Anda di halaman 1dari 25

PENERAPAN KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA

BANGUNAN

(STUDI KASUS : PURI AGUNG PETANG)

OLEH :

ANAK AGUNG RISZA PRAMITA SINDY

1715124047

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

POLITEKNIK NEGERI BALI

JURUSAN TEKNIK SIPIL

PROGRAM STUDI D4 MANAJEMEN PROYEK KONSTRUKSI

2020
ABSTRAK

Penerapan Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang


yang mewadahi kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara
turun menurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu
hingga sekarang. Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan
manuskrip Hindu bernama “Lontar Asta Kosala Kosali” yang memuat tentang
aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah
atau pura. Dari kajian arsitektur khususnya tentang pola, bentuk, ataupun tata
ruangnya tidak mengacu pada paham universal akan tetapi melalui upaya
diversikasi dalam univikasi, seperti yang ditampilkan dari Puri Agung Petang.
Puri yang pada masa lampau merupakan pusat kesenian, pendidikan,
pemerintahan dan sebagainya. Namun kini banyak puri hanya berfungsi sebagai
rumah tinggal belaka karena perubahan sistem pemerintahan, bahkan beberapa
diantaranya telah berubah fungsi yaitu sebagai fungsi penunjang pariwisata
ataupun rusak dimakan waktu karena berbagai penyebab. Studi mengenai Puri
yang ditelusuri sejak awal (masa lampau), saat sekarang dan upaya menjaga
eksistensinya untuk masa yang akan datang tentunya akan menjadi topik yang
urgen dan menarik bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya terkait
dengan bidang sosial, budaya dan arsitektur.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
penelitian yang berjudul “Penerapan Konsep Arsitektur Tradisional Bali pada
Bangunan (Studi Kasus : Puri Agung Petang)” tepat pada waktunya. Penulisan
proposal penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas besar mata kuliah
Arsitektur Tradisional Bali.
Pada kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil sehingga
proposal penelitian ini dapat selesai. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan
kepada :

1. Wayan Sri Kristinayanti, ST,MT selaku Dosen yang telah mendidik dan
memberikan bimbingan selama masa perkuliahan.

2. I Gusti Ngurah Agung selaku Kelian Puri Agung Petang atas kesempatan
dan bantuan yang diberikan kepada penulis dalam melakukan penelitian
dan memperoleh informasi yang diperlukan selama penulisan proposal
penelitian ini.

