Anda di halaman 1dari 25

Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana

secara detail
3 Februari 2012 pukul 8:18

Mengingat rekan-rekan sedharma di Bali dan di luar Bali banyak yang membangun tempat
sembahyang atau Pura dengan pelinggih utama berupa Padmasana, perlu kiranya kita
mempelajari seluk beluk Padmasana agar tujuan membangun simbol atau “Niyasa” sebagai
objek konsentrasi memuja Hyang Widhi dapat tercapai dengan baik.

ARTI PADMASANA

Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan
menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.Kata padmasana berasal dari
bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J.
Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai
dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam
yoga.Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun
oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata
yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau
tuntunan, atau nasehat, atau perintah.Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai
stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa
bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga
Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari
Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Dalam Lontar “Padma Bhuana“, Mpu Kuturan menyatakan bahwa
Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana
Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai
adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam — akarnya menancap di lumpur,
batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah
simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-
lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana,
2004).

Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga
tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang
terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana
berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen
pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari
Padmasana (Cudamani, 1998).

Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari
emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena
ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan
berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama
Padmasana — Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.

Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah).
Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki)
melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan
atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi
di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan
“Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.”Padma dalam Bahasa Bali artinya
bunga teratai, dan Sana artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di
atas bunga teratai.

Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan
Sanghyang Widhi yang disebut Asta-Aiswarya.

Asta-Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma
adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh
hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara.

Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni
keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan.

 
Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi
sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau
pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan
keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:

1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi
di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal. : Timur (Purwa)
sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai
Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat
Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya)
sebagai Sambhu.
2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang
Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa
(madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)
3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan
udara disebut akasa.

Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga
digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana.

SEJARAH PADMASANA

Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh


Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha.

Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali
menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali
perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana.

Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana
penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal.Ajaran itu
diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu
Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya,
Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah.

Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan
rong tiga, bebaturan, dan gedong.

Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah
bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang
Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.
 

Pemujaan Sanghyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa berkembang di Bali sejak abad ke-9.
Simbol pemujaan yang digunakan adalah Lingga-Yoni. Keadaan ini berlanjut sampai abad ke-13
pada zaman Dinasti Warmadewa.

Sejak abad ke-14 pada rezim Dalem Waturenggong (Dinasti Kresna Kepakisan), penggunaan
Lingga-Yoni tidak lagi populer, karena pengaruh ajaran Tantri, Bhairawa, dan Dewa-Raja.
Lingga-Yoni diganti dengan patung Dewa yang dipuja sehingga cara ini disebut Murti-
Puja.Ketika Danghyang Niratha datang di Bali pada pertengahan abad ke-14 beliau melihat
bahwa cara Murti-Puja diandaikan seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari.

Maksudnya niyasa pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong hanyalah untuk Dewa-
Dewa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada sebuah niyasa untuk memuja
Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa.

Inilah yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah menjadi
Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali untuk membangun Padmasana
sebagai niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan niyasa dengan sistem Murti-Puja.

STANA – STANA DI PADMASANA

Stana Sanghyang Siwa Raditya.

 Dalam lontar Siwagama diuraikan bahwa Bhatara Siwa mempunyai murid-murid terdiri dari
para dewa. Diantaranya ada murid yang paling pintar dan bisa meniru Siwa, murid ini adalah
Bhatara Surya; oleh karena itu Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan: Sanghyang Siwa
Raditya dan berwenang sebagai wakil-Nya di dunia.

Stana Bhatara Guru.

 Sebagai rasa hormat dan terima kasih Bhatara Surya atas anugerah yang diberikan, maka Siwa
dipuja sebagai guru, dan selanjutnya Siwa dikenal juga sebagai Bhatara Guru.

Stana Bhatara Surya.


 Bhatara Siwa acintiya. Bila manusia ingin mengetahui kemahakuasaan Bhatara Siwa, lihatlah
matahari karena mataharilah sebagai salah satu contoh asta aiswarya-Nya, karena kehidupan di
dunia bersumber dari kekuatan energi matahari.

Stana Sanghyang Tri Purusa.

 Dalam Wrhaspati Tattwa, Sangyang Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusa, yaitu: Parama-Siwa,
Sadha-Siwa, dan Siwa. Parama-Siwa, adalah Sanghyang Widhi dalam keadaan niskala, tidak
beraktivitas, tidak berawal, tidak berakhir, tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam
semesta.

Sadha-Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara, dan
pelebur. Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang utaprota sehingga nampak berwujud sebagai
mahluk hidup.

Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah
Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek
kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai
sebutannya — Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia
sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal
yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga,
di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).

Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang
digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi
pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa
Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan
Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau
penyawangan.

