Arsitektur Bali 1
TUGAS
Anggota Kelompok
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tonny Hidayat
Clarrisa Vyensa Puri
Trisnayati Awitta Putri
I Gusti Agung Landevaningrat
Ag. A. I. Dharmamega Kelakan
Septian Aprilianto
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
MARET 2015
08-107
14-062
14-086
14-098
14-102
14-106
Bab I
Pendahuluan
Bab II
Pembahasan
II.1. PADMASANA
II.1.1. PENGERTIAN
a. Sejarah
Inilah yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah menjadi
Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali untuk membangun
Padmasana sebagai niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan niyasa dengan sistem
Murti-Puja.
b. Pengertian
Padmasana atau (Sanskerta: padmsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan
menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.Kata padmasana
berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun
oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu :
padma artinya bunga teratai dan asana artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan
sebuah posisi duduk dalam yoga.
Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun
oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua
kata yaitu: Padma artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. Sana artinya sikap
duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.Padmasana berarti tempat duduk dari
teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001).
Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari
dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam
semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
c. Filosofi
Dalam Lontar Padma Bhuana, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma
Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi
yang sebenarnya. Dalam Lontar Dasa Nama Bunga disebut, bunga teratai adalah
rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam akarnya menancap di lumpur,
batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara).
Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi
Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah
penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).
Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas,
sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai
dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak
berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang
memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di
madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).
Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat
dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat
ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar.
Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan
itu sehingga bernama Padmasana Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di
atasnya.
Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan
swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki)
melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana)
melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam
wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di
dalam puja yang dilukiskan dengan Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha
ya namah.Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk.
Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai.
Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan
Sanghyang Widhi yang disebut Asta-Aiswarya. Asta-Aiswarya ini juga menguasai
delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak atau
mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di tiga
lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat
Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan
ketulusan.
Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang
Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai
tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat
menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga
digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana.
d. Fungsi
Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di
situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan
segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang
Widhi dengan berbagai sebutannya Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang
terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa
(dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama
Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa
(tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).
Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa
yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi
yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang
mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte
Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri
yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.
II.1.2. TIPOLOGI BANGUNAN
a. Hiasan Padmasana
Di bagian dasar Padmasana
1. Bhedawangnala
Yaitu ukiran mpas (kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah
simbol dasar bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah
simbol Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Lontar Kaurawasrama
menyebutkan, dasar gunung Mahameru adalah bedawangnala. Dalam bahasa Kawi,
bedawangnala terdiri dari dua kata: beda artinya ruang, dan nala artinya api. Jadi
bedawangnala artinya ruang yang berisi api atau magma.
Lontar Agni Purana (Kurma Awatara) menyebutkan adanya perang yang sengit
antara para Dewa dengan para Detya. Dalam perang itu Dewa-Dewa dikalahkan.
Para Dewa mohon agar Wisnu menyelamatkan. Bhatara Wisnu kemudian meminta
kedua pihak yang berperang mengaduk lautan susu di mana gunung Mandara
sebagai tangkai pengaduk dan Naga Basuki sebagai tali pengaduk.
Para Dewa memegang ekor naga dan para Detya memegang kepala naga.
Tetapi ketika perputaran dimulai gunung Mandara yang tidak mempunyai dasar
tenggelam ke dalam lautan susu. Bhatara Wisnu yang menjelma sebagai seekor kurakura raksasa kemudian muncul untuk menyelamatkan gunung Mandara.
Bhedawangnala adalah Bahasa Kawi, di mana bheda artinya: lain,
kelompok, selisih; wang artinya: peluang, kesempatan; nala artinya: api. Jadi
bhedawangnala artinya: suatu kelompok (kesatuan) yang meluangkan adanya api.
Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur magma inti bumi, dapat juga dalam
arti simbol lain yaitu energi kekuatan hidup.
Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol bhedawangnala dapat
bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat
pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu
ditumbuh kembangkan.Oleh karena itu bedawang di Bali dilukiskan sebagai kurakura yang moncongnya menyemburkan api.
2.
Naga
Lontar Siwagama dan lontar Sri Purana Tattwa menyebutkan bahwa setelah
bumi diciptakan oleh Bhatara Siwa dan Bhatari Uma lengkap dengan segala isinya
maka pada suatu ketika terjadilah bencana, di mana tumbuh-tumbuhan mati, air
menyurut dan udara mengandung penyakit. Sanghyang Trimurti bermaksud
menyelamatkan manusia. Brahma berwujud sebagai Naga Anantabhoga yang
berwarna merah berada di dalam inti bumi; Wisnu berwujud sebagai Naga Basuki
yang berwarna hitam berada dalam laut, dan Iswara berwujud sebagai Naga Taksaka
yang berwarna putih bersayap berada di udara. Agar bumi ini tidak gonjang-ganjing
maka diikat oleh dua ekor naga yakni: naga basuki dan naga anantaboga.