3. Serta pihak – pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan proposal
penelitian ini

Meskipun telah berusaha menyelesaikan proposal penelitian ini sebaik


mungkin, penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih ada kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca guna menyempurnakan segala kekurangan dalam penyusunan
proposal penelitian ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga proposal penelitian ini berguna bagi
para pembaca dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Bali memiliki banyak daya tarik. Picard (2006:21) mencatat bahwa
pulau Bali tersohor di dunia karena keindahan pemandangannya dan lebih
lagi karena kekayaan tradisi kesenian dan religinya. Sejak abad ke-8 sampai
dengan abad ke-15, Bali secara intensif mengalami perubahan dan
perkembangan dalam tradisi adat serta budayanya. Arsitektur sebagai produk
budaya dan merupakan wadah aktivitas budaya Bali tidak terlepas dari
keberadaan manuskrip Hindu bernama “Lontar Asta Kosala Kosali” yang
memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan
tempat pembuatan ibadah atau pura.
Adapun bukti fisik tentang keberadaan kerajaankerajaan Bali yaitu
istana raja yang dalam bahasa Bali dinamakan puri agung. Puri yang
berfungsi sebagai istana raja-raja di Bali ditemukan sejak abad ke-14
sampai dengan awal abad ke-20 (Suwitha 2019), merupakan peninggalan
arsitektur yang sangat kaya dengan corak dan ragam arsitektur. Wujud
rancangan arsitektur puri terbentuk atas dasar filosofi dan konsepsi
arsitektur tradisional Bali (ATB), diantaranya: Tri Hita Karana, Catus
Patha, Sanga Mandala dan Tri Angga (Rachmat 2013).
Bangunan-bangunan puri dirancang untuk tujuan dan maksud
tersebut, sehingga keberadaannya pada suatu lingkungan (desa) akan
menjadikannya sebagai “landmark” sekaligus sebagai pusat
lingkungan/kawasan. Ada dua bagian penting dalam fungsi dan peran
Puri: (1) tangible; yaitu pusat dan kekuatan komunitas dalam menangani
persoalan kehidupan adatistiadat, tradisi, material. (2) intangible;
merupakan kedekatan antara keluarga raja dengan para pendeta, arahan
spiritual dan ritual agama Hindu dan informasi umum lainnya yang
berupa ilmu pengetahuan yang menuntun kehidupan masyarakatnya
(Rachmat Budihardjo; 2019)
Terdapat berbagai macam konsep dalam adat tradisional Bali.
Setiap konsep memiliki tujuan yang berbeda-beda dan memiliki nilai
budaya yang diturunkan secara turun temurun dari leluhur. Sebuah konsep
arsitektur Bali tidak hanya berhubungan dengan bangunan namun juga
tetap memperhatikan lingkungan, hubungan sosial masyarakat dan sesuai
dengan ajaran agama Hindu. Konsep adat tradisional Bali berprinsip
untuk menciptakan hubungan harmonis antara Buana Agung (hubungan
dengan Tuhan yang Maha Esa) dan Buana Alit (hubungan harmonis
dengan manusia),Tri Hita Karana, Manik Ring Cucupu, Tri Angga,
hingga Sanga Mandala yang merupakan aturan tata ruang.
Penelitian terkait dengan penerapan arsitektur puri dalam
kaitannya dengan konsep Arsitektur Tradisional Bali dijadikan sebagai
fokus penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi upaya menjaga
eksistensi dan citra budaya Bali, khususnya arsitektur puri untuk saat kini
maupun yang akan datang. Berdasarkan ha

2. Rumusan Masalah
1. Seperti apakah penerapan konsep arsitektur tradisional bali terhadap
pembentukan pola ruang pada kawasan Puri Agung Petang
2. Bagaimanakah dampak dari penerapan konsep arsitektur tradisional bali
pada kawasan puri di masa sekarang ini?

3. Tujuan Penelitian
1. Mengevaluasi dan menganalisa penerapan arsitektur tradisional bali
terhadap pembentukan pola ruang pada kawasan Puri Agung Petang
2. Mengkaji dan menganalisa dampak dari penerapan konsep arsitektur
tradisional bali pada kawasan puri di masa sekarang ini

4. Manfaat Penelitian
1. Untuk menambah wawasan bagi mahasiswa tentang penerapan konsep
arsitektur tradisional bali
2. Sebagai informasi dalam bentuk refrensi untuk pengembangan ilmu
arsitektur, khususnya mengenai penerapan konsep arsitektur tradisional
bali terhadap pembentukan pola ruang pada Kawasan puri
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Arsitektur Tradisional Bali