 
 

HIASAN PADMASANA

Di bagian dasar Padmasana

BHEDAWANGNALA,

 yaitu ukiran “mpas” (kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga.Kura-kura adalah simbol dasar
bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah simbol Basuki yaitu kekuatan
yang mengikat alam semesta.Lontar Kaurawasrama menyebutkan, dasar gunung Mahameru
adalah bedawangnala. Dalam bahasa Kawi, bedawangnala terdiri dari dua kata: beda artinya
ruang, dan nala artinya api. Jadi bedawangnala artinya ruang yang berisi api atau magma.Lontar
Agni Purana (Kurma Awatara) menyebutkan adanya perang yang sengit antara para Dewa
dengan para Detya. Dalam perang itu Dewa-Dewa dikalahkan. Para Dewa mohon agar Wisnu
menyelamatkan. Bhatara Wisnu kemudian meminta kedua pihak yang berperang mengaduk
lautan susu di mana gunung Mandara sebagai tangkai pengaduk dan Naga Basuki sebagai tali
pengaduk.Para Dewa memegang ekor naga dan para Detya memegang kepala naga. Tetapi ketika
perputaran dimulai gunung Mandara yang tidak mempunyai dasar tenggelam ke dalam lautan
susu. Bhatara Wisnu yang menjelma sebagai seekor kura-kura raksasa kemudian muncul untuk
menyelamatkan gunung Mandara.Bhedawangnala adalah Bahasa Kawi, di mana ‘bheda” artinya:
lain, kelompok, selisih; “wang” artinya: peluang, kesempatan; “nala” artinya: api. Jadi
bhedawangnala artinya: suatu kelompok (kesatuan) yang meluangkan adanya api.Api di sini bisa
dalam arti nyata sebagai dapur magma inti bumi, dapat juga dalam arti simbol lain yaitu energi
kekuatan hidup.Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol bhedawangnala dapat
bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula
bermakna sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh
kembangkan.Oleh karena itu bedawang di Bali dilukiskan sebagai kura-kura yang moncongnya
menyemburkan api.

NAGA

 Lontar Siwagama dan lontar Sri Purana Tattwa menyebutkan bahwa setelah bumi diciptakan
oleh Bhatara Siwa dan Bhatari Uma lengkap dengan segala isinya maka pada suatu ketika
terjadilah bencana, di mana tumbuh-tumbuhan mati, air menyurut dan udara mengandung
penyakit.Sanghyang Trimurti bermaksud menyelamatkan manusia. Brahma berwujud sebagai
Naga Anantabhoga yang berwarna merah berada di dalam inti bumi; Wisnu berwujud sebagai
Naga Basuki yang berwarna hitam berada dalam laut, dan Iswara berwujud sebagai Naga
Taksaka yang berwarna putih bersayap berada di udara.Agar bumi ini tidak gonjang-ganjing
maka diikat oleh dua ekor naga yakni: naga basuki dan naga anantaboga.Saptapetala disimbolkan
dengan kura-kura, sehingga terbentuklah patung kura-kura yang dililit dua naga di dasar
padmasana, yang disebut ‘bedawang-nala’ (beda = ruang-ruang; wang = yang ada; nala = api =
inti bumi atau ‘ratala’).Naga basuki dan anantaboga adalah simbol kemakmuran dan
kesejahteraan.Jadi makna padmasana yang berdasar bedawang nala adalah: keajegan bumi
sebagai tempat kehidupan, atas karunia Sanghyang Widhi yang berwujud: Parama siwa, Sada
siwa dan Siwa. Padma = teratai; sana = sikap duduk.Jadi padmasana adalah tempat/ kedudukan
suci Sanghyang Widhi yang melindungi bumi/ kehidupan kita.

Di bagian tengah Padmasana

GARUDA WISNU

 diletakkan di bagian tengah belakang, adalah simbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai
pemelihara.Simbol garuda-wisnu adalah simbol garuda (putra Sang Winata) yang membawa tirta
amerta kamandalu, anugerah dari wisnu. Itu berarti juga sebagai simbol kesejahteraan dan
kesehatan serta umur panjang bagi penyungsung garuda-wisnu.Di lontar Adi Parwa diceritakan
sebagai berikut: Sang Kadru dan Sang Winata adalah istri-istri dari Bhagawan Kasyapa, Sang
Kadru berputra naga yang ribuan banyaknya dan Sang Winata berputra Sang Aruna dan Sang
Garuda. Pada suatu ketika keduanya membicarakan Uchaisrawa (kuda putih) yang keluar dari
pemuteran gunung Mandaragiri.Sang Kadru mengatakan warna kuda itu hitam, sedangkan Sang
Winata mengatakan kuda itu putih. Karena sama-sama teguh mempertahankan pendapat
akhirnya mereka sepakat untuk bertaruh, bahwa siapa yang kalah akan mejadi budak dari yang
menang.Para naga putra Sang Kadru tahu bahwa warna kuda itu putih. Untuk memenangkan
ibunya para naga menyemprotkan bisa ke Uchaiswara sehingga berwarna hitam. Sang Winata
kalah lalu menjadi budak Sang Kadru. Anak Sang Winata, yakni Garuda, ingin membebaskan
ibunya dari perbudakan.Garuda kemudian bertanya kepada para naga, bagaimana cara
membebaskan ibunya. Sang Naga memberi tahu agar ia mencari Tirta Amertha. Sang Garuda
mencari tirta itu ke Sorga sampai berperang melawan para Dewa namun tidak berhasil.Bhatara
Wisnu yang iba pada nasib Garuda bersedia memberikan Tirta Amertha, namun dengan syarat
agar Garuda mau menjadi kendaraan Bhatara Wisnu. Garuda bersedia, dan bersama Wisnu
terbang mencari Tirta Amertha.

ANGSA

 Angsa diletakkan di bagian atas belakang, adalah simbol Sanghyang Saraswati. Hiasan Angsa,
sebagai kendaraan Bhatari Saraswati,bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan,
ketenangan dan kesucian.Angsa adalah simbul ketenangan dan warna putih bulunya adalah
simbul kesucian, ketelitian memilih makanan walaupun mulutnya masuk ke lumpur yang busuk
toh lumpur tidak termakan, jadi angsa merupakan simbul kebijaksanaan memilih yang baik, di
samping itu pula simbul kewaspadaan sebab baik siang maupun malam seolah-olah angsa tidak
penah tidur.Di lontar Indik Tetandingan disebutkan sayap angsa yang terkembang adalah simbul
Ongkara: kedua sayapnya melukiskan ardha candra (bulan sabit), badannya yang bulat lukisan
windhu, leher dan kepalanya yang mendongak ke atas adalah simbul nada.

