Sastra
di dalam Teks Usadha Manak
I Ketut Nuarca
Sastra Gocara
I Gde Nala Antara
Integrasi Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Jawa Kuno Pada Teks Adiparwa
Putu Eka Sura Adnyana, I Nyoman Sukartha, Anak Agung Gede Bawa
Kidung Tantri Kĕdiri Pada Episode Angsa dan Kura-Kura : Sebuah Kajian Wacana
R.A Kurniasari Yardella1, I Ketut Jirnaya , I Ketut Nuarca
Wacana Tanda-Tanda Menjelang Kematian dalam Tutur Śwacaṇdha Marāṇa: Teks dan Konteks
Ida Bagus Anom Wisnu Pujana, Anak Agung Gede Bawa, I Wayan Sukersa
Universitas Udayana
I Putu Suyasa Ariputra, Ni Ketut Ratna Erawati, I Ketut Nuarca
Pengaruh Agama Islam dalam Sistem Pengobatan Tradisional Bali Studi Kasus
di dalam Teks Usadha Manak
I Ketut Nuarca
ISSN 2528-4932
April 2018 ISSN
Volume IV Nomor 1 April 2018
SG Volume IV Nomor 1
2528-4932
Universitas Udayana
Sastra Gocara
Journal of Old Javanese Studies
ISSN 2528-4932 Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
SUSUNAN REDAKSI
PENANGGUNG JAWAB
Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M. S.
(Koordinator Program Studi Sastra Jawa Kuno)
REDAKTUR
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M. Hum.
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M. Hum.
PENYUNTING
Prof. Dr. I Made Suastika, S. U.
Dr. Drs. I Nyoman Sukartha, M. Hum.
Drs. Anak Agung Gede Bawa, M. Hum
MITRA BESTARI
Prof. Dr. Marsono, S. U. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum. (UNSES Semarang)
Prof. Dr. Nengah Duija, M. Si. (IHDN Denpasar)
Prof. Dr. Ida Bagus Putra Manuaba, M. Hum. (UNAIR Surabaya)
Prof. Dr. Drs. I Wayan Sukayasa, M. Si. (UNHI Denpasar)
Dr. Drs. Undang Darsa, M. Hum. (UNPAD Bandung)
Dr. Karsono H. Saputra, M. Hum. (UI Jakarta)
SEKRETARIAT
Drs. I Made Wijana, M. Hum.
Putu Ari Suprapta, S. S.
DESAIN COVER
Drs. Komang Paramartha, M. S.
I Ketut Eriadi Ariana, S.S.
ALAMAT
Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana
E-mail: sastrajawakuna2010@yahoo.com
Pengantar ii
Daftar Isi iii
iii
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 vii
Pengaruh Agama Islam
Dalam Sistem Pengobatan Tradisional Bali Studi
Kasus di dalam Teks Usadha Manak
I Ketut Nuarca
Prodi Sastra Jawa Kuna, FIB, UNUD
Abstrak
Di tengah pesatnya kemajuan ilmu kedokteran modern
sekarang ini ternyata pengobatan tradisional (Bali) masih mendapat
tempat di hati masyarakat. Walaupun sampai saat ini belum
ditemukan adanya studi tentang seberapa jauh minat masyarakat
terhadap pengobatan tradisional di Bali tetapi pengamatan selama
ini memperlihatkan masalah pengobatan tradisional di Bali masih
tetap eksis. Bahkan beberapa pengobat tradisional di Bali (baca:
dukun) masih tetap ramai dikunjungi masyarakat baik untuk tujuan
konsultasi belaka maupun untuk penyembuhan suatu kasus penyakit
tertentu.
Satu aspek yang ingin diangkat di dalam tulisan ini adalah
tentang pengaruh agama Islam di dalam sistem pengobatan tradisional
Bali. Dalam teks-teks pengobatan tradisional Bali (usadha) dan
juga teks-teks jenis lain yang ada di Bali banyak dijumpai adanya
unsur bahasa arab. Secara sepintas masuknya unsur bahasa ini
dapat memberikan informasi adanya pengaruh agama Islam dalam
penulisan teks-teks tradisional di Bali, salah satunya dijumpai dalam
teks usadha manak.
