Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Arsitektur Tradisional Bali
2.2 Konsep – Konsep dan Filosofi Dasar Pada Arsitektur
Tradisional Bali
2.3 Tipologi Bangunan Arsitektur Tradisional Bali
BAB III METODE
3.1 Metode Personifikasi
3.2 Pendekatan Regionalisme
3.3 Pendekatan Analogi
BAB IV TINJAUAN OBJEK
4.1 Data Objek
4.2 Denah Objek
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Bagian Obyek Yang Belum Memiliki Ciri Arsitektur
Tradisional Bali
5.2 Transformasi Obyek Observasi dari Arsitektur Tradisional Bali
Ke Dalam Arsitektur Masa Kini
5.3 Eksplorasi Konsep Arsitektur Tradisional Bali yang Digunakan
Dalam Merancang Obyek Arsitektur masa kini
BAB VI PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

Pada Bab 1 ini dibahas pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Bab ini memuat alasan ditulisnya
makalah dan juga rumusan permasalahan yang dapat dijabarkan dari latar
pemaparan latar belakang.

1.1 Latar Belakang


Pulau Bali merupakan wilayah di Indonesia yang memiliki berbagai potensi.
Salah satu potensi yang dimiliki oleh pulau Bali adalah kearifan lokalnya dalam
bidang arsitektur tradisional Bali. Arsitektur tradisional Bali telah ada sejak zaman
dahulu dan turun temurun diwariskan sebagai landasan dalam membangun sebuah
hunian di Bali dengan filosofi yang tinggi.

Arsitektur tradisional Bali ini memiliki konsep yang unik. Konsep dasar dari
arsitektur tradisional Bali adalah konsep arsitektur yang harmoni dengan
lingkungan alamnya. Konsep ini berlandaskan kepada agama Hindu sebagai
perwujudan budaya. Konsep dasar ini dikembangkan lebih terperinci dalam aturan-
aturan yang dimuat di lontar asta kosala kosali.

Seiring dengan perkembangan zaman serta kuatnya arus gloBalisasi saat ini,
telah banyak perubahan atau transformasi yang diterapkan dari arsitektur tradisional
Bali hingga menjadi arsitektur masa kini. Oleh karena itu, pada makalah ini dibahas
arsitektur masa kini pada bangunan komersil plaza renon. Arsitektur masa kini pada
bangunan plaza renon memiliki beberapa aspek yang dapat dikembangkan menjadi
arsitektur masa kini yang berlandaskan kepada arsitektur tradisional Bali.

Adanya refrensi beberapa arsitektur masa kini yang sudah


mengimplementasikan konsep arsitektur tradisional Bali, dapat membantu
mewujudkan arsitektur masa kini pada plaza renon yang berlandaskan pada
arsitektur tradisional Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah yang disusun yaitu:
1. Apa saja bagian dari wujud obyek yang belum memiliki ciri arsitektur
tradisional Bali?
2. Bagaimana proses tranformasi obyek observasi dari arsitektur tradisional Bali
ke dalam arsitektur masa kini?
3. Bagaimana eksplorasi konsep arsitektur tradisional Bali dalam perancangan
obyek arsitektur masa kini?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa saja bagian dari wujud obyek yang belum memiliki ciri
arsitektur tradisional Bali.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses tranformasi obyek observasi dari
arsitektur tradisional Bali ke dalam arsitektur masa kini.
3. Untuk mengetahui bagaimana eksplorasi konsep arsitektur tradisional Bali
dalam perancangan obyek arsitektur masa kini.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu arsitektur masa kini mampu
memadukan unsur arsitektur tradisional Bali ke dalamnya, dan arsitektur tradisional
Bali tetap lestari di nusantara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Arsitektur Tradisional Bali


Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah
kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun–temurun dengan
segala aturan–aturan yang diwarisi oleh leluhur masyarakat Bali dari zaman dulu,
sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada
lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian –
penyesuaian sesuai dengan situasi dan kondisi oleh para undagi yang masih selaras
dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.
Arsitektur Tradisional Bali mungkin secara global terlihat serupa, namun jika
dilihat, terdapat perbedaan–perbedaan seperti letak bangunan maupun “Pemesuan”,
karena mungkin letak suatu Rumah Tradisional Bali yang berbeda. Misalnya
penataan Rumah Tradisional Bali di bagian Selatan Bali berbeda dengan bagian
Utara Bali. Hal ini terkait dengan konsep filosofis masyarakat Bali, dimana arah
mata angin Daja (Utara), dianggap mengarah ke gunung, jadi arah Utara
masyarakat Bali bagian Utara, menganggap arah Daja (Utara) berada di Selatan.
Arsitektur tradisional di Bali berasal dari dua sumber. Salah satunya adalah
tradisi besar Hindu yang dibawa ke Bali dari India melalui Jawa. Yang kedua adalah
arsitektur asli sebelum penanggalan epik Hindu dan dalam banyak hal
mengingatkan pada bangunan Polinesia. Ada ilmu geomansi Bali yang
dikembangkan ditulis dalam naskah kuno daun palem. Ini dikenal sebagai Kosala-
Kosali.

2.2 Konsep – Konsep dan Filosofi Dasar Pada Arsitektur Tradisional Bali
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan
memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:
1. Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala, Sanga Mandala
merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga
Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
a. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
b. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya
Matahari)
c. Sumbu natural: Gunung dan Laut
2. Konsep – konsep dan filosofi dasar pada arsitektur tradisional Bali
3. Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan
Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan
arsitektur tradisional Bali. Utama, merupakan bagian yang diposisikan pada
kedudukan yang paling tinggi, kepala. Madya, merupakan bagian yang terletak di
tengah, badan. Nista, merupakan bagian yang terletak di bagian bawah, kotor,
rendah, kaki.

2.2.1 Penggunaan Ukuran Tubuh Manusia Dalam Pembangunan Bangunan


Arsitektur Tradisional Bali
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran
dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran
tradisional Bali adalah: Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli
serta masih banyak lagi yang lainnya. Sebuah desain bangunan tradisional, harus
memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.
Filosofi arsitektur tradisional Bali pada masa prasejarah hingga kekuasaan

2.2.2 Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi


Majapahit (abad XV–XIX) dianggap sebagai masa tumbuh dan
berkembangnya arsitektur tradisional Bali yang dilandasi oleh lontar asta kosala-
kosaili dan lontar asta bumi. (Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan)
Asta kosala-kosali adalah aturan tentang bentuk-bentuk simbol pelinggih,
yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan), dan hiasan. Asta bumi
adalah aturan tentang luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak
antar-pelinggih.
Varian karakter yang mendasar muncul di antara penduduk di daerah dataran
dengan pegunungan serta penduduk di daerah Bali Selatan dengan penduduk di
daerah Bali Utara. Meskipun demikian, terdapat filosofi dasar atau filosofi utama
yang menjadi titik acuan arsitektur tradisional Bali, yaitu prinsip tri angga atau tri
loka, konsep kosmologis (tri hita karana), dan orientasi kosmologis.

2.2.3 Prinsip Tri Angga Atau Tri Loka


Prinsip tria anggaatau tri lokamerupakan konsep keseimbangan kosmologis
yang dicetuskan oleh Empu Kuturan. Dalam prinsip ini terdapat tiga tata nilai
tentang hubungan alam selaku “wadah” dan manusia sebagai “pengisi”. Tata nilai
ini memperlihatkan gradasi tingkatan dengan spirit ketuhanan berada pada
tingkatan paling tinggi.
Secara aplikatif, filosofi tri angga dapat dilihat dari gestur bangunan yang
memperlihatkan tiga tingkatan, yaitu kepala, badan, dan kaki. Dari filosofi tri angga
dan tri loka ini, berkembang konsep-konsep lain, seperti konsep kosmologis tri hita
karana dan konsep orientasi kosmologis

2.2.4 Tri Hita Karana


Dalam konsep tri hita karana terdapat tiga aspek penghubung antara alam
dan manusia untuk membentuk kesempurnaan hidup, yaitu jiwa, raga, dan tenaga.
Tiga sumber kebahagiaan tersebut tercipta dengan memperhatikan keharmonisan
hubungan antara manusia dengan Pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia
dengan alam.