Arsitektur Tradisional Bali merupakan salah satu bentuk dari konsep
arsitektur berkelanjutan. Maharlika (2010) menyatakan bahwa arsitektur
tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan
masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun temurun dengan segala
aturan-aturan yang diwarisi sejak zaman dahulu.
Dalam pemahaman Arsitektur Tradisional Bali, bangunan dianggap
memiliki kesetaraan dengan manusia, oleh karena itu bangunan terdiri dari
jiwa dan badan fisik. Jiwa yang menghidupkan dianalogikan sebagai
maknanya, sedangkan bentuk badan fisiknya merupakan ekspresinya. Makna
sebagai jiwa dari arsitektur memiliki posisi yang sangat penting dan menjadi
landasan filosofis untuk menciptakan sebuah bentuk atau image arsitektur
(Siwalatri, 2015).
Bangunan mengikuti siklus Tri Kona : Utpeti/ penciptaaan, Sthiti/
pemanfaatan, dan Pralina/ penghancuran, sebagaimana halnya manusia yang
mengalami lahir, hidup dan mati. Arsitektur Tradisonal Bali dijiwai dan
dilandasi oleh ajaran Agama Hindu. Penjiwaan ini tercermin tiga hal, yaitu :
a. Dalam proses pembangunan tradisional : upacara keagamaan (sarana,
mantera, rajah), penentuan dimensi dan jarak (dewa-dewa Hindu),
penentuan hari baik/dewasa ayu (Jyotisa)
b. Dalam tata ruang dan tata letak bangunan : pola tri mandala dan sanga
mandala (konsep Tri Loka dan dewata nawa sanga), pola Natah
(perpaduan akasa dan pretiwi), orientasi hulu - teben
c. Dalam wujud bangunan : nama-nama ukuran yang dipilih (bhatara
asih, prabu anyakra negara, sanga padu laksmi), simbol dan corak
ragam hias (Acintya, Kala, Boma, garuda-wisnu, angsa, dll),
Arsitektur Tradisional Bali sebagai perwujudan ruang secara turun
temurun dapat meneruskan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat
sesuai dengan pandangan dan idealismenya. Karya arsitektur tradisonal Bali
mencerminkan aktivitas pemiliknya, dengan demikian maka modul ruang dan
bentuk yang diambil dari ukuran tubuh manusia dan aktivitas pemiliknya. Di
dalam Arsitektur Tradisonal Bali terkandung unsur-unsur : Peraturan tradisonal
baik yang tertulis maupun lisan, ahli bangunan tradisional seperti undagi,
sangging, tukang, pelukis serta sulinggih/pendeta. Ini mencerminkan
kompleksitas rancangan arsitektur, kedalaman dan totalitas integrative.
Suartika (2010 : 24-70) menjabarkan makna arsitektur ruamah
menjadi delapan, antara lain : (a) rumah berhubungan erat dengan alam, (b)
rumah sebagai sebuah sistem keamanan, (c) rumah sebagai sebuah perjalanan,
(d) sebagai seni, (e) sebagai cloister, (f) sebagai bagian dari kegiatan spiritual
dan (g) sebagai fasade. Makna bukan sesuatu yang sederhana, tetapi makna
bersifat luas dan beragam. Makna arsitektur dapat berupa gagasan, pikiran atau
konsep yang ingin disampaikan pada pengamatnya. Makna dapat
terpragmentasi, dan dapat diamati serta diinterpretasikan baik secara sinkronik
maupun diakronik. Pragmentasi makna mengakibatkan lapisan dan hirarki
makna.
Pada Arsitektur Tradisional Bali terdapat tiga klasifikasi fungsi
bangunan yang masing-masing memiliki hirarki makna sebagai berikut, yaitu
(Goris, R. 2012 : 1-18) :
a. Hirarki makna utama bangunan yang berfungsi peribadatan pada
dasarnya sebagai tempat pemujaan dan berbakti kepada Tuhan dan
leluhur dalam rangka menguatkan dan memberdayakan hidup ini agar
manusia dalam hidup ini menjadi lebih baik dan lebih berguna.
Tempat pemujaan ini terdiri dari :
 Pura Kawitan dan Sanggah sebagai media mengembangkan
kerukunan dalam keluarga.
 Pura Kahyangan Desa sebagai media untuk mengembangkan
kerukunan dalam stau territorial desa.
 Pura Swagina sebagai media untuk mengembangkan kerukunan
profesi.
 Pura Kahyangan Jagat sebagai media untuk mengembangnkan
kerukunan regional dan universal.
b. Hirarki makna madya bangunan yang berfungsi perumahan untuk
tempat hunian dengan segala aktivitas dan interaksinya agar manusia
dapat mengembangkan potensi dan profesinya secara profesional dan
optimal secara serasi, selaras dan seimbang. Hunian ini terdiri dari :
 Griya sebagai wadah hunian untuk profesi
rohaniawan/sulinggih/pendeta
 Puri sebagai wadah hunian untuk pemimpin/penguasa
pemerintahan
 Jero sebagai wadah hunian untuk pembantu/pejabat pemerintahan
 Umah sebagai wadah hunian untuk masyarakat umum seperti
penggerak pertanian dan perdagangan.
c. Hirarki makna nista bangunan yang berfungsi sosial sebagai wadah
untuk melakukan aktivitas secara berkelompok/bersama dalam suatu
territorial tertentu baik di tingkat lingkungan maupun desa. Bangunan
ini akan lebih berfungsi sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial
budaya bagi anggota masyarakat, jenisnya antara lain sebagai berikut :
 Bale desa berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial
budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan
kerukunan di tingkat territorial desa.
 Bale banjar berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial
budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan
kerukunan di tingkat lingkungan banjar.
 Bale teruna-teruni sebagai wadah aktivitas, kreativitas dan interaksi
sosial budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan
kerukunan dan pembinaan generasi muda.
 Bale subak sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan
kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan
kesejahtraan dibidang pertanian.
 Pasar sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan
ekonomi kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan
kesejahtraan desa.
 Beji sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan
kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan
sanitasi desa.
 Bale bendega sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya
dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan
kesejahtraan oleh nelayan
 Bale sekee difungsikan oleh perkumpulan profesi non formal
Arsitektur tradisional di Indonesia merupakan bagian dari arsitektur
vernakuler yang secara turun temurun terikat pada tradisi. Secara umum
arsitektur tradisional ditentukan oleh kosmologi, mengutamakan nilai relegi
dan ritual, kurang menghargai kebutuhan badaniah, terikat pada struktur
social dan kekerabatan, adaptif terhadap kondisi alam/lingkungan (Rahayu,
2010 : 51; Rahayu & Nuryanto, 2010 : 72).

