, M.ARCH.

DISUSUN OLEH :
1. NAFISAH UZDAH HANINDIAH (41218010021)
2. NABILLA RAHMA (41218010030)

UNIVERSITAS MERCU BUANA


FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK ARSITEKTUR
2019/2010
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Pada makalah yang berjudul
‘Arsitektur Nusantara Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia’ sebagai pokok bahasan,
penulis Mencoba memaparkan latar belakang dan pokok permasalahan yang dialami
Indonesia mengenai jati diri bangsa. Maksud ditulisnya karangan ilmiah ini di samping
untuk memenuhi tugas Bahasa dan Sastra Indonesia, juga untuk menambah pengetahuan
dan pengalaman penulis tentang menulis makalah serta menambah wawasan penulis dan
pembaca mengenai Arsitektur Nusantara.
Penulis menyadari bahwa telah banyak menerima bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak untuk menyelesaikan karangan ilmiah ini, oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih.Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada
masyarakat dari penyusunan makalah ini. Karena itu kami berharap semoga makalah ini
dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.Penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam karangan tulis ini. Penulis berharap semoga karangan tulis ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya bagi para pembaca.

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 1


DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang............................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................5
PEMBAHASAN & ISI.............................................................................................................5
2.1 Pengertian Arsitektur Vernakuler....................................................................................5
2.2 Pengertian Rumah Tradisional Bali............................................................................6
2.3 Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Tradisional Bali.............................................8
2.4 Konsep-konsep Arsitektur Bali.................................................................................10
2.5 Pola Ruang Rumah Tradisional Bali.........................................................................12
2.6 Pola Ruang Pemukiman dan Rumah Tradisioanl pada Desa Tigawasa....................15
KESIMPULAN.......................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 2


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bali memiliki beragam kebudayaan dan adat istiadat yang beragam mulai dari seni
tari, seni rupa, seni tabuh, seni bangunan, dan lain-lain. Pada kesempatan ini penulis akan
membahas salah satu bagian dari kebudayaan bali yaitu bangunan tradisional Bali, Bali
merupakan salah satu daerah yang mempunyai ciri khas bangunan dan pemukiman yang
berlandaskan konsep Agama Hindu yang dimuat dalam Asta Kosala Kosali yang dijadikan
pedoman dalam membangun bangunan tradisional Bali.Pola-pola desa adat di Bali telah
menjadikan pulau Bali memiliki ciri khas tersendiri dalam pengembangan pola desa.
Arsitektur tradisional Bali tercipta dari hasil akal budi manusia dimana pengejewantahannya
di dasari oleh pandangan terhadap alam semesta, sikap hidup, norma, agama, kepercayaan
dan kebudayaan masa lalu. Di era globalisasi ini arsitektur tradisional bali mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Terbukti dari banyaknya ditemukan bangunan-bangunan
modern yang tetap mgenggunakan konsep arsitektur tradisional Bali. Berkenaan dengan hal
tersebut penulis ingin meneliti lebih jauh konsep dan unsur seni yang terdapat dalam
bangunan tradisional Bali. Kegiatan ini bermanfaat dalam memahami dan pemelestariannya
di masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal tersebut penulis telah melakukan Observasi
kesalah satu objek bangunan tradisional Bali yang bertempat di Desa Tigawasa.

Desa Tigawasa adalah salah satu Desa Bali Aga yang ada di Bali. Desa Adat
Tigawasa memiliki perbedaan dengan desa-desa yang ada di Bali lainnya yang telah
mendapat pengaruh dari kedatangan Majapahit. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik
sosial budaya masyarakat serta pada pola tata ruang permukiman rumahnya. Tujuan studi ini
adalah untuk mengindentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Desa Adat Tigawasa
dan pola tata ruang permukiman rumah yang terbentuk. Kemudian menganalisis pola tata
ruang permukiman rumah tradisional yang terbentuk akibat pengaruh dari sosial budaya
masyarakatnya serta perubahan-perubahan pola ruangnya. Metode yang digunakan adalah
metode deskriptif-evaluatif. Data–data diperoleh melalui observasi lapangan, kuisioner, serta
wawancara. Hasil studi diketahui bahwa pola permukiman makro desa Tigawasa dilandasi
oleh konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala, tata ruang makronya dibagi menjadi tiga zona.
Tingkat hunian rumah (mikro) dilandasi oleh konsep hulu–teben pada konsep tata letaknya.
Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi memiliki tingkat kesakralan/kesucian lebih
tinggi dari wilayah yang bertopografi rendah. Pola tata ruang permukiman terbentuk akibat
pengaruh sistem kepercayaan masyarakatnya sebagai pemeluk Agama Hindu Sekte Dewa
Sambu. Terdapat perubahan pola permukiman rumah antara lain material bangunan serta
lokasi dapur yang bergeser dari dalam bangunan utama (sakaroras) kini berada diluar
sakaroras. Kata Kunci: Pola ruang, permukiman rumah, Bali aga, desa adat 

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 3


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang tersebut adapun rumusan masalah yang akan dibahas
pada paper ini adalah sebagai berikut.

a. Apa itu arsitektur vernakuler ?

b. Apa pengertian rumah tradisional Bali ?

c. Bagaimana sejarah dan perkembangan Arsitektur Bali ?

d. Apa saja konsep-konsep arsitektur bali ?

e. Bagaimana Pola Ruang rumah tradisional Bali ?

f. Bagaimana Pola Ruang pemukiman dan rumah tradisional pada Desa Tigawasa ?

1.3 Tujuan

Adapun Tujuan dari Pembuatan paper ini adalah :

a. Memahami apa itu Arsitektur Vernakuler.

b. Memahami pengertian rumah tradisional Bali.

c. Mengetahui sejarah dan perkembangan Arisitektur Bali.

d. Mengetahui konsep-konsep arsitektur bali

e. Mengetahui Pola Ruang Rumah tradisional Bali.

f. Mengetahui Pola Ruang pemukiman dan rumah tradisional pada Desa Tigawasa.

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 4


BAB II
PEMBAHASAN & ISI

2.1 Pengertian Arsitektur Vernakuler

Arsitektur Vernakuler adalah arsitektur yang terbentuk dari proses yang


berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan perilaku, kebiasaan, dan
kebudayaan di tempat asalnya.

Vernakuler, berasal dari vernacullus yang berarti local, pribumi, pembentukan


arsitektur berangsur dengan sangat lama sehingga sikap bentuknya akan mengakar.
Latar belakang Indonesia yang amat luas dan memiliki banyak pulau menyebabkan
perbedaan budaya yang cukup banyak dan arsitektur merupakan salah satu parameter
kebudayaan yang ada di Indonesia karena biasanya arsitektur terkait dengan system
sosial, keluarga, sampai ritual keagamaan.

Indonesia merupakan komplek kepulauan terbesar didunia dengan Budaya


Pluralistik yang memiliki beragam sistem budaya etnik dan memiliki wilayah budaya
dengan bermacam macam manifestasi kebudayaan. Warga masing masing budaya
etnik menyerap sebagian besar bagian bagian budaya itu sehingga membentuk
kepribadian atau “jati diri”. Selain daripada itu keaneka ragaman Budaya Indonesia
yang pluralistik tersebut akan memberikan sumbangan yang besar pada wajah variasi
inovasi Arsitektur Vernakularnya.

Masyarakat etnik di Indonesia terdapat lebih dari 17 suku.Inti sistem budaya


etnik adalah suatu sistem kepercayaan keagama an.Sistem nilai keduniawian yang
perlu dilakukan oleh anggota masyarakat etnik dinyatakan dalam sistem sistem
normatif. Didalam sistem normatif ditetapkan perilaku perilaku aggotanya. Setiap
anggota masyarakat etnik diharapkan bertindak sesuai dengan norma norma Adatnya.
Norma norma dan adat selanjutnya akan berpengaruh terhadap citra lingkungan dan
arsitekturnya.

Norma, Adat, Iklim, Budaya, potensi bahan setempat akan memberikan


kondisi pada pengembangan Arsitektur Alam, Arsitektur Rakyat. Arsitektur Rakyat
tersebut secara langsung telah mendapatkan “pengakuan” masyarakatnya karena
tumbuh dan melewati perjalanan pengalaman “trial and error“ yang panjang .

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 5


Arsitektur Rakyat yang dirancang oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan
tersebut, mengandung muatan “local genius” dan nilai jati diri yang mampu
menampilkan rona aseli,berbeda beda dan bervariasi. Arsitektur ini sangat dekat
dengan budaya lokal yang umumnya tumbuh dari masyarakat kecil.

Dalam perkembangan kemudian masyarakat kecil tersebut bergabung dengan


masya rakat yang lebih besar, tetapi menuntut hadirnya arsitektur yang mampu
memenuhi tuntutan kebutuhan yang telah meningkat dan tidak mampu terjawab oleh
“Folk Architecture”. Guna menjawab tuntutan tersebut, Arsitektur Rakyat
dikembangkan oleh masyarakatnya melalui sentuhan arsitek dan akhirnya lahir
Arsitektur Vernakular. Kebudayaan pada hakekatnya adalah manifestasi kepribadian
masyarakat yang tercermin antara lain pada wadah aktivitas yang berwujud
Arsitektur.

Kebudayaan Indonesia sendiri bukan sesuatu yang padu dan bulat,tetapi


tersusun dari berbagai rona elemen Budaya yang bervariasi, yang satu berbeda dengan
yang lain karena perjalanan sejarahnya yang berbeda. Perjalanan sejarah Indonesia
yang panjang membentuk sistem kebudayaan yang berlapis lapis.
Empat lapis Kebudayaan Indonesia terdiri atas :

1) Kebudayaan Indonesia aseli


2) Kebudayaan India
3) Kebudayaan Arab-Islam dan

Kebudayaan modern Eropa-Amerika.


Konfigurasi lapis kebudayaan yang berbeda beda tersebut bertaut dalam kesatuan
kebudaya- an Indonesia dengan berbagai penjelmaannya yang sering disebut dengan
Budaya Nusantara. Tampilan konfigurasi budaya, paduan antara

Kebudayaan Indonesia aseli dan Hindu terlihat buahnya pada Arsitektur Bali.
Tampilan konfigurasi Budaya aseli, Hindu/Budha dan Islam terlihat buahnya pada
Arsitektur Jawa. Tampilan gabungan budaya Indonesia aseli dan Islam terlihat pada
Arsitektur Aceh, Minangkabau. Sedangkan dikota kota besar terjadi konfigurasi
gabungan Kebudayaan Indonesia aseli,Hindu dan Islam dengan nilai modern yang
menghasilkan tampilan arsitektur inovatip. Kebudayaan tersebut mengembangkan
sistem normatif yang tidak berakar secara utuh dari budaya masyarakat etnik tertentu .

2.2 Pengertian Rumah Tradisional Bali

Rumah Tradisional Bali adalah tempat/ruang untuk menampung aktivitas


manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan perubahan-perubahan yang
menyesuakian dengan perkembangan zaman sertaberdasarkan norma-norma yang
berlaku, peraturan traditional (Asta Kosala Kosali), adat kebiasaan setempat dan
bergantung pada kondisi serta potensial alam dan lingkungan.

Arsitektur Bali terutama arsitektur tradisional Bali adalah sebuah aturan tata
ruang turun temurun dari masyarakat Bali seperti lontar Asta Kosala kosali, Asta
Patali, dan lain-lain yang sifatnya luas meliputi segala aspek kehidupan masyarakat
Bali.Ini pula yang mesti dipahami oleh arsitek Bali dalam merancang sebuah
bangunan dengan memperhatikan tata ruang masyarakat Bali (arsitektur Bali).

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 6


Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar
yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah

1) Konsep hirarki ruang meliputiTri Loka atau Tri Angga

2) Konsep orientasi kosmologi meliputi Nawa Sanga atau Sanga Mandala

3) Konsep keseimbangan kosmologi meliputi Manik Ring Cucupu

4) Konsep court Open air

5) Konsep kejujuran bahan bangunan

6) Konsep Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala
manusia yang meliputiAstha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A
Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.

Selain ada kosep diatas juga ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai
pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

 Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)

 Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)

 Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi


kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala.Transformasi fisik dari konsep ini
pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di
Bali.

Kebubudayaan Bali Mula merupakan kebudayaan yang masih sederhana dari


benda-benda alam disekitarnya. Bali aga mengembangkan kebuday`an dengan
bemrentuk benda-benda alam dalam satu susunan yang harmonis dalam fungsinya
menjaga keseimbangan manusia dengan alam dan lingkungannya. Kebudayaan Bali
mula tidak banyak meninggalkan peninggalan budaya mengingat kayu-kayu dan
bebatuan yang dipakai sebagai bahan perwujudan Arsitekturnya kurang tahan
terhadapa iklim tropis pada kurun waktu yang lama. Peninggalan-peninggalan
kebudayaan Bali Aga masih dapat ditemukan di beberapa tempat seperti Gunung
Kawi, Tirta Embul, Gua Gajah, dan beberapa tempat di Bedulu sebagai lokasi pusat
kerajaan pada masa Bali Aga.

Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa Bali Aga yang meninggalkan
beberapa data arsitktur , diantaranya adalah konsep Bale Agung yang sampai sekarang
merupakan bagian dari setiap desa adat Bali, Dalam lontarnya diungkapkan teori-teori
Arsitekturnya yaitu bangunan seperti pertahanan perang, dan pemanfaatan sungai
sebagai potensi site.Empu Kuturan Sebagai budayawan besar mendampingi Anak
Wungsu yang memerintah Bali sekitar abad ke-11, juga merupakan seorang Arsitek
yang banyak meninggalkan teori-teori Arsitektur, sisiologi, adat dan agama.Tata pola

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 7


7 desa adat, Khyangan Tiga, Meru dan pedoman-pedoman upacara keagamaan
lainnya merupakan karya dari Empu Kuturan.

Dang Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendra atau Pedanda sakti
Wawurauh merupakan budayawan besar pada masa pemerintahan Dalem
Waturenggong sekitar pada abad ke-14 ( masa Majapahit menguasai Bali). Beliau
merupakan Arsitek besar dengan peninggalan konsep-konsep Arsitektur, agama, dan
pembaruan diberbagai bidang budaya lainnya.Padmasana merupakan konsep beliau
untuk banguanan menuju Tuhan Yang Maha Esa.Tirtayatra merupaka sebuah budaya
di Bali yang berarti perjalanan suci atau keagamaan. Tirtayatra ini juga merupakan
peninggalan dari Dang Hyang Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau
mengelilingi pantai di Bali, dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa Tenggara Timur,
perjalanan ini menuju ke pura- pura di daerah-daerah tersebut.

Setelah kerajaan Waturegong menyebar keseluruh Bali (sekarang masing-


masing sebagai ibu kota kabupaten) Arsitek tradisional tidak lagi menokohkan
dirinya< karena adanya pedoman berdasarkan teori Kebo Iwa, Hyang Nirartha, dan
Empu kuturan yang dikembangkan oleh para undagi (tukang)Dewanya undagi adalah
Asta Kosali sebagai teori pelaksanaan bangunan Tradisional Bali. Setelah Bali
dikuasai Kolonial Belanda, Arsitektur Tradisional mangalami pengaruh asing yang
disesuaikan dengan Arsitektur Tradisional yang telah ada.Bangunan-bangunan seperti
wantilan, loji dan hiasan-hiasan seperti Patra Cina, Patra Mesir, Patra Olanda.

2.3 Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Tradisional Bali

1) Sejarah Arsitektur Dalam Prinsip Spritual di Bali

Perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh
sejarah Bali Aga berikut zaman majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang
hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintah Raja anak Wungsu di Bali banyak
mewarisi landasan pembangunan arsitektur Bali.

Danghyang Niratha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong


setelah ekspedisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah
arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Astha kosala-kosali yang
menganggap Bhagwan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.

2.) Sejarah Dan Perkembangan Arsitektur Bali

Babakan sejarah tradisional Bali yang disajikan dalah berbagai naskah


ternyata bervariasi, namun dalam kaitannya dengan perkembangan arsitektur maka
babakan perkembangannya akan diambil menurut babakan sebagai berikut :

a. Masa Prasejarah

b. Masa Bali Age

c. Masa Bali Kuna

d. Masa kekuasaan Majapahit

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 8


e. Masa penjajahan Belanda

f. Masa Kemerdekaan

Tradisiaonal Bali berdasarkan pada nilai tata ruang yang dibentuk oleh tiga
sumbu berikut:

a. Sumbu Cosmos : Bhur, Bhuah dan Swah (hydrosfir, litosfir, dan atmosfir)

b. Sumbu Ritual : Kangin dan Kauh (terbit dan terbenamnya matahari)

c. Sumbu Natural : Utara dan Selatan (gunung dan laut)

Arsitektur Bali tidak hanya berkaitan dengan pembangunan tempat suci


spiritual seperti pura dan candi seperti pandangan orang awam, tetapi juga sangat
mempengaruhi tata ruang, Teknik, nilai estetis, ukuran hingga ritual yang digunakan
dalam pembangunan. Arsitektur bali juga tidak hanya berfokus pada arsitektur
tradisional, tetapi juga pada pengembangan arsitektur modern sesuai perkembangan
jaman namun masih mempertahankan konsep arsitektur bali, foto berikut menjelaskan
beberapa gambaran umum tentang Arsitektur Bali :

Gbr.1 : Rumah Tradisional Bali Gbr.2 : Bangunan Meru

Gbr. 3: Karang gajah menjadi salah Gbr.4 : pola pemukiman khas di


satu ornamen khas bali panglipuraan bangli

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 9


Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 10
2.4 Konsep-konsep Arsitektur Bali

Terwujudnya pola perumahan tradisional sebagai lingkungan buatan sangat


terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali, tidak terlepas dari
sendisendi agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem religi yang melandasi aspek-
aspek kehidupan. Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam penataan lingkungan
buatan, yaitu terjadinya implikasi agama dengan berbagai kehidupan bermasyarakat.

Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti:


tidur, makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk
kepentingan psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat.
(Sulistyawati. dkk, 1985:15). Dengan demikian rumah tradisional sebagai perwujudan
budaya sangat kuat dengan landasan filosofi yang berakar dari agama Hindu.Agama
Hindu mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala
isinya yakni bhuana agung (Makro kosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos),
dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit
adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990)

Manusia (bhuana alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain
memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan
fungsi. Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan
harmonis dan selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu).Rahim sebagai
tempat yang memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut,
demikian pula halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam
semesta, ini yang kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu. Dengan
alasan itu pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan
senilai dengan suatu Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri
HitaKarana.

Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti kemakmuran,
baik, gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab musabab atau sumbernya
sebab (penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan),
yaitu: 1). Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3).Angga
(jasad/fisik) (Majelis Lembaga Adat, 1992:15).

Bhuana agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan
oleh manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu
Tri Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan.

Konsep Tri Hita Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang
diidentifikasi; Parhyangan 10 /Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa,
Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah sebagai unsur
Angga/jasad (Kaler, 1983:44). Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya
susunan kosmos dari yang paling makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal
yang paling mikro (bhuana alit/manusia).Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma
(Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca
Maha Bhuta.Dalam permukiman, jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga adalah
pawongan (masyarakat) dan jasad adalah palemahan (wilayah desa).Demikian pula
halnya dalam banjar, jiwa adalah parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan
(warga banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal,

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 11


jiwanya adalah sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan jasad
adalah pekarangan. Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda
bayu idep dan jasad adalah stula sarira/tubuh manusia.

Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau
keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga,
memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti
tiga dan Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama
Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung,
pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan
Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal, dimana nilai
utama pada posisi teratas/sakral,madya pada posisi tengah dan nista pada posisi
terendah/kotor.

Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana
agung) sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah;
gunung memiliki nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista.
Dalam perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya),
Kuburan (nista), juga berlaku dalam skala rumah dan manusia. Susunan Tri Angga
dalam susunan Tri Angga yang memberi arahan tata nilai secara vertikal (secara
horisontal ada yang menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben,
merupakan pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhuana
agung dan Bhuana alit.

Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain: 1). berdasarkan sumbu bumi yaitu:
arah kaja-kelod (gunung dan laut), 2). arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah), 3).
berdasarkan sumbu Matahari yaitu; Timur- Barat (Matahari terbit dan terbenam)
(Sulistyawati. dkk,1985:7). Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-
kelod/laut), memberikan nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah
kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari; nilai utama pada arah matahari
terbit dan nista pada arah matahari terbenam. Jika kedua sistem tata nilai ini
digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala,yang membagi
ruang menjadi sembilan segmen.

Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan
dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata
Nawa Sanga Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam
penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana
kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah
utamaning utama (kaja- kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada
daerah nistaning nista (klod- kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di
tengah . Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 12


2.5 Pola Ruang Rumah Tradisional Bali

Secara umum ada 3 macam pola tata ruang,yaitu:

a) Pola Perempatan (CatusPatha)

Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-
selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga
Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura
desa.Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh (barat
daya) yang mengarah ke laut.Peruntukan perumahan dan banjar berada pada
peruntukan madya (barat-laut).

b) Pola Linear

Pada pola linear konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan.Orientasi


kosmologis lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara- selatan) dan sumbu
kangin-kauh (timur-barat).Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan
untuk Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan (kelod)
diperuntukan untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa.Diantara kedua daerah
tersebut terletak perumahan penduduk dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar)
yang terletak di plaza umum, seperti dijelaskan Gambar9. Pola linear pada umumnya
terdapat pada perumahan di daerah pegunungan di Bali, dimana untuk mengatasi
geografis yang berlereng diatasi denganterasering.

c) PolaKombinasi

Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha)


dengan pola linear.Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun
demikian sistem peletakan elemen bangunan mengikuti pola linear.Peruntukan pada
fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza) yang ada di tengah- tengah
perumahan.Lokasi bagian sakral dan profan masing-masing terletak pada ujung utara
dan selatan perumahan.Jelasnya 17 lihat Gambar 10.Pola tata ruang yang
dikemukakan di atas merupakan penyederhanaan daripada pola tata ruang yang pada
kenyataannya sangat bervariasi. Setiap daerah perumahan di Bali mempunyai pola
tersendiri yang disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan pada uraian Aspek
Sosial. Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali dapat diklasifikasikan dalam
2 type,yaitu:.

1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang kurang
dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan ini terletak di
daerah pegunungan yang membentang membujur di tangah- tangah Bali,
sebagian beralokasi di Bali Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola perumahan
Bali Aga dicirikan dengan adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi
sebagai ruang terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama
desa. Contoh perumahan Bali Aga: Julah (di Buleleng), Tenganan, Timbrah
dan Bugbug (diKarangasem).

2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional yang banyak


dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type ini tersebar di dataran

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 13


bagian selatan Bali yang berpenduduk lebih besar diabndingkan type pertama.
Ciri utama perumahan ini adalah adanya Pola perempatan jalan yang
mempunyai 2 sumbu utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah
UtaraSelatan yang memotong sumbu kedua berupa jalan membujur Timur-
Barat (Parimin,1986).

Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak
merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang
yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan
sumbu gunung Agung.Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya
perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut.Seperti
halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara
dapur dan tempat pemujaan keluarga.Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat
tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik
dengan arah utara, selatan, timur dan barat.Bagi mereka arah timur dengan sumbu
hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi
tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut
pamerajan.Bagian-bagian pada rumah tinggal tradisional Bali sebagai berikut.

1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada


pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di
kauh kelod.

2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan


masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal
ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
Alingaling terletak di kaluh kelod.

3. Natah atau halaman tengah merupakan pusat dari pekarangan yang


dikelilingi bale-bale.

4. Mrajan atau sanggah, terleteak dibagian timur laut atau kaja kangin pada
sembilan petak pola ruang, merupakan area suci pada rumah berfungsi
sebagai tempat pemujaan.

5. Bale Dangin yaitu bangunan perumahan tradisional Bali yang


komposisinya berada di sisi timur disebut dengan bale dangin, Type yang
dibangun type sake nem dalam perumahan tergolong sederhana bila bahan
dan penyelesaiannya sederhana, dapat pula digolongkan madia bila
ditinjau dari penyelesaiannya 20 dibangun dengan bahan penyelesaian
madia. Untuk areal perumahan yang besar digunakan type Sake roras yang
sering disebut dengan bale gede Sake roras dalam perumahan tergolong
utama. Type Sake roras / Bale Gede bentuk bangunan bujur sangkar,
dengan ukuran 4,8 m x 4,8 m, dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan
dua atau tiga anak tangga kearah natah, lantai lebih rendah dari bangunan
bale daja. Konstruksi terdiri dari dua belas tiang yang dirangkai empat

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 14


empat menjadi dua balai-balai atau bila menggunakan satu balai-balai
rangkaian empat tiang dapat di tepi atau di tengah. Masing-masing balai-
balai memanjang kangin kauh dengan kepala kearah timur . Tiang-tiang
dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar likah dan galar. Stabilitas
konstruksi dengan sistim lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang.
Untuk tiang yang tidak dirangkai balai-balai menggunakan senggawang
sebagai stabiltas konstruksi. Bangunan dengan dinding penuh pada sisi
timur dan sisi selatan.

6. Bale Delod Dalam komposisi bangunan rumah saka kutus ini menempati
letak bagian kelod yang juga disebut Bale delod, dalam proses
pembangunan bale delod letaknya dari bale meten diukur dengan
menggunakan tapak kaki dengan pengurip angandang tergantung dari
kecenderungan penghuni rumah. Bale delod difungsikan sebagai
sumanggem, bangunan untuk upacara adat, tamu dan tempat bekerja atau
serbaguna. Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran 355 m x
570 m, dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan tiga anak tangga kearah
natah. Konstruksi terdiri delapan tiang tiga deret di depan dan ditengah dua
deret dibelakang, dengan satu balai balai mengikat empat tiang hubungan
balai balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton dan empat tiang
lainnya berdiri dengan senggawang sebagai stabilitas. Bangunan dengan
dinding penuh pada luan sisi kangin dan sisi kelod dan terbuka kearah
natah, konstruksi atap limas.

