Anda di halaman 1dari 285

MUSTARI DISERTASI

MUSTARI
NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ
DAN NILAI-NILAI ISLAM DALAM NASKAH KLASIK
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ DAN NILAI-NILAI ISLAM


DALAM NASKAH KLASIK PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

2021
NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ DAN NILAI-NILAI
ISLAM DALAM NASKAH KLASIK
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

Oleh:
Mustari
NIM. 19300016107

DISERTASI

Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga


untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Doktor dalam Bidang Studi Islam

YOGYAKARTA
2021
ii
iii
iv
v
vi
KEMENTRIAN AGAMA RI
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
PASCASARJANA

PENGESAHAN PROMOTOR

1. Prof. Dr. H. Bermawy Munthe, M.A. ( )

2. Dr. Maharsi, M.Hum. ( )

vii
NOTA DINAS

Kepada Yth.,
Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.

Disampaikan dengan hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan,


dan koreksi terhadap naskah disertasi berjudul

NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ DAN NILAI-NILAI


ISLAM DALAM NASKAH KLASIK
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

yang ditulis oleh:

Nama : Drs. Mustari, M.Hum.


NIM : 19300016107
Program : Doktor (S3/Studi Islam)

sebagaimana disarankan pada Ujian Tertutup tanggal 14 Juni 2021,


saya menyatakan bahwa disertasi tersebut sudah dapat diajukan
kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk diujikan
dalam Ujian Terbuka.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Yogyakarta, 15 November 2021


Promotor/Penguji,

Prof. Dr. Bermawy Munthe, M.A.

viii
NOTA DINAS

Kepada Yth.,
Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.

Disampaikan dengan hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan,


dan koreksi terhadap naskah disertasi berjudul

NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ DAN NILAI-NILAI


ISLAM DALAM NASKAH KLASIK
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

yang ditulis oleh:

Nama : Drs. Mustari, M.Hum.


NIM : 19300016107
Program : Doktor (S3/Studi Islam)

sebagaimana disarankan pada Ujian Tertutup tanggal 14 Juni 2021,


saya menyatakan bahwa disertasi tersebut sudah dapat diajukan
kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk diujikan
dalam Ujian Terbuka.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Yogyakarta, 16 November 2021


Promotor/Penguji,

Dr. Maharsi, M.Hum.

ix
NOTA DINAS

Kepada Yth.,
Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.

Disampaikan dengan hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan,


dan koreksi terhadap naskah disertasi berjudul

NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ DAN NILAI-NILAI


ISLAM DALAM NASKAH KLASIK
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

yang ditulis oleh:

Nama : Drs. Mustari, M.Hum.


NIM : 19300016107
Program : Doktor (S3/Studi Islam)

sebagaimana disarankan pada Ujian Tertutup tanggal 14 Juni 2021,


saya menyatakan bahwa disertasi tersebut sudah dapat diajukan
kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk diujikan
dalam Ujian Terbuka.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Yogyakarta, 18 November 2021


Ketua Sidang/Penguji,

Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, S.Ag., M.Ag.

x
NOTA DINAS

Kepada Yth.,
Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.

Disampaikan dengan hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan,


dan koreksi terhadap naskah disertasi berjudul

NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ DAN NILAI-NILAI


ISLAM DALAM NASKAH KLASIK
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

yang ditulis oleh:

Nama : Drs. Mustari, M.Hum.


NIM : 19300016107
Program : Doktor (S3/Studi Islam)

sebagaimana disarankan pada Ujian Tertutup tanggal 14 Juni 2021,


saya menyatakan bahwa disertasi tersebut sudah dapat diajukan
kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk diujikan
dalam Ujian Terbuka.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Yogyakarta, 13 November 2021


Penguji,

Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra,


M.A., M.Phil.

xi
NOTA DINAS

Kepada Yth.,
Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.

Disampaikan dengan hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan,


dan koreksi terhadap naskah disertasi berjudul

NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ DAN NILAI-NILAI


ISLAM DALAM NASKAH KLASIK
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

yang ditulis oleh:

Nama : Drs. Mustari, M.Hum.


NIM : 19300016107
Program : Doktor (S3/Studi Islam)

sebagaimana disarankan pada Ujian Tertutup tanggal 14 Juni 2021,


saya menyatakan bahwa disertasi tersebut sudah dapat diajukan
kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk diujikan
dalam Ujian Terbuka.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Yogyakarta, 15 November 2021


Penguji,

Dr. Moh Soehadha, S.Sos., M.Hum.

xii
NOTA DINAS

Kepada Yth.,
Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.

Disampaikan dengan hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan,


dan koreksi terhadap naskah disertasi berjudul

NILAI-NILAI ADAT SIRIQ NA PESSÉ DAN NILAI-NILAI


ISLAM DALAM NASKAH KLASIK
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

yang ditulis oleh:

Nama : Drs. Mustari, M.Hum.


NIM : 19300016107
Program : Doktor (S3/Studi Islam)

sebagaimana disarankan pada Ujian Tertutup tanggal 14 Juni 2021,


saya menyatakan bahwa disertasi tersebut sudah dapat diajukan
kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk diujikan
dalam Ujian Terbuka.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Yogyakarta, 01 November 2021


Penguji,

Wahyuddin Halim, Ph.D

xiii
ABSTRAK

Kajian ini mengambil objek salah satu naskah keagamaan


berbahasa Bugis, Pau-Paunna I Daramatasia (PPID). Naskah ini
sangat popular dan memiliki posisi penting di dalam kehidupan orang
Bugis baik di Sulawesi Selatan, maupun di perantauan. PPID memiliki
7 eksemplar naskah. Enam di antaranya beraksara lontaraq (aksara
Bugis) dan satu beraksara sérang (huruf Arab berbahasa Bugis).
Ketujuh naskah tersebut telah penulis sunting ketika mengerjakan tesis
S2 di UGM menjadi tiga versi, yakni versi Bone, versi Barru, dan versi
Pangkep. Objek disertasi ini adalah naskah suntingan versi Bone
dengan pertimbangan keutuhan kisah yang sudah “membugis”, yang
ditandai dengan penambahan episode di awal dan di akhir cerita. Di
samping tertulis dalam bentuk naskah, cerita itu juga dipentaskan
dalam bentuk film pendek, cerita bergambar, tarian, dan sebagainya,
seperti disaksikan di kanal-kanal youtube.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami makna filosofis bagi
kesadaran kolektif orang Bugis atas cerita PPID yang bersumber dari
nilai-nilai adat siriq na pessé dan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam
memahami makna tersebut, digunakan teori Strukturalisme Levi
Strauss dengan membangun oposisi biner terhadap deep structure
teks.
Studi ini menemukan beberapa relasi oposisi dalam PPID yang
berbentuk oposisi biner antara laki-laki dan perempuan, antara suami
dan isteri, antara nilai-nilai siriq na pessé dan nilai-nilai Islam dengan
simpulan bahwa kesadaran kolektif orang Bugis bersumber dari dua
nilai, yakni nilai adat, khususnya siriq na pessé (kehormatan dan
solidaritas) dan nilai-nilai Islam. Meski—dalam kondisi tertentu—
ketika harus memilih antara nilai-nilai adat, siriq na pessé dan nilai-
nilai Islam, orang Bugis kadang-kadang lebih memilih nilai adat, siriq
na pessé dalam menyelesaikan persoalan. Namun tidak bisa
dimungkiri bahwa orang Bugis mampu memadukan dan
mengintegrasikan kedua nilai utama tersebut dalam kehidupan sehari-
harinya. Adat, baru bermakna jika didukung oleh nilai-nilai Islam,
xiv
begitu pula sebaliknya, penerapan agam Islam akan semakin mantap
ketika nilai-niali adat, khususnya siriq na pessé menjadi bagian
integral keberagamaan mereka. Dengan demikian, tidak ada
pertentangan antara nilai adat dan nilai Islam. Makna filosofis itulah
yang terdapat di balik struktur oposisi pada PPID.

Kata Kunci: Siriq na Pessé, Islam, Naskah, Pau-Pau, I Daramatasia,

xv
‫مستخلص البحث‬
‫يستخدم هذا البحث أحد موضوعات النسخة الدينية ابللغة‬
‫البوجيسية‪ ،‬وهي )‪ . Pau-Paunna I Daramatasia (PPID‬هذه النسخة‬
‫مشهورة وهلا مكانة هامة عند حياة البوجيسيني يف السوالويسي اجلنوبية‬
‫كانت أو يف أمكنة خارجية‪ PPID .‬هلا سبع نسخات‪ ،‬ستة منها مكتوبة‬
‫ابحلروف ‪( lontaraq‬احلروف البوجيسية) وواحدة منها ابحلروف ‪sérang‬‬

‫(احلروف العربية ابللغة البوجيسية)‪ .‬كانت النسخات السبع حررها‬


‫الباحث عند إمتام الرسالة املاجستريية يف جامعة غاجه مادا حيث تتكون‬
‫من ثالثة إصدارات‪ ،‬وهي اإلصدار البوين ‪ ،Bone‬واإلصدار البارو ‪،Barru‬‬
‫واإلصدار البانكب ‪ .Pangkep‬كان موضوع هذه األطروحة هو النسخة‬
‫التحريرية لإلصدار البوين ابلنظر إىل كمال القصة املتصفة مبنطقة بوجيس‬
‫مع دليل زايدة احللقة يف بداية القصة وهنايتها‪ .‬فالقصة تكتب على شكل‬
‫النسخة وتعرض أيضا على شكل القصة القصرية والقصة املصورة والرقص‬
‫وغري ذلك كما ميكن املشاهدة يف القنوات اليوتيوبية‪.‬‬
‫يهدف هذا البحث إىل فهم املعىن الفلسفي للوعي اجلماعي‬
‫للبوجيسيني جتاه قصة ‪ PPID‬املنتقية من القيم العرفية ‪ siriq na pessé‬وقيم‬
‫التعاليم اإلسالمية‪ .‬ويف إطار فهم املعىن تستخدم النظرية البنيوية لليفي‬
‫سرتاوس عن طريق بناء التعارض الثنائي حنو اهليكل العميق للنص‪.‬‬

‫‪xvi‬‬
‫هذا البحث يكشف بعض العالقات التعارضية يف ‪ PPID‬على منط‬
‫التعارض الثنائي بني الرجال والنساء‪ ،‬وبني الزوج والزوجة‪ ،‬وبني قيم ‪siriq‬‬

‫‪ na pessé‬وقيم التعاليم اإلسالمية مع اخلالصة أبن الوعي اجلماعي‬


‫للبوجيسيني تنتقي من القيمتني‪ ،‬مها القيم العرفية‪ ،‬وأخص ابلذكر ‪siriq‬‬

‫‪( na pessé‬التكرمي والتضامن) وقيم التعاليم اإلسالمية‪ .‬رغم أن ‪-‬يف وضع‬


‫معني‪ -‬االختيار بني القيم العرفية ‪ siriq na pessé‬والقيم اإلسالمية‬
‫البوجيسييون أحياان اختاروا القيم العرفية ‪ siriq na pessé‬أكثر مما سواها يف‬
‫حل املشاكل‪ .‬وال ريب أن البوجيسيني قادرون على دمج وتكامل‬
‫القيمتني األساسيتني يف حياهتم اليومية‪ .‬فالعرف له معان إذا عضدته القيم‬
‫اإلسالمية‪ ،‬وهكذا العكس‪ ،‬يعىن أن التطبيق لإلسالم له معان إذا‬
‫أصبحت القيم العرفية وخباصة ‪ siriq na pessé‬من مشولية تدينهم‪ .‬وبذلك‬
‫ليس هناك أي تعارض بني القيم العرفية والقيم اإلسالمية‪ .‬وهذا ما وراء‬
‫اهليكل التعارضي من املعاين الفلسفية يف ‪.PPID‬‬
‫‪Siriq na Pessé,‬‬ ‫الكلمات املفتاحية‪Islam, Naskah, Pau-Pau, I :‬‬
‫‪Daramatasia‬‬

‫‪xvii‬‬
ABSTRACT

This study examines one of religious manuscript of Bugis


language, i.e. Pau-Paunna I Daramatasia (PPID). This manuscript is
very popular and is of essential position in the life of Bugis people
whether or not they stay in South Sulawesi. There are 7 copies of PPID
script – six of them in lontaraq (Bugis letters) and one in sérang
(Bugis language written in Arabic). The seven scripts have been edited
and compiled into three versions – Bone version, Barru version, and
Pangkep version – by the researcher as the writer was preparing for
post graduate thesis in UGM. The object of this dissertation is
manuscript Bone version considering the completeness of the story
that has been “bugisized” as indicated by the presence of the beginning
and end episodes. In addition to the form of script, Bone version’s
story has also been performed in short film, presented in comic book,
dance etc. like the ones found in you tube channels.
The study aims at understanding the philosophical meaning for
the sake of Bugis people’s collective awareness of PPID story
originated from siriq na pessé tradition values and Islam teaching. By
constructing binary opposition against deep structure text, theory of
structuralism from Lewis Strauss was applied.
Discovering some opposition relations in the PPID in binary
oppositions between man and woman, husband and wife, siriq na
pessé values and Islam teaching values, the study concludes that
collective awareness of Bugis People relies on two values: tradition
values, in particular siriq na pessé (honor and solidarity) and Islam
teaching ones. In certain circumstances, however, should they be in a
position to choose, Bugis people would prefer siriq na pessé tradition
values to solve problems despite the ability to integrate and blend the
two types of value in daily life. Tradition will be meaningful when
supported by Islamic values, and applying Islam teaching will be a
subject very close to their heart when tradition values, specially siriq
na pessé, are of an integral part of religious life. Thus, no contradiction

xviii
between the two exists. And it is that philosophical meaning which
lies behind the opposition structure of PPID.

Key Words: Siriq na Pessé, Islam, Naskah, Pau-Pau, I


Daramatasia,

xix
xx
PEDOMAN
TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Secara umum sistem transliterasi Arab Latin yang diikuti dalam


penulisan disertasi ini adalah transliterasi hasil keputusan bersama
antara Menteri Agama dan Menteri P dan K, Nomor 158 tahun
1987/Nomor 0543 b/u/1987. Dalam beberapa hal transliterasi yang
digunakan sedikit berbeda. Di antaranya:
a. Huruf kapital tidak dipergunakan.
b. Penulisan hamzah di awal kata tetap memakai apostrof
kemudian diikuti dengan bunyi vokalnya.
c. Penulisan “‫”ال‬, baik syamsiyya atau qamariyya, didasarkan pada
tulisan, bukan bunyi, kecuali “‫ ”ال‬pada kata “‫ ”هللا‬yang didahului
dengan kata tugas, seperti huruf jarr atau at}af.
d. Transliterasi huruf wawu dan ya’ pada saat berharakat sukun
tetap diperlakukan sebagai konsonan bukan sebagai vokal,
tetapi ketika kedua huruf tersebut berfungsi sebagai tanda vokal
panjang, maka keduanya hanya ditransliterasikan dengan tanda
vokal panjang sebagaimana dalam pedoman.

A. Lambang Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama


‫ا‬ Alif
Tidak Tidak
dilambangkan dilambangkan
‫ب‬ Ba B Be
‫ت‬ Ta T Te
‫ث‬ Ṡa Ṡ Es (titik atas)
‫ج‬ Jim J Je
‫ح‬ Ḥa Ḥ Ha (titik bawah)
‫خ‬ Kha Kh Ka dan ha
‫د‬ Dal D De

xxi
‫ذ‬ Żal Ż Zet (titik atas)
‫ر‬ Ra R Er
‫ز‬ Zai Z Zet
‫س‬ Sin S Es
‫ش‬ Syin Sy Es dan ye
‫ص‬ Ṣad Ṣ Es (titik bawah)
‫ض‬ Ḍad Ḍ De (titik bawah
‫ط‬ Ṭa Ṭ Te (titik bawah)
‫ظ‬ Ẓa Ẓ Zet (titik bawah)
‫ع‬ ‘ain …‘…
Koma terbalik ke
atas
‫غ‬ Gain G Ge
‫ف‬ Fa F ef
‫ق‬ Qaf Q qi
‫ك‬ Kaf K Ka
‫ل‬ Lam L El
‫م‬ Mim M Em
‫ن‬ Nun N En
‫و‬ Wau W We
‫هـ‬ Ha H Ha
‫ء‬ Hamzah …’… Apostrof
‫ي‬ ya Y Ye

xxii
B. Lambang Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
-َ-- Fathah a a

-َِ-- Kasrah i i

-َِ-- Ḍammah u u

Contoh:
‫ب‬ َ َ‫َكت‬ : kataba ‫يَ ْذ َهب‬ : yażhabu
‫فَ َع َل‬ : fa‘ala ‫سئِ َل‬ : su’ila
‫ذكَِر‬ : żukira
2. Vokal + konsonan ya’ dan wawu
Tanda dan Nama Gabungan Nama
huruf Huruf
‫َ ْي‬ Fathah dan ya ay a dan ye

‫َْو‬ Fathah dan wawu aw a dan wawu

Contoh:
‫ف‬
َ ‫َكْي‬ : kayfa ‫َح ْو َل‬ : ḥawla

3. Maddah
Harkat dan Nama Huruf dan Nama
Huruf Tanda
‫َا َى‬ Fathah dan alif atau alif
layyinah (tertulis ya)
ā a garis atas

‫ِ ْي‬ Kasrah dan ya ī i garis atas

‫ْو‬ Dammah dan wawu ū u garis atas

xxiii
Contoh:

‫ال‬
َ َ‫ق‬ : qāla ‫قِْي َل‬ : qīla
‫َرَمى‬ : ramā ‫يَق ْول‬ : yaqūlu

C. Ta Marbutah
Transliterasi untuk ta’ marbuta selalu ditulis dengan “t” berikut
bunyi i‘rābnya.
Contoh:

‫ضة األَطْ َف ْال‬ َ ‫ َرْو‬ditransliterasikan menjadi rawḍatu al-aṭfāl.


‫ امل ِديْنَة املنَ َّوَرة‬ditransliterasikan menjadi "al-Madīnatu al-
َ Munawwaratu
D. Syaddah (Tasydȋd)
Tanda Syaddah atau tasydȋd dalam bahasa Arab, dalam
transliterasinya dilambangkan menjadi huruf ganda, yaitu huruf yang
sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut.
Contoh:

‫َربَّنَا‬ : rabbanā ‫نََّزل‬ : nazzala

E. Kata Sandang (‫)ال‬


Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf
qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan tulisannya, bukan bunyi,
tetapi bunyi “a” pada “al” tidak dilambangkan sebagai hamzah, artinya
tanpa apostrof.
Contoh:

‫الرجل‬ َّ -- al-rajulu ‫السيِ َدة‬


َ -- al-sayyidatu
‫ البَ ِديْع‬-- al-badī‘u ‫ اجلَالَل‬-- al-jalāl

xxiv
KATA PENGANTAR
(I Daramatasia dalam Memori Kolektif Orang Bugis)

Assalamu‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.


Kisah I Daramatasia sudah lama melekat di ingatan penulis. Sejak
usia remaja, penulis sudah mendengar cerita ini didongengkan orang-
orang tua. Dalam hal ini, penulis ingin mengenang dan berterima kasih
kepada seorang pendongeng Bugis, almarhum Puang Manna’ (Abdul
Manaf), seorang perantau Bugis yang menetap di Kampung Pengudang,
Pulau Bintan sejak tahun 1960-an hingga wafat. Beliau adalah paccurita
(pendongeng) yang andal dan memiliki perbendaharaan pau-pau dan pau-
pau rikadong yang banyak. Darinyalah untuk pertama kali penulis
mendengar kisah I Daramatasia.
Di samping tersimpan dengan baik di dalam ingatan para
paccurita, dongeng I Daramatasia direkam secara manual dengan teknik
sederhana dalam pita kaset. Ada seseorang yang membaca naskah,
biasanya sambil berlagu dan diiringi alat musik kecapi atau biola lalu
suaranya direkam. Kemudian penulis menyaksikan betapa perantau-
perantau dari Tanah Bugis menjadikan rekaman ini sebagai oleh-oleh
eksklusif dari kampung halaman. Pita kaset rekaman tersebut
diperlakukan sebagai sesuatu yang sangat berharga dan hanya diputar
dan diperdengarkan pada event-event khusus dengan mengundang
banyak orang dalam komunitas Bugis di perantauan. Mereka akan larut
dalam euforia cerita di mana penulis ada di antara mereka. Begitulah
orang-orang Bugis di perantauan merawat dongeng ini dalam memori
kolektif mereka.
Tahun 2000-an awal ketika penulis menempuh pendidikan S2
Jurusan Sastra di UGM, penulis temukan naskah cerita ini dalam versi
Melayu yang lebih singkat kisahnya, tidak sepanjang dalam versi Bugis
yang pernah penulis dengar. Dari sini penulis tertarik untuk menelusuri
dan mencarinya di Tanah Bugis dan di mana pun. Ternyata penulis
temukan enam naskah di Sulawesi Selatan dan satu naskah di
Tanjungpinang. Sebagian naskah itu tersimpan di Perpustakaan Arsip
Nasional Republik Indonesia Cabang Makassar dan sebagian lagi
merupakan koleksi individu. Dalam hal ini penulis ingin berterima kasih
kepada almarhum Drs. Muhmmad Salim, seorang ahli bahasa Bugis yang

xxv
tinggal di Makassar, karena telah meminjamkan naskah yang
dimilikinya. Hasil perburuan naskah itu penulis jadikan kajian filologis
dalam bentuk tesis dan selesai di tahun 2005.
Tidak cukup dengan kajian filologis dan suntingan naskah, penulis
masih menyimpan sebuah pertanyaan, mengapa orang Bugis merawat
sedemikian rupa dongeng ini dalam memori kolektif mereka? Pertanyaan
inilah yang membawa penulis mengangkatnya menjadi kajian lanjutan
dalam bentuk disertasi dengan fokus pada penemuan makna pada
“struktur dalam” (deep structure) kisah. Alhamdulillah, kajian ini bisa
tersaji dengan judul “Nilai-Nilai Adat Siriq Na Pessé dan Nilai-Nilai
Islam dalam Naskah Klasik Pau-Paunna I Daramatasia”.
Tidak mudah bagi penulis untuk menyelesaikan studi ini karena
status penulis sebagai mahasiswa izin belajar, bukan tugas belajar,
sehingga tidak fokus. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyaris
putus di tengah jalan, dan harus melewati re-NIM, akhirnya disertasi ini
tersaji atas support dan kontribusi dari banyak pihak. Untuk itu,
perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang turut membantu penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof.
Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., M.A. beserta jajarannya yang telah memberi
kesempatan kepada penulis sebagai karya siswa Pascasarjana S3 UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulis juga berterima kasih kepada mantan Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Noorhaidi, M.A., M.Phil., Ph.D.
dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. H.
Abdul Mustaqim, S.Ag., M.Ag. yang telah bersedia menjadi Ketua
Sidang sekaligus Penguji di Ujian Tertutup. Terima kasih kepada Ahmad
Rafiq, M.Ag., MA., Ph.D. yang telah menjadi Sekretaris Sidang pada
Ujian Tertutup. Ucapan terima kasih kepada mantan Dekan Fakultas
Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. H.
Syihabuddin Qalyubi, Lc., M.Ag. Di masa kepemimpinan beliaulah
penulis mulai kuliah S3; Almarhum Prof. Dr. Alwan Khoiri, M.A. yang
sekaligus promotor awal sebelum beliau berpulang (semoga Allah
mengampuni dosa-dosa beliau dan menempatkannya di tempat yang
terindah di sisi-Nya); Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Dr. Muhammad Wildan, M.A. dan jajarannya yang
tak henti-hentinya menyemangati dengan pertanyaan-pertanyaan

xxvi
monitoring setengah bercanda dan sering juga komentar-komentar yang
solutif agar penulis tidak patah arang, “maju terus pantang mundur”.
Terima kasih tak terhingga kepada promotor pertama penulis,
almarhum Prof. Dr. H. Taufiq Ahmad Dardiri, S.U. Di tengah sakitnya,
beliau rela dan berkenan membimbing penulis. Semoga Allah
melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau. Kepada Prof. Dr. Bermawy
Munthe, M.A., tak ada kata yang bisa mewakili rasa terima kasih penulis,
dengan ringan menjadi promotor pengganti, menggantikan Prof. Dr.
Alwan Khoiri, M.A.
Terima kasih kepada para penguji, Dr. Maharsi, M.Hum. yang
sekarang malah menjadi promotor penulis menggantikan Prof. Taufiq
Ahmad Dardiri, S.U. dan Dr. Moch Nur Ichwan, S.Ag., M.A. yang
memberikan masukan berharga ketika Ujian Pendahuluan.
Tidak kalah penting, penulis ucapkan terima kasih kepada para
penguji di Ujian Tertutup: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A.,
M.Phil. yang begitu humble sehingga penulis merasa tidak seperti diuji,
malah seperti sedang kuliah. Terima kasih kepada Dr. Moh Soehadha,
S.Sos., M.Hum. yang banyak memberikan arahan demi kesempurnaan
disertasi ini. Kepada Wahyuddin Halim, Ph.D. terima kasih banyak
penulis ucapkan. Penulis merasa beruntung dan bangga karena diuji dan
berkesempatan berbincang dengan seorang pakar budaya Bugis dengan
masukan-masukannya amat berguna. Beliau-beliau menguji penulis
secara serius dan bersahabat dan sekaligus memberikan wacana
tandingan yang berharga untuk dipertimbangkan lebih jauh.
Terima kasih kepada teman seangkatan S3 Studi Islam, angkatan
2010, baik yang reguler maupun by research yang sudah selesai maupun
yang belum selesai. Saling support, kebersamaan dan kekompakan
sehingga masalah akademik terasa ringan. Dan terima kasih kepada
teman-teman dan kolega-kolega, khususnya dosen Fakultas Adab dan
Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, merekalah mesin
pendorong yang handal untuk merampungkan tugas akhir ini.
Penulis juga ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Nurhayati
Rahman, M.S., Guru Besar di FIB UNHAS Makassar yang digelari
“Master Piece” I La Galigo. Beliau telah bersedia berbincang dan
berdiskusi dengan penulis di sekitar topik bahasan disertasi ini,
khususnya posisi dongeng I Daramatasia yang dianggap oleh masyarakat
Bugis sebagai kebenaran sejarah. Apakah dongeng ini termasuk sastra
pau-pau atau pau-pau rikadong.
xxvii
Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepad saudaraku
Ahmad Tri Muslim HD di Tanah Bugis yang senantiasa siap membantu
mencarikan buku-buku dan referensi yang penulis perlukan. Kepada
Ahmad Syawqi yang menemani penulis berburu naskah I Daramatasia di
pelosok-pelosok desa di Soppeng ketika menggarap tesis dan masih
bersedia mencarikan buku-buku ketika penulis menggarap disertasi ini.
Bapak Djaharuddin sekeluarga yang dengan baik hati bersedia
menampung penulis di rumah beliau selama penulis di Makassar tahun
2002.
Kepada guru-guruku di PGAN Tanjungpinag, Almarhumah Bu
Hasanah yang selalu mendorong dan mensupprot penulis sampai akhir
hayat beliau. Semoga Allah menempatkan beliau bersama dengan para
muhsinin, Bu Roliyah Suyud yang senantiasa mendoakan penulis, dan
guru-guru penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Teman-teman alumni PGAN Tanjungpinang angkatan 81 dan 82 yang
selalu mendoakan penulis. Suatau kebahagiaan, di usia 60-an ini kita
masih bisa bersilaturrahmi.
Abang-abang dan kakak-kakak di IKR-Y (Ikatan Keluarga Riau-
Yogyakarta) serta abang-abang dan kakak-kakak di KMPKR-Y
(Keluarga Masyarakat Provinsi Kepulauan Riau-Yogyakarta) yang tidak
penulis sebutkan satu per satu, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga
atas support dan doa-doa yang selalu diberikan berupa pertanyaan-
pertanyaan candaan yang kadang-kadang “menyengat”. Terkhusus
kepada Abang Ir. Said Fadhillah Alathas, M.Si. selaku orang tua penulis
di perantauan sejak penulis menjejakkan kaki di Yogyakarta dan diajak
bergabung di IKR-Y. Merupakan kegembiraan sendiri bagi penulis
karena tak henti-hentinya menyemangati penulis untuk terus mencari
ilmu. Semoga Abang diberi usia panjang yang barokah. Amin.
Terima kasih tiada tara kuhaturkan kepada almarhum Embo’-ku
Mohd. Saidek dan Ema’ku tersayang Hj. Siti Patimang. Semoga Ema’-
Embo’ tenang di alam baqa. Akhirnya, ucapan terima kasih paling khusus
penulis sampaikan kepada istri tercinta, belahan jiwa, Dra. Umi Kulsum,
kedua anakku Oviusti Lu’lu’ Qurratu’ayny Mappuji, S.Hum. (Ovi) dan
Acok Taufiq Iko Pidalleri (Acok). Kesabaran kalian bertiga telah menjadi
pendorong semangat dalam menyelesaikan disertasi ini. Ananda Hendra
Irawan yang kini telah menjadi pendamping setia putriku. Terima kasih
karena telah “memberikan” seorang cucu yang cerdas, Muhammad
xxviii
Virendra Assajid (Ajid) yang selalu “mengganggu” pekerjaan Atoknya.
Terkhusus adik kandung bungsuku, Hisyam Makkuraga, SH (Salju
Hangat) yang senantiasa bisa diandalkan dalam hal logistik. Kalian semua
tak henti memberikan cinta dan mendukung untuk keberhasilan disertasi
ini, 24 jam setiap harinya, 7 hari dalam sepekan. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada Daeng Ila, Kak Sawik, Kak Sunik, Bang Ihsan,
Adinda Linda, Adinda Evi, Adinda Dalimah, Ayah, Adinda Nandong,
Adinda Maedani, Adinda Mar, Adinda Ali, dan ponakan-ponakanku.
Bulik Titik, Om Zunan, Tante Dedeh, Bulik Lis, Om Menot, Bulik Ida,
Om Teguh, Om Imam, Tante Indri dan ponakan-ponakanku.
Untuk kalian semua yang penulis sebutkan di atas, maupun kolega,
teman kerabat, dan sanak famili yang tidak sempat penulis sebutkan satu
persatu, penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah Swt., Tuhan Semesta
Alam, membalas kebaikan dan pengorbanan kalian dengan balasan
kebaikan yang berlipat ganda. Amin.
Yang tak kulupakan saudaraku Hasanudding yang tiada hentinya
mendorong penulis untuk melanjutkan kuliah di saat penulis sudah mulai
terlena menjadi nelayan dan petani setelah tamat PGAN di tahun 1981.
Terakhir, kajian ini tentu tidak lepas dari kekurangan. Untuk itu,
penulis berharap adanya masukan untuk penyempurnaannya ketika ia
akan dicetak menjadi buku.

Yogyakarta, 16 November 2021

Drs. Mustari, M.Hum.

xxix
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................... i


PERNYATAAN KEASLIAN DAN BEBAS DARI
PLAGIARISME ................................................................... iii
YUDISIUM .......................................................................... iv
PENGESAHAN REKTOR ................................................... v
DEWAN PENGUJI .............................................................. vi
PENGESAHAN PROMOTOR ............................................ vii
NOTA DINAS ....................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................ xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ................. xxi
KATA PENGANTAR ........................................................... xxv
DAFTAR ISI ......................................................................... xxix
DAFTAR GAMBAR ............................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................ 1


A. Latar Belakang ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................. 8
D. Kajian Pustaka ............................................................ 8
E. Kerangka Teoretis: Paradigma Strukturalisme
Claude Lévi-Strauss .................................................... 14
F. Metode Penelitian ....................................................... 18
G. Sistematika Pembahasan ............................................. 23

BAB II ORANG BUGIS ................................................. 27


A. Identifikasi Orang Bugis ............................................. 27
B. Sistem Kekerabatan Orang Bugis ................................ 39
C. Pangadêrrêng: Pranata Pengatur Kehidupan Orang
Bugis ........................................................................... 43

xxx
BAB III AGAMA BUGIS DAN ISLAM ........................... 49
A. Agama Tradisional Orang Bugis: Bissu sebagai
Tokoh Sentral………… ............................................... 49
B. Keberislaman Orang Bugis: Musu Selleng
sebagai Awal .............................................................. 59
C. Mentalitas Orang Bugis: Siriq na Pessé Sebagai
Penggerak Utama ........................................................ 84

BAB IV PAU-PAUNNA I DARAMATASIA (PPID) ......... 99


A. Identifikasi PPID: Sastra Pau-Pau ............................. 99
B. Suntingan PPID .......................................................... 115
C. Terjemahan PPID: Versi Bone .................................... 119

BAB V PERJUMPAAN BUDAYA DAN AGAMA DALAM


PAU-PAUNNA I DARAMATASIA (PPID) ......... 153
A. Identifikasi Oposisi dalam PPID ................................. 153
B. Struktur Oposisi Biner dalam PPID.............................. 159
C. Idealisme Beradat Siriq na Pessé dan Berislam
Orang Bugis dalam PPID ............................................. 198

BAB VI PENUTUP ........................................................... 211


A. Simpulan .................................................................... 211
B. Saran-Saran ................................................................. 215

DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 217


LAMPIRAN .......................................................................... 239

xxxi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Salinan PPID yang tersimpan di Perpustakaan


ANRI Cabang Makassar ................................. 239
Lampiran 2 : Naskah PPID Bertuliskan Huruf Serang milik
Kanijah kelahiran 1923 di Desa Mosso,
Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polmas .. 240
Lampiran 3 : Naskah PPID Koleksi Ramli Tinggal di
Tanjungpinang ................................................ 241
Lampiran 4 : Konten Youtube tentang Dongeng I Daramatasia ….242
Lampiran 5 : Sertifikat Proofreading ..................................... 243
Lampiran 6 : Daftar Riwayat Hidup ..................................... 244

xxxii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Tari Mabissu, 58


Gambar 2 Tari Maggiri, 59
Gambar 3 Kittaq Passitalikang Bau Kareba Bajiq (Kitab Perjanjian
Baru Kabar Baik), 66
Gambar 4 Bola-Bola Akkaramekeng (Miniatur Rumah Keramat), 78
Gambar 5 Mappanre Tasiq (Sedekah Laut), 79
Gambar 6 Ziarah Kubur Keramat, Makam Putera Raja Bone di Bali,
80
Gambar 7 Sigajang Laleng Lipa (Tarung Sarung),209

xxxiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mitos, mite, legenda atau sebut saja dongeng sering kali
dipersepsi sebagai cerita-cerita aneh atau lucu, yang umumnya sulit
dipahami, dan sering dilihat sebagai hasil fantasi karena sebagian
besar isinya tidak sesuai dengan kenyataan.1 Dongeng ada di setiap
komunitas manusia di belahan bumi mana pun dan telah diteliti oleh
banyak ahli, bahkan telah ditemukan pola-pola tertentu pada dongeng,
seperti yang dipelopori oleh Vladimir Jakovlevic Propp yang meneliti
dan berhasil memetakan 31 fungsi 100 dongeng Rusia.2
Meski dianggap tidak realistis, dongeng sering kali dianggap
sebagai sesuatu yang suci, wingit, bertuah dan tidak sembarang orang
boleh dan bisa mengaksesnya.3 Tidak jarang dongeng dijadikan narasi
pembenaran, bahkan sebagai sumber kebenaran untuk suatu peristiwa
tertentu. Kisah To Manurung dan Kanjeng Ratu Kidul adalah contoh
untuk kasus ini.4
Naskah Pau-Paunna5 I Daramatasia (PPID) adalah salah satu
dongeng keagamaan Islam yang populer dan mempunyai kedudukan
penting dalam kehidupan orang Bugis, tidak hanya di daerah-daerah
yang berbasis bahasa Bugis di Sulawesi Selatan, tetapi juga di
perantauan.6 Perlu dicatat bahwa naskah dongeng ini belum ditemukan

1
Heddy Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya
Sastra, ed. baru (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), 181.
2
Vladimir Jakovlevic Propp, Morfologi Cerita Rakyat, terj. Noriah
Taslim (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan
Malaysia, 1987).
3
Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss, 181.
4
Ibid. 182.
5
Kajian ini tetap konsisten menggolongkan kisah I Daramatasia ke dalam
genre pau-pau, bukan pau-pau rikadong. Hal ini penulis bahas lebih lanjut pada
bab IV, sub-bab A: Identifikasi PPID: Sastra Pau-Pau.
6
Di tahun-tahun 1970-an, ketika Kampung Pengudang, Pulau Bintan,
Kepulauan Riau, menjadi tujuan perantau-perantau Bugis untuk melakukan
kegiatan semokel (penyelundupan) komoditas karet, gambir, kopra, dan arang

1
2
versi bahasa Makassar-nya,7 baik lisan maupun tulisan, tetapi
memiliki versi bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda.
PPID (Hikayat Darma Tahsiah) dan cerita-cerita yang
bernafaskan Islam semacam Pau-Paunna Indale Patara (Hikayat
Indra Putera), Sureq Makkelluqna Nabitta (Hikayat Nabi Bercukur),
Sureq Panrita Sulesannaé (Hikayat Para Ulama Bijaksana), dan
sebagainya, masuk ke Tanah Bugis bersamaan dengan masuknya
Islam yang dibawa oleh orang-orang Melayu, baik sebagai pedagang
maupun sebagai pendakwah. Cerita-cerita tersebut telah difungsikan
sebagai penyerta dalam dakwah Islam mereka.8
Di antara sekian cerita-cerita keislaman yang telah
bertransformasi ke dalam budaya Bugis tersebut, PPID memiliki
fenomena tersendiri, melebihi cerita-cerita yang lain. Orang Bugis
terus mengapresiasi dongeng ini dengan berbagai cara, seperti

bakau ke Singapura, penulis menyaksikan antusias mereka ketika mendengar


kaset rekaman manual dongeng ini. Kaset rekaman PPID biasanya menjadi oleh-
oleh eksklusif dari Tanah Bugis di saat tape recorder juga masih menjadi barang
mewah. Jika ada hajatan (atau tanpa hajatan), mereka memutar rekaman dongeng
ini sebagai hiburan dan penulis yang masih berusia belasan tahun di antara
mereka larut dalam euforia. Betapa dongeng ini menjadi sangat berharga dalam
menyatukan emosi dan rasa. Dongeng ini terpelihara dengan baik dalam ingatan
kolektif orang Bugis.
7
Paling tidak, hingga penelitian ini diselesaikan, belum penulis temukan
versi Makassar dongeng ini. Makassar adalah etnis yang sangat dekat dengan
etnis Bugis, dan sering kali ditulis bergandengan: Bugis-Makassar. Namun
dongeng perempuan yang bernama I Daramatasia tidak ditemukan dalam cerita
rakyat mereka, baik naskah maupun lisan. Etnis Makassar memiliki tokoh cerita
folklor tersendiri: I Saribulang Daeng Macora, I Basse Panawa-nawa ri
Galesong, Sitti Naharirah, dan I Marabintang. Keempat dongeng tersebut telah
diteliti oleh Ery Iswary, Perempuan Makassar: Relasi Gender dalam Folklor
(Jakarta: Ombak, 2010).
8
Nurhayati Rahman, PAU-PAUNNA Indale Patara: Dari Hindu India,
Islamisasi Melayu, sampai ke Sufisme Bugis (Makassar: La Galigo Press
Makassar, 2014), 1-6.
3
pembacaan ulang,9 mengubah jalan ceritanya,10 menggubahnya
menjadi lagu pop,11 mementaskannya menjadi film pendek,12
mengubahnya menjadi cerita bergambar,13 mengkreasinya menjadi
tarian,14 menyematkan nama tokoh utamanya pada anak-anak
perempuan Bugis.15 Kesemuanya dapat disaksikan di konten-konten
YouTube.
Di kalangan peneliti, dongeng tentang istri yang memotong
rambutnya lalu dianiaya oleh suaminya juga tidak kurang peminatnya,
antara lain, Hendriyani16 meneliti naskah Sunda-nya; Raharjo,17

9
Muh. Tang, “Dara’matasia,” Ruslan Rian, diakses 1 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=4AyOGvgQ9M4&t=16s,.
10
Sri Nur Astri Astuti. “Kisah Daramatasia (Wanita Cantik Berambut
Panjang)- Sri Nur Astri Astuti PBI 3A,” PBI A 19, diakses 1 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=8kkC7mj9z7I&t=8s.
11
A. Rasyid, “Dara Matasia - Nurdin Taqwa (cipt. A. Rasyid) Losquin
Bugis | Bugis Tempo Doeloe, Kecaping Bugis Dulu,” Audio MP3, diakses 1 Juni
2021, https://www.youtube.com/watch?v=jfL2nKdNetM; diakses 1 Agustus
2021, https://www.youtube.com/watch?v=JrZRmHPpmU0; Nhiaa, “Lagu Bugis
Tradisional - Dara Matasia Cover by Nhiaa Feat,” diakses 1 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=t9gsVSDJFcM; Dilla Amelia dkk.,
“Daramatasia | Live Cover by Dilla Amelia, Dian Trieka, Rini RNchannel, Andi
Tasya,” Kamizama Official, diakses 1 Januari 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=pibC98NJ8r8.
12
Sri Nur Astri Astuti, “Film Pendek DARAMATASIA Kisah Nyata di
Tanah Bugis | Cerita Sejarah Terkenal,” Sinar CITTA Online TV, diakses 1
Agustus 2021, https://www.youtube.com/watch?v=8owhzNxA12M&t=77s.
13
Iwan Mineslima, “I Daramatasia | Bugis | DrawStory | Cerita
Bergambar,” Iwan Mineslima, diakses 1 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=YJXJaESOtLY&t=55s.
14
Jumry Anastasya, “Jumry Anastasya – Daramatasia,” Arghy Singh,
diakses 1 Agustus 2021, https://www.youtube.com/watch?v=y79s8xZQRcg.
15
Dara Films, “KISAH DARAMATASIA Pre Wedding Clip Part 1,”
Dara Films, diakses 1 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=U_1ARJSqnq8&t=18s,.
16
Heni Hendriyani, “Wawacan Murtasiyah: Sebuah Tinjauan Filologis,”
Skripsi (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1983).
17
Christianto Rahardjo, “Serat Murtasiyah: Sebuah Telaah Filologis,”
Tesis (Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 1995).
4
Wijanarko18 dan Jandra19 meneliti naskah Jawa-nya; Bua,20 Latif,21
Dafirah,22 Mustari,23 dan Idrus24 meneliti naskah Bugis-nya;
Chanafiah25 dan Rohmatin26 meneliti naskah Melayu-nya.
Melihat fakta orang Bugis merawat dongeng ini dalam memori
kolektif mereka dan minat para peneliti terhadapnya, dapat diduga

18
Fajar Wijanarko, “Gender dan Domestikasi Perempuan (Pendekatan
Kodikologi Visual Naskah Dewi Mutasiyah,” Buana Gender: Jurnal Studi
Gender dan Anak 2, no. 2 (Juli-Desember 2017): 121-134.
19
M. Jandra, “Dewi Murtasiyah Profil Wanita Tama,” Laporan Penelitian
(Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
(Javanologi) 1986/1987).
20
M. As’ad Bua, “I Daramatasia (Transliterasi dan Terjemahan),”
Laporan Penelitian (Ujungpandang: Fakultas Sastra, 1988).
21
Muh. Nur Latif, “Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Naskah I
Daramatasia dan Reseptif Masyarakat Muslim di Kecamatan Polewali
Kabupaten Polewali Mamasa,” Laporan Penelitian (Ujungpandang: Lembaga
Penelitian Unhas, 1995).
22
Dafirah, “Analisis Wacana I Daramatasia: Discourse Analysis of I
Daramatasia,” Tesis (Ujung Pandang: Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, 1999); Dafirah. “Konsep Wanita dalam Naskah Klasik I
Daramatasia,” Laporan Penelitian (Makassar: Fakultas Sastra Unhas, 2000);
Dafirah. “Perbandingan Daramatasia Menurut Versi Naskah Bugis dan Melayu,”
Laporan Penelitian (Makassar: Masyarakat Pernaskahan Nusantara, 2001).
23
Mustari, “Hikayat Daramatasia dalam Tiga Versi Teks: Melayu, Jawa,
dan Bugis (Analisis Unsur Cerita),” Makalah dipresentasikan pada Pertemuan
Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXIII PTN dan PTS Se-Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, di Kampus Universitas Ahmad
Dahlan, 09 s.d. 10 Oktober 2001; Mustari, “I Daramatasia: Suntingan Teks dan
Analisis Transformasi,” Tesis (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM, 2005).
24
Nurul Ilmi Idrus, “‘To Take Each Other’: Bugis Practices of Gender,
Sexuality and Marriage,” Disertasi (The Australian National University, 2003);
Nurul Ilmi Idrus, “Islam, Marriage and Gender Relations in Bugis Lontara’: A
Critical Analysis of the Lontara’ Daramatasia,” dalam Gender and Islam in
Southeast Asia: Women’s Rights Movements, Religious Resurgence and Local
Traditions, ed. Susanne Schröter, London-Boston: Brill, 2013, 95-110; Nurul
Ilmi Idrus, Gender Relation in an Indonesian Society: Bugis Practices of
Sexuality and Marriage (Brill, 2016).
25
Yayah Chanafiah, “Hikayat Darma Tahsiyah: Sebuah Telaah
Filologis,” Tesis (Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadajaran. 1999).
26
Fatkhu Rohmatin, “Dekonstruksi Wacana Patriarki dan Kebungkaman
Perempuan dalam Manuskrip Hikayat Darma Tasiyah,” Jurnal Jumantara 10,
no. 2 (2019): 149-162.
5
bahwa dongeng dengan tokoh utama I Daramatasia27 bukan
merupakan dongeng biasa. Patut diduga bahwa ada hubungan erat
antara dongeng tersebut dan penghayatan nilai-nilai tertentu yang
dipraktikkan oleh orang Bugis. Karena naskah ini tergolong sebagai
naskah keagamaan Islam, maka nilai-nilai itu adalah nilai-nilai adat
siriq na pessé dan nilai-nilai Islam. Dongeng ini telah menjadi
semacam ruang perjumpaan untuk negosiasi dalam rangka
mendamaikan dua nilai yang “terlihat” beroposisi pada struktur
permukaan. Yakni dua nilai yang mengendap kuat dalam kesadaran
kolektif orang Bugis yang dibela dan dipraktekkan dalam waktu yang
bersamaan.
Di samping nilai adat siriq na pessé. orang Bugis sebenarnya,
juga punya prinsip sipakatau (saling memanusiakan). Nilai adat ini
lebih ramah lingkungan karena sama sekali tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Hanya saja, prinsip sipakatau ini, sebagaimana
dibuktikan oleh Subhan, mulai pudar karena tidak terwariskan dengan
baik kepada generasi muda saat ini28 dan tidak ditemukan
implementasinya dalam PPID.
Mengamalkan nilai-nilai adat siriq na pessé (kehormatan dan
solidaritas) dengan baik sambil menjalankan Islam dengan teguh bagi
orang Bugis adalah sebuah kemungkinan. Jika tidak, ia akan timpang.
Namun, untuk mendamaikan kedua prinsip yang kadang-kadang
“bersitegang” secara diametral, bukan pula jadi pekerjaan yang
mudah. Siriq adalah nilai adat Bugis yang salah satu implementasinya
sering berakhir dengan pertumpahan darah, membunuh atau terbunuh,
yang tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang juga dianut
oleh sebagian besar orang Bugis. Dibutuhkan sebuah nilai/prinsip lain
yang bisa mendamaikan keduanya. Di sinilah peran penting nilai pessé
dalam memaknai pesan filosofis yang takkasatmata dari dongeng
PPID. Dengan demikian, kajian ini menjadi penting dan menjadi

27
Di naskah Melayu, tokoh ini bernama Darma Tahsiyah, di naskah Jawa
bernama Dewi Murtasiyah, dan di naskah Sunda bernama Murtasiyah.
28
Subhan Bakri, “Sipakatau dalam Masyarakat Bugis Bone Perspektif
Al-Qur’an,” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 5, no. 2 (2020): 254-
271.
6
pembeda dari penelitian-penelitian terdahulu dengan tiga kata kunci:
siriq, pessé, dan Islam,
Etnis Bugis dan etnis Makassar sering disebut bergandengan,
Bugis-Makassar, dalam konteks budaya, terutama dalam penghayatan
terhadap nilai-nilai adat siriq na pessé (Bugis), siriq na paccé
(Makassar). Namun, tidak demikian dalam penerimaan Islam. Orang
Makassar lebih dahulu menerima Islam dan berjalan mulus karena
Kerajaan Goa-Tallok (yang berbasis bahasa Makassar) memang
meminta dikirimi ulama dari Johor di abad ke-17.29 Tidak demikian
dengan kerjaan Bugis yang bergabung dalam persekutuan Kerajaan
Tellumpocco é (Bone, Soppeng, Wajo). Kerajaan persekutuan ini
menolak keras ajakan Makassar untuk menerima Islam sehingga
terjadilah “perang pengislaman” yang lebih dikenal dengan Musu
Selleng.30 Belakangan, ketika tiga kerajaan Bugis tersebut kalah dan
menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat,
hampir semua sendi kehidupan orang Bugis diwarnai oleh nilai-nilai
Islam yang berdampingan dengan nilai-nilai budaya, termasuk nilai-
nilai adat siriq na pessé. Tidak tanggung-tanggung, Islam bahkan
masuk ke dalam sistem pangadêrêng (pranata yang mengatur
kehidupan orang Bugis) dan menjadi unsur terakhir yang dikenal
dengan saraq (syariat Islam).31
Namun, meski sudah menjadi agama resmi di kerajaan
persekutuan Tellumpocco é, tetap saja ada penolakan dari sebagian

29
Cristian Pelras, Manusia Bugis, terj. Abdul Rahman Abu Hasriadi dan
Nurhady Sirimorok (Jakarta: Forom Jakarta-Paris, École françiase d’Extrême-
Orient, 2006), 158-159.
30
Rahmawati Rahma, “Musu’ Selleng dan Islamisasi dalam Peta Politik
Islam di Kerajaan Bone,” Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan 6, no. 1
(2018): 132-140; Bahtiar, “Hubungan Politik Antarkerajaan: Gowa dengan
Bone, Soppeng, Wajo (Tellumpocco),” WALASUJI 10, no. 2 (Desember 2019):
251-267; Aslan Abidin, “Islam dalam Perubahan Nama Diri Suku Bugis,”
IBDA’: Jurnal Kebudayaan Islam 14, no. 2 (Juli-Desember 2016): 242-254.
31
Muhmmad Sabiq, “Nilai-Nilai Sara’ dalam Sistem Pangadêrêng pada
Prosesi Madduta Masyarakat Bugis Bone Perspektif ‘Urf,” Tesis (Malang:
Pascasarjana UIN Maulana Malaik Ibrahim, 2017). Lihat juga Fikri, “Refleksi
Sistem Pangngaderreng dalam Sosial Budaya Bugis-Makassar: Analisis Putusan
Pengadilan Agama,” Jurnal Al-‘Adl 9, no. 2 (Juli 2016): 107-127.
7
komunitas orang Bugis. Alih-alih menerima Islam, mereka lebih
memilih menyingkir meninggalkan desa mereka, Towani, Wajo
menuju ke Desa Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten
Sidenreng-Rappang di Sulawesi Selatan. Mereka dikenal sebagai
orang Bugis penganut kepercayaan Towani-Tolotang. 32
Penolakan model kerajaan persekutuan Tellumpocco é dan
penolakan masyarakat Tolotang terhadap Islam merupakan dua model
oposisi antara nilai-nilai adat siriq na pessé versus nilai-nilai Islam. Di
dunia sastra Bugis, terjadi pula oposisi yang tak kasat mata seperti
yang terdapat pada dongeng PPID. Model oposisi ini lebih rumit untuk
difahami, karena ia bersembunyi di balik “deep structure/struktur
dalam” cerita.
Sebuah oposisi33 tidak mementingkan kemenangan atau
kekalahan sebagai hasil akhirnya. Yang penting adalah memahami
makna oposisi yang saling berhadap-hadapan tersebut dan itu harus
dibongkar secara halus. Untuk memahaminya, perlu analisis dengan
menggunakan teori, pendekatan, dan metode tertentu yang dapat
menghubungkan karya sastra dengan latar penciptaannya, antara
struktur sastranya dan struktur pemikiran pendukungnya.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, objek kajian
penelitian ini adalah nilai-nilai adat siriq na pessé dan nilai-nailai
Islam yang terdapat dalam naskah klasik Pau-paunna I Daramatasia
dengan rumusan masalah sebagai berikut:

32
H.M. Atho Mudzhar, “Masjid dan Bakul Keramat: Konflik dan
Integrasi dalam Maysarakat Bugis Amparita,” dalam Pendekatan Studi Islam
dalam Teori dan Praktek, ed. H.M. Atho Mudzhar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998, 145; Ansaar dan Bahtiar, “Procedures of Land Disputes Settlements in
Towani Tolotang Traditional Community in Sidrap Regency,” WALASUJI:
Jurnal Sejarah dan Budaya 12, no. 1 (Juni 2021): 113-125; Hasse J., “Kebijakan
Negara terhadap Agama Lokal ‘Towani Tolotang’ di Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan,” Jurnal Studi Pemerintahan 1, no. 1 (Agustus 2010): 158-178.
33
Istilah “oposisi” dalam konteks kajian ini bisa dipertukarkan dengan
istilah “perjumpaan” dua nilai dalam PPID. Sebuah perjumpaan bisa
berimplikasi pada banyak peristiwa: persahabatan, saling menguatkan,
pertentangan, dan pelokan.
8
1. Bagaimana bentuk relasi antara nilai-nilai adat siriq na pessé
dan nilai-nilai Islam dalam naskah klasik Pau-paunna I
Daramatasia?
2. Mengapa Orang Bugis menambah episode di awal dan di akhir
cerita Pau-paunna I Daramatasia bila dikaitkan dengan nilai-
nilai adat siriq na pessé dan nilai-nilai Islam?
3. Apa makna filosofis perjumpaan antara nilai-nilai adat siriq na
pessé dan nilai-nilai Islam dalam naskah klasik Pau-paunna I
Daramatasia bagi orang Bugis?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Penelitian ini memiliki dua tujuan: Tujuan teoretis dan tujuan
praktis.
Tujuan Teoretis penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk relasi antara nilai-nalai adat
siriq na pessé dan nilai-nilai Islam dalam naskah klasik Pau-
paunna I Daramatasia.
2. Mendeskripsikan alasan orang Bugis menambah episode di
awal dan diakhir cerita Pau-paunna I Daramatasia yang
bertolak dari nilai-nilai adat siriq na pessé dan nilai-bilai Islam.
3. Menafsirkan dan mendeskripsikan makna filosofis perjumpaan
antara nilai-nilai adat siriq na pessé dan nilai-nilai Islam dalam
naskah klasik Pau-paunna I Daramatasia.

Sementara tujuan praktisnya adalah:


1. Menambah wawasan dan pengalaman penulis dalam meneliti
naskah klasik keagamaan Islam Bugis, khususnya naskah Pau-
paunna I Daramatasia dengan teori antropologi strukturalisme
Lévi-Strauss.
2. Menambah pustaka bagi peminat kajian sastra dan budaya
dengan perspektif antropologi.

D. Kajian Pustaka
PPID merupakan cerita yang sangat populer dan memiliki posisi
penting di dalam kehidupan orang Bugis di Sulawesi Selatan maupun
9
di perantauan. Dalam bentuk naskah, cerita ini memiliki tiga versi,
yaitu versi Bone, Barru, dan Pangkep. Di samping tertulis dalam
bentuk naskah, cerita itu juga diapresiasi oleh orang Bugis dalam
bentuk film pendek, cerita bergambar, tarian, dan sebagainya.
Di kalangan akademisi, PPID mulai menjadi perhatian ketika
As’ad Bua34 menyunting dan menerjemahkan lontaraq ini. Suntingan
Bua ini penting karena merupakan garapan filologis yang paling
fundamental. Suntingan Bua dilanjutkan oleh Nur Latif.35 Dengan
memanfaatkan hasil suntingan Bua, kajian Latif ini menghubungkan
PPID dengan masyarakat muslim Kecamatan Polewali-Mamassa.
Latif menemukan adanya nilai-nilai Islam dalam naskah yang diresapi
oleh masyarakat muslim di daerah tersebut. Ini adalah kajian pertama
yang menghubungkan PPID dengan masyarakat muslim pemilik
naskah.
Dafirah pada tahun 199936 melakukan kajian terhadap PPID
dengan menghubungkannya dengan teori wacana. Penelitiannya
menyimpulkan bahwa 1) PPID merupakan tipe wacana naratif; 2)
partisipan yang mendukung terdiri dari partisipan utama dan
partisipan penunjang yang semuanya berjumlah 17 partisipan dan
setiap partisipan memiliki referensi dan inferensi; 3) alur yang
membangun wacana ini terdiri atas struktur alur lahir dan struktur alur
batin yang keduanya memiliki hubungan; 4) informasi yang
terkandung dalam PPID berupa peristiwa dan hal yang bukan
peristiwa.
Pada tahun 2000, Dafirah mengulang kajiannya dengan fokus
pada konsep wanita dalam PPID.37 Ia menyimpulkan bahwa tokoh I
Daramatasia merupakan sosok wanita yang amat setia dan patuh
kepada suami, bahkan cenderung memuja suami sedemikian rupa. Di
sisi lain, suami I Daramatasia, Séheq Bilema’rupi, merupakan sosok
suami yang terburu-buru dalam mengambil keputusan dan tindakan
sehingga menjadikan ia sebagai suami yang semena-mena kepada

34
Bua, “I Daramatasia (Transliterasi dan Terjemahan).”
35
Latif, “Akulturasi Nilai-Nilai Islam.”
36
Dafirah, “Analisis Wacana I Daramatasia.”
37
Dafirah, “Konsep Wanita dalam Naskah Klasik.”.
10
istri. Dafirah juga menyimpulkan bahwa PPID mengandung banyak
pesan moral, antara lain, kepatuhan anak kepada orang tua,
pengabdian istri kepada suami, kasih sayang orang tua kepada anak,
dan ketaatan hamba kepada Allah dan Rasul-Nya. Dafirah belum
mencoba menghubungkannya dengan persepsi masyarakat pemilik
dongeng ini.
Tidak berhenti sampai di situ, pada tahun 2001, Dafirah kembali
menggarap lontaraq ini untuk yang ketiga kalinya.38 Kali ini,
penelitiannya fokus pada perbandingan dua versi naskah: Bugis dan
Melayu, yang disusun dalam rangka kegiatan Masyarakat
Pernaskahan Nusantara (Manassa). Dalam menyunting versi Bugis, ia
memanfaatkan tiga buah lontaraq, yaitu (1) Koleksi Kanijah yang
ditemukan oleh As’ad Bua, (2) Koleksi Yambe yang sudah
dimikrofilmkan dan tersimpan di Arsip Nasional RI (ANRI) Wilayah
Sulawesi Selatan di Makassar, dengan kode roll 36 No. 19, (3) Koleksi
yang sudah dimikrofilmkan dan disimpan di Perpustakaan ANRI
Wilayah Sulawesi Selatan di Makassar dengan kode roll 17 No. 17.
Adapun naskah versi bahasa Melayu, Dafirah memanfaatkan hasil
kerja Chanafiah39 yang telah melakukan kerja filologis terhadap 7
naskah. Dari perbandingan itu, Dafirah menyimpulkan bahwa (1)
ditemukan sejumlah variasi baik yang berbahasa Bugis maupun yang
berbahasa Melayu; (2) meskipun terdapat variasi, baik pada versi
Bugis maupun Melayu tetap dapat disusun versi suntingan, sebuah
yang berbahasa Bugis dan sebuah yang berbahasa Melayu; (3) setelah
versi Bugis dan Melayu dibandingkan, ditemukan persamaan dan
perbedaan. Pada versi Bugis ditemukan adanya pengembangan cerita,
terutama pada bagian akhir; (4) pada versi Bugis lainnya yang bukan
suntingan, ditemukan lebih banyak pengembangan cerita bukan hanya
di akhir, melainkan juga pada awal cerita; (5) pengembangan tersebut
dilakukan mengingat fungsi dan kedudukan PPID bagi orang Bugis di
Sulawesi Selatan; (6) terakhir, Dafirah menyimpulkan bahwa cerita
dalam versi Bugis merupakan pengembangan dari teks versi Melayu
yang lebih dulu ditulis.

38
Dafirah, “Perbandingan Daramatasia.”
39
Chanafiah, “Hikayat Darma Tahsiyah.”
11
Melanjutkan penelitian di atas, Mustari40 membuat kajian
dengan menganalisis unsur cerita pada tiga versi naskah: Melayu,
Jawa, dan Bugis. Mustari tidak melakukan suntingan, kecuali
memanfaatkan suntingan Dafirah41 yang berbahasa Bugis,
Chanafiah42 yang berbahasa Melayu, dan Jandra43 yang berbahasa
Jawa. Kesimpulan makalah ini adalah (1) ketiga-tiganya merupakan
saduran dari bahasa lain, bukan dari bahasa Melayu, Bugis, dan Jawa,
kemungkinan dari bahasa Persia; (2) dalam transformasinya, dongeng
ini telah mengalami proses interaksi dan saling mengisi antara cerita
dan budaya setempat. Hasilnya adalah cerita yang bernuansa budaya
lokal sangat dominan pada versi bahasa Jawa dan Bugis, sementara
pada versi bahasa Melayu tidak demikian, kecuali mengikuti konvensi
sastra Melayu; (3) di antara ketiganya, versi bahasa Bugis yang paling
panjang unsur ceritanya karena adanya penambahan di awal dan di
akhir cerita.
Pada tahun 2005, Mustari melanjutkan kajiannya dalam bentuk
tesis yang dipertahankan di Sekolah Pascasarjana UGM.44 Dalam
kajian filologis ini, Mustari memanfaatkan tujuh naskah PPID dan
berhasil mengelompokkannya ke dalam 3 versi suntingan, yakni versi
Bone, versi Barru, dan versi Pangkep. Penamaan versi ini berdasarkan
daerah ditemukannya naskah lalu dibandingkan dengan naskah lain
berdasarkan kesamaannya. Dengan menggunakan metode landasan,
dipilih satu naskah untuk menjadi landasan bagi naskah-naskah lain
yang serupa tersebut sehingga jadilah naskah suntingan tersebut
menjadi tiga versi seperti disebut di atas.
Kajian Mustari ini fokus pada suntingan naskah lalu melihat
fungsinya di masyarakat pendukungnya. Simpulannya adalah bahwa
dongeng I Daramatasia telah dijadikan semacam simbol perlawanan
terhadap dominasi laki-laki di hadapan perempuan dan dominasi
budaya asing di hadapan budaya Bugis. Perlawanan itu dapat diamati

40
Mustari, “Hikayat Daramatasia.”
41
Dafirah, “Perbandingan Daramatasia.”
42
Chanafiah, “Hikayat Darma Tahsiyah.”
43
Jandra, “Dewi Murtasiyah Profil Wanita.”
44
Mustari, “I Daramatsiya: Suntingan Teks.”
12
pada unsur-unsur cerita tambahan bernuansa Bugis yang dimasukkan
ke dalam PPID. Temuan Mustari pada kajian ini menarik untuk
dilanjutkan karena ada hal penting untuk diungkap. Hal penting itu
adalah makna filosofinya jika dikaitkan dengan model keberbudayaan
dan keberagamaan orang Bugis selaku pemilik dongeng ini.
Nurul Ilmi Idrus adalah peneliti lain yang melihat pentingnya
membahas hubungan perkawinan dan relasi gender dan kaitannya
dengan ajaran Islam dalam PPID.45 Idrus membuktikan bahwa
sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan membawa pesan-pesan
ideal hubungan suami istri, orang Bugis sudah punya pedoman yang
terekam dalam lontaraq Assikalaibinéngeng (Bugis Marital Life),
naskah persetubuhan orang-orang Bugis.46 PPID, menurut Idrus, telah
membawa pesan-pesan Islam dalam hal hidup berumah tangga.
Namun, Idrus juga menemukan banyak inkonsistensi terhadap ajaran
Islam. Rujukan-rujukan PPID kepada Allah dan Rasul-Nya hanyalah
digunakan sebagai alat legitimasi terhadap praktik pernikahan,
persoalan yang menonjol yang terdapat dalam lontaraq dimaksud.47
Pada tahun 2015, Idrus kembali merujuk PPID ketika
melakukan penelitian lapangan tentang praktik seks dalam
perkawinan di kalangan orang Bugis.48 Menurut Idrus, Lontaraq
Daramatasia merupakan lontaraq Assikalaibinéngeng yang narasinya
sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab, ditulis pada abad ke-20.
Lontaraq ini membahas tentang dinamika hubungan suami istri dan
menawarkan bimbingan perkawinan.49 Idrus menemukan sejumlah
pesan yang dibawa lontaraq ini, tetapi pesan utamanya adalah istri
harus patuh kepada suaminya. Misalnya, Daramatasia dihadiahi

45
Idrus, “Islam, Marriage and Gender.”
46
Lontaraq Assikalaibinéngeng ini telah banyak menyita perhatian
peneliti baik dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu darinya adalah
disertasi yang digarap oleh Muhlis Hadrawi yang kemudian dibukukan dengan
judul Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis, cet. ke-5 (Makassar:
Ininnawa, 2017).
47
Idrus, “Islam, Marriage and Gender,” 96.
48
Idrus, Gender Relations.
49
Idrus, Gender Relations, 150.
13
beberapa keistimewaan dari surga oleh Tuhan selama perjalanannya.
Pemberian keistimewaan itu sebagai imbalan karena menjadi istri
yang patuh. Sebelum ia diminta untuk kembali ke suaminya, dia dibuat
lebih cantik, yang mencerminkan pentingnya kecantikan dari seorang
istri. Tidak ada perbuatan yang lebih baik dari kepatuhan dan
ketundukan seorang istri kepada suami dan itu jaminannya adalah
surga Allah Taala. Pesan ini dipertegas oleh pesan I Daramatasia
sendiri di dalam lontaraq tersebut.
[O] pada-padakkuq makkunrai, patuju laloi kasuwiammu
rilakkaimmu. Rimakkedanna Nabi s.a.w. naia makkunraié
ilaleng paréntanai lakkainna. Makkedda toi Nabitta s.a.w., déq
amalaq masero lebbiq nennia masero décéng napogauq
makkunraié engkaé lakkainna sangngadinna tuman-ingiéngngi
passurona lakkainna napoéloq é.50

Kepatuhan melulu hanya untuk suami, bukan sebaliknya. Jika


itu dilanggar, suami mendapat legitimasi untuk melakukan kekerasan
terhadap istri. Kepatuhan ini diilhami oleh penafsiran terhadap Q.S.
An-Nisa’ [4]: 34. Menurut Idrus, pesan idealisme perkawinan menurut
Islam akhirnya tidak tercapai.51
Dari sudut teori pembacaan, Fatkhu Rohmatin52 menemukan
simpulan yang berbeda dari pembacaan-pembacaan peneliti terdahulu.
Meski manuskrip yang ia baca adalah versi yang berbahasa Melayu,
yang lebih pendek dari versi yang berbahasa Bugis, esensi ceritanya
adalah sama, yakni kisah perempuan yang memotong rambutnya lalu
mengalami KDRT dan pengusiran. Temanya saya: kepatuhan tanpa
tedeng aling-aling istri kepada suami. Dengan pembacaan
dekonstruksi J. Derrida, Rohmatin berhasil menemukan sikap mandiri
dan pemberontakan tokoh Darma Tahsiyah. Keputusannya untuk
memotong rambutnya tanpa seizin suaminya dan keberaniannya
mengasingkan diri adalah bentuk keberanian dalam menentukan sikap
terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, kajian ini akan
melengkapi kajian-kajian di atas dengan fokus yang berbeda.

50
Idrus, Gender Relations, 154.
51
Idrus, Gender Relations, 154.
52
Rohmatin, “Dekonstruksi Wacana Patriarki.”
14
E. Kerangka Teoretis: Paradigma Strukturalisme Claude
Lévi-Strauss
Dalam disiplin antropologi, dikenal adanya dua penafsiran
terhadap gejala kebudayan, yakni antropologi struktural dan
antropolig hermeneutik. Keduanya memiliki kesamaan pada asumsi
dasarnya, sehingga meskipun berbeda, keduanya bisa saling mengisi
dan saling melengkapi.53 Analisis struktural diperkenalkan oleh
Claude Lévi-Strauss (1908-2009) sementara analisis hermeneutik
diperkenalkan oleh Clifford James Geertz (1926-2006).
Kelemahan analisis struktural menurut Ahimsa-Putra terletak
pada “kuatnya kecenderungan pada diri si penelaah untuk menemukan
dan menggambarkan struktur tertentu yang diyakini adanya di balik
fenomena yang di analisis.”54 Akibatnya, si peneliti kadang-kadang
mengabaikan tafsir-tafsir simbolik non-struktural yang mungkin bisa
diberikan pada unsur-unsur fenomena yang sedang dianalisis. Tidak
heran jika kemudian muncul kesan bahwa analisis struktural terasa
“kering” dan hanya mampu menemukan “tulang-belulang” sambil
melupakan “dagingnya”.55
Sementara itu, kekurangan analisis antropologi hermeneutik
adalah “tingginya unsur subjektivitas peneliti dalam menafsirkan
suatu fenomena, sehingga hampir segala macam tafsir dimungkinkan,
sebagaimana tampak dalam berbagai analisis tafsiriah (interpretative)
para ahli antropologi atas mitos, rituil dan berbagai fenomena budaya
lainnya”.56 Hal ini memang dimungkinkan karena penafsiran terhadap
sebuah fenomena dalam antropologi hermeneutik dibangun di atas
elemen-elemen tafsir yang sangat subjektif.57
Untuk mengatasi kelemahan kedua pendekatan itu, Ahimsa-
Putra menawarkan sebuah perspektif yang merupakan gabungan
keduanya, yakni sturuktural-hermeneutik.58 Hal itu diterapkan pada

53
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan
Karya Sastra, Edisi Baru (Yogyakarta: Kepel, 2006), 254.
54
Ibid.
55
Ibid., 254-255.
56
Ibid., 154.
57
Ibid.
58
Ibid., 153.
15
artikelnya ketika menganalisis karya-karya sastra Umar Kayam: “Sri
Sumarah”, “Bawuk”, dan “Para Priyayi”.59
Menurut penulis, dalam menafsirkan sebuah gejala kebudayaan,
termasuk karya sastra yang berupa dongeng, metode hermeneutik
memang penting digunakan. Hal itu pulalah yang penulis lakukan
dalam menganalisis PPID ini. Hermeneutik berasal dari bahasa
Yunani, “hermeneuein” yang berarti “menafsirkan”. Dengan
demikian, nomina hermenia secara harfiah dapat dimanknai sebagai
interpretasi atau penafsiran.60 Istilah hermeneuein itu sendiri diambil
dari nama tokoh mitologi Yunani, Hermes, seseorang yang bertugas
menyampaikan pesan-pesan dewa dari Gunung Olympus kepada
manusia.61
Teori hermeneutik berasal dari kajian sastra dan bahasa.
Penerapannya sebagai sebuah pendekatan ilmian berkembang cukup
luas pada ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah, hukum, agama,
filsafat, dan antropologi.62 Pendapat ini sejalan dengan pandangan
Dilthey yang menegaskan bahwa ilmu tentang kehidupan manusia
(live sciences) memerlukan hermeneutik.63
Pentingnya pendekatan hermeneutik dalam Antropologi sudah
ditegaskan pula oleh Ricouer, bahwa penafsiran terhadap dokumen
sastra berkaitan dengan penafsiran studi kebudayaan secara umum. 64
Artinya, dalam penafsiran karya sastra, harus pula melibatkan
penafsiran konteks budayanya.
PPID adalah dongeng tidak asli dari budaya Bugis. Menurut
Jandra,65 dongeng ini diduga berasal dari Persia/Timur Tengah masuk

59
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Umar Kayam dan Jaring Semiotik
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 40-92.
60
Moh. Soehadha, “Teori Antropologi Hermeneutik C. Geertz dalam
Studi Agama,” dalam Fakta dan Tanda Agama: Suatu Tinjauan Sosio-
Antropologi (Yogyakarta: FUPI UIN Suka Bekerjasama dengan Diandra Pustaka
Indonesia, 2014), 80.
61
Ibid.
62
Ibid.
63
Ibid.
64
Paul Ricoeur, Hermeneutics & The Human Sciences (Cambridge:
Cambridge University Press, 1984), 73.
65
Jandra, “Dewi Murtasiyah Profil Wanita Tama”.
16
ke dunia Melayu. Dari Melayu bertransformasi ke Budaya Bugis,
Jawa, dan Sunda. Dengan demikian, ia sudah tercerabut dari konteks
budayanya yang asli. Meski dimikian, ciri-ciri ke-Persi-an atau ke-
Timur Tengah-annya masih tersisa dalam narasi-narasinya yang
mengindikasikan sebuah perjumpaan dua nilai yang saling beroposisi.
Struktur oposisi itulah yang dipetakan dalam kajian ini lalu
dsitafsirkan dengan pendekatan hermeneutik atas bantuan data-data
konvensi sastra, etnografi, dan budaya Bugis. Dan menurut Ahimsa-
Putra, analisis oposisi semacam ini lebih tepat menggunakan
paradigman strukturalisme Lévi-Strauss.66
Dalam strukturalisme Lévi-Strauss, terkandung konsep dasar,
yakni “struktur” dan “transformasi struktur”. Struktur adalah acuan
yang dibuat oleh peneliti untuk memahami atau menjelaskan gejala
budaya yang dianalisis dan tidak ada hubungannya dengan fenomena
empiris budaya itu sendiri.67 Pola ini merupakan relasi yang saling
berhubungan atau berpengaruh satu sama lain. Dengan kata lain,
struktur adalah sistem relasi. Struktur dalam analisis acuan ini dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu “struktur permukaan” dan “struktur
dalam”. “Struktur permukaan” adalah hubungan antara faktor-faktor
yang dapat dibangun atas dasar sifat eksternal atau empiris dari
hubungan ini dan “struktur dalam” adalah pengaturan tertentu yang
dibangun di atas struktur permukaan yang ada yang telah berhasil
dibuat sebelumnya, tetapi tidak selalu tampak, dalam aspek
eksperimental dari fenomena yang diselidiki.68
Dalam konsep Lévi-Strauss, makna “transformasi” bukanlah
“perubahan” seperti yang biasa disematkan pada kosakata ini. Dalam
bahasanya Ahimsa, “transformasi” adalah alih-rupa atau malih rupa.
Artinya, dalam transformasi, yang berlangsung adalah sebuah
perubahan pada tataran permukaan, sedang pada tataran yang lebih
dalam, perubahan itu tidak ada. Transformasi, dengan demikian, tidak

66
Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss, 183.
67
Claude Lévi-Strauss, Antropologi Struktural, terj. Ninik Rochani
Sjams, cet. ke-4 (Bantul: Kreasi Wacana, 2013), 378-379; Ahimsa-Putra,
Strukturalisme Levi-Strauss:, 61.
68
Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss, 61.
17
lain adalah alih-kode. Dengan dua konsep dasar tersebut, pertanyaan
yang diajukan dalam menghadapi fenomena budaya adalah apakah
fenomena tersebut berstruktur? Seperti apa strukturnya? Bagaimana
transformasi strukturalnya?69
Selain dua konsep dasar di atas, ada beberapa asumsi dasar yang
dikembangkan dalam strukturalisme Lévi-Strauss. Pertama, dalam
strukturalisme, ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan
hasilnya, seperti dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem
kekerabatan, perkawinan, pola tempat tinggal, dan pakaian, secara
formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa atau tepatnya
merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan
tertentu. Karenanya, di sana terdapat ketertataan (order) serta
keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut.70
Kedua, penganut strukturalisme berpendapat bahwa di dalam
diri manusia “normal” terdapat kemampuan dasar yang diwariskan
secara genetis, yaitu kemampuan untuk menstruktur (structuring),
menyusun suatu struktur, atau “menempelkan” suatu struktur tertentu
pada gejala-gejala yang dihadapinya. Kemampuan fitrawi (inherent
capacity) terdesain sedemikian rupa sehingga berbagai macam
kemungkinan penstrukturan tersebut tidak lantas menjadi tanpa batas,
melainkan membuat manusia “seolah-olah” mampu “melihat” struktur
di balik berbagai macam gejala budaya.71
Ketiga, penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-
relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain
pada titik waktu tertentu menentukan makna fenomena tersebut.
Dengan kalimat lain, relasi sinkronislah yang menentukan makna,
bukan relasi diakronisnya. Dalam telaah ini, suatu fenomena atau
sistem, relasi sinkronisnya ditempatkan mendahului relasi
diakronisnya. Dengan demikian, sebelum perkembangan suatu sistem

69
M. Lane, “Introduction,” dalam M. Lane (ed.), Introduction to
Structuralism (New York: Basic Book, 1970), 14; Ahimsa-Putra, Strukturalisme
Levi-Strauss, 65-66.
70
Lane, “Introduction,” 66; Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss,
66.
71
Lane, “Introduction,” 14; Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss,
67.
18
atau fenomena diketahui secara diakronis, harus diketahui lebih
dahulu kondisi sinkronisnya atau relasi-relasinya dengan fenomena
yang lain dalam suatu titik waktu tertentu.72
Keempat, relasi-relasi yang berada pada “struktur dalam” dapat
diperas atau disederhanakan menjadi oposisi berpasangan (binary
oppoSittion). Pada oposisi binari ini, paling tidak ada dua pengertian:
(a) oposisi binari yang bersifat eksklusif, seperti “menikah” dan “tidak
menikah”; (b) oposisi binari yang tidak eksklusif yang ditemukan
dalam berbagai macam kebudayaan, seperti air-api, gagak-elang,
siang-malam, mentari-rembulan. Logikanya, oposisi-oposisi tersebut
memang tidak eksklusif, tetapi dalam konteks-konteks yang khusus,
mereka yang menggunakannya menganggapnya eksklusif,
sebagaimana terlihat pada mitos-mitos yang dianalisis oleh Lévi-
Strauss.73 Dengan paradigma strukturalisme di atas, Lévi-Strauss
beranggapan bahwa peneliti tidak hanya akan dapat mengungkapkan
“makna-makna” (dalam pengertian simbolis dan semiotis), tetapi juga
akan mampu mengungkapkan logika yang ada di balik fenomena
budaya itu.74
Untuk memahami, menafsirkan, dan mencari makna filosofis
oposisi budaya terhadap perilaku-menyimpang dari ajaran Islam yang
terdapat dalam isi teks PPID, perlu kiranya menggunakan beberapa
pendekatan, antara lain agama (Islam), etnografi (budaya), gender
(kesamaan hak jenis kelamin), semiotik (pemaknaan tanda), dan
hermeneutik (penafsiran teks).

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas,
penelitian ini tergolong dalam kategori penelitian kepustakaan dengan

72
Lane, “Introduction,” 15; Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss,
68-69.
73
Lane, “Introduction,” 16; Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss,
69.
74
Lane, “Introduction,” 16; Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss,
69.
19
analisis kualitatif yang bermaksud menghasilkan pemahaman
mendalam terhadap PPID yang menjadi objek materialnya.
Penelitian kepustakaan merupakan jenis penelitian kualitatif.
Yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
dilakukan hanya berdasarkan atas karya tertulis—namun tidak
selalu75—termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun yang
belum dipublikasikan. Contoh-contoh penelitian semacam ini adalah
penelitian sejarah, penelitian pemikiran tokoh, penelitian (bedah)
buku dan berbagai contoh lain penelitian yang berkaitan dengan
kepustakaan, termasuk penelitian karya sastra.
Salah satu tujuan penelitian kepustakaan adalah untuk
mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam
material yang terdapat di ruangan perpustakaan (baik perpustakaan
yang dikelola oleh institusi maupun koleksi pribadi) dan internet,
seperti buku-buku, majalah-majalah, dokumen-dokumen, catatan-
catatan, rekaman-rekaman audio visual, dan kisah-kisah sejarah.
Dengan demikian, data-data penelitian ini akan diperoleh dari data-
data kepustakaan baik yang diperoleh dari perpustakaan instansi
tertentu maupun koleksi pribadi dan internet.

2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
penelitian ini adalah PPID versi Bone yang telah disunting oleh
Mustari pada tahun 2005. Adapun sumber sekunder data-data lain
yang berkaitan dengan penelitian ini baik berupa buku-buku, jurnal,
disertasi, tesis, skripsi, hasil penelitian, majalah, koran, dan termasuk
yang diperoleh dari internet, seperti e-book, e-jurnal, dan website.

3. Langkah-Langkah Penelitian
Karena sumber data penelitian ini adalah PPID yang sudah
penulis garap secara filologis tahun 2005, penulis tinggal memilih
salah satu di antara tiga versi yang sudah penulis sunting. Pilihan jatuh

75
Jika diperlukan, data penelitian kepustakaan dapat juga didapatkan
dari lapangan, khususnya jika objek kajian termasuk tradisi-tradisi lisan.
20
pada PPID versi Bone yang sudah diterjemahkan pula dengan
beberapa pertimbangan yang penulis jelaskan di Bab V. Setelah
menentukan pilihan versi, penulis baca kembali untuk memahami
alurnya. Langkah selanjutnya adalah memenggal-menggal ceritanya
menjadi beberapa episode dalam rangka menentukan ceritemenya.
Setelah itu, memetakan struktur oposisi yang ada dalam PPID
berdasarkan teori strukturalisme Lévi-Strauss yang sudah
dimodifikasi oleh Heddy Sri-Ahimsa.76 Kemudian melakukan analisis
dan menemukan makna filosofis di balik oposisi-oposisi tersebut.
Terakhir, melakukan penyimpulan penelitian.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan. Oleh
karenanya, metode pengumpulan datanya adalah dengan metode
dokumentasi. Teknik pengumpulan data dengan metode dokumentasi
ini memang paling banyak dan paling menonjol digunakan dalam
penelitian kualitatif. Menurut Basri MS, kata “dokumentasi”
sesungguhnya tidak hanya mengandung dokumentasi semata, tetapi
mencakup pengertian yang lebih luas. Ini meliputi berbagai sumber
sejarah, seperti karya-karya ilmiah, kitab-kitab, dokumen, arsip,
majalah, koran, bahkan catatan-catatan pribadi.77 Metode ini
digunakan untuk mengumpulkan data-data penelitian baik dari sumber
primer maupun sumber sekunder.

4. Triangulasi
Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan metode
triangulasi. Triangulasi pada hakikatnya adalah pendekatan
multimetode yang dilakukan peneliti saat mengumpulkan dan
menganalisis data. Hal ini ditempuh agar fenomena yang yang diteliti
dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat

76
Heddy Ahimsa-Putra, “Analisis Struktural Dongeng Bajo,” dalam
Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Galang
Press, 2001); Heddy Ahimsa-Putra, “Analisis Struktural Dongeng Bajo,” dalam
Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra, ed. baru (Yogyakarta:
Kepel Press, 2006).
77
Basri MS., Metodologi Penelitian Sejarah, Teori dan Praktek (Jakarta:
Restu Agung, 2006), 58; Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Yogyakarta:
Rineka Cipta, 1993), 60.
21
tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Mengumpulkan data
dan memotret fenomena tunggal dari anggel yang berbeda akan
memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Karena itu,
menurut Mudji Rahardjo, “triangulasi ialah usaha mengecek
kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai
sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi
sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan
analisis data.”78
Dalam kasus penelitian ini, triangulasi dalam pengumpulan data
ditempuh dengan dua cara, yakni melalui kepustakaan dan wawancara
tak berstruktur kepada pihak-pihak yang ada hubungannya dengan
objek kajian. Sementara itu, analisisnya ditempuh dari berbagai sudut
pandang, antara lain, mempergunakan berbagai macam pendekatan
(aproach) dalam melakukan penelitian. Dengan kata lain, dalam
penelitian kualitatif, peneliti bisa mempergunakan pelbagai jenis dan
macam sumber-sumber data, teori-teori, metode-metode, teknik-
teknik, model-model analisis dan investigator agar data atau informasi
yang diperoleh dapat ditampilkan (display data) secara konsisten,
konsekuen, dan objektif. Oleh karenanya, untuk memahami dan
menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan lebih dari satu
teori, lebih dari satu metode: wawancara (dilakukan kepada penutur
atau ahli bahasa Bugis dalam rangka mengetahui makna sebuah
ungkapan), dokumentasi (dilakukan dalam rangka mengumpulkan
data-data pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian), khususnya
data-data etnografis orang-orang Bugis.
Begitu pula dengan pendekatan yang tidak hanya satu, yaitu
digunakannya pendekatan agama (Islam), etnografi (budaya-Bugis),
gender (kesamaan hak jenis kelamin), semiotik (pemaknaan tanda),
dan hermeneutik (penafsiran teks) bersamaan dengan pendekatan
“relasi oposisional” dalam teori strukturalismenya Levi-Strauss dalam
rangka mencari makna filosofis hubungan oposisi biner yang
terbangun dalam PPID.

