Om Swastiastu,
Yang terhormat
Yang saya hormati Bapak/Ibu Panitia Penyelenggara Dharma Shanti Nyepi Tahun Caka 1934
Berbahagia sekali saya dapat menemani Bapak/Ibu pada kesempatan yang sangat langka
ini. Bapak/Ibu adalah orang-orang terpilih sehingga berkesempatan untuk menghadiri acara
Dharma Shanti yang diselenggarakan oleh Indosat saat ini. Tidak semua orang memperoleh
anugrah untuk menikmati kesempatan berkumpul pada saat yang damai seperti ini, untuk itu
ijinkanlah saya mengajak Bapak/Ibu untuk memanjatkan puji dan syukur kehadapan Ida Sang
Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan kesehatan untuk dapat
berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Bapak/Ibu yang saya hormati, pada kesempatan ini saya ingin mengajak Bapak dan Ibu
serta saudara-saudara saya yang terkasih untuk mengulas tentang Pendidikan Menurut Hindu.
Mengapa kita memfokuskan perhatian pada pendidikan. Enstein pernah berkata : dengan
penguasaan ilmu pengetahuan hidup akan menjadi mudah, dengan seni hidup akan jadi indah dan
dengan pemahaman akan ajaran agama hidup akan menjadi damai. Saya yakin kita yang ada
disini sudah menikmati betapa mudahnya kita mengakses saudara-saudara kita yang berada di
Amerika, Rusia, juga daratan Eropah lainnya hanya dengan memanfaatkan fasilitas telpon.
Melalui jaringan telpon kita dapat bercakap-cakap tentang perkembangan ekonomi, kemajuan
iptek sampai dengan kerinduan hati terhadap sanak keluarga kita yang sedang tidak ada di
samping kita. Saat ini tepatnya tanggal 22 Mei pukul 3.44 ISS meluncurkan roket membawa
sebuah Dragon untuk mengawali promosi tour ke luar angkasa. Alangkah hebatnya ilmu
pengetahuan itu.
Bapak dan Ibu yang saya hormati, agama Hindu mengajarkan agar kehidupan ini diawali
dengan penanaman sendi-sendi ilmu pengetahuan. Salah satu contoh nyata di depan kita :
bagaimana sakralnya perayaan hari raya saraswati yang diyakini sebagai tonggak awal turunnya
ilmu pengetahuan. Pada hari itu umat Hindu diwajibkan melakukan upawasa dan menundukkan
kepala dan memusatkan perhatian terhadap Dewi Saraswati yang diyakini sebagai penguasa ilmu
pengetahuan. Hari raya Saraswati ini diperingati pada Hari Sabtu Keliwon Wuku Watugunung
yang merupakan hari terakhir dari wuku terakhir menurut perhitungan kalender Jawa Bali.
Saudara sedharma terkasih, perayaan Saraswati pada hari terakhir wuku terakhir kalender Jawa
Bali mempunyai makna yang sangat agung yakni ”Umat Hindu diwajibkan untuk memulai
hidupnya dengan Mengusahakan Untuk Membekali Diri Dengan Ilmu Pengetahuan yang seluas-
luasnya”. Dalam kitab Nitisastra disebutkan : ”Orang yang tidak berilmu bagaikan bunga pohon
canging – walaupun bentuknya indah dengan warnanya yang merah merekah tetapi tidak diburu
orang karena tidak ada bau harumnya”. Demikianlah mereka yang tidak berpengetahuan serasa
Bapak-Ibu yang saya hormati Agama Hindu melukiskan sang penguasa pengetahuan
sebagai seorang dewi yang sangat cantik bertangan empat dengan gelar saraswati. Artinya setiap
insan diwajibkan untuk memburu ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk bekal hidupnya
sehingga kehidupannya sebagai manusia dapat berharga. Sang dewi yang cantik dilukiskan
memiliki empat buah tangan ; artinya dengan ilmu pengetahuan yang cukup kita akan dapat
menjangkaun semua penjuru dalam waktu yang cukup singkat. Hal itu tampak jelas dihadapan
kita, dengan sarana telekomunikasi kita tidak butuh waktu yang lama untuk menghubungi dan
bercakap-cakap dengan saudara-saudara kita yang ada di Antariksa. Rsi Kathayana menegaskan
Bapak-Ibu yang saya hormati, Bhagawan Wararuci memberikan pencerahan agung kepada kita:
Terjemahannya, ”jika menginginkan kehidupan yang bahagia di dunia dan kedamaian di akhirat
maka swadharma harus dijunjung tinggi”, Swadharma orang-orang yang disayang tuhan adalah
hidup sebagai brahmacari yaitu mendulang ilmu pengetahuan, setelah berhasil memperoleh
pekerjaan yang layak sesuai dengan besik pengetahuannya maka bolehlah ia melangkah ke
jenjang yang kedua yaitu memasuki tahap hidup sebagai grihasta (berumahtangga, menikmati
kenikmatan duniawi di bawah naungan dharma), tanpa melupakan pemujaan kepada para leluhur
juga sang hyang widhi). Dengan cara demikian maka kebahagiaan didunia dan diakhirat akan
Bapak-ibu yang, makna ilmu pengetahuan yang begitu tinggi tidak akan dapat
dicapai tanpa usaha dan metode yang memadai. Hindu menekankan agar pendidikan itu dimulai