Usadha Manak ‘pengobatan beranak’ adalah teks pengobatan
tradisional Bali yang berisi cara-cara pengobatan yang dilakukan
pada saat seorang ibu melahirkan anak. Sumber datanya diolah dari
sumber naskah berupa lontar (manuscript) yang disimpan di UPT
Lontar Universitas Udayana dengan no. krp. 229.
Ada dua hal yang menjadi fokus tulisan ini dan keduanya
merupakan permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
seperti berikut.
Sumber data tulisan ini diambil dari naskah berupa lontar Usada
Manak koleksi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lontar Universitas
Udayana dengan no. kropak 229. UPT Lontar Universitas Udayana
sekarang ini menyimpan tidak kurang dari 921 naskah dengan
berbagai macam isi.
“Bismillah irachman irachim, bungkah allah kancing Muhamat
Rasulullah”
“Ong bungkah kancing buana keling, bungkah gedongin allah,
bungkah mangadwara sarirane si anu teka manga”.
Ekam Ewam Adwityam
‘hanya ada satu Tuhan’
Kalimat itu secara lengkap adalah Ekam Ewam Adwityam
Brahman ‘hanya ada satu Tuhan tak ada duanya Brahman itu’.
Brahman adalah nama lain dari Tuhan yang di dalam masyarakat
Bali sering disebut Ida Sangyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha
Esa. Pada bagian lain keesaan Tuhan dalam Weda juga dijelaskan
sebagai berikut.
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran-saran
Pendahuluan
(2) Kata-kata bahasa Bali yang berasal dari bahasa Kawi (Jawa
Kuno) dan Sanskerta ditulis menggunakan aksara Sualalita,
yaitu 18 aksara Anacaraka/Wreastra ditambah dengan
aksara mahaprana, aksara murdania, aksara hresua/dirga,
dan aksara usma.
(4) Rangkepan wianjana sta [Õ, , sna, [Å, nta xÕ, seperti
(2) Pluta
Pada kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata yang suku pertamanya
bersuara /ǝ/ pada pasang aksara Bali ditulis dengan aksara legena
(tanpa pepet), seperti
Akan sangat berbeda ketika kata-kata bahasa Bali asli yang terdiri
dari tiga suku kata yang ditulis menggunakan pepet --) seperti:
Jakarta: Djambatan.
Analisis Semiotik
Abstract
2. Pokok Permasalahan
4. Landasan Teori
5. Metode Penelitian
Terjemahannya:
Tema
Alur
Latar KKDPB terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar
sosial. Tempat-tempat yang dipilih sebagai latar cerita adalah Pulau
Bali secara umum. KKDPB menjelaskan keberadaan gunung-
gunung yang mengitari Bali, laut, pura, pasraman, sawah, dan desa
pakraman. Tempat lain yang dijadikan latar cerita adalah Gunung
Semeru, surge, dan ruang hampa sebelum masa menciptaan.
Amanat
Terjemahannya:
Terjemahannya:
Gunung
Terjemhannya:
Laut yang kaya akan sumber daya ikan, rumput laut, maupun
garam mempengaruhi pengembangan makna konotasi laut sebagai
sumber kesejahteraan (C2), sehingga dalam teks laut disamakan
dengan kemuliaan dari Gunung Agung yang banyak mengandung
perhiasan. Selanjutnya, sosok Hyang Umadewi yang berstana di laut
mengembangkan makna konotasinya menjadi penghilang wabah
(C2). Umadewi atau Dewi Durga dipandang sebagai dewi yang
memiliki dualisme pribadi. Satu sisi beliau adalah ibu dari semesta
yang penuh kasih, sedangkan di sisi lain beliau adalah sumber dari
segala hama dan wabah. Pada beberapa teks, wujus Umadewi sebagai
Durga selalu digambarkan sebagai penyebar hama dan wabah,
sehingga perlu di-somya-kan agar kembali ke dalam wujudnya
yang penuh cinta kasih. Atas dasar inilah pada waktu-waktu yang
dianggap rentan akan diadakan upacara selamatan (caru) di pinggir
samudera.
