Anda di halaman 1dari 8

SESANA KEPEMANGKUAN

Drs. I Nyoman Warta, M.Hum


NIP. 196509101991031002

I. PENDAHULUAN

- Dalam Bagawata Purana dikatakan Dharma yang paling utama adalah melakukan
pelayanan kepada Tuhan;
- Pengabdian kepada Tuhan lebih tinggi dari latihan spiritual;
- Pemangku mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat (Tri
Manggalaning Yadnya);
- Yadnya tanpa diantar oleh pemangku , Yadnya
- itu kurang sempurna (banten tanpa doa kurang
- sempurna, demikian sebaliknya)
- Dalam Lontar Sukretaning Pemangku dikatakan “ Bahwa pemangku adalah
perwujudan “irare angon” = Dewa pengembala, yang merupakan perwujudan.
- Karena perwujudan Siwa / Rare angon : “ tidak hanya menyelesaikan upacara
yadnya (pelayanan) tetapi wajib memelihara kesucian setiap hari, sebab beliau
perwujudan Siwa Sekala.

- Dalam Kusuma dewa ditekankan : “ Prilaku sebagai pemangku Pura, setiap hari
patut menyucikan diri, dengan memohon air suci di Pura di mana bertugas” ( jan
banggul ).
- Dalam lontar Wrehaspati tatwa menyatakan : “ Setiap orang wajib untuk
melakukan penyucian diri “ tanpa kesucian mustahil akan bisa mendekatkan diri
kepada Tuhan / Paramarta.
- Tata cara penyucian diri diatur dalam MDS II 109 dan Maitri Upanisad.
- Melakukan hidup suci (Pra Wrajya) merupakan salah satu dari pengamalan dari
Dharma (sila, yadnya, tapa, dana, prawrajya, biksu dan yoga).
- Cara meningkatkan kesucian dapat dilakukan dengan : ( Puasa, Pranayama Japa
Mantram, Banten, Tirta Yatra).
- Pada dasarnya umat Hindu mengenal 3 lapisan umat dalam masyarakat:
a) Walaka : masyarakat Hindu yang belum pernah mendapatkan atau melakukan
penyucian diri melalui upacara pediksaan (umat awam)
b) Pinandita : umat yang telah mendapatkan upacara penyucian dengan
melaksanakan “podgala” melalui “pewintenan pesakapan widhi”. Lapisan
masyarakat ini disebut sebagai “ekajati”.
c) Sulinggih (pandita, wiku, sadaka, acarya) adalah : umat yang telah
mendapatkan penyucian dengan “ diksa atau padiksa” dan dilakukan oleh
seorang Nabe. Hal ini dapat sebutan sulinggih atau pandita.
- Dalam MDS. I. 96 dikatakan :
“Diantara semua ciptaannya, mahluk hidup adalah yang paling tinggi,
diantara mahluk hidup yang punya pikiran adalah yang paling tinggi, diantara
yang punya pikiran manusialah yang paling tinggi diantara manusia brahmanalah
yang paling tinggi” ( 4 tingkatan manusia)
- MDS.I.97
“ diantara para brahmana yang ahli weda yang paling tinggi, diantara yang
ahli weda yang mengetahui makna dan cara-rara melaksanakan tugas yang
paling tertinggi, diantara yang mengetahui makna dan cara-cara tugas
yang telah ditentukan, yang melaksanakan upacara yang tertinggi diantara
yang melaksanakan upacara yang mengetahui brahma yang paling tinggi”.
- Hakekat Brahman sangat penting
- Keinginan untuk menjadi brahmana atau orang suci adalah suatu keinginan yang
sangat luhur asal diusahakan dengan cara yang benar.
 Menjadi brahmana atau pemangku tidak bisa dicapai dengan cara
mengubah nama dengan menampilkan pakian putih. Menggukung rambut,
berteori tentang weda dan kebenaran, kalau tidak menghayati hakekat dan
kebenaran yang sesungguhnya, makna itu bukan seorang brahmana.
- Untuk menjadi brahmana atau pinandita sangat sulit ia harus memiliki beberapa
persyaratan yang harus ditaati, karena mereka telah memasuki tehapan menuju ke
brahmanan.
- Dalam siwasasana dikatakan;
“ adapun sang sadaka dalam memilih sisyanya sebagai berikut “ berwatak social
orang yang bijaksana, serta pada perkataanya, bertingkah laku baik, teguh
pendirian setia dan bakti terhadap suami dan istri., teguh pada ajaran dharma
dengan sempurna dari keturunan orang suci, demikian makna orang yang dipilih
menjadi sisya yang patut di diksa”
- Dalam siwa sesana yang ditugaska orang yang tidak patut didiksa
“orang yang tidak boleh didiksa sang guru misalnya: kotor, orang yang
wangsanya turun sebagai walaka, cacat tubuhnya dan orang yng sangat menderita,
cuntaka janme (orang hina) orang yang memikul mayat, orang pemakan darah,
penadah barang kotor, orang yang dihukun penjara”
- Sebagai pinandita prilaku yang benar dan harus dilakukan antara lain:
a. Trikaya parisuda
b. Panca yama brata:
 Ahimsa : tidak membunuh
 Brahmacari : belajar dan menuntut ilmu
 Satya : setia kepada kebenaran
 Aryawaharika : tidak suka bertengkar
 Asteya : tidak mencuri
c. Panca niyama brata:
 Akroda : tidak marah
 Guru susrusa : bakti pada guru
 Sauca :bersih lahin batin dengan
selalu melakukan japa
 Apramada : tidak lalai atau takabur
d. Dasa dharma:
 Drti : pikiran bersih
 Ksama : suka mengampuni
 Dama : kuat mengembalikan pikiran
 Asteya : tidak berlaku curang
 Sauca :pakaian bersih, mandi kesuciaan
 indrianinggraha: mengendalikan glombang panca indria
 Hrih : mempunyai sifat malu
 Widya : rajin menuntut ilmu
 Satya : jujur
 Akroda: sabar
e. Tri mala:(yang tdk patut dilakukan)
 Nitya krdya : berperasaan berfikiran buruk
NMitya wacana : berkara sombong, angkuh dan tidak
menepati janji
 Nitya laksana : berbuat yang kurang ajar
f. Syarat-syarat untuk mendiksa keputusan Parisada NoV/kep/PHDIP/68.
Dan seminar kesatuan tafsir aspek-aspek agama Hindu 1986/1987 sebagai
berikut:
1. Laki-laki yang sudah kawin atau tidak kawin
2. Wanita yang sudah kawin atau belum kawin
3. Pasangan suami istri
4. Umur maksimal 40 tahun
5. Paham bahasa kawi, sansekerta, indonesia memiliki pengetahuan umum,
pendalaman inti sari ajaran agama
6. Sehat lahir batin dan berbudi luhur
7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
8. Mendapat tanda kesidiaan dari pendata calon nabenya.
9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai PNS, atau swasta kecuali
bertugas untuk hal keagamaan.