sedini mungkin, sejak dalam kandungan bahkan ketika proses pencarian bibit dimulai. Dalam
pustaka suci Hindu disebutkan anak yang lahir dilahirkan tanpa ikatan pewidi-widanaan disebut
rare dia-diu. Untuk rare dia-diu ada beberapa hal yang tidak dibolehkan untuk dilakukan. Kalau
dipandang sekilas tampak sangat kejam, tetapi itulah desiplin, jika tidak ditetapkan aturan yang
tegas maka akan terlahir generasi-generasi yang tidak berbudi-pekerti. Selanjutnya ketika si janin
telah berusia 7 bulan kalender ketika sewajarnya organ tubuhnya sudah lengkap dilaksana
pendidikan Hindu yakni : ”Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun,
berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau usianya sudah
dewasa (di atas 16 tahun) perlakukanlah ia sebagai temen” (II.18). Jika dicermati sukta-sukta di
atas menegaskan bahwa desiplin harus ditegaskan. Apabila desiplin lemah maka apapun yang
rencanakan tidak akan berhasil. Demikian konsep pendidikan menurut ajaran agama Hindu; yaitu
senantiasa menetapkan dan menerapkan desiplin yang tinggi. Lemahnya desiplin akan membawa
dampak yang sangat tidak baik, yaitu generasi yang lemah dan tidak mandiri, dan itulah
kegagalan yang paling besar dan mendasar, sebab generasi muda adalah tiang-tiang penyangga
dunia, tegak atau runtuhnya negara ditentukan oleh Generasi Mudanya. Penerapan desiplin pada
tempat dan waktu yang tepat akan menghasilkan generasi yang didambakan (putra suputra) yaitu
generasi berbudi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani dan rohani dan senantiasa
Umat sedharma yang berbahagia demikianlah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan
ini semoga ada manfaatnya dan dapat memberikan pencerahan kepada kita semua. Lebih dan
kurangnya saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sebagai penutup terimalah salam Paramasanthi
dari saya;
Om Swastiastu,
Om Awignam Astu Namo Sidham,
Dalam suasana yang bahagia dan damai ini marilah kita panjatkan puji dan syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan
kesehatan untuk dapat berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang
Bapak/Ibu .......Umat sedharma yang saya hormati, terlebih dahulu saya ingin
menyampaikan bahwa pada kesempatan ini saya berdiri disini bukanlah untk menggurui atau
bapah dan ibu semua, akan tetapi sebagai umat manusia tentunya kita menyadari bahwa tidak ada
manusia yang sempurna, oleh karena itu saya diminta hadir disini untuk mengingatkan Bapak dan
ibu semua. Pada kesempatan ini saya akan mengajak bapak/ibu untuk mengkaji mengapa kita
Bapak dan ibu umat sedharma yang saya hormati; sebagaimana biasa setiap piodalan pada
salah satu Pura, kita akan selalu berusaha untuk nangkil ke Pura tersebut untuk bersama-sama
menghaturkan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti apa yang kita lakukan
pada hari ini. Mungkin ada yang bertanya ” Mengapa kita ke Pura”. Inilah keutamaan manusia
yang melalui idepnya sadar bahwa ada tujuan tertinggi yang ingin dicapainya dalam kelahiran ini
yaitu ”Mokshartam Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma” yaitu kesejahteraan hidup di dunia dan
kedamaian di akhirat. Semua umat beragama sadar salah satu cara mendekatkan diri dengan Ida
Umat sedharma; apakah yang dimaksud Pura. Pura berasal dari kata Pur (bahasa
Sansekerta) yang berarti benteng atau tembok. Secara semantik Pura berarti tempat yang dijaga
kesuciannya dengan memagari atau memasang tembok pembatas sehingga binatang atau orang-
orang yang tidak berkepentingan untuk melakukan persembahyangan atau hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan Pura tidak masuk kedalammnya. Kesakralan sebuah Pura akan senantiasa
diusahakan oleh seluruh umatnya, hal itu dapat kita lihat melalui proses pendirian sebuah Pura
Tempat suci adalah suatu tempat yang diyakini layak untuk menstanakan dan memuja Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala Prabhawa (manifestasinya) serta Atma Sidha Dewata
(roh suci leluhur). Dalam pembangunan tempat suci bagi umat Hindu (khususnya suku Bali),
pada prinsipnya didasarkan atas petunjuk Siwa Tattwa yang dikaji dalam berbagai judul lontar
Ada 5 prinsip dasar yang dipakai pedoman dalam memilih dan menentukan pembangunan sebuah
1. Hulu, mengambil tempat di posisi Utara (Kaja) atau Timur. Kangin yaitu arah gunung
2. Di gunung/ lereng gunung adalah di tempat ketinggian yang dipandang bebas dari polusi
3. Dekat Sumber Air, seperti danau, sungai (campuhan), mata air (kelebutan), tepi pantai dan
sebagaina.
