Anda di halaman 1dari 27

FUNGSI KEBERADAAN BALE GEDE

PADA SEMANGGEN PURI AGUNG KEDISAN

Dosen :

Prof. Ir. Ngakan Putu Sueca, MT.Ars., Ph.D.

Mahasiswa :

I Gusti Ngurah Wahyu Tata Nugraha

1805521077

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
Daftar Isi

Kata Pengantar .............................................................................................. 1

BAB I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang .................................................................................. 2


1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 3

BAB II Kajian Teori

2.1. Pengertian Rumah Tradisional Bali…………………………………4


2.2. Arsitektur Bali Secara Umum……………………………………….4
2.3. Sejarah Arsitektur Tradisional Bali………………………………….5
2.4. Konsep-Konsep Arsitektur Tradisional Bali………………………...6
2.5. Pola Ruang Rumah Tinggal………………………………………...10

BAB III Metode Penelitian

3.1. Lokasi Penelitian…………………………………………………...12


3.2. Waktu Penelitian………………………………………………… ...12
3.3. Bentuk Penelitian……………………………………………….. …12
3.4. Teknik Pengumpulan Data………………………………………….13

BAB IV Pembahasan

4.1. Peletakan Bale Gede………………………………………………..15


4.2. Pembangunan…………………………………………………….....15
4.3. Fungsi……………………………………………………………….16
4.4. Bentuk………………………………………………………………17
4.5. Sistem Struktur…………………………………………………...…18
4.6. Material ………………………………………………………...…..20
4.7. Ornamen ……………………………………………………..……..20
BAB V Penutup

5.1. Kesimpulan…………………………………………………………23
5.2. Saran………………………………………………………………..23

Daftar Pustaka………………………………………………………………24
Kata Pengantar

Puja dan puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas penelitian ini
yang berjudul Fungsi Keberadaan Bale Gede di Semanggen Puri Agung Kedisan
ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah penelitian ini adalah untuk
memenuhi tugas dalam mata kuliah Metodelogi Penelitian, pada Program Studi
Teknik Arsitektur, Universitas Udayana. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Arsitektur Tradisional Bali, khususnya pada
bangunan Bale Gede bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof. Ir. Ngakan Putu Sueca,
MT.Ars., Ph.D, selaku dosen mata kuliah Metodelogi Penelitian yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Gianyar, 12 Desember 2020

I Gusti Ngurah Wahyu Tata Nugraha

NIM : 1805521077

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Bali merupakan salah satu tempat destinasi Indonesia yang sangat terkenal
di penjuru dunia. Kepopuleran Bali tidak terlepas dari sisi adat dan budaya yang
masih kental hingga saat ini. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi
para wisatawan. Salah satu adat dan budaya yang unik adalah Rumah Adat Bali.
Rumah Adat Bali tersebut dibangun berdasarkan aspek filosofis. Filosofis
masyarakat Bali tersebut menyatakan bahwa kedinamisan hidup tercapai ketika
mencapai Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah terjadinya keharmonisan
antara aspek Palemahan (hubungan manusia dengan alam), Pawongan
(hubungan manusia dengan sesama manusia), dan Parahyangan (hubungan
manusia dengan Tuhan)
Dalam karya ilmiah ini penulis ingin menggali data mengenai suatu objek
yang termasuk ke dalam bagian dari bangunan rumah Arsitektur Tradisional
Bali. Dengan menggunakan berbagai Teknik pengumpulan data ilmiah, penulis
menggunakan objek bangunan tradisional Bale Gede di semanggen Puri Agung
Kedisan yang terletak di Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten
Gianyar Bali. Pemilihan objek ini didasari oleh keingintahuan penulis mengenai
pengertian dan kegunaan Bale Gede, serta keberadaan Bale Gede hanya dapat
ditemui di beberapa Rumah Tradisional Bali, seperti di Puri atau rumah
kerajaan di Bali, serta di beberapa tempat lainnya. Maka dari itu diharapkan
penulisan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada
masyarakat luas mengenai keberadaan Bale Gede, khususnya pada obyek
Semanggen Puri Agung Kedisan.

