Anda di halaman 1dari 2

KRAMANING SEMBAH

Kramaning sembah adalah tata cara dan rangkaian sembahyang yang dapat memantapkan
hati dan menimbulkan keserasian, kepatutan, dan kesucian (Satyam-Śivam-Sundaram).
Dalam Ketetapan Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu tahun 1982, Parisada Hindu
Dharma Indonesia telah menetapkan khususnya tentang sikap dan mantram sembahyang sesuai
dengan buku Tuntunan Muspa yang disusun oleh Bapak I Gusti Ketut Kaler (1970) dan buku
Upadeça terbitan PHDI (1967), kramaning sembah diatur sebagai berikut :
1. Kehadapan Sang Hyang Widhi, cakupan tangan diletakkan di atas dahi hingga ujung jari
ada di atas dahi hingga ujung jari ada di atas ubun-ubun.
2. Kehadapan para dewata, ujung jari-jari tangan di atas, di antara kening.
3. Kepada Pitara (roh para luhur), ujung jari-jari tangan berada di ujung hidung.
4. Kepada sesama manusia, cakupan tangan di hulu hati, dengan ujung jari-jari tangan
mengarah ke atas.
5. Kepada para Bhùta, cakupan tangan di huluhati, ujung jari-jari tangan mengarah ke bawah.
Pada saat sembah dengan tangan kosong di awal dan di akhir sembahyang, sikap tangan
diletakkan di atas dahi seperti sikap pada no.1 di atas.
Khusus kepada Rsi/Sulinggih/Guru Kerohanian, cakupan tangan di antara huluhati dan dagu.
Khusus untuk mendoakan roh orang yang meninggal, dengan berdiri tegak (pada asana)
dengan sikap tangan mamusti di pusar.
Mahasabha PHDI di Jakarta, 1991 menetapkan tentang Tri Sandhya dan Kramaning
Sembah. Tentang Kramaning Sembah ditetapkan sbb :
a. Sembah puyung; sarana (cakupan kedua belah telapak tangan kosong).
Oà Ätmä tatvätmä çuddha mäm svähä.
(Oà ätmä, ätmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba).
b. Menyembah Sang Hyang Widhi sebagai Sang Hyang Äditya; sarana bunga.
Oà Ädityasya paraà jyoti rakta teja namostute
sweta paìkaja madhyastha bhäskäräya namo‘stute.
(Oà, Tuhan Yang Maha Esa, sinar Sang Hyang Sürya yang maha hebat,
Engkau bersinar merah, kami memuja-Mu, Engkau yang bersthana di tengah-
tengah teratai putih, hormat kepada-Mu pencipta sinar berkilauan).
c. Menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagai Éñöadevatä pada hari dan tempat
persembahyangan tertentu, misalnya : Gaëeça, Sarasvaté, Lakñmi, Brahma, Viñëu,
Éçvara dan sebagainya digunakan püjä yang sesuai, telah dihimpun oleh T. Goudrian
and C. Hooykaas, dalam bukunya Stuti and Stava (Bhuddha, Çaiva and Viñëava) of
Balinesse Brahman Priests (1971).
Pada persembahyangan umum Purnama Tilem, yang dipüja Sang Hyang Çiva yang
berada di mana-mana dengan sarana kawangen dan stava berikut :
Oà nama deva adhisthanäya sarva vyäpi vai çiväya
padmäsana ekapratiñöhäya Ardhanareçvaryai namo’namah.
(Oà, Tuhan Yang Maha Esa, yang bersemayam pada tempat luhur, Engkaulah Śiva
yang sesungguhnya berada dimana-mana, yang bersemayam pada tempat duduk
bunga teratai, kepada-Mu Ardhanareśvarya (TYME) hamba memuja.
d. Menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pemberi anugrah; sarana kawangen.
Oà Anugraha manohara deva dattänugrahakam
arcanaà sarva püjanaà namaù sarvänugrahaka.
Deva devé mahäçiddhi yajïäìga nirmalätmaka
Lakñmi çiddhiçca dirghäyuh nirvighna sukha våddhiçca.
(Oà, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah meberian devatä
yang maha agung, pujaan semua pujaan, hormat bakti hamba pada-Mu,
pemberi semua anugrah).
e. Sembah puyung; Oà Deva sukñma paramäcintyäya namaù svähä.( Oà, hormat
kepada devata yang tak terpikirkan yang maha tinggi yang gaib).
Demikianlah uraian singkat Kramaning sembah, semoga bermanpaat bagi kita semua.
Mataram, 03 Desember 2017
ttd.
. Pinandita I Gusti Ngurah Sunarta