4. Ditempat atau tanah yang sakral (tenget), yang dinilai mempunyai nilai kesucian dan
kekuatan gaib.
5. Ditempat yang tanahnya bebau harum dan terasa manis, yaitu suatu tempat yang
tanahnya dinilai mempunyai pancaran alam dewata dan mengandung kekuatan magis.
Selain pemilihan tempat, maka dalam pembanguna Pura juga didasarkan atas falsafah
ditugaskanlah seorang atau beberapa orang Pinandita/Pemangku yang bertugas merawat dan
menyelenggarakan aci atau upcara yajnya di pura itu. Dengan demikian peran Pemangku
dalam kehidupan umat Hindu itu penting, mereka tidak hanya bertugas melayani umat, tapi
Umat sedharma yang saya hormati, selain Pura juga ada katagori yang dapat disebut
Rgveda VIII. 6. 28
’Di tempat-tempat yang hening (upahvare), di gunung-gunung dan pada pertemuan dua
sungai (campuhan), disanalah para maharsi memuju untuk mendapatkan pemikiran yang suci.
b. Air dari mata air maupun laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan
‘Sejumlah besar air, bersama dengan aliran lainnya menyatu menjdai sungai yang
baik dari mata air maupun dari laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan.
c. Di mana tempat suci (pemujaan) didirikan dengan aktivitas ritualnya, disanalah kemakmuran
Atharvaveda XII. 1. 38
‘Di mana tempat didirikannya ruang suci pemujaan dengan kamar-kamar tempat menyimpan
kekayaan (makanan), tempat dipancangkannya tiang upacara Yajna berbentuk Yupa, tempat
mempersembahkan aneka upacaradan soma kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
Rgveda I. 91. 13
’Ya Tuhan sumber kebahagiaan, semoga Engkau berkenan bersthana dalam hati nurani kami
(sebagai pura), seperti halnya sapi perah dipadang rumput yang subur, seperti pemuda dalam
bahas tadi tempat memuja Tuhan itu tidak hanya di Pura, tapi mengapa kita harus ke Pura?
Baiklah umat sedharma, dalam hal ini saya yakin bahwa tidaklah salah jika kita mengambil
perumpamaan seekor sapi. Sapi adalah binatang yang menghasilkan susu yang sangat
dibutuhkan oleh setiap orang. Akan tetapi jika ingin mendapatkan susu yang banyak dan baik
maka kita karus mencari sapi yang baik, gemuk dan sehat, selanjutnya memerah susu pada
putingnya, dengan demikian barulah kita akan mendapatkan susu yang banyak.