2
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut adapun rumusan masalah yang
akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang disebut bangunan Bale Gede?
2. Apa fungsi dari bangunan Bale Gede?
3. Mengapa bangunan Bale Gede perluj ada di Semanggen Puri Agung
Kedisan?
4. Bagaimana kondisi bangunan Bale Gede di Semanggen Puri Agung
Kedisan?

1.3.Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dari penelitian ini yaitu diantaranya :
1. Memenuhi kebutuhan tugas besar mata kuliat metodologi penelitian.
2. Melatih penerapan teknik pengumpulan dan analisis data.
3. Mengetahui apa yang dimaksud banagunan Bale Gede dan fungsinya.
4. Memperkenalkan keberadaan bangunan Bale Gede yang berada di
Semanggen Puri Agung Kedisan.
5. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Banguna Tradisional Bali.

3
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Rumah Tradisional Bali


Rumah Tradisional Bali adalah tempat/ruang untuk menampung aktivitas
manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan perubahan-
perubahan yang menyesuakian dengan perkembangan zaman sertaberdasarkan
norma-norma yang berlaku, peraturan traditional (Asta Kosala Kosali), adat
kebiasaan setempat dan bergantung pada kondisi serta potensial alam dan
lingkungan.
2.2 Arsitektur Bali Secara Umum
Arsitektur Bali terutama arsitektur tradisional Bali adalah sebuah aturan
tata ruang turun temurun dari masyarakat Bali seperti lontar Asta Kosala kosali,
Asta Patali, dan lain-lain yang sifatnya luas meliputi segala aspek kehidupan
masyarakat Bali.Ini pula yang mesti dipahami oleh arsitek Bali dalam
merancang sebuah bangunan dengan memperhatikan tata ruang masyarakat
Bali (arsitektur Bali).
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep
dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah
• Konsep hirarki ruang meliputiTri Loka atau Tri Angga
• Konsep orientasi kosmologi meliputi Nawa Sanga atau Sanga Mandala
• Konsep keseimbangan kosmologi meliputi Manik Ring Cucupu
• Konsep court Open air
• Konsep kejujuran bahan bangunan
• Konsep Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala
manusia yang meliputiAstha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa,
Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.

Selain ada kosep diatas juga ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai
pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

4
• Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
• Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
• Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi


kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala.Transformasi fisik dari
konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang
hunian tipikal di Bali.

2.3 Sejarah Arsitektur Tradisional Bali


Kebubudayaan Bali Mula merupakan kebudayaan yang masih sederhana
dari benda-benda alam disekitarnya. Bali aga mengembangkan kebuday`an
dengan bemrentuk benda-benda alam dalam satu susunan yang harmonis dalam
fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam dan lingkungannya.
Kebudayaan Bali mula tidak banyak meninggalkan peninggalan budaya
mengingat kayu-kayu dan bebatuan yang dipakai sebagai bahan perwujudan
Arsitekturnya kurang tahan terhadapa iklim tropis pada kurun waktu yang lama.
Peninggalan-peninggalan kebudayaan Bali Aga masih dapat ditemukan di
beberapa tempat seperti Gunung Kawi, Tirta Embul, Gua Gajah, dan beberapa
tempat di Bedulu sebagai lokasi pusat kerajaan pada masa Bali Aga.
Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa Bali Aga yang
meninggalkan beberapa data arsitktur , diantaranya adalah konsep Bale Agung
yang sampai sekarang merupakan bagian dari setiap desa adat Bali, Dalam
lontarnya diungkapkan teori-teori Arsitekturnya yaitu bangunan seperti
pertahanan perang, dan pemanfaatan sungai sebagai potensi site.Empu Kuturan
Sebagai budayawan besar mendampingi Anak Wungsu yang memerintah Bali
sekitar abad ke-11, juga merupakan seorang Arsitek yang banyak meninggalkan
teori-teori Arsitektur, sisiologi, adat dan agama.Tata pola desa adat, Khyangan
Tiga, Meru dan pedoman-pedoman upacara keagamaan lainnya merupakan
karya dari Empu Kuturan.
Dang Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendra atau Pedanda
Sakti Wawurauh merupakan budayawan besar pada masa pemerintahan Dalem
Waturenggong sekitar pada abad ke-14 ( masa Majapahit menguasai Bali).

