Anda di halaman 1dari 17

YN SEJARAH ARSITEKTUR

INDONESIA

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI


To get started, click  ARSITEKTUR VERNAKULAR
placeholder text and start  ARSITEKTUR ZAMAN HINDHU BUDHA
typing. Be brief: one or two  ARSITEKTUR ZAMAN ISLAM
sentences.  ARSITEKTUR KOLONIAL
Double-click the table cells  ARSITEKTUR KONTEMPORER
in the footer to add your
contact info (or delete the
columns you don’t want).

LATAR BELAKANG
Hasil karya para arsitektur
dari masa ke masa,
merupakan sebuah karya
besar yang mencerminkan
sebuah peradaban. Karya
besar arsitektur ini juga
sebuah maha karya yang
adiluhung, dan menjadi
saksi sejarah suatu bangsa.
Di Indonesia sendiri, secara
garis besar perkembangan
arsitektur dibagi menjadi
lima periode
A. SEJARAH ARSITEKTUR VERNAKULAR

A
rsitektur vernakular ini tumbuh dan berasal dari rakyat suatu daerah, yang juga merupakan identitas dari setiap daerahnya. Karena, gaya
bangunan yang tercermin menggambarkan tradisi dari daerah tersebut. Indonesia merupakan negeri yang kaya etnisnya, sehingga
memiliki berbagai bangunan dengan gaya arsitektur vernakular yang berbeda-beda. Yang di antaranya adalah rumah adat Tana Toraja,
Rumah Joglo, Rumah Gadang dan lain sebagainya.

“... related to their environmental contexts and available resources they are customarily owner- or
community-built, utilizing traditional technologies”
(Paul Hereford Oliver dalam Encyclopedia of Vernacular Architecture of The World,1997)

Term vernacular ini sendiri berasal dari kata verna (dari bahasa Latin) yang artinya domestic, indigenous, native slave, atau home-born slave, dan
dipilih oleh Rudofsky untuk mengklasifikasikan arsitektur lokal (umumnya berupa hunian) yang ditemukannya di berbagai belahan dunia. Dari sinilah
selanjutnya dalam berbagai literatur kontemporer makna yang paling populer bagi arsitektur vernakular adalah arsitektur tanpa arsitek.
Arsitektur Vernakular adalah gaya arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh masyarakat
berdasarkan pengalaman, menggunakan teknik dan material local serta merupakan jawaban atas pengaruh lingkungan tempat bangunan itu berada. Indonesia
sebagai salah satu negara di Asia Tenggara merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang terdiri dari berbagai suku, Bahasa, agama, serta berbagai macam
budaya dan etnikyang merupakan jati diri dari tiap-tiap daerah. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki satu atau beberapa tipe rumah tradisional yang
unik yang dibangun berdasarkan tradisi-tradisi arsitektur vernacular dengan gaya bangunan tertentu yang menunjukkan keanekaragaman yang sangat menarik.

ARSITEKTUR VERNAKULAR DAN PERKEMBANGANNYA

D
alam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, topik arsitektur vernakular dapat dikatakan masih relatif muda.Istilah vernakularsendiri pertama kali
diperkenalkan oleh Bernard Rudofsky tahun 1964 melalui pameran yang bertema Architecture without Architects di Museum of Modern Art (MoMA).
Term vernacular ini sendiri berasal dari kata verna (dari bahasa Latin) yang artinya domestic, indigenous, native slave, atau home-born slave, dan
dipilih oleh Rudofsky untuk mengklasifikasikan arsitektur lokal (umumnya berupa hunian) yang ditemukannya di berbagai belahan dunia. Dari sinilah
selanjutnya dalam berbagai literatur kontemporer makna yang paling populer bagi arsitektur vernakular adalah arsitektur tanpa arsitek. Perdebatan mengenai
pengertian atau definisi arsitektur vernakular diawali oleh Rapoport dalam bukunya “House Form and Culture” tahun 1969. Perdebatan ini terus berlangsung
hingga tahun 1990, ketika Rapoport menulis artikel berjudul “Defining Vernacular Design” dan sampai saat ini diperkirakan perdebatan itu belum memperoleh
hasil yang memuaskan. Namun demikian, pengertian ini masih sebatas „kategorisasi‟ dalam ranah arsitektur dan baru pada tahun 1970-an hal-hal menyangkut
vernakular ini mulai dipertimbangkan sebagai bagian dalam desain arsitektur meskipun terdapat banyak sekali sudut pandang dalam “melihat” hakikat
vernakular ini, seperti: Christopher Alexander (A Pattern Language), Howard Davis (The Culture of Building), Robert Venturi (Learning from Las Vegas),
Hassan Fathy (Natural Energy and Vernacular Architecture) dan masih banyak lainnya. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai paradigmanya
maka dalam beberapa referensi yang ada, term vernacular lebih dipahami untuk menyebutkan adanya hubungan dengan “lokalitas”.
Pengertian arsitektur vernakular juga dapat ditinjau dari karakteristiknya. Menurut Salura (2010) arsitektur vernakular yang selalu ada di seluruh
belahan dunia relatif memiliki tipe yang serupa dan tema-tema lokal yang sangat spesifik. Pendapat ini mendukung pendapat Oliver (1997) yang menyatakan
bahwa unsur-unsur kunci yang menunjukkan indikasi sebuah arsitektur vernakular adalah :
1. traditional self-built and community-built buildings,
2. earlier building types,
3. architecture within its environmental and cultural contexts,
4. environmental conditions, material resources, structural systems and technologies have bearing on architectural form, dan
5. many aspects of social structure, belief systems and behavioral patterns strongly influence building types, their functions and meanings.
6. dwellings and other building,
7. related to their environment contexts and available resources,
8. utilizing traditional technology,
9. architecture vernacular are built to meet specific needs, accomodating the values, economies and way of living of the culture .
Berdasar berbagai pendapat di atas maka saat ini, arsitektur vernakular dapat disimpulkan sebagai arsitektur yang memiliki sifat ke-lokal-an.
Arsitektur vernakular adalah desain arsitektur yang menyesuaikan iklim lokal, menggunakan teknik dan material lokal, dipengaruhi aspek sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat setempat. Pandangannya ini berasal dari rangkuman pandangan ahli-ahli lain yang pernah membahasnya secara terpisah. Faktor iklim lokal
(climatic factor) terinspirasi oleh Koenigsberger dalam bukunya yang terbit tahun 1974. Faktor teknik dan material lokal mendapat inspirasi dari Spence dan
Cook dalam bukunya (terbit tahun 1983) yang membahas pengaruh material dan teknik lokal pada karya arsitektur vernakular. Pengaruh faktor sosial dan budaya
mendapat inspirasi dari Rapoport (terbit tahun 1969) yang membahas secara khusus tentang faktor sosial dan budaya dalam arsitektur vernakular.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara umum arsitektur vernakular memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Diciptakan masyarakat tanpa bantuan tenaga ahli / arsitek profesional melainkan dengan tenaga ahli lokal / setempat.
2. Diyakini mampu beradaptasi terhadap kondisi fisik, sosial, budaya dan lingkungan setempat.
3. Dibangun dengan memanfaatkan sumber daya fisik, sosial, budaya, religi, teknologi dan material setempat,
4. Memiliki tipologi bangunan awal dalam wujud hunian dan lainnya yang berkembang di dalam masyarakat tradisional,
5. Dibangun untuk mewadahi kebutuhan khusus, mengakomodasi nilai-nilai budaya masyarakat, ekonomi dan cara hidup masyarakat setempat.
6. Fungsi, makna dan tampilan arsitektur vernakular sangat dipengaruhi oleh aspek struktur sosial, sistem 71 kepercayaan dan pola perilaku
masyarakatnya.

2
PERUMUSAN KONSEP ARSITEKTUR VERNAKULAR

P
roses Perumusan Konsep arsitektur vernakular yang dirumuskan disini merupakan hasil kajian dari referensi-referensi arsitektur vernakular dari berbagai
bidang ilmu, peneliti, dan publikasi. Selanjutnya referensi-referensi tersebut dianalisis dan dikategorisasikan berdasar ciri atau dasar lainnya hingga
diperoleh elemen pembentuknya. Beberapa pendapat para ahli, seperti: Rudofsky, Rapoport, Oliver; dll yang telah dibahas pada bagian sebelumnya
(Arsitektur Vernakular dan Perkembangannya) adalah sumber-sumberutama yang dikaji, baik yang berkaitan dengan pembentukan fisik maupun makna
simbolik arsitektur vernakular. Dari luar disiplin ilmu arsitektur, topik hunian suatu kelompok masyarakat pada daerah tertentu (menurut disiplin arsitektur
termasuk bergaya vernakular) juga dikaji untuk menyusun konsep arsitektur vernakular. Beberapa konsep terkait hunian yang dihasilkan dan sering dirujuk oleh
para peneliti arsitektur dalam memahami konsepkonsep hunian antara lain (Schefold, 1997):modifying factor (Rapoport, 1969), sociocultural factors (Morgan,
1965), symbolic conceptions (Griaule/Dieterlen, 1963), multiple factor thesis (Schefold,1997), cosmos-symbolism (Eliade, 1959), social organisation
(Durckheim/Mauss,1925; Rassers,1982; Cunningham, 1964), dan gender-symbolism (Bourdieu, 1972).Seluruh pendapat para ahli tersebut dapat dipaparkan
Tabel 1. Seluruh deskripsi tentang arsitektur vernakular dan hunian vernakular yang telah diungkap para ahli selanjutnya dipilah-pilah berdasarkan kategori
bentuk (form) dan ruang (space), seperti terlihat pada gambar 1. Dari analisis klasifikasi, pengelompokan, dan pembacaan ulang atas berbagai sumber referensi
yang ada maka dapat dirumuskan sebuah konsep arsitektur vernakular. Konsep disini dipahami sebagai simbol yang digunakan untuk memaknai fenomena
tertentu.
Konsep merupakan komponen utama untuk membentuk teori/model. Konsep muncul karena dibentuk, dan untuk membentuk konsep diperlukan 3
elemen, yaitu:
(1) simbol,
(2) muatan makna/konsepsi, dan
(3) obyek/peristiwa: fenomena, fakta, referensi empirik.
Simbol dapat berbentuk kata tunggal, kata majemuk, kalimat pendek atau berbentuk notasi. Muatan makna (konsepsi) adalah sesuatu yang diisi ke
dalam atau dilekatkan pada simbol dinyatakan melalui definisi (definisi konseptual). Sedangkan obyek/referensi empirik (obyek, peristiwa, indikator empirik)
adalah sesuatu yang ditunjuk oleh simbol dan terkandung dalam muatan makna (konsepsi). Berdasar uraian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan konsep ialah simbol yang diisi dengan muatan makna (konsepsi) tertentu untuk merujuk pada peristiwa (obyek) tertentu (Ihalauw, 2008).