Oleh karena itu; jika kita bersungguh-sungguh ingin mendekatkan diri kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, agar memperoleh pencerahan yang kita butuhkan maka kita
harus memilih tempat yang baik dan tepat untuk itu. Dalam hal ini tempat yang kita bisa kata
gorikan tepat untuk itu adalah Pura,. Menga[pa demikian; seperti yang telah kita bahas tadi,
Umat sedharma yang saya cintai demikianlah sedikit dharma wacana yang dapat
saya sampaikan pada hari ini, semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Selanjutnya saya
Om Swastiastu,
Dalam suasana yang bahagia dan damai ini marilah kita panjatkan puji dan syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan
kesehatan untuk dapat berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang
Bapak/Ibu .......Umat sedharma yang saya hormati, pada hari ini saya akan menyampaikan
Mengapa Tri Hita Karana? Karena saya yakin diantara kita tidak ada yang tidak menginginkan
kebahagiaan. Sebagai umat Hindu sudah sepatutnyalah kita bangga karena telah memiliki konsep
dasar untuk menciptakan kebahagiaan yaitu dengan melaksanakan ajaran Tri Hita Karana dengan
menjalin dan menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta, dengan sesama saudara
umat manusia, demikian juga dengan lingkungan/alam semesta. Seperti diamanatkan dalam
Artinya:
Pada jaman dahulu, Prajapati menciptakan jagat raya ini atas dasar Yajña dan bersabda :
wahai umat manusia, dengan Yajña ini engkau berkembang biak dan jadikan bumi ini
Ida Sang Hyang Widhi adalah ibu yang melahirkan alam semesta ini, sekaligus yang memberikan
penghidupan kepada kita. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kita selalu menghormati dan
menghaturkan sembah bhakti kehadapanNya. Alangkah durhakanya orang yang tidak bisa
memberikan penghormatan kepada penciptanya. Ajaran inilah yang sepatutnya diamalkan dalam
Bila kita menentukan satu titik dan dari sana kita menarik garis lurus ke atas yaitu
menjaga hubungan yang serasi dan harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta,
dan penguasa alam semesta dengan segala isinya sebagai visualisasinya dengan melakukan
yajna pada setiap kesempatan baik berupa Tri Sandhya, doa sehari-hari, persembahyangan pada
hari-hari suci. Demikian juga mengadakan persembahan secara Nitya maupun Naimittika
karma. Dengan senantiasa bersujud kepada Ida Sang Hyang Widhi maka tujuan hidup yang
sejati akan tercapai. Seperti penjelasan Bhagawadgita Bab. XVIII sloka 65:
Mam evaisyasisatatyamte
Pratijane priyosinme.
Artinya:
dengan-Ku, dengan demikian engkau akan tiba pada-Ku, Aku berjanji setulusnya padamu
Dengan selalu sujud bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi maka niscaya kita akan sampai
pada-Nya.
Kedua jika kita menarik garis lurus dari kiri ke kanan sebagai simbolis jalinan hubungan
yang serasi dan harmonis dengan sesama manusia; kita harus sadar bahwa umat manusia adalah
mahluk sosial, manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, manusia saling
membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dia harus saling
melindungi, saling menjaga, dan saling menyayangi. visualisasinya marilah kita mencoba
memperhatikan apa kira-kira yang dapat kita lakukan untuk saudara-saudara kita yang kurang
beruntung? Mungkinkah kita bisa menyediakan pengobatan gratis bagi mereka yang sangat
membutuhkan? Mungkinkah kita bisa menyediakan pendidikan yang lebih murah? Untuk
meningkatkan SDM bangsa Indonesia, mengingat di Indonesia saat ini pendidikan sangatlah
mahal, ‘Perguruan Tinggi’ hanyalah impian. Padahal kita tahu tanpa pengetahuan negara kita
Umat sedharma, kalau kita memperhatikan bagaimana binatang mencintai dan melindungi
anak-anaknya, maka akan tampak sangat bertentangan dengan ulah manusia yang sering kita
tonton di TV; seorang anak menyiksa bahkan membunuh orangtuanya tidak jarang juga kita
dengar seorang bapak membunuh anaknya, dimanakah moral dan mentalitas yang dianugrahkan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehinga kita berani mengatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang mulia. Padahal kenyataannya jauh dari semua itu. Namun saya yakin diantara kita tidak
akan terjadi hal-hal yang menakutkan seperti itu, karena kita memiliki ajaran Tri Hita Karana,
yang kita harapkan dapat menuntun kita untuk saling menyayangi, dan saling mengasihi. Cinta
kasih adalah suatu bentuk pelayanan murni agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.