5
Beliau merupakan Arsitek besar dengan peninggalan konsep-konsep Arsitektur,
agama, dan pembaruan diberbagai bidang budaya lainnya.Padmasana
merupakan konsep beliau untuk banguanan menuju Tuhan Yang Maha
Esa.Tirtayatra merupaka sebuah budaya di Bali yang berarti perjalanan suci atau
keagamaan. Tirtayatra ini juga merupakan peninggalan dari Dang Hyang
Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau mengelilingi pantai di Bali,
dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa Tenggara Timur, perjalanan ini menuju
ke purapura di daerah-daerah tersebut.
Setelah kerajaan Waturegong menyebar keseluruh Bali (sekarang masing-
masing sebagai ibu kota kabupaten) Arsitek tradisional tidak lagi menokohkan
dirinya karena adanya pedoman berdasarkan teori Kebo Iwa, Hyang Nirartha,
dan Empu kuturan yang dikembangkan oleh para undagi (tukang)Dewanya
undagi adalah Asta Kosali sebagai teori pelaksanaan bangunan Tradisional Bali.
Setelah Bali dikuasai Kolonial Belanda, Arsitektur Tradisional mangalami
pengaruh asing yang disesuaikan dengan Arsitektur Tradisional yang telah
ada.Bangunan-bangunan seperti wantilan, loji dan hiasan-hiasan seperti Patra
Cina, Patra Mesir, Patra Olanda.
2.4 Konsep-konsep arsitektur Bali
Terwujudnya pola perumahan tradisional sebagai lingkungan buatan
sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali, tidak
terlepas dari sendisendi agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem religi yang
melandasi aspek-aspek kehidupan. Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam
penataan lingkungan buatan, yaitu terjadinya implikasi agama dengan berbagai
kehidupan bermasyarakat.
Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup
seperti: tidur, makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan
untuk kepentingan psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan
adat. (Sulistyawati. dkk, 1985:15). Dengan demikian rumah tradisional sebagai
perwujudan budaya sangat kuat dengan landasan filosofi yang berakar dari
agama Hindu.Agama Hindu mengajarkan agar manusia mengharmoniskan
alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung (Makro kosmos)
dengan bhuana alit (Mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah

6
lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang mendirikan
dan menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990)
Manusia (bhuana alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain
memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran
dan fungsi. Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam
keadaan dan selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu).Rahim
sebagai tempat yang memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan
janin tersebut, demikian pula halnya manusia berada, hidup, berkembang dan
berlindung pada alam semesta, ini yang kemudian dikenal dengan konsep manik
ring cucupu. Dengan alas an itu pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan
buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu Bhuana agung, dengan susuna
unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri HitaKarana.
Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti
kemakmuran, baik, gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab
musabab atau sumbernya sebab (penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang
menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu: 1). Atma (zat penghidup atau
jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3).Angga (jasad/fisik) (Majelis Lembaga Adat,
1992:15).
Bhuana agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan
oleh manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama,
yaitu Tri Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan.
Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang
diidentifikasi; Parhyangan 10 /Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa,
Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah sebagai unsur
Angga/jasad (Kaler, 1983:44).
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari
yang paling makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro
(bhuana alit/manusia).Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan
Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca
Maha Bhuta.Dalam permukiman, jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga
adalah pawongan (masyarakat) dan jasad adalah palemahan (wilayah
desa).Demikian pula halnya dalam banjar, jiwa adalah parhyangan (pura

7
banjar), tenaga adalah pawongan (warga banjar) dan jasad adalah palemahan
(wilayah banjar). Pada rumah tinggal, jiwanya adalah sanggah pemerajan
(tempat suci), tenaga adalah penghuni dan jasad adalah pekarangan. Sedangkan
pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad
adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana dalam
susunan kosmos dapat dilihat pada table di bawah.

Susunan/Unsur Jiwa/Atma Tenaga/Prana Fisik


/Ang
ga
Alam Paramatman Tenaga Uns
Semesta (Tuhan Yang (yang menggerakan ur-
(Bhuana Maha uns
Agung) ur
pan
ca
mah
a
Desa Kahyangan Pawonga Palem
Tiga (pura n (warga ahan
desa) desa) (wilay
ah
desa)
Banjar Parhyang Pawongan Palemah
an (pura (warga an
banjar) banjar) (wilayah
banjar)
Rumah Sanggah Penghuni rumah Pekar
(pemerajan) angan
Manusia Atman Prana Angga
(Bhuana (jiwa manusia) (tenaga sabda bayu (badan
Alit) idep) manusia)
Sumber: Sulistyawati. dkk, (1985:5); Meganada, (1990:72).

Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau
keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan
jasad/angga, memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara
harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga
nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam
semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka

8
(bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai tersebut
didasarkan secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral,madya
pada posisi tengah dan nista pada posisi terendah/kotor.Tabel 2. Tri Angga
dalam Susunan Kosmos.

Susunan/Unsur Utama Angga Sakral Madya Angga Nista


Netral Angga
Kotor
Alam Semesta Swah Loka Bwah Loka Bhur Loka
Wilayah Gunung Dataran Laut
Perumahan/Desa Kahyangan Tiga Pemukiman Setra/Kuburan
Rumah Tinggal Sanggah/Pemerajan Tegak Umah Tebe
Bangunan Atap Kolom/Dinding Lantai/Bataran
Manusia Kepala Badan Kaki
Masa/Waktu Masa depan Masa kini Masa lalu
Watamana Nagata Atita
Sumber: Sulistyawati. dkk, (1985:6); Adhika (1994).
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam
semesta/bhuana agung) sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit).
Dalam skala wilayah; gunung memiliki nilai utama; dataran bernilai madya dan
lautan pada nilai nista. Dalam perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan
penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku dalam skala rumah dan
manusia. Susunan Tri Angga dalam susunan.
Tri Angga yang memberi arahan tata nilai secara vertikal (secara horisontal
ada yang menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben,
merupakan pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara
Bhuana agung dan Bhuana alit. Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain: 1).
berdasarkan sumbu bumi yaitu: arah kaja-kelod (gunung dan laut), 2). arah
tinggi-rendah (tegeh dan lebah), 3). Berdasarkan sumbu Matahari yaitu; Timur-
Barat (Matahari terbit dan terbenam) (Sulistyawati. dkk,1985:7).
Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-kelod/laut), memberikan
nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah kelod (laut), sedangkan
berdasarkan sumbu matahari; nilai utama pada arah matahari terbit dan nista
pada arah matahari terbenam. Jika kedua sistem tata nilai ini digabungkan,

9
secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala,yang membagi ruang
menjadi sembilan segmen. (Adhika;1994:19).
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi
Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang
disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada, 1990:58)
Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam
penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah,
dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan
pada daerah utamaning utama (kaja- kangin), kegiatan yang dianggap
kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (klod- kauh), sedangkan
kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk, 1985:10). Dalam
turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)
2.5 Pola Ruang Rumah Tinggal

Bagian-bagian pada rumah tinggal tradisional Bali sebagai berikut.

a) Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura
yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod.
b) Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk
sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini
dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
Alingaling terletak di kaluh kelod.
c) Natah atau halaman tengah merupakan pusat dari pekarangan yang dikelilingi
bale-bale.
d) Mrajan atau sanggah, terleteak dibagian timur laut atau kaja kangin pada
sembilan petak pola ruang, merupakan area suci pada rumah berfungsi sebagai
tempat pemujaan.
e) Bale Dangin yaitu bangunan perumahan tradisional Bali yang komposisinya
berada di sisi timur disebut dengan bale dangin, Type yang dibangun type sake
nem dalam perumahan tergolong sederhana bila bahan dan penyelesaiannya
sederhana, dapat pula digolongkan madia bila ditinjau dari penyelesaiannya
dibangun dengan bahan penyelesaian madia. Untuk areal perumahan yang besar
digunakan type Sake roras yang sering disebut dengan bale gede Sake roras
dalam perumahan tergolong utama.

10
f) Bale Delod Dalam komposisi bangunan rumah saka kutus ini menempati letak
bagian kelod yang juga disebut Bale delod, dalam proses pembangunan bale
delod letaknya dari bale meten diukur dengan menggunakan tapak kaki dengan
pengurip angandang tergantung dari kecenderungan penghuni rumah.
g) Bale Daje Bangun rumah yang paling awal dibangun dalam perumahan, type
bangunan sake kutus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi
tunggal sebagai tempat tidur yang disebut bale meten.
h) Bale Dauh / Loji ini terletak di bagian Barat ( Dauh natah umah ), dan sering
pula disebut dengan Bale Loji, serta Tiang Sanga.
i) Paon ( Dapur ) yaitu tempat memasak bagi keluarga. Bagian yang terpenting dari
rumah dapur orang bali tempatnya terpisah dengan bagian – bagian rumah yang
lain.
j) Jineng/lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan
hasil kebun lainnya. Fungsinya sebagai penyimpanan hasil panen yang berupa
gabah di bagian atapnya.

11
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Penelitian pada kali ini dilaksanakan di Bale Gede Semanggen Puri
Agung Kedisan yang berlokasi di Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang,
Kabupaten Gianyar. Penelitian ini bertujuan ingin memperkenalkan
keberadaan Bale Gede kepada masyarakat luas, khususnya Bale Gede yang
berada pada Semanggen Puri Agung Kedisan, mengingat keberadaan bale gede
hanya berada pada beberapa tempat dan tidak berada pada setiap sikut satak
bangunan tradisional Bali.

3.2 Waktu Penelitian


Penelitian pada kali ini dilakukan untuk dapat memenuhi tuntutan tugas
mata kuliah Metodelogi Penelitian pada semester ganjil tahun ajaran
2020/2021. Adapun rangkuman rincian kegiatan penelitian kali ini adalah
sebagai berikut:
Pengumpulan data : 10 Desember 2020
Pengolahan data : 12 Desember 2020

3.3 Bentuk Penelitian


Penelitian pada kali ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Data yang didapatkan dapat berupa angka-angka ataupun kalimat deskriptif
dari objek penelitian. Data tersebut bersumber dari atau didapatkan melalui
proses wawancara, observasi sehingga mendapatkan catatan lapangan dn
catatan pribadi serta dokumen lainnya. Oleh karena itu pendekatan kualitatif
dan kuantitatif dalam penelitian ini adalah penelitian yang menghasilkan data
deskriktif berupa kata-kata atau angka-angka dari objek yang diamati.

12
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan teknik
pengumpulan data jenis observasi serta wawancara kepada beberapa
narasumber yang berada atau tinggal pada obyek peneltian.
A. Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan suatu cara mengumpulkan
data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang
berlangsung (Nana S, 2009: 220). Jadi, observasi merupakan penelitian
yang dilakukan dengan pengamatan langsung dengan melihat objek serta
langsung menganalisisnya. Jadi dalam penelitian ini observasi digunakan
untuk mendapatkan data tentang bagaimana eksisting dari objek dan hal
apa saja yang terkait dengan penelitian.

Issue Pertanyaan
1. Bagaimana tipologi bangunan Bale
Bentuk Gede di Semanggen Puri Agung
Kedisan?
1. Material apa saja yang digunakan di
Bale Gede Semanggen Puri Agung
Material Kedisan?
2. Apakah ada perubahan material saat
dilakukan renovasi?
1. Ornamen apa saja yang digunakan pada
Bale Gede di Semanggen Puri Agung
Ornamen Kedisan?
2. Apakah ada perubahan ornamen saat
dilakukan renovasi?
Tabel 1. Panduan Observasi

13
B. Wawancara
Wawancara adalah suatau proses tanya jawab lisan, dimana 2 orang
atau lebih saling berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka lain
dan mendengar dengan telinga sendiri dari suaranya (Sukandarrumidi,
2006: 89). Wawancara Penelitian ini mengunakan bentuk wawancara
terpimpin (wawancara terstruktur) yaitu wawancara yang dilakukan
dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan
sebelumnya. Wawancara digunakan untuk mengetahui data tentang
pembangunan, fungsi, bentuk, material, dan ornamen meru pada bangunan
Bale Gede di Semanggen Puri Agung Kedisan. Penelitian ini menggunakan
alat pengumpulan data berupa instrumen yang berupa pertanyaan-
pertanyaan yang ditunjukan kepada penglingsir dan beberapa tokoh di Puri
Agung Kedisan, I Gusti Ngurah Gede (Penglingsir Puri Rangki) serta I
Gusti Ngurah Mayun (Tokoh Puri Klingking). Wawancara dilakukan untuk
mendapatkan informasi tentang topik – topik bahasan yang telah
disebutkan diatas.
Issue Pertanyaan
1. Kapan Bale Gede di
Semanggen Puri Agung
Kedisan dibangun?
Pembangunan
2. Apakah Bale Gede di
Semanggen Puri Agung
Kedisan pernah direnovasi?
1. Apa fungsi Bale Gede di
Fungsi Semanggen Puri Agung
Kedisan ?
1. Bagaimana struktur Bale Gede
di Semanggen Puri Agung
Sistem Struktur Kedisan?
2. Apakah ada perubahan struktur
saat dilakukan renovasi?
Tabel 2. Pedoman Wawancara

14
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Peletakan Bale Gede


Seperti pada umumnya, sebuah puri tersusun dari beberapa pekarangan
ruamh dengan menerapkan konsep tatanan “Sanga Mandala”. Dalam
penerapan konsep sanga mandala, bale gede pada Puri Agung Kedisan
terletak pada area “semanggen” yang dalam hal ini dapat tergolong pada
area Madyaning Nista. Adapun orientasi bangunan Bale Gede pada area
semanggen ini berorientasi menghadap ke selatan dengan peletakan massa
pada sisi timur laut dari area semanggen. Untuk peletakan bangunan bale
gede dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Site plan Puri Agung Kedisan

4.2 Pembangunan
Tidak terdapat data yang pasti mengenai tahun pembangunan bale gede
pada Semanggen Puri Agung Kedisan, namun berdasarkan hasil wawancara
dengan penglingsir puri, I Gusti Ngurah Gede, beliau mengatakan bale gede
pada Semanggen Puri Agung Kedisan dibangun pada waktu yang
bersamaan dengan berdirinya Puri Agung Kedisan yaitu berkisar pada abad
ke-17M.
Terkait dengan pembangunannya, bale gede pada Semanggen Puri
Agung Kedisan mengalami beberapai renovasi, dengan renovasi terakhir
dilaukan pada tahun 2000. Adapun renovasi tersebut yaitu meliputi

15
penggantian atap jerami menjadi atap genteng, rekonstruksi struktur kayu,
serta penambahan finishing cat prada pada beberapa ornament bale gede.
4.3 Fungsi
Seperti penempatan bangunan yaitu berada pada area Semanggen Puri
Agung Kedisan, bale gede merupakan bangunan tradisional Bali yang
diperuntukan sebagai sarana upacara pada umat Hindu, khususnya sebagai
sarana pelaksanaan upacara pitra yadnya di area puri. Pitra yadnya berasal
dari kata “pitra” dan ‘yajna” yang memiliki arti pengorbanan suci yang
diperuntukan pada leluhur. Upacara pitra yadnya ini umumnya
dilaksanakan apabila ada umat Hindu yang meninggal dunia, yang dalam
konteks puri umumnya dikenal dengan istilah “Pelebon”.
Sedangkan “semanggen” sendiri berasal dari dua kata yaitu “sema”
yang berti kuburan, dan “anggen” yang berarti pakai. Dalam hal ini maka
memiliki arti sebuah tempat melaksanakan upacara pitra yadnya, yang dapat
digunakan Bersama oleh keluarga puri, yang meliputi upacara pemandian
jenazah dan beberapa upacara lainnya sebelum kemudian jenazah menuju
ke Kuburan Desa Adat untuk melanjutkan upacara pitra yadnya yang
berikutnya. Semanggen sendiri hanya akan dapat ditemukan pada sebuah
tatanan puri.
Intensitas penggunaan Bale Gede di Semanggen Puri Agung Kedisan
dalam rentang waktu lima tahun terakhir dapat dilihat dalam grafik pada
Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Intensitas Penggunaan Bale Gede Sebagai Sarana Upacara


Pitra Yadnya Pada Semanggen Puri Agung Kedisan

16
4.4 Bentuk
Seperti bangunan tradisional bali pada umumnya, bentuk bangunan
bale gede menerapkan konsep dan filosofi ang sama. Konsepsi masyarakat
bali dengan alam semestadidasarkan atas pandanagan bahwa dunia atau
alam semesta tersusun menjadi tiga bagian yang disebut Tri Loka yaitu Bhur
Loka, Bwah Loka, Swah Loka. Dalam diri manusia pandangan tersebut
terwujud dalam konsep Tri Angga, yaitu kepala, badan, dan kaki. Dalam
struktur bangunan Bale Gede, susunan tersebut terlihat secara vertical yaitu
atap sebaga analogi dari kepala, tiang dan tembok sebagai analogi dari
badan, dan bebaturan atau levelling lantai sebagai analogi dari kaki. Bentuk
bangunan Bale Gede dapat dilihat pada tampilan Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3. Tampak Depan Bale Gede Puri Agung Kedisan

Gambar 4. Tampak Samping Bale Gede Puri Agung Kedisan

17
4.5 Sistem Struktur
Sistem struktur yang diterapkan pada bangunan bale gede ini
menerapkan system struktur rangka dengan jarak antar saka memendek
menggunakan setengah tinggi rebahan saka yaitu berkisar 105cm dan jarak
antar saka memanjang menggunakan jarak tinggi rebahan saka total yaitu
berkisar 210cm. Dinding yang berada pada sisi utara hanya sebagai dinding
pemisah dan memikul bebannya sendiri serta tidak mempengaruhi struktur
utama. Komponen struktur rangka yang terpisah dengan struktur
dindingnya maka komponen-komponen tersebut akan dapat berdiri sendiri
untuk menahan pembebanan sesuai dengan kekuatan bahannya.
a) Sub Struktur
Bagian bawah atau kaki bangunan disebut dengan bebaturan yang
terdiri atas jongkok asu sebagai penghubung tiang dengan pondasi, dan
tapas hujan sebagai perkerasan tepi bebaturan. Bebaturan merupakan
lantai pada bale gede sedangkan undag merupakan tangga
penghubungan antara lantai bale gede dengan tanah asli.
b) Super Struktur
Bale gede ini hanya memiliki satu sisi yang tertututp dinding massif
yaitu pada sisi utara bale.
• Dinding
Dinding bale gede dibsngun terlepas tanpa adanya ikatan dengan
konstruksi rangka bangunan, dn dipertegas dengan adanya celah
antara kepala tembok dengan sisi bawah atap, sehingga tembok
terkesan bebas dan tidak memikul. Dengan konstruksi tembok
yang terlepas dari struktur utama diharapkan akan bebas dari
ancaman gemba bumi. Tembok tidak terpengaruh bila terjadi
goncangan pada konstruksi rangka dan atau konstruksi rangka
tidak terpengaruh apabila tombok roboh.
• Tiang / Saka
Tiang pada bale gede menggunakan jenis saka dua belas atau tiang
penopang konstruksi utama terdapat dua belas buah. Kedudukan
tiang saka distabilkan dengan elemen-elemen pengakunya. Untuk

18
tiang-tiang yang menyangga bale kedudukannya distabilkan oleh
sunduk, waton dan ikah. Tiang yang tidak terdapat sunduk
kedudukannya distabilkan oleh canggahwang di bagian atas
pebuntar sesaka di pangkal tiang yang dimasukkan di lubang
sendi/jongkok asu.
c) Uper Struktur
Pada umumnya bale gede menggunakan bentuk atap kampiah atau
limasan. Pada bale gede terdapat beberapa bagian sebagai berikut :
• Iga-iga
Usuk-usuk bangunan tradisional Bali disebut dengan iga-iga.
Pangkal iga-iga dirangkai denga kolong/dedalas yang merupakan
bingkai tepi luar atap dan ujung atasnya menyatu dengan puncak
atap. Iga-iga dirangkai dengan apit-apit membentuk konstuksi
bidang atap.
• Pemade
Merupakan iga-iga yang menempati tiang-tiang di tengah
bangunan. Bahan umumnya menggunakan kayu seseh
• Apit-apit
Merupakan konstruksi bidang atap yang mengikuti iga-iga.
• Gerantang
Terletak pada bagian bawah untuk mendapatkan bidang atap
dengan kemiringan di bagaian bawah lebih kecil dari bagian atas.
• Pementang
Balok Tarik yang membentang di tengah-tengah dan mengikat
jajaran tiang tengah.
• Sineb Lambang
Balok belandar sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi dalam bangun
tradisional Bali disebut lambing. Sedangkan lambing rangkap yang
disatukan oleh balok disisi bawahnya disebut sineb.
• Tadapaksi

19
Balok tarik yang mengikat pementang berakhir di atas tiang tengah.
Tadapaksi dan pementang merupakan balok tarik yang
menstabilkan lambing sineb dan tiang-tiang penyangga.
• Tugeh
Tiang penyanggah konstruksi atap
• Raab
Penutup atap tradisional Bali disebut raab yang pada bale gede
menggunakan bahan genteng tanah liat.