Saptapetala disimbolkan dengan kura-kura, sehingga terbentuklah patung
kura-kura yang dililit dua naga di dasar padmasana, yang disebut bedawang-nala
(beda = ruang-ruang; wang = yang ada; nala = api = inti bumi atau ratala). Naga
basuki dan anantaboga adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan.Jadi makna
padmasana yang berdasar bedawang nala adalah: keajegan bumi sebagai tempat
kehidupan, atas karunia Sanghyang Widhi yang berwujud: Parama siwa, Sada siwa
dan Siwa. Padma = teratai; sana = sikap duduk. Jadi padmasana adalah tempat/
kedudukan suci Sanghyang Widhi yang melindungi bumi/ kehidupan kita.
berarti juga sebagai simbol kesejahteraan dan kesehatan serta umur panjang bagi
penyungsung garuda-wisnu.Di lontar Adi Parwa diceritakan sebagai berikut: Sang
Kadru dan Sang Winata adalah istri-istri dari Bhagawan Kasyapa, Sang Kadru
berputra naga yang ribuan banyaknya dan Sang Winata berputra Sang Aruna dan
Sang Garuda.
Pada suatu ketika keduanya membicarakan Uchaisrawa (kuda putih) yang
keluar dari pemuteran gunung Mandaragiri. Sang Kadru mengatakan warna kuda itu
hitam, sedangkan Sang Winata mengatakan kuda itu putih. Karena sama-sama teguh
mempertahankan pendapat akhirnya mereka sepakat untuk bertaruh, bahwa siapa
yang kalah akan mejadi budak dari yang menang.
Para naga putra Sang Kadru tahu bahwa warna kuda itu putih. Untuk
memenangkan ibunya para naga menyemprotkan bisa ke Uchaiswara sehingga
berwarna hitam. Sang Winata kalah lalu menjadi budak Sang Kadru. Anak Sang
Winata, yakni Garuda, ingin membebaskan ibunya dari perbudakan. Garuda
kemudian bertanya kepada para naga, bagaimana cara membebaskan ibunya. Sang
Naga memberi tahu agar ia mencari Tirta Amertha. Sang Garuda mencari tirta itu ke
Sorga sampai berperang melawan para Dewa namun tidak berhasil.
Bhatara Wisnu yang iba pada nasib Garuda bersedia memberikan Tirta
Amertha, namun dengan syarat agar Garuda mau menjadi kendaraan Bhatara Wisnu.
Garuda bersedia, dan bersama Wisnu terbang mencari Tirta Amertha.
2. Angsa
Angsa diletakkan di bagian atas belakang, adalah simbol Sanghyang
Saraswati. Hiasan Angsa, sebagai kendaraan Bhatari Saraswati,bermakna sebagai:
pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.
Angsa adalah simbol ketenangan dan warna putih bulunya adalah simbul
kesucian, ketelitian memilih makanan walaupun mulutnya masuk ke lumpur yang
busuk pun lumpur tersebut tidak termakan, jadi angsa merupakan simbul
kebijaksanaan memilih yang baik, di samping itu pula simbol kewaspadaan sebab
baik siang maupun malam seolah-olah angsa tidak penah tidur.
Di lontar Indik Tetandingan disebutkan sayap angsa yang terkembang adalah
simbul Ongkara: kedua sayapnya melukiskan ardha candra (bulan sabit), badannya
yang bulat lukisan windhu, leher dan kepalanya yang mendongak ke atas adalah
simbul nada.
Di bagian Atas (sari) Padmasana;
1. Acintya
Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang
terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang
bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya
sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap
tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam
semesta.
Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah simbol Hyang Widhi yang
tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat dirasakan.
Sehingga kekuasaan-Nya sungguh mutlak dan luar biasa. Acintiya artinya tidak dapat
dibayangkan. Namun niyasa Acintiya dilukiskan sebagai tubuh manusia telanjang
dengan api di setiap sendinya serta kaki kanan yang terangkat, kepala tanpa bentuk
wajah, dan sikap tangan dewa pratistha.