Di bagian Atas (sari) Padmasana

ACINTYA

 Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat dari paras
yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat
ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang
Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa
Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah
simbol Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya
dapat dirasakan. Sehingga kekuasaan-Nya’ sungguh mutlak dan luar biasa.Acintiya artinya tidak
dapat dibayangkan. Namun niyasa Acintiya dilukiskan sebagai tubuh manusia telanjang dengan
api di setiap sendinya serta kaki kanan yang terangkat, kepala tanpa bentuk wajah, dan sikap
tangan dewa pratistha.Niyasa itu bermakna: tubuh manusia yang telanjang kiasan dari ciptaan
Sanghyang Widhi yang utama; api di setiap sendi adalah simbol energi kehidupan; kaki kanan
yang terangkat adalah simbol rotasi alam dan kehidupan yang aktif; kepala tanpa bentuk wajah
adalah simbol dari keberadaan yang tidak dapat dibayangkan; sikap tangan dewa pratistha adalah
simbol kecintaan Sanghyang Widhi pada hasil-hasil ciptaan-Nya.

HIASAN LAINNYA

 Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dll. yang
semuanya bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam semesta.Kesimpulan arti simbolis
dari semua bentuk Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah
menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan,
senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.Kesimpulan: kelak bila ada dana, baik sekali
membangun padmasana, walaupun sudah ada sapta petala, karena simbol-simbol seperti: garuda,
angsa, acintya, tidak ada di padmasari.

BENTUK-BENTUK PADMASANA

Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana, yaitu:

1. Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya


ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti
2. Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada
dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian
Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-
malam, kiri (pengiwa) – kanan (penengen), dst.
3. Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang.
Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang
Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa
4. Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada
satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa
5. Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya
ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai
Baruna (Dewa lautan)

Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai pengayatan /
penyawangan. Mengenai pedagingan kedua padmasana ini hanya pada dasar dan puncak saja.
Sedangkan padmasana yang mempergunakan Bedawang Nala berisi pedagingan pada Dasar,
Madya, dan Puncak.

Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung
melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya.

Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya
makin “utama” bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas.

LETAK PADMASANA

Berdasarkan lokasi (menurut pengider- ider) terbagi menjadi 9 jenis berdasarkan lontar Wariga
Catur Wisana sari, Letak Padmasana menurut arah mata angin (pengider-ider bhuwana) ada
sembilan macam yaitu:

1. Padma Kencana, timur (purwa)


2. Padmasana, selatan (daksina)
3. Padmasari ,barat (pascima)
4. Padma Lingga, utara (uttara)
5. Padma Asta Sedhana, tenggara (agneya)
6. Padma Noja, barat daya (nairity)
7. Padma Karo ,barat laut (wayabya)
8. Padma Saji ,timur laut (airsanya)
9. Padma Kurung, tengah-tengah Pura (madya)

Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura dan konsep “hulu – teben”.Dalam
membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu, tidak masalah karena di mana-mana
arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu
teben. Misalnya:

Di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai
letaknya dibangun Padmasana.

Sebaliknya di selatan “bukit” (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan di mana hulunya
adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma lingga.

Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai
letaknya dibangun Padma sari.

Demikian seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan,
misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit memilih letak tanah sesuai dengan
konsep hulu – teben seperti di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan memilih
alternatif yang terbaik di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas.

MEMILIH LOKASI PADMASANA

Bila ingin membangun Padmasana untuk penyungsungan jagat artinya yang permanen dan akan
digunakan selamanya serta untuk kepentingan rekan sedharma dalam jumlah besar, perlu
memperhatikan pemilihan lokasi yang tepat dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam
Lontar Keputusan Sanghyang Anala, yang ditulis berdasarkan wahyu yang diterima oleh
Bhagawan Wiswakarma.Selain untuk membangun Padmasana, aturan ini juga dapat berlaku
untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan, dan perumahan.Pilihlah lokasi yang baik dan
hindari sedapat mungkin lokasi yang tidak menguntungkan seperti pelemahan hala dan karang
kebaya-baya.Apabila keadaan memaksa, lakukan usaha-usaha pangupahayu agar terhindar dari
pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh kekurang sempurnaan keadaan lokasi.

PEMBAGIAN HALAMAN PADMASANA

Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga, yaitu:

 Utama Mandala
 Madya Mandala
 Nista Mandala
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk
segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala
dan nista mandala berbentuk lain.

Utama mandala 

adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi; 

Madya Mandala 

adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala; 

Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama
dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.

Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama. Di madya mandala dibangun sarana-


sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan
(tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih
Lebuh yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain
misalnya parkir, penjual makanan, dll.

Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah Candi Bentar dan batas antara madya
mandala dengan utama mandala adalah Gelung Kori, sedangkan nista mandala tidak diberi pagar
atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI

Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (simbol)
pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.Yang dimaksud
dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan
jarak antar pelinggih.

Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan
Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah
dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:

Tujuan Asta Bumi

 Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang WidhiMendapat vibrasi


kesucianMenguatkan bhakti kepada Hyang Widhi

Luas Halamana.

Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah:Panjang dalam satuan depa (bentangan
tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/ klian/ Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2, 3, 4,
5, 6, 7, 11, 12, 14, 15, 19.Lebar dalam ukuran depa: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 14, 15.Alternatif
total luas dalam depa: 2×1, 3×2, 4×3, 5×4, 6×5, 7×6, 11×7, 12×11, 14×12, 15×14, 19×15.b.
Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah:Panjang dalam ukuran depa: 4, 5, 6,
13, 18.Lebar dalam ukuran depa: 5, 6, 13.Alternatif total luas dalam depa: 6×5, 13×6, 18×13Jika
halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti
Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3
kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke
Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3 x (19×15), 5 x (19×15), 7 x (19×15),
9x(19×15), 11x(19×15).Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum
dalam kelipatan adalah: 3x(18×13), 5x(18×13), 7x(18×13), 9x(18×13), 11 x (18×13).

HULU – TEBEN

Filsafat hulu – teben timbul karena manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, kemudian
“menganggap” Hyang Widhi seperti organ tubuh manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala,
badan dan kaki. Perhatikan gambar simbol Acintya.Kepala dikatakan sebagai hulu, badan
sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini membawa
tatanan kehidupan “skala” (nyata) dan “niskala” (tidak nyata), misalnya dalam aturan-aturan
membangun Pura.Adanya bagian yang sangat sakral disebut sebagai “utama mandala”, bagian
yang kurang sakral disebut sebagai “madya mandala” dan bagian yang tidak sakral disebut
sebagai “nista mandala”.Hulu – Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat
sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai hulu karena di
timurlah matahari terbit.Matahari dalam pandangan Hindu adalah sumber energi yang
menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat
awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan
sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air.“Hulu” artinya arah yang utama,
sedangkan “teben” artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan
terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu, yaitu:Arah Timur, dan Arah “Kaja”Mengenai arah
Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung
atau bukit.

Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih
timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau
tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan
kompas.Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai
kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya.
Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun
pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

BENTUK HALAMAN PADMASANA

Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana
diuraikan terdahulu.Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang
atau lebar di sisi kanan – kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga,
lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya
pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.

PEMEDAL PADMASANA

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan
pemedal sebagai berikut:

 Ukur lebar halaman dengan tali.


 Panjang tali itu dibagi tiga.
 Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah “as” pemedal
 Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung
dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori.

Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan
hulu dari garis halaman pemedal.Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam
menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan,
demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk
menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

JARAK ANTAR PELINGGIH

Sesuai dengan Asta Bumi, jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan
ukuran satu “depa”, kelipatan satu depa, “telung tapak nyirang”, atau kelipatan telung tapak
nyirang.Pengertian “depa” sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari
ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan “telung tampak
nyirang” adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri)
ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang.Baik depa maupun tapak yang digunakan
adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok “penyungsung” (pemuja) Pura.Jarak antar
pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi
letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari
tembok batas ke pelinggih-pelinggih.Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten,
misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke “Piasan” dan Pemedal
(gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya
Mandala.

PELINGGIH YANG DIBANGUN

Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka
selain Padmasana dibangun juga:

 pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang
memberikan manusia kemampuan belajar/ mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan
 PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu “putra” Siwa yang
melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia.

Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah:

 PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari
piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
 BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja.

Di Madya Mandala dibangun:

 BALE GONG, tempat gambelan


 BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten
sebelum masuk ke Utama Mandala.BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan)
yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah
 selesai.

Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat
“turut” 3, 5, 7, 9, dan 11. “Turut” artinya “berjumlah”.

Turut 3:Padmasari, Kemulan Rong Tiga dan TaksuKemulan Rong tiga adalah Hyang Guru atau
Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa. Jenis turut ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya
masing-masing
Turut 5Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah dan Baturan PengayenganBaturan
Pengayengan yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain.

Turut 7Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan Pengayengan, Pelinggih
Limas Cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah)Yang dimaksud dengan Gunung
Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah simbolisme Hyang Widhi dalam manifestasi yang
menciptakan “Rua Bineda” atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan,
siang dan malam, dharma dan adharma, dll.

Turut 9Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan Pengayengan, Pelinggih
Limas Cari (Gunung Agung), Limas Catu (Gunung Lebah), Pelinggih Sapta Petala dan
Manjangan SaluwangPelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa
inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah
pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di
Bali.

Turut 11Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan Pengayengan, Pelinggih
Limas Cari (Gunung Agung), Limas Catu (Gunung Lebah), Pelinggih Sapta Petala, Manjangan
Saluwang, Gedong Kawitan dan Gedong IbuGedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki
yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah
pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).

Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang
diletakkan di hulu adalah Padmasari/ Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah
pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas.Bila halamannya terbatas
sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet
dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

UPACARA NGENTEG LINGGIH

Setelah bangunan selesai dalam bentuk Padmasana atau berbentuk Sanggah Pamerajan dan Pura,
maka dilaksanakan upacara Ngenteg Linggih. Dalam Bahasa Bali “Ngenteg” artinya
mengukuhkan, dan “Linggih” artinya kedudukan. Jadi Ngenteg Linggih dalam arti luas adalah
upacara mensucikan dan mensakralkan Niyasa tempat memuja Hyang Widhi.Yang akan
diuraikan di bawah ini adalah upacara Ngenteg Linggih menurut versi tradisi beragama Hindu di
Bali berdasarkan Lontar-lontar:

1. Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya,


2. Tutur Kuturan,
3. Gong Besi, dan
4. Sanghyang Aji Swamandala.
Mungkin saja ada rangkaian upacara dalam bentuk lain menurut versi atau tradisi setempat untuk
Niyasa-Niyasa tertentu, seperti di Jawa, Kalimantan, Sumatra, dll. boleh saja namun tujuannya
tetap sama yaitu mensucikan dan mensakralkan Niyasa.