II. SESANA (ATURAN–ATURAN) PEMANGKU

Sebagai seorang pemangku haruslah selalu taat kepada sesana (aturan – aturan)
swadharma sebagai pemangku yang mengemban tugas kesucian.
1. Sebagai seorang pemangku harus melaksanakan “Catur Bandana Dharma”.
a. Amati wesa = mengganti busana
- Saat memimpin upacara agama diharapkan menggunakan busana putih –
putih;
- Pada saat tidak bertugas (kepemangkuan) diperkenankan berpakaian biasa,
asalkan berpakaian yang sopan dan rapi

b. Amati aran
Seorang melaksanakan swadharmanya sebagai pemangku menerima sebutan
“ Jero Mangku”.

c. Amati sesana
Merubah prilaku, sesuai swadharma seorang pemangku mampu
mengndalikan diri dari godaan Sad Ripu, Saptatimira, sad atetayi.

d. Maguna susrusa
Taat dan tekun melaksanakan isi dari sastra kusuma dewa dan selalu
memohon bimbingan kepada seorang sulinggih.

2. Melaksanakan ajaran Tri Sila Parartha


a. Asih => kepada Tuhan, Pemerintah, Masyarakat
b. Punia => melakukan punia
c. Bhakti => mengamalkan rasa bakti kepada Tuhan,
Pemerintah, Masyarakat.

