Anda di halaman 1dari 145

Pengaruh Agama Islam dalam Sistem Pengobatan Tradisional Bali Studi Kasus

Sastra
di dalam Teks Usadha Manak
I Ketut Nuarca

Bahasa Jawa Kuno dalam


Pasang Aksara Bali
CARA

Sastra Gocara
I Gde Nala Antara

Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul:


Analisis Semiotik
G Journal Of Old Javanese Studies

I Ketut Eriadi Ariana, I Nyoman Sukartha, I Made Suastika

Pengaruh Lingkungan terhadap Ganesha dalam Kakawin Smaradahana Analisis Semiotik


Ni Made Ayu Satyadriti, Ni Ketut Ratna Erawati,
Komang Paramartha

Integrasi Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Jawa Kuno Pada Teks Adiparwa
Putu Eka Sura Adnyana, I Nyoman Sukartha, Anak Agung Gede Bawa

Kidung Tantri Kĕdiri Pada Episode Angsa dan Kura-Kura : Sebuah Kajian Wacana
R.A Kurniasari Yardella1, I Ketut Jirnaya , I Ketut Nuarca

Wacana Tanda-Tanda Menjelang Kematian dalam Tutur Śwacaṇdha Marāṇa: Teks dan Konteks
Ida Bagus Anom Wisnu Pujana, Anak Agung Gede Bawa, I Wayan Sukersa

Teks Pelayanan dalam Kěkundangan Siddhakarya

Universitas Udayana
I Putu Suyasa Ariputra, Ni Ketut Ratna Erawati, I Ketut Nuarca

Pengaruh Agama Islam dalam Sistem Pengobatan Tradisional Bali Studi Kasus
di dalam Teks Usadha Manak
I Ketut Nuarca

Bahasa Jawa Kuno dalam Pasang Aksara Bali


I Gde Nala Antara

ISSN 2528-4932
April 2018 ISSN
Volume IV Nomor 1 April 2018

SG Volume IV Nomor 1
2528-4932

9 772528 493008 Universitas Udayana


Sastra Gocara
Journal of Old Javanese Studies
ISSN 2528-4932
Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018

Universitas Udayana
Sastra Gocara
Journal of Old Javanese Studies
ISSN 2528-4932 Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018

SUSUNAN REDAKSI
PENANGGUNG JAWAB
Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M. S.
(Koordinator Program Studi   Sastra Jawa   Kuno)

REDAKTUR
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M. Hum.
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M. Hum.

PENYUNTING
Prof. Dr. I Made Suastika, S. U.
Dr. Drs. I Nyoman Sukartha, M. Hum.
Drs. Anak Agung Gede Bawa, M. Hum

Drs. I Ketut Nuarca, M. S.


Drs. I Wayan Sukersa, M. Hum.

MITRA BESTARI
Prof. Dr. Marsono, S. U. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum. (UNSES Semarang)
Prof. Dr. Nengah Duija, M. Si. (IHDN Denpasar)
Prof. Dr. Ida Bagus Putra Manuaba, M. Hum. (UNAIR Surabaya)
Prof. Dr. Drs. I Wayan Sukayasa, M. Si. (UNHI Denpasar)
Dr. Drs. Undang Darsa, M. Hum. (UNPAD Bandung)
Dr. Karsono H. Saputra, M. Hum. (UI Jakarta)

SEKRETARIAT
Drs. I Made Wijana, M. Hum.
Putu Ari Suprapta, S. S.

DESAIN COVER
Drs. Komang Paramartha, M. S.
I Ketut Eriadi Ariana, S.S.

ALAMAT
Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana
E-mail: sastrajawakuna2010@yahoo.com

Sampul : Rerajahan Koleksi Mangku Wayan Turun

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 iiii


PENGANTAR
Sastra Gocara: Journal of Old Javanese Studies terbitan keempat
(Volume IV Nomor 1) edisi April 2018 saat ini memuat berbagai aspek
kajian terbaru dalam bidang bahasa dan sastra Jawa Kuna serta bahasa
dan aksara Bali. Sastra Gocara berasal dari dua kata, yaitu sastra
dan gocara. Sastra berarti pengetahuan luhur, dan gocara berarti
tempat mengasah diri atau diskusi. Berdasarkan dua kata tersebut,
maka Sastra Gocara berarti wadah diskusi pengetahuan luhur.
Jurnal Sastra Gocara adalah tempat, media, wahana mendiskusikan,
melatih, serta mengasah pengetahuan multidisipliner berbasis teks
Jawa Kuna.
Terbitan saat ini memuat artikel-artikel terbaru yang mengkaji
bahasa dan sastra Jawa Kuna dari segi bahasa, sastra, budaya,
religiusitas serta aksara Bali dari segi bentuk dan perubahannya
dari bahasa Jawa Kuno ke bahasa Bali. Berbagai hasil penelitian ini
diharapkan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat
penggiat sastra Jawa Kuna dan Bali khususnya dan penggiat sastra
Nusantara pada umumnya. Sesuai dengan misi Jurnal Sastra Gocara
yang juga mengemban misi luhur Program Studi Sastra Jawa Kuna
dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, yakni kadi bahni
ring pahoman, dumilah mangde suka nikang ràt.
Hasil kajian para peneliti yang dimuat, di antaranya I Ketut Nuarca
membahas pengaruh agama Islam dalam sistem pengobatan
tradisional Bali yang termuat dalam teks usadha manak. Dalam
teks-teks pengobatan tradisional Bali (usadha) dan juga teks-teks
jenis lain yang ada di Bali banyak dijumpai adanya unsur bahasa
arab. Secara sepintas masuknya unsur bahasa ini dapat memberikan
informasi adanya pengaruh agama Islam dalam penulisan teks-teks
tradisional di Bali, salah satunya dijumpai dalam teks usadha manak.
Perkembangan serta perubahan bahasa Jawa Kuno dalam pasang
aksara Bali dikaji oleh I Gde Nala Antara yang merupakan pakar di
bidang aksara Bali. Dalam tulisannya, dimuat perjalanan pedoman
pasang aksara Bali dari waktu ke waktu. Penggambaran lingkun-
gan fisik (ekosistem) Pulau Bali dan pemaknaannya dalam Kuttara
Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul serta bagaimana pemaknaannya ter-
hadap lingkungan diteliti oleh I Ketut Eriadi Ariana, dkk. Selanjut-
ii
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 v
nya, Ni Made Ayu Satyadriti, dkk meneliti Ganesha yang berperan
sentral dalam kehidupan masyarakat Bali. Fokus penelitiannya, ter-
tuju pada pengaruh lingkungan terhadap Ganesha dalam Kakawin
Smaradahana.
Bahasa Sanskerta yang merupakan bahasa sumber Jawa Kuno diteli-
ti oleh Putu Eka Sura Adnyana, dkk untuk dikaji bentuk integrasinya
ke dalam bahasa Jawa Kuno. Proses integrasinya terjadi pada tataran
fonologi, sintaksis, kosa kata, dan semantik. Berikutnya, Kurniasari
Yardella, dkk meneliti Tantri Kediri pada episode angsa dan kura-
kura. Fokus penelitiannya pada wacana yang terkandung dalam epi-
sode tersebut.
Dalam keyakinan umat Hindu kematian bukanlah sebuah akhir. Mati
adalah lenyapnya ikatan atau hubungan antara ātma dengan badan
sebagai pembungkusnya. Wacana tanda-tanda menjelang kema-
tian itulah yang diteliti oleh Anom Wisnu Pujana, dkk dalam Tutur
Śwacaṇdha Marāṇa. Suyasa Ariputra, dkk mengkaji perpaduan an-
tara ritual nyěnuk, tari topeng siddhakarya, dan penggunaan bahasa
Jawa Kuno dalam bentuk dialog yang disebut dengan Kěkundangan
Siddhakarya. Dalam kajiannya, teks wacana Kěkundangan Siddha-
karya didasari oleh ajaran sewanamm sebagai konsep yang men-
dasarinya.
Sebagai penutup, redaktur menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada seluruh penulis atas tulisan dan kerjasamanya. Semoga
artikel-artikel yang termuat dapat menginspirasi penelitian-penelitian
berikutnya.


Redaktur.
DAFTAR ISI

Pengantar ii
Daftar Isi iii

Pengaruh Agama Islam dalam Sistem Pengobatan 1 - 16


Tradisional Bali Studi Kasus Di Dalam Teks Usadha
Manak
I Ketut Nuarca

Bahasa Jawa Kuno Dalam 17 - 27


Pasang Aksara Bali
I Gde Nala Antara

Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul: 28 - 54


Analisis Semiotik
I Ketut Eriadi Ariana, I Nyoman Sukartha, I Made
Suastika

Pengaruh Lingkungan terhadap Ganesha dalam


55 - 67
Kakawin Smaradahana Analisis Semiotik
Ni Made Ayu Satyadriti, Ni Ketut Ratna Erawati,
Komang Paramartha

Integrasi Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Jawa 68 - 84


Kuno Pada Teks Adiparwa
Putu Eka Sura Adnyana, I Nyoman Sukartha, Anak Agung
Gede Bawa

Kidung Tantri Kĕdiri Pada Episode Angsa Dan 85 - 98


Kura-Kura : Sebuah Kajian Wacana
R.A Kurniasari Yardella1, I Ketut Jirnaya , I Ketut
Nuarca

Wacana Tanda-Tanda Menjelang Kematian dalam 99 - 115


Tutur Śwacaṇdha Marāṇa: Teks dan Konteks
Ida Bagus Anom Wisnu Pujana, Anak Agung Gede
Bawa, I Wayan Sukersa

Teks Pelayanan dalam Kěkundangan Siddhakarya 116 - 135


I Putu Suyasa Ariputra, Ni Ketut Ratna Erawati, I
Ketut Nuarca

iii
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 vii
Pengaruh Agama Islam
Dalam Sistem Pengobatan Tradisional Bali Studi
Kasus di dalam Teks Usadha Manak

I Ketut Nuarca
Prodi Sastra Jawa Kuna, FIB, UNUD

Abstrak
Di tengah pesatnya kemajuan ilmu kedokteran modern
sekarang ini ternyata pengobatan tradisional (Bali) masih mendapat
tempat di hati masyarakat. Walaupun sampai saat ini belum
ditemukan adanya studi tentang seberapa jauh minat masyarakat
terhadap pengobatan tradisional di Bali tetapi pengamatan selama
ini memperlihatkan masalah pengobatan tradisional di Bali masih
tetap eksis. Bahkan beberapa pengobat tradisional di Bali (baca:
dukun) masih tetap ramai dikunjungi masyarakat baik untuk tujuan
konsultasi belaka maupun untuk penyembuhan suatu kasus penyakit
tertentu.
Satu aspek yang ingin diangkat di dalam tulisan ini adalah
tentang pengaruh agama Islam di dalam sistem pengobatan tradisional
Bali. Dalam teks-teks pengobatan tradisional Bali (usadha) dan
juga teks-teks jenis lain yang ada di Bali banyak dijumpai adanya
unsur bahasa arab. Secara sepintas masuknya unsur bahasa ini
dapat memberikan informasi adanya pengaruh agama Islam dalam
penulisan teks-teks tradisional di Bali, salah satunya dijumpai dalam
teks usadha manak.
Usadha Manak ‘pengobatan beranak’ adalah teks pengobatan
tradisional Bali yang berisi cara-cara pengobatan yang dilakukan
pada saat seorang ibu melahirkan anak. Sumber datanya diolah dari
sumber naskah berupa lontar (manuscript) yang disimpan di UPT
Lontar Universitas Udayana dengan no. krp. 229.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 1


Ada tiga aspek yang akan dibahas di dalam tulisan ini : (1)
ciri-ciri pengaruh agama Islam di dalam teks usadha manak, (2)
bentuk pengaruh agama Islam, dan (3) penafsiran serta makna dari
adanya pengaruh agama Islam dalam kehidupan masyarakan Bali.
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Perkembangan sastra tulis di Bali tidak dapat dilepaskan dari


faktor sejarah kesusastraan klasik selama kurun waktu antara abad
ke-9 sampai dengan ke-15 di Jawa. Selama kurun waktu itu di Jawa
Tengah dan Timur terjadi proses penciptaan karya-karya sastra
klasik (Jawa Kuna) secara besar-besaran yang dilakukan oleh para
pujangga istana (para kawi) baik karya sastra dalam bentuk prosa
(parwa) maupun puisi (kakawin). Proses penciptaan karya-karya
tersebut tampak mulai berkurang ketika mulai adanya pengaruh
agama Islam di Pulau Jawa. Saat itu para pujangga melanjutkan tradisi
nyastra-nya di Bali di pusat-pusat pemerintahan seperti Gelgel dan
Klungkung. Bahkan berdasarkan data yang ada diperkirakan tradisi
ini mulai tampak sejak abad ke-14 saat ekspedisi Majapahit ke Bali
pada tahun 1343 (Wirawan, 1979/80: 6). Tokoh-tokoh agama di Jawa
yang ikut dalam ekspedisi ini membawa ajaran dan praktek-praktek
keagamaan termasuk mengenalkan bahasa Jawa di lingkungan
masyarakat Bali dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam
kehidupan sastra dan agama. Proses ini berlangsung secara terus-
menerus sehingga menimbulkan terjadinya satu proses yang oleh
Zoetmulder (1983: 25) disebutnya sebagai “jawanisasi” dalam
kehidupan masyarakat di Bali. Terjadinya interaksi dua kebudayaan
yang hidup saling berdampingan seperti ini memberi peluang untuk
saling mempengaruhi termasuk di dalam kehidupan beragama dan
sastra. Gejala inilah yang terjadi selama ekspedisi Majapahit di Bali.

Pengaruh agama Islam dalam berbagai bidang kehidupan


masyarakat (Hindu) di Bali khususnya dalam bidang kehidupan
kesusastraan selama ini belum banyak dijadikan sasaran penelitian.
2 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Salah satu aspek yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah
pengaruh agama Islam dalam sistem pengobatan tradisional di Bali
yang ditemukan di dalam teks Usada Manak.

Usada Manak ‘pengobatan beranak’ adalah salah satu teks


pengobatan tradisional Bali di antara sekian banyak teks usada
yang ada dalam masyarakat. Pengobatan beranak dalam uraian ini
dimaksudkan cara-cara pengobatan atau penanganan yang dilakukan
saat seorang ibu akan melahirkan anak.

Seperti dimaklumi bersama bahwa di dalam kehidupan


masyarakat modern seperti sekarang ini masih banyak anggota
masyarakat yang cenderung memilih atau mencari cara-cara
pengobatan tradisional melalui seorang dukun untuk mencari
pertolongan terhadap gejala penyakit yang sedang dideritanya
termasuk di antaranya kaum ibu (perempuan) menjelang kelahiran
anaknya. Sejauh yang penulis ketahui sampai saat ini belum
ditemukan adanya studi yang dapat memberi penjelasan mengapa
masyarakat masih cukup kuat menganut cara berpikir ini di tengah
pesatnya perkembangan ilmu kedokteran modern. Dilihat dari sudut
itu rupanya kedudukan penelitian ini cukup penting dipakai bahan
dalam memandang dunia pengobatan ini tidak saja dari sudut kaca
mata kekinian tetapi juga dari sudut kaca mata tradisional. Hal
ini akan sangat membantu membuka dan memperluas cakrawala
pandangan kita terhadap dunia pengobatan yang berkembang
sekarang ini. Agak kurang tepat anggapan yang memandang bahwa
cara pengobatan terhadap suatu kasus penyakit tertentu hanya
dapat dan berhasil dilakukan dengan cara-cara modern saja. Sebab
kenyataan telah menunjukkan dan menjadi bukti bahwa cukup
banyak para ibu rumah tangga (para istri) yang telah tertolong
keselamatannya dengan cara-cara tradisional.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 3


Sepanjang pengetahuan penulis aspek ini belum pernah
digarap sehingga cukup menarik untuk diangkat menjadi topik
tulisan mengingat pengaruh agama Islam dalam bidang pengobatan
tradisional Bali ini memang jarang terjadi. Hal inilah yang dijadikan
dasar pertimbangan dipilihnya topik ini sebagai judul tulisan.

Penulis secara jujur mengakui bahwa tulisan ini tidak mungkin


akan dapat menjelaskan seberapa jauh tingkat efektivitas hasil atau
efek pengobatan yang lebih mujarab dari adanya pengaruh agama
Islam di dalam pengobatan tradisional dimaksud. Untuk masalah
yang satu ini agaknya perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam
dengan melibatkan berbagai komponen terkait.

Ada dua hal yang menjadi fokus tulisan ini dan keduanya
merupakan permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
seperti berikut.

1. Apa yang dijadikan indikator bahwa suatu aspek di dalam


pengobatan itu merupakan pengaruh Islam?

2. Sejauh manakah aspek pengaruh itu telah menyelusup dalam


pengobatan tradisional Bali?

Sebenarnya masih cukup banyak permasalahan yang perlu


dijabarkan tetapi mengingat keterbatasan yang ada untuk penyusunan
tulisan ini maka pembahasannya dibatasai pada dua permasalahan
seperti di atas. Hal ini juga tidak terlepas dari sifat dari tulisan ini
sebagai rintisan awal dengan harapan akan muncul gagasan dari
pembaca untuk mengadakan penelitian sejenis yang lebi mendalam
di masa-masa datang.

1.2 Metode Penelitian

Cara yang ditempuh dalam penelitian ini secara garis besar


dibagi menjadi dua bagian pertama cara pengumpulan data dan
kedua cara analisis data.

4 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Dalam pengumpulan data dipakai riset perpustakaan (library
research) dengan menjadikan teks usada manak yang tertulis di
dalam naskah (manuscript) berupa lontar sebagai sumber penelitian
dan tidak ditunjang oleh data hasil penelitian lapangan. Dengan
metode seperti ini tentu hasil yang diharapkan menjadi belum
maksimal mengingat data yang dianalisis terbatas dari data hasil
studi pustaka saja. Semestinya untuk mendapatkan hasil yang
lebih optimal penelitian semacam ini perlu didukung dengan riset
lapangan (field research) yang dapat membuka kemungkinan
pelaksanaan secara konkret pengaruh tertulis yang terdapat dalam
pustaka-pustaka lontar.

Di dalam analisis data langkah pertama yang dilakukan adalah


mengalihaksarakan (transliterasi) teks Usada Manak dari aksara Bali
ke dalam aksara Latin. Upaya ini dilakukan untuk memudahkan
proses penelitian yang akan dilakukan. Cara menerjemahkan juga
merupakan langkah yang terpenting karena bahasa sumbernya
adalah bahasa Bali bercampur dengan bahasa Kawi (Jawa Kuna).
Langkah yang terpenting dari cara analisis ini adalah menguraikan
dengan melihat isi keseluruhan teks tersebut kemudian menafsirkan
isinya dari setiap lembar lontar dengan tetap berpatokan pada
makna wacana keseluruhan secara bulat. Cara semacam ini sering
disebut dengan content analysis. Cara berpikir yang menyertai
semua metode tersebut adalah dengan cara berpikir induktif
yang dilakukan dengan cara meneliti kasus demi kasus kemudian
membuat identifikasi dari tiap-tiap kasus tersebut yang akhirnya
ditarik kesimpulan yang bersifat umum (general). Cara-cara itu
dilakukan untuk mendapatkan hasil kesimpulan yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan demi manfaat yang mungkin dapat dipetik
untuk penelitian selanjutnya.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 5


1.3 Sumber Data

Sumber data tulisan ini diambil dari naskah berupa lontar Usada
Manak koleksi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lontar Universitas
Udayana dengan no. kropak 229. UPT Lontar Universitas Udayana
sekarang ini menyimpan tidak kurang dari 921 naskah dengan
berbagai macam isi.

1.4 Tujuan Penelitian

Informasi yang berkait dengan pengaruh agama Islam dalam


sistem pengobatan tradisional Bali sejauh ini masih kurang karena
itu secara umum tujuan tulisan ini adalah ingin memberi informasi
kepada masyarakat bahwa sistem pengobatan tradisional di Bali
tidak selamanya murni bersifat Hinduistis, tetapi ada juga yang
bersentuhan dengan agama lain (Islam). Gejala seperti ini memberi
gambaran kepada kita tentang adanya pengaruh agama Islam dalam
sistem pengobatan tradisional di Bali.

Bila informasi telah diperoleh masyarakat maka yang perlu


diketahui lebih lanjut adalah bagaimana cara mengungkapkan
kedalaman pengaruh agama Islam dalam teks Usada Manak,
demikian pula cara untuk mengetahui bahwa pengaruh itu memang
berasal dari agama Islam bukan agama lain. Inilah yang menjadi
tujuan khusus tulisan ini. Untuk membahas masalah ini tentu
memerlukan beberapa alasan untuk menunjang anggapan tersebut.

6 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


2. ANALISIS

Data yang akan dianalisis tidak disajikan secara lengkap di sini,


melainkan akan dilampirkan pada bagian belakang berupa terjemahan.
Pada bagian ini hanya akan disajikan data yang mempunyai relevansi
langsung dengan analisis, data dimaksud berbentuk kutipan teks
pada bagian-bagian tertentu yang menunjukkan pengaruh agama
Islam di dalam teks usada tersebut.

Pemaparan dalam analisis ini akan dibagi menjadi tiga bagian


yang meliputi (1) ciri pengaruh agama Islam dalam Usada Manak
sebagai cara pengobatan tradisional Bali, (2) bentuk pengaruh
agama Islam dan (3) penafsiran dari adanya pengaruh tersebut dalam
kehidupan masyarakat Bali.

2.1 Ciri Pengaruh Agama Islam

Sebelum sampai kepada ciri pengaruh lebih baik disajikan


terlebih dahulu ciri atau identitas dari naskah Usada Manak yang
dijadikan sasaran penelitian dan yang akan dibahas dalam uraian
ini. Naskah Usada Manak yang dijadikan sumber data di dalam
tulisan ini adalah koleksi Unit Pelaksana Teknis Lontar Universitas
Udayana yang disimpan di dalam kropak no. 229. Jumlah lembar
keseluruhan dari naskah ini 28 lembar. Dari data yang tersurat dalam
collophon, naskah ini ditulis (disalin) oleh Ida Bagus Gede Engkeg
dari Geria Tandeg Batur Ening, desa Mambal kecamatan Abiansemal
kabupaten Badung. Selesai disalin pada hari Kamis Paing wuku
Perangbakat, panglong (kresnapaksa) ke-3 pada bulan ketiga kira-
kira antara bulan September/Oktober) tahun Caka 1883 (1961).

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 7


Catatan yang ada dalam collophon ini sangat bermanfaat bagi
penulis karena dapat membantu di dalam proses analisis selanjutnya
walaupun angka tahun dimaksud tidak serta merta dapat dianggap
sebagai tahun penulisan naskah itu tetapi cenderung adalah tahun
penyalinan. Penulis tidak dapat memberikan kepastian apakah
naskah ini asli (autograph) atau naskah salinan. Dalam studi
pernaskahan (filologi) antara naskah autograph dengan salinan
dibedakan. Naskah autograph ditulis langsung oleh pengarangnya
bukan orang lain yang menulis. Di sinilah sulitnya seorang peneliti
untuk mengidentifikasi kedudukan suatu naskah asli (autograph)
atau salinan karena karakter tulisan pengarangnya harus dapat
dikenali.

Ciri pengaruh agama Islam dalam teks Usada


Manak ini terbukti dari banyaknya dipakai kata-kata yang
menyebut nama Allah ‘Tuhan’ secara berulang-ulang
sebagaimana dapat dilihat pada lembar 1a sebagai berikut.
Ong tutup kancing buana allah buana keling, tutupan gedong  allah
wuwus  pepet, sarinane si anu, teka pepet.

Mantra tersebut digunakan bila seorang ibu sering mengalami


keguguran, jadi maksud mantra itu adalah untuk memperkuat manik
‘sel telur’ dan juga memperkuat kama (sperma) laki-laki yang baru
selesai melakukan hubungan badan dengan istrinya. Mantra itu
dinamai mantra pengancing ‘pengunci’ agar kandungannya tidak
gugur.   Mantra pengancing ‘pengunci’ yang lebih panjang diuraikan
sebagai berikut.        

“Ong  mang  allah, ong mang kancing allah kinancingan


dening  Muhamat, ma kancingku kancing allah, kinancingan
dening muhamatlahilah muhamat rasulullah” Bila kandungan si
ibu tersebut sudah berhasil sampai berumur secukupnya, maka
menjelang melahirkan dibuatkan lagi cara tertentu dengan bahan dan
mantranya. Mantra pembukanya sebagai berikut.
8 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
“Bungkah aku kancing allah rasulullah” Mantra itu dilanjutkan
setelah materi pengobatan yang berupa air yang ditempatkan dalam
satu tempat khusus (sibuh) diminumkan kepada si ibu dan sisanya
dipakai mencuci vagina. Mantra lanjutannya adalah sebagai berikut.


“Bismillah  irachman  irachim,  bungkah  allah  kancing   Muhamat
Rasulullah”

Untuk melepas bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya,


diberikan air tawar lebih dahulu yang diletakkan dalam tempurung
kelapa. Air itu digunakan membasuh vagina si ibu yang baru
melahirkan. Mantranya seperti berikut ini.

“Ong bungkah kancing buana keling, bungkah gedongin allah,
bungkah mangadwara sarirane si anu teka manga”.

Mantra-mantra di atas selalu diucapkan tiga kali dan memakai


bahan pengobatan yang sama : air tawar yang ditempatkan di
tempat khusus (sibuh) atau tempurung kelapa. Mantra-mantra
selanjutnya tidak ditemukan lagi yang serupa dengan mantra di
atas yang menggunakan kata-kata allah, muhamat, rasulullah,
bismillah, irachman-irachim, lah, illah. Kata-kata tersebut adalah
kata-kata bahasa Arab yang tidak umum dipakai dalam masyarakat
Bali yang memeluk agama Hindu, baik dalam kehidupan sehari-
hari maupun dalam aspek kehidupan yang lain, lebih-lebih dalam
mantra yang khas dan langsung berkait  dengan  keagamaan.
Pemakaian kata kata itulah menurut persepsi penulis
memberi petunjuk adanya pengaruh agama Islam di dalam
teks  Usada  Manak karena kata-kata itu memiliki makna
yang erat hubungannya dengan konteks keagamaan. Penggunaan
kata-kata seperti itu memperkuat anggapan penulis bahwa
mantra-mantra itu kena pengaruh agama Islam karena semua kata
tersebut memang sangat lazim dipakai dalam aspek kehidupan
masyarakat yang beragama Islam.                                                                 

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 9


2.2 Ciri Bentuk Pengaruh Agama Islam

Bentuk di sini diartikan struktur atau susunan materi yang


mendukung kesatuan isi, dengan demikian ciri bentuk dimaksudkan
adalah tanda yang mewarnai susunan materi yang ada dalam
pengobatan Usada Manak tersebut. Kalau di atas telah diuraikan
ciri pengaruh yang berupa kata-kata bahasa Arab yang lazim dipakai
dalam kehidupan agama Islam itu dalam pengobatan Usada Manak
maka pada bagian ini akan diidentifikasi adanya ciri bentuk pengaruh
agama Islam dalam sistem pengobatan yang terdapat di dalam teks
Usada Manak.

Dari hasil pengamatan secara menyeluruh ternyata bentuk


pengaruh itu hanya terdapat pada bagian awal teks saja yang dalam
naskah lontar diberi tanda dengan 1a - 2b, selanjutnya lembar-
lembar sampai terakhir tidak ditemukan lagi adanya pengaruh
seperti di atas. Tentu kemungkinan itu masih ada hanya saja tidak
begitu jelas nampak seperti adanya pemakaian kata-kata bahasa Arab
sebagaimana kutipan-kutipan yang telah disampaikan sebelumnya.
Atau kemungkinan ada masalah yang sama namanya dengan cara
penamaan dalam bahasa Bali atau mula-mula dipakai nama dengan
bahasa Arab kemudian diganti dengan nama penyebutan dengan
bahasa Bali. Masalah tersebut tidak akan dibahas mengingat secara
eksplisit tidak ditemukan di dalam teks. Selain itu kemungkinan
penyebutan nama yang mula-mula memakai bahasa Arab kemudian
diganti dengan bahasa Bali sangat tipis karena kalau memang
demikian mengapa kata-kata dalam bahasa Arab yang dijumpai
dalam kutipan-kutipan di atas yang hanya sedikit tidak diganti atau
dicari padanannya dalam bahasa Bali?

10 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Lebih jauh dapat dikatakan bentuk pengaruh yang terdapat
pada bagian awal dari Usada Manak itu hanya dalam bentuk
mantra-mantra saja yang meliputi tidak lebih dari enam buah
mantra. Bentuk-bentuk mantra itu dapat diklasifikasikan menjadi
dua bagian menunurut isinya yaitu: pertama mantra sebagai
sarana penguat kandungan untuk mengunci kandungan agar tidak
mengalami keguguran. Mantra ini terdiri dari dua mantra, yakni
mantra yang lebih pendek dan yang lebih panjang; kedua mantra
pembuka kandungan ketika sudah ada tanda-tanda bayi akan lahir
demikian pula sesudah bayi lahir. Mantra ini terdiri atas empat
buah mantra. Mantra setelah bayi di luar kangdungan juga disebut
mantra pembuka (pamungkah). Keempat mantra terakhir ini pun ada
sebuah yang pendek dan tiga lebih panjang lagi sedikit. Ciri bentuk
pengaruh yang lain belum dapat diteliti lebih akurat lagi, diharapkan
penelitian rintisan ini akan banyak mengunggah para peneliti lain
yang berkecimpung dalam bidang pengobatan.

2.3 Penafsiran Adanya Pengaruh Islam dalam Pengobatan


Tradisonal

Adanya pengaruh pada dua kebudayaan atau lebih adalah suatu


hal yang lumrah terjadi dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.
Hampir dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu kebudayaan pun
yang luput dari pengaruh-mempengaruhi sesamanya. Masalahnya
adalah seberapa jauh kadar kedalaman atau kedangkalan pengaruh
itu, hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat perbedaan, kadar kesetiaan
dan fanatisme pendukung masing-masing penganutnya. Semakin
besar perbedaan kebudayaan, kadar kesetiaan serta fanatisme akan
semakin besar pula pengaruh itu bisa terjadi begitu juga sebaliknya.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 11


Agama Hindu memiliki pandangan ketuhanan yang cukup
fleksibel dan luas dalam arti memandang Tuhan itu begitu agung,
maha tahu, maha pengasih, maha penyayang, maha pengampun,
maha bijaksana dan walaupun tunggal adanya tetapi disebut dengan
berbagai nama serta berada di mana-mana. Karena pandangan
ketuhanan yang demikian itu disebut polymonotheisme, artinya
mengakui adanya banyak dewa sebagai manifestasi, sebagai
perwujudan dari kemahatuhanan-Nya. Hal seperti ini sangat jelas
diuraikan dalam sloka Bhagawadgita seperti berikut :

Eka Sat Viprah bhahuda Wadanti Agnim Yanam Matari Swanam.


‘Hanya satu Tuhan, orang bijaksana menyebutkan dengan banyak
ama seperti : Agni, Yama Matahari-swanam’.

Mungkin akibat orang-orang menyebutnya dengan banyak


nama seperti itu lalu menimbulkan anggapan dari orang lain dengan
menyebut agama Hindu itu sebagai polytheisme ‘menyembah
banyak tuhan’. Sebenarnya anggapan demikian kurang berdasar
sebab sesungguhnya Hindu hanya menuliskan satu Tuhan. Hal ini
akan terbukti dari kalimat-kalimat yang tertuang di dalam Weda
sebagai berikut.

Ekam Ewam Adwityam               
‘hanya ada satu Tuhan’
Kalimat itu secara lengkap adalah Ekam Ewam Adwityam
Brahman ‘hanya ada satu Tuhan tak ada duanya Brahman itu’.
Brahman adalah nama lain dari Tuhan yang di dalam masyarakat
Bali sering disebut Ida Sangyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha
Esa. Pada bagian lain keesaan Tuhan dalam Weda juga dijelaskan
sebagai berikut.

Eko  Narayanad na  Dwityam  Asti  Kascit 


‘hanya ada satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya’
namun karena kemahabijaksanaannya dan kemahawidyaannya
Tuhan bisa berada di mana-mana yang diungkapkan dengan istilah
wyapi wyapaka.

12 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Selain itu tingkat fleksibelitas dalam Hindu juga tampak dalam
memandang prinsip-prinsip dasar agama lain seperti antara Hindu
dan Budha. Kedua agama ini dapat bersatu di Indonesia lebih-lebih
di Bali salah satu faktor menyebabnya adalah karena masing-masing
memiliki fleksibelitas dalam melihat setiap persoalan. Pada zaman
Majapahit di Jawa Timur sangat jelas terlihat penyatuan kedua agama
ini antara Hindu dan Budha sebagaimana secara eksplisit dinyatakan
di dalam bait kakawin Sutasoma sebagai berikut.

Rwaneka dhatu winuwus  wara  Budha  Wiswa,


bhinneki rakwa ringapan kena  parwanossen, mangkang
Jinatwa kalawan Siwa tatwa tunggal, bhinneka tunggalika tan hana
dharma mangrwa.

Dua  ada  (itu)  Tuhan  yang  disebutnya  Buddha  dan  Siwa,


konon  kedua  ini  berbeda   tetapi  manakah  yang  dapat  dibedakan,
demikianlah  hakikatnya  Buddha  dan  Siwa  itu  adalah  satu,
berbeda (itu) tetapi satu (itu) tidak ada dua agama (kebenaran)

Di Bali persatuan dan kesatuan agama tersebut semakin


erat karena sifat keterbukaan dan toleransi masyarakat yang
terpelihara antar sesama. PSetiap pelaksanaan upacara-upacara
keagamaan yang berskala lebih besar di Bali selalu diselesaikan
dengan kehadiran kedua tokoh pendeta dari kedua agama tersebut.
Dampak dari keterbukaan dan toleransi masyarakat Bali seperti ini
memungkinkan munculnya pengaruh agama lain dalam berbagai
kehidupan masyarakat, termasuk pengaruh agama Islam dalam
pengobatan tradisional Bali sebagaimana telah dijelaskan di depan.
Tiga aksara suci yang disebut triaksara Ang, Ung, Mang atau
yang sering disebut Om dalam teks Usada Manak mungkin dapat
dianggap sebagai salah satu bukti telah terjadinya proses akukturasi
budaya dengan agama lain dengan dijumpainya penyebutan nama
Tuhan agama Islam seperti Allah, Muhamad, Rasulullah, Bismillah,

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 13


dan lain-lainnya yang digunakan dalam bentuk mantra-mantra
seperti telah kita baca dalam uraian terdahulu. Proses penyembuhan
melalui kombinasi dua keyakinan seperti ini memberikan nilai
tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui cara seperti
ini tentu diharapkan akan dapat memberikan dampak positif yang
lebih besar dalam proses penyembuhan. Pada hakikatnya tujuan
seperti inilah yang diharapkan dari semua cara yang dilakukan
dalam sistem pengobatan. Hakikat sesungguhnya dari semua ajaran
agama memiliki dasar yang sama yakni memuja kebesaran Tuhan
dalam segala bentuk dan perwujudannya hanya saja cara dan bentuk
lahiriah yang menyangkut teknik pelaksanaan dalam permukaannya
yang menyebabkan kelihatan berbeda, tetapi sebenarnya adalah
tunggal : bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Bila hal tersebut dapat dipahami dan dihayati kemudian
diamalkan, maka sangat mungkin tujuan penelitian ini akan
memberikan hasil positif yang lebih besar yang akhirnya akan dapat
memberikan efek kesembuhan yang luar biasa baik pisik maupun
mental bagi masyarakat luas.

3. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Ciri pengaruh agama Islam dalam teks Usada Manak dapat


dikenali melalui pemakaian kata-kata bahasa Arab yang biasa
dipakai dalam kehidupan agama Islam. Kata-kata itu diantara
lain adalah : Allah, Muhamad, Rasulullah, Bismillah, irachman,
laillah dan lain-lainnya.

14 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


2. Bentuk pengaruh agama Islam dalam teks Usada Manak adalah
berupa mantra-mantra yang dalam teks Usada Manak dijumpai
pada awal teks. Mantra-mantra itu merupakan kombinasi antara
ucapan suci agama Hindu dan Agama Islam.

3. Kehadiran pengaruh antara satu kebudayaan dengan kebudayaan


yang lain adalah satu hal yang lumrah. Begitu pula pengaruh
agama Islam dalam masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu
dapat kita pahami karena masyarakat Bali tergolong masyarakat
yang memiliki sifat ramah, luwes dan penuh toleransi, begitu
pula agama Hindu yang memang mudah berasimilasi atau mudah
terjadi sinkristisme dengan agama lain seperti dengan agama
Budha semenjak berkembang di Jawa Timur.

3.2 Saran-saran

Penelitian ini bersifat rintisan yang lebih banyak bertujuan


untuk menggugah penelitian selanjutnya dengan metode yang lebih
baik dan akurat. Penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif
mengenai sistem pengobatan tradisional di Bali ke depan memang
perlu dilakukan dalam rangka mencari jawaban seberapa jauh
tingkat akurasi serta efektivitas sistem pengobatan tradisional Bali
melalui cara serta kombinasi dua keyakinan tertentu. Sistem atau
cara seperti ini juga diharapkan dapat membawa dampak posisitf
dalam rangka memelihara kerukunan dan tali silahturahmi antar
umat beragama di Bali

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 15


DAFTAR PUSTAKA
Pendit, Nyoman S. 1979-1980. Bhagawadgita. Denpasar :
Dharma Bakti.

Sugriwa, I.G.B. 1977. Penuntun Pelajaran Kakawin.

Wirawan, A.A. Bagus. 1979-1980. Sejarah Masuknya Islam di


Beberapa Kabupaten    di Bali. Denpasar : Fakultas Sastra
Universitas Udayana.

Usada Manak koleksi Unit Pelaksana Teknis Lontar Universitas


Udayana kropak no. 229 Denpasar

16 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Bahasa Jawa Kuno Dalam
Pasang Aksara Bali

I Gde Nala Antara


Program Studi Sastra Bali FIB Universitas Udayana

Pendahuluan

Bahasa Jawa Kuno merupakan salah satu bahasa Nusantara


purba yang dikenal sebagai subbagian dari rumpun linguistis
Austronesia. Bahasa Jawa Kuno memiliki ciri leksikal berupa
pengaruh bahasa Sanskerta yang sangat besar. Meskipun demikian,
bahasa Jawa Kuno ditinjau dari segi susunan gramatika tetap
menunjukkan ciri khas bahasa Nusantara. Kosakata bahasa Sanskerta
dan bahasa Indo Arya Muda dalam konteks ini memperkaya bahasa
Jawa Kuno, seperti juga bahasa daerah-daerah lainnya di Nusantara
(Zoetmulder, 1985: 8).

Tonggak awal penggunaan bahasa Jawa Kuno secara literal


ditandai dengan penemuan prasasti Sukabumi berangka tahun 804
Masehi menggunakan aksara Jawa Kuno. Pada kurun waktu yang
tidak jauh berbeda, di pulau Bali ditemukan prasasti berbahasa Bali
Kuno tepatnya pada tahun 882 Masehi berbahasa Bali Kuno dan
ditulis menggunakan aksara Bali Kuno. Secara historis eksistensi
bahasa Bali Kuno tidak berlangsung lama karena sekitar abad X,
pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana di Bali, bahasa yang
digunakan dalam prasasti-prasasti Bali telah diubah menjadi bahasa
Jawa Kuno. Sampai pada sekitar abad XIII bahasa yang digunakan
dalam prasasti-prasasti Bali Kuno masih menggunakan bahasa Jawa
Kuno. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Jawa Kuno secara historis
memegang peranan yang besar sebagai bahasa resmi kerajaan.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 17


Sesungguhnya pengaruh bahasa Jawa Kuno tidak hanya
terjadi di masa silam. Pengaruh leksikal bahasa tersebut, tampak
nyata dalam bahasa Bali yang saat ini masih aktif digunakan oleh
masyarakat Bali sebagai media komunikasi. Usaha penyelematan
bahasa Jawa Kuno termasuk candi pustaka karya sastranya diakui
oleh banyak kalangan tidak dapat dilepaskan dari peranan masyarakat
Bali yang kini banyak mewarisi khazanah sastra Jawa Kuno.

Tidak banyak disadari bahwa usaha pelestarian bahasa


Jawa Kunosejatinya dilakukan secara sadar oleh masyarakat Bali,
terutama termanifestasi dalam pasang aksara Bali. Karena nilai-nilai
yang terkandung dalam karya sastra Jawa Kuno tersebut diyakini
berguna bagi masyarakat Bali dalam berbagai dimensi kehidupan
maka sistem penulisan aksara Bali disesuaikan dengan ejaan bahasa
Jawa Kuno. Sistem ejaan yang mengikuti tata aturan ejaan bahasa
Jawa Kuno ini dikenal dengan sebutan Pasang Purwa Dresta.

Penetapan pasang aksara Bali yang mengacu pada Pasang


Purwa Dresta sejatinya menunjukkan pembelaan terhadap
eksistensi bahasa Jawa Kuno di Bali. Dalam sejarah perkembangan
ejaan di Bali, loyalitas tersebut tidak akan berarti jika tanpa ujian.
Ujian loyalitas yang dimaksud berkaitan dengan usaha-usaha yang
dilakukan untuk menyederhanakan pasang aksara Bali. Usaha itu
pernah dilakukan pada masa pemerintahan Belanda di Bali sekitar
tahun 1931 oleh seseorang yang bernama H.J.E.F Schwartz. Ejaan
yang ditetapkan oleh Schwartz tersebut kemudian dikenal dengan
ejaan Schwartz.

Ejaan Schwartz merupakan hasil pembicaraan H.J.E.F


Schwartz dengan beberapa orang cendikiawan yang dianggap
memiliki kompetensi dan kapasitas dalam bidang aksara Bali. Ejaan

18 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Schwartz adalah penyederhanaan dari ejaan atau Pasang Purwa
Dresta yang dirasa akan lebih praktis penggunanaannya. Melalui
buku yang berjudul Oeger-Oeger Aksara saha Pasang Sasoeratan
Basa Bali Kepara, ejaan ini ditetapkan pada tanggal 24 Februari
tahun 1931 oleh Directeur Onderwijs dan Eeredienst.

Pada pembahasan awal, ejaan ini membedakan antara aksara


yang disebutnya sebagai aksara Kawi-Bali dengan aksara Bali-
Kepara. Aksara Bali-Kawi merupakan aksara yang digunakan untuk
menuliskan bahasa-bahasa serapan dari bahasa bahasa Sanskerta,
Jawa Kuna/Kawi, dan bahasa Jawa Pertengahan seperti yang
ditemukan dalam lontar-lontar. Aksara ini juga disebut aksara murda.
Sementara itu, aksara Bali Kepara adalah aksara yang digunakan
untuk menuliskan bahasa Bali Lumrah (bahasa yang digunakan
dalam keseharian masyarakat Bali).

Buku ini sesungguhnya bukan karya murni dari Schwartz,


tetapi disusun dari hasil perbincangan Schwartz dengan para
cendikiawan Bali di masa itu di antaranya para agung di Buleleng,
Tabanan, Klungkung, Karangasem, serta para sulinggih, schoolopzier
mantri guru sekolah kelas II, dan orang-orang yang disebut nyastra
(orang-orang yang memahami bidang sastra dan kebudayaan Bali)
(Schwartz; 1931: 4). Ejaan Schwartz yang hadir di tengah-tengah
masyarakat Bali pada saat itu menuai kontroversi. Bahkan ada yang
menyatakan ejaan ini tidak mampu menyelesaikan masalah akan
tetapi menambah masalah.

Sesungguhnya penolakan terhadap ejaan Schwartz lebih


dilatarbelakangi oleh rasa primordialisme masyarakat Bali, yang
menganggap penghilangan terhadap beberapa aksara murda tersebut
tidak sesuai dengan apa yang telah diwariskan oleh para leluhur

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 19


melalui pustaka-pustaka lontar. Penolakan juga dilakukan karena
ejaan ini dianggap sebagai akar penyebab kekacauan penulisan
aksara Bali. Akan tetapi, di satu sisi ada pula yang beranggapan
bahwa jika ejaan ini dikembangkan dapat dijadikan modal untuk
mempermudah pembelajaran aksara Bali.

Berdasarkan aturan-aturan menulis ejaan Schwartz di


atas, dapat diketahui pertimbangan mendasar yang menyebabkan
penghilangan beberapa warga aksara pada ejaan Schwartz. Selain
karena tujuannya untuk menyederhanakan pembelajaran di sekolah
rakyat pada masa itu, pada kenyataannya secara fonetis masyarakat
Bali memang tidak mampu untuk mengucapkan warga aksara
yang dihilangkan tersebut. Sementara itu, dalam judul buku yang
dipergunakan oleh Schwartz sudah ditegaskan bahwa ejaan yang
ditetapkannya itu memang diperuntukkan sebagai pedoman untuk
menulis bahasa Bali Kepara. Jadi, cukup beralasan jika penulisannya
tidak mempergunakan aksara murda. Penolakan oleh masyarakat
Bali terhadap ejaan Schwartz ini sesungguhnya sebagai akibat
perbedaan interpretasi masyarakat Bali. Ejaan Schwartz diciptakan
dengan dasar untuk memudahkan menulis aksara Bali di masa
depan. Sementara itu, PasangPurwa Dresta lebih mengarah pada
upaya pelestarian.

Pelestarian yang dimaksud secara lebih khusus berkaitan


dengan pelestarian bahasa Jawa Kuno yang banyak tertulis di
atas pustaka lontar Bali. Ada semacam kekhawatiran bagi para
intelektual Bali pada masa ditetapkannya ejaan Schwartz berkaitan
dengan kemampuan masyarakat Bali di masa depan apabila ejaan
tersebut digunakan. Hal itu paling tidak dapat diketahui berdasarkan
notulensi Pasamuhan Agung Bahasa Bali yang dilakukan pada tahun
1957 ketika menetapkan Pasang Purwa Dresta sebagai pedoman
dalam penulisan Pasang Aksara Bali.
20 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Bahasa Jawa Kuna dalam Pasang Aksara Bali

Setelah beberapa kali mengalami perubahan, di antaranya


pada Pasamuhan Agung Kecil tahun 1963, didiskusikan dalam
berbagai seminar dan lokakarya, eksistensi bahasa Jawa Kuno
mendapat perhatian dan tempat istimewa dalam pasang aksara Bali.
Dalam lokakarya terakhir yang membicarakan pasang aksara Bali
pada tanggal 24 Desember 1997 eksistensi itu sangat jelas dengan
dicantumkannya pada aturan yang sangat mendasar dalam pasang
aksara Bali tentang kata-kata bahasa Jawa Kuno. Lokakarya itu
menghasilkan aturan baku tentang tatacara penulisan atau ejaan
aksara Bali yang lebih dikenal dengan Pedoman Pasang Aksara Bali
(cetakan pertama tahun 1998) dan masih berlaku sampai sekarang.

Dalam Pedoman Pasang Aksara Bali itu dengan tegas dinyatakan


bahwa semua aturan (uger) pasang sastra / pasang aksara bertitik
tolak pada kata (kruna). Sebelum melihat secara rinci peran bahasa
Jawa Kuna dalam penetapan aturan pasang aksara Bali terlebih
dahulu dapat dilihat aturan umum yang berkaitan dengan peran
bahasa Jawa Kuno. Ada tiga aturan umum yang mendasari pasang
aksara Bali, yaitu:

(1) Kata-kata bahasa Bali (asli) ditulis menggunakan akasara


Anacaraka (Wreastra) yang jumlahnya delapan belas (18)
aksara wianjana dan enam vokalnya menggunakan wisarga
yang menggunakan panganggé suara (ulu, suku, taléng,
taléng-tedong, dan pepet))

(2) Kata-kata bahasa Bali yang berasal dari bahasa Kawi (Jawa
Kuno) dan Sanskerta ditulis menggunakan aksara Sualalita,
yaitu 18 aksara Anacaraka/Wreastra ditambah dengan
aksara mahaprana, aksara murdania, aksara hresua/dirga,
dan aksara usma.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 21


(3) Kata-kata bahasa Bali yang berasal dari bahasa-bahasa lain
seperti bahasa daerah lain, bahasa Indonesia, dan bahasa asing
selain bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta ditulis menggunakan
18 aksara Anacaraka, vokalnya ditulis menggunakan aksara
suara (akara, ikara, ukara, ekara, okara, airsania), dan
ditulis sesuai ucapan dalam bahasa Bali (Medera dkk, 2005:
11).

Dari aturan yang dituangkan di atas, dapat dilihat bahwa


aksara Bali (aksara Sualalita) tetap digunakan untuk menuliskan
kata-kata bahasa Bali yang diserap dari bahasa Jawa Kuno. Hal ini
juga menunjukkan bahwa aksara Bali yang selama ini dikatakan
sedikit berbeda jumlah aksaranya dengan aksara Jawa (antara 18
dengan 20) terjawab pada kasus ini. Sesungguhnya kekurangan dua
buah aksara dalam aksara Anacaraka keberadaannya tersembunyi
dalam aksara Sualalita yang digunakan pada aturan (nomor 2) di
atas..

Penjabaran aturan nomor dua (2) di atas dalam pasang aksara


Bali jelas terlihat pada pasang sastra/aksara berikut.

(1) Rangkepan Wianjana

Yang dimaksud dengan rangkepan wianjana adalah pertemuan dua


wianjana (konsonan) yang sehomorgan atau satu daerah artikulasi
(pakadangan/warga aksaranya sama), yang satu menjadi pangawak,
yang lainnya menjadi gantungan. Ada empat jenis kata-kata bahasa
Jawa Kuno yang ditulis menggunakan rangkepan wianjana,

(1) Rangkepan wianjana sca ]Ç, seperti

pascat ‘sempurna’ p]Çt/,

22 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


pascima ‘bagian barat’ p]Çim,

niscaya ‘pasti’ ni]Çy,

(2) Rangkepan wianjana jnya jñ,seperti

prajnyan ‘pandai/bijaksana’ pÉjñon/,

yajnya ‘korban suci’ yjñ,

(3) Rangkepan wianjana ssa ]Ö, seperti

Dussasana ‘dussasana’ du]Öosn,

(4) Rangkepan wianjana sta [Õ, , sna, [Å, nta xÕ, seperti

dusta ‘pencuri’ du[Õ,

wasta ‘nama’ Wÿ[Õ,

kanta ‘leher’ kxÕ,

kanti ‘bantuan’ kxÕø,

tresna ‘cinta’ tÊ[Å,

Kresna ‘kresna’ kÊ[Å,

(2) Pluta

Pluta merupakan pertemuan dua buah aksara wianjana yang


tidak sehomorgan pada kata dasar (Medera dkk, 2005, 15).
Pluta juga merupakan upaya memperpanjang ucapan vokal
(Zoetmulder, 2000: 830; Williams, 2016: 715). Hal seperti inilah
yang menyebabkan ucapan pluta dalam bahasa Bali sedikit

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 23


berbeda dan menimbulkan perubahan bentuk.

smrti ‘ingatan’ sàÌtø, semerti s)m$tø,

stuti ‘pujian’ sÓ¡tø, astute ÁsÓ¡tø,

ksama ‘ampun’ k×m, aksama Ák×m,

ksatria ‘ksatria’ k×tÉøy, satria stÉøy,

stri ‘isteri’ sÓËù, istri høsÓËù,

(3) Kata Dasar Bersuku Tiga

Pada kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata yang suku pertamanya
bersuara /ǝ/ pada pasang aksara Bali ditulis dengan aksara legena
(tanpa pepet), seperti

Bhs. Bali Bhs. Jawa Kuna Aksara Bali

segara < sāgara ‘laut’ Sÿgr,

negara < nāgara ‘negara’ Nÿgr,

semadi < samādhi ‘samadi’ sMÿŒi,

semaya < samaya ‘janji’ smy,

Akan sangat berbeda ketika kata-kata bahasa Bali asli yang terdiri
dari tiga suku kata yang ditulis menggunakan pepet --) seperti:

ketéwél ‘kayu nangka’ k)etewl/,

kebilbil ‘malu dan canggung’ k)bølãøl/,

kedelé ‘kedelai’ k)d)el,


24 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
(4) Pasang Pageh

Pasang Pageh adalah pasang aksara yang tulisannya memang


sudah baku seperti apa yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau
Sanskerta. Kenyataannya memang demikian karena kata-kata yang
berasal dari bahasa Jawa Kuno/Sanskerta ditulis menggunakan
pasang pageh. Penulisan kata-katanya ditandai dengan munculnya
pemakaian aksara sualita (dari aksara suara sampai mahaprana),
seperti berikut.

agama ‘agama’ õgm,

acara ‘aturan’ õCÿr,

idep ‘pikiran’ ÷Œ)p/,

usada ‘ilmu pengobatan’ ú[Œ,

éka ‘satu’ 6k,

airsania ‘arah timur laut’ ü([xê,

osadi ‘tumbuhan obat’ 3[Œi,

manik ‘manik’ mxùk/,

daksina ‘arah selatan’ dk×ix,

wadu ‘wanita’ wŒU,

sadu ‘jujur’ SÿŒu,

Parta ‘nama lain Arjuna’ p(q,

arta ‘harta’ Á(q,

tika ‘kalender tradisional’ `øk,

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 25


kuta ‘kota’ kU`,

sisia ‘murid’ ]i[ê,

bisama ‘fatwa’ vi[m,

satru ‘musuh’ ]tɱ,

sakti ‘sakti’ ]kÓø,

langgana ‘durhaka’ l\ân,

dirga ‘panjang’ d!f,

bakti ‘hormat’ vkÓø,

bagia ‘bahagia’ Vÿgê,

pala ‘buah’ |l,

wija ‘biji kesucian’ wIj,

pupu ‘paha’ pupU,

détya ‘raksasa’ Edtê,

sida ‘dapat’ sidÒ,

suéca ‘rela’ esÙcÈ,

26 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


DAFTAR PUSTAKA

Antara, I Gde Nala. 2010. Nglimbakang Pasang Aksara Bali.

Denpasar: Kriapatra sajeroning Pelatihan dan Seminar Bahasa,

Aksara, dan Sastra Bali.

Antara, I Gde Nala dkk. 2016. Kamus Bali-Indonesia Beraksara


Latin dan Bali. Edisi II. Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara,
dan Sastra Bali Provinsi Bali.

Medera, I Nengah, dkk. 2005. Pedoman Pasang Aksara Bali.


Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Mertha, Made. “Kajian Sejarah Ejaan Aksara Bali” (Skripsi


Sarjana).

Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Schwartz, H.J.E.F. 1931. Oeger-oeger Aksara saha Pasang


Sasoeratan Basa Bali Kapara. Batavia: Landsdrukkerij.

Simpen AB, I Wayan. 1973. Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas


Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perobahan Ejaan Bahasa Bali


dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: Rhika.

Williams, Sir Monier Monier. 2016. Sanskrit-English Dictionary.


New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt.Ltd.

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalanguan, Sastra Jawa Kuno Selayang


Pandang.

Jakarta: Djambatan.

_____________. 2000. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 27
Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul:

Analisis Semiotik

I Ketut Eriadi Ariana, I Nyoman Sukartha, I Made Suastika

Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakuktas Ilmu Budaya


Universitas Udayana

Abstract

This study aims to examine how the depiction of nature


in Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul, its meaning, and how
the meaning was developed as a mean to conserve the physical
environment. Old Javanese Literature as one of Archipelago’s
traditional literatures containing ecological virtue which can be
an answer to the damaging environmental condition. The theory
which was used as the basis in this research was Roland Barthes
semiotic theory which was focused on the development of second
level meaning (connotation). The result of study towards KKDPB
showed that the nature depicted inside was in the form of mountains,
oceans, rural environment, and farming environment. In connotation
level, the nature in general was interpreted as the manifestation and
palace of the Gods. The meaning was developed becoming the myths
and was instrumental in nature conservation in any region.

Keywords: purāṇa literature, ecosystem, semiotic.

28 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


1. Pendahuluan

Krisis lingkungan yang dihadapi manusia modern merupakan


akibat langsung dari tindakan manusia yang tanpa dilandasi nilai-
nilai etika atau moral lingkungan (Suka, 2015:1). Sebagai contoh
dalam bidang kehutanan, menurut data Global Forest Watch
dan Forest Watch Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga 2013,
Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar. Jika dirata-ratakan,
dalam setiap menit Indonesia kehilangan hutan seluas tiga kali luas
lapangan sepakbola. Data Forest Watch Indonesia mengungkapkan
luas hutan Indonesia pada tahun 1950 diperkirakan 193 juta hektar.
Tahun 2009, luas hutan Indonesia hanya sekitar 88 juta hektar, dan
pada tahun 2013 jumlah wilayah hutan Indonesia hanya sekitar 82
juta hektar (http://sains.kompas.com, April 2015). Hingga September
2016, penyusutan wilayah hutan masih tetap terjadi dan menjadi
masalah prioritas bagi sebagian provinsi di Indonesia.

Berdasarkan fakta tersebut, penguatan etika lingkungan pada


masyarakat mutlak dilakukan. Penguatan etika lingkungan pada
masyarakat dapat digali melalui pembedahan nilai-nilai ekologis
yang termuat dalam kearifan lokal Nusantara. Salah satu wujud
sistem pengetahuan lokal Nusantara yang bisa dijadikan refleksi
untuk memecahkan permasalahan lingkungan adalah sastra Jawa
Kuno. Sastra Jawa Kuno merupakan candi aksara yang menjadi
bukti monumental proses evolusi peradaban leluhur Nusantara.
Sastra Jawa Kuno tidak semata muncul sebagai karya estetik yang
hanya mampu menghibur. Sisi lain yang dikandung oleh sastra
Jawa Kuno adalah permata-permata etika yang bisa dijadikan
kompas dalam proses menemukan kesejatian hidup. Nilai-nilai etika
tersebut penting untuk ditengok, direnungkan, dan dibumikan dalam
kehidupan masyarakat modern.

Ungkapan puitis yang termuat dalam karya sastra Jawa Kuno


mengandung pokok pikiran yang mengetengahkan “kemanunggalan”
alam semesta dan semua makhluk di dalamnya. Alam semesta dan
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 29
makhluk hidup di dalamnya dipandang merupakan manifestasi dari
Tuhan (Zoetmulder, 1985:270). Konsep kemanunggalan antara
alam, manusia, dan Tuhan (Tri Hita Karana) nampaknya terus
berkembang dan beregenerasi dalam karya-karya sastra Jawa Kuno
dari masa Raja Dharmawangsa Teguh (991-1007 Masehi) hingga
karya-karya sastra Jawa Kuno yang terlahir di Bali. Salah satu teks
sastra Jawa Kuno yang menunjukkan tanda-tanda pemikiran tersebut
adalah Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul (selanjutnya ditulis
KKDPB).

Bahasa yang digunakan dalam KKDPB adalah bahasa Jawa


Tengahan yang disertai dengan kutipan-kutipan śloka Sanskerta.
Penggunaaan bahasa Jawa Tengahan mengindikasikan teks ini
tergolong sebagai teks muda dan kemungkinan ditulis di Bali. Cerita
yang diangkat dalam KKDPB adalah cerita turunnya para dewa dan
rsi putra Hyang Pasupati ke Nusa Bangsul (Pulau Bali). Para dewa
penjaga Pulau Bali disimbolkan menguasai gunung, laut, hutan, dan
simpul ekologis lainnya yang menunjang kestabilan ekosistem Bali.
Keberadaan para dewa tersebut memiliki akibat yang besar bagi
kelestarian ekosistem Pulau Bali kini.

Sastra bukanlah komunikasi yang biasa, melainkan memiliki


banyak segi yang aneh dan luar biasa jika dibandingkan dengan
tindak komunikasi yang lain (Teeuw, 2015: 36). Bahasa sastra adalah
bahasa sistem model kedua sebagaimana diintroduksi oleh Lotman
(1977:15), metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya
(Ratna, 2013:111). Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa
bahasa adalah alat komunikasi masyarakat yang menggunakan
sistem tanda yang maknanya dipahami secara konvensional dalam
kehidupan sosial. Tanda merupakan kesatuan antara aspek signifiant
(penanda) dan signifie (petanda) (Hoed, 2011:54).

Penempatan para putra Hyang Pasupati di pusat-pusat ekosistem


Pulau Bali yang termuat dalam KKDPB kemungkinan merupakan

30 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


tanda yang digunakan untuk merepresentasikan keberadaan
alam yang harus dihormati manusia. Ditinjau dari sudut sosial,
sampai saat ini daerah yang diklaim sebagai wilayah suci tempat
bersemayamnya para dewa tersebut sangat dilindungi kesuciannya,
baik secara spiritual maupun secara ekologis oleh masyarakat.
Model pelestarian tersebut sukses menjaga kelestarian ekosistem
Pulau Bali, setidaknya dalam “zona kesucian pura” yang ditetapkan
pemerintah.

KKDPB dipilih sebagai objek penelitian didasarkan pada


beberapa pertimbangan sebagai berikut. 1) Sepengetahuan penulis,
KKDPB belum pernah diteliti di kalangan ilmiah walaupun telah
banyak diacu oleh penulis buku-buku babad. KKDPB yang banyak
diacu oleh penulis buku-buku babad menunjukkan eksistensi teks
ini dalam khazanah kesusastraan tradisional; 2) Tanda-tanda yang
terdapat dalam KKDPB merupakan fenomena semiotik yang perlu
didalami lebih lanjut sehingga menghasilkan kepaduan makna,
khususnya dalam kaitannya terhadap lingkungan fisik (ekosistem);
3) Cerita KKDPB yang mengangkat kehidupan sosial-ekologis
masyarakat Bali bisa dijadikan dasar pelaksanaan program
pembangunan nasional berbasis lingkungan untuk mengantisipasi
dampak pemanasan global; 4) Sastra mampu memposisikan diri
sebagai pewahyu rakyat, sehingga dengan pembongkaran makna
KKDPB dalam aspek lingkungan diharapkan mampu mewahyukan
gerakan sadar dan cinta lingkungan yang menjadi isu strategis dunia
saat ini.

2. Pokok Permasalahan

Permasalahan yang dirumuskan dalam tulisan ini meliputi


bagaimana penggambaran lingkungan fisik (ekosistem) Pulau Bali
dan pemaknaannya dalam KKDPB serta bagaimana pemaknaan
KKDPB terhadap lingkungan dikembangkan oleh masyarakat untuk
mendukung kelestarian lingkungan.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 31


3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk menggali dan memberikan


gambaran lebih spesifik terhadap hasil karya sastra tradisional
Nusantara yang mengandung mutiara-mutiara etika dan estetika
sebagai warisan budaya bangsa. Selain itu, dalam ruang lingkup
yang lebih luas penelitian ini diharapkan mampu menambah
wawasan keilmuan dan menunjang penyediaan bahan studi sastra
Jawa Kuno yang bisa dijadikan dasar dalam proses penyelamatan,
pelestarian, dan pengembangan sastra tradisional Nusantara. Secara
khusus, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui penggambaran
alam dan pemaknaannya dalam KKDPB, serta menunjukkan
bagaimana pemaknaan lingkungan fisik KKDPB dikembangkan
oleh masyarakat untuk mendukung kelestarian lingkungan.

4. Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori


semiotika yang dibantu dengan teori struktural. Teori struktural
digunakan untuk membedah struktur yang membangun KKDPB,
sehingga didapatkan keduan teks. Berdasarkan paraphrase Hawkes,
Jean Piaget mendefinisikan strukturalisme menjadi tiga aspek
konsep struktur, yaitu a) gagasan keseluruhan (koherensi intrinsik);
b) gagasan transformasi; dan c) gagasan regulasi diri (Teeuw, 2015:
110). Strukturalisme dalam disiplin linguistik dipelopori oleh
Ferdinand de Saussure yang menawarkan konsep dikotomi yang
jelas antara signifiant, parole dan langue, serta sinkroni dan diakroni
(Ratna, 2013,84).

Semiotika mempostulasikan suatu hubungan antara dua terma,


yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan tersebut
berkaitan dengan objek-objek yang termasuk ke dalam kategori-
kategori yang berbeda, sehingga hubungan tersebut tidak bersifat
persamaan (equality), tetapi bersifat kesepadanan (equivalence).
Dalam bahasa biasa, penanda mengungkapkan petanda, namun

32 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


sistem semiologis tidak memiliki dua terma, melainkan tiga terma.
Penanda, petanda, dan tanda merupakan asosiatif dari kedua terma
pertama (Barthes, 2007:298-300). Barthes mengembangkan teori
ini menjadi metabahasa dan konotasi, dimana signifiant menjadi
ekspresi [E] dan signifie menjadi isi [C]. Antara E dan C harus
ada relasi [R] tertentu untuk membentuk tanda [sign, Sn]. Setiap
tanda memperoleh pemaknaan awal yang dikenal secara umum
(denotasi) dan oleh Barthes disebut “sistem primer”, sedangkan
pengembangannya disebut “sistem sekunder”. Sistem sekunder yang
ke arah E disebut metabahasa, sedangkan ke arah C disebut konotasi
(Hoed, 2011:45).

5. Metode Penelitian

Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini dibagi


menjadi tiga bagian, yaitu metode dan teknik pengumpulan data,
metode dan teknik analisis data, dan penyajian hasil analisis data.
Pada tahap pengumpulan data digunakan metode simak, dibantu
dengan teknik pembacaan, pencatatan, alih aksara, dan terjemahan.
Tahap analisis data digunakan metode deskriptif analisis yang
dilakukan dengan mendeskripsikan fakta-fakta, kemudian disusul
dengan analisis. Pada tahap analisis data, metode deskriptif analisis
dibantu dengan teknik pemilihan, penyusunan, dan pemilahan data.
Terakhir, pada tahap penyajian data digunakan teknik formal dan
informal yang dibantu dengan teknik berpikir induktif.

6. Hasil dan Pembahasan

6.1 Deskripsi Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul

Kutara berasal dari kata dasar utara, kemudian mengalami


afiksasi dengan mendapatkan prefiks ka-. Kata utara (angutara)
dalam bahasa Jawa Kuno berarti ‘membawakan’; ‘menceritakan’
(Zoetmulder, 2011:1354). Kata ini kemudian masih dipakai dalam
bahasa Bali yang memiliki arti ‘mengucapkan’, ‘menguraikan’
(Panitia Penyusun, 1978:636).

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 33


Morfologi kata utara menjadi kutara merupakan penyimpangan
proses morfologi bahasa Jawa Kuno. Menurut Zoetmulder (1992:3-
4), proses persandian bahasa Jawa Kuno terjadi jika dalam rangkaian
lingga (kata dasar) dan afiks (awalan, sisipan, dan akhiran) atau
dalam rangkaian dua kata ada dua vokal yang berturut-turut, vokal
tersebut kerap kali luluh dan membentuk vokal baru. Jika bunyi a
diikuti oleh bunyi lain selain ê, maka terjadi pembentukan vokal
baru, dimana ketika bunyi a bertemu dengan bunyi u maka akan
menjadi o, contohnya a + umah menjadi omah, dan ketika bunyi
a bertemu dengan bunyi i akan menjadi e, contohnya kapa + ingin
menjadi kapengin.

Setelah diteliti lebih lanjut, pembentukan kata utara menjadi


kutara ternyata ditemukan dan dibenarkan dalam proses morfologi
bahasa Bali. Dalam bahasa Bali, ada dua proses persandian yang
dihasilkan dari pertemuan prefiks ka- dengan kata dasar yang
berawalan dengan vokal, yaitu terjadi peluluhan vokal a ataupun
membentuk vokal baru. Contoh persandian yang mengakibatkan
peluluhan vokal a dapat dilihat pada kata kubêr ‘dikejar’ yang berasal
dari kata dasar ubêr ‘kejar’ dan mendapat prefiks ka-, sedangkan
contoh persandian yang mengakibatkan terbentuknya vokal baru
misalnya pada kata kocap ‘disebut’ yang berasal dari kata dasar
ucap ‘sebut’ dan mendapat prefiks ka-. Fungsi dan arti dari prefiks
ka- adalah membentuk kata kerja tanggap atau kata keadaan, serta
mengandung arti urutan jika dihubungkan dengan kata bilangan
(Panitia Penyusun, 1978). Berdasarkan proses morfologi tersebut,
kata kutara dapat diartikan sebagai ‘diceritakan’, ‘diucapkan’,
‘diuraikan’. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bahasa
yang dalam KKDPB telah dipengaruhi oleh bahasa Bali. Perpaduan
bahasa Bali dan bahasa Jawa Kuno inilah yang sering disebut sebagai
bahasa Jawa Tengahan (bahasa Kawi-Bali).

Kaṇḍa diartikan sebagai (1) ‘bagian tebu’, (2) ‘bagian puisi’;


‘puisi’,’cerita’, (3) ‘bagian’ (Zoetmulder, 2011:452). Dalam konteks

34 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


ini, kaṇḍa diartikan sesui dengan pengertian kedua, yaitu bagian dari
suatu karya sastra (bab). Pada umumnya, kaṇḍa digunakan untuk
menyebut bab-bab dalam epos Ramāyana. Berdasarkan kasus ini
dapat diketahui bahwa istilah kaṇḍa dalam kesusastraan Nusantara
dikembangkan lebih luas untuk mengacu karya-karya sastra di luar
cerita Ramāyana.

Dewa berarti ‘dewa’; ‘raja’. ‘pangeran’ (Zoetmulder, 2011:213).


Dalam konsep Hindu, dewa adalah sinar suci (manifestasi) Tuhan
yang memiliki bermacam fungsi. Purāṇa berasal dari bahasa
Sanskerta yang kemudian diserap dalam bahasa Jawa Kuno. Purāṇa
berarti ‘termasuk zaman kuno’, ‘cerita kuna’; ‘kategori tertentu dari
karya epik (wiracarita)’ atau ‘tulisan epik mitologik’ (Zoetmulder,
2011:883). Dalam bahasa Bali, purāṇa berarti ‘riwayat’, ‘silsilah’
(Panitia Penyusun, 1978:460).

Bangsul (wangsul) diartikan sebagai ‘kembali’, ‘pulang’


(Zoetmulder, 2011:106; 1387). Kata bangsul memiliki kesepadanan
arti dengan kata bali yang juga berarti ‘kembali’ (Zoetmulder,
2011:101), sehingga kata bangsul (nusa bangsul) merujuk pengertian
sebagai Pulau Bali. Pengertian tersebut sejalan dengan penjabaran
teks yang menyatakan sebagai berikut.

“…marggānyang pasiliharan ikang bhanwa Bangsul. Ingaran


bhumi Balli, kalinganya Bhūmmi śakti, mahā pawitrê, sakṣat
śiwapadha kapawitrabya…”

(Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul, hal. 12b-13a)

Terjemahannya:

“….jalannya silih berganti disebutkan di Pulau Bangsul.


Dinamakan bumi Bali, sebutannya Būmi Śakti, sangat suci,
bagai Śiwapadhakesuciannya…”

(Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul, hal. 12b-13a)

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 35


Berdasarkan pengertian kata-kata penyusunnya, maka KKDPB
dapat diartikan sebagai ‘uraian bagian-bagian cerita kuno para dewa
yang berstana di Bali’ atau ‘uraian bagian-bagian silsilah dewa
yang berstana di Bali’. Pengertian tersebut sesuai dengan konteks
teks yang menceritakan silsilah keturunan Hyang Pasupati yang
ditugaskan bersemayam di Bali pada zaman bahari.

Naskah dengan judul KKDPB setidaknya terdata di tiga


instansi formal penyimpanan naskah di Bali yaitu, (1) Pusat
Dokumentasi Kebudayaan Bali pada rak 8D. Babad, dengan nomor
naskah 11 (berbentuk lontar beraksara Bali); (2) Perpustakaan
Universitas Hindu Indonesia pada keropak nomor Lt. 42 (berberntuk
lontar beraksara Bali); dan (3) UPTD Gedong Kirtya Singaraja
dengan nomor koleksi IV A/6867 (berbentuk buku beraksara latin).
Naskah lainnya ditemukan dikoleksi secara pribadi oleh beberapa
masyarakat di Desa Batur Selatan, Kintamani, salah satunya oleh I
Nengah Rantrayasa.

Dari keempat naskah tersebut, naskah koleksi Pusat


Dokumentasi Kebudayaan Bali tidak ditemukan di rak penyimpanan
karena sedang disalin ulang. Dari tiga naskah yang ada, akhirnya
dipilih naskah koleksi Perpustakaan Universitas Hindu Indonesia
sebagai objek kajian karena lebih unggul daripada naskah lainnya.
Naskah tersebut berukuran 45 cm (panjang) dan 3,5 cm (lebar)
dengan tebal 35 lembar, serta memiliki tiga lubang masing-masing
di kiri (sekitar 1,5 cm dari sisi kiri), di tengah-tengah naskah, dan
di kanan (sekitar 1,5 cm dari sisi kanan naskah). Penomoran ditulis
di halaman kedua (halaman B). Penulisan dimulai pada lembar
1B dan berakhir pada lembar 35A. Naskah tersebut ditulis dengan
aksara Bali dengan model penulisan jajar sambung. Masing-masing
halaman terdiri dari empat baris.

36 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Cerita dibagi menjadi empat sargah (bab), dimana masing-
masing menceritakan kedatangan para dewa dan rsi putra Hyang
Pasupati ke Bali. Mereka datang dan bersemayam di pusat-pusat
ekosistem Bali, serta bertugas menjaga kestabilan Pulau Bali.
Berdasarkan uraian kolofon, naskah ini ditulis pada tahun 1900 Śaka
atau tahun 1978 Masehi. Usia naskah KKDPB yang relatif muda
didukung oleh penggunaan kata-kata yang dianggap sebagai kata-
kata Jawa Kuno yang lebih muda, misalnya adanya penggunaan kata
kang. Menurut Zoetmulder (2011:456), kata kang jarang digunakan
dalam prosa atau kakawin yang tua, namun sering digunakan dalam
prosa dan kidung yang lebih muda.

Sebagai sastra purāna, KKDPB memiliki sepuluh unsur


pembentuk yang dikenal dengan dasalaksana (Titib, 2003:7 dalam
Donder, 2007:154) yang terdiri dari 1) sarga (penciptaan dalam
bentuk halus yang tidak tampak oleh mata; 2) visarga (penciptaan
unsur yang kasat mata atau nyata); 3) vrtti (makanan); 4) rakṣa
(perlindungan alam semesta); 5) manvantara (periodisasi Manu); 6)
vamsa (dinasti para raja); 7) vamsanucarita (karya Tuhan Yang Maha
Esa, devata, dan raja-raja); 8) samstha (kehancuran fisik semesta;
9) hetu (dorongan untuk melakukan karma, dan 10) apasraya
(dukungan terakhir atau tujuan akhir realitas tertinggi.

6.2 Struktur Naratif Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul

Tema

KKDPB mengetengahkan aspek ketuhanan yang sangat


kental. Penjabaran manggala dan isi sangat konsisten menonjolkan
kekuasaan tokoh Hyang Pasupati, sehingga dapat disimpulkan bahwa
tokoh pengagungan Hyang Pasupati merupakan tema penulisan
KKDPB. Pengarang KKDPB nampaknya ingin mengukuhkan dan
mengagungkan tokoh Hyang Pasupati sebagai dewa utama yang
merupakan asal muasal semua makhluk dan menjadi pusat pemujaan
masyarakat di Bali. Proses pengagungan tokoh Hyang Pasupati

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 37


dalam KKDPB merupakan salah satu upaya untuk melegitimasi
keberadaan paham Śiwa (Śiwaisme) di Bali yang berkembang sejak
masa Bali Kuno.

Hyang Pasupati (Bhatara Guru) diidentikkan dengan Śiwa


yang dipercaya sebagai dewa tertinggi dalam konsep Śiwaisme.
Salah satu sekte yang tergolong Śiwaisme dan memiliki gaung yang
besar dalam sejarah evolusi spiritual Bali adalah Śiwa Siddhānta.
Menurut Gunawan (2012:23-25) Śiwa Siddhanta diartikan sebagai
kesimpulan dari paham Śiwa (Śiwaisme). Inti ajaran Śiwa Siddhanta
menyatakan Śiwa sebagai realitas tertinggi, sedangkan jiwa atau
roh pribadi berasal dari intisari yang sama dengan Śiwa, tetapi tidak
identik. Sebagai realitas tertinggi, Śiwa merupakan kesadaran tak
terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud, merdeka, ada
dimana-mana, maha kuasa, maha tahu, esa tiada duanya, tanpa
awal, tanpa penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya, selalu
bebas, selalu murni, dan sempurna. Paham (sekte atau paksa) Śiwa
Siddhanta dipimpin oleh Maharsi Agastya di daerah Madyapradesh
(India Tengah). Sekte ini kemudian menyebar ke Indonesia melalui
seorang murid pasraman Agastya Madyapradesh yang dikenal
dengan berbagai nama, diantaranya Kumbhayoni, Hari Candana,
Kalasaja, dan Trinawindu. Di Bali nama Trinawindu (Bhatara Guru)
paling popular daripada nama lainnya. Menurut Goris (1986:4), pada
masa Bali Kuno, berkembang sembilan sekte di Bali, diantaranya
sekte Śiwa Shiddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha,
Brahmana, Resi, Sora, dan Ganapatya. Śiwa Siddhanta merupakan
kelompok yang menjadi pemenang dalam kontestasi kepercayaan
di masyarakat. Sumber sastra tertua yang menunjukkan keberadaan
paham ini adalah Bhuwana Kosa yang sangat terkenal di kalangan
pendeta-pendeta Bali.

38 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Tokoh dan Penokohan

Tokoh utama dalam KKDPB adalah Hyang Pasupati. Nama


lain Hyang Pasupati adalah Bhatara Guru, Sang Hyang Siwa dan
Hyang Parameswara. Pada sargah IV, tokoh utama menyatu dengan
sakti-nya Bhatari Umadewi menjadi Sang Hyang Purusangkara atau
Bhatara Dalem Tengahing Segara (Bhatara Pulo Mañji).

Tokoh-tokoh yang membantu jalannya cerita sangat banyak.


Mereka bertperan menguatkan karakter Hyang Pasupati sebagai
dewa tertinggi. Tokoh-tokoh tersebut merupakan putra Hyang
Pasupati yang ditugaskan turun ke Bali, diantaranya Hyang Gnijaya,
Hyang Putrajaya, Hyang Dewi Danuh, Hyang Tumuwuh (sargah
I), Hyang Mpu Ghana, Hyang Mpu Mahameru (sargah II), Hyang
Jayanatra, Hyang Jayamurti (sargah III), Hyang Janapati, Hyang
Gana, Bhatari Parameswari (sargah IV).

Alur

Alur (jalinan cerita) KKDPB saling terjalin dari sargah I hingga


sargah IV. Cerita dimulai dengan penciptaan dunia dan silsilah
dinasti yang memeirntah di Bali hingga pada suatu ketika terjadi
kemerosotan moral pemimpin yang menyebabkan ketidakstabilan
bumi Bali. Konflik muncul ketika Hyang Pasupati melihat Bali dan
masyarakatnya menderita. Puncak konflik terjadi ketika batin Hyang
Pasupati bergejolak akibat belas kasihan beliau pada rakyat, serta
merasa bertanggungjawab mengembalikan kestabilan negara. Untuk
memecahkan permasalah tersebut, Hyang Pasupati sebagai dewa
tertinggi melaksanakan yoga, berharap terlahir banyak putra yang
akan ditugaskan ke Pulau Bali untuk menjadi tuntutan masyarakat,
menegakkan aturan, serta menyejahterakan masyarakat. Keteguhan
yoga Hyang Pasupati akhirnya melahirkan putra yang kemudian
mengembalikan kestabilan Bali. Di akhir sargah IV dimunculkan
konflik anakan yang menimpa tokoh pendamping (Bhatara Janapati
dan Bhatara Gde Baleagung). Konflik tersebut dipecahkan oleh
tokoh utama dalam bentuk Bhatara Tengahing Sagara.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 39


Latar

Latar KKDPB terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar
sosial. Tempat-tempat yang dipilih sebagai latar cerita adalah Pulau
Bali secara umum. KKDPB menjelaskan keberadaan gunung-
gunung yang mengitari Bali, laut, pura, pasraman, sawah, dan desa
pakraman. Tempat lain yang dijadikan latar cerita adalah Gunung
Semeru, surge, dan ruang hampa sebelum masa menciptaan.

KKDPB membagi zaman dalam beberapa bagian. Zaman


Waśana Sargakala Sūrya Pitu dipilih sebagai waktu terjadinya
cerita. Latar sosial yang direkam dalam KKDPB adalah kehidupan
masyarakat tradisional dengan latar agraris serta dinafasi oleh ajarah
Hindu (Agama Tirtha).

Amanat

Rasa tanggungjawab yang tercermin dalam ketokohan Hyang


Pasupati sebagai dewa tertinggi mengamanatkan pembaca, khususnya
pemimpin untuk bertanggungjawab. Dalam konteks lingkungan,
KKDPB mengamanatkan pembaca untuk menjalin hubungan yang
harmonis dengan alam, sebab alam merupakan representasi Tuhan.

6.3 Gambaran Lingkungan Fisik dalam Kuttara Kaṇḍa Dewa


Purāṇa Bangsul

Gambaran alam (lingkungan fisik) yang dinyatakan dalam


KKDPB tidak terlepas dari filsafat Śiwaisme, khususnya Śiwa
Sidhanta dan Pasupata (pemujaan dengan lingga-yoni). Lingkungan
fisik digambarkan sebagai wujud sagara-giri, sadkṛti, gambaran
lingkungan persawahan dan lingkungan permukiman (desa
pakraman), serta penggambaran alam (bhuwana agung) sebagai
pantulan dari tubuh manusia (bhuwana alit).

Dalam wujud sagara-giri pengarang KKDPB dengan sangat


luas dan lugas mengeksploitasi keberadaan gunung-gunung, danau,

40 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


dan laut. Gunung dan laut dimuliakan sebagai tempat bersemayam
Hyang Pasupati beserta putra-putranya (dewa dan rsi) yang turun ke
Bali. Para dewa yang berstana di gunung, laut, dan danau dipandang
akan memberikan anugerah kesejahteraan terhadap masyarakat di
seluruh Bali. Pemaparan KKDPB terhadap keberadaan gunung dan
kemuliannya dapat dibuktikan dalam kutipan berikut.

“…wu-wus hana gunung-gunung sahidering bhanwa


Bangsul, pinangyoggakên mami ing dangu, mwang ginawan
mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nênahakên maring
Bangsul, Sanghyang Mahāmêru pangaranya, dak mamin
pukah maḍyanya hatūt pucaknya, dak sun waweng Bangsul,
suprapta nirang Bangsul mahakweh pukah-pukahnya,
harimbag ahungkal, agung alit manuli tiba ring bumi, sah-
enggwanya matêmahan gêgêr-gêgêr, mwang pagunungan,
wêrdḍi maring Bangsul; an mangkanānaku dewata kita kabeh,
hana katêmu denta agung Gunung Agung, tinêngeran Giri
Rāja, maring hairsanya, yata gunung mās mapucak maṇik,
adasar ratna komala wintên, akrikil mirah, apasir podi, yatika
aghra Sanghyang Mahāmeru nguni, ingsun gawa mareng
Bangsul sun parah tiganên, kang sabagi daging dadi Gunung
Batur, maka ḍapur caṇḍi Hyangghni, soring prêthiwi talā,
ikang sabagi i sornya, sun dadyakêna Gunung Rêñjani, ikang
pucuk ira dai Hyang Tohlangkir, ngaran Gunung Agung. Ika
pukahnya maādi pagunungan mwang gêgêr, sasor nikang
Gunung Agung ika.

Ndya lwirnya? Saka pūrwwa amilangi, kawruhakêna


pangaranya, Gunung Tapsahi, kulonya Gunung Pangelengan,
kulonya Gunung Mangu, kulonya Gunung Silāñjana, kulonya
Gunung Bratan, kulonya Gunung Watukaru, kulonya mwah
pagunungan Nāgaloka, kulonya mwah, ngaran Gunung
Pulaki. Mangidul ngetan sakeng rika, hana Gunung Pucak
Sangkur, Bukit Rangda, Tratebang; mangetan ya mwah, hana

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 41


Bukit Paḍangdāwa; mwah ikang pasisi kidul, hana Gunung
Aṇḍakaṣa, mwah Huluwatu; trus mangetana maring ghneya
deśa nira, hana Gunung Byahā, mwang Bwasamuntig; ikang
maring pūrwwa, hana Gunung Lêmpuyang mangalera sake
rika hana Gunung Śraya, samangkana pasamaḍayaning
nghacala sumipā mareng Bangsul, ndān makweh kari gêgêr
kang maring Maḍya, tan ucapakêna…”

(Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul, halaman 7a-8b)

Terjemahannya:

“…Aku nyatakan ada gunung-gunung mengelilingi Pulau


Bangsul, sebagai hasil yogaku dahulu, dan aku bawa dari
Jambudwipa dahulu. Aku letakkan di Bangsul. Sang Hyang
Mahameru namanya. hendak aku potong dari bagian tengah
hingga pucaknya. hendak aku bawa ke Bangsul. Sesampainya di
Bangsul, banyak potong-potongannya. Berbentuk tinggi, besar
kecil bersambung-sambung sampai di bumi. Timbunananya
berbentuk punggungan gunung dan pegunungan yang makmur
di Bangsul. Demikianlah anakku para dewata semua. Ada
ditemukan olehmu Gunung Agung, dikenal sebagai Giriraja
di timur laut, ialah gunung emas yang berpucak krital, didasari
permata, komala, dan intan Berkrikil mirah, berpasir butiran
halus permata. Itulah pucak dari Sang Hyang Mahameru dahulu
yang aku bawa ke Bangsul. Aku tempatkan menjadi tiga, yaitu
sebagain isinya menjadi Gunung Batur, sebagai timbunan
candi Hyang Aghni di bawah bumi yang lebih rendah. Bagian
bawahnya akan aku jadikan Gunung Rêñjani. Pucaknya
menjadi Hyang Tohlangkir yang dinamakan Gunung Agung.
Potongan lainnya menjadi pegunungan dan punggungan
gunung di bawah Gunung Agung itu.

Seperti apa kelihatannya? Dari timur akan dinyatakan,


hendaknya diketahui namanya yaitu Gunung Tapsai. Di sebelah

42 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


baratnya bernama Gunung Pangelengan. Di sebelah baratnya
bernama Gunung Mangu. Di sebelah baratnya bernama
Gunung Silāñjana. Di sebelah baratnya bernama Gunung
Bratan. Di sebelah baratnya bernama Gunung Watukaru.
Di sebelah baratnya lagi bernama Pegunungan Nagaloka.
Di sebelah baratnya lagi bernama Gunung Pulaki. Ke arah
tenggara dari sana, ada Gunung Pucak Sangkur, Bukit Rangda,
Tratebang. Ke arah timurnya lagi ada Bukit Padhangdāwa, dan
di pesisir laut selatan ada Gunung Aṇdhakaṣa serta Huluwatu.
Terus menuju timur dari tenggara tempat tersebut, ada Gunung
Byahā dan Bwasamuntig. Di bagian timur ada Gunung
Lempuyang, ke arah utara dari sana ada Gunung Sraya.
Demikian kumpulan dari gunung-gunung yang sangat banyak
di Bangsul. Kemudian banyak punggungan gunung di tengah,
tidak akan disebutkan…”

(Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul, halaman 7a-8b)

Selanjutnya, KKDPB menggambarkan alam Bali dalam


wujud Sadkṛti. Sadkṛti dapat diartikan sebagai enam tindakan yang
menyebabkan kemasyuran atau tindakan yang terpuji. Dalam hal
ini, masyarakat baru bisa dipandang terpuji (berperadaban) apabila
mampu menghormati enam unsur utama alam yang menyokong dunia
yang terdiri dari Girikṛti (gunung), Wanakṛti (hutan), Sagarakṛti
(lautan), Ranukṛti (danau), Swikṛti (sawah atau lahan pertanian),
dan Jagatkṛti (wilayah pemerintahan). Persebaran Sadkṛti dalam
KKDPB yaitu Girikṛti di Gunung Agung (Pura Basukih), Wanakṛti
di Gunung Watukaru (Pura Watukaru), Sagarakṛti di Gili Serangan
(Pura Sakenan), Ranukṛti di Pantai Watuklotok (Pura Watuklotok),
Swikṛti di Pura Pakendungan, dan Jagatkṛti di Pura Airjeruk.

KKDPB memberikan perhatian khusus pada pertanian dan


wilayah permukiaman. Pada dasarnya KKDPB merekomendasikan

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 43


adanya kepaduan konsep Tri Hita Karana dalam proses
pembangunan peradaban yang terdiri dari parahyangan (unsur
Ketuhanan; tempat suci), pawongan (unsur kemanusiaan; tempat
tinggal), dan palemahan (ruang terbuka hijau, pertanian, alun-alun).
KKDPB memberikan gambaran bahwa setiap jengkal bumi harus
dihormati. Untuk memudahkan pemahaman atas pemuliaan tersebut,
lingkungan selalu diidentikkan dihuni oleh dewa atau dewi. Konsep
tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan berikut.

“…Dewī Lakṣmidewī, dadi dewaning catuspatā, pura nira


ngaran Ḍalêm Dasar. Bhaṭārī Ghorī ring panghulun sawah,
Bhaṭārī Gayatri ring Maspahit, Bhaṭārī Ganggha ring
panghulunmpêlan,…”

(Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul, hal. 23b-24a)

Terjemahannya:

“…Dewi Lakṣmidewī, menjadi dewa di catuspata (alun-


alun), puranya bernama Dhalêm Dasar. Bhatārī Ghorī di
pangulun sawah (bagian ujung dari sawah). Bhatārī Gayatri
di Maspahit. Bhatārī Ganggha di pangulunmpêlan (bagian
ujung dari terasering),…”

(Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa Bangsul, hal. 23b-24a)

Upaya untuk mengajak manusia lebih dekat dengan alam


dinyatakan melalui penggambaran bhuwana agung (makrokosmos)
sebagai pantulan dari bhuwana alit (mikrokosmos). KKDPB
memandang tubuh manusia dan alam semesta sama-sama dibentuk
oleh lima unsur utama yang disebut Panca Mahabhuta yang terdiri
dari pretiwi atau unsur padat (kulit pada tubuh, tanah pada alam
semesta), apah atau unsur cair (darah pada tubuh, air pada alam
semesta), bayu atau unsur angin (napas pada tubuh, angin atau dara
pada alam semesta), teja atau unsur cahaya (penglihatan pada tubuh,
cahaya pada alam semesta), dan akasa atau unsur ruang (kepala pada
44 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
tubuh, angkasa pada alam semesta). Panca Mahabhuta berasal dari
unsur yang lebih halus yang disebut Panca Tanmatra. Dalam teks
Tatwajñana disebutkan bahwa Sabda Tanmatra bertransformasi
menjadi akasa, Sparsa Tanmatra menjadi bayu, Rupa Tanmatra
menjadi teja, Rasa Tanmatra menjadi apah, dan Ganḍa Tanmatra
menjadi pretiwi.

6.4 Pemaknaan Lingkungan Fisik dalam Kuttara Kaṇḍa Dewa


Purāṇa Bangsul

Lingkungan fisik yang tergambarkan dalam KKDPB dimaknai


tidak hanya sebagai makna umum di masyarakat. Penjelasan KKDPB
mengarahkan pembaca pada pemuliaan dan makna-makna yang
lebih halus. KKDPB memandang alam sebagai objek pemujaan atau
“bentuk fisik” dari Tuhan yang mahaabstrak. Beberapa lingkungan
fisik yang dikembangkan ke dalam makna di tataran yang lebih
tinggi adalah sebagai berikut.

Gunung

Secara umum, masyarakat memaknai gunung (E1) sebagai


‘suatu dataran yang lebih tinggi daripada dataran di sekitarnya’
(C1). Pandangan budaya masyarakat Bali tradisional yang dekat dan
bergantung hidup dengan alam, serta dipengaruhi oleh pandnagan
filsafat Śiwaisme menjadikan gunung sekaligus makna denotasinya
sebagai ‘suatu dataran yang lebih tinggi daripada dataran di
sekitarnya’ (E2) dimaknai lebih dalam menjadi tempat suci kediaman
dewa (C2), penyebaran filsafat Śiwaisme (C2), orientasi pemujaan
(C2), ataupun sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan hidup
(C2).

Proses pemaknaan gunung dalam tataran konotasi sebagai


tempat suci kediaman dewa (C2), penyebaran filsafat Śiwaisme (C2),
dan orientasi pemujaan (C2) didasari pemikiran bahwa gunung-
gunung yang ada di Bali dihuni oleh para dewa putra Hyang Pasupati,
sehingga wajib dihormati. Gunung yang tersebar di seluruh pelosok
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 45
Bali merupakan simbol bahwa filsafat Śiwaisme (Śiwa Sidhanta)
telah menginisiasi Bali dan masyarakatnya.

Laut, Danau, dan Air

Dalam tataran tingkat pertama, laut -begitu juga danau- (E1)


dimaknai sebagai ‘kumpulan air asin yang sangat banyak di suatu
permukaan bumi’ (C1). Pengaruh budaya dan kepercayaan tentang
adanya sakti mendorong pengembangan makna laut sekaligus makna
denotasinya sebagai ‘kumpulan air asin yang sangat banyak di suatu
permukaan bumi’ (E2) menjadi makna konotasi menjadi tempat
suci (C2), alam niskala (C2), wujud fisik Śiwa Tiga (C2), sumber
kesejahteraan (C2), dan penetral wabah (C2).

Makna konotasi laut sebagai tempat suci (C2), alam niskala


(C2), wujud fisik Śiwa Tiga (C2) tidak terlepas dari gambaran bahwa
laut merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Tengahing Sagara.
Laut -begitu juga dengan danau- dipandang sebagai yoni, lawan dari
gunung yang bertindak sebagai lingga. Melalui penjelasan yang
terdapat dalam halaman 28a dapat dibuktikan bahwa laut dimaknai
sebagai wujud dari Śiwa Tiga atau Tri Puruśa (Śiwa, Saḍaśiwa,
dan Paramaśiwa), yang merupakan inti dari filsafat Śiwa Shidanta
Adapun kutipan halaman 28a adalah sebagai berikut.

“…apan sira huriping jagat kabeh, rumaga lanang wadon


kdhi. Rumaga mrêtta, śukla śuci nirmala. Rumaga sāgara,
nga, pasih, rumaga śiwa, sadhaśiwa, paramaśiwa, mantuling
śuṇyata, nga, śūnyāmrêtta. Nimittan Bhaṭāra ring Ḍalêm
rumakṣa, atmā ning janma mānuṣankabeh…”

(Kuttara Kaṇḍa Dewa Purana Bangsul, hal 28a)

Terjemhannya:

“…sebab beliau menghidupi semua dunia. Berwujud laki-

46 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


laki, perempuan, banci. Berwujud kehidupan, bersih suci
tanpa noda. Bertubuh lautan artinya pasih, berwujud ṣiwa,
sadhaṣiwa, paramaṣiwa. Kembali ke kekosongan, artinya
kehidupan kosong. Penyebab Bhatara di Dhalêm menjaga
atma di tubuh manusia semua…”

(Kuttara Kaṇḍa Dewa Purana Bangsul, hal 28a)

Laut yang kaya akan sumber daya ikan, rumput laut, maupun
garam mempengaruhi pengembangan makna konotasi laut sebagai
sumber kesejahteraan (C2), sehingga dalam teks laut disamakan
dengan kemuliaan dari Gunung Agung yang banyak mengandung
perhiasan. Selanjutnya, sosok Hyang Umadewi yang berstana di laut
mengembangkan makna konotasinya menjadi penghilang wabah
(C2). Umadewi atau Dewi Durga dipandang sebagai dewi yang
memiliki dualisme pribadi. Satu sisi beliau adalah ibu dari semesta
yang penuh kasih, sedangkan di sisi lain beliau adalah sumber dari
segala hama dan wabah. Pada beberapa teks, wujus Umadewi sebagai
Durga selalu digambarkan sebagai penyebar hama dan wabah,
sehingga perlu di-somya-kan agar kembali ke dalam wujudnya
yang penuh cinta kasih. Atas dasar inilah pada waktu-waktu yang
dianggap rentan akan diadakan upacara selamatan (caru) di pinggir
samudera.

Tokoh Dewi Danuh (E1) secara harfiah dimaknai sebagai ‘dewi


danau’ (C1), namun karena ada pemahaman bahwa danau memiliki
relasi dengan pertanian dan kesuburan, maka saat ini tokoh Dewi
Danuh sekaligus maknanya sebagai dewi danau (E2) dikembangkan
menjadi makna konotasi yaitu sebagai dewi kesuburan (C2), dewi
pertanian (C2), dewi kesejahteraan (C2), dan dewi penghilang hama
tanaman (C2).

Tirtha amṛta (E1) dalam tradisi sastra Sanskerta dimaknai


sebagai ‘air keabadian’ (C1) yang diperebutkan oleh para dewa dan

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 47


asura saat pemutaran Gunung Mandara. Dalam perkembangannya,
tirtha amṛta dikembangkan kea rah konotasi menjadi air suci yang
menyejahterakan (C2), air suci penghilang kekotoran (C2).

Tirtha amṛta sebagai ekspresi dalam KKDPB dikembangkan


dalam bentuk metabahasa. Pada tataran denotasi, tirtha amṛta (E1)
dimaknai sebagai ‘air suci kehidupan’ (C1). Bentuk ekspresi tirtha
amṛta tersebut dapat dilihat dalam berbagai bentuk bahasa seperti
toya amṛta (E2), tirtha panguripan (E2), tirtha kamandalu (E2), dan
tirtha amṛta śiwamba (E2).

Lingkungan Pertanian

Lingkungan pertanian tidak hanya dimaknai sebagai lahan


produksi seperti pemahaman umum saat ini, namun seringkali
dikembangkan maknanya menjadi tempat suci. Daerah pangulun
sawah (E1) secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘bagian ujung
(hulu) dari sawah’ (C1), namun kemudian dikembangkan menjadi
tempat suci kedudukan Bhatari Gori (C2). Hal ini juga terjadi
pada daerah yang disebut sebagai pangulun empelan (bagian hulu
terasering), pangulun pangkung (bagian hulu dari jurang), pangulun
setra (bagian hulu kuburan), dan catuspata (alun-alun). Semuanya
dimaknai sebagai tempat suci kediaman dewa.

Dalam bidang pertanian yang lainnya, tokoh Hyang Tumuwuh


dapat dilihat sebagai bagian dari pengembangan makna. Tumuwuh
secara harfiah berarti ‘tumbuh’, sedangkan Hyang Tumuwuh (E1)
berarti ‘dewa yang bertangggungjawab atas tumbuhan’ (C1). Pada
tahapan konotasi tokoh Tumuwuh tidak saja dipandang sebagai
Dewa Tumbuhan, tetapi dimaknai sebagai dewa kesejahteraan (C2),
dewa sandang pangan atau dewa tri upasadhana (C2), dan dewa
pertanian lahan kering (C2).

48 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit
Dalam konsep Siwaisme, bhuwana agung dan bhuwana alit
diyakini disusun oleh unsur yang sama yaitu konsep panca maha
bhuta. Panca maha bhuta merupakan sebagai lima unsur yang
bertanggungjawab atas pembentukan keduanya. Unsur pretiwi akan
membentuk tanah dalam alam semesta, serta membentuk kulit dalam
tubuh manusia. Apah akan membentuk air dan segala jenis zat cair
di alam semesta, sedangkan membentuk darah, keringat dan lain
sebagainya di tubuh manusia. Bayu akan membentuk napas pada
tubuh manusia, sedangkan dalam alam semesta akan membentuk
angin dan udara. Teja akan membentuk penglihatan di tubuh manusia
dan cahaya di alam semsata, Akasa akan membentuk kepala dan
rongga tubuh lainnya di tubuh manusia, sedangkan di alam semesta
akan membentuk angkasa raya. Disisi lain, Panca Tanmatra yang
diyakini sebagai sumber Panca Mahabuta secara khusus akan
membentuk penjaga hama di sawah, yaitu gandha tanmatra (E1)
dikembangkan maknanya menjadi unsur memberi hidup di semua
persawahan (C2). Rasa tanmatra (E1) dikembangkan maknanya
menjadi unsur penjaga semua sawah (C2). Teja tanmatra (E2) atau
rupa tanmatra (E1) dikembangkan maknanya menjadi unsur penjaga
segala hama di sawah (C2). Sparsa tanmatra (E1) dikembangkan
maknanya menjadi unsur penjaga segala macam hama belalang
(C2). Sabda tanmatra (E1), dikembangkan maknanya menjadi unsur
penjaga hama tikus dan segala jenisnya (C2).

6.5 Pengembangan Makna Kuttara Kaṇḍa Dewa Purāṇa


Bangsul dan Efeknya Bagi Kelestarian Lingkungan

Pengembangan makna lingkungan fisik sebagai tempat suci,


kediaman atau wujud para dewa, pusat kesejahteraan hidup manusia,
maupun pantulan dari diri manusia menyebabkan lahirnya berbagai
mitos yang menjadi benteng utama pelestarian alam.

Lingkungan fisik yang dimaknai sebagai tempat suci dan


tempat kedudukan para dewa memacu masyarakat untuk membangun
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 49
tempat suci sebagai manifestasi kekuasaan tokoh yang dipuja dalam
lingkungan fisik tersebut. Umumnya pura selalu dibangun di sekitar
simpul ekologis seperti kaki gunung, pucak gunung, tepi laut,
sumber mata air, pucak bukit, sungai, hulu jurang, dan sebagainya.
Keberadaan pura tidak saja berperan sebagai tempat mendekatkan
diri dengan Tuhan, namun meluas sebagai pusat sosial. Keberadaan
pura di suatu lingkungan fisik tersebut dapat dijadikan tempat edukasi
dan konservasi lingkungan sebagai upaya pelestarian lingkungan
berkelanjutan.

Lingkungan fisik yang dipercaya sebagai stana dewa menuntut


masyarakat untuk menjaga kebersihan, kelestarian, dan kesucian
lingkungan baik secara jasmani maupun rohani. Tidak jarang suatu
lingkungan disakralkan untuk memperjelas peran dan fungsinya
sebagai pusat religius, dan ekologis. Upacara-upara keagamaan
dilakukan secara konsisten dan terjadwal untuk mempertahankan
kesucian lingkungan fisik Pulau Bali. Untuk menyucikan hutan
dan gunung masyarakat Hindu Bali biasanya melakukan upacara
wanakṛti, girikṛti, pakelem di pucak gunung, dan lain sebagainya. Di
beberapa tempat, gunung tidak sembarangan bisa didaki. Pada hari-
hari tertentu biasanya gunung tidak boleh didaki. Selain itu, orang
yang dalam keadaan kotor (cuntaka) biasanya dilarang melakukan
pendakian. Ketika ada musibah terjadi di sekitar gunung, misalnya
kecelakaan yang menyebabkan kematian, masyarakat biasanya akan
melakukan upacara caru untuk menetralkan kekotoran.

Dalam upaya menjaga kesucian laut atau danau dilaksanakan


berbagai upacara seperti upacara caru labuh gentuh, bakti pakelem,
upacara sagarakṛti, dan lain-lain. Pada lingkungan pertanian biasanya
dilakukan upacara nangluk mrana, ngusaba nini dan lain-lain. Dalam
tingkatan yang besar dan dalam rentang waktu tertentu, masyarakat
Bali mengadakan upacara tawur seperti Panca Walikrama setiap 10
tahun sekali, Ekadasa Ludra setiap seratus tahun sekali, maupun
upacara Mrebu Bhumi yang diadakan 1000 tahun sekali. Model-
model upacara tersebut pada dasarnya merupakan upaya pemuliaan,
pelestarian, dan pemurnian alam.

50 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


7. Simpulan

Lingkungan fisik yang digambarkan dalam KKDPB berupa


hutan, lautan, gunung, lingkungan pedesaan, dan lingkungan
pertanian. Lingkungan fisik yang digambarkan dalam KKDPB
merupakan manifestasi dari filsafat kebudayaan yang didasari oleh
konsep Tri Hita Karana.

Pemaknaan terhadap lingkungan fisik yang digambarkan


dalam KKDPB dapat dilihat dalam dua tingkatan pemaknaan, yaitu
pemaknaan tingkat pertama (denotasi) dan pemaknaan tingkat
kedua (konotasi). Pengembangan pemaknaan lingkungan fisik (E)
dipengaruhi oleh relasi (R) berupa pandangan ideologi Agama Hindu,
khususnya filsafat Siwaisme dan akhirnya menimbulkan makna atau
konsep baru (C). Konsep ini mengetengahkan adanya hubungan
bahkan satu-kesatuan antara lingkungan fisik (palemahan), manusia
(pawongan), dan Tuhan (parahyangan).

Konotasi-konotasi yang berkembang akibat proses pemaknaan


lingkungan fisik berkembang menjadi mitos di masyarakat. Mitos-
mitos tersebut mempengaruhi proses sosial-spiritul masyarakat,
termasuk penghormatan dan pelestarian terhadap ekosistem.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 51


DAFTAR PUSTAKA

Agastia, IBG. 2014. Pasir Wukir dan Perjalanan Seorang Kawi.


Denpasar: 8 Desember
Agastia, IBG. 1987. Sagara Giri Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna.
Denpasar: Wyasa Sanggraha

Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa:


Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi Cet.
II (Ikramullah Mahyuddin).Yogyakarta: Jalasutra

Donder, I Ketut. 2007. Viratvidya Kosmologi Hindu Penciptaan,


Pemeliharaan, dan Peleburan serta Penciptaan Kembali Alam
Semesta. Surabaya: Pāramita

Endraswara, Suwardi. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra


Konsep Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: Cempaka
Putih

Goris, R. 1986. Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya


Aksara

Gunawan,I Ketut Pasek. 2012. Śiva Siddhānta Tattva dan Filsafat


.Surabaya: Parāmita

Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya Edisi


Kedua. Jakarta: Komunitas Bambu

Jirnaya, I Ketut. 2011. “Usada Budha Kacapi: Teks Sastra Pengobatan


Tradisional Masyarakat Bali” (Desertasi). Denpasar:
Universitas Udayana

Jirnaya, I Ketut. 2016. Arjuna di Gunung Indrakila dalam Kakawin


Arjunawiwaha: Sebuah Kajian Ekosemiotik. Denpasar.
Mei,144-153

52 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi (Cet IX).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Panitia Penyusun. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pengajaran


Propinsi Daerah Tingkat I Bali

Rahyono, F.X.2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Penerbit


Wedatama Widya Sastra

Ras, J.J.2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa (Achadiati


Ikram). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian


Sastra Cet. XII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sancaya, IDG Windhu.2017. “Mencari Jejak Kesusastraan Bali


Zaman Bali Kuna”. Makalah Rembug Sastra Purnama
Badrawada. Denpasar

Subagiasta, I Ketut. 2006. Śaiva Siddhānta di India dan di Bali.


Surabaya: Pāramita

Suka, I Ginting.2012.Teori Etika Lingkungan Antroposentrisme-


Ekofeminisme-Ekosentrisme. Denpasar: Udayana University
Press

Sukartha, I Nyoman, dkk. 1993. Nilai Budaya dalam Kakawin


Brahmanda Purana. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara

Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra Cet.
V. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 53


UPTD Gedong Kirtya.2015. Katalog Salinan Lontar. Pemerintah
Kabupaten Buleleng Dinas Kebudayaan dan Pariwisata UPTD
Gedong Kirtya

Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan Cet. V


(Melani Budianta). Jakarta: Kompas Gramedia Pustaka Utama

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang


Pandang Cet.II. Jakarta: Djambatan

Zoetmulder, P.J. dan Poedjawijatna. 1992. Bahasa Parwa I.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2011. Kamus Bahasa Jawa Kuno-
Indonesia Cet.VI (Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna).
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Refrensi Internet

balebengong.net/kabar-anyar/2014/12/24/gunung-batukaru-medan-
pendakian-untuk-pemula.html diunduh 24 Januari 2017

Kaswadi.-.Paradigma Ekologi dalam Kajian Sastra,Universitas


Wijaya Kusuma Surabaya:http://ejournal.fbs.unesa.ac.id/
index.php/Paramasastra/article (Diunduh 20 Agustus 2016)

kbbi.web.id (Diunduh September 2016)

Yunanto Wiji Utomo (editor).2015.Hari Bumi dan Fakta-fakta


Menyedihkan tentang Alam Indonesia:http://sains.kompas.
com/read/2015/04/22/20042431 (Diunduh 15 Agustus 2016)

54 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Pengaruh Lingkungan terhadap Ganesha
dalam Kakawin Smaradahana
Analisis Semiotik

Ni Made Ayu Satyadriti, Ni Ketut Ratna Erawati, Komang


Paramartha
Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana

Abstract

Research on Kakawin Smaradahana text is examined with


semiotic approach. The purpose of this analysis is to describe how
the significance the Ganesha figure either in text and context through
sign and symbol as well as observe how environmental influences in
the character build of Ganesha.
The methods and techniques used include stage of collecting
data, literature study, translation, recording, and interview. This
research outlines how environmental experience (nurture) and
genetic factors (nature) build character figures of Ganesha and how
in context in society through interview result to some informant. The
conclusion is the characteristic of Ganesha figure established by the
environmental experience and genetic factors.

Keywords: sign, character building, text and context

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 55


1. Pendahuluan
Kakawin dalam sastra Sanskerta klasik berasal dari kata
“Kawi” yang berati “penyair”, kemudian diserap ke dalam bahasa
Jawa Kuno sehingga mengalami afiksasi, yaitu mendapatkan prefiks
ka- dan sufiks -ěn. Selanjutnya mengalami persandian sehingga
menjadi kakawin (Zoetmulder, 1992:3). Kakawin diciptakan pada
abad IX, yaitu pada pemerintahan Mpu Sindok di Jawa Tengah.
Sejak saat itu kakawin dan kesusastraan Jawa Kuno lainnya mulai
berkembang di Bali dan dijadikan sebagai sumber bacaan dalam
setiap upacara keagamaan, seperti Kakawin Ramayana, Kakawin
Sutasoma dan Kakawin Smaradahana. Namun di antara tiga kakawin
di atas, Kakawin Smaradahana digolongkan sebagai kakawin yang
kurang diminati oleh masyarakat. Kakawin Smaradahana merupakan
salah satu karya sastra Jawa Kuno yang ditulis oleh Mpu Darmaja.
Pada tahun 1931 diterbitkan dengan menggunakan huruf Latin dan
sebagian besar menggunakan bahasa Belanda. Sebagai seni sastra
yang berbentuk puisi, kakawin diikat oleh struktur formal yang dapat
di identifikasikan melalui matra, larik, bait dan pupuh (Bandem,
2009:3).
Dalam Kakawin Smaradahana diceritakan bagaimana
perlakuan Dewa Kama kepada Siwa, kesedihan Ratih, kelahiran
Dewa Ganesha, dan bagaimana peranan Ganesha dalam peperangan
melawan raksasa. Dari keempat inti cerita tersebut, tokoh Ganesha
diceritakan memiliki peranan penting bahkan melampaui ayahnya
Dewa Siwa. Terlebih tokoh Ganesha dalam kehidupan masyarakat
Bali sangat populer sehingga banyak ditemukan arcayang berbentuk
Ganesha diletakkan di pura seperti pura Goa Gajah, dan patung-
patung yang diletakkan di tempat-tempat umum seperti Rumah Sakit
Ganesha Gianyar dan Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Hal tersebut menandai bahwa Ganesha memiliki kedudukan dan

56 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sehingga
mengakibatkan berkembangnya sekte Ganesha atau Gaṇapatya
seperti yang terjadi di India, Jawa Timur dan Bali. Selain dalam
bidang spiritual, Ganesha juga diposisikan sebagai simbol
pendidikan, ilmu pengetahuan alam atau ilmu keras yang sejalan
dengan penggambaran Ganesha, yakni berkepala gajah sebagai
simbol kecerdikan dan senjata-senjata yang dikaruniai dewa sebagai
penanda Ganesha (Atmadja, 2014:53). Terbentuknya karakter
Ganesha juga disebabkan oleh lingkungan sekitar sejak dalam
kandungan atau prenatalkarena pada masa ini, sebuah sel tunggal
tumbuh menjadi organisme, lengkap dengan sebuah otak dan
kemampuan berperilaku (Santrock, 2007:19).
Hal tersebut ditandai dengan peristiwa ketika para dewa
datang menjenguk Dewi Uma yang sedang mengandung, lalu Dewi
Uma berteriak histeris sehingga berpengaruh pada wujud Ganesha
yang terlahir dengan berkepala gajah dan berbadan manusia serta
karakteristik yang tidak jauh berbeda dari karakteristik lingkungan.
Berbicara mengenai tanda dan penanda Ganesha sehingga
menghasilkan makna-makna, maka penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan semiotik, yaitu bidang ilmu sastra yang
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda, bagaimana
tanda itu berfungsi dan bagaimana hubungan dengan tanda-tanda
yang lain, pengirimannya dan penerimaan oleh pemakai tanda
(Eco, 1979:7; van Zoest, 1992:5). Menurut van Zoest (1993:11)
tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi, dapat menunjuk
pada sesuatu yang tidak ada sebelumnya dan tanda secara mutlak
mempunyai sifat representatif atau dengan kata lain mempunyai
hubungan langsung dengan sifat interpretatif atau penafsiran.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat ditarik
beberapa pokok permasalahan, yaitu: (1) bagaimana pengaruh

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 57


lingkungan terhadap karakter Ganesha dalam teks Kakawin
Smaradahana, dan (2) bagaimana konteks dari pengaruh lingkungan
tersebut di masyarakat. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk
(1) mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra
kakawin sehingga masyarakat dapat memahami dan menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari, dan (2) memberi informasi pengetahuan
di bidang ilmu sastra sebagai salah satu upaya pengembangan ilmu
sastra seperti kakawin. Secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan
untuk (1) Menyajikan gambaran singkat mengenai teks Kakawin
Smaradahana agar lebih mudah dipahami, dan (2) Melihat bagaimana
pengaruh lingkungan terhadap karakter tokoh Ganesha dalam teks
Kakawin Smaradahana maupun dalam konteks di masyarakat.
Dalam sebuah penelitian tentu memiliki cara atau jalan
untuk mengefektifkan, mensistematiskan, dan mengefesiensikan
langkah penelitian yang disebut dengan metodologi. Metodologi
adalah cara dalam penelitian untuk memperoleh pengetahuan dan
pemahaman dari objek yang kita teliti serta bagaimana pengetahuan
dan pemahaman tersebut dapat memenuhi tujuan dari penelitian
yang dilakukan. Metode penelitian semiotik bertumpu pada jenis
penelitian kualitatif. Dengan demikian jenis penelitian yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Kirk
and Miller (1986:9 dalam Moleong, 2012:4) berpendapat bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada
manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.
Selanjutnya, dalam tahapan kerja yang dilakukan
diawali dengan tahap pengumpulan data. Pada tahap ini penulis
menggunakan metode studi kepustakaan. Mula-mula peneliti
mengumpulkan informasi yang relevan dengan topik atau masalah
yang akan atau sedang di teliti. Informasi tersebut diperoleh dari

58 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


tek-teks kuno, buku-buku, karangan-karangan ilmiah, skripsi, tesis
dan disertasi. Dalam penelitian ini, informasi yang digunakan adalah
teks Kakawin Smaradahana yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan
Dasar Provinsi Daerah Tingkat I Bali tahun 1998 Teks tersebut terdiri
dari 144 halaman dan 45 pasalin. Pada sisi kiri menggunakan bahasa
Jawa Kuno dan pada sisi kanan sudah di alih bahasa ke bahasa Bali
namun masih menggunakan aksara Bali.
Setelah informasi terkumpul, penulis menggunakan teknik
terjemahan yang nantinya akan digunakan dalam menerjemahkan
kutipan yang akan mendukung data dalam analisis ini. Berdasarkan
tataran bahasa, teknik terjemahan yang digunakan adalah terjemahan
kata perkata (word from word) sehingga bentuk atau struktur bahasa
terjemahan terikat memiliki kemiripan dengan bentuk atau struktur
bahasa sumber (Yusuf, 1994:12 dalam Suarka, 2007:26). Agar
informasi yang didapat semakin responden, maka dilakukan metode
wawancara kepada informan. Wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
dan terwawancara yang bertujuan untuk menverifikasi, mengubah
dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti
(Moleong, 2012:186).

2. Hasil dan Pembahasan


Dalam sebuah penelitian, tentu yang menjadi titik sentral
adalah hasil. Hasil dari penelitian ini mula-mula akan menjelaskan
keseluruhan isi Kakawin Smaradahana secara singkat, lalu
menjabarkan mengenai pengaruh lingkungan terhadap tokoh
Ganesha pada Kakawin Smaradahana yang terbagi menjadi dua,
yaitu pengaruh pengalaman lingkungan dan faktor genetik.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 59


1.1 Sinopsis Kakawin Smaradahana
Diceritakan ketika Dewa Siwa sedang beryoga di gunung
Mahameru, beliau mengabaikan segala sesuatu yang ada selama
beliau menjalankan yoga. Ketika itu sorga terancam oleh raja raksasa
di Senapura yang bernama Nilarudraka. Dewa Brahmā dan Dewa
Wisṇu segera mengadakan persidangan. Dalam persidangan itu,
Bhagawan Wṛhaspati mengusulkan agar para dewa datang memohon
bantuan kepada Dewa Kāma untuk membangkitkan nafsu asmara
Dewa Siwa terhadap permaisurinya yang bernama Dewi Umā.
Datanglah para dewa kehadapan Dewa Kāma untuk memohon
bantuan sesuai dengan usulan dari Bhagawan Wṛhaspati. Lalu Dewa
Indra segera menjelaskan maksud dan tujuan kehadiran para dewa
yaitu mohon kepada Dewa Kāma agar berkenan menggoda Dewa
Siwa. Setelah Bhagawan Wṛhaspati menjanjikan untuk melindungi
Dewa Kāma dari segala resiko, akhirnya Dewa Kāma memenuhi
permintaan para dewa. Namun sebelum menuju petapaan Dewa
Siwa, Dewa Kāma menemui permaisurinya yang bernama Dewi
Ratih untuk menyampaikan rencana para dewa dan menasehati agar
Dewi Ratih tidak mengikuti perjalanannya.
Pada awal sasih kapat (Oktober), Dewa Kāma berangkat menuju
petapaan Dewa Siwa bersama para dewa. Kemudian sesampainya
disana, mereka dicegat oleh dua penjaga yang berwujud raksasa
bernama Nadiswara dan Mahākala namun berhasil dihadapi dengan
kekuatan batin rsi. Dewa Kāma menciptakan sebuah senjata asmara
yang bernama pancawisaya yang akhirnya berhasil menyebabkan
Dewa Siwa rindu terhadap permaisurinya. Marahlah Dewa Siwa,
lalu Dewa Siwa mengeluarkan api yang keluar dari mata ketiga
kemudian memandang Dewa Kāma.
Dewa Kāma memohon bantuan kepada para dewa namun sia-
sia karena Dewa Indra yang mulanya menjanjikan akan melindungi

60 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Dewa Kāma dari segala resiko seketika melarikan diri dan tidak
menepati janji. Setelah peristiwa itu Dewa Kāma meninggal,
jiwanya melayang dan tubuhnya hangus. Akhirnya para dewa dan
rsi menghadap Dewa Siwa dan menjelaskan tujuan para dewa
mendorong Dewa Kāma untuk melakukan perbuatannya. Para
dewa menerangkan bahwa Nilarudraka merupakan bahaya besar
dan Dewa Siwa lah yang memberi anugerah agar tidak seorangpun
kecuali putra Dewa Siwa yang nantinya dapat mengalahkan raksasa
tersebut.
Dewi Ratih akhirnya mengetahui bahwa suaminya telah
meninggal hingga beliau jatuh sakit. Setelah itu, segera para dewa
dan rsi menengoknya untuk menghibur serta menahan agar tidak
menerjunkan diri ke dalam api. Dalam hal ini bhagawan Wṛhaspati
menyampaikan keputusan Dewa Siwa kepada Dewi Ratih, bahwa
Dewa dan Dewi Asmara akan meneruskan hubungan mereka dalam
bentuk yang tidak kelihatan atau anangga, yakni Dewi Ratih ada
dalam diri para wanita dan Dewa Kāma ada dalam diri para pria.
Namun Dewi Ratih menolak. Dewi Ratih memohon agar suaminya
dapat hidup kembali. Bhagawan Wṛhaspati dapat mengabulkan
permintaannya namun perwujudannya akan terjadi di kemudian hari.
Pergilah Dewi Ratih ke tempat terbakar suaminya. Dewi
Ratih menerjunkan diri ke dalam api. Sejak saat itu Dewa Siwa
meninggalkan petapaan untuk melepas rindunya kepada Dewi Umā.
Kemudian para dewa berkunjung sambil membawa gajah Dewa
Indra yang sangat mengerikan. Dewi Umā berteriak ketakutan
melihat gajah tersebut, lalu Dewa Siwa menjelaskan kepada istrinya
bahwa hal tersebut merupakan takdir. Kelak Dewi Umā berputra,
maka kepalanya akan menyerupai gajah namun berbadan manusia.
Diceritakan telah lahir putra Dewa Siwa dan Dewi Umā
yang diberinama Gaṇa. Dewa inilah yang dikatakan sebagai dewa

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 61


penolong sorga yang mampu menyingkirkan rintangan yang akan
datang dan menghancurkan musuh para dewa. Raksasa Nilarudraka
akhirnya mengetahui kabar tersebut, maka segera memutuskan untuk
mempercepat serangan terhadap para dewa di sorga. Para dewa pun
segera meminta pertolongan Dewa Siwa untuk mengadu Dewa
Gaṇa di peperangan. Senjata kapak yang diberikan oleh Dewa Siwa
akhirnya digunakan untuk memotong tangan, kaki dan kepala raja
raksasa Nilarudraka di medan perang. Kemenanganpun ada di pihak
Dewa Gaṇa sehingga sorga berhasil diselamatkan dari serangan
raksasa.
Para dewa segera kembali kesorga dengan suka ria. Dewa Siwa
dan Dewi Umā menuju gunung Mahameru melihat sisa abu Dewa
dan Dewi Asmara. Diceritakan bagaimana Dewi Ratih permaisuri
Dewa Siwa sangat bahagia karena dapat melepas rindu kepada Dewa
Siwa. Dewi Umā berkata jika bukan karena Dewa Kāma mungkin
Dewa Siwa tidak akan merasakan rindu. Dewi Umā memohon agar
abu Dewa Kāma dapat menjelma. Maka mendengar permohonan
itu, Dewa Siwa segera mengabulkannya. Namun setelah abu
dimusnahkan, diceritakan Dewa Kāma tak berwujud (anangga)
Kemudian diceritakan mengenai penjelmaan Dewa Kāma dan Dewi
Ratih di dunia.

1.2 Pengaruh Lingkungan Terhadap Tokoh Ganesha dalam


Kakawin Smaradahana Analisis Semiotik

Telah disinggung sebelumnya bahwa terdapat salah satu bagian


cerita dalam Kakawin Smaradahana yang menjadi penanda perihal
pengaruh lingkungan sekitar terhadap tokoh Ganesha. Penanda
tersebut terdapat dalam episode kelahiran putra Siwa atau Ganesha.
Adapun kutipannya sebagai berikut:

62 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Sawulat ira katon sang wāhana krūra rūpa
Agila sahaja kagyāt citta dewi tumon ya
Muriring ariris elik twas nirā non a pūrwwa
Marěk I jaja bhaţarāngol sumāntěn kawěswěs
(Smaradahana, XXVIII.8)

Terjemahan:
Seketikadilihatnyawahana yang rupanyaserammenakjubkan
Terkejutketakutan Dewi Umamelihathalitu
Muramcemberutmarahmelihatrupa yang menakutkan
Mendekap di dada Dewa Siwatidakmenolehketakutan

Smararipusirayatnantonbhaţarikagěman
Umariarasangelikyanmihat ring swaputra
Ibuphalanigirintewāhanahyangsurendra
Hana di nuluranisā de ngkuwighnarthatatwa
(Smaradahana, XXVIII.13)

Terjemahan:
Dewa Siwa tenang melihat istrinya ketakutan
Dan menghibur Dewi Giriputri yang sedang benci melihat
putranya
Wahai adikku, inilah akibat engkau ketakutan melihat
wahana Dewa Indra
Ada pemberianku yang bernama Wignartatatwa

Seperti yang dijelaskan pada kutipan diatas, keseluruhannya


merupakan pertanda bahwa keadaan lingkungan dapat mempengaruhi
karakter Ganesha. Dalam kutipan tersebut pertanda-pertanda
pengaruh lingkungan terhadap Ganesha dapat diamati pada beberapa
bagian. Seperti misalnya, saat Dewi Uma terkejut dan ketakutan
melihat wahana Dewa Indra yaitu seekor gajah yang rupanya seram
lalu Dewi Uma diselimuti amarah dan mendekap Dewa Siwa. Secara
konteks, dalam tataran ilmu kedokteran menjelaskan bahwa keadaan
emosional, stres dan perubahan fisiologis seorang ibu dapat ditularkan

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 63


pada janin karena dapat meningkatkan corticotrophin-releasing
hormone (CRH) di awal kehamilan yang memicu terjadinya kelahiran
prematur. Maka dari itu, emosional yang positif lebih diperlukan
pada saat perawatan prakelahiran atau prenatal. Prenatal period
adalah waktu mulai pembuahan hingga kelahiran. Dimana pada
waktu itu, sebuah sel tunggal tumbuh menjadi organisme lengkap
dengan sebuah otak dan kemampuan berperilaku. Sedangkan pada
masa bayi merupakan waktu terjadinya aktivitas psikologis baru
dimulai dengan kemampuan berbicara, mengatur indera-indera dan
tindakan fisik, berpikir dengan simbol, dan meniru dari lingkungan
sekitar. (Santrock, 2007).
Sutari Imam Barnadib (www.perkuliahan.com/materi)
membagi pendidikan prenatal menjadi dua macam, yaitu pendidikan
fisik dan non fisik. Pendidikan fisik ialah pemeliharaan kesehatan
ibu yang sedang mengandung agar anak dalam kandungan terjaga
kesehatannya dengan konsultasi dokter, menjaga asupan makanan
serta menjaga kebersihan lingkungan. Di Bali terdapat budaya
yang serupa dengan pernyataan di atas, diantaranya adalah upacara
pangerujakan yang bertujuan untuk memelihara kesehatan bayi
dalam kandungan dengan sarana seperti buah-buahan yang nantinya
harus dimakan setelah dihaturkan ke Surya. Selain itu terdapat
upacara pagedong-gedongan dan nglukat bobotan yang menjadi
bagian dari serangkaian upacara bayi dalam kandungan (Pemerintah
Prov. Bali,2000:9). Sebaliknya pendidikan non fisik ialah menjaga
emosi dan keadaan psikis seorang ibu agar tetap stabil.
Faktor terpenting dalam perkembangan karakter anak tidak
hanya dipengaruhi oleh lingkungan sekitar (nurture), namun
dipengaruhi juga oleh faktor genetika atau bawaan lahir (nature)
yang mewakili warisan biologis seseorang. Tetapi beberapa
menyatakan bahwa pengaruh terpenting adalah perpaduan antara

64 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


warisan biologis dan pengalaman lingkungan (Santrock, 2007:21).
Ibu Ary Devi selaku guru di SMA N 4 Denpasar, menambahkan
bahwa lingkungan sekolah juga berperan penting dalam membentuk
karakter anak, karena di sekolah mereka akan dilatih kedisiplinan,
jujur dan tanggung jawab atas tugas-tugasnya sebagai siswa sehingga
nantinya mampu menjadi sosok pemimpin yang baik di sekolah,
keluarga maupun di masyarakat. Dalam pembetukan karakter, harus
terjalin kerjasama antara keluarga dan guru bahkan masyarakat
disekitar.

Ling sang hyang tri purantaka tumuluwi


Sang hyang durmuka wala pinituha
Krura genginusap nira dinělu
Rimantrāksara para yoga i nugapat
(Smaradahana, XXXI.10)

Terjemahan:
Demikian ucapan Dewa Siwa dan segera,
Beliau Dewa Gana supaya dijadikan pimpinan perang,
Besar menakutkan dan menakjubkan diusap diperhatikan,
Dengan mantra sastra suci disertai yoga bersamaan.

Māsih sang hyangaweh warakaruna


E sakweh tasurāp sara umatur
Putran kuwi ki wěwě tuli wulati
Astu bhrsta musuh ta těkapi ke
(Smaradahana, XXXI.9)

Terjemahan:
Kasih sayang Dewa Siwa memberikan berkah
Hai para dewata sekalian yang datang menghadap
Anakku ini sebagai penyelamat, coba lihat
Yakin akan hancur musuhmu oleh putraku ini

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 65


Kutipan diatas merupakan pertanda bahwa pengalaman
lingkungan dan faktor genetika mempengaruhi karakter Ganesha
yang dapat diamati dalam beberapa bagian. Seperti misalnya,
kelahiran Ganesha merupakan kesengajaan dari para dewa karena
akan berperan penting dalam peperangan, sehingga sudah sejak
dalam kandungan beliau berada dalam lingkungan perang dan
ketika lahir. Dengan takdirnya yang akan menjadi pimpinan perang,
Ganesha memiliki karakter sebagai pemimpin tegas dan mampu
melindungi para dewa dari serangan para raksasa. Selain itu,
dengan kasih sayang Dewa Siwa yang memberi berkah serta para
dewa yang sangat mengasihi Ganesha, maka karakter penyayang
dan pengasih yang terbentuk di dalam diri Ganesha. Menurut Ida
Padanda Gede Giri Dwija Guna bukan berarti bahwa Ganesha adalah
dewa yang memiliki karakter keras, melainkan sebaliknya. Ganesha
sesungguhnya bersifat lembut walaupun dilengkapi dengan senjata
yang bersifat keras dan peranannya sebagai pimpinan perang. Dilihat
dari faktor genetik, Ganesha terlahir dari rahim Dewi Uma yang
memiliki senjata seperti sundari, pinděkan dan taluktak. Senjata-
senjata tersebut sejatinya bersifat halus, maka dari itu Ganesha
memiliki sifat yang lembut, pengasih dan baik.

3. Simpulan
Kelahiran Dewa Ganesha dan bagaimana peranan Ganesha
dalam peperangan melawan raksasa menjadi fokus dalam penelitian
ini dengan menganalisis makna dari tanda-tanda yang terdapat dalam
teks dan bagaimana konteks di masyarakat dengan menggunakan
analisis semiotik. Berdasarkan pertanda-pertanda pada kutipan
teks Kakawin Smaradahana yang sudah dijelaskan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam teks sudah diberikan pemaparan mengenai
pengaruh lingkungan yang mempengarhui bagaimana karakter tokoh
66 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Ganehsa. Dalam konteks di masyarakat, terdapat pula kebiasaan-
kebiasaan maupun budaya yang juga berkaitan dengan tanda-tanda
dalam teks. Sehingga tanda-tanda dalam kutipan teks, setelah diamati
memiliki banyak makna dan fungsi yang luar biasa bagi masyarakat.

Daftar Pustaka

Bandem, I Made. 2009. Wimba Tembang Macapat Bali. Denpasar:


BP STIKOM Bali.
Barnadib, Sutari Imam. (2012). Materi Pendidikan Pranatal.
Resource:http:/www.perkuliahan.com/materi-pendidikan-
pranatal-prenatal/.
Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi
Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Zoest, Aart Van. 1992. Serba-Serbi Semiotika Penyunting Panuti
Sudjiman dan Aart Van Zoest. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Zoest, Aart Van. 1993. SEMIOTIKA Tentang Tanda, Cara Kerjanya
dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan
Sumber Agung.
Zoetmulder, P.J. (1974). Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang
Pandang. Jakarta: Djambatan.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 67


Integrasi Bahasa Sanskerta Dalam Bahasa Jawa Kuno
Pada Teks Adiparwa

Putu Eka Sura Adnyana1*, I Nyoman Sukartha2, Anak Agung


Gede Bawa3
[123]
Prodi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Udayana

Abstract

Sanskrit has a very noble position and has a very important function
for Hindus both in India and in the archipelago. The Old Javanese
poets borrowed Sistani terminology and vocabulary, causing mutual
influence between the two languages. The process of influencing
between Sanskrit and Old Javanese causes a process of integration.
Based on the above, a research entitled Sanskrit Language Integration
in Old Javanese Language In Adiparwa Text, with the objectives,
which are: 1) Describe integration in phonology, morphology, syntax,
semantics. 2) Describe the intralingual and extralingual factors that
cause integration. The type of research conducted is qualitative
based on data on Adiparwa text. By using Research Methods and
Techniques, Data collection techniques based on literature study on
Adiparwa text, technique record, through qualitative data analysis.
The data are grouped in such a way from the next library of analysis
and presented descriptively. The results of the Sanskrit Language
Integration in Old Javanese in Adiparwa text include: 1). field of
phonology. 2). field of syntactic grammar. 3). Vocabulary field. 4).
semantic field. Further factors causing the integration include: 1).
The intralingual factors include: the talents of speech participants,

68 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


the sheer readiness of the recipient language user, inadequate
vocabulary of the recipient language, the disappearance of rarely
used words, the necessity of synonyms, the prestige of the source
language and the language style, the carrying out of the habit in
the mother tongue. 2). External factors include: culture, human
capability, grounding, functional requirements, and simplification.
Based on the results of this study, it can be concluded that: Sanskrit
integration in Javanese Kuna Adiparwa text occurs at the level of
phonology, syntactic morphology, vocabulary and semantics caused
by intralingual and extralingual factors. Suggestions to the public,
students, government, language institutions that pursue, should
understand and deepen the integration of Sanskrit in Old Javanese
language in the text of parwa especially Adiparwa. and conduct
research related to sociolinguistics

Keywords: Integration, Sanskrit, Old Javanese, Adiparwa Text

Abstrak

Bahasa Sanskerta mempunyai kedudukan yang sangat mulia


dan memiliki fungsi yang sangat penting bagi umat Hindu baik
di India maupun di Nusantara. Para pujangga Jawa Kuno banyak
meminjam peristilahan dan kosa kata Sanskerta, yang menyebabkan
adanya saling mempengaruhi antara kedua bahasa tersebut. Proses
mempengaruhi antara Bahasa Sanskerta dengan Bahasa Jawa
Kuno menimbulkan terjadinya proses integrasi. Berdasarkan
hal tersebut maka dilaksanakan penelitian berjudul Integrasi
Bahasa Sanskerta Dalam Bahasa Jawa Kuno Pada Teks Adiparwa,
dengan tujuan, yaitu: 1) Mendeskripsikan integrasi dalam tataran
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik. 2) Mendeskripsikan faktor
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 69
intralingual dan ekstralingual penyebab terjadinya integrasi. Jenis
penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif berdasarkan
data pada teks Adiparwa. Dengan menggunakan Metode dan Teknik
Penelitian, Teknik pengumpulan data berdasarkan studi pustaka
pada teks Adiparwa, metode simak dan teknik catat, melalui analisis
data secara kualitatif. Data dikelompokkan sedemikian rupa dari
kepustakaan selanjutnya analisis dan disajikan secara deskriptif.
Adapun hasil penelitian Integrasi Bahasa Sanskerta dalam Bahasa
Jawa Kuno pada teks Adiparwa meliputi tataran: 1). bidang
fonologi. 2). bidang gramatika sintaksis. 3). bidang kosakata. 4).
bidang semantik. Selanjutnya faktor penyebab terjadinya integrasi
meliputi: 1). Faktor intralingual meliputi: kedwibahasaan peserta
tutur, tipisnya kesediaan pemakai bahasa penerima, tidak cukupnya
kosa kata bahasa penerima, menghilangnya kata-kata yang jarang
digunakan, kebutuhan akan sinonim, prestise bahasa sumber dan
gaya bahasa, terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu. 2). Faktor
ekstralingual meliputi: kebudayaan, tingkat kemampuan manusia,
landasan, kebutuhan fungsional, dan penyederhanaan. Berdasarkan
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: integrasi Bahasa
Sanskerta pada Bahasa Jawa Kuno teks Adiparwa terjadi pada
tataran fonologi, sintaksis, kosa kata dan pada semantik disebabkan
oleh faktor intralingual dan ekstralingual. Saran kepada masyarakat,
mahasiswa, pemerintah, lembaga bahasa yang menekuni, hendaknya
memahami dan mendalami integrasi Bahasa Sanskerta dalam Bahasa
Jawa Kuno pada teks parwa terutama Adiparwa. dan mengadakan
penelitan terkait dengan sosiolinguistik

Kata Kunci: Integrasi, Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuno, Teks


Adiparwa

70 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


1. Pendahuluan

Bahasa digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi dan


berinteraksi sehari-hari. Semua orang menyadari bahwa interaksi dan
segala kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Chaer
(2006:1) mengatakan bahwa bahasa digunakan oleh penuturnya
untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.

Bahasa menyebabkan terjadi proses interaksi, komunikasi,


dan perbedaan pola pikir individu dalam mewujudkan hubungan
sosiokulturalnya. Wujud hubungan sosio-kultural dapat dilihat dalam
budaya India dan budaya Jawa Kuno. Budaya India memberikan
pengaruh besar terhadap budaya Jawa Kuno.

Pengaruh kebudayaan India terhadap kebudayaan Indonesia


pada masa lampau dapat diketahui dengan adanya kerajaan-
kerajaan di Indonesia masih bercorak Hindu sampai pada abad XIV
(Zoetmulder, 1983: 22). Peninggalan sejarah bercorak Hindu dapat
dilihat dari nama raja generasi dynasti Sailendra (Mataram), Kediri,
Singasari, dan Majapahit. Disisi lain khususnya pada bidang sastra
seperti pada parwa, kekawin, dll (Mishra, 1989:82). Kesusastraan
India banyak tersalin ke dalam Bahasa Jawa Kuno (Mishra, 1989:83).

Salah satu wujud budaya India yang memberikan pengaruh


besar adalah Bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta adalah bahasa yang
digunakan untuk menjelaskan sabda suci (wahyu) dari Brahman
yang tersurat dalam kitab suci Veda (Sharma,1985:1-3).

Bahasa Sanskerta mempunyai kedudukan yang sangat mulia


dan memiliki fungsi penting di kalangan umat Hindu baik di India
maupun di Nusantara. Para pujangga Jawa Kuno banyak meminjam
peristilahan dan kosa kata Sanskerta.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 71


Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Jawa Kuno
dilatarbelakangi dua hal, yaitu pengaruh intralingual bahasa dan
pengaruh ekstralingual. (Weinrich 1953:154).

Proses saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan


bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian
integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah tersebut.

Suwito (1985:39-40) mengatakan apabila dua bahasa atau


lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat
dikatakan bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Setiap kontak
bahasa terjadi proses saling memengaruhi antara bahasa satu dengan
bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik
secara lisan maupun tertulis.

Kontak bahasa terjadi karena adanya kedwibahasaan


menimbulkan integrasi suatu bahasa. Integrasi bahasa adalah proses
penyerapan bahasa yang disesuaikan dengan sistem bahasa sehingga
tidak terasa asing lagi sifat bahasanya (Jendra,1991: 115). Faktor
penyebab timbulnya interferensi adalah tidak cukupnya kosakata
suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan
peradaban (Weinrich 1953:4). Selain itu, terdapat kecenderungan
menghilangnya kata-kata tertentu yang jarang digunakan, disamping
kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan
peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga
merupakan faktor penyebab terjadinya interferensi dan integrasi.
Oleh karena itu, kedwibahasaan terjadi karena ada proses akulturasi
bahasa.

Proses akulturasi bahasa menimbulkan perkembangan


bahasa dan sastra yang begitu pesat. Hal itu diakibatkan terjadinya
proses interferensi dan integrasi sebuah bahasa. Bahasa Sanskerta
72 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
juga mengalami proses interferensi dan integrasi dalam Bahasa Jawa
Kuno mengalami beberapa penyesuaian terhadap sistem tatabahasa
Jawa Kuno, khususnya dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis,
maupun semantik.

Penyesuaian sistem tatabahasa tersebut dapat dilihat dalam


karya sastra Jawa Kuno salah satunya yaitu kitab Adiparwa.
Kitab Adiparwa merupakan karya sastra prosa yang prototipenya
terbagi atas dua bagian. Bagian pertama menyajikan kerangka
guna menceritakan epos bhārata mengenai kurban atas perintah
raja Janamejaya, yang dipersembahkan sebagai suatu sarana magis
guna memusnahkan para ular. Bagian kedua berisi silsilah para
Pāndawa dan Korawa, kelahiran dan masa muda mereka sampai
pada pernikahan Arjuna dan Subhadrā (Zoetmulder,1983:80). Kitab
Adiparwa juga memiliki keunikkan dengan menggunakan dua
bahasa yaitu bahasa Jawa Kuno dan kutipan sloka bahasa Sanskerta.
Bahasa Sansekerta yang digunakan dalam Bahasa Jawa Kuno begitu
besar, melebihi perbandingan kosakata bahasa Sansekerta pada
bahasa Nusantara (Mardiwarsito, 2012:25).

Pemilihan teks Adiparwa sebagai objek penelitian,


berdasarkan pernyataan Gonda (1998:74) bahwa sloka Bahasa
Sanskerta setiap kali diikuti oleh terjemahan Bahasa Jawa Kuno,
kutipan Bahasa Sanskerta ini sebagai syair penanda yang bertujuan
agar tetap menghubungkan dengan aslinya. Bahasa Sanskerta
mengalami proses integrasi kedalam Bahasa Jawa Kuno sebagaimana
pada teks Adiparwa, merupakan parwa pertama dari Asta Dasa
Parwa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Bahasa


Sanskerta memberikan pengaruh yang sangat besar dalam berbagai

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 73


karya sastra, khususnya pada teks Adiparwa. Oleh karena hal tersebut
sangat penting dan menarik perhatian untuk diteliti mengenai
Integrasi Bahasa Sanskerta pada Bahasa Jawa Kuno dalam teks
Adiparwa.

2. Pokok Permasalahan

a) Bagaimana integrasi Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Jawa


Kuno pada teks Adiparwa ?

b) Faktor apa saja penyebab integrasi Bahasa Sanskerta dalam


teks Adiparwa?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Memberikan gambaran dan kontribusi mengenai integrasi


Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Jawa Kuno sebagai bentuk
inventarisasi data kebahasaan, serta sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya linguistik Bahasa Jawa
Kuno.

Tujuan Khusus

a) Untuk mendeskripsikan integrasi Bahasa Sanskerta dalam tataran


fonologi, morfologi, sintaksis, semantik pada Bahasa Jawa Kuno
yang dipergunakan pada teks Adiparwa.

b) Mendeskripsikan faktor-faktor intraligual dan ekstralingual yang


menyebabkan terjadinya integrasi.

74 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


4. Metode Penelitian

Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode simak. Pengumpulan


data dilakukan dengan studi pustaka, berasal dari bahasa Sanskerta
yang dipakai dalam bahasa Jawa Kuno pada teks Adiparwa.

Pengumpulan data dilanjutkan dengan teknik catat, yaitu


mencatat data pada sebuah buku, data yang tercatat diklasifikasikan
berdasarkan bentuk dan maknanya (Sudaryanto, 2015:6).

Metode dan Teknik Analisis Data.

Metode dan teknik analisis data penelitian menggunakan


Metode padan translasional, yaitu metode analisis dengan cara
menghubung-bandingkan unsur-unsur bahasa, baik yang terdapat
dalam satu bahasa maupun beberapa bahasa yang berbeda (Mahsun,
2005:112).

Pada tahap analisis data digunakan metode translasional


dengan teknik dasar teknik pilah unsur penentu dan teknik lanjutan,
teknik hubung banding (Sudaryanto, 2015: 13-30). Penggunaan
metode padan translasional dengan teknik dasar pilah unsur penentu
guna mengkaji bahasa lain (langue) yang berupa unsur-unsur dalam
bahasa seperti; fonem, suku kata, morfem, kosa kata ataupun kata
Sanskerta.

Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Data yang sudah dianalisis disajikan dengan menggunakan


metode formal dan informal. Metode formal adalah menyajikan
analisis dengan menggunakan tanda-tanda, lambang-lambang atau
tanda-tanda linguistik seperti tanda diakritik, tanda kurung dan
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 75
sebagainya. Metode informal, yaitu suatu metode penyajian hasil
penelitian akan dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata
biasa yang singkat, jelas dan padat yang kemudian dirangkaikan
menjadi sebuah alur kalimat yang membentuk paragraf-paragraf
yang sistematis (Sudaryanto,1982:16). Hasil penelitian ini disajikan
dengan menggunakan kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang mudah
dipahami oleh pembaca mengenai integrasi Bahasa Sanskerta pada
teks Adiparwa.

5. Pembahasan

5.1 Integrasi Bahasa Sanskerta Dalam Bahasa Jawa Kuno Pada


Teks Adiparwa

1) Integrasi Bahasa Sanskerta Pada Bidang Fonologi

a. Integrasi Bahasa Sanskerta Mengalami Penambahan Bunyi

Proses integrasi fonologi Bahasa Sanskerta kedalam Bahasa


Jawa Kuno pada teks Adiparwa, mengalami penambahan bunyi
pada kata. Namun tanpa merubah makna kata atau arti. Adapun
data yang teridentifikasi mengalami penambahan bunyi, yaitu:
Kata Handha (APAB 32.2.2) dalam Bahasa Jawa Kuno pada teks
Adiparwa berasal dari kata Andha AN/ ‘buta, gelap’(KBS.48) telah
berintegrasi kedalam bahasa Jawa Kuno pada teks Adiparwa dan
mengalami penambahan bunyi /h/. Penambahan ini tidak merubah
arti kata dan tetap memiliki makna sama dalam teks Adiparwa
Bahasa Jawa Kuno.

b. Integrasi Bahasa Sanskerta Mengalami Pengurangan Bunyi

Proses integrasi fonologi Bahasa Sanskerta kedalam Bahasa


Jawa Kuno pada teks Adiparwa, mengalami pengurangan bunyi

76 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


pada kata. Tetapi tanpa mengalami perubahan bentuk kata ataupun
arti. Adapun data yang terindentifiasi mengalami pengurangan bunyi
pada teks Adiparwa, yaitu: Kata duḥkha du”% ‘duka, sedih’ (KBS
206) berintegrasi kedalam Bahasa Jawa Kuno pada teks Adiparwa.
Mengalami pengurangan bunyi /h/ sehingga menjadi Dukha (APZ
37.13). Pengurangan bunyi ini tidak merubah arti kata dan tetap
memiliki makna sama dalam teks Adiparwa Bahasa Jawa Kuno.

c. Integrasi Bahasa Sanskerta Mengalami Perubahan


Pelambangan Bunyi.

Proses integrasi Bahasa Sanskerta kedalam Bahasa Jawa


Kuno dalam teks Adiparwa, mengalami perubahan pelambangan
bunyi. Hal ini dikarenakan sistem pelambangan bunyi dalam Bahasa
Jawa Kuno tidak mengenal pelambangan bunyi /v/ dan /ṛ/ sehingga
terjadi perubahan pelambangan bunyi /v/ menjadi /w/ dan /ṛ/ menjadi
/rè/. Namun disisi lain ditemukan juga identifikasi perubahan bunyi
yang terjadi pada kosakata Bahasa Sanskerta dalam teks Adiparwa,
perubahan bunyi /u/ pada kosa kata Bahasa Sanskerta menjadi bunyi
/o/ dalam teks Adiparwa. Adapun beberapa data perubahan lambang
bunyi yang dapat diidentifikasikan, yaitu:

1.Perubahan lambang bunyi /v/ menjadi /w/ dan perubahan lambang


/ṛ/ menjadi /rè/. 2. Perubahan bunyi /u/ menjadi /o/ atau sebaliknya.
3.Perubahan bunyi /j/ menjadi bunyi /k/. 4.Perubahan bunyi /i/
menjadi /ī/. 5.Perubahan bunyi /ī/ menjadi /i/. 6.Perubahan bunyi /a/
menjadi /ā/.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 77


2)
Integrasi Bahasa Sanskerta Pada Bidang Gramatika
(Morfologi)

Dalam penelitian ini, tidak dapat ditemukan integrasi sistem


morfologi Bahasa Sanskerta kedalam Bahasa Jawa Kuno pada
teks Adiparwa. Sistem morfologi Bahasa Sanskerta ialah subanta
atau deklinasi. Bahasa Jawa Kuno tidak menyerap dan tidak
mengintegrasikan proses deklinasi dari sistem morfologi Bahasa
Sanskerta, namun Bahasa Jawa Kuno memiliki ciri khas yang
identik melambangkan dirinya dalam sistem morfologi. Penyerapan
kosakata Bahasa Sanskerta yang diproses melalui penambahan secara
morfologis, yakni afiksasi atau imbuhan dalam Bahasa Jawa Kuno.
Melalui proses penambahan afikasasi yang terjadi dalam kosakata
Bahasa Sanskerta pada teks Adiparwa menandakan bahwa Bahasa
Jawa Kuno memiliki ciri khas yang kuat dan khusus dalam bidang
morfologi sebagai bentuk menandakan identitas diriya Bahasa Jawa
Kuno. Seperti contoh data kata Sabhuwana (APZ 1.1) ‘seluruh alam’
merupakan kata jadian yang mendapatkan prefiks bahasa Jawa Kuno
sa- dan berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu Bhuana .uAn (KBS 244)
‘Alam’.

3. Integrasi Bahasa Sanskerta Pada Bidang Gramatika


(Sintaksis)

Integrasi sintaksis terjadi apabila struktur Bahasa Sanskerta


digunakan dalam pembentukan kalimat Bahasa Jawa Kuno yang
digunakan pada Adiparwa. Tataran sintaksis yang dimaksud meliputi
kata (frasa) dan klausa (clausa) adalah bagian-bagian yang mungkin
terkena interferensi (Jendra,1991:111). Namun dalam penelitian ini,
integrasi sintaksis Bahasa Sanskerta kedalam Bahasa Jawa Kuno
78 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
pada teks Adiparwa yang dapat ditemukan dan teridentifikasi hanya
pada tataran frasa hal ini disebabkan karena sintaksis merupakan
bidang yang sulit terpengaruh, karena sintaksis adalah daftar yang
tertutup (close list). Adiparwa berbahasa Jawa Kuno banyak
ditemukan bentukan-bentukan yang mempergunakan kata dan pola
Sanskerta. Pola ini berlainan dengan pola aslinya. Adapun jenis-
jenis kontruksi pola Sanskerta dibagi menurut pembagian yang
berlaku pada Sanskerta: a) Tatpuruṣa tTpuruz, yaitu kontrusksi
yang bagian pertama serta keduanya berupa nomina dan bagian
kedua kata yang berarti pelaku, tempat, asal atau rupa. Kata pertama
menerangkan kata kedua, sering sebagai pemiliknya (Mardiwarsito
& Kridalaksana, 2012:91). Adapun data yang teridentifikasi dalam
Adiparwa adalah Kata warāha rūpa ‘Berwujud Babi Hutan’
vrahrUp (APZ 34.5) merupakan frasa tatpuruṣa kata pertama warāha
sebagai pelaku dan kata kedua rūpa sebagai rupa. b) Karmadhāraya
kmR/ary, yaitu kontruksi yang mirip tatpuruṣa, hanya kedua bagian
memiliki fungsi sintaksis yang sama dalam kalimat, lebih tepatnya
merupakan satu frasa tersendiri (Mardiwarsito & Kridalaksana,
2012:91). Adapun data yang teridentifikasi dalam Adiparwa adalah:
Kata durśasana ‘(orang) sulit diatur; (orang) berdosa’ duxRsn (APZ
98.12) merupakan frasa karmadhāraya kontruksi yang mirip dengan
tatpuruṣa namun frasa ini merupakan frasa tersendiri yang tidak dapat
dipisahkan. c) Dvandva ŠNŠ, yaitu merupakan kontruksi parataktis,
mungkin terdiri dari nomina - nomina, mungkin ajektiva - ajektiva
atau jenis lainnya yang dijajarkan (Mardiwarsito & Kridalaksana,
2012:91). Adapun data yang teridentifikasi dalam Adiparwa antara
lain Kata Úiwa ‘Dewa siwa’ ixv (APZ 257.3) dengan kata Buddha
‘Buddha’ bo„ (APZ 190.5). merupakan frasa Dvandva yang terdiri
berdasarkan nomina dengan nomina yang sejajar. d) Dvigu iŠgu
merupakan kontruksi yang anggota pertamanya berupa numeralia

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 79


(Mardiwarsito & Kridalaksana, 2012:92). Adapun data yang
teridentifikasi dalam Adiparwa antara: Kata Triloka ‘Tiga dunia’ i]
lok (APZ 56.9) merupakan frasa Dvigu yang terdiri berdasarkan awal
kata numeralia yaitu tri ‘tiga’ dilanjutkan dengan kata loka ‘dunia’.
e) Avyayībhava AVyyI/v adalah sebuah kontruksi yang bagian
awalnya merupakan preposisi atau prefiks adverbial (Mardiwarsito
& Kridalaksana, 2012:92). Adapun data yang teridentifkasi dalam
Adiparwa antara lain:

Kata Awidyā ‘kegelapan, kebodohan’ AivÛa (APZ 124.5) merupakan


frasa Avyayībhava yang terdiri berdasarkan awal preposisi atau
prefiks adverbial a ‘tidak’ dilanjutkan dengan widyā ‘pengetahuan’
sehingga menjadi Awidyā ‘kegelapan atau kebodohan’. f) Bahuvrīhī
bhuVrIhI, yaitu kontruksi majemuk yang menjadi atribut sebuah
nomina lain atau menjadi nama benda yang mempunyai sifat yang
tersebut dalam frase itu (Mardiwarsito & Kridalaksana. 2012 :
92). Adapun contoh yang ditemui dalam Adiparwa adalah antara
lain: Kata Mukha padma mu%pÚ ‘berwajah seperti bunga padma’
merupakan frasa Bahuvrīhī terdiri berdasarkan nomina dan menjadi
nama benda memiliki sifat dalam frasa tersebut yang berarti Dewa
Wisnu atau Kresna.

4. Integrasi Bahasa Sanskerta pada Bidang Kosa Kata

Perangkat kosa kata merupakan bagian bahasa yang paling


mudah menerima pengaruh (Jendra,1991:113).Dalam proses lahirnya
karya sastra Adiparwa Bahasa Jawa Kuno, bisa dipastikan seorang
pengarang memiliki pemahaman kedwibahasaan yaitu paham akan
Bahasa Sanskerta dan paham akan Bahasa Jawa Kuno. Faktor
kedwibahasaan inilah yang menyebabkan terjadinya integrasi kosa
kata Bahasa Sanskerta kedalam Bahasa Jawa Kuno yang terdapat

80 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


dalam Adiparwa. Oleh karena itu, integrasi kosa kata Bahasa
Sanskerta dapat diidentifikasikan pada teks Adiparwa sejumlah 363
kosakata.

5. Integrasi Bahasa Sanskerta Pada Bidang Semantik

Adapun integrasi semantik dapat diidentifikasi dalam teks


Adiparwa sebagai berikut:

a). Semantic Expansive Bahasa Sanskerta Pada Teks Adiparwa

Penyerapan Bahasa Sanskerta kedalam bahasa Jawa Kuno


pada teks Adiparwa, melalui proses integrasi dengan mengalami
penyerapan konsep kultural (budaya) beserta namanya. Adapun
data yang teridentifikasi antara lain: Yudhiṣṭhira huwus kṛtābhiseka.
‘Yudhistira sudah dinobatkan’. Kata Abhiseka ‘dinobatkan’ Ai.sek
(APZ 284.56) dalam kalimat tersebut merupakan kosa kata dari
Bahasa Sanskerta yang berintegrasi kedalam Bahasa Jawa Kuno
pada teks Adiparwa. Penyerapan makna kultural (budaya) yang
berarti penobatan atau pengukuhan serta diidentikan dengan seorang
raja.

b) Semantic Aditif Bahasa Sanskerta Pada Teks Adiparwa

Kata-kata pinjaman yang berasal dari Bahasa Sanskerta


mengalami pergeseran makna karena disesuaikan dengan keadaan
alam dan budaya Jawa Kuno. Adapun contoh kata Bahasa Sanskerta
yang dapat diidentifikasikan mengalami pergeseran makna antara
lain: Kata Bhagawan (APZ 67.22) telah mengalami pergeseran
makna menjadi maharèsi, pendeta agung yang awal mulanya berasal
dari kata Bhagavan .gvn( (KBS 269) memiliki makna sebagai Tuhan.
Kata Bahasa Sanskerta tersebut mengalami integrasi kedalam Bahasa
Jawa Kuno pada teks Adiparwa mengalami pergeseran makna.
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 81
c) Semantic replasive Bahasa Sanskerta Pada Teks Adiparwa

Integrasi semantik replasive merupakan integrasi yang


terjadi bila penggantian nilai makna dari suatu bentuk kata lama
menjadi sebuah konsep baru. Integrasi ini ditemukan dalam
Adiparwa berdasarkan pertemuan dua buah kata Bahasa Sanskerta
yang diselaraskan sehingga menjadikan sebuah konsep baru dan
makna yang baru. Adapun data yang teridentifikasi antara lain: Kata
Purohita (APZ 264.34) merupakan pertemuan dua buah kata Bahasa
Sanskerta yaitu kata para pr (KBS 243) ‘masa lalu, lebih jauh’
dan kata hita iht (KBS 557) ‘menyenangkan, kebahagiaan’. Kata
Bahasa Sanskerta tersebut yang berintegrasi ke dalam teks Adiparwa
menjadi bentuk baru dan konsep baru yang memiliki makna baru
pendeta, orang suci, penasehat kerajaan.

5.2 Faktor-Faktor Intraligual dan Ekstralingual Yang


Menyebabkan Terjadinya Integrasi

Proses integrasi Bahasa Sanskerta dalam teks Adiparwa, tidak


bisa dipungkiri bahwa terjadi kontak bahasa antara Bahasa Jawa
Kuno dan Bahasa Sanskerta. Oleh karena kontak bahasa itu, maka
adanya faktor penyebab terjadi integrasi Bahasa Sanskerta tersebut.
Faktor penyebabnya dibagi menjadi dua, yaitu faktor intralingual dan
faktor ekstralingual. Weinrich (1970 : 64 - 65) mengatakan faktor
intralingual terjadinya integrasi yaitu: (1) Kedwibahasaan peserta
tutur; (2) Tipisnya kesediaan pemakai bahasa penerimana; (3) Tidak
cukupnya kosa kata bahasa penerima; (4) Menghilangnya kata-kata
yang jarang digunakan; (5) Kebutuhan akan sinonim; (6) Prestise
bahasa sumber dan gaya bahasa; (7) Terbawanya kebiasaan dalam
bahasa ibu. Dan faktor ekstralingual diakibatkan oleh a) kebudayaan
(culture), b) tingkat kemampuan manusia (knowledge), c) landasan
(substratum), d) kebutuhan fungsional, dan e) penyederhanaan.

82 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


6. Simpulan

Berdasarkan analisis data, sebagaimana telah diuraikan di


atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Integrasi Bahasa Sanskerta pada Bahasa Jawa Kuno dalam


Adiparwa, terjadi pada tataran: a) bidang fonologi meliputi
adanya penambahan bunyi, pengurangan bunyi, dan perubahan
pelambangan bunyi. b) bidang morfologi tidak ditemukan adanya
integrasi sistem morfologi Bahasa Sanskerta. c) bidang sintaksis
meliputi adanya frasa berpolakan struktur sanskerta. d) bidang kosa
kata ditemukan 363 jenis kosa kata Bahasa Sanskerta dalam teks
Adiparwa. e) bidang semantik meliputi adanya penyerapan secara
kultural (semantic expansive), pembentukan makna baru (semantic
aditif) dan pergantian nilai makna (semantic replasive).

Faktor penyebab terjadinya integrasi Bahasa Sanskerta


dalam Bahasa Jawa Kuno pada Adiparwa, yaitu ada dua faktor
intralingual dan Faktor ekstralingual.1) Faktor intralingual meliputi:
a) Kedwibahasaan peserta tutur; b) Tipisnya kesediaan pemakai
bahasa penerimana; c) Tidak cukupnya kosa kata bahasa penerima;
d) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan; e) Kebutuhan
akan sinonim; f) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa; g)
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu. 2) Faktor ekstralingual
meliputi: a) kebudayaan (cultre), b) tingkat kemampuan manusia
(knowledge), c) landasan (substratum), d) kebutuhan fungsional,
dan e) penyederhanaan.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 83


Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dkk. 2006. Sosioliguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Gonda. 1998. Sanskrit In Indonesia. India: International Akademi
Of Indian Culture and Aditya Prakashan.
Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar:
Ikayana.
Mardiwarsito, L dan Harimurti Kridalaksana. 2012. Struktur Bahasa
Jawa Kuno. Depok: Komunitas Bambu.
Mahsun.2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Mishra. 1989. “Sejarah Kesusastraan Sanskerta”. Denpasar :
Publisher.
Sharma. 1985. Unsur-Unsur Bahasa Sanskerta Dalam Bahasa
Indonesia. Denpasar: Wyāsa Sanggraha.
Sudaryanto. 1982. “Predikat- Objek dalam Bahasa Indonesia”.
Jakarta: Djambatan
Sudaryanto.2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa:
Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik.
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Surada, I Made. 2007. Kamus Bahasa Sanskerta-Indonesia.
Surabaya: Paramita.
Suwito. 1985. Pengantar awal sosiolinguistik: teori dan problema.
Surakarta: henary offset
Weinreich, Uriel.1953. Language In Contact. Netherlands: Mouton
Publisher, The Hague.
Weinreich, Uriel.1970. Language In Contact (Cetakan ke-II).
Netherlands: Mouton Publisher, The Hague.
Zoetmulder, P.J. 2005. Adiparwa Bahasa Jawa Kuno dan Indonesia.
Surabaya: Paramitha
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang
Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan
84 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Kidung Tantri Kediri Pada Episode Angsa dan Kura-
Kura: Sebuah Kajian Wacana

R.A Kurniasari Yardella, I Ketut Jirnaya, I Ketut Nuarca

Prodi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Univrsitas


Udayana

Abstract

The Kidung Tantri Kĕdiri on the swan and turtle episode


tells about the friendship between swans and turtles who live in
Kumudawati lake. At the end of the story the turtle died because he
did not obey the advice from his friend, swan. In the story the turtles
is described as very careless and his mind always shrouded in bad
things. The main moral value of this story is self-control, either the
thought of words or speech and behavior especially in social life. The
purpose of this research is to participate in supporting the programs
of government at the preservation of classical literary treasures,
especially kidung, and also to know the structure of discourse in
Kidung Tantri Kĕdiri. This study is used theory of discourse proposed
by Teun A Van Dijk known as the three-dimensional theory. In the
first dimension is the structure of the text, then the second is social
cognition and context. Technique of collecting data used in this study
is library techniques,riview, note supported by descriptive analytic
techniques.

Keywords : discourse, kidung, kĕdiri

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 85


Abstrak

Teks Kidung Tantri Kĕdiri terutama pada episode angsa dan


kura-kura, isinya menceritakan tentang persahabatan antara angsa
dan kura-kura yang tinggal di Tegala Kumudawati. Diakhir cerita
kura-kura mati karena tidak menuruti nasehat sahabatnya yaitu
angsa. Dalam cerita si kura-kura ini dilukiskan sangat ceroboh dan
pikirannya selalu diselimuti hal-hal yang buruk. Amanat dari cerita
ini pada intinya adalah pengendalian diri, baik pikiran kata atau
ucapan dan perbuatan terutama dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk berpatisipan mendukung
program pemerintah dalam pelestarian khazanah kesusastraan klasik
khususnya kidung dan juga untuk mengetahui struktur wacana
dalam Kidung Tantri Kĕdiri. Landasan teori yang digunakan untuk
memecahkan rumusan masalah ialah teori wacana yang dikemukakan
oleh Teun A Van Dijk dengan teori yang dikenal dengan teori tiga
dimensi. Pada dimensi pertama adalah struktur teks, lalu kedua
adalah kognisi sosial dan konteks. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan teknik pustaka, simak, dan catat,
didukung dengan teknik deskriptif-analitik.

Kata kunci: wacana, kidung, Kediri

1. Pendahuluan

Kidung merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa


Jawa Pertengahan. Sastra kidung berasal dari zaman Majapahit
hingga abad ke-16 di Jawa Timur yang kemudian diteruskan di Bali
Sukesi (dalam Suarka, 2007: 15). Semua Sastra Jawa Pertengahan
yang dikenal dewasa ini berasal dari Bali, tetapi tetap dengan catatan
bahwa sastra kidung tidak lahir di Bali, kidung telah dikenal di Jawa
sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit (Zoetmulder, 1983:33).
86 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Pada periode Hindu-Jawa (abad IX-XV), orang-orang Jawa sudah
mengenal kidung sebagai suatu jenis karya sastra yang lain dari pada
sastra kakawin.

Sastra kidung dikenal masyarakat Jawa sebagai karya


sastra berbentuk puisi. Bentuk puisi kidung merupakan puisi asli
Jawa dan bahan kisahnya juga diambil dari Jawa. Keberadaan dan
perkembangan karya sastra kidung tidak hanya sebatas di pulau
Jawa, tetapi juga tumbuh dan berkembang di Bali bersamaan dengan
karya sastra lainnya, seperti kakawin dan geguritan.

Karya sastra kidung adalah puisi dengan pola metrum asli


Jawa. Robson (dalam Suarka, 2007:6) Karya sastra kidung dapat
dibedakan menjadi dua jenis metrum, yakni karya sastra kidung
yang menggunakan metrum macapat dan sastra kidung yang
menggunakan metrum tĕngahan. Poerbatjaraka (dalam kriswanto,
2013:2) menyatakan bahwa sekar tengahan adalah macapat tua dan
orang sekarang sudah banyak yang lupa, sebagai contoh tembang
Panji Prakasa dan Darma Parita dalam kidung subrata.

Kidung memiliki sistem yang lebih rumit daripada


kakawin dan menggunkan metrum tĕngahan. Metrum tĕngahan
mempuyai karakteristik yang fleksibel, dalam arti penembang bebas
mengekspresikan tembang, tanpa terpaku pada jeda kalimat dan
aturan-aturan kebahasaan yang menginginkan adanya keutuhan
makna Nabeshima (dalam Suarka, 2007:20). Meskipun demikian,
dari segi kebahasaannya menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan

Kidung Tantri Kĕdiri merupakan sebuah karya sastra dalam


bahasa Jawa Pertengahan dari Bali. Teks ini adalah sebuah gubahan
dari teks prosa Jawa Kuna Tantri Kāmandaka. Kidung Tantri digubah
dalam bentuk tembang tĕngahan pupuh Kĕdiri dan pupuh Dĕmung,
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 87
karena sebagian besar teks Kidung Tantri digubah dalam pupuh
Kĕdiri sehingga disebut Kidung Tantri Kĕdiri (Soekanto, 2013:1).

Cerita Tantri di antara masyarakat Bali membuat nama


“Tantri” menjadi sinonim dengan dogeng hewan atau fabel
(Soekanto, 2013:1). Cerita Kidung Tantri Kĕdiri merupakan cerita
berbingkai dan cerita fabel yang terdiri dari tiga puluh episode dalam
satu cerita. Untuk kepentingan studi ini peneliti mengambil episode
ke-3 yaitu angsa dan kura-kura. Episode ke-3 ini menceritakan tentang
persahabatan sepasang burung angsa, Cakrangga dan Cakranggi yang
berteman dengan seekor mpas yang bernama Durbudi yang tinggal
di Talaga Kumudawati. Saat musim kemarau tiba sepasang burung
angsa hendak meninggalkan telaga itu. Durbudi ingin ikut bersama
sepasang angsa, lalu diperbolehkan ikut dengan syarat agar tidak
mengucapkan apa-apa pada saat di perjalan. Di dalam perjalanan
matilah Durbudi di makan anjing karena tidak mendengar nasihat si
angsa.

Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah Wacana.


J.S. Badudu (dalam Darma, 2014:2) yang memaparkan bahwa
wacana sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan, yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya,
membuat satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi
di antara kalimat-kalimat. Syamsuddin (dalam Darma, 2014:4)
mendefinisikan wacana sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak
tutur yang mengungkap suatu hal (subjek) yang disajikan secara
teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk
oleh unsur segmental, maupun nonsegmental bahasa.

Teks Kidung Tantri Kĕdiri pada episode angsa dan kura-kura


adalah tuturan dialog, dan memiliki struktur naratif. Wacana dialog

88 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


adalah wacana yang dibentuk oleh percakapan atau pembicaraan
berdasarkan isi dan sifatnya. Teks Kidung Tantri Kĕdiri pada episode
angsa dan kura-kura berbentuk puisi. Berbahasa Jawa Pertengahan.

2. Pokok Pembahasan

1) Bagaimanakah struktur wacana yang membangun teks


Kidung Tantri Kĕdiri pada episode angsa dan kura-kura ?

2) Bagaimanakah dimensi kognisi sosial wacana Kidung Tantri


Kĕdiri pada episode angsa dan kura-kura?

3) Bagaimanakah konteks wacana Kidung Tantri Kĕdiri pada


episode angsa dan kura-kura ?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan dan memberikan


gambaran yang jelas dalam memahami karya sastra kidung secara
lebih luas dari karya sastra yang ada agar dapat diketahui secara luas
oleh masyarakat pencinta dan penikmat karya sastra tradisional Jawa
dan Bali.

Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui struktur wacana Kidung Tantri Kĕdiri


pada episode angsa dan kura-kura.

2) Untuk mengetahui dimensi kognisi sosial wacana Kidung


Tantri Kĕdiri pada episode angsa dan kura-kura.

3) Untuk mengetahui konteks wacana Kidung Tantri Kĕdiri


pada episode angsa dan kura-kura.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 89


1. Metode Penelitian

Metode dan Teknik Penyedian Data

Metode pembacaan model semiotik yakni pembacaan


heuristik. Menurut Rifattere (dalam Sangidu, 2004: 19) pembacaan
heuristik merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan
mengintrepetasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda
linguistik.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan


teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka adalah teknik yang
menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data
(Subroto, 1992: 24).

Teknik simak dan catat, yakni peneliti sebagai instrumen


kunci melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti
terhadap sumber data primer yaitu karya sastra yang berupa
teks Kidung Tantri Kĕdiri dalam rangka memperoleh data yang
diinginkan, dan terhadap sumber data sekunder sasarannya berupa
buku, jurnal, skripsi

Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan tahap pengolahan data. Tahap


pertama adalah memeriksa data yang terkumpul, kemudian dianalisis
menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan
konteks keberadaannya (Ratna, 2015:46-47). Dalam tahapan ini
didukung dengan teknik deskriptif-analitik. Meskipun demikian,
analisis tidak semata-mata menguraikan, melaikan juga memberikan
pemahaman dan penjelasan (Ratna, 2015:53). Teks Kidung Tantri
Kĕdiri pada Episode Angsa dan Kura-kura dideskripsikan sehingga
90 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya kemudian
dilakaukan dengan melakukan analisis sesuai dengan permasalahan
yang akan diteliti.

Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Dalam tahap ini, hasil analisis disajikan dengan metode


formal dan informal. Metode formal adalah aspek-aspek bentuk,
yaitu unsur-unsur wacana (Ratna, 2015:50). Metode informal adalah
cara penyajian hasil pengolahan data dengan menggunakan kata-
kata atau kalimat biasa sebagai sasaran.

2. Pembahasan

Struktur Makro (Thematic structure)

Struktur makro ialah unsur tematik yang menunjukkan makna


umum dari isi teks. Tema/topik berarti sesuatu yang telah diuraikan
atau sesuatu yang telah ditempatkan (Sobur, 2006:75). Dalam
Kidung Tantri Kĕdiri pada episode angsa dan kura-kura akan dibagi
menjadi dua yaitu tema umum dan tema khusus.

Tema umum yang terdapat dalam Kidung Tantri Kĕdiri adalah


persahabatan antara angsa dan kura-kura. Tema khusus yang terdapat
dalam Kidung Tantri Kĕdiri adalah terprovokasi. Kura-kura di olok-
olok oleh sepasang anjing. Sebagai berikut kutipan percakapan
anjing yang menghina si kura-kura

Ndan iku purisaning sapi saking parumahing kutis


makolihanyêki putranya mangkana idĕp mami, (4.44a)

Artinya

<itu bukan kura-kura>, itu tahi lembu kering (kutis) oleh-oleh anak
mereka. Begitulah pendapatku. (4.44a)

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 91


Superstruktur (Superstructure)

Superstruktur merupakan struktur wacana secara keseluruhan


atau lebih dikenal Skema. Skema dalam Van Dijk di bagi dua
jenis summary yang terdiri headline dan lead serta story. Lead
pada Kidung Tantri Kĕdiri mengenai judul yang diangkat untuk
membawa pembaca kepada pendahuluan. Pendahuluan tulisan ini
diawali dengan sebuah cerita si angsa dan si kura-kura. Skema pada
story teks Kidung Tantri Kĕdiri Pada Episode Angsa dan Kura-kura
terbagi menjadi berapa bagian; 1) pengarang menuliskan keindahan
telaga yang di tempati si angsa dan si kura-kura (4.35b-4.36a), 2)
si angsa berpamitlah dengan si Durbudi (4.36b-4.37a), 3) si kura-
kura sedih ditinggalkan si angsa ke Talaga Panasasara (4.37b-4.38a),
4) si Durbudi menyakinkan si angsa, agar ia ikut bersamanya
(4.38b-4.39a), 5) si angsa menghibur si kura-kura, karena ia
berbeda dengan si angsa. (4.39b-4.40a), 6) si kura-kura minta
tolong kepada si angsa agar diberi siasat (4.40b-4.41a), 7) si angsa
memberika nasihat kepada si kura-kura (4.41b-4.42b), 8) provakasi
si anjing kepada si kura-kura (4.43a-4.43b), 9) terprovokasilah si
kura-kura (4.44a-4.44b), 10) matilah si kura-kura di makan anjing
(4.45a-4.45b).

Struktur Mikro

Struktur mikro merupakan analisis wacana yang paling konkret dan


spesifik karena yang dianalisis kata dan kalimat. Struktur mikro
meliputi sintaksis, semantik, stilistik dan retoris.

1) Latar

Latar yang ditampilkan dalam Kidung Tantri Kĕdiri Pada


Episode Angsa dan Kura-kura berupa latar tempat dan latar sosial.

92 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Latar tempat terdapat pada Talaga Kumudawati dan Panasasara.
Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, kebiasaan hidup yang
dimaksud adalah kebiasaan bintang angsa dan kura-kura yang tidak
bisa hidup jika tidak ada air.

2) Detail

Detail berkaitan dengan kontrol informasi yang disampaikan


pengarang. Yang dimaksud adalah pesan moral yang ingin
disampaikan oleh pengarang. Nasihat harus diamalkan dan dipahami
apalagi dari seorang sahabat.

3) Maksud

Maksud melihat apakah teks itu disampaikan secara eksplisit.


Seseorang yang tidak mengamalkan nasihat orang maka akan
sengsara hidupnya. Secara eksplisit nama tokoh Durbudi sudah
mengambarkan akan sifatnya yang berpikiran buruk.

4) Bentuk Kalimat

Kidung Tantri Kĕdiri Pada Episode Angsa dan Kura-Kura


merupakan salah satu jenis karya sastra yang bentuk puisi, puisi
indentik dengan kata kias untuk mengambarkan keindahan dalam
kalimat.

5) Kata Ganti

Kata ganti yang terdapat pada teks adalah kata ganti orang yaitu
mami, nghulun, kita dan juga terdapat kata ganti penujuk yaitu iki,
iku, ika.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 93


6) Koherensi

Koherensi merupakan kata hubung yang dipakai untuk


menghubungkan proposisi. Dalam teks ini terdapat kata hubung
apan, lawan, yan, mwang,

7) Stilistika

Pada Kidung Tantri Kĕdiri Pada Episode Angsa dan Kura-Kura


dapat dilihat pilihan kata yang bersinonim adalah kata mamwit dan
amit, awak dan dawak, udaka dan bañu, dan kurma dan mpas.

8) Retoris
Pada teks ini metafora yang terdapat adalah Sarkasme
merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Si
kura-kura di ejek dengan sebuatan tahi lembu kering. Lalu ekspresi
si kura-kura adalah ekspresi sedih saat ditinggal angsa.
Kognisi Sosial
Kognisi sosial merupakan gagasan utama dalam wacana, tidak
sebatas struktur teks, tetapi bagaimana suatu teks diproduksi. Karena
struktur wacana menunjukkan atau menandakan sejumlah makna,
pendapat dan ideologi.
Kura-kura dalam cerita dimaknai dengan sifat kecerobohan
dan ketidak hati-hatian. Angsa di lambangkan sebagai kesetiaan
terhadap pasangan, tetapi dalam cerita ini kesetian angsa bukan
berarti cinta kasih, melainkan kesetiaanya terhadap sahabatnya yaitu
kura-kura. Anjing memang merupakan binatang yang paling setia,
tetapi pada saat sudah terdesak segala cara pasti akan dilakukan
untuk mendapatkan suatu yang diinginkannya. Seperti di dalam
cerita di atas anjing menggunakan segala tipu muslihat mengatai
kura-kura sebagai tahi kerbau.
94 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Teratai biru menunjukan arah timur laut dan berstana disana
Dewa Sambu yang bersenjatakan Tri Sula, teratai putih arah mata
angin timur yang berstana disana adalah Dewa Iswara bersenjatakan
Bajra, teratai merah melambangkan arah mata angin selatan
daksina yang berstana disana Dewa Brahma bersenjatakan Gada.
Dan alangkah indahnya kolam tersebut yang ditumbuhi oleh bunga
teratai yang merupakan stana dari pada Tuhan.
Konteks

Konteks sosial merupakan keadaan masyarakat yang


melatarbelakangi munculnya suatu wacana. Secara intertekstual
dapat dilihat dengan meneliti bagaimana wacana tersebut diproduksi
dan dikontruksikan dalam masyarakat.
Konteks Etika (Susila)

Istilah susila adalah Etika Nama lainnya. Etika adalah


pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah
tentang larangan atau suruhan untuk berbuat sesuatu. Dalam etika
mendapatkan ajaran tentang perbuatan baik dan perbuatan buruk.

Manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial dalam


hidup bermasyarakat dalam memenuhi segala kebutuhan jasmani
dan kebutuhan rohani dalam bersosialisasi. Pada episode angsa dan
kura-kura. Adanya etika dalam bentuk sosial dan budaya. Yang sudah
dijelaskan tadi bahwa sosial adalah mahluk yang bermasyarakat.
semua mahluk mencapai sebuah tujuan pasti membutuhkan bantuan.
Hal ini terjadi pada cerita Kidung Tantri Kĕdiri pada episode angsa
dan kura-kura. Bahwa kura-kura butuh bantuan untuk melangsungkan
kehidupan dan tujuan hidupnya. Dibantu oleh seorang temanya yaitu
angsa. Sehingga dalam hidup bermasyarakat harus adanya tolong
menolong untuk mencapai sebuah tujuan sebagai mahluk sosial.
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 95
Manusia diciptakan oleh Tuhan dilengkapi dengan akal
pikirian, kemauan bebas dan perasaan hukum dan peraturan yang
harus ditaati oleh manusia dalam berkembang hidup yang baik
dan mewujudkan kebahagiaan dan manusia berusaha dengan akal
pikirannya mengolah untuk dapat menciptakan barang-barang
sebagai hasil ciptaan yang disebut kebudayaan.

Etika sosial dan budaya secara praktis dimaksudkan untuk


menumbuh kembangkan kembali kehidupan berbangsa yang
berbudaya tinggi dengan menghargai dan mengembangkan budaya
nasional yang bersumber dari budaya daerah yang mampu melakukan
adaptasi, interaksi dengan bangsa lain, dan tindakan proaktif sejalan
dengan tuntutan globalisasi.

Konteks pengendalian diri

Pengendalian diri yaitu bisa memilih yang baik serta


dapat mengendalikan pikiran, kata-kata maupun perbuatannya.
Pengendalian diri harus dilatih sejak dini. Pegendalian diri merupakan
sikap, tindakan, perilaku seorang secara sadar baik direncanakan
atau tidak untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku.

Dalam proses pengendalian diri terdapat musah. Dalam Agama


Hindu lebih dikenal dengan adanya sad ripu yaitu enam musuh yang
ada pada diri. Sifat-sifat negatif yang ada. Berikut enam musuh yang
ada pada diri; 1. Karma adalah nafsu dan keinginan, 2. Lobha adalah
tamak atau rakus, 3. Krodha adalah kemarahan, 4. Moha adalah
kebingungan, 5. Mada adalah mabuk, 6. Matsarya adalah dengki
atau iri hati.

Sifat marah adalah sifat alamiah seseorang. Pemicu kemarahan


adalah dari hal yang sepele hingga hal yang besar. Jika sudah marah

96 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


orang akan bingung dalam mengendalikan sehingga tidak tahu yang
mana yang benar dan yang mana yang salah. Lebih buruknya lagi
kemarah sesorang bisa berujung penganiyaan bahkan lebih buruknya
sampai membunuh. Dalam mengendalaikan emosi adalah dengan
mendakatkan diri pada sang Pencipta yaitu Tuhan.

Pengendalian kata-kata yang sulit untuk dikendalikan. Mengapa


begitu, karena seseorang yang tidak mempunyai intregritas yang
tinggi maka akan tersesat. Seseorang dalam berucap maka tahu pada
tempatnya sehingga tidak membuat kesinggungan. Sebagai contoh
kutipan teks berikut adalah

waṣita nimittanta manĕmu lakṣmi


waṣita nimittanta pati kapangguh
waṣita nimittanta manĕmu duhka
waṣita nimittanta manĕmu mitra
(Nitisastra, 5:3)
Artinya:
karena kata-kata engkau mendapat bahagia
karena kata-kata engkau akan mendapat kematian
karena kata-kata engkau akan mendapat kesusahan
karena kata-kata engkau akan mendapat sabahat.
(Nitisastra, 5:3)

Kesimpulan

Menceritakan tentang persahabatan angsa dan kura-kura


yang tinggal di Telaga Kumudawati. Akan tetapi sebelum musim
kemarau tiba air telaga mulai mengering sehingga angsa pun hendak
meninggalkan Tegala itu dan pergi meninggalkan sahabatanya.
Kura-kura merayu agar angsa mempunyai ide agar ia bisa pergi
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 97
bersama. Kura-kura berpesan agar menghiraukan ucapan apapun
pada saat terbang. Akan tetapi, kura-kura lupa akan nasihat lalu
ia mati. Kidung Tantri Kĕdiri pada episode angsa dan kura-kura
memiliki tema terprovokasi/ terpancing emosi. Pengendalian diri
sangat berfungsi terhadap kehidupan sendiri dan bermasyarakat
dengan dibantu dengan etika/ kesusilaan.

Daftar Pustaka

Darma, H. Yoce Aliah. 2013. Analisis Wacana Kritis Dalam


Multiperspektif. Bandung: PT Refika Aditama.

Kriswanto, Agung. 2012. Gita Sinangsaya; Edisi Teks dan


Terjemahan. Jakarta:

Ratna, I Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode,


Dan Teknik Penulisan Sastra Dari Strukturalisme
Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Piśācaraṇa. Denpasar:


Pustaka Larasan.

Subroto. 1992. Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Raja Grafindo


Persada

Soekanto, Revo Arka Giri. 2013. Kidung Tantri Kĕdiri; Kaijan


Filologis Sebuah Teks Dalama Bahasa Jawa. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang


Padang. Jakarta: PT Gramedia.

98 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Wacana Tanda-Tanda Menjelang Kematian dalam
Tutur Śwacaṇdha Marāṇa: Teks dan Konteks

Ida Bagus Anom Wisnu Pujana, Anak Agung Gede Bawa, I


Wayan Sukersa
Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana

Abstrack
Death is the end of every living things in this world. There is
no living things that does not end in death. Because in the end, death
is one thing that every living things must undergo.
In Hindu’s belief death is not the end. Death is the
disappearance of the bond or the relation between ātma (spirit) and
the body as a wrapper. In accordance with the explanation above,
that which is declared dead is the body. Because the body is visible
so any symptoms on the body can be observed by naked eye. Likewise
the symptoms of the body showing signs of the death.
Tutur Śwacaṇdha Marāṇa is one of the ancient Javanese
literary works whose contents are about the signs of death. Although
the text of Tutur Śwacaṇdha Marāṇa is textual, it can’t be separated
from its context in society. Because a text certainly can not be
separated from the context.

Keywords: Signs of death, discourse, context

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 99


Abstrak
Kematian merupakan akhir dari setiap organisme yang hidup.
Tiada makhluk hidup yang tidak berakhir dalam sebuah kematian.
Karena pada akhirnya kematian adalah satu hal yang pasti dialami
setiap makhluk hidup.
Dalam keyakinan umat Hindu kematian bukanlah sebuah
akhir. Mati adalah lenyapnya ikatan atau hubungan antara ātma
dengan badan sebagai pembungkusnya. Sesuai dengan penjelasan
tadi, bahwa yang dinyatakan mati adalah tubuh. Karena tubuh itu
kasat mata menjadikan setiap gejala-gejala yang ada pada tubuh
dapat diamati secara kasat mata. Begitupula dengan gejala-gejala
dari badan raga yang menunjukkan adanya tanda-tanda menjelang
tibanya kematian itu.
Tutur Śwacaṇdha Marāṇa merupakan salah satu karya sastra
yang berbahasa Jawa Kuno yang isinya mewacana mengenai tanda-
tanda menjelang kematian. Meskipun naskah Tutur Śwacaṇdha
Marāṇa berupa teks, namun tidak dapat dipisahkan dari konteksnya
di masyarakat. Karena sebuah teks tentu tidak dapat terlepas dari
konteksnya.

Kata Kunci: Tanda-Tanda Kematian, Wacana, Konteks

1. Latar Belakang
Kematian merupakan akhir dari setiap organisme yang hidup,
juga merupakan suatu kepastian untuk setiap makhluk hidup. Tiada
makhluk hidup yang tidak berakhir dalam sebuah kematian. Karena
pada akhirnya kematian adalah satu hal yang pasti dialami setiap
makhluk hidup.

100 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Dalam keyakinan umat Hindu kematian bukanlah sebuah akhir.
Mati dalah lenyapnya ikatan atau hubungan antara ātma1 dengan
badan sebagai pembungkusnya. Seiring berjalannya waktu hubungan
antara ātma dengan badan yang dulunya sangat kuat, perlahan-lahan
menjadi sirna dan pada akhirnya lenyap. Lenyapnya kontak antara
ātma dengan badan sebagai pembungkusnya, menyebabkan lepasnya
ātma itu dari tubuh. pada saat itulah tubuh atau badan itu dinyatakan
mati. Singkatnya, dalam kepercayaan Hindu, yang dimaksud mati
adalah tubuh yang sudah ditinggalkan oleh ātma. Akan tetapi ātma
itu akan mengalami siklus lahir-hidup-mati secara berulang-ulang,
dan mendiami tubuh yang baru setelah meninggalkan tubuh yang
lama2.
Sesuai dengan penjelasan tadi, bahwa yang dinyatakan mati
adalah tubuh atau badan raga yang kasat mata. Karena tubuh itu kasat
mata menjadikan setiap gejala-gejala yang ada pada tubuh dapat
diamati secara kasat mata. Gejala-gejala yang dialami oleh badan
raga itu tentunya dapat diamati dan dirasakan. Begitupula dengan
gejala-gejala dari badan raga yang menunjukkan adanya tanda-
tanda menjelang tibanya kematian itu. Tanda-tanda itu tentunya ada
dan bisa diamati, baik secara kasat mata ataupun dirasakan oleh si
pemilik badan itu.
Membicarakan mengenai tanda-tanda tersebut, adalah salah
satu teks sastra klasik yang membahas mengenai tanda-tanda
menjelang kematian. Teks sastra klasik tersebut ditulis dalam
sebuah media tulis yang disebut lontar3. Teks tersebut secara khusus
1 Ātma merupakan percikan kecil dari Brāhma (Tuhan) yang menjiwai
setiap makhluk hidup, dan merupakan esensi dari kehidupan itu (Titib, 2003:
180).
2 Siklus lahir-mati atau yang sering disebut reinkarnasi, dalam kepercayaan umat
Hindu siklus lahir mati itu disebut sebagai punarbhawa (Titib, 2003: 190).
3 Lontar merupakan salah satu media tulis tradisional yang terbuat dari
daun palma. Kata lontar merupakan bentuk metatesis dari ron-tal, yaitu daun
pohon tal (kemungkinan berasal dari Jawa) (Zoetmulder, 1983: 150).
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 101
membicarakan mengenai perihal kematian, beserta ajaran untuk
mencapai proses lepasnya jiwa dan menyatu dengan sang pencipta.
Karya sastra klasik yang secara khusus membicarakan tanda-tanda
menjelang tibanya kematian itu berjudul Tutur Śwacaṇdha Marāṇa4.
Tutur Śwacaṇdha Marāṇa merupakan sebuah karya sastra
yang berbahasa Jawa Kuno5. Berdasarkan genre-nya, karya sastra
tersebut berbentuk prosa, dan beberapa kutipan menunjukkan
adanya bahasa Sansekerta6 yang diikuti penjelasan berupa parafrase
berbahasa Jawa Kuno. Secara isi, karya sastra tersebut tersusun atas
beberapa sub tema yang saling berhubungan satu dengan lainnya,
sehingga membentuk suatu jalinan wacana7 yang keseluruhan isinya
mewacanakan mengenai sebuah ajaran kalĕpasan8.
Dalam penelitian ini memfokusnya pada salah satu bagian
isinya yang mewacanakan mengenai perihal tanda-tanda menjelang
kematian. Wacana mengenai tanda-tanda menjelang kematian yang
dijelaskan pada Tutur Śwacaṇdha Marāṇa sangat menarik untuk
diungkap. Mengingat karya sastra merupakan dokumen tertulis masa
lampau yang berisikan mutiara-mutiara pengetahuan masyarakat
silam yang patut digali.

4 Naskah Tutur Śwacaṇdha Marāṇa merupakan salah satu lontar koleksi


dari Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana. Lontar tersebut tersimpan dalam
Keropak 241 No. Rt. 504
5 Bahasa Jawa Kuno merupakan bentuk tertua dari bahasa Jawa yang
berkembang mulai dari abad ke-9 (Zoetmulder, 1983: 28)
6 Bahasa Sansekerta merupakan salah satu bahasa rumpun Indo-Jerman,
merupakan bahasa klasik India yang sering digunakan pada pustaka suci Veda
(Soetardi, 2001)
7 Wacana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sebuah
ujaran, perkataan yang tersusun dalam satu kesatuan yang utuh dan saling
berhubungan baik secara kohesi dan koherensi (kbbi.web.id).
8 Kalĕpasan dalam entri Kamus Jawa Kuno-Indonesia berasal dari kata
“lĕpas” berarti ‘bebas’ atau ‘lepas’, yang mendapat prefiks ka- dan sufiks –an.
Kalĕpasan adalah kebebasan dari ikatan keduniawian, dari kelahiran kembali
(Zoetmulder, 1995: 589).
102 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Meskipun naskah Tutur Śwacaṇdha Marāṇa berupa teks9,
namun tidak dapat dipisahkan dari konteksnya10 di masyarakat.
Karena teks tidak dapat terlepas dari konteksnya. Konteks
merupakan realitas dari teks tersebut, di mana teks itu benar-benar
ada dan difungsikan. Bagian naskah Tutur Śwacaṇdha Marāṇa
yang mewacanakan perihal tanda-tanda menjelang kematian tentu
berkaitan dengan konteks sosial budayanya. Mengingat teks tersebut
adalah hasil produksi, maka termuat ide-ide atau pemikiran leluhur
di masa silam yang tentu saja berhubungan langsung dengan
konteksnya di masyarakat. Wacana teks tentu tidak dapat dipisahkan
dengan konteksnya.

2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tadi, dapat ditarik beberapa
pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana
wacana mengenai tanda-tanda kematian yang termuat dalam Tutur
Śwacaṇdha Marāṇa, dan (2) Bagaimana konteks dari wacana
tersebut di masyarakat.

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah; (1) untuk
menjelaskan bagaimana wacana dari Tutur Śwacaṇdha Marāṇa
yang menerangkan perihal tanda-tanda menjelang kematian yang
dapat diamati pada anggota tubuh, dan (2) menjelaskan bagaimana
konteks dari wacana perihal tanda-tanda menjelang kematian itu

9 Teks berasal dari kata textile dalam bahasa Latin berarti ‘tenunan,
pola’ dan lain-lain (Teeuw, 2015: 21). Kata teks lebih merujuk pada setiap hal
yang tertulis, rangkaian kalimat yang tersusun baik secara kohesi dan koherensi
(Titscher dkk, 2009: 35)
10 Konteks adalah situasi di mana wacana itu terjadi (konteks makro),
dalam berbagai organisasi dan institusi, di sisi lain menunjukkan wacana terjadi
dalam waktu, tempat, dengan partisipan tertentu dan sebagainya (ibid, 2009: 45)
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 103
pada masyarakat khususnya pada umat Hindu (Bali).
Selain itu tujuan umum dari penelitian ini adalah; (1) untuk
melestarikan naskah-naskah peninggalan leluhur di masa silam yang
berisikan mutiara-mutiara pengetahuan, ide-ide, dan ajaran-ajaran
yang baik; dan (2) untuk menggali mutiara-mutiara pengetahuan dan
ajaran leluhur yang sangat bermanfaat apabila berhasil difungsikan
dengan baik di era globalisasi sekarang ini.

4. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode observasi
teks yang didukung dengan teknik pembacaan, transliterasi, terjemahan,
dan pencatatan. Teknik pencatatan digunakan untuk mencatat hal-hal
penting yang ditemui dalam melakukan observasi teks. Teknik transliterasi
digunakan untuk mengalihaksarakan naskah Tutur Swacandha Marāṇna
yang masih berupa naskah lontar beraksara Bali ke dalam aksara Latin.
Penerjemahan adalah proses memindahkan makna yang telah diungkapkan
dalam bahasa bahasa sumber menjadi ekuivalen atau sedekat-dekatnya dan
sewajarnya dalam bahasa bahasa sasaran (Wiryamartana, 1993: 38). Teknik
terjemahan digunakan untuk mengalihbahasakan naskah Tutur Swacandha
Marāṇna ke dalam bahasa Indonesia. Model terjemahan yang digunakan
adalah terjemahan model hermeneutik, yaitu terjemahan yang dimulai
dengan keyakinan dan kesiapsediaan bahwa apa yang akan dilakukan
layak untuk dilakukan, sehingga pembacaan naskah dalam bahasa sumber
dilakukan dengan penuh perhatian dan mengalihbahasakan dalam bahasa
sasaran dengan setia pada makna dan bunyi aslinya, serta selaras dengan
daya serap atau pemahaman penerima.
Data-data yang didapat dari teknik pencatatan akan dipilah-pilah
dan dikelompokkan, sehingga akan mendapatkan data-data yang sesuai
dengan penelitian. Selanjutnya data yang sudah dikelompokkan itu akan

104 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


dianalisis menggunakan metode analisis isi11. Metode tersebut digunakan
untuk menentukan data-data yang memuat wacana mengenai tanda-tanda
menjelang kematian dalam Tutur Śwacaṇdha Marāṇa. Setelah bagian teks
yang mewacanakan perihal tanda-tanda menjelang kematian didapat dari
hasil analisis isi, ditunjang dengan pendekatan pragmatik12.

5. Hasil dan Pembahasan

a. Ringkasan Tutur Śwacaṇdha Marāṇa

Tutur Śwacaṇdha Marāṇa merupakan salah satu lontar yang


berisikan ajaran Śiwaisme13. Teks ini secara khusus menerangkan ajaran
untuk mencapai pembebasan jiwa yang terbelenggu oleh ikatan-ikatan dari
pañca maha bhuta14. Berdasarkan bentuk, teks Tutur Śwacaṇdha Marāṇa
merupakan karya sastra Jawa Kuno yang berbentuk prosa dan termasuk
dalam karya sastra jenis tutur, karena isinya memuat tentang tuturan, dan
ajaran-ajaran yang bersifat dogmatis.
Berdasarkan isinya, teks Tutur Śwacaṇdha Marāṇa terdiri dari
10 episode yang setiap episodenya menerangkan isinya masing-
masing namun masing memiliki keterikatan dan jalinan antara satu
11 Analisis isi merupakan suatu teknik penelitian untuk menguraikan isi
komunikasi yang jelas secara objektif, dan sistematis (Berelson dalam Titscher
dkk: 2009: 97)
12 Pendekatan pragmatik merupakan salah satu metode pendekatan yang
memberikan perhatian utamanya pada peranan pembaca. Pendekatan pragmatis
memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat,
perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat
dirasakan (Ratna, 2013: 72)
13 Śiwaisme merupakan salah satu paham ajaran yang berfokus pada filsafat-
filsafat Śiwa (gelar salah satu dewa dari tiga dewa utama atau trimūrti). Kata Śiwa
juga diartikan sama dengan agama dan karena itu dipergunakan sebagai nama lain
untuk agama Hindu yang artinya sama dengan ‘suci’ (G. Pudja dkk, 1983: 8).
14 Pañca mahā bhuta adalah lima unsur yang ada pada makrokosmos
(dunia) dan mikrokosmos (makhluk hidup). Lima unsur utama yang di dalamnya
termasuk tanah, air, sinar, angin, dan udara (Palguna, 2015: 491)
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 105
dengan lainnya. Episode-episode tersebut antara lain: (1) Śwacaṇdha
Marāṇa yang menjelaskan secara ringkas mengenai ajaran kalĕpasan
dan juga pertanda-pertanda yang muncul ketika menjelang kematian;
(2) Patĕngĕran Sanghyang Aditya Śewaṇa berisikan mengenai perihal
pertanda yang disebut sebagai aditya śewaṇa15, yang dapat diamati dengan
memandang matahari tepat pada siang hari; (3) Patĕngĕran Sanghyang
Gurū Waktā berisikan mengenai pertanda-pertanda yang muncul apabila
hendak mengetahui kapan waktu kematian itu tiba di masa depan, (4)
Patĕngĕran Sanghyang Bandhut Wiśeṣa menjelaskan tentang tata cara
mengetahui kapan tibanya waktu kematian itu dengan jalan agranaśika16;
(5) Homādhyatmika merupakan bagian isinya menjelaskan mengenai tata
cara pelaksanaan homayoga17, sebagai sarana penyucian diri lahir batin; (6)
Uttpati, Sthiti, Pralīṇa Sanghyang Prĕṇawa berisikan penjelasan mengenai
aksara suci dan bunyi dari aksara suci tersebut, serta menjelaskan mengenai
seluk beluk aksara mulai dari penciptaan, keberlangsungan hingga
peniadaan/akhir dari bunyi tersebut; (7) Pūjamantra merupakan bagian
yang isinya mengenai mantra-mantra18 yang difungsikan sebagai sarana
untuk mencapai kebebasan jiwa oleh sang yogīśwara (pendeta suci); (8)
Aṣṭa Lingga bagian yang menjelaskan mengenai para dewata yang diyakini
bersemayam pada bagian tubuh tertentu; (9) Babahan Uttama merupakan
bagian yang menjelaskan mengenai pintu gerbang yang diyakini sebagai
jalan keluarnya ātma dari tubuh, dalam tubuh manusia itu diyakini adanya
sebuah gerbang sebagai jalan keluarnya ātma, adapun dua jenisnya yakni
15 Aditya Śewaṇa atau Sūrya Śewaṇa merupakan salah satu dari ritual yang
dijalani oleh para pendeta Hindu Bali yang memfokuskan pemujaan kepada Dewa
Matahari (Sūrya). Ritual ini dilaksanakan ketika matahari baru terbit atau pada
pagi hari (Hooykaas, 2002).
16 Agranāśikā berasal dari kata agra ‘ujung’ dan nāśikā ‘hidung’. Agranāśikā
berarti memusatkan pandangan pada ujung hidung (Zoetmulder, 1995: 14).
17 Homayoga atau homādhyatmika adalah pelaksanaan yoga untuk
penyucian diri, pembebasan diri dari papa-pataka (segala penyakit dan
penderitaan) (Agastya, 2013: 8).
18 Mantra adalah sebuah pola gabungan kata-kata bahasa Veda yang
diidentikkan dengan dewa-dewi tertentu (Chadwri, 2003: 97)
106 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
gerbang yang terbuka dan nampak (babahan sangha), dan juga gerbang
yang tertutup dan tidak nampak (babahan hahinĕb); (10) Yoga Kalěpasan
merupakan bagian yang menjelaskan ajaran pembebasan jiwa sesuai
dengan filsafat ajaran śiwaisme.
Demikian secara ringkas isi dari Tutur Śwacaṇdha Marāṇa yang
keseluruhannya berisikan mutiara-mutiara pengetahuan dan ajaran
keagamaan. Tetapi dalam pembahasan kali ini hanya akan dijelaskan satu
bagian episode yang isinya mewacanakan mengenai tanda-tanda menjelang
kematian, yakni pada episode pertama. Meskipun dalam bagian episode
kedua hingga keempat juga menjelaskan pertanda tibanya kematian,
namun penjelasan mengenai pertanda tersebut lebih bersifat mistis.

b. Wacana Tanda-Tanda Menjelang Kematian dalam Tutur


Śwacaṇdha Marāṇa: Teks dan Konteks

Telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu episode (bagian)


dalam Tutur Śwacaṇdha Marāṇa mewacanakan perihal tanda-tanda yang
dapat diamati dari kondisi tubuh, sebagai pertanda menjelang usia tubuh
yang semakin rentan dan awal dari unsur-unsur tubuh mengalami proses
pralīṇa19.
Wacana perihal pertanda itu terdapat dalam episode pertama Tutur
Śwacaṇdha Marāṇa. Adapun kutipannya sebagai berikut:

Śiwwā bajra, nga, ktêktêging tangan suku, yan tan paktêktêg,


pati kajar denya (1). Tunggak tanpa maya, nga, upasta, yan
tan anombarah pati kajar deya (2).Uṇdhunguṇdhung tanpa
nghêb, nga, bhaga, yan akêpêt, patikajar denya (3). Kuwang-
kuwanganing watu, nga, talingha, yan kêpêt, pati kajang
denya (4).Wula walihaning babdan, nga, mattha, yan akuning,

19 Pralīṇa dalam kamus Jawa Kuno-Indonesia berarti larut, hilang, padam,


habis, dan mati (Zoetmulder, 1995: 842).
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 107
pati kajar denya (5).
(Tutur Śwacaṇdha Marāṇa, lembar 5a baris 3-4, dan 5b baris
1)

Terjemahan:
‘Śiwwā bajra ialah, denyut nadi pada tangan dan kaki, apabila
tanpa adanya denyut nadi, mati dikatakannya. Tunggak tan
pamaya ialah, alat kelamin itu, apabila mati rasa, maka mati
dikatakan olehnya. Uṇdhung-uṇdhung tan pangĕb ialah,
alat kelamin wanita (bhaga), apabila (kĕpĕt) maka mati
dikatakannya. Kuwang-kuwanging watu ialah, telinga itu
apabila kĕpĕt, mati dikatakannya. Wula walihaning babdan
ialah, apabila mata menguning, mati dikatakannya.’

Seperti yang dijelaskan dalam kutipan di atas, keseluruhannya


merupakan pertanda menjelang kematian. Dalam kutipan tadi
pertanda-pertanda menjelang kematian itu dapat diamati pada
beberapa bagian tubuh. Seperti misalnya, denyut nadi pada tangan
yang dijelaskan apabila denyut nadi suda tidak ada, itu merupakan
pertanda kematian. Denyut nadi merupakan salah satu penanda
apakah jantung berfungsi secara normal atau tidak. Denyut nadi
normal menandakan jantung berfungsi dengan baik. Namun, apabila
denyut nadi mulai melemah menandakan bahwa jantung sudah tidak
berfungsi secara normal. Kondisi yang demikian menyebabkan
peredaran darah sudah tidak teratur. Keadaan jantung yang
sudah semakin melemah tentu merupakan salah satu faktor yang
akan berujung pada kematian. Melemahnya detak jantung dapat
diakibatkan oleh faktor usia dan juga terserang penyakit (lemah
jantung).

108 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Wacana selanjutnya, menjelaskan mengenai pertanda yang
dapat diamati dari alat kelamin laki-laki. Jika alat kelamin tersebut
sudah mengalami mati rasa, maka bisa jadi pertanda menjelang
kematian. Mati rasa yang yang dialami pada alat kelamin laki-laki
bisa saja karena menderita impotensi20. Namun faktor usia juga
dapat menyebabkan hal tersebut. Karena semakin tua umur manusia,
maka indera perasa pada tubuh juga akan semakin melemah. Dalam
kepercayaan Hindu, tubuh manusia memiliki indera perasa yang
disebut pancendriya21, dan salah satunya berada pada alat kelamin.
Lebih lanjut pada wacana yang ketiga, memberikan ciri-ciri
yang terdapat pada alat kelamin wanita. Dalam teks dijelaskan apabila
alat kelamin tersebut terasa kĕpĕt, maka pertanda awal menjelang
kematian. Kĕpĕt dalam bahasa Jawa Kuno berarti ‘mengipasi’. Ada
kemungkinan makna dari kĕpĕt pada kutipan di atas berarti ‘keluarnya
udara’. Apabila terasa mengeluarkan udara dari alat kelamin, tentu
merupakan hal tidak wajar. Secara medis hal tersebut dapat terjadi
seiring bertambahnya usia wanita. Tetapi bisa saja merupakan
pertanda menderita penyakit. Hal yang sama juga dikatakan dialami
pada telinga. Teliga yang terasa mengeluarkan angin seperti sedang
mengipasi, tentu merupakan gejala yang tidak normal. Gejala-gejala
yang tidak normal tersebut bisa saja disebabkan faktor usia dan juga
penyakit tertentu.
Pada wacana yang kelima menjelaskan gejala yang dapat
diamati dari mata. Dalam kutipan yang menjelaskan apabila warna
putih pada bola mata mulai berubah menjadi warna kuning, itu
adalah suatu pertanda kematian. Gejala putih mata yang menguning
bisa disebabkan oleh faktor penyakit, salah satunya liver. Gejala

20 Impotensi atau disfungsi ereksi adalah kondisi ketika alat kelamin pria
tidak mampu ereksi atau sulit bertahan dalam posisi ereksi (www.aladokter.com)
21 Pañcendriya merupakan lima indera yang ada pada tubuh, yakni: mata,
telinga, hidung, dan kulit (Palguna, 2015: 494)
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 109
yang sama dapat dilihat pada penderita liver (penyakit pada hati).
Menguningnya putih mata disebabkan oleh faktor hati yang
sudah tidak berfungsi sebagai penetralisir racun dalam tubuh dan
sebagainya. Melemahnya fungsi hati pada tubuh tentu berpotensi
tubuh rentan diserang penyakit. Disfungsi yang terjadi pada hati bisa
saja berujung pada kematian.
Selain kutipan wacana tadi, adapun kutipan lainnya yang
menjelaskan perihal pertanda menjelang kematian.

Kulu maring talun, nga, alis, yan asluk, pati kajar denya.
Tgal malwang, nga, rahī yan akrutan, pati kajar denya. Guhā
śilodhakā, nga, lambe, yana wnês, pati kajar denya. Watu
matakêp, nga, untu, yan tan pagmagmi, pati kajar denya.
(Tutur Śwacaṇdha Marāṇa, lembar 5b baris 2)

Terjemahan:
‘Kulu maring talun, adalah apabila alis nampak menonjol, maka
mati dikatakannya. Tgal malwang, berarti jika wajah nampak
mengeriput, maka mati dikatakannya. Guhā śilodhakā, apabila
bibir nampak pucat, maka mati dikatakannya. Watu matakĕp,
berarti jika gigi tidak pagmagmi (mampu mengunyah?), maka
mati dikatakannya.

Kutipan wacana di atas menjelaskan mengenai pertanda-


pertanda menjelang kematian lainnya yang juga dapat diamati dari
gejala-gejala yang dialami tubuh. Seperti misalnya permukaan alis
yang menonjol, wajah yang mulai mengeriput, bibir nampak pucat,
gigi yang sudah tidak dapat mengunyah merupakan gejala yang
dapat diamati pada tubuh. Kemungkinan terjadinya gejala-gejala
seperti itu bisa terjadi akibat faktor usia. Penuaan tentu saja akan

110 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


dialami oleh setiap manusia, mulai dari kulit yang mengeriput, gigi
yang sudah rapuh sehingga tidak dapat mengunyah makanan dengan
baik, bibir yang sudah mulai memucat dan sebagainya. Pertanda
yang sedemikian adanya tentu dialami karena faktor usia. Keadaan
tubuh yang sudah mulai melemah dan rentan merupakan penyebab
gejala-gejala tersebut muncul pada manusia.
Seiring bertambahnya usia menyebabkan kondisi tubuh
melemah. Melemahnya kondisi tubuh merupakan sebuah pertanda
mulai hilangnya unsur-unsur pada tubuh. Dalam kepercayaan Hindu,
tubuh dibentuk oleh lima unsur utama atau disebut sebagai pañca
mahābhūta. Kelima unsur tersebut pengaruhnya akan mulai hilang
sedikit-demi sedikit seiring bertambahnya usia, hingga sampai pada
lenyapnya kelima unsur tadi. Dalam Tutur Śwacaṇdha Marāṇa juga
terdapat wacana mengenai pertanda mulai lenyapnya kelima unsur
itu. Adapun kutipannya sebagai berikut.

Nihan têngran sang hyang mañca mahā bhūtthā, nga, usapy


awaktā, yan tan kisik ikang kulit, pratiwi liṇā yan mangkanā,
limang wngi têkā pati. Yan pangêyêh pwa kitā, yan tan titis,
apah liṇā yan mangkanā, ptang wngi tka pati. Têtêlakên
tapuking matanta, yan tan katon kalācakranya, teja liṇa yan
mangkanā, tlung wngi tka pati. Tutuping irūngta, yan atisa
kang nguśwasā, bayu liṇa yan mangkanā, rwa wngi tkang
pati. Aṭat ing kuwu, nga, lilat yan pilad, tar wnang mojar,
akśaliṇayan mangkanā, mati kita yan mangkanā.

Terjemahan:

‘Inilah pertanda dari kelima unsur pada tubuh, rabalah


permukaan tubuhmu, apabila tiada terasa gesekan pada kulit,

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 111


unsur pratiwi (tanah) yang lenyap apabila demikian, lima hari
tibanya kematianmu. Apabila berkeringat pula engkau, namun
tidak dapat menetes, unsur apah (air) yang lenyap apabila
demikian, empat hari tibanya kematianmu. Tekan-tekanlah
kelopak matamu, aoabila tidak terlihat pupilnya, unsur teja
(cahaya) yang lenyap apabila demikian, tiga hari tibanya
kematianmu. Tutuplah hidungmu, apabila aliran nafas terasa
sejuk, unsur bayu (angin) yang lenyap apabila demikian, dua
hari tibanya kematianmu. Aṭating kuwu (burung atat dalam
sangkar), adalah apabila lidah sulit dikendalikan, tidak dapat
berbicara, unsur akaśa (udara) yang lenyap apabila demikian,
maka demikian matilah engkau.’

Kutipan di atas mewacanakan mengenai pertanda lenyapnya


lima unsur pada tubuh (pañca mahābhūta) sebagai pertanda
menjelang kematian. Apabila sudah menemui kematian maka
kelima unsur tersebut akan kembali ke asalnya masing-masing di
alam makro. Karena dalam kepercayaan Hindu manusia (mikro)
merupakan representasi dari alam semesta (makro). Kelima unsur
yang ada di alam semesta juga ada dalam tubuh manusia. Ketika
tibanya kematian dipercaya bahwa kelima unsur tersebut akan
kembali ke tempatnya masing-masing di alam makro. Lebih lanjut
pembahasan mengenai pertanda-pertanda tersebut, secara konteks
dapat dialami karena faktor usia. Tubuh yang usiannya semakin
menua akan semakin melemah, hal tersebut akan berimbas pula pada
melemahnya kontak kelima unsur tadi pada tubuh. Sehingga kelima
unsur pada tubuh itu semakin lama akan mengalami proses “līṇa”
atau ‘lenyap’. Lenyapnya unsur-unsur pada tubuh akan menyebabkan
hilangnya kontak antara ātma sebagai jiwa dalam tubuh itu, dengan
kelima unsur (pañca mahābhūta) pada tubuh akan berujung pada

112 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


kematian. Karena unsur-unsur pada tubuh sudah lemah dan mampu
membungkus ātma itu, sehingga ātma itu dapat keluar dari ikatannya
dengan tubuh itu. Dari penjelasan itu dapat diamati bahwa kematian
yang dimaksud dalam kutipan wacana di atas menjelaskan bahwa
kematian itu adalahnya lenyapnya kontak antara ātma (jiwa) dengan
tubuh sebagai pembungkusnya.
Dari beberapa kutipan yang diambil dari Tutur Śwacaṇdha
Marāṇa dapat dilihat mengenai kepercayaan umat Hindu (Bali)
yang percaya pada pertanda yang dialami tubuh sebelum kematian
itu tiba. Lebih lanjut yang diungkap pada kutipan teks di atas tidak
hanya merujuk pada kematian sebagai akhir dari kehidupan manusia,
tetapi juga mengungkap matinya beberapa organ tubuh manusia
yang sudah tidak berfungsi secara normal. Konsep kematian dalam
Hindu (Bali) bukanlah sebagai akhir dari kehidupan manusia, tetapi
hilang atau lenyapnya kontak antara ātma dengan tubuh. Mati yang
dimaksud adalah matinya unsur-unsur pada tubuh beserta organ-
oran yang ada pada tubuh sudah tidak berfungsi secara normal.
Sehingga yang mengalami kematian itu adalah tubuh manusia itu.
Hal itu dapat diamati dari beberapa kutipan di atas yang dijelaskan
mati hanyalah tubuh beserta organ-organ pada tubuh itu.

6. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa naskah
peninggalan leluhur di masa lampau, yakni Tutur Śwacaṇdha
Marāṇa terdapat salah satu bagian yang isinya mewacanakan perihal
tanda-tanda menjelang kematian. Keberadaan wacana tersebut
memberikan wawasan bahwa sesungguhnya dari jaman dahulu
leluhur kita telah bisa mengamati gejala-gejala pada tubuh sebagai
pertanda menjelang kematian. Entah pertanda tersebut diakibatkan
karena faktor usia yang sudah tua, ataupun menderita penyakit
tertentu yang juga dapat berujung pada kematian.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 113


Selain itu wacana mengenai pertanda-pertanda itu tidak
hanya sebatas teks semata, tetapi secara konteksnya dapat diamati
di lingkungan masyarakat. Karena pertanda-pertanda tersebut tentu
saja dihasilkan dari pengamatan secara empiris. Pemikiran kolektif
mengenai pertanda menjelang kematian yang tersebar di masyarakat
dahulu kala, diakumulasikan dan dibentukl ke dalam sebuah teks
yang mewacanakan perihal pertanda itu.
Dari hasil pembahasan tadi disimpulkan pula bahwa dalam
kepercayaan Hindu (Bali) yang dimaksud dengan mati adalah
hilangnya kontak antara ātma dengan tubuh, yang mengalami
kematian adalah tubuh beserta organ-organ pada tubuh manusia.

Daftar Pustaka
Agastya, IBG. 2013. Homa Adhyātmika. Denpasar: Yayasan Dharma
Sastra.
Chadwri, Dr. L. R. 2003. Rahasia Yantra, Mantra, dan Tantra (Pentj:
Gede Sanjaya). Surabaya: Paramita.
G. Pudja dkk. 1983. Siwa Sasana. Denpasar: Departemen Agama.
Hooykaas. 2002. Sūrya Sewana: Dari Pandita untuk Pandita dan Umat
Hindu (Pentj Suwariyati). Surabaya: Paramita.
Palguna, IBM Dharma. 2015. Kamus Istilah Anatomi Mistis Hindu.
Mataram: Sadampaty Aksara.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soetardi. 2001. Vyākaraṇa Tata Bahasa Sanskerta. Surabaya: Paramita.
Titib, I Made. 2003. Veda Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan.
Surabaya: Paramita.
Titscher dkk. 2009. Metode dan Teknik Analisis Teks&Wacana (Pentj:
Gazali dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiryamartana, A. 1993. Seni Menerjemahkan Cet. III. Yogyakarta:

114 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Penerbit Kanisius.
Zoetmulder. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Zoetmulder dan Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Pentj:
Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna). Jakarta: Gramedia.

Referensi Internet:

kbbi.web.id
penyakitliver.com
www.aladokter.com

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 115


Teks Pelayanan dalam Kěkundangan Siddhakarya

I Putu Suyasa Ariputra, Ni Ketut Ratna Erawati, I Ketut


Nuarca
Program Studi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana

ABSTRAK
Bahasa dalam upacara ritual di Bali sering dijumpai
dalam bentuk mantra, saa, sasapan dan sebagainya. Kebanyakan
bahasa ritual di Bali menggunakan bahasa Jawa Kuno meskipun
ada yang sudah bercampur dengan bahasa Bali. Bahasa Jawa Kuno
sesungguhnya memperkuat akar budaya Bali yang bernafaskan
Hindu. Perpaduan antara ritual nyěnuk, tari topeng siddhakarya dan
penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk dialog disebut dengan
Kěkundangan Siddhakarya. Kěkundangan Siddhakarya biasanya
dilakukan pada saat ritual nyěnuk. Nyěnuk merupakan salah satu
rangkaian ritual upacara yadnya yang dilaksanakan pada saat
akhir upacara. Ritual nyěnuk biasanya dilakukan dalam rangkaian
upacara memungkah atau ngěntěg linggih. Selain membahas bentuk
Kěkundangan Siddhakarya sangat menarik untuk membongkar
pemikiran yang mewadahi Kěkundangan Siddhakarya, melihat
konteks dalam Kěkundangan Siddhakarya. Hasil analisis penelitian
ini yaitu ajaran sewanamm sebagai konsep yang mendasari teks
wacana Kěkundangan Siddhakarya.

Kata Kunci: Struktur, Teks, Konteks

116 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


ABSTRACT

Language of ritual ceremony in Bali have Een met in from:


mantra, saa, sasapan, and the other. Ussually ritual laguage in Bali
use language ancient Javanese although actually there have Een
mixed with Balinese language. Javanese ancient actually entpower
the robot of Bali culture that breath Hinduism. Colaboration between
ritual nyěnuk, topeng siddhakarya dance and pusing Javanese ancient
in the dialouge is called kěkundangan siddhakarya. Kěkundangan
siddhakarya usually is done on ritual nyěnuk. Nyěnuk is one of the
ritual ceremony series yadnya is done the end of ceremony. Ritual
nyěnuk in generally in the series of mamungkah ceremony or ngenteg
linggih. Without alk about form of kěkundangan siddhkarya very
Intertest to break in Condet that covered thinking of kěkundangan
siddhakarya. The result research analyse sewanamm consepts as a
Condet that based structure discourse text kěkundangan siddhkarya.