4.6 Material
Bale Gede yang berada pada Semanggen Puri Agung Kedisan dapat
tergolong sebagai bangunan bali yang masih tradisional, namun tidak
sepenuhnya dapat dikatakan tradisional karena sudah mengalami beberapa
tahap renovasi serta perubahan materia dan bahan.
Material penutup atap yang diterapkan pada bangunan bale gede ini
menerapkan material jenis genteng tanah liat, serta pendukung penutup atap
yang terdiri atas rangkaian iga-iga terbuat dari bahan kayu blalu atau
arbesia. Langit-langit yang mengikat iga-iga pada bagain puncak
menggunakan bahan kayu jenis ketewel atau kayu nangka. Lambang dan
sineb yang berfungsi sebagai balok pengikat antar saka terbuat dari kayu
jenis kayu seseh atau batang kelapa. Saka dan beberapa ornament seperti
canggahwang terbuat dari material kayu jenis ketewel atau kayu nangka.
Dinding pada bagian utara bale menggunakan material batako dan finishing
batu bata gosok atau bata press. Pondasi jongkok asu sebagai bagian kaki
yang letaknya di bawah, menggunakan susunan pasangan batu alam
sedangkan bebaturannya menggunakan finishing paras batu Bal.
4.7 Ornamen
Ornamen dan ukiran bali diterapkan pada beberapa area pada bangunan
bale gede yaitu pada :
• Ukiran pada kencut yang difinishing dengan cat prada
• Ukiran pada sineb dan lambing dengan finishing cat dasar merah dan
cat prada emas

20
• Ukiran pada bagian dedeleg atau langit-langit dengan finishing cat
merah dasar dan cat prada emas
• Ornamen ukiran pewayangan pada area praba atau area tempat kepala
pada bale
• Ornamen dari paras pada area bebaturan
• Ornamen pengupak pada area tiang saka
• Serta beberapa ornament lainnya yang terbuat dari paaras dan
diaplikasikan pada bagian dinding sebelah utara bale gede.

Gambar 5. Perspektif Bale Gede

Gambar 6. Detail Bale Pada Bale Gede

21
Gambar 7. Detail Iga-Iga

22
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Bangunan Bale Gede yang berada pada Semanggen Puri Agung
Kedisan merupakan bangunan bale tradisional bali dengan jenis bale saka
roras atau bertiang dua belas. Fungsi adanya bale gede ini yaitu sebagai
sarana pelaksanaan upacara Pitra Yadnya oleh keluarga Puri Agung
Kedisan. Pembangunan awal bale gede ini berkisar pada abad ke-17M,
yaitu berbarengna dengan dibangunnya Puri Agung Kedisan. Terjadi
beberapa kali renovasi atau perbaikan pada bale gede ini. Renovasi
terakhir dilaksanakan pada tahun 2000 yaitu melakukan penggantian atap
dari jerami menjadi atap genteng tanah liat, beberapa aktivitas rekonstruksi
pada tiang saka yang sudah lapuk, serta beberapa aktivitas finishing
dengan penambahan ukiran dan cat prada emas di beberapa bagiannya.

5.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah penelitian ini
tentunya masih adanya banyak kekuarangan. Untuk kedepannya penulis
akan menjelaskan makalah secara lebih fokus dan detail dengan sumber
yang lebih banyak dan dapat dipertanggungjawabkan. Kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangatlah dibutuhkan demi
menghasilkan penulisan yang lebih baik kedepannya

23
Daftar Pustaka

Priautama,Banyu. Arsitektur Tradisional Bali.

Acwin Dwijendra, Ngakan Ketut. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali.


Denpasar Bali : Udayana Universit Press

24

Anda mungkin juga menyukai