2.2.5 Orientasi Kosmologis


Dalam orientasi kosmologis di antaranya terdapat konsep sanga (sanga
mandala/nawa sanga). Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan
penjuru mata angin) dengan dewata nawa sanga (sembilan mitologi dewa-dewa
penguasa mata angin). Falsafahnya tetap menitikberatkan upaya menjaga
keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan berlandaskan:
Bagi masyarakat Bali, pegunungan dijadikan petunjuk arah (kaja ke arah
gunung dan kelod ke arah laut). Gunung Agung merupakan orientasi utama yang
paling disakralkan. Namun, untuk wilayah yang tidak berdekatan dengan Gunung
Agung, umumnya berorientasi ke pegunungan terdekat. Posisi pegunungan yang
berada di tengah-tengah menyebabkan Bali seakan terbagi menjadi dua bagian,
yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. Oleh karena itu, pengertian kaja bagi orang Bali
yang berdiam di sebelah utara dengan sebelah selatan menjadi berlainan, padahal
patokan sumbu mereka tetap, yaitu sumbu kaja-kelod dan kangin-kauh.

2.2.6 Konsep Natah dan Plaza pada Arsitektur Tradisional Bali


Setiap bangunan rumah tradisional Bali pastinya mengikuti kaedah-kaedah
dalam asta kosala kosali. Dalam peraturan pada lontar tersebut sendiri, bangunan-
bangunan dalam rumah (bale-bale) selalu berorientasi pada natah atau “ruang
kosong” di tengah rumah. Ruang kosong yang dimaksud turun dari filosofi Hindu,
unsur akasha yang merupakan ruang kosong, atau ruang hampa dalam lima elemen
dasar Hindu, Panca Maha Bhuta.

Gambar 2.1 Jenis-jenis natah dan perletakannya


(Sumber: Gelebet, 1986, dalam Suarya, 2003)

Fungsi utama natah adalah sebagai penghubung antar bangunan. Ibarat dari
tulang punggung manusia yang menyatukan tulang-tulang lainnya untuk
membentuk rangka tubuh manusia sempurna. Tanpa adanya natah, bangunan
tradisional Bali terlihat monoton tanpa orientasi terstruktur. Selain fungsi tersebut,
natah menjadi ruang sirkulasi sekaligus ruang pertemuan antara penghuni rumah.
Orientasi rumah-rumah ini menyebabkan pertemuan pada natah baik dingaja
maupun tidak.
Maka dari itu, konsep natah merupakan konsep yang cukup penting dalam
analisis arsitektur masa kini yang tingkat individualitasnya sudah semakin
meningkat. Diperlukan perbandingan analisis dan evaluasi tentang pendekatan
desain arsitektur masa lalu dan masa kini.

2.3 Tipologi Bangunan Arsitektur Tradisional Bali


Bangunan perumahan tradisional yang digolongan utama, madya, dan
sederhana (nista) masina-masing ada pula tingkatannya. Tipologi bangunan
tradisional umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama,
madya, dan nista. Tipe terkecil untuk bangunan perumahan
adalah sakapat, bangunan bertiang empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam,
bertiang delapan, bertiang Sembilan dan bertiang dua belas. Dari bangunan bertiang
dua belas dikembangkan dengan emper ke depan, dan ke samping dan beberapa
variasi masing-masing dengan penambahan tiang jajar. Tembok penyengker (batas)
pekarangan, Kori dan lumbung dalam bangunan perumahan, tipologinya
disesuaikan dengan tingkatan perumahan yang masing-masing mempunyai fungsi
tersendiri.
BAB III
METODE

Dalam bab ini, dijelaskan metode dan pendekatan yang digunakan dalam
pembahanan permasalahan yang telah dipaparkan dalam bab 1. Metode yang
digunakan dalam pembahasan masalah adalah metode personifikasi.