Keyword: structure, text, context

I. Pendahuluan
Bahasa memiliki peran yang strategis di dalam kebudayaan
sehingga setiap perilaku budaya selalu melibatkan bahasa di
dalamnya. Bahasa juga memiliki peranan yang sentral dalam
kebudayaan Bali. Salah satu peristiwa budaya yang menonjolkan
peran bahasa adalah pelaksanaan ritual. Bahasa dalam upacara ritual
di Bali sering dijumpai dalam bentuk mantra, saa, sasapan dan
sebagainya. Kebanyakan bahasa ritual di Bali menggunakan bahasa
Jawa Kuno meskipun ada yang sudah bercampur dengan bahasa
Bali. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Duija, fungsi bahasa
Jawa Kuno sesungguhnya untuk memperkuat akar budaya Bali

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 117


yang bernafaskan Hindu. Untuk itu, bahasa, dan sastra Jawa Kuno
diberikan “roh” oleh agama Hindu. Oleh karena itu agama Hindu
merupakan salah satu dominan kebertahanan bahasa dan sastra Jawa
Kuno (2012: 280-281).
Hubungan yang erat terlihat antara dua unsur dalam
tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa Jawa Kuno sebagai unsur
bahasa dan agama Hindu sebagai sistem religi yang dominan bagi
masyarakat Bali. Sehingga penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam
ritual keagamaan Hindu di Bali sangat sering digunakan. Pernyataan
tersebut dipertegas oleh Erawati (2015: 6) bahasa Jawa Kuno masih
berkembang secara aktif di Bali, namun terbatas pada rana tertentu.
Seperti dalam pertujukan, agama, ranah formal di masyarakat
dan lain sebagainya. Penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam ritual
keagamaan Hindu di Bali tidak hanya sebatas mantra dan saa
saja. Namun masih banyak perpaduan-perpaduan yang lain, salah
satunya perpaduan antara ritual nyěnuk, tari topeng siddhakarya dan
penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk dialog yang disebut
dengan Kěkundangan Siddhakarya. Kěkundangan Siddhakarya
biasanya dilakukan pada saat ritual nyěnuk. Nyěnuk merupakan salah
satu rangkaian ritual upacara yadnya yang dilaksanakan pada saat
akhir upacara. Ritual nyěnuk biasanya dilakukan dalam rangkaian
upacara memungkah atau ngěntěg linggih.
Kěkundangan Siddhakarya pada beberapa daerah di
kabupaten Badung dan Denpasar sering dikaitkan dengan pementasan
topeng Siddhakarya. Fungsi pementasan Topeng Siddhakarya pada
awalnya sebagai yadnya, yang bertujuan untuk menetralisir bhutakala
dan hama atau merana pengganggu kehidupan manusia. Tarian
topeng Siddhakarya biasanya dalam pementasannya tarian topeng
siddhakarya tidak menggunakan bahasa verbal hanya gerakkan
tarinya yang membedakan dengan topeng lainnya. Namun yang

118 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


dimaksud di sini adalah seorang Brahmana Keling, yang memiliki
ilmu kerohanian tinggi, sehingga dapat menetralisir bhutakala.
sehingga kehidupan masyarakat Bali menjadi kembali damai,
sejahtera, berkat kesaktian beliau (Yudabakti dan Watra, 2007: 115).
Topeng Siddhakarya biasanya dipentaskan di akhir upacara sebagai
bentuk harapan umat agar yadnya yang dibuat berlangsung sukses.
Sebagai salah satu sarana pelengkap yadnya pementasan
topeng Siddhakarya juga sering dipentaskan berbarengan dengan
ritual Nyěnuk Hal ini disebabkan karena ritual Nyěnuk dan Topeng
Siddhakarya sama-sama dilaksanakan di akhir upacara serta dialog
yang disampaikan pada ritual Nyěnuk langsung disampaikan oleh
penari topeng tersebut sehingga dialog tersebut disebut pula dengan
Kěkundangan Siddhakarya. Nyěnuk sendiri berarti datang melihat.
Dalam hal ini yang datang melihat ialah tamu-tamu yang datang dari
arah mata angin. Ciri khas dari ritual ini ialah ada yang berperan
sebagai tamu datang beriringan dengan busana yang digunakan
berwarna merah, hitam, kuning, putih, dan lain-lain, serta membawa
aneka sesajen. Setelah para tamu-tamu tersebut tiba di tempat
upacara maka mereka akan disambut, biasanya yang berperan
menyambut tamu tersebut topeng Siddhakarya dengan menggunakan
Kěkundangan Siddhakarya. Umumnya bahasa yang digunakan oleh
penari adalah bahasa Jawa Kuno.
Kěkundangan Siddhakarya merupakan tutur yang bersifat
dialektal, dialog pada setiap daerah memiliki variasi yang berbeda
satu sama lain namun masih banyak menunjukkan kemiripan satu
sama lain. Dengan demikian dalam penelitian ini menggunakan
Kěkundangan Siddhakarya yang ditemukan pada beberapa daerah
di Badung dan Denpasar lebih berbentuk dialog yang dilakukan
oleh penari topeng siddhakarya dan tamu yang datang berbondong-
bondong. Tutur dalam Kamus Jawa Kuno (Zoetmulder, 2006: 1307)

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 119


berarti tradisi suci, teks berisi doktrin suci. KBBI (Poerwadarminta,
2007: 1322) menerjemahkan tutur sebagai ucapan, kata maupun
perkataan. Dalam penelitian ini memfokuskan pada wacana
pelayanan dalam Kěkundangan Siddhakarya. Hal ini terkait dengan
kegiatan ritual Hindu Bali dengan ajaran Bhakti Marga yang dianut
masyarakat Hindu Bali. Perpaduan tersbut sangat menarik untuk
diungkap.

2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa


pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana
wacana mengenai pelayanan yang termuat dalam Kěkundangan
Siddhakarya, dan (2) Bagaimana konteks dari wacana tersebut di
masyarakat.

3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini untuk menambah ilmu dan


memperluas wawasan keilmuan mengenai wacana Kěkundangan
Siddhakarya. Selain itu bertujuan untuk melihat interaksi antara
aspek bahasa dan budaya salah satu di antaranya dapat dilihat dalam
ritual Nyěnuk Tujuan lain untuk menggali serta melestarikan nilai-
nilai budaya yang sampai saat ini masih hidup dan berkembang
dalam masyarakat Bali.

Tujuan khusus yang merupakan penjabaran dari tujuan umum.


Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut; (1) untuk
mengetahui struktur yang membangun Kěkundangan Siddhakarya
dalam ritual Nyěnuk, dan (2) untuk mengetahui fungsi yang terdapat
dalam Kěkundangan Siddhakarya dalam ritual Nyěnuk

120 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


4. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan


data adalah metode simak yang dibantu dengan teknik
pembacaan, pencatatan, alih aksara, dan terjemahan. Dalam
tahap analisis data digunakan metode deskriptif analisis
yang dibantu dengan teknik pemilihan, penyusunan, dan
pemilahan data. Tahap penyajian data digunakan metode
formal dan informal.

5. Pembahasan

a. Wacana Pelayanan dalam Kěkundangan Sidhakarya

Secara umum, isi dari Kěkundangan Sidhakarya saat


upacara nyěnuk yang dilakukan oleh masyarakat Bali adalah
sewanam atau pelayanan. Ide pokok tentang penciptaan dapat
ditemukan di setiap bagian Kěkundangan Sidhakarya. Memberikan
pelayanan yang baik, contohnya membantu orang atau memberikan
pelayanan terbaik terhadap sesama.
Nawa Widha Bhakti merupakan ajaran mengenai sembilan
cara memuja Tuhan yang digunakan sebagai pedoman umat dalam
meningkatkan sradha dan bhaktinya terhadap tuhan (Ida Sang
Hyang Widhi Wasa). Berdasarkan Bhagawata Purana VII.5.23,
disebutkan ada sembilan cara memuja Tuhan yang disebut Nawa
Widha Bhakti. Bentuk rasa hormat manusia kepada penguasa
dunia dapat direalisasikan melalui Bhakti. Salah satu ajaran dalam
Agama Hindu ini mengisyaratkan kepada seluruh umat manusia
agar selalu berserah dan bersujud kehadapan Tuhan Yang Maha
Esa beserta manifestasi-Nya (Tim Penyusun, 2015: 216). Bhakti
atau menyembah kepada-Nya dapat dilaksanakan secara immanent
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 121
dan transenden salah satunya diwujudkan dengan mempergunakan
pratima berupa arca atau mantra.
    Nawa Widha Bhakti merupakan salah satu ajaran yang
dapat digunakan sebagai pedoman dalam meningkatkan sradha dan
bhakti umat terhadap Tuhan sebagai hamba-Nya. Nawa widha bhakti
dapat dimaknai untuk membangun dan menciptakan masyarakat
yang berbudi dalam menciptakan situasi dan kondisi yang damai
dan sentosa di tengah-tengah jalinan hubungan sosial yang serasi,
selaras dan harmonis. Umat juga dapat menumbuh kembangkan
toleransi serta kesadaran hidup bersama yang saling menghargai,
menghormati, melayani dan dilayani satu sama yang lainnya dalam
satu kesatuan organ-organ sosial sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
aturan keimanan, kebajikan dan acara keagamaan yang dianutnya
serta aturan-aturan etika, moralitas dan kebajikan yang berlaku untuk
umum. Bagian-bagian dari Nawa Widha Bhakti yaitu: (1) Srawanam,
(2) Wedanam, (3) Kirthanam, (4) Smaranam, (5) Padasewanam, (6)
Sukhyanam, (7) Dhasyam, (8) Arcanam, (9) Sewanam.
  Sewanam artinya memberikan pelayanan yang
baik. Sewanam atau Atmanividanam adalah bhakti dengan
jalan berlindung dan penyerahan diri secara tulus ikhlas
kepada Tuhan. Memberikan pelayanan dalam hal ini
misalnya;   memberikan     pelayanan yang terbaik dari masing-
masing pribadi kepada  sesama.  Sebagian orang menyebutnya
bahwa hidup ini untuk   pelayanan   (sewanam).   Dalam konteks
pelayanan ini, tugas kita adalah memberikan bantuan kepada
sesama untuk   meringankan  bebannya,   baik pendidikan, ekonomi,
kesehatan, dan sebagainya. Terwujudnya Doa yang diucapkan tentu
menjadi harapan kita bersama untuk meringankan sesama.
Sewanam  adalah  bhakti  dengan  jalan berlindung  dan
penyerahan diri secara tulus ikhlas kepada Tuhan. Arah gerak vertikal

122 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


dan horizontal dari bhakti ini yang dapat dipahami adalah kita selalu
berpasrah diri dengan kesadaran dan keyakinan yang mantap untuk
selalu berjalan di jalan Tuhan, berlindung dan penyerahan diri secara
tulus ikhlas kepada Tuhan, sesama dan lingkungan hidupnya atau
kepada ibu pertiwi, baik dalam kehidupan duniawi (nyata) maupun
kehidupan sunya (niskala). Kebiasaan saling bakti Atmanivedanam
ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia baik dalam kehidupan
sosial dan kehidupan spiritualnya (Tim Penyusun, 2015).
Atmanividanam yang artinya bhakti dengan kepasrahan total
kepada Tuhan. Tahapan ini adalah tahapan terakhir dalam ajaran suci
Nawa Wida Bhakti. Pada zaman saat ini yang sering disebut serupa
dengan zaman Kali Yuga, jalan Atmanividanam yang dianggap
agak sulit untuk diaplikasikan karena kuatnya ikatan material yang
mengikat dirinya. Sehingga dapat kita mulai melakukan pelayanan
dan mempersembahkan apapun yang kita miliki, kita terima, nikmati
dan lain-lain itu hanya untuk-Nya. Karena hanya Tuhanlah yang pada
akhirnya sebagai penikmat segalanya. Baik itu adalah kebahagiaan
dan penderitaan kita harus bisa mempersembahkannya untuk-Nya
(Tim Penyusun, 2015: 217).
Sewanam dalam realitas tradisi masyarakat Bali pun
salah satunya diwujudkan dalam ritual atau upacara yaitu seperti
ritual Nyěnuk. Selaras dengan konsep tersebut, erat kaitannya
dengan rangkaian ritual Nyěnuk. Upacara nyěnuk berlangsung dari
pura terdekat dari lokasi upacara menuju tempat berlangsungnya
upacara. Iring-iringan upacara nyěnuk mulai berjalan menuju
pura tempat berlangsungnya upacara. Diawali para pemundut
uparěngga, lělontekan, Kober, umbul-umbul, serta berbagai simbol
senjata pengiděr-ider dan pěmundut lainnya. Pěmundut yang
datang beriringan menunjukkan adanya rasa kebersamaan dalam
menyukseskan upacara tersebut, secara tulus ikhlas menyerahkan

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 123


diri kehadapan Tuhan guna mengungkapkan rasa bhakti kepada
Tuhan melalu ritual Nyěnuk Hal tersebut dapat dianalisis dari ke-
ikhlasan masyarakat pendukung acara meninggalkan kepentingan
pribadi untuk menyukseskan keberlangsungan acara tersebut. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat pendukung memiliki
kesadaran untuk mempersembahkan segala yang dimiliki sebagai
pelayanan, salah satunya mempersembahkan waktu yang masyarakat
pendukung miliki untuk melaksanakan upacara Nyěnuk Posisi
pěmundut yang datang beriringan sebagai utusan dari Panca Dewata
seperti petikan di bawah ini.

Dewa-dewa sang Brāhmana siddhakarya denira kita wruha nghulun


iki cārakanira paduka Bhatara Iswara saking purwa deśa,

Terjemahannya:
Wahai tuanku Sang Brāhmana Siddhakarya agar tuanku mengetahui
bahwa hamba ini merupakan utusan paduka Bhatara Iswara dari
wilayah sebelah timur,

Berdasarkan petikan Kěkundangan Sidhakarya di atas


menunjukkan bahwa pěmundut yang datang ke tempat upacara
merupakan utusan dari panca dewata atau pěngiděr-iděr. Hal
tersebut menunjukkan kesediaan masyarakat pendukung upacara
(pěmundut) bersedia sebagai pelayan Tuhan (panca dewata) secara
simbolis diwujudkan dengan menjadi utusan masing-masing panca
dewata.
Selaras dengan tema umum di atas, konsep sewana dapat
dijadikan sebagai tema umum yang didasari pula dari pengertian
nyěnuk secara etimologi. Secara etimologi nyěnuk berasal dari kata
menjenguk atau datang melihat. Nyěnuk dalam hal ini merupakan

124 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


proses upacara yang dilaksanakan untuk melihat ke tempat upacara
berlangsung dengan membawa isi bumi. Kegiatan menjenguk
seseorang yang melakukan upacara dengan membawa isi bumi yang
dibutuhkan sebagai sarana upacara merupakan wujud pelayanan antar
sesama guna meringankan beban yang memiliki acara. Bedasarkan
hal tersebut dalam teks Kěkundangan Siddhakarya melalui nyěnuk
umat hindu Bali telah merealisasikan ajaran Bhakti baik secara
horizontal maupun vertikal.
Hal yang mempertegas wacana pelayanan atau sewanam
dalam Kěkundangan Siddhakarya meliputi; (1) Panca Dewata, dan
(2) hasil bumi. Kata Panca Dewata terdiri atas kata “Panca” yang
artinya lima dan kata “Dewata” yang artinya Sang Hyang Widhi
atau para Dewata. Jadi, arti kata Panca Dewata adalah lima dewa
yang merupakan manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi sebagai
penguasa sembilan penjuru mata angin. Kaitan antara Panca Dewata
dan Ida Sang Hyang Widhi dapat dilihat pada kutipan kitab Sweta
Swatara Upanisad IV.2 disebutkan sebagai berikut.

“Tat evagnis tad adityas, tad wayus tad u candramah tad eva sukram,
tad brahma tat apas tat prajapatih”

Terjemahannya:
Brahma itu sesungguhnya juga adalah Sang Agni juga adalah Sang
Aditya, juga adalah Sang Wayu, juga adalah Sang Candrama (Bulan)
Beliau itu adalah bintang-bintang yang ada di langit Brahma itu
adalah hiranyagarbha juga adalah prajapati.

Uraian upanisad tersebut memberi penjelasan bahwa dewa-


dewa yang tertulis dalam kitab suci Weda diberi nama dengan sebutan
Brahman yang berarti Ida Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 125


Esa. Sedangkan, nama-nama dewa dalam Panca Dewata bersumber
dari Ida Sang Hyang Widhi, yang menempati atau menguasai penjuru
mata angin. Panca Dewata disimpulkan sebagai tema khusus karena
hampir di dalam setiap babak dialog Kěkundangan Sidhakarya
menyebutkan dewa-dewa dari lima penjuru mata angin, antara lain:
Dewa Brahma sebagai penguasa arah selatan atau dakṣina dengan
warnanya merah, Dewa Iswara sebagai penguasa arah timur atau
purwa dengan warnanya putih, Dewa Mahadewa sebagai penguasa
arah barat atau pascima dengan warnanya kuning, Dewa Wisnu
sebagai penguasa arah utara atau uttara dengan warnanya hitam,
dan Dewa Siwa sebagai penguasa arah tengah atau madya dengan
warnanya panca warna. Seperti yang disebutkan dalam babak-babak
berikut.
Babak I:
Dewa-dewa sang Brāhmana siddhakarya denira kita wruha
nghulun iki cārakanira paduka Bhatara Iswara saking purwa
deśa,

Terjemahannya:
Wahai tuanku Sang Brāhmana Siddhakarya agar tunaku
mengetahui bahwa hamba ini utusannya paduka Bhatara
Iswara dari wilayah sebelah timur,

Babak II:
Dewa Sang angěmit karya, nghulun iki prasama cārakanira
Bhatara Brahma,

Terjemahannya:
Wahai tuanku yang menjaga upacara ini, kami semua utusannya
Bhatara Brahma,

126 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Babak III:
Sang Brahamana nghulun prasama cārakanira Bhatara
Mahadewa, saking pascima deśa

Terjemahannya:
Wahai tuan Sang Brahmana kami semua utusannya
Bhatara Mahadewa dari daerah barat,

Babak IV:
Dewa Sang Brāhmana Siddhakarya, nghulun prasama iki
cārakanira bhatara Wisṇu saking utara deśa,

Terjemahannya:
Wahai tuanku Brahmana Siddhakarya, hamba semua ini
utusannya Bhatara Wisnu dari daerah utara,

Babak V:
Dewa Sang Wagmi Brahmana Siddhakarya, nghulun pinaka
carakanira Sang Hyang Śiwa,

Terjemahannya:
Wahai tuanku Sang Brahmana Siddhakarya, hamba utusannya
Sang Hyang Śiwa,

Berdasarkan petikan teks di atas, dapat disimpulkan


dialog masing-masing babak menampilkan satu dewa dan arah
yang dikuasainya. Dalam Kěkundangan Sidhakarya yang diteliti
ini terdapat lima babak sehingga ada lima dewa dan arah mata
anginnya yang ditampilkan disebut dengan Panca Dewata. Dialog
tersebut disampaikan oleh masyarakat pendukung upacara yang
berperan sebagai tamu utusan dari masing-masing arah mata angin

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 127


sesuai atribut yang dikenakan dan dibawanya, setiap panca dewata
memiliki ciri khasnya masing-masing yang mengidentikan dirinya.
Definisi hasil bumi dapat diuraikan dari dua kata yaitu hasil
dan bumi. Hasil adalah sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan,
dsb) oleh usaha (tanam-tanaman, sawah, tanah, ladang, hutan, dsb).
Sedangkan bumi adalah planet tempat manusia hidup. Jadi hasil
bumi sendiri dapat diartikan semua jenis barang yang diadakan
maupun dihasilkan dari usaha di bumi. Contoh-contoh hasil bumi
antara lain beras, pala wija, cokelat, kayu, ikan dan lain sebgainya.
Umat Hindu Bali dalam melaksanakan yadnya menghaturkan
hasil-hasil bumi yang dimiliki oleh umat. Apapun yang dimiliki umat
sebagai hasil pekerjaannya biasanya itulah yang dihaturkan sebagai
wujud rasa syukur umat atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan,
pada dasarnya dilandasi dengan rasa tulus ikhlas. Hal tersebut sesuai
dengan Bhagawadgita IX. 26 sebagai berikut.
patraṁ puṣpaṁ phalam toyam
yo me bhaktyā prayacchati
tad aham bhakty-upahṛtam
aśnāmi prayatātmanaḥ

Terjemahannya:
Apa yang dipersembahkan kepadaku, sehelai daun, setangkai
bunga, setetes air, buah atau biji-bijian dengan cinta bhakti dan
kesadaran yang murni, akan  Ku terima (Pudja, 1985: 220).

Pada dasarnya Tuhan tidak membutuhkan bentuk material


untuk memujaNya, segala bentuk material itu hanyalah simbol
tindakan abstrak agar lebih terlihat nyata. Namun di jaman saat ini
umat tidak bisa melakukan pengabdian kepada-Nya tanpa dilandasi
dengan tindakan yang abstrak.

128 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Kata-kata yo me bhaktya prayacchati berarti menawarkan
kepada-Nya dengan mencintai pengabdian.  Bahkan jika umatnya
menawarkan dengan pikiran yang bersih dan hati yang murni
meskipun tanpa melakukan usaha yang tidak terlalu berat seperti
mempersembahkan  air, sehelai daun atau buah yang dijiwai dengan
pengabdian maka akan dianggap sakral oleh Tuhan yang maha tinggi
sehingga ia akan menjadi senang dan merasa berhutang budi pada
pemuja tersebut. Tindakan apapun yang dilakukan dengan bhakti
atau pengabdian kepada-Nya. Ia menerima-Nya dengan cinta bhakti.
Kata bhakti disebutkan dua kali dalam sloka ini yang
mempertegas bahwa satu-satunya cara yang mudah dilaksanakan
oleh umat untuk melakukan pendekatan kepadanya adalah melalui
pelayanan bhakti. Meskipun ada cara lain seperti menjadi brahmana,
sarjana, orang kaya dan filsuf besar, tanpa adanya prinsip bhakti
kepadanya semuanya itu hanya akan sia-sia belaka, karena bhakti
bersifat kekal, semua kepercayaan apapun pasti berlandaskan bhakti
dalam pemujaan kepadaTuhan mereka.
Sloka di atas jika dikorelasikan dengan Kěkundangan
Sidhakarya dalam ritual nyěnuk, maka dapat dikatakan bahwa segala
hasil bumi yang dimiliki oleh umat dapat dipersembahkan sebagai
bentuk yadnya apabila dilandasi dengan rasa bhakti. Ritual nyěnuk
dapat dimaknai sebagai prosesi yang memperlihatkan kearifan
lokal masyarakat Bali yaitu sebuah bentuk toleransi. Ketika salah
satu warga di lingkungan masyarakat terdekat melakukan kegiatan
yadnya, maka masyarakat sekitar tempat yang melakukan yadnya
akan datang membantu baik dari segi tenaga dan material seperti
membawa hasil bumi yang dihasilkan ke tempat orang yang memiliki
upacara. Hal ini bertujuan untuk membantu meringankan kegiatan
yang dilakukan. Petikan Kěkundangan Sidhakarya berikut akan
mempertegas kembali Hasil bumi sebagai pendukung keberadaan
wacana pelayan dalam Kěkundangan Sidhakarya di atas.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 129


Babak I:
Dewa-dewa sang Brāhmana siddhakarya denira kita
wruha nghulun iki cārakanira paduka Bhatara Iswara
saking purwa deśa, sira mangrengӧ wṛtta prāya nyěnuk
karyanira wonging kene, Bhaṭāra, ring pura melanting
ingaturakěn karya mamungkah, bañjarnira ring bañjar-
bañjaran, deśanira ring deśa adat Abiansemal, Dauh yéh
cani nghulun kinon de Ida Bhaṭāra Iswara angaturakěn
phala bungkah, phala gantung, phala ala, sato suku ro,
phala rambat, śarananing angawe upakara

Terjemahannya:
Wahai tuanku Sang Brāhmana Siddhakarya olehmu yang
mengetahui bahwa hamba ini utusannya paduka Bhatara
Iswara dari wilayah sebelah timur, beliau mendengar berita,
sehingga diutuslah hamba menghadiri upacara beliau,
Bhatara di Pura Mĕlanting dihaturkan upacara mamungkah,
banjar beliau pada banjar-banjaran, desa beliau di Desa Adat
Abiansemal, Dauh Yeh Cani, hamba diutus oleh Bhatara
Iswara untuk mempersembahkan phala bungkah, phala
gantung, phala ala, unggas, phala rambat, yang merupakan
sarana untuk melaksanakan upacara.

Babak II:
Dewa Sang angěmit karya, nghulun iki prasama cārakanira
Bhatara Brahma, Darling dakṣiṇa deśa, nghulun kinon de
bhatara ngaturakěn phala mula, miwah sthāwara langgam,
tṛṇa taru latā gulma, phala bungkah, phala gantung, iwak
suku pat, pinaka śarananing upakara.

130 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Terjemahannya:
Wahai tuanku yang menjaga upacara ini, kami semua
utusannya Bhatara Brahma, dari daerah selatan, hamba
diutus oleh Bhatara untuk mempersembahkan phala mula,
serta tumbuh-tumbuhan, rerumputan, tumbuhan kayu,
tumbuhan merambat, serta belukar, phala bungkah, phala
gantung, hewan berkaki empat, sebagai sarana upacara.

Berdasarkan kutipan teks di atas yang mewakili beberapa


dialog yang memiliki isi hampir serupa, menunjukkan bahwa
kedatangan tamu yang merupakan utusan para dewa membawa hasil
bumi. Hasil bumi yang dibawa bertujuan agar dimanfaatkan sebaik
mungkin untuk melaksanakan yadnya atau sebagai sarana upakara.

b. Konteks dari Kěkundangan Sidhakarya

Konteks adalah situasi yang ada hubungannya dengan


suatu kejadian (KBBI, 2008: 728). Konteks merupakan unsur-unsur
yang berada di luar bahasa (Darma, 2014:65). Konteks yang harus
diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Konteks linguisti mencakup penyebutan kata depan, sifat kata kerja,
kata kerja bantu, dan proposisi positif seperti partisipan. Konteks
ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur
bahasa. Konteks ekstralinguistik mencakup praanggapan, partisipan,
topik atau kerangka topik, latar (tempat, waktu, dan peristiwa),
saluran (bahasa lisan atau tulis, dan kode bentuk komunikasi (dialog,
monolog, polilog), serta organisasi dan institusi.
Menurut istilah Foucault dan Wodak (Titscher dkk, 2009:45),
konteks dibagi atas konteks mikro dan konteks makro. Konteks mikro
mikro adalah waktu, tempat, serta partisipan tertentu, sedangkan

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 131


konteks makro adalah berbagai organisasi dan institusi (norma-
norma, nilai, ideologi). Menurut Aaron Cicourel (Darma, 2013:66),
konteks dibagi menjadi dua, yaitu: konteks luas (organisasi, institusi),
dan konteks lokal (latar, waktu, partisipan).
Dengan demikian, jenis konteks dapat disimpulkan
menjadi dua, yaitu: 1) Konteks makro atau konteks luas atau
konteks ekstralinguistik, dan 2) konteks mikro atau konteks lokal
atau konteks linguistik. Karena luas dan rumitnya konteks, maka
dalam kepentingan analisis wacana konteks perlu dibatasi dengan
memandang keurgensian konteks dalam tataran praktis keseharian
(Cicourel, 1992 dalam Titscher dkk, 2009:47).
Dalam analisis wacana kritis, konteks memperlihatkan bahwa
wacana dipengaruhi setting, partisipan, peran komunikatif sosial,
pengetahuan sosial yang relevan, norma, nilai, struktur institusi dan
organisasi (Haryatmoko, 2016:10). Dari beberapa asumsi di atas
dapat disimpulkan bahwa konteks merupakan situasi yang berada di
luar teks yang menyertai teks. Situasi tersebut adalah aspek-aspek
lingkungan masyarakat, sosial-budaya, dan institusi yang menyertai
teks. Dalam lingkungan yang bagaimana teks itu muncul, dalam
situasi yang bagaimana, dan institusi apa yang menyertai hadirnya
kembali (reproduksi) teks tersebut di tengah-tengah lingkungan
masyarakat.
Menurut Mills (Darma, 2014:69), mengganggap teks bukan
hanya harus dipelajari dari konteks penulis, tetapi dari konteks
pembaca, terutama jika berhubungan dengan ideologi. Menurutnya,
teks adalah hasil dari negosiasi anntara penulis dan pembaca. Karena
itu, pembaca bukanlah pihak yang hanya menerima teks saja tetapi
juga melakukan interaksi. Mills menawarkan dua hal tentang teks
dan konteks, yaitu: 1) pembaca mendominasi teks, dan 2) bagaimana
teks ditafsirkan oleh pembaca. Jadi teks atau wacana dipengaruhi

132 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


oleh pembaca, karena pembaca yang memaknai dan memberi arti
terhadapnya.
Dalam prosesi nyěnuk terdapat beberapa iring-iringan
seperti kebayan/ pennyarikan, ngukuhin, maksan, dan bendesa/
Kelian adat. Selain itu terdapat juga pengiring deha teruna yang
diantaranya memakai pakian putih sebanyak 5 pasang, merah
sebanayak 9 pasang, kuning sebanyak 7 pasang, hitam sebanyak 4
pasang, dan loreng sebanyak 8 pasang. Upacara nyěnuk berlangsung
dari pura terdekat menuju pura lokasi upacara. Setelah semua sarana
pemujaan di pura lokasi upacara siap, kemudian Sulinggih yang
muput karya memulai pemujaan, dan ditengah-tengah pemujaan
Sulinggih selesai membuat pengelukatan Sulinggih berhenti sejenak
melakukan pemujaan dan menunggu kedatangan iringan Siddha
Karya (Wawancara, Ida Pandita Dukuh Paku Wana: 21 Januri 2017).
Iring-iringan upacara nyěnuk mulai berjalan menuju pura
lokasi upacara, diawali para pemundut uperngga, lelontekan, kober,
umbul-umbul, serta berbagai simbol senjata dewata nawa sanga
kemudian diikuti sanganan, pemundut rare angon serta barisan tamu.
Seluruh iring-iringan sudah sampai di lokasi upacara, semua iring-
iringan upacara nyěnuk disambut oleh pemangku. Sebelum masuk
dihaturkan segehan agung prosesi dilanjutkan dengan penyambutan
tamu oleh Ida Bagus Sida Karya (Topeng Dalem Siddhakarya).
Setelah masing-masing rombongan tamu menjawab, kehadirannya
itu untuk menghaturkan pala bungkah, pala gantung, serta berbagai
hasil bumi, mereka dipersilahkan masuk ke jeroan lokasi upacara
dan mepurwa dakṣina sebanyak tiga kali (Ritiaksa, 2012).
Konteks Kěkundnagan Siddhakarya digunakan sebagai
sesapan dalam penyambutan tamu sebagai utusan dari pengiděr-iděr
saat iring-iringan dari ritual nyěnuk sampai pada lokasi upacara.
Biasanya yang menyampaikan Kěkundangan Siddhakarya ialah

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 133


penari Topeng Siddhakarya yang disahut oleh salah satu perwakilan
iring-iringan yang berperan sebagai tamu. Pembacaan Kěkundnagan
Siddhakarya biasanya dengan nada palawakya. Berdasarkan
pemaparan di atas wacana pelayanan selaras dengan konteks dari
Kěkundangan Siddhakarya.

6. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa


Kěkundangan Siddhakarya salah satunya membicarakan perihal
pelayanan. Keberadaan wacana tersebut memberikan pemahaman
bahwa sesungguhnya segala bentuk kegiatan yang ditujukan kepada
Tuhan dengan tulus ikhlas merupakan bentuk pelayanan sebagai
ungkapan rasa bhakti. Seluruh hal yang ada di dunia termasuk hasil
bumi dapat digunakan sebagai sarana pelayanan kepada Beliau.
Selain itu, wacana mengenai pelayanan tidak sebatas teks semata.
Bentuk realisasinya sesuai konteks Kěkundangan Siddhakarya ialah
ritual nyenuk yang dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali.

134 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018


Daftar Pustaka

Darma, Yoce Aliah. 2013. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama


Widya.
Darma, Yoce Aliah. 2014. Analisis Wacana Kritis dalam
Multiperspektif. Bandung: PT Refika Aditama.
Duija, I Nengah. 2012. “Prestise Bahasa Jawa Kuna dalam Adat dan
Agama Hindu di Bali”, Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu,
Kini dan Tantangan ke Depan. Editor I Made Suastika dan I
Wayan Sukartha. Denpasar: Cakra Press.
Erawati, Ni Ketut Ratna. 2015. Memahami Klausa dan Kalimat
Teks Bahasa Jawa Kuna. Denpasar: Dharma Pura.
Haryatmoko. 2016. Critical Dicccourse Analysis. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Pudja, G. 1985. Bhagawadgita. Jakarta: Maya Sari.
Ritiaksa, I Wayan. 2012. Upacara Nyěnuk. Surabaya: Paramitha.
Tim Penyusun. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti
Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Titscher, Stefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks & Wacana (Prof.
Dr. Abdul Syukur Ibrahim). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yudabakti, I Made dan I Wayan Watra. 2007. Filsafat Seni Sakral
dalam Kebudayaan Bali. Denpasar: Paramita.
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2006. Kamus Bahasa Jawa Kuno-
Indonesia Cet.VI (Danusuprapta dan Sumarti Suprayitna).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 135


136 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018

Anda mungkin juga menyukai