2.2. Konsep Arsitektur Tradisional Bali


2.2.1.Konsep Tri Hita Karana
Tri Hita Karana memiliki makna tiga unsur sebagai penyebab
kebaikan yang terdiri dari atma (roh/jiwa), prana (tenaga) dan angga
(jasad/fisik). Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan
kosmos yang besar (bhuana agung) sampai yang paling kecil (bhuana
alit). Dalam alam semesta jiwa adalah Paramaatma (Tuhan Yang Maha
Esa), tenaga adalah kekuatan alam dan jasad adalah Panca Maha bhuta.
Dalam lingkup permukiman desa, jiwa adalah parahyangan (pura desa),
tenaga adalah pawongan (warga desa) dan jasad adalah palemahan
(wilayah teritorial desa). Pada rumah tinggal, jiwa adalah
sanggah/pamerajan (area suci/pura keluarga), tenaga adalah penghuni
(anggota keluarga) dan jasad adalah pekarangan, sedangkan dalam
konteks manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan
jasad adalah stula sarira (tubuh manusia).
Tabel 1. Konsep Tri Hita Karana Dalam Susunan Kosmos
UNSUR ATMA (JIWA) PRANA (TENAGA) ANGGA (FISIK)
Alam Semesta Paramaatman Kekuatan yang Unsur-Unsur
(Bhuwana (Tuhan Yang Maha menggerakkan Panca
Agung) Esa) alam Mahabhuta
Kahyangan Tiga
Pawonga Palemahan
Desa (Pura Desa, Puseh
n (warga (wilayah
dan Dalem)
desa) desa)
Parahyan Pawongan Palemahan
Banjar
gan (Pura (warga (wilayah
Banjar) banjar) banjar)
Rumah Pamerajan / Sanggah Anggota Keluarga Pekarangan
Rumah
Manusia Atman Badan /
Sabda Bayu Idep
(Bhuwana (jiwa manusia) Tubuh
Alit) Manusia

2.2.2. Konsep Tri Angga dan Tri Loka


Tri Angga memiliki arti tiga bagian dalam tubuh manusia yang
terdiri dari utama angga (kepala), madya angga (badan) dan nista angga
(kaki). Konsep Tri Angga dalam Bhuana Agung disebut dengan Tri
Loka atau Tri Mandala. Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang besar
(makro) sampai yang terkecil (mikro). Bila dianggap secara vertikal,
maka aplikasi konsep tersebut terdiri dari utama berada pada posisi
teratas / sakral, madya posisi tengah dan nista pada posisi
terendah/kotor.