7. Bale Daje Bangun rumah yang paling awal dibangun dalam perumahan,
type bangunan sake kutus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan
fungsi tunggal sebagai tempat tidur yang disebut bale meten.
Komposisinya berada di 21 sisi kaja natah (halaman tengah) menghadap
kelod berhadapan dengan sumanggem/bale delod. Dalam proses
membangun rumah bale meten merupakan bangunan awal. Jaraknya
delapan tapak kaki dengan pengurip angandang diukur dari tembok
pekarangan sisi kaja. Selanjutnya bangunan yang lainnya di bangun
dengan jarak yang diukur dari bale meten.Bentuk bangunan segi empat
panjang, dengan ukuran 5 m x 2,5 m, dengan tinggi lantai sekitar 1,2 m
dengan empat atau lima anak tangga kearah natah lantai lebih tinggi dari
bangunan lainnya untuk estetika. Konstruksi terdiri delapan tiang yang
dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masing-masing balai-balai
memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang-tiang
dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar likah dan galar. Stabilitas
konstruksi dengan sistim lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang
senggawang tidak ada pada bale sekutus. Bangunan dengan dinding penuh
pada keempat sisi dan pintu keluar masuk kearah natah.

8. Bale Dauh / Loji ini terletak di bagian Barat ( Dauh natah umah ), dan
sering pula disebut dengan Bale Loji, serta Tiang Sanga. Fungsi Bale Dauh
ini adalah untuk tempat menerima tamu dan juga digunakan sebagai
tempat tidur anak remaja atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale
Dauh ini adalah 1 buah bale – bale yang terletak di bagian dalam. Bentuk

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 15


Bangunan Bale Dauh adalah persegi panjang, dan menggunakan saka atau
tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya berjumlah 6 disebut sakenem,
bila berjumlah 8 disebut sakutus / astasari, dan bila tiangnya bejumlah 9
disebut sangasari. Bangunan Bale Dauh adalah rumah tinggal yang
memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari Bale Dangin serta
Bale Meten.

9. Paon ( Dapur ) yaitu tempat memasak bagi keluarga. Bagian yang


terpenting dari rumah dapur orang bali tempatnya terpisah dengan bagian-
bagian rumah yang lain. Dapur biasanya ditempatkan disebelah barat bale
delod berdekatan dengan pintu masuk rumah atau dalam bahasa bali biasa
disebut lebuh. Fungsi dapur di bali memang sama dengan dapur – dapur
pada umumnya akan tetapi bagian – 22 bagian dapur tradisional bali harus
memiliki tungku dalam bahasa bali disebut Bungut Paon. Tungku ini
fungsinya sebagai pengganti kompor atau hanya symbol saja tetapi tidak
digunakan. Tungku ini juga berfungsi sebagai tempat meletakan yadnya
sesa atau banten jotan ( sesajen setelah selesai memasak di pagi hari ).
Diatas bungut paon itu biasa dibuatkan Langgatan ( sejenis rak
tradisional ). Jika memasak menggunakan bungut paon langgatan
berfungsi sebagai tempat meletakan kayu bakar yang sudah kering dan
siap digunakan.

10. Jineng/lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa


padi dan hasil kebun lainnya. Fungsinya sebagai penyimpanan hasil panen
yang berupa gabah di bagian atapnya. Dan dibawahnya dibentuk menyerupai
bale untuk tempat bersantai dan bercengkrama bersama keluarga. Orang –
orang yang memiliki jineng ini biasanya golongan petani yang memiliki hasil
panen setiap tahun. Jineng biasanya terletak bersebelahan dengan dapur yang
pada umumnya berada pada bagian depan areal rumah.

2.6 Pola Ruang Pemukiman dan Rumah Tradisioanl pada Desa Tigawasa

Pola Pemukiman
Pola pemukiman Desa Tigawasa memiliki pola permukiman memusat.
Permukiman masyarakat mengelompok di tengah-tengah desa yang di kelilingi oleh
kawasan perkebunan dan tegalan dan perkembangannya menyebar pada lokasi
pertanian yang berada pada luar wilayah Banjar Dauh Pura. Banjar Dauh Pura berada
di pusat atau di tengah-tengah desa dan terdapat rumah dadia sebanyak 37 buah dan
tempat suci, yaitu Pura Desa dan Pura Dalem yang menjadi satu dengan Pura Desa,
sedangkan Banjar lainnya berada mengelilingi Banjar Dauh Pura dengan wilayahnya
berada diluar wilayah utama Desa Tigawasa, biasanya masyarakat mengatakan
wilayah tersebuut dengan iistilah “kubu”. Kubu merupakan rumah tinggal diluar
pusat pemukiman di ladang, di perkebunan atau tempat-tempat kehidupan lalinnya.
Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan permukiman,
menempati unit-unit perkebunan atau ladang-ladang yang berjauhan tanpa penyediaan

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 16


sarana utilitas. Pola ruang kubu sebagai rumah tempat tinggal serupa pola dengan
rumah/umah

Peta permukiman Desa Tigawasa

Analisis karakteristik pola tata ruang permukiman rumah tradisional Desa Tigawasa

Analisis karakteristik pola tata ruang permukiman rumah tradisional Desa Tigawasa
bertujuan untuk mengetahui penerapan filosofi dan konsepsi tata ruang tradisional
masyarakat Desa Tigawasa, sehingga nanti dapat memberikan gambaran mengenani filosofi
dan konsepsi serta pergeseran-pergeseran tata ruang yang ada.