3
B. PERKEMBANGAN HINDU DAN BUDHA DI INDONESIA

S
alah satu bentuk arsitektur candi, yaitu bangunan keagamaan atau tempat ibadah peninggalan masa lalu yang berasal dari zaman Hindu-Buddha.
Keindahan candi nampak pada arsitektur, relief, serta arcanya, dan pesan yang disapaikan erat dengan spiritualitas, kreatifitas, dan keterampilan para
pembangun candinya. Arsitektur candi yang paling terkenal adalah Candi Borobudur, yang terletak di wilayah Kecamatan Borobudur, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur juga merupakan satu dari tujuh keajaiban dunia.

1. Sejarah dan Berkembangnya


Agama Hindu-Buddha Agama Hindu di sebarkan oleh
Bangsa Arya (Bangsa Pendatang) setelah masuk melalui celah Carber
yang memisahkan daratan Eropa dan Asia. Bangsa Arya merasa
nyaman tinggal karena India adalah daerah yang subur. Bangsa Arya
mengalahkan Bangsa asli India (Dravida). Cara Bangsa Arya
mengeksistensikan bangsanya di India dengan cara membuat Kasta,
yaitu pelapisan masyarakat. Perbedaan Bangsa Arya dengan Bangsa
Dravida itu sendiri terdapat pada bagian fisiknya, yaitu Bangsa Arya
berkulit putih sedangkan Bangsa Dravida berkulit hitam. Pusat
kebudayaan Hindu adalah di Mohenjo Daro (Lakarna) dan Harapa
(Punjat) yang tumbuh sekitar 1.500 SM. Agama Hindu dalam
pelaksanaan ritual ibadah (penyampaian doa kepada dewa) harus di
lakukan oleh Kaum Brahmana saja. Sehingga kaum-kaum di bawahnya
merasa kesulitan ketika kaum Brahmana meminta qurban (pembayaran
yang berlebih) kepada kaum-kaum di bawahnya yang meminta tolong
untuk disampaikan doanya kepada dewa-dewa mereka. Sehingga
banyak masyarakat yang berpindah agama menjadi agama Budha.

2. Perkembangan Arsitektur Hindu Budha


Perkembangan Agama Hindu dan Budha yang telah mempengaruhi sistem pemerintahan, kepercayaan, sosial dan budaya masyarakat
juga tampak pada arsitekturnya. Hal yang paling dominan adalah munculnya arsitektur Candi sebagai bentuk pengaruh yang tak terpisahkan. Candi
di Indonesia dapat ditelusuri dari Sumatera, Jawa dan Bali. Arsitektur Candi pada dasarnya adalah bangunan yang digunakan untuk tujuan
peribadatan dan pemakaman para raja.
1. Candi Hindu -Buddha
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan
purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.[1] Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun
memuliakan Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja,
banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian
(petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi. Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para
dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan
berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur,
relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya. Beberapa candi
seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detil, kaya akan hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang
luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti
betapa tingginya kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.
2. Terminologi Candi
Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi
kematian.[6] Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang
sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati. Penafsiran yang berkembang di luar negeri —
terutama di antara penutur bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan
peninggalan era Hindu-Buddha di Nusantara, yaitu di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah Bujang di Kedah).
Sama halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan Thailand. Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa
Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di
Nusantara, tetapi juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi Angkor Wat di
Kamboja dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti
'stupa'.

4
3. KARAKTERISTIK ARSITEKTUR CANDI HINDU BUDHA DI INDONESIA
Karakter arsitektur Candi di Indonesia memiliki beberapa ciri berdasarkan lokasi, struktur dan ornamennya. Arsitektur candi Hindu
Budha di Indonesia dapat di temui di Pulau Sumatera Jawa dan Bali. Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat
dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu
bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India Selatan, yang tidak hanya berisi pedomanpedoman membuat kuil beserta
seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota dan desa.
a. Karakteristik berdasarkan Lokasi
Kitab vartusastra dan silpasastra juga memberikan pedoman mengenai pemilihan lokasi tempat candi akan dibangun. Hal ini
terkait dengan pembiayaan candi, karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah sima, yaitu tanah swatantra
bebas pajak yang penghasilan panen berasnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan candi. Beberapa prasasti
menyebutkan hubungan antara bangunan suci dengan tanah sima ini. Selain itu pembangunan tata letak candi juga seringkali
memperhitungkan letak astronomi (perbintangan). Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia
adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai,
danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk
bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan,
atau di lembah. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat
pertemuan sungai Elo dan sungai Progo. Sedangkan candi Prambanan terletak di dekat sungai Opak. Sebaran candi-candi di Jawa
Tengah banyak tersebar di kawasan subur dataran Kedu dan dataran Kewu .
b. Tata Letak Arsitektur
Candi Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok. Ada dua sistem dalam pengelompokan atau tata
letak kompleks candi, yaitu:
a. Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi candi induk berada di tengah–tengah anak candi (candi perwara).
Candi perwara disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem ini dipengaruhi tata letak denah mandala dari India.
Contohnya kelompok Candi Prambanan dan Candi Sewu.
b. Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu posisi candi perwara berada di depan candi induk. Ada yang
disusun berurutan simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki kawasan yang dianggap kurang suci berupa
gerbang dan bangunan tambahan, sebelum memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini merupakan
sistem tata letak asli Nusantara yang memuliakan tempat yang tinggi, sehingga bangunan induk atau tersuci diletakkan
paling tinggi di belakang mengikuti topografi alami ketinggian tanah tempat candi dibangun. Contohnya Candi Penataran
dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian dilanjutkan dalam tata letak Pura Bali.
 Sistem Struktur Arsitektur
Candi Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para dewa yang sesungguhnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena
itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam Gunung Mahameru.
Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-patung, prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya
menunjukkan sifat kebudayaan Indonesia yang dilapisi oleh unsurunsur Hindu-Budha. Pada hakikatnya, bentuk candi-candi di Indonesia adalah
punden berundak, dimana punden berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia. Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas
tiga bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap.
a. Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu.
Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu
rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk
denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk
hanya terdapat pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di empat penjuru mata angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga
masuk dihiasi ukiran makara. Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau pada candi
tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala. Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang
didasarnya terdapat pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu diatasnya diletakkan pripih. Di dalam
pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang kuno,
permata, kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.
b. Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha
disebut rupadhatu. Yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Pada
bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-
tengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya
berisi arca utama, misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di candi itu. Di bagian luar dinding di ketiga penjuru
lainnya biasanya diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi arca. Pada candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan
tersendiri selain ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan
ritual yang disebut pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan, dan pada galeri dinding tubuh candi maupun dinding pagar
langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah) atau pun dekoratif (hiasan).
c. Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Pada konsep Buddha disebut arupadhatu. Yaitu
menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri
dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya. Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang
membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang mengesankan bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap
dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga semu. Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya berbentuk kubus atau
silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing penghias
sudut. Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada candi-candi besar, atap candi ada yang dihiasi berbagai ukiran,
seperti relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur untaian roncean
bunga

5
C. PERKEMBANGAN ARSITEKTUR ZAMAN ISLAM


M asjid-masjid kuno memiliki ciri khas yang sangat terkait dengan daerah tempat masjid itu berada. Misalnya saja Menara Kudus yang
mirip dengan bangunan kerajaan Majapahit. Atau juga masjid di beberapa daerah lain yang bentuknya mirip dengan unsur bangunan
zaman Hindu-Buddha.

Berdasarkan Al-Quran
Arsitektur Islam merupakan wujud perpaduan antara kebudayaan manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia kepada
Tuhannya, yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan dan Penciptanya. Arsitektur Islam mengungkapkan hubungan
geometris yang kompleks, hirarki bentuk dan ornamen, serta makna simbolis yang sangat dalam. Arsitektur Islam merupakan salah satu jawaban
yang dapat membawa pada perbaikan peradaban. Di dalam Arsitektur Islam terdapat esensi dan nilai-nilai Islam yang dapat diterapkan tanpa
menghalangi pemanfaatan teknologi bangunan modern sebagai alat dalam mengekspresikan esensi tersebut.
Arsitektur yang merupakan bagian dari budaya, selalu berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Oleh karena itu,
Islam yang turut membentuk peradaban manusia juga memiliki budaya berarsitektur. Budaya arsitektur dalam Islam dimulai dengan dibangunnya
Ka’bah oleh Nabi Adam as sebagai pusat beribadah umat manusia kepada Allah SWT (Saoud, 2002: 1). Ka’bah juga merupakan bangunan yang
pertama kali didirikan di bumi. Tradisi ini dilanjutkan oleh Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Nabi Ismail AS. Mereka berdua memugar kembali
bangunan Ka’bah. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW melanjutkan misi pembangunan Ka’bah ini sebagai bangunan yang bertujuan sebagai
tempat beribadah kepada Allah. Dari sinilah budaya arsitektur dalam Islam terus berkembang dan memiliki daya dorong yang belum pernah terjadi
sebelumnya, serta mencapai arti secara fungsional dan simbolis. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 96 :

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi
dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Arsitektur Islam merupakan salah satu gaya arsitektur yang menampilkan keindahan yang kaya akan
makna. Setiap detailnya mengandung unsur simbolisme dengan makna yang sangat dalam. Salah satu makna yang terbaca pada arsitektur Islam itu
adalah bahwa rasa kekaguman kita terhadap keindahan dan estetika dalam arsitektur tidak terlepas dari kepasrahan dan penyerahan diri kita
terhadap kebesaran dan keagungan Allah sebagai Dzat yang memiliki segala keindahan. Bahkan sejak jaman Nabi Sulaiman AS, telah dibangun
suatu karya arsitektur yang menampilkan keindahan dan kemegahan itu. Hal ini tertuang dalam Al-Qur’an Surat An-Naml 44:

“Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana”. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan
disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”. Berkatalah Balqis: “Ya
Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam”.

 Berdasarkan Hadist
Ibnul Qayyim Al Jauziyah pada bukunya ‘I’lam al Muwwaqim dan Thuruq Al Hukmiyyah‘ saat membahas tentang hal-hal yang tidak
dijelaskan rasulullah dalam Quran dan sunnah menjelaskan

“aktifitas yang memang melahirkan maslahat bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad), walau pun belum diatur oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan wahyu Allah pun belum membicarakannya. Jika yang Anda maksud “harus sesuai syariat” adalah hal tersebut
tidak boleh bertentangan dengan nash (teks) syariat, maka itu benar.”

Kesimpulanya bahwa Arsitektur merupakan ranah yang tidak dijelaskan rasulullah secara detail seperti halnya ibadah mahdhah . Artinya
keputusan-keputusan mengenai desain yang Islami yaitu bersesuaian dengan syariat, dan tidak bertentangan dengannya, namun hal ini dalam ranah
personal (arsitek) untuk berijithad sesuai sabda Rasulullah

“Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”


[HR Muslim 1366]

Disini diperlukan ijtihad (personal) untuk mengambil nilai-nilai Islam yang diterapkan pada suatu kondisi tertentu sesuai realita yang
ada . Maka, dalam penjelasan kuliah , sempat membahas tentang fiqih. Dalam fiqih sangat mungkin sekali ditemukan perbedaan , karena yang
dibahas merupakan bukan hal yang tsawabit (tetap) , tapi muthaghayyirat (fleksibel) sesuai dengan pertimbangan fiqih (prioritas, pertimbanga, dll)
Sehinggapada akhirnhya banyak Arsitek Muslim dan Cendekiawan Muslim berpendapat seperti Sayyid Hosen Nasser, Gulzar Haider, Ziauddin
Sardar , Hassan fathy yang membahas tentang pendekatannya terhadap Arsitektur dan nilai Islam yang mereka jelaskan dalam berbagai tulisannya
secara teori.
Sejarah Perkembangan Arsitektur Islam Dari Masa Ke Masa
Arsitektur islam adalah suatu arsitektur atau hasil usaha manusia yang memiliki wujud kongkrit sebagai pemenuh atas kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani. Perkembangan arsitektur islam sangatlah luas meliputi bangunan tempat tinggal dan bangunan keagamaan. Di
antaranya istana, benteng, masjid, kuburan, bak pemandian umum, air mancur, dan lain-lain.
Konsep pemikiran arsitektur islam bersumber dari Al Quran, Hadits, Keluarga Nabi, Khalifah, Ulama, dan Cendikiawan Muslim.
Dalam pembangunannya, arsitektur ini memegang faktor fisik dan faktor metafisik. Maksud faktor fisik yaitu wujud fisik arsitektur harus sesuai
dengan ajaran agama islam. Sedangkan, faktor metafisik berarti arsitektur mampu membuat penghuninya untuk bertakwa kepada Allah SWT,
menjamin penghuninya merasa aman dan nyaman, serta mendorong pemiliknya untuk senantiasa bersyukur.
Adapun ciri-ciri dari arsitektur islam yaitu :
- Arsitektur mempunyai ornamen yang senantiasa mengingatkan penghuninya kepada Allah SWT
- Arsitektur tidak mengandung ornamen yang bergambar makhluk hidup utuh
- Interior arsitektur ditata untuk menjaga perilaku dan akhlak yang baik
- Arsitektur biasanya dihiasi warna-warni alami yang mendekatkan kepada Allah SWT
- Pembangunan arsitektur bukan bertujuan untuk riya atau sombong
- Toilet tidak boleh menghadap dan atau membelakangi kiblat
- Keberadaan arsitektur bangunan tidak berdampak negatif bagi orang lain
- Pendirian arsitektur tidak merusak lingkungan alam
- Perkembangan Arsitektur Islam

6
-

7
D. PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASA KOLONIAL

B angunan dengan arsitektur ini berkembang pada saat Indonesia dijajah Belanda selama tiga setengah abad. Arsitektur kolonial mengarah pada
gaya Belanda yang dibangun oleh pemerintah penjajah masa itu. Selama beberapa abad tersebut, gaya arsitektur pun ikut berkembang. Mulai
dari khas Prancis karena pemimpinnya kala itu merupakan mantan pimpinan Napoleon, sampai seni kaca, dan juga tren modern Belanda
yang disesuaikan iklim tropis Indonesia.

Arsitektur Kolonial dalam Sejarah Arsitektur Indonesia


Art Deco adalah salah satu gaya arsitektur penting yang hadir pada era arsitektur kolonial di Indonesia. Gaya yang lahir di Eropa dan
tumbuh cepat mendunia, masuk ke Indonesia melalui karya-karya arsitek Belanda yang berpraktek profesional di akhir masa penjajahan Belanda.
Sebagai bagian dari wajah arsitektur kolonial, gaya ini memiliki pengaruh dan tinggalan yang cukup banyak. Penggal masa kolonial sangat mewarnai
sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia. Jika dilihat bentangnya, sejarah panjang arsitektur di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode utama,
yaitu periode sebelum Penjajahan Belanda, periode selama masa Penjahahan Belanda dan periode pasca Penjajahan Belanda. Periodisasi ini
menempatkan masa kehadiran dan penjajahan Belanda selama kurang lebih 3 abad sebagai penggal penting, menjadi batas yang sangat mewarnai
dan merubah perjalanan dan wajah arsitektur di Indonesia. Periode selama masa penjajahan Belanda banyak dikenal dengan sebutan masa Kolonial,
yang berlangsung dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 (di tahun 1940-an). Handinoto (1986 dalam Wiyatiningsih, 2000) membagi secara garis
besar perkembangan arsitektur kolonial Belanda ini dalam tiga kurun waktu:
- Awal abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-18, dimana kekuasaan penjajahan dijalankan oleh VOC, perusahaan dagang Belanda
yang masuk pertama karena daya tarik rempah-rempah Nusantara. Bangunan pada periode ini banyak didominasi oleh bangunan
arsitektur perbentengan.
- Akhir abad ke-18 sampai dengan akhir abad ke-19,. Bangunan perbentengan berubah, gaya arsitektur Belanda yang dibawa dari
Eropa mulai dipengaruhi oleh budaya setempat (terutama Jawa) dan kondisi lingkungan/iklim tropis. Bentukanbentukan arsitektur
yang dibawa Belanda menyesuaikan dengan lingkungan dan menghasilan tampilan yang berbeda dengan arsitektur periode
sebelumnya.
- Awal abad ke-20 sampai akhir tahun 1940-an (akhir penjajahan Belanda di Indonesia) muncul gerakan yang menginginkan bentuk
khas arsitektur Indiesch dengan mengambil sumber arsitektur tradisional Indonesia. Gerakan ini dipelopori arsitek-arsitek muda
Belanda yang datang untuk bekerja dan berkarya di Indonesia. Setelah era tiga kurun waktu tersebut, pengaruh arsitektur tinggalan
kolonial masih kuat dan dapat dirasakan dalam karya-karya pasca kemerdekaan. Berbeda dengan arsitektur tradisional yang sangat
beragam dan mengkespresikan identitas masing-masing 2 budaya, arsitektur kolonial hadir dengan bentukan arsitektur yang baru
secara seragam, sehingga memberi warna baru dalam dunia arsitektur di Indonesia. Penjajahan Belanda adalah satu kekuatan politik
yang mengikat seluruh keragaman budaya di Indonesia di bawah satu ikatan kekuasaan, sehingga arsitektur yang dibawanya
diterapkan di seluruh wilayah Indonesia.
Art Deco di Era Kolonial
Art Deco adalah salah satu gaya yang muncul setelah era berakhirnya gaya imperium, dan menjadi gaya yang paling populer
pada era tahun 1920–1940an. Demikian populernya gaya Art Deco ini mengakibatkan banyak bangunan-bangunan yang sudah ada diubah
penampilannya dengan gaya Art Deco. Stasiun Tugu di Yogyakarta diubah fasadnya menjadi bergaya Art Deco pada tahun 1920-an, yang
dilakukan senyampang dengan perluasan ruang di bagian depan, sebagaimana terlihat dalam Gambar 1 dan Gambar 2. Dalam gambar
tersebut terlihat perbedaan antara Stasiun Tugu tahun 1890 yang bergaya Imperium dan tahun 1925 yang bergaya Art Deco. Hotel
Preanger di Bandung dan Javanesche Bank di Semarang mengubah fasade bangunan dengan balutan Art Deco untuk menghias diri,
menghapus muka bangunan awalnya yang bergaya Imperium (Kusno, 2009: 180). Hotel Preanger ditata ulang oleh Wolff Schoemaker
pada tahun 1929, dan Javanesche Bank cabang Semarang dirancang oleh firma arsitektur Fermont-Cuypers yang berkantor di Batavia
tahun 1935.
Perubahan penampilan tidak hanya terjadi pada bangunan-bangunan kolonial yang dikuasai oleh pemerintah Belanda, tetapi
juga pada bangunan yang dimiliki oleh masyarakat kota pada umumnya.
Dikken (2002 dalam Kusno 2009 :181) menceritakan bahwa kantor-
kantor baru pengusaha beretnis Cina terkemuka pada jamannya, Oei
Tiong Ham, di Semarang, juga mengikuti semangat zaman yang sama.
Berkat rancangan Liem Bwan Tjie2 , bangunan Art Deco barunya
sangat berbeda dari penampilan awal, dan diduga menjadi prototipe

bangunan toko Cina-Indonesia. (Lihat Gambar 3) Di Jakarta, pada tahun


1930-an perubahan fasad juga terjadi pada rumah-rumah toko di Pasar
Baru dan Pancoran, yang diubah dari gaya Cina menjadi Art Nouveau
dan Art Deco Eropa (Pratiwo, 2009:94). Perubahan yang dilakukan pada
rumah toko sebatas pada dinding fasad bangunan tanpa mengubah tata
ruang bagian dalam bangunan. Perubahanperubahan semacam itu
sangat mungkin terjadi pula di kota-kota lain, dengan tingkat perubahan
yang berbeda-beda. Beberapa fasad rumah toko di Ketandan dan Jalan
Malioboro Yogyakarta meninggalkan jejak perubahan dari rumah
bargaya Cina ke bangunan bergaya arsitektur modern. Teras lantai dua diubah menjadi ruang berdinding dengan gaya Art Deco di bagian
fasadnya. Bagian atap berarsitektur tradisional Cina yang berada di balik dinding fasad tidak dirubah.

8
Arsitektur Pasca Era Kolonialisme
Setelah sangat disemarakkan dengan banyak hadirnya berbagai aliran arsitektur modern di Indonesia. Perubahan fasad
bangunan milik Oei Tiong Ham, hasil rancangan Liem Bwan Tije tahun 1930. Kolonialisme Setelah sangat disemarakkan dengan banyak
hadirnya berbagai aliran arsitektur modern di Indonesia, perkembangan arsitektur di Indonesia melambat pada era tahun 6 bangunan milik
Oei Tiong Ham, hasil rancangan Liem Bwan Tije tahun 1930. itektur Cina di Malioboro Yogyakarta (1930). Setelah sangat disemarakkan
dengan banyak hadirnya berbagai aliran arsitektur melambat pada era tahun 7 1930-an hinggga 1950-an. Pada penggal tersebut dunia
menghadapi depresi ekonomi dan resesi besar-besaran yang diikuti dengan perang di kawasan Eropa dan Asia Pasifik (Perang Dunia II).
Pemerintahan kolonial Belanda banyak menghentikan kegiatan pembangunan fisik dan membatalkan rencana-rencana besar
pengembangan kota. Menurut Widodo (2009:23), tidak saja pada kegiatan pembangunan yang berhenti, pada periode tersebut debat-debat
akademik yang hangat serta eksperimen-eksperimen arsitektur besar yang sempat berkembang dengan subur di Indonesia sebelum perang,
juga terhenti. Berakhirnya perang Dunia yang membawa berkah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di tahun 1945 tidak serta merta
menghidupkan kehidupan berarsitektur. Masa perang Kemerdekaan sampai denga tahun 1950 adalah masa yang tidak aman dan tidak
stabil secara politik. Bangsa Indonesia berkonsentrasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan memantapkan seluruh sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa pascakolonialisme sampai dengan tahun 1950-an ini dapat
dikatakan berhenti. Tidak ada bentuk baru, tidak ada gaya dan aliran baru dan tidak ada karya-karya baru yang unggul, karena memang
tidak ada kegiatan pembangunan baru. Situasi ini mulai berubah pada tahun 1950-an yang disebut sebagai sebuah masa renaisans3 dalam
pendidikan arsitektur dan dalam pembangunan kembali profesi arsitektur di Indonesia. Setelah tahun 1960, arsitektur Indonesia tumbuh
berkembang kembali. Era tahun 1960 – 1965 didominasi oleh politik pembangunan karakter bangsa di bawah komando Soekarno, yang
salah satunya dilakukan dengan pelaksanaan pembangunan proyek-proyek mercusuar berupa hotel, toko serba ada, jembatan layang,
monumen, masjid dan perkantoran. Era ini dilanjutkan dengan Orde Baru Soeharto (mulai tahun 1966), yang juga melakukan
pembangunan secara besar-besaran didukung dengan kekuatan ekonomi yang ditopang oleh limpahan produksi minyak (Widodo,
2009:23). Gaya arsitektur apa yang berkembang pada era pascakolonialisme? Gaya Internasionalisme banyak mewarnai bangunan-
bangunan yang dibangun pada era pascakolonialisme. Proyek-proyek besar yang dibangun pada masa itu menjadi simbol dari kekuatan
dan dijadikan mercusuar yang membangkitkan semangat kebangsaan. Bangunan pada era Soekarno banyak menampilkan gaya
internasionalisme pascaperang dan gaya sosialis, yang diperkenalkan oleh arsitek-arsitek yang belajar di luar negeri (terutama dari Eropa
Timur). Megah, monumental dan modern adalah ciri yang terlihat pada karya-karya tersebut. Contoh bangunan penting era ini antara lain
adalah Stadion Utama Gelora Senayan dan Masjid Istiqlal.
Pada skala bangunan yang lebih kecil, terutama pada rumah-rumah tinggal, muncul salah satu gaya arsitektur yang populer di
Indonesia, yaitu gaya jengki. Prijotomo berpendapat bahwa arsitektur yang ditandai dengan penggunaan atap pelana yang digeser
puncaknya, tampilan dominan garis dan bidang miring, serta penggunaan material lokal ini adalah arsitektur khas dan aseli Indonesia.
Lahirnya gaya ini setidaknya dilatarbelakangi dua hal. Pertama adalah terbatasnya tenaga ahli asing dan arsitek yang berpraktek di
Indonesia setelah kembalinya para arsitek Belanda pada kemerdekaan. Pekerjaanpekerjaan arsitektur yang ada ditangani oleh arsitek lokal
yang terbatas dan para pekerja bidang konstruksi yang pernah bekerja di perusahaan konstruksi pada masa pendudukan. Kedua, dalam
rasa nasionalisme yang tinggi ada semangat untuk pembebasan diri dari segala hal yang berbau kolonialisme, termasuk gaya bangunan
era sebelumnya yang sangat mewarnai arsitektur di Indonesia.
Di luar dua gaya tersebut di atas,
arsitektur kolonial tidak serta merta lenyap
pengaruhnya. Menarik pendapat yang
disampaikan oleh Kusno (2009 :184) bahwa
berbagai ragam bentuk dan tampilan bangunan
masa kolonial masih menjadi sumber kreativitas
yang bernilai. Tidak hanya pada masa sampai
dengan tahun 1960-an, tetapi bahkan sampai pada
arsitektur kontemporer saat ini. Dapat dikatakan
bahwa arsitektur kolonial dengan berbagai gaya
yang hidup di dalamnya mewarnai gaya arsitektur
dalam waktu yang cukup lama, yaitu pada masa
kolonialisme itu sendiri dan pada masa
sesudahnya akibat kosongnya pengembangan
dunia arsitektur pada masa awal pasca
kemerdekaan.
Pengaruh Gaya Art Deco
Gaya Art Deco dapat ditemukan di mana saja pada awal tahun 1920-an (Damais, 2005:vi). Di luar arsitektur yang telah dibahas sebelumnya,
pengaruh Art Deco sangat luas pada dunia seni dan desain. Garis-garis dan tampilan bergaya Art Deco dapat dijumpai dengan mudah di berbagai
dunia seni. Art Deco telah merasuki semua jeluk dan lubuk gaya hidup. Alastair Duncan, misalnya, dalam buku standarnya tentang dan yang
berjudul Art Deco, membahas sembilan bidang (di samping arsitektur) yang sempat sangat kuat gaya art deconya, yakni furniture, textiles, iron
works and lighting, silver-lacquer & metalware, glass, ceramics, sculpture, painting-graphics-posters & bookbinding, dan jewelry. (Saliya,
2005:12). Pengaruh art deco juga sangat mewarnai desain kendaraan di tahun 1950-an dan 1960-an, terutama di Amerika. Pada desain kendaraan,
garis-garis saerodinamis menghasilkan bentuk-bentuk streamline. Yang menarik, gaya Art Deco dapat diterima tidak semata karena estetika
visualnya, tetapi juga karena semangat kebebasan dan optimisme yang diusungnya. Di dunia fashion, dengan daya tarik estetika visualnya, fashion
gaya Art Deco juga menyiratkan gerakan emansipasi perempuan melalui perubahan silhouette pakaian , penggunaan bahan dan perubahan tata rias
wajah. Prihutomo (2005:21) menggambarkan bahwa Art Deco berbagi semangat yang sama dengan emansipasi perempuan di dunia. Berbagi
kebebasan yang sama dalam bentuk dan karakter yang sederhana. Pengaruh yang luas pada dunia desain (di luar arsitektur) juga terjadi di Indonesia.
Di seni grafis Hindia Belanda, muncul Hindia Molek yang menampilkan eksotisme dan keindahan Timur seperti sawah, kerbau, perempuan
berkebaya dan berkonde, lelaki bersarung dan berkopiah serta berbagai simbol komunitas feodal Belanda dan komunitas masyarakat tradisional
pribumi, dalam alam tropis yang indah (Sunarto, 2005: 32). Damais (2005:vi) menyebutkan juga bahwa garis-garis pengaruh Art Deco ditemukan
juga pada becak di Tegal dan dokar di Sukabumi. Ini berarti bahwa Art Deco tidak saja diadopsi oleh kalangan pekerja seni dan parancang, tetapi
juga oleh masyarakat kebanyakan. Demikian luasnya pengaruh dan terapan Art Deco di masyarakat dilatarbelakangi setidaknya tiga hal. Pertama,
secara visual gaya ini menawarkan citra estetika yang baru, menarik dan berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Kedua, gaya ini mengusung
semangat pembaharuan, kebebasan, optimisme dan mencitrakan gaya hidup yang mewah dan mapan. Ketiga, kemudahan untuk mengadopsi, meniru
dan menciptakan bentukan baru bergaya Art Deco. Terkait dengan kemudahan mengadopsi dan menerapkan Art Deco ini, Saliya (2005:13)
memiliki hipotesis bahwa Art Deco hanya menyentuh benda-benda yang kritikalitas formalnya rendah seperti ambang pintu atau jendela, pegangan
pintu, teko, cawan, perwajahan tapestry, wajah perapian, permukaan dinding, dll.

9
Arsitektur Kolonial Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata
kota dan bangunan. Para pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional Belanda didalam perencanaan dan
pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunan.
Adanya pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial di Indonesia menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur kolonial di
berbagai tempat di Indonesia apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri antara tempat yang satu dengan yang
lain.

Arsitektur kolonial sendiri merupakan arsitektur yang dibangun selama masa kolonial, ketika Indonesia menjadi negara jajahan bangsa
Belanda pada tahun 1600-1942, yaitu 350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia.

Gaya desain Kolonial adalah gaya desain yang berkembang di beberapa negara di Eropa dan Amerika. Dengan ditemukannya benua
Amerika sekitar abad 15-16, menambah motivasi orang-orang Eropa untuk menaklukkan dan menetap pada “dunia baru”, yaitu daerah yang
mereka datangi dan akhirnya dijadikan daerah jajahan. Motivasi mereka menjelajah samudra bervariasi, dari meningkatkan taraf hidup sampai
membawa misi untuk menyebarkan agama. Selain itu juga tersimpan sedikit hasrat untuk memperoleh pengalaman dan petualangan baru.

Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses adaptasi antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami
oleh dua bangsa terbentuk dengan apa yang dinamakan arsitektur kolonial. Hal ini mencakup penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan
dengan perbedaan iklim, ketersediaan material, cara membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan seni budaya yang terkait dengan estetika.
Ditinjau dari proses akulturasi yang terjadi, terdapat dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya arsitektur kolonial Belanda, yaitu faktor budaya
setempat dan faktor budaya asing Eropa atau Belanda.

Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya yang berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan
Romawi. Ciri menonjol terletak pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma). Kolom-kolom dorik, ionik dan corinthian
dengan berbagai bentuk ornamen pada kapitalnya. Bentuk pedimen, yakni bentuk segi tiga berisi relife mitos Yunani atau Romawi di atas deretan
kolom. Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding berbentuk segi tiga atau setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela berfungsi
sebagai hiasan.
Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek
Belanda dan diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum kemerdekaan. Arsitektur yang hadir pada awal
masa setelah kemerdekaan sedikit banyak dipengaruhi oleh arsitektur kolonial disamping itu juga adanya pengaruh dari keinginan para arsitek
untuk berbeda dari arsitektur kolonial yang sudah ada.

Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di Netherland tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni fasad simetris,
material dari batu bata atau kayu tanpa pelapis, entrance mempunyai dua daun pintu, pintu masuk terletak di samping bangunan, denah simetris,
jendela besar berbingkai kayu, terdapat dormer (bukaan pada atap).

Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah
arsitektur Belanda yang dikembangkan di Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942.

Eko Budihardjo, menjelaskan arsitektur kolonial Belanda adalah bangunan peninggalan pemerintah kolonial Belanda seperti benteng
Vastenburg, Bank Indonesia di Surakarta dan masih banyak lagi termasuk bangunan yang ada di Karaton Surakarta dan Puri Mangkunegaran.
Kartono, mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem teknologi dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud
arsitektur dipengaruhi oleh banyak aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi wujud
arsitektur.

Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan peninggalan pemerintah Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang
merupakan aset besar dalam perjalanan sejarah bangsa.

Karakteristik Arsitektur
Model bangunan kolonial banyak dijumpai di berbagai kota di Indonesia khususnya di kota-kota yang pernah dijajah oleh Belanda seperti
Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Semarang , Malang dan lainnya. Model bangunan berarsitektur kolonial ini disebut juga dengan The Empire
Style/The Dutch Colonial. Model bangunan tersebut tidak hanya dijumpai pada bangunan hunian saja tetapi juga pada model bangunan
pemerintahan seperti kantor, stasiun, rumah peribadatan, contohnya yaitu Museum Fatahillah Jakarta, Stasiun Kota Jakarta, Museum bank
Mandiri Jakarta, dan Gedung Sate Bandung.

10
Gambar 1: Museum Fatahillah

Sumber : http://id.wikipedia.org/
Keberadaan bangunan berarsitektur kolonial ini merupakan salah satu konsep perencanaan kota kolonial yang dibangun oleh Hindia
Belanda yaitu perpaduan model bangunan Belanda dengan teknologi bangunan daerah tropis.

Model bangunan berarsitektur Kolonial ini memiliki kekhasan bentuk bangunan terutama pada fasade bangunannya. Diantara ciri-ciri
bangunan Kolonial yaitu:

1. Penggunaan gewel (gable) pada fasade bangunan yang biasanya berbentuk segitiga.
Gambar 2: Berbagai Variasi Bentuk Gawel

Sumber : American Design 1870-1940 dalam Handinoto, 1996: 167

2. Penggunaan tower pada bangunan.


3. Penggunaan dormer pada atap bangunan yaitu model jendela atau bukaan lain yang letaknya di atap dan mempunyai atap tersendiri.
Gambar 2: Berbagai Bentuk Dormer

Sumber : American Vernacular Design dalam Handinoto, 1996: 176

4. Model denah yang simetris dengan satu lantai atas.


5. Model atap yang terbuka dan kemiringan tajam.
6. Mempunyai pilar di serambi depan dan belakang yang menjulang ke atas bergaya Yunani.
7. Penggunaan skala bangunan yang tinggi sehingga berkesan megah.
8. Model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung (dengan dua daun jendela), dan tanpa overstek (sosoran).
Model bangunan kolonial tersebut banyak dijumpai sampai saat ini, tetapi yang terawat hanya sebagian dan sebagian yang lain hampir
musnah dimakan jaman, bahkan terlantar karena ditinggalkan pemiliknya. Diantara model bangunan-bangunan kolonial tersebut banyak
bangunan kolonial yang memiliki nilai sejarah/historis tinggi. Maka dari itu, bangunan tersebut harus dipertahankan dan dipelihara

11
keberadaannya karena merupakan salah satu asset peninggalan yang bisa menjadi bukti sejarah bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu dengan
dikeluarkannya peraturan tentang konservasi terhadap bangunan yang bersejarah, diharapkan bangunan tersebut tidak tergusur oleh jaman.

Aspek Arsitektur
Widyati, mengklasifikasikan arsitektur bangunan bersejarah yang tidak akan terlepas dari fungsi, material dan style atau gaya. Hal ini
diperkuat oleh teori Barry yang menekankan pada empat komponen utama yang perlu analisis atau diteliti studi terhadap fasade bangunan yaitu:
pattern, alligment, size dan shape dalam melakukan klasifikasi arsitektur bersejarah.
Dalam bahasan selanjutnya komponen yang dapat digunakan untuk membandingkan arsitektur bangunan kolonial Belanda di Makassar
dengan dasar-dasar teori yang ada, dengan mengambil pendapat beberapa pakar, atau arsitektur kolonial Belanda dapat diperoleh melalui studi
pustaka.

Handinoto menyebutkan bahwa hal-hal pokok yang perlu dibahas dalam arsitektur kolonial Belanda adalah sebagai berikut:

Periodesasi
Handinoto, membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi
empat bagian, yaitu:

Abad 16 sampai tahun 1800-an


Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda
yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada
bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut
tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.
Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Ketika pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada
tahun 1811-1815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat
kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan
membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik
yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.
Tahun 1902-1920-an
Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu,
pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana tersebut, maka “indische architectuur” menjadi terdesak dan hilang.
Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang
berorientasi ke negeri Belanda.
Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian mempengaruhi
arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul
gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri
khas pada arsitektur Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber pengembangannya.

Gaya bangunan
Gaya berasal dari bahasa Latin stilus yang artinya alat bantu tulis, yang maksudnya tulisan tangan menunjukan dan mengekspresikan
karakter individu. Dengan melihat tulisan tangan seseorang, dapat diketahui siapa penulisnya. Gaya bisa dipelajari karena sifatnya yang publik
dan sosial Wardani.
Gaya desain ini timbul dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk menciptakan negara jajahan seperti negara asal mereka. Pada
kenyataannya, desain tidak sesuai dengan bentuk aslinya karena iklim berbeda, material kurang tersedia, teknik di negara jajahan, dan kekurangan
lainnya. Akhirnya, diperoleh bentuk modifikasi yang menyerupai desain di negara mereka, kemudian gaya ini disebut gaya kolonial.

Gaya atau langgam adalah suatu hal yang tampak dan mudah dikenali dalam desain arsitektur, seperti bentuk (wujud), tampak, elemen-
elemen dan ornamen yang biasa menyertainya.

Bentuk
Arti kata bentuk secara umum, menunjukkan suatu kenyataan jumlah, tetapi tetap merupakan suatu konsep yang berhubungan. Juga
disebutkan sebagai dasar pengertian kita mengenai realita dan seni.dalamarsitektur, arti kata bentuk mempunyai pengertian berbeda-beda, sesuai
dengan pandangan dan pemikiran pengamatnya.
Bentuk adalah wujud dari organisasi ruang yang merupakan hasil dari suatu proses pemikiran. Proses didasarkan atas pertimbangan fungsi
dan usaha pernyataan diri (ekspresi). Menurut Mies van der Rohe, bentuk adalah wujud dari penyelesaian akhir dari konstruksi yang
pengertiannya sama. Benjemin Handler mengatakan, bentuk adalah wujud keseluruahan dari fungsi-fungsi yang bekerja secara bersamaan, yang
hasilnya merupakan susunan suatu bentuk.

Bentuk merupakan ekspresi fisik yang berupa wujud dapat diukur dan berkarakter karena memeilki tekstur berupa tampak baik berupa
tampak tiga dimensi maupun tampak dua dimensi.

Fasade/Tampak bangunan
Fasade bangunan merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan.

12
Akar kata fasad diambil dari kata latin facies yang merupakan sinonim dari face (wajah) dan appearance (penampilan). Oleh karena itu,
membicarakan wajah sebuah bangunan, yaitu fasade, yang kita maksudkan adalah bagian depan yang menghadap jalan.
Krier mengungkapkan bahwa fasade adalah representasi atau ekspresi dari berbagai aspek yang muncul dan dapat diamati secara visual.
Dalam konteks arsitektur kota, fasade bangunan tidak hanya bersifat dua dimensi saja akan tetapi bersifat tiga dimensi yang dapat
merepresentasikan masing-masing bangunan tersebut dalam kepentingan public kota atau sebaliknya. Untuk itu komponen fasade bangunan yang
diamati meliputi

Selanjutnya menurut Krier, wajah bangunan juga menceritakan dan mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya, memberikan
semacam identits kolektif sebagai suatu komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan representasi komunitas tersebut dalam publik.
Aspek penting dalam wajah bangunan adalah pembuatan semacam pembedaan antara elemen horizontal dan vertikal, dimana proporsi elemen
tersebut harus sesuai terhadap keseluruhannya.

Elemen arsitektur
Pengaruh budaya barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada bentuk arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Pintu termasuk
terletak tepat ditengah, diapit dengan jendela-jendela besar pada kedua sisinya. Bangunan bergaya kolonial adalah manifestasi dari nilai-nilai
budaya yang ditampilkan bentuk atap, dinding, pintu, dan jendela serta bentuk ornamen dengan kualitas tinggi sebagai elemen penghias gedung.

Elemen-elemen pendukung wajah bangunan menurut Krier, antara lain adalah sebagai berikut:

Atap
Jenis atap ada bermacam-macam. Jenis yang sering dijumpai saat ini adalah atap datar yang terbuat dari beton cor dan atap miring
berbentuk perisai ataupun pelana. Secara umum, atap adalah ruang yang tidak jelas, yang paling sering dikorbankan untuk tujuan eksploitasi
volume bangunan. Atap merupakan mahkota bagi bangunan yang disangga oleh kaki dan tubuh bangunan, bukti dan fungsinya sebagai
perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu sendiri.

Secara visual, atap merupakan sebuah akhiran dari wajah bangunan, yang seringkali disisipi dengan loteng, sehingga atap bergerak
mundur dari pandangan mata manusia. Perlunya bagian ini diperlakukan dari segi fungsi dan bentuk, berasal dari kenyataan bangunan memiliki
bagian bawah (alas) yang menyuarakan hubungan dengan bumi, dan bagian atas yang memberitahu batas bangunan berakhir dalam konteks
vertikal.

Pintu
Pintu memainkan peranan penting dan sangat menentukan dalam menghasilkan arah dan makna yang tepat pada suatu ruang. Ukuran
umum pintu yang biasa digunakan adalah perbandingan proporsi 1:2 atau 1:3. ukuran pintu selalu memiliki makna yang berbeda, misalnya pintu
berukuran pendek, digunakan sebagai entrance ke dalam ruangan yang lebih privat. Skala manusia tidak selalu menjadi patokan untuk
menentukan ukuran sebuah pintu. Contohnya pada sebuah bangunan monumental, biasanya ukuran dari pintu dan bukaan lainnya disesuaikan
dengan proporsi kawasan sekitarnya.
Posisi pintu ditentukan oleh fungsi ruangan atau bangunan, bahkan pada batasan-batasan fungsional yang rumit, yang memiliki
keharmonisan geometris dengan ruang tersebut. Proporsi tinggi pintu dan ambang datar pintu terhadap bidang-bidang sisa pada sisi-sisi lubang
pintu adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Sebagai suatu aturan, pengaplikasian sistem proporsi yang menentukan denah lantai dasar dan
tinggi sebuah bangunan, juga terhadap elemen-elemen pintu dan jendela. Alternatif lainnya adalah dengan membuat relung-relung pada dinding
atau konsentrasi suatu kelompok bukaan seperti pintu dan jendela.

Jendela
Jendela dapat membuat orang yang berada di luar bangunan dapat membayangkan keindahan ruangan-ruangan dibaliknya, begitu pula
sebaliknya. Krier, mengungkapkannya sebagai berikut “dari sisi manapun kita memasukkan cahaya, kita wajib membuat bukaan untuknya, yang
selalu memberikan kita pandangan ke langit yang bebas, dan puncak bukaan tersebut tidak boleh terlalu rendah, karena kita harus melihat cahaya
dengan mata kita, dan bukanlah dengan tumit kita: selain ketidaknyamanan, yaitu jika seseorang berada di antara sesuatu dan jendela, cahaya
akan terperangkap, dan seluruh bagian dari sisa ruangan akan gelap” Pada beberapa masa, evaluasi dan makna dari tingkat-tingkat tertentu
diaplikasikan pada rancangan jendelanya. Susunan pada bangunan-bangunan ini mewakili kondisi-kondisi sosial, karena masing-masing tingkat
dihuni oleh anggota dari kelas sosial yang berbeda.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan jendela pada wajah bangunan, antara lain adalah sebagai berikut, proporsi geometris
wajah bangunan:

 Penataan komposisi, yaitu dengan pembuatan zona wajah bangunan yang terencana.
 Memperhatikan keharmonisan proporsi geometri, jendela memberikan distribusi pada wajah bangunan, oleh karena itu, salah satu efek
atau elemen tertentu tidak dapat dihilangkan atau bahkan dihilangkan.
 Jendela dapat bergabung dalam kelompok-kelompok kecil atau membagi wajah bangunan dengan elemen-elemen yang hampir terpisah
dan membentuk simbol atau makna tertentu.
Dinding
Keberadaan jendela memang menjadi salah satu unsur penting dalam pembentukan wajah bangunan bangunan, akan tetapi dinding juga
memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dengan jendela, dalam pembentukan wajah bangunan. Penataan dinding juga dapat diperlakukan
sebagai bagian dari seni pahat sebuah bangunan, bagian khusus dari bangunan dapat ditonjolkan dengan pengolahan dinding yang unik, yang bisa
didapatkan dari pemilihan bahan, ataupun cara finishing dari dinding itu sendiri, seperti warna cat, tekstur, dan juga tekniknya. Permainan
kedalaman dinding juga dapat digunakan sebagai alat untuk menonjolkan wajah bangunan.
Aspek non fisik Arsitektur
Tempat dalam arsitektur merupakan wadah yang berfungsi sebagai pendukung aktifitas penghuninya. Dalam wujud dan bentuk arsitektur
tercipta dimensi, ruang dengan skala dan proporsi yang harmonis akibat dari kekuatan non fisik yang dihasilkan dari hubungan antara manusia

13
dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sang pencipta-Nya. Oleh karena wujud arsitektur dalam masyarakat tertentu
merupakan cerminan yang dipengaruhi oleh aspek sosial budaya masyarakatnya.

Wujud dalam arsitektur bila di hayati terlihat memeiliki bentuk berbeda-beda sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam
masyarakat tersebut, yang menciptakan sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendididkan serta teknologi terapannya yang semuanya
membawa perubahan pada wujud fisik arsitektur. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah sistem sosial budaya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek non fisik tersebut menciptakan berbagai bentuk, wujud dan fungsi arsitektur akibat nilai sosial,
budaya, religi dan pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Kebudayaan dalam Arsitektur


Kebudayaan selalu senafas dengan jamannya. Ekspresi budaya berupa ilmu pengetahuan dan seni akan ditentukan oleh patron utama, yaitu
‘penguasa, Soekiman. Kebudayaan akan mempengaruhi segala sistem kehidupan. Rapoport, menegaskan pendapatnya bahwa kebudayaan akan
mempengaruhi artefak, namun artefak tidak akan dapat mempengaruhi kebudayaan itu sendiri.
Pendapat lain diutarakan oleh Mangunwijaya, bahwa kebudayaan berkaitan erat dengan pemikiran dan falsafah hidup. Kebudayaan
menyangkut segala aspek kehidupan, baik itu religi, sistem dan fungsi sosial dan kesemuanya akan berpengaruh terhadap perkembangan
arsitektur.

Kebudayaan kolonial Belanda


Elemen-elemen penyusun bangunan merupakan sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri, dan dapat dipahami dan dipelajari melalui
kajian arsitektural. Soekiman, memperjelas bahwa, orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priyayi, dan penduduk pribumi yang
telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas pada saat itu. Mereka ikut serta dalam penyebaran kebudayaan Belanda,
lewat gaya hidup yang serba mewah. Kebijakan pemerintah Belanda menjadikanbentuk arsitektur hindia Belanda sebagai standar dalam
pembangunan gedung-gedung, baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang bersatus sosial cukup baik,
terutama para pedagang dari etnis tertentu, dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para penguasa dan
priyayi.

Bangunan kolonial Belanda juga merupakan bangunan yang tercipta dari kebudayaan bangsa Belanda, baik secara murni, maupun yang
sudah dipadukan dengan budaya tradisional, dan kondisi lingkungan sekitar. Bangunan kolonial memiliki makna dan simbol-simbol yang dapat
dilihat dari fungsi, bentuk, maupun gaya arsitekturnya.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda


Revolusi Industri di Eropa. Hal ini secara tidak langsung memberikan dua pengaruh penting. Pertama, peningkatan kebutuhan bahan
mentah, menyebabkan timbulnya kota-kota adiministratur di Indonesia. Kedua, berkembangnya konsep-konsep perencaan kota modern yang
tercetus sebagai tanggapan atas revolusi industri Misalnya konsep Garden City oleh Ebeneser Howard. Kesemuanya ini juga mempengaruhi para
arsitek asing dalam berkarya Indonesia.

Politik kulturstelsel menyebabkan berkembangnya sistem perkebunan dengan komoditi tanaman keras, dan pula dianggap sebagal awal
berkembangnya wilayah pertanian dan kota-kota administratur perkebunan Politik Etis (Etische Politiek). Politik mempunyai dampak bagi
perkembangan perencanaan kota di Indonesia, dengan dikembangkannya perbaikan kampung kota tahun 1934 Pengembangan Pranata dan
Konstitusi Baru. Terbitnya UU Desentralisasi, Decentralisatie Besluit Indisehe Staatblad tahun 1905/137, yang mendasari terbentuknya sistem
kotapraja (Staadgemeente) yang bersifat otonom. Hal ini memacu perkembangan konsepsi perencanaan kota kolonial. Pada pelaksanaan poin 4
(empat) yaitu politik desentralisasi yang memberikan otoritas kepada daerah dalam pengembangannya, kota-kota mulai berkembang pesat, salah
satu penyebabnya adalah tumbuh dan berkembangnya perkebunan dan industrialisasi. Akibatnya, penduduk terlalu padat, keadaan kota semakin
buruk, terutama dalam hal sanitasi dan pengadaan air minum.

14
E. ARSITEKTUR KONTEMPORER DI INDONESIA

P asca kemerdekaan sampai sekarang, arsitektur terus berkembang menjadi arsitektur kontemorer. Awal
masa kemerdekaan, bangunan-bangunan yang muncul masih berkualitas rendah karena
perkembangan ekonominya masih belum kuat. Lambat laun, orang-orang banyak pula yang
menggunakan arsitektur pribadi untuk mendesain rumah mereka sesuai keinginan. Sekarang, secara umum
di Indonesia tren arsitektur terbagi dua kutub, minimalis dan maksimalis (klasik).

Gaya Kontemporer adalah istilah yang bebas dipakai untuk sejumlah gaya yang berkembang antara tahun 1940-1980an. Gaya
kontemporer juga sering diterjemahkan sebagai istilah arsitektur modern (Illustrated Dictionary of Architecture, Ernest Burden).
Walaupun istilah kontemporer sama artinya dengan modern atau sesuatu yang up to date, tapi dalam disain kerap dibedakan. Istilah ini digunakan
untuk menandai sebuah disain yang lebih maju, variatif, fleksibel dan inovatif, baik secara bentuk maupun tampilan, jenis material, pengolahan
material, maupun teknologi yang dipakai.
Desain yang Kontemporer menampilkan gaya yang lebih baru. Gaya lama yang diberi label kontemporer akan menghasilkan bentuk
disain yang lebih segar dan berbeda dari kebiasaan. Misalnya, modern kontemporer, klasisk kontemporer atau etnik kontemporer. Semua menyajikan
gaya kombinasi dengan kesan kekinian.
Disain-disain arsitektur cabang dari modern yang lebih komplek dan inovatif biasa juga disebut sebagai disain yang kontemporer.
Misalnya, dekonstruksi, post modern, atau modern high tech. Disain Mal eX di Jakarta, misalnya, menampilkan gaya arsitektur Dekonstruksi dan
termasuk juga ke dalam gaya kontemporer. Disainnya berupa ; deretan yang berbentuk kubus yang diacak tak teratur; diberi warna berbeda sehingga
terlihat atraktif; bentuk jendela tak beraturan di permukaan kubus.
Arsitektur kontemporer menonjolkan bentuk unik, diluar kebiasaan, atraktif, dan sangat komplek. Pewrmainan warna dan bentuk menjadi
modal memciptalkan daya tarik bangunan. Selain itu permainan tekstur sangat dibutuhkan. Tekstur dapat diciptakan dengan sengaja. Misalnya, akar
rotan yang dijalin berbentuk bidangbertekstur seperti benang kusut. Bisa juga dengan memilih material alami yang bertekstur khas, seperti kayu.
Untuk menciptakan gaya kontemporer, tak harus dengan material baru. Jenis material bangunan boleh sama , tapi dengan disain yang baru.

Sebelum masa kemerdekaan dunia arsitektur di Indonesia didominasi oleh karya arsitek Belanda. Masa kolonial tersebut telah mengisi
gambaran baru pada peta arsitektur Indonesia. Kesan tradisional dan vernakuler serta ragam etnik di Negeri ini diusik oleh kehadiran pendatang yang
membawa arsitektur arsitektur di Indonesia
Bentuk arsitektur di Indonesia “asli” kemudian dimulai dari sebuah institusi arsitektur di era setelah kemerdekaan. Selama periode tersebut
sampai sekarang arsitektur berkembang melalui proses akademik dan praktek arsitektur pada sebuah arsitektur kontemporer Indonesia.
Di masa penjajahan Belanda sebenarnya mata kuliah arsitektur diajarkan sebagai bagian dari pendidikan insinyur sipil. Namun, setelah Oktober
1950, sekolah arsitektur yang pertama didirikan di Institut Teknologi Bandung yang dulu bernama Bandoeng Technische Hoogeschool (1923).
Disiplin ilmu arsitektur ini diawali dengan 20 mahasiswa dengan 3 pengajar berkebangsaan Belanda, yang pada dasarnya pengajar tersebut meniru
system pendidikan dari tempat asalnya di Universitas Teknologi Delft di Belanda. Pendidikan arsitektur mengarah pada penguasaan keahlian
merancang bangunan, dengan fikus pada parameter yang terbatas, yaitu fungsi, iklim, konstruksi, dan bahan bangunan.
Semenjak konflik di Irian Barat pada tahun 1955 semua pengajar dari Belanda dipulangkan ke negaranya, kecuali V.R. van Romondt
yang secara rendah hati bersikeras untuk tinggal dan memimpin sekolah arsitektur sampai tahun 1962. Selama kepemimpinannya, pendidikan
arsitektur secata bertahan memperkaya dengan memberikan aspek estetika, barat ke tanah Indonesia. Sekitar awal 1910-an beberapa karya arsitek
Belanda seperti Stasiun Jakarta Kota, Hotel Savoy Homan dan Villa Isola di bandung sudah memberikan pemandangan barubudaya dan sejarah ke
dalam sebuah pertimbangan desain. Van Romondt berambisi menciptakan “Arsitektur Indonesia” baru, yang berakar pada prinsip tradisional dengan
sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan kata lain “Arsitektur Indonesia” adalah penerapan gagasan
fungsionalisme, rasionalisme, dan kesederhanaan dari desain modern, namun sangat terinspirasi oleh prinsip-prinsip arsitektur tradisional.
1. KEMAJUAN, MODERNITAS, DAN MONUMENTALITAS
Pada tahun 1958, mahasiswa arsitektur ITB sudah mencapai 500 orang, dengan 12 orang lulusan. Yang kemudian beberapanya menjadi
pengajar. Pada bulan September 1959, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) didirikan. Sejak tahun 1961, kepemimpinan sekolah arsitektur berpindah tangan
pada bangsa Indonesia dengan Sujudi sebagai ketuanya. Kemudian Sujudi mendirikan sekolah arsitektur di perguruan tinggi lainnya. Masa ini juga
juga dipelopori oleh Sujudi cs. bersama teman-temannya yang menamakan diri ATAP.

Awal tahun 1960-an, literature barat mulai masuk dalam diskursus pendidikan arsitektur di Indonesia. Karya dan pemikiran para arsitek
terkemukan seperti Walter Gropius, Frank Lloyd Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi normative dalam diskusi dan pelajaran.

Iklim politik pada saat itu juga sangat berpengaruh terhadap pola fikir masyarakat terhadap teori dan konsep arsitektur modern. Karena di
masa kepemimpinan Sukarno, “modernitas” diberikan olah kepentingan simbolis yang merujuk pada persatuan dan kekuatan nasional. Sukarno telah
berhasil mempengaruhi secara mendasar karakter arsitektur yang diproduksi pada masa iai memegang kekuasaan. Modern, revolusioner, dan heroik
dalam arsitektur membawa kita pada program pembangunan besar-besaran terutama untuk ibukota Jakarta. Ia berusaha mengubah citra Jakarta
sebagai pusat pemerintahan kolonial menjadi ibukota Negara yang merdeka dan berdaulat yang lahir sebagai kekuatan baru di dunia.

Pada akhir 1950-an Sukarno mulai membongkar bangunan-bangunan lama dan memdirikan bangunan baru, pelebaran jalan, dan
pembangunan jalan bebas hambatan. Gedung pencakar langit dan teknologi bangunan modern mulai diperkenalkan di negeri ini. Dengan bantuan
dana luar negeri proyek-proyek seperti Hotel Indonesia, Pertokoan Sarinah, Gelora Bung Karno, By pass, Jembatan Semanggi, Monas, Mesjid
Istiqlal, Wisma Nusantara, Taman Impian Jaya Ancol, Gedung DPR&MPR dan sejumlah patung monumen.

15
Ciri khas proyek arsitektur Sukarno adalah kemajuan, modernitas, dan monumentalitas yang sebagian besar menggunakan langgam
“International Style”. Seorang arsitek yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno pada masa itu adalah Friedrich Silaban. Ia terlibat
hampir semua proyek besari pada masa itu. Desainnya didasari oleh prinsip fungsional, kenyamanan, efisiensi, dan kesederhanaan. Pendapatnya
bahwa arsitek harus memperhatikan kebutuhan fungsional suatu bangunan dan factor iklim tropis seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara,
dan radiasi matahari. Desainnya terekspresikan dalam solusi arsitektur seperti ventilasi silang, teritisan atap lebar, dan selasar-selasar.

2. KESATUAN DAN KERAGAMAN BUDAYA

Sejak kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto
menyalurkan investasi asing ke Jakarta dan telah melaksanakan rencana modernisasi dengan tujuan pembangunan ekonomi di
Indonesia. Proyek yang ditinggalkan Sukarno kemudian diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Ali Sadikin.

Ali Sadikin juga bermaksud menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata bagi wisatawan dari Timur dan Barat.
Sehingga pada tahun 1975, dikembangkan suatu program konservasi bagian Kota Tuan di Jakarta dan beberapa situs-situ
sejarah lainnya. Program ini sedikit demi sedikit mengubah sikap masyarakat terhadap warisan arsitektur kolonial.

Sejak awal 1970-an, kondisi ekonomi di Indonesia semakin membaik, yang berdampak pada kebutuhan akan jasa
perencanaan dan perancangan arsitektur berkembang pesat. Maka munculla biro-biro arsitektur yang menangani proyek
badan pemerintahan, BUMN, dan para “orang kaya baru”. Sayangnya para arsitek professional di Indonesia tidak siap
menerima tantangan besar tersebut. Yang tidak memiliki pilihan doktrin fungsional dari arsitektur modern membelenggu
pengembangan karakter unik dalam arsitektur kontemporer pada masanya. Sementara itu kalangan elit dan golongan
menengah keatas mengekspresikan kekayaan dan status sosialnya melalui desain yang monumental dan eklektik dengan
meminjam ornamen arsitektur Yunani, Romawi, dan Spanyol.

Kekecewaan terhadap kecenderungan meniru dan eklektik ini membawa arsitek Indonesia pada suatu gagasan
untuk mengembangkan karakter arsitektur Indonesia yang khas. Suharto memegang peran utama untuk membangkitkan
kembali kerinduan pada kehidupan pedesaan Indonesia, melalui tema-tema arsitektur etnik. Jenis arsitektur ini kemudian
dipahami sebagai langgam resmi yang dianjurkan. Ditandai juga dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Para arsitek muda sebagian besar juga kecewa terhadap tendensi eklektis dari arsitektur modern di dalam negeri.
Yang kemudian semakin menyoroti secara simpatik pada arsitektur tradisional. Mereka menyoroti perbedaan kontras antara
arsitektur modern dengan arsitektur tradisional sedemikian rupa sehingga arsitektur tradisional diasosiasikan dengan
“nasional”, dan arsitektur modern dengan “asing” dan “barat”.

3. MENCARI IDENTITAS ARSITEKTUR INDONESIA

Pada pertengahan tahun 1970-an, masalah langgam dan identitas arsitektur nasional menjadi isu utama bagi arsitek Indonesia.
Terhadap masalah langgam dan identitas arsitektur nasional pandangan arsitek Indonesia menjadi tiga kelompok yang berbeda. Kelompok
pertama berpendapat bahwa arsitektur Indonesia sebenarnya sudah ada, terdiri atas berbagai jenis arsitektur tradisional dari berbagai daerah.
Implikasinya adalah penerapan elemen arsitektur tradisional yang khas, seperti atap dan ornamen. Kelompok arsitek kedua bersikap skeptis
terhadap segala kemungkinan untuk mencapai langgam dan identitas arsitektur nasional yang ideal. Kelompok ketiga adalah sebagian
akademisi arsitektur yang secara konsisten mengikuti langkah “bapak” mereka, V.R. van Romondt. Mereka berpendapat bahwa arsitektur
Indonesia masih dalam proses pembentukan, dan hasilnya bergantung pada komitmen dan penilaian kritis terhadap cita-cita budaya, selera
estetis, dan perangkat teknologi yang melahirkan model dan bentuk bangunan tradisional pada masa tertentu dalam sejarah. Mereka yakin
bahwa pemahaman yang lebih mendalam terhadap prinsip tersebut dapat memberikan pencerahan atau inspirasi bagi arsitek kontemporer
untuk menghadapi pengaruh budaya asing dalam konteks mereka sendiri.

Dalam periode 1980-1996 institusi keprofesian dan pendidikan arsitektur mengalami perkembangan pesat, Pertumbuhan sector
swasta yang subur serta investasi dengan korporasi arsitektur asing mulai mengambil alih segmen pasar kelas atas di ibukota dan daerah
tujuan wisata seperti Pulau Bali. Dapat dikatakan bahwa arsitektur kontemporer di Indonesia tidak menunjukkan deviasi yang radikal
terhadap perkembangan arsitektur modern di dunia pada umumnya.

16
Sebenarnya pada pertengahan 1970-an telah ada usaha untuk menciptakan suatu langgam khusus, suatu bentuk identitas
“Indonesia”, tetapi hanya terbatas pada proyek arsitektur yang prestisius seperti bandara udara internasional hotel, kampus, dan gedung
perkantoran. Sangat jelas bahwa proyek penciptaan langgam dan identitas arsitektur Indonesia termotivasi secara politis.

4. ARSITEKTUR KONTEMPORER

Awal tahun 1990-an ditandai pengaruh postmodernisme pada bangunan umum dan komersil di Jakarta dan kota besar lainnya.
Hadirnya kontribusi signifikan dari para arsitek muda yang berusaha menghasilkan desain yang khas dan inovatif untuk memperkaya
khasanah arsitektur kontemporer di Indonesia. Di antaranya adalah mereka yang terhimpun dalam kelompok yang sering dianggap elitis,
yaitu Arsitek Muda Indonesia (AMI). Dengan motto “semangat, kritis, dan keterbukaan” kiprah AMI juga didukung oleh kelompok muda
arsitek lainnya seperti di Medan, SAMM di Malang, De Maya di Surabaya dan BoomArs di Manado. Untuk menciptakan iklim yang
kondusif bagi usaha kreatif di kalangan arsitek praktisi, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) juga mulai memberikan penghargaan desain (design
award) untuk berbagai kategori tipe bangunan. Karya-karya arsitektur yang memperoleh penghargaan dimaksudkan sebagai tolok ukur bagi
pencapaian desain yang baik dan sebagai pengarah arus bagi apresiasi arsitektural yang lebih tinggi.

Penghargaan Aga Khan Award dalam arsitektur yang diterima Y.B. Mangunwijaya pada tahun 1992 untuk proyek Kali Code,
telah berhasil memotivasi arsitek-arsitek Indonesia untuk melatih kepekaan tehadap tanggung jawab sosial budaya.

Krisis moneter tahun 1997 mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Orde Baru telah melumpuhkan sector property dan jasa
professional di bidang arsitektur. Diperlukan hampir lima tahun untuk kembali, namun kerusakan yang sedemikian parah mengakibatkan
kemunduran pada semua program pembangunan nasional.

Kini, arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi paradoksikal: Bagaimana melakukan modernisasi sambil tetap
memelihara inti dari identitas budaya? Karya-karya kreatif dan kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam perkembangan arsitektur
Indonesia. Dengan pemikiran dan isu baru yang menjadi tantangan arsitek muda. Seiring pergerakan AMI memberikan semangat
modernisme baru yang lebih sensitif terhadap isu lokalitas dan perubahan paradigma arsitektur di Indonesia.

17

Anda mungkin juga menyukai