3.1 Metode Personifikasi


Metode personifikasi merupakan suatu metode yang mengibaratkan suatu
benda seperti manusia. Bahwa benda tersebut dapat diibaratkan memiliki atau
melakukan suatu hal yang sama dengan manusia baik dari aspek bentuk, sifat,
fungsi, dan berbagai aspek lainnya.
Manusia dapat melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari
karena adanya kaki, badan, dan kepala. Jika diperhatikan, suatu bangunan juga
memiliki bagian-bagian yang sama dengan manusia. Bangunan memiliki pondasi,
badan, serta atap yang diibaratkan seperti kaki, badan, serta kepala pada manusia.
Ketiga bagian tersebut merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan begitu
saja, karena jika salah satunya tidak ada maka mempengaruhi fungsi dan kegiatan
yang terjadi di dalamnya (baik manusia maupun bangunan).
Metode yang digunakan pada makalah ini untuk membahas penerapan
arsitektur tradisional Bali ke dalam arsitektur masa kini adalah metode
personifikasi. Personifikasi diambil dari kata dasar person yang artinya manusia.
Kata dasar person ini dijadikan dasar utama dalam penerapan arsitektur tradisional
Bali ke dalam arsitektur masa kini. Oleh karena itu, metode personifikasi adalah
metode yang menganalogikan filosofi dari bentuk tubuh manusia ke dalam
arsitektur masa kini.
Filosofi tentang bentuk tubuh manusia terdapat dalam konsep tri angga sebagai
salah satu konsep dasar arsitektur tradisional Bali yang membahas hierarki ruang.
Konsep tri angga dalam bhuana alit (tubuh manusia) dapat dilihat dari pembagian
tubuh manusia yang menjadi tiga bagian berdasarkan tingkat kesucian yaitu bagian
kepala (utama angga), badan (madya angga), dan kaki (nista angga). Konsep dasar
ini kemudian dianalogikan ke dalam bentuk bangunanan AMK.
Konsep tri angga yang dianalogikan ke dalam bentuk bangunan arsitektur masa
kini dapat dilihat dari 3 bagian bangunan secara vertikal. Konsep tri angga dalam
tubuh manusia yang terdiri dari 3 bagian yaitu kepala, badan, dan kaki dapat dilihat
dalam bangunan berupa rap atau atap sebagai analogi dari kepala (utama angga),
pengawak atau badan bangunan sebagai hasil analogi dari badan (madya angga),
dan bebataran sebagai hasil analogi dari bagian kaki (nista angga).
Konsep Tri Angga yang dianalogikan ke dalam bentuk bangunan arsitektur
masa kini mampu menentukan konsep hierarki yang menghubungkan proporsi
civitas dengan suatu bangunan. Dengan menggunakan metode personifikasi yang
menganalogikan bagian tubuh manusia ke dalam arsitektur masa kini diharapkan
terjadinya keseimbangan proporsi antara civitas dengan bangunan serta bangunan
yang didasarakan atas konsep tri angga ini mampu memberikan keharmonisan dan
keselarasan antara civitas dan bangunan.
Sebagai contoh proses analogi bentuk tubuh manusia ke dalam bangunan
dengan menggunakan metode personifikasi dapat dilihat dari bangunan candi
Borobudur. Candi Borobudur ini juga menggunakan konsep tri angga yang terdiri
dari 3 bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Bagian kepala dinamakan aruphadatu
yang berarti tidak berupa dan berwujud. Arupadhatu ini melambangkan alam atas
(alam dewa). Arupadhatu pada candi Borobudur ini memiliki tingkat terbanyak
dengan jumlah 9 tingkat.
Bagian badan pada candi Borobudur dinamakan rupadhatu. Rupadhatu ini
melambangkan alam antara yakni antara alam bawah dan alam atas. Bagian
rupadhatu ini terdiri dari 6 tingkat. Bagian terakhir yaitu bagian kaki. bagian kaki
pada candi Borobudur dinamakan kamadhatu. Bagian ini melambangkan dunia
yang masih dikuasai oleh nafsu. Kamadhatu ini terdiri dari 4 tingkat dan sebagian
besar tertutup oleh tumpukan batu yang memperkuat konstruksi candi.
Melalui contoh penerapan metode dan analogi dari konsep tri angga terhadap
candi Borobudur, maka diharapkan arsitektur masa kini yang dibahas pada makalah
ini yaitu plaza renon mampu menerapkan arsitektur tradisional Bali ke dalamnya
dengan menggunakan metode personifikasi yang menganalogikan konsep tri angga
ke dalam bangunannya.
BAB IV
TINJAUAN OBJEK

Pada bab sebelumnya telah dipaparkan metode-metode pendekatan yang


digunakan dalam perancangan Plaza Renon. Bab ini memaparkan deskripsi tentang
Plaza Renon berikut dengan gambar yang memperlihatkan eksisting Plaza Renon.