MEMANGGUH.

 Tahap awal adalah upacara Memangguh. Asal katanya: “kepangguh” atau “kepanggih” artinya
menemukan. Keyakinan tentang kekuasaan Hyang Widhi sebagai sang pencipta bahwa seluruh
jagat raya adalah milik-Nya. Sebidang tanah yang dijadikan Pura ditemukan oleh manusia secara
“Skala” (nyata) dan “Niskala” (tidak nyata, artinya berkat penugrahan Hyang Widhi).
Memangguh lebih cenderung diartikan sebagai menemukan bidang tanah secara niskala.

MEMIRAK.Berasal dari kata “pirak” artinya membeli. Kaitannya juga secara niskala, yang
bermakna mohon ijin kepada Hyang Widhi untuk menggunakan bidang tanah dimaksud.

NYENGKER.Berasal dari kata “sengker” artinya batas. Jadi upacara nyengker adalah memberi
batas-batas luas tanah, baik secara skala dengan cara membangun pagar keliling, maupun secara
niskala dengan menaburkan tepung beras putih kesekeliling batas tanah.

MECARU.Berasal dari kata “caru” artinya korban suci untuk menuju keseimbangan dan
keharmonisan. Keseimbangan dan keharmonisan dalam arti luas adalah TRI HITA KARANA
(Tri = tiga, hita = kebaikan, karana = sebab; Jadi Trihitakarana adalah tiga hal yang
menyebabkan kebaikan). Keseimbangan dan keharmonisan yang bersentral pada manusia, yaitu:

1. Bhakti manusia kepada Hyang Widhi dan sebaliknya kasih sayang Widhi kepada
manusia, ini biasa disebut sebagai PARHYANGAN.
2. Hubungan antar manusia yang baik dengan inti kasih sayang, biasa disebut sebagai
PAWONGAN.Kecintaan manusia pada alam dengan memelihara kelestarian, biasa
disebut sebagai PALEMAHAN.

Mecaru dalam rangkaian upacara Ngenteg Linggih tujuannya adalah mohon kepada Hyang
Widhi agar di area Pura dapat terwujud Trihitakarana

TATA CARA MEMBANGUN PADMASANA

1. Upacara/ upakara yang sederhana (untuk Padmasari)


2. Nasarin (peletakan batu pertama.
3. Ngeruwak sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung Tahun 1987.Penggalian”. lubang
untuk dasar.
4. Penyucian lubang bisa sampai tingkatan mebumi sudha.
5. Persembahyangan dengan puja pengantar Ananta Boga stawa dan Pertiwi stawa. Bunga
atau kawangen yang telah dipakai diletakkan pada lubang sebagian dasar.
6. Peletakan dasar dengan materi sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung tahun 1988.
7. Melaspas.
8. Upakara- upakara berupa pedagingan, orti, dan sesaji sesuai dengan lontar Dewa Tattwa,
wariga, Catur Winasa Sari dan Kesuma Dewa.

Atau bisa dengan urutan sebagai berikut:

1. Memangguh dengan guling bebek, banten pejati. Maknanya: mohon ijin menggunakan
tanah pekarangan
2. Memirak: guling bebek itu direcah-recah dibuatkan 5 tanding, lalu di haturkan di atas
tanah pekarangan pada 5 penjuru: timur, selatan, barat, utara, tengah.
3. Mecaru: ayam brunbun, dengan urip 33
4. Ngeruak, mulang batu dasar, mlaspas (bila sudah selesai bangunannya)
5. Mendak Ida Bhatara, distanakan di sebuah daksina lingga
6. Ngaturang ayaban/ banten
7. Muspa

Upacara dan upakara yang lebih lengkap (untuk Padmasana)

Saat mulai membangun.Caru pengeruak, yaitu caru ayam berumbun lengkap dengan
runtutannya dan uripnya adalah 33, serta letaknya asanca-desa, yaitu:

 Di timur: 5 tanding
 Di selatan: 9 tanding
 Di barat: 7 tanding
 Di utara: 4 tanding
 Di tengah: 8 tanding.

Beralaskan sengkwi bersayap; segehan agung, kawisan, kulitnya dan lain-lain di tempatkan di
tengah. Byakala , Durmangala, dan Prayascita masing-masing satu. Segehan agung lengkap
dengan penyambleh.

Banten Pemakuhan: yang terdiri dari peras penyeneng, ajuman putih kuning dagingnya ayam
betutu, me-ukem-ukem (di sembeleh dari punggung), daksina yang berisi uang 225, canang
lengewangi-buratwangi, canang raka, nyahnyah gula kelapa dan tipat kelanan. Banten ini ditaruh
di sebuah sanggar di hulu bangunan.

 
Banten untuk dasar bangbang:

adalah tumpeng merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buhan, lauk-pauk dengan
dagingnya ayam biying yang dipanggang, sampian tangga. Banten ini dialasi kulit peras.

Canang Pendeman:

adalah canang burat wangi, pengeraos, canang tubungan, dan pesucian, masing-masing satu
tanding.

Alat penyugjug 

terdiri dari sebuah tangkai dapdap yang bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cicin bermata
mirah dan sebuah keris.

Sebuah bata merah bergambar bedawangnala di mana punggungnya bertulis aksara “Ang” .


Sebuah bata merah lain bergambar padma bertulis dasa aksara: sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya.
Sebuah batu bulitan bertulis tri aksara: ang, ung, mang.

Sebuah klungah nyuh gading bertulis ong-kara. Kelungah dikasturi airnya dibuang lalu ke


dalamnya dimasukkan sebuah kwangen berkulit keraras, berisi uang kepeng 33 buah, bertulis
ongkara-amertha.

Semua banten di atas setelah diupacarai dan disembahyangi, dimasukkan ke dalam lobang dasar
bangunan; selanjutnya batu-batu dan adonan semen dapat dicor di atas banten-banten itu.

Setelah bangunan selesai

Upacara Pemakuhan:

Sebagai ungkapan terima kasih kepada Bhagawan Wisma Karma (Dewa seni-bangunan)
diwujudkan dengan mohon tirta pemakuh. Peralatan tukang disertakan dalam upacara ini.Banten
Pemakuhan, peras, lis, soroan, daksina, canang lenga wangi, canang burat wangi dan ketipat
kelanan. Caru ayam putih asoroh eteh-eteh pemakuhan asoroh: bagia, orti, sapsap, ulap-ulap,
paso anyar berisi air, daun lalang 11 katih, pengurip-urip darah ayam putih, susur pekeramas,
toya cendana, kumkuman, rantasan, seperadeg, semeti, pahat, uang, andel-andel berisi benang.
Toya pemakuhan dari undagi yang membuat sikut.
 

Urutan upacara:

1. Ngetok sunduk, mantra: Bhatara semara, angadegang Bhatara Ratih metemuang ageni
mastu astu Ang Ah.
2. Ngetok lait, mantra: Ingsun anangun sawen anging I Dewa Gunung Agung magelung
aningkahang anangun sawen, ana ring maca pada rambat rangkung panjang umur, jeng,
jeng, jeng.
3. Pangurip getih ayam putih, mantra: Mangke sira patini sepisan ngurip kita satuwuk
bebataran pinaka bungkah nda. Sendi pinaka pancer nda. Adegan pinaka punyan
nda. Abah-abah pinaka pangpang nda. Raab pinaka ron nda. Kelasa pinaka kembang
nda. Daging nda, pinaka woh nda, urip kita jati. Paripurna urip-urip
4. Penyapsap gidat sesaka, mantra: Pakulun manusan nira anggada kaken sapuha,
menyapuha ganda keringetning wewangunan sidhi rastu.
5. Semeti, mantra: Om Upi Sangagawenku teka pada urip, teka pada urip, teka pada urip.
6. Baas Daksina, mantra: Om Siwa sampurna yang namah.
7. Tatebus, mantra: Jaya Ang Ang Ang Ah

Upacara Melaspas:

Upacara Melaspas bertujuan mensucikan bangunan agar dapat menstanakan Ista Dewata,
menyatukan sekala dan niskala. Unsur-unsur sekala adalah bangunan suci, dan unsur niskala
adalah Sanghyang Widhi atau Ista Dewata.Pelaksanaan:

1. Menghaturkan upakara pesaksian ke Surya, dan nunas tirtha pelukatan.


2. Nyapsap dengan daun dapdap, lalang, dan toya segara. Matatorek dengan warna merah,
putih, hitam, memercikkan tirtha pelukatan, memercikkan tirta pasupati, dan memukul
bangunan tanda menguatkan pasak.

Sulinggih memuja banten pemelaspas.

Upacara Ngenteg Linggih.

Urutan upacara:

1. Memangguh

 Kata memangguh berasal dari bahasa Bali: kepangguh atau kepanggih, yang artinya
menemukan. Maksudnya adalah menemukan sebidang tanah secara niskala yang kemudian
digunakan untuk bangunan Padmasana.Secara skala, bidang tanah diperoleh atau ditemukan
dengan membeli, hibah, warisan, dll. Namun secara niskala bidang tanah itu dimohon kepada
Sanghyang Widhi, sebagai pemilik dan penguasa semesta.Banten upacara memangguh pada
umumnya berdasar banten bebangkit dengan runtutannya.
 

2. Nyengker

 Nyengker artinya memberi batas-batas bidang tanah di empat penjuru mata angin, yaitu: utara,
selatan, barat dan timur. Batas ini sebagai lanjutan upacara memangguh, dengan pengertian skala
dan niskala pula.Secara skala, sengker atau batas berbentuk pagar halaman, dan secara niskala,
sengker adalah batas bidang tanah yang dimohonkan ke hadapan Sanghyang Widhi. Pelaksanaan
upacara nyengker diwujudkan dengan membubuhkan tepung beras (putih) sekeliling pagar
bidang tanah.Bantennya: prayascita, pengulapan, pengambean.

3. Memirak

 Memirak dalam bahasa Bali berasal dari kata pirak, yang artinya membeli. Memirak juga
ditujukan secara niskala kepada Sanghyang Widhi, lebih dimaksudkan sebagai rasa terima kasih
atas ijin dan karunia-Nya karena telah memberikan sebidang tanah.Selain itu dengan upacara
memirak, kepada Sanghyang Widhi juga mepiuning (memberitahu) tentang perubahan status
tanah, yang sebelumnya mungkin berupa sawah, tegalan, dll., dan kini sudah menjadi sebuah
halaman Pura.Banten upacara memirak, dasarnya suci ageng dengan runtutannya, dan seekor
babi guling sebagai kelengkapannya. Sebagai stana Ida Bhatari Pertiwi, dibuat sebuah daksina
lingga yang setelah upacara selesai akan dihaturkan ke Pura Subak.Setelah banten pemirak
selesai dipuja oleh Sulinggih, maka bagian-bagian babi guling yakni irisan: kuping, moncong,
keempat kaki, dan ekor, direcah menjadi 5, ditempatkan di 5 takir yang sudah berisi nasi jakan.
Kelima takir itu diletakkan dan dihaturkan ke pertiwi masing-masing di batas bidang: utara,
selatan, barat, dan timur.