Awig – awig (Hukum adat) Desa Tigawasa dalam pengaturan tata ruang desa

Sebagai salah satu desa tua di Bali pada khususnya Kabupaten Buleleng keberadaan
Desa Adat Tigawasa bisa terjaga hingga kini dikarenakan dalam setiap kehidupan masyarakat
selalu berpegang pada awig–awig desa. Begitu juga halnya dengan pemanfaatan wilayah desa
yang telah diatur dalam ketentuan desa adat. Jika ada masyarakat yang melanggar maka akan
mendapatkan sanksi, mulai dari pamindanda (denda) hingga dikeluarkan dari keanggotaan
krama desa adat.

Hukum adat (awig–awig) adalah aturan yang dibuat oleh warga (krama) desa adat
yang dipakai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari masayarakat Desa Adat
Tigawasa, baik dalam kehidupan sosial budaya dan dalam pelaksaan tara ruang desa maupun
dalam pekarangan.

Analisis tata ruang desa (Makro)

Menurut konsepsi masyarakat Bali pada umumnya, tata ruang yang dimaksudkan
adalah aturan penempatan ruang–ruang yang mengacu pada fungsi tertentu serta tata nilai
yang diberikan terhadap fungsi tersebut dengan berlandaskan pada ajaran agama Hindu di
Bali. Seperti yang diungkapkan Parwata (2004), bahwa pengaturan tata ruang masyarakat
Bali dilandasi oleh Konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari zona parahyangan (ruang
utama/suci), palemahan (wilayah desa/ruang interaksi dan kegiatan masyarakat), pawongan
(manusia).

Penerapan konsep Tri Mandala terbagi menjadi Zona Utama, Zona Madya, Zona
Nista. Zona Utama adalah wilayah yang terletak pada sisi (Hulu) selatan desa topografi
tinggi. Zona Utama merupakan zona suci (parahyangan) bangunan bangunan suci ataupun
Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 17
segala hal yang berkaitan dengan pemujaan diarahkan pada zona ini. Zona Madya, zona ini
berda di tengah-tengah desa zona ini merupakan pusat permukiman masyarakat (pawongan)
desa tigawasa. Untuk Zona Nista terletak pada sisi utara desa (Teben) topografi rendah,
wilayah ini merupakan wilayah yang paling “kotor”, karena pada zona ini terdapat
merupakan zona ini merupakan tempat pembuangan akhir untuk segala yang kotor. ciri
khusus yaitu keberadaan kuburan

Identifikasi Zona Tri Mandal

Transek Desa melintang vertikal utara selatan

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 18


Tipologi Desa Adat Tigawasa

Ciri utama fisik Desa Bali pegunungan adalah ruang terbuka cukup luasyang
memanjang (linier) dari arah utara menuju selatan (kaja-kelod), yang membagi desa menjadi
dua bagian. Pada posisi yang diametral, yakni pada ujung utara (kaja)terletak Pura Puseh
(tempat pemujaan untuk Dewa Wisnu, yaitu Dewa Penciptaan), di tengah sebagai tempat
Pula Bale Agung (tempat pemujaan untuk Dewa Siwa). Fasilitass umum atau infrastruktur
berada di tengah desa dan hunian penduduk berada pada sisi kiri dan kanan jalan utama desa.

Ilustrasi tipologi permukiaman Desa Adat Tigawasa

Analisis penggaturan ruang budaya Desa Tigawasa

Zona parahyangan merupakan suatu bentuk manifestasi hubungan yang seimbang


antara manusia dengan Tuhan Ynag Maha Esa yang diwujudkan melalui sarana peribadatan
(pura) di setiap wilayah desa. Di desa Adat Tigawasa terdapat 9 pura yang tersebar di dalam
permukiman desa, di dalam hutan, dan i balas wilayah desa.

Analisis tata ruang unit hunian (Mikro)

Proses pembangunan tempat tinggal masyarakat Desa Tigawasa. Berdasarkan hasil


kuisioner dapat diketahui bahwa rata-rata rumah tradisional yang terdapat di wilayah Banjar
Dinas Dauh Pura dibangun padda tahun 1901-1906. Dimulai dengan membangun
penyengker/bata pekarangan kemudian membangun sanggah dilanjutkan dengan membangun
sakaroras. Jika pemilik rumah memiliki keinginan membangun bangunan penunjang lainnya
juga dapat dibangun setelah membangu bangunan utama. Permukiman rumah panti Desa
Adat Bali Tigawasa pada dasarnya dalam satu perkarangan hanya terdiri dari dua bangunan
yaitu bangunan sanggah/mrajan dan sakaroras

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 19


Tata urutan tempat tinggal

Pola ruang tradisional dalam lingkup desa (makro)

1. Pembatasan pembangunan di zona utama dan nista mandalaterutama dari penduduk


yang berasal dari luar wilayah desa dengan menjalankan sepenuhnya ketentuan yang
ada dalam awig-awig desa.hal ini di karenakan kehidupan masyarakat Desa Adat
Tigawasa dari dulu hingga sekrang selalu diselimuti oleh aturan adat.
2. Menjaga aturan yang selama ini telah berlaku , yaitu dengan tidak mengijinkan
pembangunan rumah adat (panti) di luar wilayah Banjar Dinas Dauh Pura (zona
madya mandala) sehingga kekhasan pola permukiman tetap terjaga