Tabel 2. Konsep Tri Angga / Tri Loka Dalam Susunan Kosmos


UNSUR UTAMA ANGGA MADYA ANGGA NISTA ANGGA
Alam Semesta
Swah Loka Bhuah Loka Bhur Loka
(Bhuwana Agung)
Wilayah Gunung Dataran Laut
Desa
Kahyangan Tiga Permukiman Setra / Kuburan
(Perumahan)
Rumah Tinggal Sanggah/Pamerajan Tegak Umah Tebe
Bangunan Atap Tiang / Dinding Lantai/Bebaturan
Manusia
Kepala Badan Kaki
(Bhuwana Alit)
Masa Yang Akan Datang Masa Sekarang Masa Lalu
Masa / Waktu
(Wartamana) (Nagata) (Atita)
2.2.3. Konsep Nawa Sanga / Sanga Mandala
Nawa Sanga / Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam
penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada arsitektur Bali.
Konsep Nawa Sanga adalah merupakan penggabungan dari konsep
orientasi sumbu bumi dan sumbu ritual / sumbu matahari. Orientasi
berdasarkan sumbu bumi membagi tiga zona yang terdiri dari : daerah
tinggi / gunung (utama) disebut dengan Kaja, daratan (madya) dan laut
(nista) disebut dengan Kelod. Sedangkan orientasi sumbu
ritual/matahari membagi menjadi tiga zona yang terdiri dari : arah
terbitnya matahari di timur (utama) disebut dengan Kangin, transisi
arah timur – barat (madya) dan arah terbenamnya matahari di Barat
(nista) disebut dengan Kauh.
Penggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan konsep
sumbu ritual/matahari (Kangin-Kauh) inilah yang menghasilkan konsep
Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan
konsep yang lahir dari sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa
Sanga yang menyebar pada delapan arah mata angin dengan satu pada
bagian tengah yang menjaga keseimbangan alam semesta.
Konsep Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam tata
letak bangunan dan alokasi kegiatannya, seperti kegiatan utama
yang memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah Utama ning
Utama, kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nista
ning Nista, sedangkan kegiatan diantara ke-duanya diletakkan di
tengah atau dikenal dengan daerah Madya ning Madya.

2.3. Arsitektur Puri


Puri merupakan salah satu wujud permukiman pada arsitektur Bali.
Pola permukiman berkembang setelah datangnya para Arya dari kerajaan
Majapahit. Bangunan rumah tinggal merupakan unit-unit bangunan yang
diatur dan dikelompokkan dalam satu kesatuan banjar, sebagai suatu wujud
lingkungan komunitas terkecil yang terdapat pada suatu desa di Bali.
Struktur pola menetap atau permukiman (pawongan) adalah merupakan
simbolisasi dari Tribhuana, yaitu halaman luar yang disebut lebuh adalah
simbol dari alam bhuta (kekuatan jahat); halaman tengah yang disebut natah
adalah simbol alam dimana manusia berada dan halaman sakral/dalam yang
disebut Kahyangan/Parahyangan adalah simbol dimana kekuatan baik
(dewa-dewa) berada. Ke-tiga wujud alam tersebut merupakan makrokosmos,
sedangkan alam yang diciptakan manusia dan dimana ia berada disebut
mikrokosmos. Tujuan dari perwujudannya adalah terciptanya keselarasan
diantara keduanya. Konsepsi Rwa-Bhinedha diterapkan dengan membedakan
bagian luwanan, merupakan bagian atas yang senantiasa berorientasi ke arah
gunung (kaja) dan teben yang berorientasi kea rah laut (kelod).
Tingkat-tingkatan kasta, status sosial dan peran individu dalam
masyarakat merupakan faktor-faktor yang membedakan wujud rumah di Bali.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada luas pekarangan, susunan ruang, type
bangunan, fungsi, bentuk dan material yang digunakan yang diatur dalam
Hasta Kosala Kosali (Gelebet, 1986 : 35-40). Menurut sistem kasta dapat
dibedakan beberapa wujud rumah tinggal, yaitu : Puri, Gria, Jero dan Umah.
Puri adalah tempat tinggal kasta Ksatriya yang memegang kendali dan
kekuasaan dalam pemerintahan (Raja); Gria adalah tempat tinggal kasta
Brahmana yang berperan dalambidang spiritual keagamaan; Jero adalah
tempat tinggal kasta Weisya; dan umah adalah tempat tinggal kasta Sudra.