3. Melakukan Brata
a. Panca yama brata : ( Ahimsa, satya, asteya, brahmacari, apatigraha).
b. Panca Niyama brata : ( Sauca, santosa, tapa, swadyaya, iswra paridana)
c. Melaksanakan etika :
- Saat nganteb tidak boleh bersikap sembarangan
- Dalam lontar Yoga Samadi Utama diungkapkan saat menghadap Hyang
Widhi harus betul-betul memperhatikan etika duduk tidak boleh
sembarangan, harus menggunakan Sila Padma.
- Saat Ngagem Genta tidak boleh menggenggam panca wisaya bajra,
pemangku boleh menggenggam dibawah panca Wisaya Bajra, karena
pemangku sampai tingkat alam ketiga, sedangkan Sulinggih sampai
tingkat ketujuh.
- Dalam lontar Widhi Sastra dikatakan “ Seorang pemangku kalau belum
adiksa Widhi oleh Pendeta tidak diperkenankan menggunakan bajra, akan
dikutuk oleh Sangkul Putih.
- Dalam lontar Purwa Adhi Guna sesana dikatakan “Kalau belum
medwijati tidak boleh melakukan sodasa mudra, dikutuk oleh Sang
Hyang Astadiwata.
- Dalam Lontar Dewa Tatwa ditegaskan :
“ Dan lagi yang berwenang mengantarkan upacara persembahan adalah
pemangku yang faham akan falsafah Ketuhanan dan paham untk
melaksanakan pemujaan utpti, stiti dan praline. “
- Dalam melaksanakan tugasnya Pemangku patut menggunakan genta hal
ini diungkapkan dalam lontar kusumad ewa Sbb : “ Pemangku yang
melaksanakan penyucian diri sampai tingkat pewintenan patut
menggunakan puja stawa sesuai dengan ajaran Kusumadewa, sedangkan
yang telah melakukan penyucian yang lebih besar serta mendapat izin dari
sang Pendeta, barulah berhak menggunakan puja satawa yang tercantum
dalam ajaran Sangkul putih.
- Dalam Lontar Tatwa Siwa Purana dinyatakan :
Kalau sudah menjadi Pemangku tidak boleh cemer, kalau kawin lagi patut
Nyepuh dan melaksanakan upacara penyapuh di Pura.
- Pemangku dilarang menjalankan : Yaitu Panca Molimo. ( memati mati,
matuakan, mamotoh, madon, madat ).

4. Pantangan makan dan minum


a. Daging hewan yang tidak boleh dimakan
- Daging babi peliharaan
- Daging sapi
- Ayam peliharaan
b. Daging hewan yang bisa dimakan
- daging kerbau, ayam hutan, babi hutan.

e. Minuman yang tidak boleh diminum


- Semua jenis minuman keras, atau minuman yang mengandung alkohol.
- Dalam lontar Dewa Tatwa dikatakan seorang pemangku wajib melakukan
aji brata kretha yaitu :
a. Penyucian diri setiap Purnama Tilem, hanya makan nasi dan kacang –
kacangan

5. Pantangan penggunaan busana parilaksana


a. Bagi pemangku yang berambut panjang tidak boleh meperucut ( Lingga
Mudra ) menggunakan pusung condong.
b. Pada saat Nganteb tidak diperkenankan memakai Genta tabuh telu.

III.KEWAJIBAN DAN WEWENANG PEMANGKU

1.Pemangku berwewenang menyelesaikan upacara puja wali pada Pura yang disungsung
dengan tingkat upacara seperti piodalan biasa.
2. Apabila pemangku Nganteb upacara diluar Pura yang diemongnya seperti upacara
Manusia Yadnya, Buta Yadnya, telah diberikan kewenangan namun mempergunakan
tirta Sulinggih.
3. Didalam Nganteb upacara buta yadnya pemangku diberikan kewenangan pada tingkat
upacara Manca sata kebawah dengan tirta Sulinggih.
4. Pemangku diberikan kewenangan nganteb upacara manusia Yadnya sesuai dengan
Dharma kauripan dalam tingkat upacara Madya dengan menggunakan tirta Sulinggih.
5. Dalam upacara Pitra Yadnya pemangku diberikan kewenangan nganteb Saji Pitra
pada tingkat Mendem Sawa, tidak memiliki kewenangan membuat tirta pengentas.
6. Pembangunan Pura Tri Kahyangan, Sad Kahyangan pemangku tidak memiliki
kewenangan untuk melaksanakan pasupating ( dasar bangunandan panca datunya).
7. Dalam hal memuja pemangku tidak mempergunakan puja Parikrama selain dari
gegelaran kusuma dewa.
8. Dalam lontar Dewa Tatwa menyebutkan “ Pemangku harus mengetahui mengenai
utpati stiti dan praline Batara” supaya jangan tumpang tindih, yang menyebabkan
pelaksanaan upacara terpenggal – penggal.

III.PENUTUP

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai