Anda di halaman 1dari 24

NASKAH DHARMA WACANA

Ni Nyoman Sugi Widiastithi


NASKAH DHARMA WACANA
PENDIDIKAN MENURUT HINDU

Om Awignam Astu Namo Sidham,

Om Swastiastu,

Om Anobadrah Krtawoyantu Wiswatah

Yang terhormat

Yang saya hormati

Yang saya hormati Bapak/Ibu Panitia Penyelenggara Dharma Shanti Nyepi Tahun Caka 1934

beserta para undangan terkasih yang sangat saya hormati pula.

Berbahagia sekali saya dapat menemani Bapak/Ibu pada kesempatan yang sangat langka

ini. Bapak/Ibu adalah orang-orang terpilih sehingga berkesempatan untuk menghadiri acara

Dharma Shanti yang diselenggarakan oleh Indosat saat ini. Tidak semua orang memperoleh

anugrah untuk menikmati kesempatan berkumpul pada saat yang damai seperti ini, untuk itu

ijinkanlah saya mengajak Bapak/Ibu untuk memanjatkan puji dan syukur kehadapan Ida Sang

Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan kesehatan untuk dapat

berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Bapak/Ibu yang saya hormati, pada kesempatan ini saya ingin mengajak Bapak dan Ibu

serta saudara-saudara saya yang terkasih untuk mengulas tentang Pendidikan Menurut Hindu.

Mengapa kita memfokuskan perhatian pada pendidikan. Enstein pernah berkata : dengan

penguasaan ilmu pengetahuan hidup akan menjadi mudah, dengan seni hidup akan jadi indah dan

dengan pemahaman akan ajaran agama hidup akan menjadi damai. Saya yakin kita yang ada

disini sudah menikmati betapa mudahnya kita mengakses saudara-saudara kita yang berada di

Amerika, Rusia, juga daratan Eropah lainnya hanya dengan memanfaatkan fasilitas telpon.
Melalui jaringan telpon kita dapat bercakap-cakap tentang perkembangan ekonomi, kemajuan

iptek sampai dengan kerinduan hati terhadap sanak keluarga kita yang sedang tidak ada di

samping kita. Saat ini tepatnya tanggal 22 Mei pukul 3.44 ISS meluncurkan roket membawa

sebuah Dragon untuk mengawali promosi tour ke luar angkasa. Alangkah hebatnya ilmu

pengetahuan itu.

Bapak dan Ibu yang saya hormati, agama Hindu mengajarkan agar kehidupan ini diawali

dengan penanaman sendi-sendi ilmu pengetahuan. Salah satu contoh nyata di depan kita :

bagaimana sakralnya perayaan hari raya saraswati yang diyakini sebagai tonggak awal turunnya

ilmu pengetahuan. Pada hari itu umat Hindu diwajibkan melakukan upawasa dan menundukkan

kepala dan memusatkan perhatian terhadap Dewi Saraswati yang diyakini sebagai penguasa ilmu

pengetahuan. Hari raya Saraswati ini diperingati pada Hari Sabtu Keliwon Wuku Watugunung

yang merupakan hari terakhir dari wuku terakhir menurut perhitungan kalender Jawa Bali.

Saudara sedharma terkasih, perayaan Saraswati pada hari terakhir wuku terakhir kalender Jawa

Bali mempunyai makna yang sangat agung yakni ”Umat Hindu diwajibkan untuk memulai

hidupnya dengan Mengusahakan Untuk Membekali Diri Dengan Ilmu Pengetahuan yang seluas-

luasnya”. Dalam kitab Nitisastra disebutkan : ”Orang yang tidak berilmu bagaikan bunga pohon

canging – walaupun bentuknya indah dengan warnanya yang merah merekah tetapi tidak diburu

orang karena tidak ada bau harumnya”. Demikianlah mereka yang tidak berpengetahuan serasa

tidak berguna karena tidak menjadi perhatian orang banyak.

Bapak-Ibu yang saya hormati Agama Hindu melukiskan sang penguasa pengetahuan

sebagai seorang dewi yang sangat cantik bertangan empat dengan gelar saraswati. Artinya setiap

insan diwajibkan untuk memburu ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk bekal hidupnya

sehingga kehidupannya sebagai manusia dapat berharga. Sang dewi yang cantik dilukiskan

memiliki empat buah tangan ; artinya dengan ilmu pengetahuan yang cukup kita akan dapat
menjangkaun semua penjuru dalam waktu yang cukup singkat. Hal itu tampak jelas dihadapan

kita, dengan sarana telekomunikasi kita tidak butuh waktu yang lama untuk menghubungi dan

bercakap-cakap dengan saudara-saudara kita yang ada di Antariksa. Rsi Kathayana menegaskan

bahwa musuh utama manusia adalah ”kebodohan”.

Bapak-Ibu yang saya hormati, Bhagawan Wararuci memberikan pencerahan agung kepada kita:

Ye dharmamewa prathamam dharmena labdhva tu dhanani loke,


daranavapya kratubhiryajate tesaa mayam caiva parasca lokah.

Terjemahannya, ”jika menginginkan kehidupan yang bahagia di dunia dan kedamaian di akhirat

maka swadharma harus dijunjung tinggi”, Swadharma orang-orang yang disayang tuhan adalah

hidup sebagai brahmacari yaitu mendulang ilmu pengetahuan, setelah berhasil memperoleh

pekerjaan yang layak sesuai dengan besik pengetahuannya maka bolehlah ia melangkah ke

jenjang yang kedua yaitu memasuki tahap hidup sebagai grihasta (berumahtangga, menikmati

kenikmatan duniawi di bawah naungan dharma), tanpa melupakan pemujaan kepada para leluhur

juga sang hyang widhi). Dengan cara demikian maka kebahagiaan didunia dan diakhirat akan

dapat dinikmati. Demikian sabda beliau.

Bapak-ibu yang, makna ilmu pengetahuan yang begitu tinggi tidak akan dapat

dicapai tanpa usaha dan metode yang memadai. Hindu menekankan agar pendidikan itu dimulai

sedini mungkin, sejak dalam kandungan bahkan ketika proses pencarian bibit dimulai. Dalam

pustaka suci Hindu disebutkan anak yang lahir dilahirkan tanpa ikatan pewidi-widanaan disebut

rare dia-diu. Untuk rare dia-diu ada beberapa hal yang tidak dibolehkan untuk dilakukan. Kalau

dipandang sekilas tampak sangat kejam, tetapi itulah desiplin, jika tidak ditetapkan aturan yang

tegas maka akan terlahir generasi-generasi yang tidak berbudi-pekerti. Selanjutnya ketika si janin

telah berusia 7 bulan kalender ketika sewajarnya organ tubuhnya sudah lengkap dilaksana

upacara pagedong-gedongan, demikian seterusnya. Upacara-upacara tersebut mempunyai filosofi


yang cukup tinggi, selain mengandung permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi juga

memperdengarkan bisikan-bisikan halus yang diyakini akan merangsang jiwa dan

pertumbuhannya. Selanjutnya kitab nitisastra menjelaskan dengan rinci tentang konsep

pendidikan Hindu yakni : ”Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun,

berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau usianya sudah

dewasa (di atas 16 tahun) perlakukanlah ia sebagai temen” (II.18). Jika dicermati sukta-sukta di

atas menegaskan bahwa desiplin harus ditegaskan. Apabila desiplin lemah maka apapun yang

rencanakan tidak akan berhasil. Demikian konsep pendidikan menurut ajaran agama Hindu; yaitu

senantiasa menetapkan dan menerapkan desiplin yang tinggi. Lemahnya desiplin akan membawa

dampak yang sangat tidak baik, yaitu generasi yang lemah dan tidak mandiri, dan itulah

kegagalan yang paling besar dan mendasar, sebab generasi muda adalah tiang-tiang penyangga

dunia, tegak atau runtuhnya negara ditentukan oleh Generasi Mudanya. Penerapan desiplin pada

tempat dan waktu yang tepat akan menghasilkan generasi yang didambakan (putra suputra) yaitu

generasi berbudi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani dan rohani dan senantiasa

memberikan kebahagian kepada orang tua dan masyarakat lingkungannya.

Umat sedharma yang berbahagia demikianlah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan

ini semoga ada manfaatnya dan dapat memberikan pencerahan kepada kita semua. Lebih dan

kurangnya saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sebagai penutup terimalah salam Paramasanthi

dari saya;

Om Shanti Shanti Shanti Om

Om Sarwe Bhawantu Sukinah, Sarwe Santu Niramayah

Semoga semuanya bahagia, semoga semuanya damai

Damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.


NASKAH DHARMA WACANA
TEMPAT SUCI

Om Swastiastu,
Om Awignam Astu Namo Sidham,

Om Anobadrah Krtawoyantu Wiswatah

Yang kami sucikan :……………......

Yang terhormat :………………..

Dalam suasana yang bahagia dan damai ini marilah kita panjatkan puji dan syukur

kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan

kesehatan untuk dapat berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang

Hyang Widi Wasa.

Bapak/Ibu .......Umat sedharma yang saya hormati, terlebih dahulu saya ingin

menyampaikan bahwa pada kesempatan ini saya berdiri disini bukanlah untk menggurui atau

bapah dan ibu semua, akan tetapi sebagai umat manusia tentunya kita menyadari bahwa tidak ada

manusia yang sempurna, oleh karena itu saya diminta hadir disini untuk mengingatkan Bapak dan

ibu semua. Pada kesempatan ini saya akan mengajak bapak/ibu untuk mengkaji mengapa kita

semua duduk bersama-sama disini.

Bapak dan ibu umat sedharma yang saya hormati; sebagaimana biasa setiap piodalan pada

salah satu Pura, kita akan selalu berusaha untuk nangkil ke Pura tersebut untuk bersama-sama

menghaturkan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti apa yang kita lakukan

pada hari ini. Mungkin ada yang bertanya ” Mengapa kita ke Pura”. Inilah keutamaan manusia

yang melalui idepnya sadar bahwa ada tujuan tertinggi yang ingin dicapainya dalam kelahiran ini
yaitu ”Mokshartam Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma” yaitu kesejahteraan hidup di dunia dan

kedamaian di akhirat. Semua umat beragama sadar salah satu cara mendekatkan diri dengan Ida

Sang Hyang Widhi Wasa adalah Pura.

Umat sedharma; apakah yang dimaksud Pura. Pura berasal dari kata Pur (bahasa

Sansekerta) yang berarti benteng atau tembok. Secara semantik Pura berarti tempat yang dijaga

kesuciannya dengan memagari atau memasang tembok pembatas sehingga binatang atau orang-

orang yang tidak berkepentingan untuk melakukan persembahyangan atau hal-hal yang berkaitan

dengan kepentingan Pura tidak masuk kedalammnya. Kesakralan sebuah Pura akan senantiasa

diusahakan oleh seluruh umatnya, hal itu dapat kita lihat melalui proses pendirian sebuah Pura

sampai bisa disebut tempat suci.

Tempat suci adalah suatu tempat yang diyakini layak untuk menstanakan dan memuja Ida

Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala Prabhawa (manifestasinya) serta Atma Sidha Dewata

(roh suci leluhur). Dalam pembangunan tempat suci bagi umat Hindu (khususnya suku Bali),

pada prinsipnya didasarkan atas petunjuk Siwa Tattwa yang dikaji dalam berbagai judul lontar

yang bercorak Siwaistik.

Ada 5 prinsip dasar yang dipakai pedoman dalam memilih dan menentukan pembangunan sebuah

tempat suci / pura, yaitu :

1. Hulu, mengambil tempat di posisi Utara (Kaja) atau Timur. Kangin yaitu arah gunung

(Udaya) dan Timur arah Matahari terbit.

2. Di gunung/ lereng gunung adalah di tempat ketinggian yang dipandang bebas dari polusi

dan memiliki vibrasi / pancaran kesucian.

3. Dekat Sumber Air, seperti danau, sungai (campuhan), mata air (kelebutan), tepi pantai dan

sebagaina.
4. Ditempat atau tanah yang sakral (tenget), yang dinilai mempunyai nilai kesucian dan

kekuatan gaib.

5. Ditempat yang tanahnya bebau harum dan terasa manis, yaitu suatu tempat yang

tanahnya dinilai mempunyai pancaran alam dewata dan mengandung kekuatan magis.

Selain pemilihan tempat, maka dalam pembanguna Pura juga didasarkan atas falsafah

Satyam-Siwam-Sundaram, yaitu kebenaran (Satyam), kesucian (Siwam) dan keasrian atau

keindahan (Sundaram). Untuk tetap tegaknya falsafah Satyam-Siwam-Sundaram ini maka

ditugaskanlah seorang atau beberapa orang Pinandita/Pemangku yang bertugas merawat dan

menyelenggarakan aci atau upcara yajnya di pura itu. Dengan demikian peran Pemangku

dalam kehidupan umat Hindu itu penting, mereka tidak hanya bertugas melayani umat, tapi

juga menjaga kesucian dan keasrian Pura.

Umat sedharma yang saya hormati, selain Pura juga ada katagori yang dapat disebut

tempat suci seperti yang disebutkan dalam Veda yaitu:

a. Ditempat yang hening, para maharsi memperoleh pikiran suci

Upahvare girinam samgathe ca

Nadhinam, dhiya vipro ajaya

Rgveda VIII. 6. 28

’Di tempat-tempat yang hening (upahvare), di gunung-gunung dan pada pertemuan dua

sungai (campuhan), disanalah para maharsi memuju untuk mendapatkan pemikiran yang suci.

b. Air dari mata air maupun laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan

Sam anya yanty upa yanty anyah

Samanam urvam nadyah prnnanti

Tam u sucim sucayo didivansam

Apam napatam pariasthur apah


Rgveda II. 35. 3

‘Sejumlah besar air, bersama dengan aliran lainnya menyatu menjdai sungai yang

mengalir bersama-sama menuju ke penampungan (laut/samudra). Air yang murni (suci)

baik dari mata air maupun dari laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan.

c. Di mana tempat suci (pemujaan) didirikan dengan aktivitas ritualnya, disanalah kemakmuran

akan dapat diwujudkan.

Yasyam sadoha vir dhane yupo yasyam nimiyate,

Brahmano yasyamarcantyurgbhih sama yajurvidah,

Yujyante yasyam rtvijah somam indraya patave.

Atharvaveda XII. 1. 38

‘Di mana tempat didirikannya ruang suci pemujaan dengan kamar-kamar tempat menyimpan

kekayaan (makanan), tempat dipancangkannya tiang upacara Yajna berbentuk Yupa, tempat

para Brahmana memuja dengan mantram Rgveda, Samaveda dan Yajurveda,

mempersembahkan aneka upacaradan soma kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk

memperolah keselamatan / kemakmuran.

d. Hati nurani sebagai pura (sthana) Tuhan Yang Maha Esa

Soma rarandhi no hrdi gavo na

Yavasesv a, marya iva sva okye.

Rgveda I. 91. 13

’Ya Tuhan sumber kebahagiaan, semoga Engkau berkenan bersthana dalam hati nurani kami

(sebagai pura), seperti halnya sapi perah dipadang rumput yang subur, seperti pemuda dalam

seorang rumahnya sendiri’


Umat sedharma yang berbahagia, memperhatikan beberapa katagori yang kita

bahas tadi tempat memuja Tuhan itu tidak hanya di Pura, tapi mengapa kita harus ke Pura?

Baiklah umat sedharma, dalam hal ini saya yakin bahwa tidaklah salah jika kita mengambil

perumpamaan seekor sapi. Sapi adalah binatang yang menghasilkan susu yang sangat

dibutuhkan oleh setiap orang. Akan tetapi jika ingin mendapatkan susu yang banyak dan baik

maka kita karus mencari sapi yang baik, gemuk dan sehat, selanjutnya memerah susu pada

putingnya, dengan demikian barulah kita akan mendapatkan susu yang banyak.

Oleh karena itu; jika kita bersungguh-sungguh ingin mendekatkan diri kehadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, agar memperoleh pencerahan yang kita butuhkan maka kita

harus memilih tempat yang baik dan tepat untuk itu. Dalam hal ini tempat yang kita bisa kata

gorikan tepat untuk itu adalah Pura,. Menga[pa demikian; seperti yang telah kita bahas tadi,

pendirian sebuah Pura bukanlah sembarangan, dari pemilihan tempatnya, memulai

pembangunannya, demikian juga proses penyucian serta perawatannya sudah direncanakan

dan diatur sedemikian rupa.

Umat sedharma yang saya cintai demikianlah sedikit dharma wacana yang dapat

saya sampaikan pada hari ini, semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Selanjutnya saya

tutup pertemuan kita ini dengan menghaturkan Parama Santi.

Om Santi santi santi Om.


NASKAH DHARMA WACANA
TRI HITA KARANA

Om Swastiastu,

Om Awignam Astu Namo Sidham,

Om Anobadrah Krtawoyantu Wiswatah

Dalam suasana yang bahagia dan damai ini marilah kita panjatkan puji dan syukur

kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan

kesehatan untuk dapat berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang

Hyang Widi Wasa.

Bapak/Ibu .......Umat sedharma yang saya hormati, pada hari ini saya akan menyampaikan

Dharma Wacana yang berjudul ’Tri Hita Karana’.

Mengapa Tri Hita Karana? Karena saya yakin diantara kita tidak ada yang tidak menginginkan

kebahagiaan. Sebagai umat Hindu sudah sepatutnyalah kita bangga karena telah memiliki konsep

dasar untuk menciptakan kebahagiaan yaitu dengan melaksanakan ajaran Tri Hita Karana dengan

menjalin dan menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta, dengan sesama saudara

umat manusia, demikian juga dengan lingkungan/alam semesta. Seperti diamanatkan dalam

pustaka suci Bhagawadgita Bab II sloka 10 :

Sahayajña prajná srstva puro’vàca prajàpatih,

anena prasavisya dhvam esa vo stv ista kàmadhuk

Artinya:

Pada jaman dahulu, Prajapati menciptakan jagat raya ini atas dasar Yajña dan bersabda :

wahai umat manusia, dengan Yajña ini engkau berkembang biak dan jadikan bumi ini

sebagai sapi perahmu.


Inilah dasar pelaksanaan Tri Hita Karana sloka ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa

Ida Sang Hyang Widhi adalah ibu yang melahirkan alam semesta ini, sekaligus yang memberikan

penghidupan kepada kita. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kita selalu menghormati dan

menghaturkan sembah bhakti kehadapanNya. Alangkah durhakanya orang yang tidak bisa

memberikan penghormatan kepada penciptanya. Ajaran inilah yang sepatutnya diamalkan dalam

kehidupan kita agar dapat mencapai kebahagiaan.

Bila kita menentukan satu titik dan dari sana kita menarik garis lurus ke atas yaitu

menjaga hubungan yang serasi dan harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta,

dan penguasa alam semesta dengan segala isinya sebagai visualisasinya dengan melakukan

yajna pada setiap kesempatan baik berupa Tri Sandhya, doa sehari-hari, persembahyangan pada

hari-hari suci. Demikian juga mengadakan persembahan secara Nitya maupun Naimittika

karma. Dengan senantiasa bersujud kepada Ida Sang Hyang Widhi maka tujuan hidup yang

sejati akan tercapai. Seperti penjelasan Bhagawadgita Bab. XVIII sloka 65:

Man mana bhawa madbhakto

Madyayimam namas kuru

Mam evaisyasisatatyamte

Pratijane priyosinme.

Artinya:

Pusatkanlah pikiranmu pada-Ku, jadilah bhakta-Ku, berkurbanlah untuk-Ku, bersujud

dengan-Ku, dengan demikian engkau akan tiba pada-Ku, Aku berjanji setulusnya padamu

sebab engkau terkasih bagiku.

Dengan selalu sujud bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi maka niscaya kita akan sampai

pada-Nya.
Kedua jika kita menarik garis lurus dari kiri ke kanan sebagai simbolis jalinan hubungan

yang serasi dan harmonis dengan sesama manusia; kita harus sadar bahwa umat manusia adalah

mahluk sosial, manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, manusia saling

membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dia harus saling

melindungi, saling menjaga, dan saling menyayangi. visualisasinya marilah kita mencoba

memperhatikan apa kira-kira yang dapat kita lakukan untuk saudara-saudara kita yang kurang

beruntung? Mungkinkah kita bisa menyediakan pengobatan gratis bagi mereka yang sangat

membutuhkan? Mungkinkah kita bisa menyediakan pendidikan yang lebih murah? Untuk

meningkatkan SDM bangsa Indonesia, mengingat di Indonesia saat ini pendidikan sangatlah

mahal, ‘Perguruan Tinggi’ hanyalah impian. Padahal kita tahu tanpa pengetahuan negara kita

tidak akan pernah maju.

Umat sedharma, kalau kita memperhatikan bagaimana binatang mencintai dan melindungi

anak-anaknya, maka akan tampak sangat bertentangan dengan ulah manusia yang sering kita

tonton di TV; seorang anak menyiksa bahkan membunuh orangtuanya tidak jarang juga kita

dengar seorang bapak membunuh anaknya, dimanakah moral dan mentalitas yang dianugrahkan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehinga kita berani mengatakan bahwa manusia adalah makhluk

yang mulia. Padahal kenyataannya jauh dari semua itu. Namun saya yakin diantara kita tidak

akan terjadi hal-hal yang menakutkan seperti itu, karena kita memiliki ajaran Tri Hita Karana,

yang kita harapkan dapat menuntun kita untuk saling menyayangi, dan saling mengasihi. Cinta

kasih adalah suatu bentuk pelayanan murni agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.

Selanjutnya bila garis lurus tadi kita tarik dengan panjang yang sama kebawah sebagai

simbul menjalin dan menyelaraskan hubungan dengan lingkungan demikian juga dengan mahluk-

mahluk ciptaan Tuhan yang kadar manifestasinya lebih rendah dari manusia, baik itu butha kala,

jin, binatang dan sebagainya. Vivekananda seorang Yogi yang sangat agung di abad ke 20
mengatakan; ‘Tuhan meresap pada setiap ciptaannya, hanya prekuensi keilahiannya saja yang

berbeda, oleh karena itu menyayangi, menolong, menghormati setiap ciptaan Tuhan merupakan

pelayanan kepada Tuhan itu sendiri’. Visualisasinya adalah dengan menjaga agar lingkungan kita

selalu dalam keadaan bersih, tidak membuang sampah sembarangan, menanam pepohonan,

paling tidak pot bunga yang kita butuhkan untuk persembahyangan sehari-hari, termasuk tidak

merokok pada tempat-tempat umum sebab bisa mengganggu orang-orang di sekeliling kita.

Dalam usaha menjaga lingkungan ada satu sloka di dalam Nitisastra yang menjelaskan: bagaikan

Singa dengan Hutan, bagaikan Permata dengan Cincin/Cangkoknya. Apabila si Singa tidak

senantiasa menjaga dan mengawasi hutan tempat tinggalnya maka orang-orang akan dengan

bebasnya menebang pohon-pohon yang ada di Hutan. Apabila hutan nya gundul maka si

Singapun akan dikejar dan dibinasakan oleh Pemburu, demikian juga sebaliknya jika hutan tidak

memberikan perlindungan dan tempat yang nyaman untuk bersembunyi bagi Singa, maka orang-

orang jahat akan merusak hutan itu.

Dalam pustaka suci Bhagawadgita ada sebuah sloka yang menjelaskan

Patram puspam phalam toyam,


Yome bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyapupahrtam
Asnami prayatatmanah. Bab IX sloka 26 menjelaskan:

Artinya:

Siapapun yang dengan sujud bhakti kepadaku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum

bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakta persembahan yang

sangat suci.

Umat sedharma, mengapa unsur-unsur dari pada yajna itu terdiri dari, daun-daunan, bunga,

buah-buahan, air, api, dan yang lainnya? Dalam hal ini saya yakin tidaklah salah jika kita

memaknai pesan yang tersurat dalam sloka ini mengamanatkan kepada kita agar senantiasa
menjaga lingkungan dengan menanam, merawat tumbuh-tumbuhan sehingga dia bisa hidup

subur, menghasilkan bunga yang banyak, dan wangi, serta berbuah yang lebat. Selain dapat

digunakan untuk persembahan juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia

sehingga negara kita tidak lagi krisis pangan. Aplikasi dari sloka ini dapat kita lihat pada setiap

pekarangan umat Hindu pasti ada tanaman bunga, dan ini menjadi ciri khas rumah umat Hindu

yang membutuhkan bunga untuk bersembahyang.

Apabila ketiga garis tadi kita hubungkan, secara horisontal dari kiri kekanan menjaga

hubungan yang harmonis dan serasi dengan sesama, secara vertikal dari bawah keatas/dari atas

kebawah dengan panjang yang sama menjalin hubungan yang serasi dengan Ida Sang Hyang

Widhi demikian juga dengan lingkungan maka akan tampak sebuah tampak dara yang merupakan

lambang keseimbangan, yang kemudian berkembang menjadi swastika (lambang Agama Hindu),

selanjutnya berkembang menjadi Padma. Bila ketiga hubungan ini dijaga secara serasi, dan

harmonis maka cosmic alam semesta ini akan menjadi seimbang, indah, dan serasi sehingga

manusia akan dapat menikmati kehidupan yang tenang, aman, dan tentram maka terciptalah

kedamaian.

Umat sedharma yang saya hormati, sedemikian indah kontek-kontek dalam Pustaka suci Hindu.

Mengapa kenyataan yang kita lihat sekarang jauh berbeda bahkan boleh dikatakan berlawanan?

Pertiwi seakan-akan tak mampu lagi menyangga dunia sehingga terjadilah bencana dimana-mana

silih berganti seakan tak pernah berhenti, keadaan ini yang patut kita cermati mengapa bisa

terjadi?

- Apakah hubungan kita dengan Ida Sang Hyang Widhi sebagai Pencipta dan pemelihara Alam

Semesta dengan segala isinya sudah terjalin dengan baik?

- Apakah diantara kita masih ada yang menganggap sembahyang itu bukan kebutuhan?
- Apakah kita sudah menjalin hubungan yang serasi, selaras dan seimbang dengan sesama

manusia, paling tidak dengan orang-orang terdekat.

- Apakah kita sudah menjaga hubungan yang selaras dan harmonis dengan lingkungan kita,

paling tidak sudahkah kita menanami halaman rumah kita dengan tumbuh-tumbuhan, ataukah

kita masih membuang sampah sembarangan?.

Pertanyaan itu tidak perlu dijawab dengan kata-kata, akan tetapi marilah kita koreksi diri

kita sendiri, kalau hal itu sudah dilakukan marilah kita teruskan, dan kalau belum marilah kita

jaga memulainya dengan menjaga kebersihan lingkungan kita yang telah banyak memberikan

kontribusi kepada kita semua.

Umat sedharma yang berbahagia demikianlah dharma wacana yang dapat saya sampaikan

pada kesempatan ini semoga ada manfaatnya dan dapat memberikan pencerahan kepada kita

semua. Sebagai penutup terimalah salam Paramasanthi dari saya;

Om Shanti Shanti Shanti Om

Om Sarwe Bhawantu Sukinah, Sarwe Santu Niramayah

Semoga semuanya bahagia, semoga semuanya damai

Damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.

Umat sedharma yang saya cintai demikianlah sedikit dharma wacana yang dapat saya

sampaikan pada hari ini, semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Selanjutnya saya tutup

pertemuan kita ini dengan menghaturkan Parama Santi.

Om Santi santi santi Om.


NASKAH DHARMA WACANA

HARI RAYA GALUNGAN

Om Swastiastu,
Om Awignam Astu Namo Sidham,

Om Anobadrah Krtawoyantu Wiswatah

Yang kami sucikan :……………......

Yang terhormat :………………..

Dalam suasana yang bahagia dan damai ini marilah kita panjatkan puji dan syukur

kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan

kesehatan untuk dapat berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang

Hyang Widi Wasa.

Bapak/Ibu .......Umat sedharma yang saya hormati, pada hari ini saya akan menyampaikan

dharma wacana dengan topik; Hari raya Galungan.

Bapak/Ibu umat sedharma yang saya hormati, hari ini kita menunduk mencakupkan

tangan mengadakan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam kemaha kuasaan

beliau sebagai Sang Hyang Dunggulan. Dunggulan berasal dari kata unggul yang juga berarti

menang. Hari Raya ini lebih dikenal dengan sebutan Hari Raya Galungan yang juga berarti

menang. Hari raya Galungan dirayakan hampir oleh sluruh umat Hindu hanya saja sebutan dan

waktunya yang berbeda-beda. Misalnya bagi umat Hindu suku India menyebutnya Hari Rajja

Wijaya Dasami, sedangkan umat Hindu di Jaya menyebutnya hari Dunggulan, selanjutnya baik

kalau kita coba mencari apakah sebenarnya makna dari perayaan Hari Raya Galungan?,

Khusus untuk di Bali Peringatan Galungan telah dimulai sejak, tahun 882 Masehi. Ini

disebutkan dalam lontar Purana Bali Dwipa, yang menyebutkan; Punang Aci Galungan ika
ngawit, Bu, Ka, Dunggulan sasih ka Catur, tanggal 15, Isaka 804, Bangun Indria Buwana Ikang

Bali Rajya, yang artinya; Perayaan hari Raya Galungan itu pertama-tama dirayakan pada hari

Rabu Keliwon Wuku Dunggulan, Sasih Kapat, Tanggal 15, Tahun 804 Saka (882 Masehi).

Selanjutnya disebutkan; keadaan Pulau Bali saat itu tenang, aman dan tentram bagaikan Indra

Loka. Tapi entah apa pertimbangannya, sejak tahun 1103 Saka Hari Raya Galungan tidak

diperingati lagi. Sehingga terjadilah hal-hal yang sangat menyedihkan, musibah datang tidak

henti-hentinya, umur para pejabat keraton konon menjadi pendek, pemerintahan kacau balau.

Mengamati hal tersebut, sejak tahun 1126 Galungan dirayakan kembali.

Umat sedharma yang saya hormati; perayaan Galungan dimulainya tidak pada hari ini,

akan tetapi sudah dimulai sejak sebulan yang lalu, misalnya pada hari Sabtu keliwon wuku

wariga (tumpek uduh), 25 hari menjelang Galungan umat Hindu mendoakan agar tumbuh-

tumbuh hidup subur, memberikan daun, buah, bunga, yang banyak sehingga bisa digunakan pada

hari raya Galungan.

Enam hari menjelang Galungan disebut sugihan Jawa. Kata Jawa yang dimaksudkan

disini disamakan dengan ”Jaba” yang berarti ”Luar”. Lontar Sunarigama menyebutkan: ”Sugihan

Jawa Ngaran, Kalinganya Pamrastista Bhatra Kabeh yang artinya: Sugihan Jawa adalah Hari

Pensucian Para Dewa Semua. Sugihan Jawa bermakna mengadakan penyucian terhadap bhuwana

Agung (bumi ini), yaitu yang berada di luar dirinya. Sugihan Jawa dirayakan pada Hari Kamis

Wage Sungsang. Pada sugihan Jawa umat Hindu mengadakan penyucian pada setiap pura,

pelinggih, pratima serta alat alat lain yang akan dipergunakan pada hari raya Galungan yang

disebut Mererebu.

Sedangkan 5 hari menjelang Galungan disebut hari Sugihan Bali. Untuk Sugihan Bali

Sunarigama menyebutkan : Kalinganya amrastista raga tawulan yang artinya; ini adalah hari

yang baik untuk menyucikan badan/jasmani. Oleh karena itulah disebut hal-hal yang
menyangkut diri pribadi (Bali). Lima hari menjelang Galungan disebut sugihan Bali; Pada hari

sugihan Jawa umat Hindu mengadakan penyucian terhadap diri (asuci laksana).

Pada hari Minggu Paing Wuku Dunggulan (tiga hari menjelang Galungan) disebiutkan

bahwa Sang Kala Tiga Wisesa Turun mengganggu manusia. Umat Hindu di Bali menyebut

Penapean, umat Hindu biasanya membuat tape yang dijadikan bahan sesajen, demikian juga 2

hari menjelang galungan umat mulai mempersiapkan kue-kue yang akan dijadikan persembahan,

sehingga hari itu disebut Penyajaan.

Selanjutnya sehari menjelang Galungan disebut penampahan. Penampahan berasal dari

kata ”nampah” bahasa Bali yang berarti memotong. Secara realita pada hari itu hampir setiap

orang pesta makanan, sehingga memotong hewan. Umumnya hewan yang dipotong adalah

ayam, babi dan yang lainnya. Dalam lontar tersebut juga dijelaskan bahwa; pokok perayaan pada

hari ini adalah mempersembahkan sesajen berupa byakala; yang bertujuan untuk menyomyakan

atau menenangkan para bhuta kala sehingga kita dapat merayakan Galungan dengan hidmat.

Umat sedharma yang berbahagia, secara realita kita telah merayakan Galungan, yang

ingin saya tanyakan, apakah kira-kira makna yang ingin kita raih setelah perayaan ini. Untuk

menjawab pertanyaan tadi ada baiknya kita mengkaji dari nilai-nilai filosofi yang tersimpan

dalam sarana-sarana yang dipergunakan.

Galungan adalah Hari yang disakralkan, dimana diharapkan umat Hindu dapat

membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma, dan mana dari budhi atma yaitu

berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberikan kemampuan

untuk membedakan kecendrungan keraksasaan dengan kecendrungan kedewaan. Harus disadari

bahwa kehidupan yang damai/bahagia (ananda) baru akan dapat dicapai setelah dapat menguasai

keraksasaan. Jadi inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran

dan pendirian yang terang.


Mengenai etika dan tata cara perayaan Galungan, Lontar Sunari Gama membahasnya

secara tegas; Buda keliwon dunggulan ngaran Galungan, patitis ikang jnana samadhi, galang

apadang maryakena sarwa byaparaning idep. Artinya: Rabu Keliwon Dunggulan namanya

Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk

melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Tiga hari berturut-turut menjelang Galungan disebut Kala Tiga. Pada hari-hari ini kita

harus menghidari perselisihan walaupun untuk hal yang kecil, sebab jika hal tersebut sampai

terjadi dikhawatirkan akan menjadi besar sebab ditunggangi oleh Sang Hyang Kala Tiga. Pada

hari Penampahan kita memotong ayam, ayam mempunyai kebiasaan agresif untuk merebut milik

orang lain. Misalnya kalau kita melemparkan beras kehadapannya, jika ada ayam lain maka

sebisanya ayam tersebut pasti diusirnya, karena itulah ayam diambil sebagai simbul sifat rajas.

Selanjutnya Babi adalah binatang yang sangat malas, pekerjaannya hanyalah makan dan tidur

saja; oleh karena itu dia diambil untuk mewakili sifat tamas (malas).

Pemilihan hewan sebagai simbolis pengendalian diri sepertinya tidaklah berlebihan, sebab

kemajuan teknologi saat ini telah banyak memberikan kontribusi bahwa tubuh ini dibentuk

makanan yang dikonsumsi, watak seseorang juga sangat dipengaruhi oleh makanan yang

dikonsumsinya.

Untuk itu kalau kita mencoba mengutif maknanya; barangkali tidaklah salah jika kita

simpulkan bahwa melalui Perayaan Hari Raya Galungan, diharapkan segenap umat Hindu dapat

memenangkan Dharma atau kebenaran. Hal ini hendaknya diaplikasikan dengan senantiasa

menghormati lingkungan dengan melaksanakan upacara mendoakan pepohonan (pada hari

tumpek uduh sebagai simbolis cinta lingkungan). Senantiasa selalu taat melaksanakan

pengendalian diri serta selalu menghidari percekcokan sebagai filosofisnya adalah momotong

ayam yang senantiasa memiliki sifat rajas yang tinggi. Sifat-sifat rajas hendaknya senantiasa
dikendalikan, sehingga tidak timbul keinginan untuk menguasai hak milik orang lain, itulah

simbolis pemotongan ayam. Selanjutnya sifat-sifat tamas/malas juga hendaknya dikendalikan,

dalam hal ini disimboliskan dengan memotong babi. Sifat malas yang berlebihan juga haruslah

dikendalikan, jika tidak maka dunia ini tak akan pernah maju. Dengan terkendalinya sifat-sifat

rajas dan tamas, maka dengan sendirinya sifat-sifat Sattwam akan muncul, sehingga terwujudlah

kemenangan Dharma yang diharapkan.

Umat sedharma yang saya cintai demikianlah sedikit dharma wacana yang dapat saya sampaikan

pada hari ini, semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Selanjutnya saya tutup pertemuan kita ini

dengan menghaturkan Parama Santi.

Om Santi santi santi Om.


NASKAH DHARMA WACANA
MAKNA PIODALAN
Om Swastiastu,

Om Awignam Astu Namo Sidham,

Om Anobadrah Krtawoyantu Wiswatah

Yang kami sucikan :……………......

Yang terhormat :………………..

Dalam suasana yang bahagia dan damai ini marilah kita panjatkan puji dan syukur

kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena kita telah diberikan kekuatan, kesempatan, dan

kesehatan untuk dapat berkumpul bersama-sama disini mengagungkan kebesaran Ida Sang

Hyang Widi Wasa. Bapak/Ibu .......Umat sedharma yang saya hormati, pada hari ini saya akan

menyampaikan dharma wacana dengan topik; Makna Piodalan.

Umat sedharma yang berbahagia, hari ini kita bersama-sama menundukan kepala

kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai wujud sembah bahakti dalam rangka menyambut

Piodalan Aditya Jaya Rawamangun. Piodalan / Pawedalan berasal dari kata wedal /medal yang

berarti lahir. Pawedalan di kalangan masyarakat Hindu juga mengandung makna untuk

memperingati lahirnya sebuah kesepakatan satu kelompok masyarakat untuk menjadikan/

mendirikan, serta meresmikan sebuah tempat menjadi tempat suci (tempat ibadah). Dalam

kehidupan sehari-hari istilah Pawedalan/Piodalan juga dikenal dengan istilah Pujawali.

PUJAWALI berasal dari dua kata yaitu Puja dan Wali. Puja berarti mengadakan

pemujaan; Wali berarti kembali. Pujawali berarti mengadakan pemujaan kembali, berkali-kali
setiap tahun, baik itu tahun wuku yang datangnya setiap 210 hari sekali, atau ada juga yang

memakai tahun sasih yang datangnya setiap 365 hari sekali. Perayaan Piodalan adalah suatu

bentuk upacara yadnya yang diselenggarakan secara rutinitas atau berkala (Naimittika Karma).

Hal ini mungkin saja menimbulkan pertanyaan ”Apakah Pemujaan Terhadap Ida Sang Hyang

Widhi hanya Pada Setiap Piodalan?”. Jawabnya tentu saja tidak, secara rutinitas umat Hindu

wajib mengadakan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi tiga kali dalam sehari yaitu pagi

hari ketika matahari menjelang terbit dari peraduannya, siang hari ketika matahari terasa tepat

betarada di atas kepala kita, akan tetapi karena satu hal tertentu kita jarang kita menyadari bahwa

matahari sudah tegak menyangga dunia maka biasanya ditetapkan menjelang jam 12 siang,

selanjutnya sore hari ketika matahari beranjak masuk keperaduannya. Hal ini dijelaskan dalam

kitab Manawa Dharma Sastra Bab II sloka 102; bahwa barang siapa yang berdiri tegak dengan

sujud bhakti melantunkan matram gayatri sambil menunggu matahari terbit maka dia akan

terbebas dari dosa-dosa yang dilakukan selama malam sebelumnya. Bagi yang berdiri tegak

melantunkan mantram Gayatri maka dia akan terbebas dari dosa-dosa yang dilakukan sejak pagi

menjelang siang, demikian juga barang siapa yang dengan sujud bhakti duduk bersila/bersimpuh

di sore hari melantunkan mantram gayatri sambil menunggu matahari terbenam di peraduannya

maka dia akan terbebas dari dosa-dosa yang telah dilakukan dari siang sampai sore itu.

Umat sedharma yang saya hormati; Secara Naimitika Karma, pemujaan terhadap Ida Sang

Hyang Widhi dilakukan setiap Purnama (pagi harinya Brahma), Tilem (sore harinya Brahma),

Purwanining tilem ke Pitu (Ciwa Ratri), Penanggal apisan sasih kedasa (Nyepi) bagi yang

penetapannya berdasarkan tahun baru Caka. Sedangkan yang penetapannya berdasarkan tahun

wuku Pujawali biasanya dilaksanakan pada tiap-tiap; Rabu keliwon, Sabtu Keliwon, Selasa

keliwon dan lain sebagainya;


Tujuan pelaksanaan Piodalan/Pujawali; adalah untuk memperingati tonggak awal

ditetapkannya suatu tempat sebagai tempat suci, selanjutnya sebagai seorang bhakta Pujawali

juga berfungsi sebagai media komunikasi antara pemuja dengan yang dipuja, sekaligus juga

bermakna sebagai penyucian bagi yang memuja dengan senantiasa melantunkan doa-doa dan

kidung-kidung suci. Selanjutnya dengan dijadikannya tempat tersebut sebagai tempat

melantunkan doa dan kidung suci maka diyakini tempat tersebut akan memiliki vibrasi yang

semakin kuat sehingga mampu memberikan keteduhan, ketenangan dan kenyamanan bagi yang

mengadakan pemujaan di tempat tersebut.

Umat sedharma yang saya hormati; makna apakah yang dapat kita petik melalui perayaan

Piodalan di Pura Taman Sari Halim Perdana Kusuma ini?. Mengingat Piodalan berarti kelahiran

/ lahir marilah kita maknai agar setiap saat lahir, semangat-semangat baru, kader-kader baru,

pemikir-pemikir baru demi tumbuh kembangnya masyarakat Hindu dengan senantiasa

mengagungkan dharma, mengidungkan dharma. Dengan tegaknya dharma di atas bumi ini maka

niscaya masyarakat kita yang sedang kocar-kacir dalam segala bidang kehidupan akan menjadi

aman, tenteram serta damai.

Umat sedharma yang saya cintai, demikianlah dharma wacana yang dapat kami

sampaikan pada pertemuan kita hari ini yaitu tentang Makna Piodalan serta Rangkaian

upacaranya semoga ada manfaatnya bagi kita semua, kurang dan lebihnya kami minta maaf,

selanjutnya semoga Sang Hyang Widhi Wasa memberikan petunjuk atas segala kekurangannya.

Sebagai penutup kata kami haturkan Parama Santi.

Anda mungkin juga menyukai