2.4. Pengertian Puri


Pura maupun puri ditinjau dari asal katanya sama–sama berasal dari
kata pur yang berarti tempat yang dikelilingi oleh tembok, atau dengan nama
lain dapat juga diartikan sebagai benteng. Dengan demikian puri adalah
rumah raja sekaligus benteng yang berfungsi mengamankan dan
melambangkan kekuasaannya. Runtuhnya benteng dalam kiasan berarti
jatuhnya sang penguasa “raja”.
Keberadaan puri dalam kesehariannya secara umum menyandang
berbagai fungsi antara lain sebagai berikut :
a. Tempat tinggal “rumah” raja beserta keluarga dengan segala
aktivitasnya.
b. Sebagai pusat, tempat, dan pelaksanaan pemerintahan
c. Merupakan tempat pengembangan kesenian dan unsur kebudayaan
lainnya.
d. Sebagai tempat perlindungan / benteng bagi raja dan keluarganya.
Memperhatikan beberapa fungsi tersebut diatas, oleh karenanya suatu
puri juga menjadi pusat wilayah , pusat kekuasaan, pusat permukiman, dan
pusat orientasi yang bila dianalogikan dengan daerah perkotaan maka puri
menjadi pusat kota sekaligus sebagai landmark. Sosok puri sebagai tempat
tinggal raja dan berbagai fungsi lainnya menjadi penting dan utama baik dari
segi lokasi, luas, bahan, struktur, dimensi, ornamentasi dan sebagainya dalam
wacana, fungsional, kokoh, dan indah yang memburatkan nuansa
kewibawaan seorang raja. Raja adalah segala–galanya pada saat itu dan
tempat tinggalnya “puri” adalah juga tanda sekaligus simbul dari
kekuasaannya.

2.5. Tata Letak dan Pola Ruang Puri di Bali.


Puri – puri di Bali yang dibangun setelah pengaruh Hindu–Majapahit
pada abad XIV, umumnya memilih lokasi pada daerah dataran dengan pola
ruang wilayahnya menyerupai papan catur “grid”. Pada pusat wilayah yang
ditandai dengan persilangan jalan utama “perempatan agung”, dirancanglah
tata letak puri dan fasilitas pendukung lain disekelilingnya. Konsep tata letak
puri pada umumnya adalah pada zona Kaja Kangin “Timur Laut”.
Penyimpangan dari konsep umum ini terdapat di beberapa puri lainnya di
Bali seperti yang dijumpai di Puri Singaraja, Mengwi, Tabanan, dan Bangli.
Rupa–rupanya nilai utama pada zona Kaja Kangin di paradigma oleh puri
tersebut diatas, paling tidak oleh orientasi kosmologi dimana gunung adalah
Utara “Kaja” dan laut adalah Selatan ”Kelod”, atau oleh nilai lainnya yang
dipercaya memberikan keselamatan dalam bingkai Desa , Kala, dan Patra.
Dengan kata lain lingkungan buatan dibangun dengan thema harmonisasi
melalui transformasi Bhuana Agung atau alam semesta kedalam miniatur
puri.