Niyasa itu bermakna: tubuh manusia yang telanjang kiasan dari ciptaan
Sanghyang Widhi yang utama; api di setiap sendi adalah simbol energi kehidupan;
kaki kanan yang terangkat adalah simbol rotasi alam dan kehidupan yang aktif; kepala
tanpa bentuk wajah adalah simbol dari keberadaan yang tidak dapat dibayangkan;
sikap tangan dewa pratistha adalah simbol kecintaan Sanghyang Widhi pada hasilhasil ciptaan-Nya.
Hiasan Lainnya
Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang
paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam semesta.
Kesimpulan arti simbolis dari semua bentuk Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi
yang dengan kekuatan-Nya telah menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan
alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan
hidupnya.Kesimpulan: kelak bila ada dana, baik sekali membangun padmasana,
walaupun sudah ada sapta petala, karena simbol-simbol seperti: garuda, angsa,
acintya, tidak ada di padmasari.
b. Bentuk-bentuk Padmasana
Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana, yaitu:
1. Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di
puncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa
Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti
2. Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya
ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya
atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/
kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelakiperempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) kanan (penengen), dst.
3. Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu
ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi
Yang Maha Esa
Rong
(ruang)
Pepalihan
Keterangan
Padmasana
Nglayang
3 (tiga)
7 (tujuh)
menggunakan
Bedawang Nala
Padma Agung
2 (dua)
5 (lima)
menggunakan
Bedawang Nala
Padmasana
5 (lima)
menggunakan
Bedawang Nala
Padmasari
3 (tiga) yaitu:
Padmacapah
palih
(bawah)
palih
Sancak
(tengah)
Taman
2 (dua) yaitu:
palih
(bawah)
Taman
palih
(atas)
Capah
2. Padma Agung
3. Padmasana
4. Padmasari
Bertempat di
Menghadap ke
timur (purwa)
barat (pascima)
Padmasana
selatan (daksina)
utara (uttara)
Padmasana Sari
barat (pascima)
timur (purwa)
Padmasana Lingga
utara (uttara)
selatan (daksina)
tenggara (agneya)
Padma Noja
Padma Karo
tenggara (agneya)
Padma Saji
Padma Kurung
tengah(madya)
tengah
Pura pintu
(pemedal)
keluar/masuk
II.2. MERU
II.2.1 PENGERTIAN
Kata Meru adalah nama sebuah gunung di India (Gunung Mahameru) dan
diyakini sebagai tempat suci (Sang Hyang Widhi). Meru yang sebenarnya tempatnya
di Swargaloka. Sedangkan di Bali Meru adalah bangunan atau pelinggih suci tempat
mensthanakan/menaruh para Dewa. Meru dalam bentuk bangunan atau pelinggih
terdiri dari tiga bagian yaitu bagian dasar, badan dan atap. Khusus untuk bagian
atapnya bertingkat-tingkat, semakin ke atas bentuknya semakin kecil menyerupai
sebuah gunung.
Jumlah tingkatan atapnya selalu ganjil yaitu 1, 3, 5, 7, 9 dan 11. Pada
umumnya bagian atap ini terbuat dari ijuk. Bagian dasar Meru pada umumnya terbuat
dari batu alam atau batu buatan yang berbentuk bujur sangkar. Sedangkan badan Meru
pada umumnya terbuat dari bahan kayu kecuali beberapa Meru di Pura Besakih,
badan Meru terbuat dari batu padas atau bata dan biasanya ukurannya jauh lebih besar
daripada Meru yang memakai badan dari bahan kayu.
Meru seperti halnya candi atau prasada adalah simbol dari alam semesta yang
terdiri dari tiga bagian yaitu Bhurloka, Bhuvahloka dan Svahloka. Menurut lontar
Andhabhuwana tingkatan atap Meru merupakan simbol lapisan alam besar
(Macrocosmos) dari bawah ke atas adalah Sakala, Niskala, Sunya, Taya, Nirbana,
Moksa, Suksmataya Turyanta, Acintyataya dan Cayem, ada sebelas tingkat
banyaknya.
Atap Meru juga merupakan simbolis dari penglukunan Dasaksara (peredaran
sepuluh huruf suci yang dikaitkan dengan dewa-dewa Dikpala/Dewata Nawa Sanga),
yaitu : Sa (Iswara), Ba (Brahma), Ta (Mahadewa), A (Wisnu), I (Siwa/Zenit), Na
(Mahesora), Ma (Rudra), Si (Sankara), Va (Sambhu), Ya (Siwa/Nadir). Kesepuluh
dewa-dewa tersebut adalah manifestasi dari Dewa Siwa sebagai penguasa alam
semesta, diantaranya sebagai pelindung kiblat (mata angin). Dewa Wisnu di sebelah
utara, Dewa Sambu di timur laut, Dewa Iswara di timur , Dewa Mahesora di tenggara,
Dewa Brahma di Selatan, Dewa Rudra di barat daya, Dewa Mahadewa di barat dan
Dewa Sankara di barat laut.