4. Mecaru

 Caru dalam bahasa Bali artinya korban, sedangkan car dalam bahasa Sanskrit artinya
keseimbangan dan keharmonisan. Dengan demikian maka caru artinya binatang yang dijadikan
korban untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.Yang dimaksud dengan keseimbangan
dan keharmonisan adalah Trihitakarana, yaitu tiga hal yang menjadi dasar kehidupan yang baik:
parhyangan, pawongan, dan palemahan.Parhyangan adalah hubungan yang seimbang dan
harmonis antara manusia dengan Sanghyang Widhi. Pawongan adalah hubungan yang seimbang
dan harmonis antara manusia dengan manusia. Palemahan adalah hubungan yang seimbang dan
harmonis antara manusia dengan alam.Menurut ajaran agama Hindu-Bali, tanpa ketiga
keseimbangan dan keharmonisan itu manusia tidak akan menemukan mokshartam jagaditha.
Dalam kaitan ini, Padmasana sebagai stana Sanghyang Widhi, bukanlah hanya niyasa pemujaan
saja, tetapi juga untuk memohon keutuhan Trihitakarana menuju mokshartam jagaditha.Banten
caru yang umumnya digunakan pada upacara ngenteg linggih Padmasana minimal Rsigana
berdasar Manca sanak.
 

5. Mendem akah-pedagingan

 Mendem artinya menanam. Akah-pedagingan terdiri dari panca-datu, yaitu: emas, perak,
tembaga, besi, dan permata. Kelima unsur (panca –datu) adalah simbol isi bumi, yakni logam
dan batu mulia yang diciptakan Sanghyang Widhi pada awal terbentuknya bumi. Akah-
pedagingan ditanam pada dasar, dan tengah Padmasana.

6. Memasang orti dan ulap-ulap

 Orti adalah sejenis jejahitan berbahan daun rontal. Makna orti adalah pemberitahuan bahwa
bangunan Padmasana sudah disucikan. Ulap-ulap adalah rerajahan pada secarik kain putih yang
bermakna mensakralkan bangunan pelinggih. Orti dipasang di puncak bangunan, dan ulap-ulap
dipasang di bawah orti.

7. Mendem bagia-palakerti

 Bagia artinya bahagia; palakerti artinya hasil dari karma (perbuatan). Isi bagia palakerti adalah
berbagai hasil bumi: buah-buahan dan umbi-umbian (pala gantung dan pala bungkah). Bagia-
palakerti ditanam di tanah belakang Padmasana bertujuan untuk memohon pahala yang baik
kepada Sanghyang Widhi, karena sang maduwe karya telah melaksanakan upacara ngenteg
linggih.

8. Memendak Ida Bhatara

 Kata Ida Bhatara artinya “Maha Kuasa yang menyayangi dan melindungi”. Menstanakan Ida
Bhatara di Padmasana, seperti yang diuraikan terdahulu, berarti menstanakan Sanghyang Widhi
di bangunan niyasa untuk dipuja. Niyasa (simbol) yang digunakan sebagai pralingga dapat
berbagai bentuk, misalnya pretima, gopelan, dan ampilan.Yang umum digunakan adalah
ampilan, terdiri dari kotak, daksina lingga, dan runtutannya. Setelah ampilan disucikan dan
dipasupati, Ida Bhatara dimohonkan berstana di ampilan itu.Prosesnya dengan muspa ngider
bhuwana mulai menghadap ke timur untuk memuja Ishwara, ke selatan untuk memuja Brahma,
ke barat untuk memuja Mahadewa, ke utara untuk memuja Wisnu, dan ke timur sekali lagi untuk
memuja Tripurusha.

9. Mekalahyas
 Dengan berpedoman pada lontar Yadnya Prakerti, diyakini bahwa wateking bhuta-kala atau roh-
roh liar selalu ingin mendapatkan tirtha amertha dalam usahanya untuk meningkatkan
kesucian.Oleh karena itu roh-roh liar ini selalu bersembunyi di tempat-tempat suci dengan
harapan bila ada upacara maka mereka secara tidak disengaja akan memperoleh percikan tirtha
amertha dari puja-mantra Pandita.Demikian pula dengan kotak ampilan yang dimohonkan
sebagai stana Sanghyang Widhi, tidak luput dari gangguan para roh liar ini. Agar hal itu tidak
terjadi maka para roh liar diberikan lelabaan agar tidak mengganggu jalannya upacara dan tidak
bersembunyi di niyasa kotak ampilan Ida Bhatara.Lelabaan itu disebut banten kalahyas.
Kalahyas terdiri dari dua kata: kala artinya roh liar; hyas artinya menyenangkan. Jadi kalahyas
artinya banten untuk menyenangkan roh-roh liar.