Hp.081339196894;081805298933
1
Lampiran.
Dalam Ketetapan Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu tahun 1982, dirumuskan
bahwa Sembah ialah sikap menghormati yang disertai rasa bakti dan penyerahan diri
secara iklas.
Kenyataan di lapangan yang perlu mendapatkan perhatian kita:
1. Pada nomor 3 di atas, puja ditujukan kepada para luhur yang dihayati atau
dimohonkan hadir oleh pemimpin upacara Pitå-yajïa, sering dianggap kepada roh
yang meninggal (sang seda), sehingga mereka yang umurnya (kelahiran badanya)
lebih tua sering tidak diperbolehkan menyembah, padahal sembah adalah bersifat
rohani, ätmani dan ätman tidak mempunyai tanggal lahir.
Saran kami pujalah para luhur dengan stava (stuti & stava 863.5) :
Oà Namaù pitå-vatsaläya, sarva-véra-çata-veläya,
sarva-véra-palakäya, siddhi pradänäya (namo namaù) svadùä
(Oà, Sembah kepada para luhur yang menyayangi dengan penuh kasih
keturunanya, yang melindungi bagaikan memeluknya dengan ratusan pasang
tangan, serta merestui suksesnya acara ini, sembah sujud kepada-Mu).
2. Pada nomor 5 di atas, yang dihormati roh atau kekuatan yang mengatur makhluk
hidup, yaitu Tuhan dalam manifestasi Beliua sebagai Prakåti, kami sarankan untuk
menggunakan Påtivé Püja (stuti & stava 697.1):
Oà Påtivé çaréraà devé, catur-deva-mahä-devé,
catur-äçrame Bhaöäré, Çiva-bhümi mahä-siddhi.
(Oà, Sembah kepada Panguasa Påtivé, Devi yang terwujudkan bagi Empat Devata
Agung, Devi yang diagungkan dalam empat tingkatan kehidupan bermasyarakat,
sembah kepada Pradhäna-Mu yang memberkati kesuksesan).
3. Stava pada Åñé atau Guru Kerohanian : Çåé gurubhyo namaù, hariù om.
(Oà, Sembah sujud kepada Tuhan yang hadir sebagai Guru Kerohanian hamba).
4. Mendoakan roh orang yang meninggalkan kesadaran badan : OÀ AMÅTAM
GAMAYA 3 X. ( {Wahai .......(sebutkan nama yang meningal), Capailah
keabadianTuhan Yang Mahä Esa}.
Atau Mantra Pangentas : väyur anilam amåtam athedaà bhasmäntaà
saréram, om krato smara, klibe smara, kårtaà smara.(Yajur Veda.XL.15).
(Ya Tuhan pengwasa hidup, pada saat kematiannya si ....., semoga ia mengingat
wijäkñara suci Om-kära, semoga ia mengingat Engkau Yang Mahakuasa dan Kekal
Abadi. Ingatkanlah ia kepada karmanya yang baik ini, semoga ia mengetahui bahwa
Atman kekal Abadi dan badanya ini akan hancur menjadi Abu.(NÄRÄYENA 3X).
5. Sebelum pamuspayan umumnya diperciki tirtha Panglukatan (bila tidak ada cukup
cakupkan tangan di depan hulu hati) mantra:
om apavétra pavitro vä sarvävasthäà gato’pi vä |
yah smarêt pundarikäkñam sabahyäbhyantarä sucéh |
çri viñëu | çri viñëu | çrī viñëu ||
(O, Hyang Mahäsuci apakah hamba belum suci atau pun telah suci, dalam semua
kegiatan, hamba mengingat dan abdikan kehadapan-Mu O, Çré Viñëu, oleh
karenanya lahir bathin hamba tersucikan oleh-Mu O, Çré Viñëu.)
6. Sikap sebelum memulai Püja sering menengadahkan tangan (simbul selalu merasa
kurang), sebaiknya letakkan tangan diatas lutut masing-masing dengan cin-mudra,
hening sejenak, kemudian cakupkan didepan dada atau amusti karana (bila akan
Püja Tri-Sandhya), Bacakan apavitra atau Om Prasada Sthiti Çaréra Çiva suci
nirmaläya namaù svähä.
7. Muyung pertama sebaiknya dimulai dengan mencakupkan tangan di depan huluhati
kemudian diangkat perlahan sesuai ketentuan no. 1 di atas. Muyung terakhir yang di
lanjutkan dengan çäntiù mantram, sebaiknya tangan diturunkan perlahan dan
berhenti di depan huluhati dengan menyentuhkan ibu jari pada hulu hati sambil
mengucapkan Om terakhir. Tidak diperlukan Parama çäntiù, bila tidak didahului
dengan Pengastung Kära oleh Pihak Pengatur Persembahyangan.
ooOOOoo
2

Anda mungkin juga menyukai