4.1 Data Objek


Plaza renon terletak di Jl. Raya Puputan No. 210 Timur, Panjer, Denpasar
Selatan. Plaza Renon merupakan suatu bangunan dengan konsep One Stop
Excitement yaitu Meet, Eat and Fun Mall. Fungsi utama bagunan adalah mewadahi
kegiatan pedagangan dan jasa.
Plaza Renon merupakan bangunan 3 lantai dengan lantai basement dan
ground floor. Lantai basement merupakan area parkir, ground floor didominassi
oleh kegiatan food & beverage dan terdapat ruang publik outdoor, lantai 1
didominasi oleh toko-toko pakaian dan aksesoris, lantai 2 masih terdapat food &
beverage namun didominasi oleh fasilitas permainan anak-anak, lantai 3 merupakan
area bioskop cinemaxx dan terdapat area outdoor yang dimanfaatkan sebagai
lounge. Sirkulasi ruang dalam menggunakan sistem plaza di bagian tengah sebagai
pusat orientai toko-toko yang ada di dalamnya.

Gambar 4.1 Sistem plaza pada sirkulasi ruang dalam plaza renon
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Keseluruhan bangunan menggunakan bentuk geometri segi-4 yang


dibeberapa bagian dibuat lebih dinamis sehingga bangunan tidak terkesan monoton.
Bangunan berorientasi kearah selatan dan bukaan yang ada cenderung diletakkan
di sisi selatan dan sisi timur. Vegetasi yang digunakan merupakan vegetasi lokal
seperti pohon jepun Bali, pohon ketapang, bunga bakung, li kwan yu, dan tanaman
rumput ilalang di rooftop lounge. Tampilan bangunan tidak menggunakan ornamen
ukiran namun cenderung menggunakan carving yang lebih modern dan beberapa
unsur kayu sebagai elemen estetis.

Gambar 4.2 material bata ekspose, kayu, dan batu alam pada eksterior plaza renon
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Fasad bangunan banyak menggunakan material bata ekspose dan unsur


kayu. Pedestrian dan area outdoornya di ground floor menggunakan material batu
alam, mulai dari batu hitam, paras kerobokan, dan batu andesit.

4.2 Denah Objek

Gambar 4.3 Lower ground floor plaza renon


Sumber: https://www.plazarenon.co/store-guide
Gambar 4.4 Ground floor plaza renon
Sumber: https://www.plazarenon.com/store-guide

Gambar 4.5 1st floor plaza renon


Sumber: https://www.plazarenon.com/store-guide
Gambar 4.6 2nd floor plaza renon
Sumber: https://www.plazarenon.com/store-guide

Gambar 4.7 3rd floor plaza renon


Sumber: https://www.plazarenon.com/store-guide
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Bagian Obyek yang Belum Memiliki Ciri Arsitektur Tradisional Bali
Dalam transformasi sebuah bangunan dari arsitektur tradisional Bali menjadi
arsitektur masa kini, ada banyak aspek perubahan yang tentunya terjadi dari segi
bahan, bentuk, sirkulasi, dan elemen arsitektural lainnya. Perubahan-perubahan ini
disebabkan oleh perkembangan globalisasi yang sangat pesat. Terdapat banyak
penemuan-penemuan tentang teknologi bahan dan sistem utilitas baru yang jauh
memudahkan aktivitas manusia di jaman modern.
Dimudahkannya aktivitas manusia dalam sebuah bangunan menyebabkan
arsitektur masa kini yang makin lama makin condong melupakan filosofi-filosofi
arsitektur tradisional. Padahal, walaupun bentuk dan bahan sebuah bangunan secara
fisik sudah mengikuti jenis arsitektur masa kini, landasan dari konsep-konsep
bangunan sebaiknya tetap mengikuti filosofi tradisional. Selain merupakan upaya
pelestarian budaya tradisional, penggunaan konsep tradisional dalam bangunan
menjadi poin tambahan bangunan karena keunikan serta cerminan identitas sebuah
daerah. ‘

Gambar 5.1 Fasad eksterior plaza renon

Diketahui bahwa pada objek observasi terkandung filosofi-folosofi tradisional


Bali namun dengan sebagian besar unsur fisik yang tidak tergolong ciri arsitektur
tradisional Bali. Pada gambar 5.1 terlihat bahwa material bangunan sudah sebagian
besar mengikuti bahan-bahan modern yaitu batu paras, genteng, beton, semen,
keramik, dan lain sebagainya. Bahkan pada interior bangunan, rata-rata material
yang digunakan adalah lantai keramik, railing kaca, dengan sistem-sistem modern
seperti escalator dan lainnya. Sifat arsitektur masa kini pada bangunan plaza renon
sangat kuat sehingga unsur-unsur tradisional Bali pada bangunan ini harus digali
lebih dalam untuk menemukan bagaimana transformasi-transformasi tersebut
terjadi.

5.2 Transformasi Obyek Observasi dari Arsitektur Tradisional Bali Ke Dalam


Arsitektur Masa Kini
Tidak dapat dipungkiri lagi, terjadi proses transformasi (dari ATB menjadi
AMK) secara besar-besaran pada objek observasi. Untuk mempermudah
pembahasan, digunakan aspek-aspek pembanding sebagi berikut: aspek fungsional,
aspek kebutuhan ruang, aspek jalur sirkulasi, aspek material, aspek bentuk masa,
aspek utilitas ruang, dan aspek struktur.

5.2.1. Aspek Fungsional


Diketahui bahwa fungsi utama dari bangunan plaza renon adalah sebagai
tempat pusat perbelanjaan (atau sekarang disebut mall) untuk membeli barang-
barang kebutuhan sehari-hari orang-orang. Dalam arsitektur tradisional Bali pun
terdapat ruang atau space untuk penerapan aktivitas perbelanjaan ini yaitu pasar
tradisional, atau dalam Bahasa Bali, peken.
Namun, perbedaan antara fungsi pada peken dan plaza renon terletak dari
jumlah rekreasi hiburan yang ditawarkan. Dahulu, orang ke pasar untuk membeli
barang-barang kebutuhan sehari-hari dan juga sekaligus berkomunikasi dengan
para pedagang membentuk duatu komunitas lokal tersendiri. Biasanya yang ke
pasar adalah kalangan orang tua seperti ibu-ibu rumah tangga.
Lain halnya dengan plaza renon yang sasarannya lebih condong ke arah rekreasi
hiburan bagi anak-anak muda kalangan SMA dan kuliah. Tempat ini tidak hanya
menjadi pusat perbelanjaan, namun juga menjadi tempat jalan-jalan. Terdapat
tempat-tempat seperti bioskop, playzone, restoran, dan banyak lagi. Selain itu,
dikarenakan lingkungan yang semakin modern, tidak ada lagi komunikasi antar
pedagang dan pembeli seperti di pasar tradisional. Pembeli barang hanya dalam lalu
pergi dan tidak terbentuk komunitas tersendiri. Perubahan fungsi secara tidak
langsung merupakan dasar perubahan aspek-aspek lain seperti kebutuhan ruang,
jalur sirkulasi, material, dan sebagainya.

5.2.2. Aspek Kebutuhan Ruang


Seperti yang dijelaskan sebelumnya, perubahan dalam aspek fungsional suatu pusat
perbelanjaan menyebabkan perubahan pada kebutuhan ruang. Karena fungsi-fungsi
yang bertambah (sebagai tempat rekreasi) tentu saja kebutuhan ruang pun
bertambah
5.2.3. Aspek Jalur Sirkulasi
5.2.4. Aspek Material
5.2.5. Aspek Bantuk Masa
5.2.6. Aspek Utilitas Ruang
5.2.7. Aspek Struktur

5.3 Eksplorasi Konsep Arsitektur Tradisional Bali yang Digunakan Dalam


Perancangan Obyek Arsitektur Masa Kini
BAB VI
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kepala

Badan

Kaki

5.2
5.3 Gambar 3.1 Analogi tri angga pada bangunan Plaza Renon

5.4 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Antoniades, Anthony C, 1992, Poetics of Architecture: Theory of Design, New


York: Van Nostrand Reinhold.
Gomudha, I Wayan, 1999, Rekonstruksi dan Reformasi Nilai-Nilai Arsitektur
Tradisional Bali (ATB) Pada Arsitektur Masa Kini (AMK) di Bali, Surabaya:
Insitut Teknologi Sepuluh Nopember
Suarya, I Made, 2003, ‘Peran Natah Dalam Kehidupan Masyarakat Bali’, Jurnal
Permukiman Natah, Vol. 1, No. 1, hh 1-7.

Anda mungkin juga menyukai