Lingkungan Pertanian
Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra Cet.
V. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2011. Kamus Bahasa Jawa Kuno-
Indonesia Cet.VI (Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna).
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama
Refrensi Internet
balebengong.net/kabar-anyar/2014/12/24/gunung-batukaru-medan-
pendakian-untuk-pemula.html diunduh 24 Januari 2017
Abstract
Terjemahan:
Seketikadilihatnyawahana yang rupanyaserammenakjubkan
Terkejutketakutan Dewi Umamelihathalitu
Muramcemberutmarahmelihatrupa yang menakutkan
Mendekap di dada Dewa Siwatidakmenolehketakutan
Smararipusirayatnantonbhaţarikagěman
Umariarasangelikyanmihat ring swaputra
Ibuphalanigirintewāhanahyangsurendra
Hana di nuluranisā de ngkuwighnarthatatwa
(Smaradahana, XXVIII.13)
Terjemahan:
Dewa Siwa tenang melihat istrinya ketakutan
Dan menghibur Dewi Giriputri yang sedang benci melihat
putranya
Wahai adikku, inilah akibat engkau ketakutan melihat
wahana Dewa Indra
Ada pemberianku yang bernama Wignartatatwa
Terjemahan:
Demikian ucapan Dewa Siwa dan segera,
Beliau Dewa Gana supaya dijadikan pimpinan perang,
Besar menakutkan dan menakjubkan diusap diperhatikan,
Dengan mantra sastra suci disertai yoga bersamaan.
Terjemahan:
Kasih sayang Dewa Siwa memberikan berkah
Hai para dewata sekalian yang datang menghadap
Anakku ini sebagai penyelamat, coba lihat
Yakin akan hancur musuhmu oleh putraku ini
3. Simpulan
Kelahiran Dewa Ganesha dan bagaimana peranan Ganesha
dalam peperangan melawan raksasa menjadi fokus dalam penelitian
ini dengan menganalisis makna dari tanda-tanda yang terdapat dalam
teks dan bagaimana konteks di masyarakat dengan menggunakan
analisis semiotik. Berdasarkan pertanda-pertanda pada kutipan
teks Kakawin Smaradahana yang sudah dijelaskan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam teks sudah diberikan pemaparan mengenai
pengaruh lingkungan yang mempengarhui bagaimana karakter tokoh
66 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Ganehsa. Dalam konteks di masyarakat, terdapat pula kebiasaan-
kebiasaan maupun budaya yang juga berkaitan dengan tanda-tanda
dalam teks. Sehingga tanda-tanda dalam kutipan teks, setelah diamati
memiliki banyak makna dan fungsi yang luar biasa bagi masyarakat.
Daftar Pustaka
Abstract
Sanskrit has a very noble position and has a very important function
for Hindus both in India and in the archipelago. The Old Javanese
poets borrowed Sistani terminology and vocabulary, causing mutual
influence between the two languages. The process of influencing
between Sanskrit and Old Javanese causes a process of integration.
Based on the above, a research entitled Sanskrit Language Integration
in Old Javanese Language In Adiparwa Text, with the objectives,
which are: 1) Describe integration in phonology, morphology, syntax,
semantics. 2) Describe the intralingual and extralingual factors that
cause integration. The type of research conducted is qualitative
based on data on Adiparwa text. By using Research Methods and
Techniques, Data collection techniques based on literature study on
Adiparwa text, technique record, through qualitative data analysis.
The data are grouped in such a way from the next library of analysis
and presented descriptively. The results of the Sanskrit Language
Integration in Old Javanese in Adiparwa text include: 1). field of
phonology. 2). field of syntactic grammar. 3). Vocabulary field. 4).
semantic field. Further factors causing the integration include: 1).