Pola ruang tradisional dalam lingkup unit hunian (mikro)

1. Pembatasan terhadap bagian rumah yang boleh direnovas, seperti hanya sebatas
estetika bangunan. Namun jika sampai merubah unit bangunan hendaknya dilarang
karena dapat menghilangkan ciri pola ruang tradisional yang dimiliki.
2. Memberikan itensif terhadap penduduk yang masih menjaga rumah tradisional Bali
Aga
3. Dalam pembangunan bangunan baru diharapkan masyarakat tetap mengacu pada
konsep Hulu Teben sehingga kelestarian pola ruang tradisional yang telah ada tetap
bertahan dan lestari.
4. Memberikan pemahaman-pemahaman kepada generasi muda akan pentingnya
menjaga kelestarian rumah tradisional Bali Aga Desa Tigawasa sebagai suatu warisan
yang berharga shingga nantinya jika sampai pada saat generasi tersebut mendiami
rumah tradisional senantiasa selalu menjaga kelestarian dari rumah tradisional Bali
Aga tersebut.

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 20


KESIMPULAN

Indonesia sebagai bagian wilayah Asia telah meningkat kesadarannya tentang


pentingnya suatu Arsitektur yang menjadi milik Bangsa sendiri. Suatu Arsitektur yang
memiliki ciri khas Bangsanya, otentik dan berjati diri, tidak latah oleh pengaruh globalisasi
dan modernisasi. Sebagai suatu negara yang memiliki budaya daerah yang kaya, warisan dan
jejak sejarah yang panjang tentu tidak ingin begitu saja larut dalam kelatahan. Pengembangan
potensi Vernakular, kiranya mampu berdialog dengan globalisasi yang melanda dunia tanpa
larut secara semena mena didalamnya.
Rumah Tradisional Bali adalah tempat/ruang untuk menampung aktivitas manusia
yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan perubahan-perubahan yang menyesuakian
dengan perkembangan zaman serta berdasarkan norma- norma yang berlaku, peraturan
traditional (Asta Kosala Kosali), adat kebiasaan setempat dan bergantung pada kondisi serta
potensial alam dan lingkungan.
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak
merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang- ruang yang
berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung
Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam
pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua
dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan
keluarga. Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah
dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur dan
barat. Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama
dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat
pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan.
Desa Adat Tigawasa tidak mengenal adanya strata sosial (tingkatan kasta).
Seluruh penduduknya menganut agama Hindu Sekte Sambu. Karakteristik Pola Tata Ruang
Tradisional Desa Adat Tigawasa: Dalam sistem pembagian tata ruang secara makro, Desa
Adat Tigawasa mengikuti konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala. Ditinjau dari segi pola
desa adat yang ada di Bali, Desa Adat Tigawasa masuk ke dalam pola II, yaitu satu desa
mencakup desa adat; Untuk pola ruang dalam unit hunian penduduk mengacu pada Konsep
Hulu-teben. Dalam lingkup desa, perubahan pola ruang tradisional desa adalah semakin
berkembanganya permukiman yang semula hanya terdapat pada wilayah Banjar Dinas Dauh
Pura berkembang menjadi permukman-permukiam yang tersebar ke seluruh wilayah desa
secara tidak terpola; Dalam lingkup unit hunian penduduk, pergeseran pemanfatan ruang
terjadi pada natah/pekarangan rumah yang makin meyempit karena adanya pergeseran dari
dapur, dapur yang mulanya berada di dalam sakaroras kemudian dibangun di luar dari
sakaroras.

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 21


DAFTAR PUSTAKA

Arsitektur Vernakuler. (t.thn.). Diambil kembali dari


http://mikoindralupi.blogspot.com/2015/04/makalah-arsitektur-vernakular.html

Arsitektur Vernakuler Indonesia. (t.thn.). Diambil kembali dari


https://www.scribd.com/document/360560386/arsitektur-vernakular-pdf

Asitektur Bali. (t.thn.). Diambil kembali dari


https://www.scribd.com/doc/145780438/Arsitektur-Bali

Pola Ruang Permukiman dan Rumah Tradisional Bali Aga . (t.thn.). Diambil kembali
dari
https://moondoggiesmusic.com/contoh-makalah/

Pola Ruang Permukiman dan Rumah Tradisional Bali Aga Banjar Dauh Pura
Tigawasa. (t.thn.). Diambil kembali dari
https://www.academia.edu/6986372/Pola_Ruang_Permukiman_dan_Rumah_Tradisi
onal_Bali_Aga_Banjar_Dauh_Pura_Tigawasa

pola ruang permukman dan rumah tradisional baliaga banjar dauh pura tigawasa.
(t.thn.). Diambil kembali dari
https://www.researchgate.net/publication/315534582_POLA_RUANG_PERMUKIMA
N_DAN_RUMAH_TRADISIONAL_BALI_AGA_BANJAR_DAUH_PURA_TIGAWASA
Rumah Tradisional Bali. (t.thn.). Diambil kembali dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/92d0addc0b3e1bbf82d65d
2d8cd8c4ad.pdf

Arsitektur Nusantara Bali Desa Tigawasa | 22

Anda mungkin juga menyukai