Gambar disamping ini merupakan tata letak ideal puri


pada umumnya yang berlaku di Bali. Daerah
berwarna hitam yang terletak pada arah Timur Laut
“Kaja Kangin” dari Perempatan Agung adalah lokasi
puri.
Pola ruang puri umumnya mengikuti pola wilayah permukimannya
yaitu grid yang berkiblat pada konsep yang disebut Mandala. Pola tersebut
membagi areal lahan puri menjadi sembilan petak dengan tata nilai ruang
yang berbeda dikenal dengan sebutan Nawa Sanga. Perbedaan tata nilai
ruang tersebut sekaligus menjadi pedoman dalam penempatan masing–
masing fungsi yang terdapat dalam suatu puri dari yang sangat privat sampai
dengan yang sifatnya publik. Kaja Kangin tetap merupakan nilai utama,
suci,dan privat sebagai lokasi untuk bangunan suci “pura”. Adapun fungsi –
fungsi yang ditampung dalam ke – sembilan areal puri umumnya adalah
sebagai berikut:
a. Jeroan, adalah areal untuk kegiatan persembahyangan bagi raja dan
keluarganya.
b. Jaba Tengah, sebagai wadah kegitan persiapan dan penyiapan
upacara seperti membuat sesajen dan lainnya.
c. Jaba Sisi, berfungsi untuk menampung kegiatan yang sifatnya umum
sampai dengan yang menunjang upacara ke- agama-an.
d. Saren Kauh, dimanfaatkan sebagai tempat tinggal saudara raja yang
lebih muda, ataupun sebagai tempat tamu atau kerabat keluarga yang
menginap.
e. Rangki dan Saren Agung, merupakan areal pusat dimana raja
melakukan aktivitasnya. Untuk menerima tamu penting maupun
kerabat dan keluarga raja dilakukan pada daearah Rangki, sedangkan
Saren Agung adalah merupakan tempat tidur raja. Di beberapa puri
lainnya antara Rangki dan Saren Agung dipisahkan secara tegas
dengan tembok pembatas.
f. Saren Kangin, adalah daerah untuk tempat tinggal keluarga raja yang
sudah tua. Atau ada pula yang menamakannya Keputren sebagai
tempat tinggal putri raja ataupun selirnya.
g. Ancak Saji, merupakan daerah yang menampung segala kegiatan
yang sifatnya publik seperti aneka kesenian, persiapan upacara adat,
dan sewaktu –waktu juga sebagai tempat raja menikmati
pemandangan berupa festival, latihan perang, kegiatan pasar, dan
sebagainya yang terjadi di sepanjang jalan di depan puri. Bangunan
untuk menikmati acara tersebut dikenal dengan Bale Tegeh “Tajuk”.
h. Semanggen, adalah daerah yang difungsikan sebagai temapt
menampung kegiatan upacara yang berhubungan dengan manusia
selama dan sesudah hidupnya yaitu Manusa dan Pitra Yadnya.
Sehari – harinya daerah ini merupakan tempat para tamu menunggu
atau ditemui raja dan dapat pula berfungsi sebagai tempat latihan
kesenian bagi keluarga puri.
i. Pewaregan, berfungsi sebagai daerah yang mewadahi kegiatan
masak – memasak hidangan para keluarga raja dan sekaligus sebagai
tempat persediaan bahan makanan. Untuk itu disamping bangunan
dapur juga dilengkapi dengan adanya beberapa lumbung padi
“jineng”.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


Deskriptif. Menurut Arikunto (2010: 3) Penelitian deskriptif adalah penelitian
yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau hal-hal lain
(keadaan, kondisi, situasi, peristiwa, kegiatan), yang hasilnya dipaparkan dalam
bentuk laporan penelitian. Dalam kegiatan penelitian ini peneliti hanya memotret
apa yang terjadi pada diri objek atau wilayah yang diteliti, kemudian
memaparkan apa yang terjadi dalam bentuk laporan penelitian secara lugas,
seperti apa adanya.
Penelitian metode deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi
(gambaran atau lukisan) secara sistematis, aktual, dan akurat mengenai fakta-
fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara gejala yang diselidiki. Jadi, secara
sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan metode deskriptif adalah suatu
metode penelitian yang digunakan untuk membuat gambaran mengenai suatu
situasi atau kejadian dengan cara mengumpulkan data-data dasar saja.
Rencana penelitian ini mengkhusus pada penerapan konsep arsitektur
tradisional bali pada bangunan puri. Dalam penelitian ini, data yang
diperoleh dari penelitian akan disajikan secara apa adanya dan sama sekali
tidak menarik kesimpulan yang lebih jauh atau bahkan meramalkan ke depan
dari data yang ada tersebut. Selanjutnya akan dideskripsikan gejala yang
terjadi dari data yang diperoleh dan menganalisis untuk mendapatkan
gambaran tentang dampak pengaruh dan penerapan konsep arsitektur
tradisional bali.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 1 Minggu (7 Hari).