The intralingual factors include: the talents of speech participants,
Abstrak
2. Pokok Permasalahan
3. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
5. Pembahasan
Abstract
1. Pendahuluan
2. Pokok Pembahasan
3. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
2. Pembahasan
Artinya
<itu bukan kura-kura>, itu tahi lembu kering (kutis) oleh-oleh anak
mereka. Begitulah pendapatku. (4.44a)
Struktur Mikro
1) Latar
2) Detail
3) Maksud
4) Bentuk Kalimat
5) Kata Ganti
Kata ganti yang terdapat pada teks adalah kata ganti orang yaitu
mami, nghulun, kita dan juga terdapat kata ganti penujuk yaitu iki,
iku, ika.
7) Stilistika
8) Retoris
Pada teks ini metafora yang terdapat adalah Sarkasme
merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Si
kura-kura di ejek dengan sebuatan tahi lembu kering. Lalu ekspresi
si kura-kura adalah ekspresi sedih saat ditinggal angsa.
Kognisi Sosial
Kognisi sosial merupakan gagasan utama dalam wacana, tidak
sebatas struktur teks, tetapi bagaimana suatu teks diproduksi. Karena
struktur wacana menunjukkan atau menandakan sejumlah makna,
pendapat dan ideologi.
Kura-kura dalam cerita dimaknai dengan sifat kecerobohan
dan ketidak hati-hatian. Angsa di lambangkan sebagai kesetiaan
terhadap pasangan, tetapi dalam cerita ini kesetian angsa bukan
berarti cinta kasih, melainkan kesetiaanya terhadap sahabatnya yaitu
kura-kura. Anjing memang merupakan binatang yang paling setia,
tetapi pada saat sudah terdesak segala cara pasti akan dilakukan
untuk mendapatkan suatu yang diinginkannya. Seperti di dalam
cerita di atas anjing menggunakan segala tipu muslihat mengatai
kura-kura sebagai tahi kerbau.
94 Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018
Teratai biru menunjukan arah timur laut dan berstana disana
Dewa Sambu yang bersenjatakan Tri Sula, teratai putih arah mata
angin timur yang berstana disana adalah Dewa Iswara bersenjatakan
Bajra, teratai merah melambangkan arah mata angin selatan
daksina yang berstana disana Dewa Brahma bersenjatakan Gada.
Dan alangkah indahnya kolam tersebut yang ditumbuhi oleh bunga
teratai yang merupakan stana dari pada Tuhan.
Konteks
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Abstrack
Death is the end of every living things in this world. There is
no living things that does not end in death. Because in the end, death
is one thing that every living things must undergo.
In Hindu’s belief death is not the end. Death is the
disappearance of the bond or the relation between ātma (spirit) and
the body as a wrapper. In accordance with the explanation above,
that which is declared dead is the body. Because the body is visible
so any symptoms on the body can be observed by naked eye. Likewise
the symptoms of the body showing signs of the death.
Tutur Śwacaṇdha Marāṇa is one of the ancient Javanese
literary works whose contents are about the signs of death. Although
the text of Tutur Śwacaṇdha Marāṇa is textual, it can’t be separated
from its context in society. Because a text certainly can not be
separated from the context.
1. Latar Belakang
Kematian merupakan akhir dari setiap organisme yang hidup,
juga merupakan suatu kepastian untuk setiap makhluk hidup. Tiada
makhluk hidup yang tidak berakhir dalam sebuah kematian. Karena
pada akhirnya kematian adalah satu hal yang pasti dialami setiap
makhluk hidup.
2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tadi, dapat ditarik beberapa
pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana
wacana mengenai tanda-tanda kematian yang termuat dalam Tutur
Śwacaṇdha Marāṇa, dan (2) Bagaimana konteks dari wacana
tersebut di masyarakat.
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah; (1) untuk
menjelaskan bagaimana wacana dari Tutur Śwacaṇdha Marāṇa
yang menerangkan perihal tanda-tanda menjelang kematian yang
dapat diamati pada anggota tubuh, dan (2) menjelaskan bagaimana
konteks dari wacana perihal tanda-tanda menjelang kematian itu
9 Teks berasal dari kata textile dalam bahasa Latin berarti ‘tenunan,
pola’ dan lain-lain (Teeuw, 2015: 21). Kata teks lebih merujuk pada setiap hal
yang tertulis, rangkaian kalimat yang tersusun baik secara kohesi dan koherensi
(Titscher dkk, 2009: 35)
10 Konteks adalah situasi di mana wacana itu terjadi (konteks makro),
dalam berbagai organisasi dan institusi, di sisi lain menunjukkan wacana terjadi
dalam waktu, tempat, dengan partisipan tertentu dan sebagainya (ibid, 2009: 45)
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 103
pada masyarakat khususnya pada umat Hindu (Bali).
Selain itu tujuan umum dari penelitian ini adalah; (1) untuk
melestarikan naskah-naskah peninggalan leluhur di masa silam yang
berisikan mutiara-mutiara pengetahuan, ide-ide, dan ajaran-ajaran
yang baik; dan (2) untuk menggali mutiara-mutiara pengetahuan dan
ajaran leluhur yang sangat bermanfaat apabila berhasil difungsikan
dengan baik di era globalisasi sekarang ini.
4. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode observasi
teks yang didukung dengan teknik pembacaan, transliterasi, terjemahan,
dan pencatatan. Teknik pencatatan digunakan untuk mencatat hal-hal
penting yang ditemui dalam melakukan observasi teks. Teknik transliterasi
digunakan untuk mengalihaksarakan naskah Tutur Swacandha Marāṇna
yang masih berupa naskah lontar beraksara Bali ke dalam aksara Latin.
Penerjemahan adalah proses memindahkan makna yang telah diungkapkan
dalam bahasa bahasa sumber menjadi ekuivalen atau sedekat-dekatnya dan
sewajarnya dalam bahasa bahasa sasaran (Wiryamartana, 1993: 38). Teknik
terjemahan digunakan untuk mengalihbahasakan naskah Tutur Swacandha
Marāṇna ke dalam bahasa Indonesia. Model terjemahan yang digunakan
adalah terjemahan model hermeneutik, yaitu terjemahan yang dimulai
dengan keyakinan dan kesiapsediaan bahwa apa yang akan dilakukan
layak untuk dilakukan, sehingga pembacaan naskah dalam bahasa sumber
dilakukan dengan penuh perhatian dan mengalihbahasakan dalam bahasa
sasaran dengan setia pada makna dan bunyi aslinya, serta selaras dengan
daya serap atau pemahaman penerima.
Data-data yang didapat dari teknik pencatatan akan dipilah-pilah
dan dikelompokkan, sehingga akan mendapatkan data-data yang sesuai
dengan penelitian. Selanjutnya data yang sudah dikelompokkan itu akan
Terjemahan:
‘Śiwwā bajra ialah, denyut nadi pada tangan dan kaki, apabila
tanpa adanya denyut nadi, mati dikatakannya. Tunggak tan
pamaya ialah, alat kelamin itu, apabila mati rasa, maka mati
dikatakan olehnya. Uṇdhung-uṇdhung tan pangĕb ialah,
alat kelamin wanita (bhaga), apabila (kĕpĕt) maka mati
dikatakannya. Kuwang-kuwanging watu ialah, telinga itu
apabila kĕpĕt, mati dikatakannya. Wula walihaning babdan
ialah, apabila mata menguning, mati dikatakannya.’
20 Impotensi atau disfungsi ereksi adalah kondisi ketika alat kelamin pria
tidak mampu ereksi atau sulit bertahan dalam posisi ereksi (www.aladokter.com)
21 Pañcendriya merupakan lima indera yang ada pada tubuh, yakni: mata,
telinga, hidung, dan kulit (Palguna, 2015: 494)
Sastra Gocara, Volume IV, Nomor 1, Edisi April 2018 109
yang sama dapat dilihat pada penderita liver (penyakit pada hati).
Menguningnya putih mata disebabkan oleh faktor hati yang
sudah tidak berfungsi sebagai penetralisir racun dalam tubuh dan
sebagainya. Melemahnya fungsi hati pada tubuh tentu berpotensi
tubuh rentan diserang penyakit. Disfungsi yang terjadi pada hati bisa
saja berujung pada kematian.
Selain kutipan wacana tadi, adapun kutipan lainnya yang
menjelaskan perihal pertanda menjelang kematian.
Kulu maring talun, nga, alis, yan asluk, pati kajar denya.
Tgal malwang, nga, rahī yan akrutan, pati kajar denya. Guhā
śilodhakā, nga, lambe, yana wnês, pati kajar denya. Watu
matakêp, nga, untu, yan tan pagmagmi, pati kajar denya.
(Tutur Śwacaṇdha Marāṇa, lembar 5b baris 2)
Terjemahan:
‘Kulu maring talun, adalah apabila alis nampak menonjol, maka
mati dikatakannya. Tgal malwang, berarti jika wajah nampak
mengeriput, maka mati dikatakannya. Guhā śilodhakā, apabila
bibir nampak pucat, maka mati dikatakannya. Watu matakĕp,
berarti jika gigi tidak pagmagmi (mampu mengunyah?), maka
mati dikatakannya.
Terjemahan:
6. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa naskah
peninggalan leluhur di masa lampau, yakni Tutur Śwacaṇdha
Marāṇa terdapat salah satu bagian yang isinya mewacanakan perihal
tanda-tanda menjelang kematian. Keberadaan wacana tersebut
memberikan wawasan bahwa sesungguhnya dari jaman dahulu
leluhur kita telah bisa mengamati gejala-gejala pada tubuh sebagai
pertanda menjelang kematian. Entah pertanda tersebut diakibatkan
karena faktor usia yang sudah tua, ataupun menderita penyakit
tertentu yang juga dapat berujung pada kematian.
Daftar Pustaka
Agastya, IBG. 2013. Homa Adhyātmika. Denpasar: Yayasan Dharma
Sastra.
Chadwri, Dr. L. R. 2003. Rahasia Yantra, Mantra, dan Tantra (Pentj:
Gede Sanjaya). Surabaya: Paramita.
G. Pudja dkk. 1983. Siwa Sasana. Denpasar: Departemen Agama.
Hooykaas. 2002. Sūrya Sewana: Dari Pandita untuk Pandita dan Umat
Hindu (Pentj Suwariyati). Surabaya: Paramita.
Palguna, IBM Dharma. 2015. Kamus Istilah Anatomi Mistis Hindu.
Mataram: Sadampaty Aksara.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soetardi. 2001. Vyākaraṇa Tata Bahasa Sanskerta. Surabaya: Paramita.
Titib, I Made. 2003. Veda Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan.
Surabaya: Paramita.
Titscher dkk. 2009. Metode dan Teknik Analisis Teks&Wacana (Pentj:
Gazali dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiryamartana, A. 1993. Seni Menerjemahkan Cet. III. Yogyakarta:
Referensi Internet:
kbbi.web.id
penyakitliver.com
www.aladokter.com
ABSTRAK
Bahasa dalam upacara ritual di Bali sering dijumpai
dalam bentuk mantra, saa, sasapan dan sebagainya. Kebanyakan
bahasa ritual di Bali menggunakan bahasa Jawa Kuno meskipun
ada yang sudah bercampur dengan bahasa Bali. Bahasa Jawa Kuno
sesungguhnya memperkuat akar budaya Bali yang bernafaskan
Hindu. Perpaduan antara ritual nyěnuk, tari topeng siddhakarya dan
penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk dialog disebut dengan
Kěkundangan Siddhakarya. Kěkundangan Siddhakarya biasanya
dilakukan pada saat ritual nyěnuk. Nyěnuk merupakan salah satu
rangkaian ritual upacara yadnya yang dilaksanakan pada saat
akhir upacara. Ritual nyěnuk biasanya dilakukan dalam rangkaian
upacara memungkah atau ngěntěg linggih. Selain membahas bentuk
Kěkundangan Siddhakarya sangat menarik untuk membongkar
pemikiran yang mewadahi Kěkundangan Siddhakarya, melihat
konteks dalam Kěkundangan Siddhakarya. Hasil analisis penelitian
ini yaitu ajaran sewanamm sebagai konsep yang mendasari teks
wacana Kěkundangan Siddhakarya.