Seperti halnya fungsi prasada/kitab, maka Meru juga mempunyai fungsi
sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi atau manifestasi-Nya dan Meru sebagai
tempat pemujaan Dewa Pitara atau Atmasiddhadevata (roh suci leluhur).
Perbedaan fungsi bangunan Meru dapat diketahui dari pedagingan (isi yang
ditanamkan pada waktu upacara melaspas meru atau peresmian Meru tersebut), puja
atau stava (mantram pemujaan) yang dipakai pada waktu upacara piodalan dan dari
segi bentuk bangunannya. Pada umumnya untuk Sang Hyang Widhi atau
manifestasinya-Nya dibuat lebih besar dan kadang-kadang badan meru dibuat dari
bahan batu bata. Pada dasar Meru ada juga yang mempergunakan ukiran dengan relief
bedawangnala (empas) dan dibelit oleh satu atau dua ekor naga seperti halnya terdapat
pada bangunan candi atau Padmasana. Contoh bangunan/pelinggih Meru hampir
terdapat pada setiap pura besar di Bali (penyungsungan jagat), misalnya pura Besakih,
Uluwatu, Taman Ayun, Batukaru dan sebagainya.
II.2.2. TIPOLOGI BANGUNAN
Meru adalah salah satu bentuk niyasa berupa bangunan suci stana Ida Bhatara
(manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa) yang dalam tradisi beragama Hindu di Bali
disebut pelinggih. Bangunan meru terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Bagian pertama adalah pondamen atau bebaturan dibuat dari bahan batu, semen,
paras, batu-bata, dengan ornamen yang disebut karang gajah, karang paksi, dan
karang bun.
2. Bagian kedua, di atas bebaturan ada gedong yang biasanya dibuat dari bahan kayu
atau pasangan batu.
3. Bagian ketiga atap atau kereb yang bertumpang-tumpang, dibuat dari bahan kayu
dan ijuk. Terkadang atap bertumpang ini dibuat pula dari bahan seng, genting,
atau semen-beton.
Di dalam gedong disimpan simbol-simbol Ida Bhatara berupa patung dari
bahan kayu, jinah bolong atau bahan lainnya yang bermutu tinggi, dan tidak jarang
dibuat dari logam mulia murni atau hanya dilapisi emas/ perak.
Meru yang pertama kali dikenalkan di Bali oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11
adalah meru dengan atap bertumpang 3 (tiga). Namun sejak kedatangan Danghyang
Nirartha pada abad ke-14, jumlah tumpang atap meru berkembang menjadi: 1, 3, 5, 7,
9, dan 11. Ada juga meru yang beratap tumpang 2 (dua).
Baik Mpu Kuturan maupun Danghyang Nirartha sama-sama memandang meru
sebagai simbol Mahameru, yakni pegunungan Himalaya di India. Himalaya diyakini
sebagai kawasan yang paling suci di dunia, karena sebagai sumber mata air bagi tujuh
sungai suci (sapta Gangga):
1. Gangga
2. Sindhu
3. Saraswati
4. Yamuna
5. Godawari
6. Narmada
7. Sarayu.
Di lembah sungai-sungai suci itulah Weda diwahyukan secara bertahap kepada
para Maha-Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan
Kanwa.
Kesakralan dan kesucian bentuk pelinggih meru yang ditanamkan oleh Mpu
Kuturan dan Danghyang Nirartha juga mengacu pada Atharwa-Weda yang berisi
dalil-dalil matematika. Matematika dalam Atharwa-Weda adalah bahasa universal
Sanghyang Widhi ketika mencipta alam semesta.
Bahasa universal adalah bahasa yang dimengerti oleh semua mahluk yang
mempunyai kecerdasan tinggi. Bahasa universal bagi umat manusia, terlihat pada
jumlah Sukta dalam Atharwa-Weda, jumlah mantra dalam Yayur-Weda-Putih dan
Yayur-Weda-Hitam, serta jumlah Dewa-Dewa.
Bagi semua mahluk (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) bahasa
universalnya adalah siklus peredaran bumi, bulan, dan bintang, yang semuanya
menggunakan matematika yang cermat dan terstruktur.