Selanjutnya bila garis lurus tadi kita tarik dengan panjang yang sama kebawah sebagai
simbul menjalin dan menyelaraskan hubungan dengan lingkungan demikian juga dengan mahluk-
mahluk ciptaan Tuhan yang kadar manifestasinya lebih rendah dari manusia, baik itu butha kala,
jin, binatang dan sebagainya. Vivekananda seorang Yogi yang sangat agung di abad ke 20
mengatakan; ‘Tuhan meresap pada setiap ciptaannya, hanya prekuensi keilahiannya saja yang
berbeda, oleh karena itu menyayangi, menolong, menghormati setiap ciptaan Tuhan merupakan
pelayanan kepada Tuhan itu sendiri’. Visualisasinya adalah dengan menjaga agar lingkungan kita
selalu dalam keadaan bersih, tidak membuang sampah sembarangan, menanam pepohonan,
paling tidak pot bunga yang kita butuhkan untuk persembahyangan sehari-hari, termasuk tidak
merokok pada tempat-tempat umum sebab bisa mengganggu orang-orang di sekeliling kita.
Dalam usaha menjaga lingkungan ada satu sloka di dalam Nitisastra yang menjelaskan: bagaikan
Singa dengan Hutan, bagaikan Permata dengan Cincin/Cangkoknya. Apabila si Singa tidak
senantiasa menjaga dan mengawasi hutan tempat tinggalnya maka orang-orang akan dengan
bebasnya menebang pohon-pohon yang ada di Hutan. Apabila hutan nya gundul maka si
Singapun akan dikejar dan dibinasakan oleh Pemburu, demikian juga sebaliknya jika hutan tidak
memberikan perlindungan dan tempat yang nyaman untuk bersembunyi bagi Singa, maka orang-
Artinya:
Siapapun yang dengan sujud bhakti kepadaku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum
bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakta persembahan yang
sangat suci.
Umat sedharma, mengapa unsur-unsur dari pada yajna itu terdiri dari, daun-daunan, bunga,
buah-buahan, air, api, dan yang lainnya? Dalam hal ini saya yakin tidaklah salah jika kita
memaknai pesan yang tersurat dalam sloka ini mengamanatkan kepada kita agar senantiasa
menjaga lingkungan dengan menanam, merawat tumbuh-tumbuhan sehingga dia bisa hidup
subur, menghasilkan bunga yang banyak, dan wangi, serta berbuah yang lebat. Selain dapat
digunakan untuk persembahan juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
sehingga negara kita tidak lagi krisis pangan. Aplikasi dari sloka ini dapat kita lihat pada setiap
pekarangan umat Hindu pasti ada tanaman bunga, dan ini menjadi ciri khas rumah umat Hindu
Apabila ketiga garis tadi kita hubungkan, secara horisontal dari kiri kekanan menjaga
hubungan yang harmonis dan serasi dengan sesama, secara vertikal dari bawah keatas/dari atas
kebawah dengan panjang yang sama menjalin hubungan yang serasi dengan Ida Sang Hyang
Widhi demikian juga dengan lingkungan maka akan tampak sebuah tampak dara yang merupakan
lambang keseimbangan, yang kemudian berkembang menjadi swastika (lambang Agama Hindu),
selanjutnya berkembang menjadi Padma. Bila ketiga hubungan ini dijaga secara serasi, dan
harmonis maka cosmic alam semesta ini akan menjadi seimbang, indah, dan serasi sehingga
manusia akan dapat menikmati kehidupan yang tenang, aman, dan tentram maka terciptalah
kedamaian.
Umat sedharma yang saya hormati, sedemikian indah kontek-kontek dalam Pustaka suci Hindu.
Mengapa kenyataan yang kita lihat sekarang jauh berbeda bahkan boleh dikatakan berlawanan?
Pertiwi seakan-akan tak mampu lagi menyangga dunia sehingga terjadilah bencana dimana-mana
silih berganti seakan tak pernah berhenti, keadaan ini yang patut kita cermati mengapa bisa
terjadi?
- Apakah hubungan kita dengan Ida Sang Hyang Widhi sebagai Pencipta dan pemelihara Alam
- Apakah diantara kita masih ada yang menganggap sembahyang itu bukan kebutuhan?