Pelaksanaan Analisis dilaksanakan setelah pengambilan data dilakukan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di laksanakan di Puri Agung Petang

3.3 Penentuan Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek


dari mana data dapat diperoleh. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
dua sumber data yaitu :
1. Data Primer
Data Primer adalah sumber data penelitian yang diperoleh secara
langsung pada lokasi yang berupa wawancara, jajak pendapat dari individu
atau kelompok (orang) maupun hasil observasi dari suatu obyek, kejadian
atau hasil pengujian (benda), menentukan unit-unit studi, serta sifat-sifat
yang akan diteliti, hubungan yang akan dikaji dan proses yang akan
menuntun penelitian, Adapun yang menjadi sumber data primer dalam
penelitian ini yaitu :
- Tata Letak Bangunan
- Kondisi Kawasan
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti
sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga dikatakan data yang
tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Data sekunder yang dapat
mendukung penelitian yaitu :
- Materi Arsitektur Tradisional Bali
-

3.4 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


sebagai berikut :
1. Dokumentasi
Dokumentasi ditujukan langsung untuk memperoleh data langsung
dari tempat penelitian, meliputi kondisi lapangan, jenis alat erat, foto-foto,
dan data yang berkaitan dengan penelitian.
2. Wawancara
Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan
untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Penulis
menanyakan langsung kepada Kelian Puri Agung Petang mengenai
arsitektur pada kawasan puri.
3. Observasi
Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke objek
penelititan untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Observasi
dilakukan pada tahap pengumpulan informasi.

3.5 Variable Penelitian

1. Variable Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat
dengan sengaja dibuat berbeda. Secara sederhananya variabel bebas adalah
variabel penyebab dalam percobaan. Variable bebas dalam penelitian ini
adalah Bangunan Puri.
2. Variable Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas. Atau secara singkatnya variabel terikat adalah variabel yang tengah
di observasi. Variabe terikat dalam penelitian ini adalah Penerapan Konsep
Arsitektur Tradisional Bali..

3.6 Instrumen Penelitian


Adapun instrument penelitian yang mendukung dalam proses penelitian ini
adalah:
- Kamera
- Microsoft Word

3.7 Analisis Data


Data yang terkumpul di penelitian ini akan dianalisa menggunakan
Microsoft Word, kemudian data penelitian arsitektur bangunan puri
dibandingan dengan konsep arsitektur tradisional bali untuk mengetahui
kesesuaian penerapan konsep ATB pada kawasan puri.

3.8 Bagan Alir Penelitian

Mulai

Studi Pendahuluan

Identifikasi Masalah

Tinjauan Pustaka

Penentuan Lokasi

Pengumpulan Data
Mulai

Studi Pendahuluan

Identifikasi Masalah

Tinjauan Pustaka

Penentuan Lokasi

Pengumpulan Data

DATA PRIMER DATA SEKUNDER

 Tata Letak Bangunan  Materi Arsitektur


 Kondisi Kawasan Tradisional Bali

Analisis Data

Hasil Analisis

Kesimpulan

Selesai
a
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Umum


Berdasarkan hasil pencarian lokasi maka ditetapkan bangunan Puri Agung
Petang di analisis penerapan konsep arsitektur tradisional bali.

4.2 Sejarah Puri Agung Petang


Silsilah Dhalem Pacung Carangsari itu adalah silsilah Keluarga Besar
Puri Agung Petang Bali. Termasuk di dalamnya memuat silsilah Puri secara
keseluruhan seperti Puri Saren Ageng, Puri Saren Kangin, Puri Saren Kauh,
Puri Saren Lebah dan sebagainya, yang tergabung di dalam Puri Agung
Petang.
Puri Agung Petang itu terdiri dari 4 ke-Saren-an (Istana tua), yaitu:
1. Puri Saren Ageng / Puri Gede / Puri Ageng.
2. Puri Saren Kauh / Puri Saren Kaja Kangin.
3. Puri Saren Tegeh Kangin / Puri Saren Kangin.
4. Puri Saren Lebah.
Tiap-tiap Puri ini memiliki Penglingsir / Pemimpin Puri tersendiri.

4.3 Arsitektur Puri Agung Petang

Anda mungkin juga menyukai