Selain menanamkan kesakralan dan kesucian secara matematis, kedua Maha
Rsi itu juga mengisyaratkan agar umat Hindu-Bali selalu berbhakti ke hadapan
Sanghyang Widhi, antara lain melalui niyasa pelinggih meru.
Matematika yang digunakan oleh Mpu Kuturan dalam menetapkan jumlah
tumpang dari atap meru adalah angka 3 (tiga), karena benda-benda angkasa ciptaan
Sanghyang Widhi yang menjaga kehidupan mahluk di bumi adalah trilingga (tiga
kedudukan Siwa), yakni: matahari, bulan, dan bintang.
Kemudian dari keyakinan ini berkembanglah ajaran beliau tentang keTuhanan dan kehidupan, yakni: trimurti, tri-kahyangan, tri-mandala, trihitakarana,
trikaya parisudha, dan lain-lain (Lontar Tutur Kuturan).
Matematika yang digunakan oleh Danghyang Nirartha dalam menetapkan
jumlah tumpang dari atap meru, adalah sebagai berikut:
1. Jumlah tumpang atap meru yang tertinggi adalah 11 (sebelas). Angka 11
dipandang sebagai angka yang paling keramat, mengandung misteri dan
merupakan pilihan utama, karena:
a. Jumlah hari peredaran bumi mengelilingi matahari (surya pramana) dalam
setahun = 365,24; dan jumlah hari peredaran bulan mengelilingi bumi
(candra pramana) dalam setahun = 354,37 Selisihnya = 10,87 dibulatkan
= 11 hari. (Lontar Breghu Tattwa). Angka 11 ini digunakan dalam sistem
kalender Saka-Bali: Surya-Chandra Pramana untuk menentukan
pengrepeting sasih dalam menghitung tibanya hari tahun baru, yakni pada:
penanggal ping pisan sasih kadasa (tanggal satu bulan ke-sepuluh).
b. Larangan bagi umat Hindu membunuh lembu (sapi putih kendaraan suci
Siwa), diwahyukan 20 kali dalam Rg-Weda, 5 kali dalam Yayur-Weda, 2
kali dalam Sama-Weda, dan 11 kali dalam Atharwa-Weda. Bila secara
matematis angka-angka itu dijumlahkan: 20 + 5 + 2 + 11 = 38. Jumlah
digit angka 38 adalah 3 + 8 = 11. Bahkan bila digit angka 20, angka 5,
angka 2 dan angka 11 dijumlahkan hasilnya = 2 + 0 + 5 + 2 + 1 + 1 = 11
Arah
Dewa
Aksara
1.
Timur (Purwa)
Ishwara
Sang
2.
Tenggara ((Agneya)
Mahesora
Nang
3.
Selatan (Daksina)
Brahma
Bang
4.
Rudra
Mang
5.
Barat (Pascima)
Mahadewa
Tang
6.
Sangkara
Sing
7.
Utara (Uttara)
Wisnu
Ang
8.
Sambhu
Wang
9.
Tengah-Tengah
(Madya)
Tri
Purusha
Campuran
Padma
ii.
GAMBAR
sebuah kulkul. Selain di Bali, Kulkul yang lazimnya disebut dengan kentongan, terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia. Untuk itu, kulkul dijadikan alat komunikasi
tradisional oleh masyarakat Indonesia.
II.3.2. Fungsi
Kulkul mempunyai fungsi yang berkaitan erat dengan kegiatan banjar. Berikut
merupakan beberapa fungsi dari kulkul:
1. Tanda Pertemuan Rutin
Masyarakat Bali biasanya melakukan pertemuan rutin sebulan sekali pada
setiap banjar untuk melakukan evaluasi dan membahas kegiatan apa yang akan
dilakukan karma banjar.
2. Tanda Pengerahan Tenaga Kerja
Pengerahan tenaga kerja terbagi menjadi dua sifat, yaitu terencana
sepertigotong royong membersihkan desa, mempersiapkan upacara di pura, dan
mencuci barang-barang suci. Sedangkan mendadak umumnya seperti
menanggulangi kejadian yang tiba-tiba menimpa banjar yang dapat berupa
kebakaran, banjir, orang mengamuk, dan pencuri.Bunyi kulkul terdengar cepat
dan panjang sekaligus sebagai isyarat supaya warga segera datang atau berjagajaga karena ada bahaya mengancam.
