Anda di halaman 1dari 9

Asta Kosala dan Asta Bumi

Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol)
pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian
ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan
Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana
telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak
Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:
1 Tujuan Asta Bumi adalah
a. Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b. Mendapat vibrasi kesucian
c. Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi
2. Luas halaman
a. Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa
(bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci
lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15.
Alternatif total luas dalam depa: 21,32, 43, 54, 65, 76, 117, 1211, 1412, 1514,
1915.
b. Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa:
4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 65, 136,
1813

Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak
seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi.
Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.
Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum
dalam kelipatan adalah: 3x(1915), 5x(1915), 7x(1915), 9x(1915), 11x(1915).
Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan
adalah: 3x(1813), 5x(1813), 7x(1813), 9x(1813), 11x(1813).
HULU-TEBEN.
Hulu artinya arah yang utama, sedangkan teben artinya hilir atau arah berlawanan
dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
1. Arah Timur, dan
2. Arah Kaja
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika
memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur
laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga
perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah
utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian
seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan
membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana
diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran
panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti
trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan
pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta
kosala.
PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
1.Utama Mandala
2.Madya Mandala
3.Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap
berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi
madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran
Asta Bumi;
Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan
utama Mandala;
Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan
utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun saranasarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan
(tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada
pelinggih
Lebuh yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain

misalnya parkir, penjual makanan, dll.


Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah Candi Bentar dan batas antara
madya mandala dengan utama mandala adalah Gelung Kori, sedangkan nista mandala tidak
diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.
MENETAPKAN PEMEDAL.
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan
pemedal sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3)
Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah as pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya
gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan
candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah
arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman
Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara
ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan
gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
JARAK ANTAR PELINGGIH.
Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu depa,
kelipatan satu depa, telung tapak nyirang, atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian
depa sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari
tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan telung tampak nyirang
adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri)
ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang
digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok penyungsung (pemuja) Pura.
Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung
dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga
mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga
tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak
ke Piasan dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi
bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN.
Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka
selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati
yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga
memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu
putra Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia.
Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat
bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen
(banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya
Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat
atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE
KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja
bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat
turut 3,5,7,9, dan 11. Turut artinya berjumlah. Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga
(pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini
digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan
Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan Pengayengan yaitu pelinggih untuk memuja ista
dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung

Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan
Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan
Rua Bineda atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan
malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta
Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi
sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup.
Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa
mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong
Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama
kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan
leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana
yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben
adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya
terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu
berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata
bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang
sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi
perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan
yadnya.
Untuk melakukan pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang mpunya
rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti
1. Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang
menghadap ke atas),
2. Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan
sampai ujung jari tengah yang terbuka)
3. Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke
kanan)
A Landasan Filosofis, Etis. dan Ritual
A.1. Landasan filosofis.
1.1. Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung.
Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri
dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan
Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung
dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu
yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
1.2. Unsur- unsur pembentuk.
Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan
pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah
Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur
alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan
Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam
semesta ini.
A.2. Landasan Etis

2.1. Tata Nilai.


Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan
ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk
lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama
Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista
Mandala.
2.2. Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang
perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
A.3. Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara
agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan,
menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan
antara kehidupan lahir dan batin.
B. Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata
ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
1. Keseimbangan alam
2. Rwa Bhineda, Hulu- teben, Purusa- Pradhana
3. Tri Angga dan Tri Mandala.
4. Harmonisasi dengan lingkungan.
5. Keseimbangan Alam:
Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam
manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat
tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal
dengan istilah Tri Hita Karana.
6. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu
adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi
dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai
ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
7. Tri Angga dan Tri Mandala.
Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala)
yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat
pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat
tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang
bernilai kanista (misalnya: kandang).
Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama
Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan
dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
8. Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti
bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
C. Pemilihan Tanah Pekarangan.
1. Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke
timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu

lalah(berbau pedas).
2. Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
2.1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
2.2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
2.3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
2.4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
2.5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
2.6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
2.7. karang tenget,
2.8. karang buta salah wetu,
2.9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
2.10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
2.11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau bengualid (busuk)
3. Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi
membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan,
serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
4. Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.
C.1. Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi
sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin
(tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas
dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun
Karang dan Natar.
C.2. Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu
halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
C.3. Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari.
Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.
D. Dewasa Membangun Rumah.
D.1. Dewasa Ngeruwak :
Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
D.2. Nasarin :
Watek: Watu.
Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi,
Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
D.3. Nguwangun
Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
D.4. Mengatapi
Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
D.5. Memakuh/ Melaspas

Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.


Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.
E. Upacara Membangun Rumah.
E.1. Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal.
Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan,
nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah Angrubah sawah dilaksanakan asakap- sakap dengan
upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan,
peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang +
pipis.
E.2. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.
Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang,
tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
E.3. Upakara Pemelaspas.
Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam
putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang
jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen,
daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan
kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara
E.4. dan upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.
Asta Kosala Kosali Fengshui ala Bali
Tanah dan tata letak rumah berpengruh terhadap kehidupan penghuninya.lontar asta kosala
kosali atau asta bumi bisa dijadikan acuan.Bagaimanakah bangunan arsitek bali yang bisa
membuat penghuninya bisa nyaman dan bahagia.
Menurut ida Pandita dukuh Samyaga,perkebangan arsitektur bangunan Bali,tak lepas dari
peran beberapa tokoh sejarah bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu
Kuturan yang hidup pada abad ke 11,atau zaman pemerintahan Raja Anak wungsu di Bali
banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi
Gajah Mada ke Bali abad 14,juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam
lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai
dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga.Lebih jauh dikemukakan,Bhagawan
Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur,sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita
Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya.Dalam
kisah tersebut,hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap
laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna.Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu
diangap sebagai dewa arsitektur.
Karenanya,tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan
Wiswakarma.Upacara demikian di lakukan mulai dari pemilihan lokasi,membuat dasar
bagunan sampai bangunan selesai.Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan
Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi
penghuninya.Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali,bangunan memiliki jiwa bhuana

agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari
buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati
harus harmonis,agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena
itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan
Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.
Tanah
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan
dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi (tanah)
yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah
(miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya
lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir
jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi
bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga
harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat
membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik.Tanah berwarna
kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.Untuk
menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman
tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi
perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi
tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan
tanah galian tadi.
Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus untuk
rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya kurang)
berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah
anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk
melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu
masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini
memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang
sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.
Kurang Bagus
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai
masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben
massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas
kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari
bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus
untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit sakitan.Demikian
juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus
untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker
karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.
Tata Letak Bangunan
Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi
sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai
hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi
efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan
yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan
atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap

sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut
konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai
letak Dewa Api.
Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur
atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi
Dewa Air.
Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai
gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang
lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.
Pintu Masuk
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki
ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu
masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama.
Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul angkul) harus dibuat lebih tinggi
dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang
menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di
sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang
disi ikan.
Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak
menempatkan benda benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti
penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang
tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan
tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu
masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan
tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu
rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi
kesehatan penghuni rumah

Anda mungkin juga menyukai