- Apakah kita sudah menjalin hubungan yang serasi, selaras dan seimbang dengan sesama
- Apakah kita sudah menjaga hubungan yang selaras dan harmonis dengan lingkungan kita,
paling tidak sudahkah kita menanami halaman rumah kita dengan tumbuh-tumbuhan, ataukah
Pertanyaan itu tidak perlu dijawab dengan kata-kata, akan tetapi marilah kita koreksi diri
kita sendiri, kalau hal itu sudah dilakukan marilah kita teruskan, dan kalau belum marilah kita
jaga memulainya dengan menjaga kebersihan lingkungan kita yang telah banyak memberikan
Umat sedharma yang berbahagia demikianlah dharma wacana yang dapat saya sampaikan
pada kesempatan ini semoga ada manfaatnya dan dapat memberikan pencerahan kepada kita
Umat sedharma yang saya cintai demikianlah sedikit dharma wacana yang dapat saya
sampaikan pada hari ini, semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Selanjutnya saya tutup
Om Swastiastu,
Om Awignam Astu Namo Sidham,
Dalam suasana yang bahagia dan damai ini marilah kita panjatkan puji dan syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan
kesehatan untuk dapat berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang
Bapak/Ibu .......Umat sedharma yang saya hormati, pada hari ini saya akan menyampaikan
Bapak/Ibu umat sedharma yang saya hormati, hari ini kita menunduk mencakupkan
tangan mengadakan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam kemaha kuasaan
beliau sebagai Sang Hyang Dunggulan. Dunggulan berasal dari kata unggul yang juga berarti
menang. Hari Raya ini lebih dikenal dengan sebutan Hari Raya Galungan yang juga berarti
menang. Hari raya Galungan dirayakan hampir oleh sluruh umat Hindu hanya saja sebutan dan
waktunya yang berbeda-beda. Misalnya bagi umat Hindu suku India menyebutnya Hari Rajja
Wijaya Dasami, sedangkan umat Hindu di Jaya menyebutnya hari Dunggulan, selanjutnya baik
kalau kita coba mencari apakah sebenarnya makna dari perayaan Hari Raya Galungan?,
Khusus untuk di Bali Peringatan Galungan telah dimulai sejak, tahun 882 Masehi. Ini
disebutkan dalam lontar Purana Bali Dwipa, yang menyebutkan; Punang Aci Galungan ika
ngawit, Bu, Ka, Dunggulan sasih ka Catur, tanggal 15, Isaka 804, Bangun Indria Buwana Ikang
Bali Rajya, yang artinya; Perayaan hari Raya Galungan itu pertama-tama dirayakan pada hari
Rabu Keliwon Wuku Dunggulan, Sasih Kapat, Tanggal 15, Tahun 804 Saka (882 Masehi).
Selanjutnya disebutkan; keadaan Pulau Bali saat itu tenang, aman dan tentram bagaikan Indra
Loka. Tapi entah apa pertimbangannya, sejak tahun 1103 Saka Hari Raya Galungan tidak
diperingati lagi. Sehingga terjadilah hal-hal yang sangat menyedihkan, musibah datang tidak
henti-hentinya, umur para pejabat keraton konon menjadi pendek, pemerintahan kacau balau.
Umat sedharma yang saya hormati; perayaan Galungan dimulainya tidak pada hari ini,
akan tetapi sudah dimulai sejak sebulan yang lalu, misalnya pada hari Sabtu keliwon wuku
wariga (tumpek uduh), 25 hari menjelang Galungan umat Hindu mendoakan agar tumbuh-
tumbuh hidup subur, memberikan daun, buah, bunga, yang banyak sehingga bisa digunakan pada
Enam hari menjelang Galungan disebut sugihan Jawa. Kata Jawa yang dimaksudkan
disini disamakan dengan ”Jaba” yang berarti ”Luar”. Lontar Sunarigama menyebutkan: ”Sugihan
Jawa Ngaran, Kalinganya Pamrastista Bhatra Kabeh yang artinya: Sugihan Jawa adalah Hari
Pensucian Para Dewa Semua. Sugihan Jawa bermakna mengadakan penyucian terhadap bhuwana
Agung (bumi ini), yaitu yang berada di luar dirinya. Sugihan Jawa dirayakan pada Hari Kamis
Wage Sungsang. Pada sugihan Jawa umat Hindu mengadakan penyucian pada setiap pura,
pelinggih, pratima serta alat alat lain yang akan dipergunakan pada hari raya Galungan yang
disebut Mererebu.
Sedangkan 5 hari menjelang Galungan disebut hari Sugihan Bali. Untuk Sugihan Bali
Sunarigama menyebutkan : Kalinganya amrastista raga tawulan yang artinya; ini adalah hari
yang baik untuk menyucikan badan/jasmani. Oleh karena itulah disebut hal-hal yang
menyangkut diri pribadi (Bali). Lima hari menjelang Galungan disebut sugihan Bali; Pada hari
sugihan Jawa umat Hindu mengadakan penyucian terhadap diri (asuci laksana).
Pada hari Minggu Paing Wuku Dunggulan (tiga hari menjelang Galungan) disebiutkan
bahwa Sang Kala Tiga Wisesa Turun mengganggu manusia. Umat Hindu di Bali menyebut
Penapean, umat Hindu biasanya membuat tape yang dijadikan bahan sesajen, demikian juga 2
hari menjelang galungan umat mulai mempersiapkan kue-kue yang akan dijadikan persembahan,
kata ”nampah” bahasa Bali yang berarti memotong. Secara realita pada hari itu hampir setiap
orang pesta makanan, sehingga memotong hewan. Umumnya hewan yang dipotong adalah
ayam, babi dan yang lainnya. Dalam lontar tersebut juga dijelaskan bahwa; pokok perayaan pada
hari ini adalah mempersembahkan sesajen berupa byakala; yang bertujuan untuk menyomyakan
atau menenangkan para bhuta kala sehingga kita dapat merayakan Galungan dengan hidmat.
Umat sedharma yang berbahagia, secara realita kita telah merayakan Galungan, yang
ingin saya tanyakan, apakah kira-kira makna yang ingin kita raih setelah perayaan ini. Untuk
menjawab pertanyaan tadi ada baiknya kita mengkaji dari nilai-nilai filosofi yang tersimpan
Galungan adalah Hari yang disakralkan, dimana diharapkan umat Hindu dapat
membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma, dan mana dari budhi atma yaitu
berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberikan kemampuan
bahwa kehidupan yang damai/bahagia (ananda) baru akan dapat dicapai setelah dapat menguasai
keraksasaan. Jadi inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran
secara tegas; Buda keliwon dunggulan ngaran Galungan, patitis ikang jnana samadhi, galang
apadang maryakena sarwa byaparaning idep. Artinya: Rabu Keliwon Dunggulan namanya
Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk
Tiga hari berturut-turut menjelang Galungan disebut Kala Tiga. Pada hari-hari ini kita
harus menghidari perselisihan walaupun untuk hal yang kecil, sebab jika hal tersebut sampai
terjadi dikhawatirkan akan menjadi besar sebab ditunggangi oleh Sang Hyang Kala Tiga. Pada
hari Penampahan kita memotong ayam, ayam mempunyai kebiasaan agresif untuk merebut milik
orang lain. Misalnya kalau kita melemparkan beras kehadapannya, jika ada ayam lain maka
sebisanya ayam tersebut pasti diusirnya, karena itulah ayam diambil sebagai simbul sifat rajas.
Selanjutnya Babi adalah binatang yang sangat malas, pekerjaannya hanyalah makan dan tidur
saja; oleh karena itu dia diambil untuk mewakili sifat tamas (malas).
Pemilihan hewan sebagai simbolis pengendalian diri sepertinya tidaklah berlebihan, sebab
kemajuan teknologi saat ini telah banyak memberikan kontribusi bahwa tubuh ini dibentuk
makanan yang dikonsumsi, watak seseorang juga sangat dipengaruhi oleh makanan yang
dikonsumsinya.
Untuk itu kalau kita mencoba mengutif maknanya; barangkali tidaklah salah jika kita
simpulkan bahwa melalui Perayaan Hari Raya Galungan, diharapkan segenap umat Hindu dapat
memenangkan Dharma atau kebenaran. Hal ini hendaknya diaplikasikan dengan senantiasa
tumpek uduh sebagai simbolis cinta lingkungan). Senantiasa selalu taat melaksanakan
pengendalian diri serta selalu menghidari percekcokan sebagai filosofisnya adalah momotong
ayam yang senantiasa memiliki sifat rajas yang tinggi. Sifat-sifat rajas hendaknya senantiasa
dikendalikan, sehingga tidak timbul keinginan untuk menguasai hak milik orang lain, itulah
dalam hal ini disimboliskan dengan memotong babi. Sifat malas yang berlebihan juga haruslah
dikendalikan, jika tidak maka dunia ini tak akan pernah maju. Dengan terkendalinya sifat-sifat
rajas dan tamas, maka dengan sendirinya sifat-sifat Sattwam akan muncul, sehingga terwujudlah
Umat sedharma yang saya cintai demikianlah sedikit dharma wacana yang dapat saya sampaikan
pada hari ini, semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Selanjutnya saya tutup pertemuan kita ini
Dalam suasana yang bahagia dan damai ini marilah kita panjatkan puji dan syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan
kesehatan untuk dapat berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang
Hyang Widi Wasa. Bapak/Ibu .......Umat sedharma yang saya hormati, pada hari ini saya akan
Umat sedharma yang berbahagia, hari ini kita bersama-sama menundukan kepala
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai wujud sembah bahakti dalam rangka menyambut
Piodalan Aditya Jaya Rawamangun. Piodalan / Pawedalan berasal dari kata wedal /medal yang
berarti lahir. Pawedalan di kalangan masyarakat Hindu juga mengandung makna untuk
mendirikan, serta meresmikan sebuah tempat menjadi tempat suci (tempat ibadah). Dalam
PUJAWALI berasal dari dua kata yaitu Puja dan Wali. Puja berarti mengadakan
pemujaan; Wali berarti kembali. Pujawali berarti mengadakan pemujaan kembali, berkali-kali
setiap tahun, baik itu tahun wuku yang datangnya setiap 210 hari sekali, atau ada juga yang
memakai tahun sasih yang datangnya setiap 365 hari sekali. Perayaan Piodalan adalah suatu
bentuk upacara yadnya yang diselenggarakan secara rutinitas atau berkala (Naimittika Karma).
Hal ini mungkin saja menimbulkan pertanyaan ”Apakah Pemujaan Terhadap Ida Sang Hyang
Widhi hanya Pada Setiap Piodalan?”. Jawabnya tentu saja tidak, secara rutinitas umat Hindu
wajib mengadakan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi tiga kali dalam sehari yaitu pagi
hari ketika matahari menjelang terbit dari peraduannya, siang hari ketika matahari terasa tepat
betarada di atas kepala kita, akan tetapi karena satu hal tertentu kita jarang kita menyadari bahwa
matahari sudah tegak menyangga dunia maka biasanya ditetapkan menjelang jam 12 siang,
selanjutnya sore hari ketika matahari beranjak masuk keperaduannya. Hal ini dijelaskan dalam
kitab Manawa Dharma Sastra Bab II sloka 102; bahwa barang siapa yang berdiri tegak dengan
sujud bhakti melantunkan matram gayatri sambil menunggu matahari terbit maka dia akan
terbebas dari dosa-dosa yang dilakukan selama malam sebelumnya. Bagi yang berdiri tegak
melantunkan mantram Gayatri maka dia akan terbebas dari dosa-dosa yang dilakukan sejak pagi
menjelang siang, demikian juga barang siapa yang dengan sujud bhakti duduk bersila/bersimpuh
di sore hari melantunkan mantram gayatri sambil menunggu matahari terbenam di peraduannya
maka dia akan terbebas dari dosa-dosa yang telah dilakukan dari siang sampai sore itu.
Umat sedharma yang saya hormati; Secara Naimitika Karma, pemujaan terhadap Ida Sang
Hyang Widhi dilakukan setiap Purnama (pagi harinya Brahma), Tilem (sore harinya Brahma),
Purwanining tilem ke Pitu (Ciwa Ratri), Penanggal apisan sasih kedasa (Nyepi) bagi yang
penetapannya berdasarkan tahun baru Caka. Sedangkan yang penetapannya berdasarkan tahun
wuku Pujawali biasanya dilaksanakan pada tiap-tiap; Rabu keliwon, Sabtu Keliwon, Selasa
ditetapkannya suatu tempat sebagai tempat suci, selanjutnya sebagai seorang bhakta Pujawali
juga berfungsi sebagai media komunikasi antara pemuja dengan yang dipuja, sekaligus juga
bermakna sebagai penyucian bagi yang memuja dengan senantiasa melantunkan doa-doa dan
melantunkan doa dan kidung suci maka diyakini tempat tersebut akan memiliki vibrasi yang
semakin kuat sehingga mampu memberikan keteduhan, ketenangan dan kenyamanan bagi yang
Umat sedharma yang saya hormati; makna apakah yang dapat kita petik melalui perayaan
Piodalan di Pura Taman Sari Halim Perdana Kusuma ini?. Mengingat Piodalan berarti kelahiran
/ lahir marilah kita maknai agar setiap saat lahir, semangat-semangat baru, kader-kader baru,
mengagungkan dharma, mengidungkan dharma. Dengan tegaknya dharma di atas bumi ini maka
niscaya masyarakat kita yang sedang kocar-kacir dalam segala bidang kehidupan akan menjadi
Umat sedharma yang saya cintai, demikianlah dharma wacana yang dapat kami
sampaikan pada pertemuan kita hari ini yaitu tentang Makna Piodalan serta Rangkaian
upacaranya semoga ada manfaatnya bagi kita semua, kurang dan lebihnya kami minta maaf,
selanjutnya semoga Sang Hyang Widhi Wasa memberikan petunjuk atas segala kekurangannya.