3. Tanda Gejala Alam
Di samping sebagai tanda pertemuan rutin dan pengerahan tenaga kerja,
kulkul seringkali digunakan ketika terjadi gejala alam seperti gerhana bulan yang
akan disambut oleh seluruh banjar. Masyarakat Bali berkeyakinan bahwa gerhana
bulan terjadi karena bulan dimangsa oleh Kalarau. Bunyi kulkul yang menggema
di seluruh Bali akan menghilangkan konsentrasi Kalarau, sehingga ia akan
melepaskan bulan kembali.
Nilai sakral sebuah kulkul ini didukung sepenuhnya oleh agama Hindu Bali
yang diyakini masyarakat Bali secara umum, terutama berada pada kulkul yang
tersimpan di Pura-pura besar di Bali yang dianggap sebagai wujud nyata beryadnya
sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaannya maka segera upacara
penyucian dilakukan.
II.3.4. Jenis
Ada empat jenis kulkul yang dikenal oleh masyarakat
yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusia, dan Kulkul Hiasan.
Bali,
1. Kulkul Dewa
Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya.Kulkul
Dewa dibunyikan ketika memanggil para dewa. Ritme yang dibunyikan sangat
lambat dengan dua nada yaitu tung.... tit.... tung.... tit.... tung.... tit dan
seterusnya.
2. Kulkul Bhuta
Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul
Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir
alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram.
3. Kulkul Manusa
Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu
rutin maupun mendadak.Kulkul Manusa terbagi atas tiga jenis yaituKulkul
Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling.Bunyi ritme kulkul
manusa untuk kegiatan yang rutin ialah lambat dan pendek, sedangkan pada
kegiatan mandadak, terdengar cepat dan panjang.
4. Kulkul Hiasan
Diberi nama kulkul hiasan karena kulkul ini diberi hiasan-hiasan untuk
menambah keindahannya. Biasanya kulkul ini sering dijadikan oleh-oleh atau
buah tangan.Para wisatawan yang datang ke pulau Bali menganggap kulkul
sebagai sebuah barang antik.
II.3.5. Peranan
Sebuah kulkul dapat dikatakan bukan saja merupakan alat tradisional,
melainkan suatu media komunikasi tradisional yang menjembatani komunikasi
masyarakat Bali, baik antara manusia dengan Dewa, manusia dengan penguasa alam,
maupun manusia dengan sesamanya. Selain itu, kulkul juga diyakini mampu
membentuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam kehidupan masyarakat Bali.Dengan
demikian, peranan kulkul sebagai media komunikasi tradisional masyarakat Bali
sangatlah besar.Kulkul berperan untuk menyampaikan simbol-simbol atau kode-kode
yang dapat dimaknai secara langsung seperti ritme pukulan maupun nilai-nilai luhur
yang terkandung didalamnya, seperti rasa persatuan dan kesatuan, kepada seluruh
masyarakat Bali.
Denpasar
Pada
setiap
desa
pakraman atau desa adat terdapat pura kahyangan tiga, yaitu : pura puseh, pura desa, dan pura
dalem. Tiap-tiap pura desa memiliki bangunan bernama Bale Agung.Bangunan Bale Agung
berbentuk bale panjang dengan dasar bangunannya yang agak tinggi dan atapnya disangga
beberapa buah tiang.Berfungsi sebagai tempat pesamuhan atau rapat dan berkumpulnya para
dewa, pratima, atau Ida Bhatara sungsungan(bisa kita katakan dewa yang kita sungsung oleh
karma desa tersebut).
maka Pelinggih Menjangan Saluang dipandang sebagai suatu penyatuan pikiran, pandangan dan
keinginan keluarga, jadi sebagai lambang persatuan dan kesatuan serta kerukunan rumah tangga
dan keluarga. (Suhardana, 2006 : 121-123)
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih menjang saluang
yaitu: kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. Banten
yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Tegteg Daksina, cang meraka dan Ajuman.
Bab IV
Daftar Pustaka
https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/pengertian-padmasana-dan-aturan-pembuatanpadmasana-secara-detail/342289322460387
http://stitidharma.org/padmasana/
http://stitidharma.org/padmasana-rewriting-version/
http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-padmasana.htm
http://bali-airport.com/detail/wisata/meru
http://stitidharma.org/meru/
http://ayudewi18.blogspot.com/2014/01/mengkaji-pelinggih-dalam-merajan-gede.html
http://id.wikipedia.com/wiki/Candi_Bentar/
http://komangputra.com/struktur-makna-pura-di-bali-berdasarkan-asta-kosala-kosali/