10. Melasti

 Melasti dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata: mala artinya kekotoran atau noda; asti artinya
dibuang. Jadi melasti yang asalnya mala-asti, artinya menghanyutkan kekotoran.Upacara melasti
dilakukan di laut, karena kegiatan melasti meliputi dua tujuan, yaitu: menghilangkan kekotoran,
dan memohon tirtha amertha kamandalu, yakni tirtha suci yang diyakini membawa kesucian,
kebaikan, kemakmuran, dan kejayaan atau umur panjang.Yang dimaksud dengan tirtha amerta
kamandalu, adalah air dari tujuh buah sungai suci di India, di mana Weda diwahyukan oleh
Sanghyang Widhi melalui tujuh Maha Rsi (Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri,
Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa). Sungai-sungai itu adalah: Gangga, Sindhu, Saraswati,
Yamuna, Godhawari, Narmada, dan Sarayu.Oleh karena kita tidak mungkin pergi ke India setiap
saat untuk melasti, maka dengan pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, dan
laut di dunia menyatu, maka diyakini laut di selatan India sebagai muara sungai-sungai suci yang
telah mengandung unsur-unsur kesucian, sama dengan laut di mana saja.Oleh karena itu jika
melasti ke laut dianggap sama dengan mendapatkan air dari ketujuh sungai suci itu.Karena
tujuan melasti seperti yang diuraikan di atas adalah untuk menghanyutkan kekotoran dan
mendapatkan tirtha suci, maka kegiatan melasti sering disebut:ANGANYUTAKEN LARA-
ROGA TUR SARWANING MALA, LAN AMET TIRTHA AMERTHA KAMANDALU RING
TELENGING SAMUDRAartinya menghanyutkan kekotoran dan membuang segala keburukan,
serta mendapatkan air suci di tengah lautan.Hanya bila ke laut saja dapat disebut melasti,
sedangkan bila ke sumber mata air atau sungai, tidak disebut melasti, tetapi mesucian. Tujuan
dan faedahnya tentu berbeda.

11. Ngenteg linggih: Karya Pemungkah dan Pedudusan

 Ngenteg linggih artinya: mengokohkan kedudukan Ida Bhatara secara niskala di Padmasana;
Karya Pemungkah artinya: Memohon kesediaan Ida Bhatara berstana di Padmasana; Pedudusan,
yang berasal dari kata: pedius-diusan, artinya pensucian.Prosesi upacara:Setelah niyasa Ida
Bhatara datang dari melasti, maka kotak ampilan diletakkan di sanggar tawang. Di sini Ida
Bhatara dihaturi banten catur dan dipuja-mantra oleh Pandita.Setelah itu niyasa Ida Bhatara
diturunkan dari sanggar tawang, melalui titi-mahmah lalu diletakkan di Bale Peselang.Kemudian
Ida Bhatara dihaturi sesajen kemudian di puja-mantra oleh Pandita.Para peserta upacara,
bersembahyang memuja Sanghyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan penyelamat
dunia.Selanjutnya barulah niyasa Ida Bhatara di letakkan di Bale Pahiasan, untuk dihaturi sesajen
dan dipuja-mantra oleh Pandita.Makna upacara:Meletakkan niyasa Ida Bhatara di sanggar
tawang dan dihaturi banten catur, bermakna niyasa itu mendapat wara-nugraha dari Sanghyang
Widhi sebagai Ishwara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu.Meletakkan niyasa Ida Bhatara di bale
peselang, bermakna kehadiran Sanghyang Widhi di alam bwah-loka untuk menganugrahkan
kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan kepada manusia.Meletakkan niyasa Ida Bhatara di
Pahiasan, bermakna sebagai Sanghyang Widhi yang menerima haturan, persembahan, dan
pujaan dari manusia yang telah mendapatkan sinar suci-Nya.

12. Pemuspaan

 Pemuspaan adalah sembahyang bersama, diawali dengan puja trisandya dan dilanjutkan dengan
kramaning sembah. Setelah itu tirtha wangsuh-pada dan bija dibagikan oleh Jero Mangku. Ida
Pandita mengisi waktu luang itu dengan dharma-wacana.

13. Mesida-karya

 Upacara mesida-karya biasanya dilaksanakan di hari penyineban Ida Bhatara. Didahului dengan
menghaturkan banten banten sida-karya, lalu sembahyang bersama, maka niyasa Ida Bhatara
berupa kotak ampilan disimpan di tempat yang baik dan aman, untuk digunakan lagi di hari
piodalan Ida Bhatara.Upacara ini bermakna sebagai permohonan dan piuning kehadapan
Sanghyang Widhi bahwa rangkaian upacara Ngenteg Linggih telah selesai, serta memohon
ampun bila dalam penyelenggaraan upacara ada kekeliruan-kekeliruan.Sampai di sini selesailah
semua prosesi sejak membangun Padmasana sampai mengupacarainya, sehingga dengan
demikian Padmasana sudah dapat digunakan sebagai niyasa pemujaan Sanghyang Widhi di
setiap saat.

berikut Gambar Padmasana dan Ulap-Ulapnya :

Padmasari
 

Padmasana

Padma Agung
 

Padma Angelayang

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tentang penulis:

Budi Mahendra adalah salah satu Admin di Fans Page Hindu Bali yang juga praktisi spiritual
serta murid di Ghanta Yoga, Yang mengajarkan tehnik pembangkit dan memaksimalkan Potensi
Mukjizat dalam Diri (TAKSU). 

Informasi mengenai Ghanta Yoga : Http://www.ghantayoga.com/id/

Tulisan ini bisa juga di lihat di : http://umaseh.com/padmasana/

Anda mungkin juga menyukai