I. Pendahuluan
Bahasa memiliki peran yang strategis di dalam kebudayaan
sehingga setiap perilaku budaya selalu melibatkan bahasa di
dalamnya. Bahasa juga memiliki peranan yang sentral dalam
kebudayaan Bali. Salah satu peristiwa budaya yang menonjolkan
peran bahasa adalah pelaksanaan ritual. Bahasa dalam upacara ritual
di Bali sering dijumpai dalam bentuk mantra, saa, sasapan dan
sebagainya. Kebanyakan bahasa ritual di Bali menggunakan bahasa
Jawa Kuno meskipun ada yang sudah bercampur dengan bahasa
Bali. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Duija, fungsi bahasa
Jawa Kuno sesungguhnya untuk memperkuat akar budaya Bali
2. Pokok Permasalahan
3. Tujuan Penelitian
5. Pembahasan
Terjemahannya:
Wahai tuanku Sang Brāhmana Siddhakarya agar tuanku mengetahui
bahwa hamba ini merupakan utusan paduka Bhatara Iswara dari
wilayah sebelah timur,
“Tat evagnis tad adityas, tad wayus tad u candramah tad eva sukram,
tad brahma tat apas tat prajapatih”
Terjemahannya:
Brahma itu sesungguhnya juga adalah Sang Agni juga adalah Sang
Aditya, juga adalah Sang Wayu, juga adalah Sang Candrama (Bulan)
Beliau itu adalah bintang-bintang yang ada di langit Brahma itu
adalah hiranyagarbha juga adalah prajapati.
Terjemahannya:
Wahai tuanku Sang Brāhmana Siddhakarya agar tunaku
mengetahui bahwa hamba ini utusannya paduka Bhatara
Iswara dari wilayah sebelah timur,
Babak II:
Dewa Sang angěmit karya, nghulun iki prasama cārakanira
Bhatara Brahma,
Terjemahannya:
Wahai tuanku yang menjaga upacara ini, kami semua utusannya
Bhatara Brahma,
Terjemahannya:
Wahai tuan Sang Brahmana kami semua utusannya
Bhatara Mahadewa dari daerah barat,
Babak IV:
Dewa Sang Brāhmana Siddhakarya, nghulun prasama iki
cārakanira bhatara Wisṇu saking utara deśa,
Terjemahannya:
Wahai tuanku Brahmana Siddhakarya, hamba semua ini
utusannya Bhatara Wisnu dari daerah utara,
Babak V:
Dewa Sang Wagmi Brahmana Siddhakarya, nghulun pinaka
carakanira Sang Hyang Śiwa,
Terjemahannya:
Wahai tuanku Sang Brahmana Siddhakarya, hamba utusannya
Sang Hyang Śiwa,
Terjemahannya:
Apa yang dipersembahkan kepadaku, sehelai daun, setangkai
bunga, setetes air, buah atau biji-bijian dengan cinta bhakti dan
kesadaran yang murni, akan Ku terima (Pudja, 1985: 220).
Terjemahannya:
Wahai tuanku Sang Brāhmana Siddhakarya olehmu yang
mengetahui bahwa hamba ini utusannya paduka Bhatara
Iswara dari wilayah sebelah timur, beliau mendengar berita,
sehingga diutuslah hamba menghadiri upacara beliau,
Bhatara di Pura Mĕlanting dihaturkan upacara mamungkah,
banjar beliau pada banjar-banjaran, desa beliau di Desa Adat
Abiansemal, Dauh Yeh Cani, hamba diutus oleh Bhatara
Iswara untuk mempersembahkan phala bungkah, phala
gantung, phala ala, unggas, phala rambat, yang merupakan
sarana untuk melaksanakan upacara.
Babak II:
Dewa Sang angěmit karya, nghulun iki prasama cārakanira
Bhatara Brahma, Darling dakṣiṇa deśa, nghulun kinon de
bhatara ngaturakěn phala mula, miwah sthāwara langgam,
tṛṇa taru latā gulma, phala bungkah, phala gantung, iwak
suku pat, pinaka śarananing upakara.
6. Simpulan