78
Mudjia Rahardjo, “Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif,” uin-
malang.ac.id, 15 Oktober 2010, diakses 30 Januari 2020, https://www.uin-
malang.ac.id/r/101001/triangulasi-dalam-penelitian-kualitatif.html
22
5. Teknik Analisis Data
Analisis konten merupakan model kajian sastra yang dapat
dilihat dari sasaran yang hendak diungkap. Analisis konten digunakan
apabila si peneliti hendak mengungkap, memahami, dan menangkap
pesan karya dimaksud. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika
struktur sastra tersebut dibedah, dihayati, dan dibahas secara
mendalam. Aspek intrinsik dan ekstrinsik sastra yang menarik
perhatian dalam analisis konten meliputi: (1) pesan moral/etika, (2)
nilai pendidikan/didaktis, (3) nilai filosofis, (4) nilai religius, (5) nilai
kesejahteraan, dan sebagainya.79
Hal tersebut didasarkan pada beberapa pandangan bahwa karya
sastra yang bermutu adalah karya yang mampu mencerminkan pesan
positif bagi pembacanya. Oleh karena itu, penggunaan analisis konten
tidak terbatas pada karya-karya klasik yang konon diasumsikan
bernilai tinggi. Analisis konten tetap memperlakukan karya sastra
sebagai karya seni. Aspek penting dari analisis konten adalah
bagaimana hasil analisis tersebut dapat diimplikasikan kepada siapa
saja karena yang akan terungkap adalah isi atau makna karya sastra.80
PPID bukan merupakan teks klasik yang kanon, tetapi ada pesan-
pesan moral, nilai religius, dan makna filosofis yang perlu diungkap
mengingat lontaraq ini senantiasa diapresiasi oleh pendukungnya
hingga sekarang.
Analisis konten adalah strategi untuk menangkap pesan karya
sastra. Tujuan analisis konten adalah membuat inferensi yang
diperoleh melalui identifikasi dan penafsiran. Dengan demikian,
peneliti harus membangun konsep tentang nilai-nilai sastra. Penelitian
analisis konten dalam bidang sastra berangkat dari aksioma bahwa
penulis ingin menyampaikan pesan secara tersembunyi kepada
pembaca.81

79
Yusuf Jafar, “Content Analysis on Research about Improving Ability
to Write Poetry through Contextual Approach in PGSD UNG,” diakses 7 Juli
2020, http://ejurnal.fip.ung.ac.id/index.php/PDG/article/viewFile/268/262.
80
Jafar, “Content Analysis.”
81
Jafar, “Content Analysis.”
23
Analisis konten dalam sastra mendasarkan pada tiga asumsi
penting, yakni (1) karya sastra adalah fenomena komunikasi pesan
yang terselubung, di dalamnya memuat isi yang berharga bagi
pembaca; (2) analisis harus mendasar pada prinsip objektivitas,
sistematis, dan generalisasi. Objektivitas tersebut ditempuh melalui
bangunan teoretis berupa konstruk analisis yang handal; (3) sistematis
karena memanfaatkan langkah-langkah yang jelas. Generalisasi
berdasarkan konteks karya sastra/puisi secara menyeluruh untuk
memperoleh inferensi.82
Dengan demikian, komponen penting dalam konten analisis
sastra adalah adanya suatu masalah yang dikonsultasikan lewat teori.
Prosedur analisis konten dalam bidang sastra hendaknya memenuhi
syarat-syarat: (a) teks sastra perlu diproses secara sistematis; (b) teks
tersebut dicari unit-unit analisis dan dikategorikan sesuai acuan teori;
(c) proses analisis harus mampu menyumbangkan ke pemahaman
teori; (d) proses analisis mendasarkan pada deskripsi; dan (e) analisis
dilakukan secara kualitatif.83

G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini dibagi menjadi enam bab pembahasan dengan
uraian sebagai berikut.
Bab Pertama, Pendahuluan: memuat uraian tentang latar
belakang masalah mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan,
masalah yang menjadi fokus penelitian, tujuan dan kegunaan
penelitian, kajian pustaka yang menunjukkan kajian-kajian terdahulu
tentang topik yang sama, kerangka teoretis yang menguraikan
paradigma Lévi-Strauss yang dijadikan acuan penelitian ini, metode
penelitian yang menguraikan bagaimana penelitian ini dilakukan, dan
terakhir kerangka pembahasan yang menguraikan urut-urutan
penelitian ini.
Bab Kedua, Orang Bugis: mendeskripsikan atau menarasikan
jati diri orang Bugis dimulai dari sejarahnya, negeri asalnya,
kebudayaannya yang diambil dari sumber-sumber tertulis dari catatan-

82
Jafar, “Content Analysis.”
83
Jafar, “Content Analysis.”
24
catatan para pakar lontaraq Galigo, pakar sejarah sejarah dan
antropologi manusia Bugis. Bahasan ini dimulai dengan
mengidentifikasi orang Bugis, lalu mengenali kebudayaannya, dan
kemudian membahas secara spesifik pangadêrrêng yang merupakan
pranata pengatur kehidupan orang Bugis. Bab ini penting karena orang
Bugis adalah pemilik dongeng Pau-Paunna I Daramatasia sehingga
pembahasannya diletakkan di awal penelitian dan menjadi landasan
pijak untuk pembahasan selanjutnya.
Bab Ketiga, Agama Tradisional Bugis dan Islam: memaparkan
sistem kepercayaan orang Bugis yang dimulai dengan
memperkenalkan agama tradisional orang Bugis dengan Bissu sebagai
tokoh sentral dan pemuka dalam agama tersebut. Peran Bissu
kemudian menyusut setelah kedatangan Islam di tanah Bugis.
Berterimanya Islam di tanah Bugis dibahas secara khusus karena
ternyata agama ini tidak mulus diterima, khususnya oleh kerajaan
Tullumpocco é (Bone, Sopeng, Wajo). Kerajaan Gowa sebagai
kerajaan yang mengampanyekan Islam di wilayah Sulawesi Selatan
terpaksa menghadapi kenyataan perlawanan yang dikenal dengan
Musu Selleng (Perang Pengislaman). Setelah memaparkan
keberislaman orang Bugis, pembahasan selanjutnya di bab ini adalah
mentalitas orang Bugis, siriq na pessé. Bab ketiga ini penting dibahas
karena dongeng Pau-Paunna I Daramatasia merupakan dongeng
yang bermuatan ajaran agama Islam dan budaya atau tradisi orang
Bugis.
Bab Keempat, Pau-Paunna I Daramatasia (PPID) yang
menjadi objek kajian penelitian ini. Dongeng ini populer dan terjaga
pewarisannya di komunitas orang Bugis di berbagai tempat sampai
saat ini. Naskahnya sebagian tersimpan di perpustakaan ANRI Cabang
Makassar, sebagian lagi masih dimiliki oleh perorangan. Bab ini akan
mengidentifikasi naskah PPID yang terdiri dari tujuh naskah, baik
yang diperoleh dari Perpustakaan ANRI Cabang Makassar maupun
dari perorangan, cara penangannya secara filologis, lalu cara
penyuntingannya, dan terakhir naskah suntingan PPID yang dipilih
untuk kajian dan alasan pemilihannya. Pilihan kemudian jatuh pada
25
PPID versi Bone dengan pertimbangan keutuhan cerita dan mudah
terbaca.
Bab Kelima, Struktur Oposisi PPID. Bab ini adalah inti dari
analisis penelitian ini. Dimulai dengan menentukan peristiwa-
peristiwa yang mengandung oposisi antara tokoh protagonis (I
Daramatasia) dan tokoh antagonis (Séheq Bilema’rupi), lalu
memetakan struktur oposisi tersebut, kemudian menganalisis
idealisme keberislaman orang Bugis dalam PPID. Yang paling penting
dalam bab ini adalah menafsirkan makna filosofis di balik oposisi
tersebut yang sesungguhnya mewakili pemikiran kolektif orang Bugis
dalam berbudaya dan beragama. Analisis ini dibantu dengan data-data
etnografis orang Bugis yang melimpah.
Bab Keenam, Penutup. Bab ini adalah penyimpulan dari
analisis penelitian, menguraikan temuan penelitian sekaligus
kontribusi teoretisnya. Selain itu, diutarakan juga kekurangan dan
saran-saran serta rekomendasi untuk penelitian berikutnya.
26
BAB II
ORANG BUGIS

A. Identifikasi Orang Bugis


Kerajaan Luwu diidentifikasi sebagai kerajaan tertua milik
orang Bugis1 di Sulawesi Selatan. Dari sinilah, sejarah Orang Bugis
bermula. D.F. Van Braam Morris, Gubernur Celebes (Sulawesi), pada
tahun 1888 pernah membuat catatan tentang Kerajaan Luwu.
Sejarah Luhu (Luwu—pen.) hanya dikenal menurut sumber lisan
dari mulut ke mulut, dari kaum ke kaum. Luhu dahulu dinamai
Wara (huruf miring dari penulis, pen.), tempat kelahiran dari
peradaban Bugis pada abad ke-10 sampai ke-14 dan menjadi
kerajaan terkuat di Sulawesi. Syair-syair La Galigo banyak
menyebutkan keadaan pada masa itu, dan barangkali sejak

1
“Bugis” adalah nama salah satu etnis di Indonesia yang berasal dari
Sulawesi Selatan. Di daerah asalnya, etnis Bugis mendiami daerah-daerah yang
sangat luas meliputi beberapa kabupaten, yakni Maros, Pangkep, Barru, Kota
Pare-pare, Pinrang, sebagian Kabupaten Enrekang, sebagian Kabupaten Majene,
Luwu, Sidenreng-Rappang (Sidrap), Soppeng, Wajo, Bone, Sinjai, sebagian
Kabupaten Bulukumba, dan sebagian Kabupaten Bantaeng. Lihat Suryanti, Ihsan
MZ, dan ST. Rahmah, “Sejarah Diaspora Suku Bugis-Makassar di Kalimantan
Tengah,” Jurnal Rihlah 8, no. 2 (2020): 101; Rosdiana Hafid, “Budaya Politik
Kerajaan Wajo,” Walasuji: Jurnal Sejarah dan Budaya 7, no 2 (2016): 505-520.
Bahasa Bugis memiliki banyak dialek, antara lain dialek Bone, Pangkep,
Makassar, Wajo, Sidenreng, Soppeng, Sinjai, Pinrang, Malimpung, Dentong,
Kaluppang, Wani, Kayowa, Boul-Bokat, Pamoyagon, Jambi, Banjar, Lampung,
Bali, Melayu, Kendari. Lihat Dendy Sugno (Penanggung Jawab), Bahasa dan
Peta Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008), 75-76. Sementara itu, SIL mengidentifikasi adanya bahasa Bugis dengan
nama Bugi, Boegineesche, Boeginezen, Ugi, De’, Bugi Rappang. Dikatakan juga
oleh SIL bahasa ini terdiri dari 11 dialek: Bone (Palakka, Dua Boccoe, Mare),
Pangkep (Pangkajene), Camba, Sidrap (Sidenreng, Pinrang Utara, Alitta),
Pasangkayu (Ugi Riawa), Sinaji (Enna, Palattae, Bulukumba), Soppeng (Kessi),
Wajo, Barru (Pare-pare, Nepo, Soppeng Riaja, Tompo, Tanete), Sawitto
(Pinrang), Luwu (Luwu’, Bua Ponrang, Wara, Malangke-Ussu), lihat SIL,
Bahasa-Bahasa di Indonesia (Language of Indonesia), ed. ke-2 (Jakarta: SIL
International Cabang Indonesia, 2006).

27
28
dahulu mempunyai kekuasaan atas semua kerajaan-kerajaan
yang ada di Sulawesi.2

Catatan Morris di atas menggambarkan bahwa sumber-sumber


lisan masih sangat dominan dalam mengungkap sejarah Luwu awal,
sementara La Galigo yang disinggungnya juga bersumber dari tradisi
lisan yang kemudian ditulis. La Galigo memang sumber tertulis yang
paling banyak berkisah tentang sejarah peradaban Bugis awal (mula
tau). Namun, percampuran antara mitos, legenda, dan dongeng sangat
kental mewarnai catatan ini. Oleh karenanya, ia lebih merupakan
karya sastra Bugis yang dianggap suci/sakral/wingit oleh para
pendukungnya daripada sebuah historiografi.3
Untuk mengetahui letak Luwu, Najemain4 menggunakan dua
karya sastra besar Nusantara, yakni La Galigo dan Negarakertagama
karya Mpu Prapanca (1365). Menurutnya, Negarakertagama
menyebutkan beberapa tempat di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu,
yang mungkin pernah memainkan peranan penting di alur perniagaan
bagian Timur Nusantara yang membayang-bayangi kebesaran
Majapahit waktu itu. Dalam teks karya Mpu Prapanca itu disebutkan,
“Muwah tanah I Bantayan pramuka Bantayan le Luwuk tentang
Udamaktrayadhi nikanang sanusaspupul Ikangsakasanusanusa
Makasar Butun Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng) Selaya Sumba
[...].”5

2
M. Yunus Hafid (ed.), Kerajaan Luwu (Menurut Catatan D.F. Van
Braam Morris), terj. Ham Mappasanda (Makassar: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1992), 55.
3
Lihat M. Yunus Hafid, “Saweregading: Antara Mitos dan Sejarah,”
dalam Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi, ed. Moh.
Ali Fadillah dan Iwan Sumantri, Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas
Hasanuddin dan Institut Etnografi Indonesia, 2000, 202.
4
Najemain, “Jejak Budaya Luwu di Pesisir Barat Sulawesi Tenggara,”
dalam Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi, ed. Moh.
Ali Fadillah dan Iwan Sumantri, Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas
Hasanuddin dan Institut Etnografi Indonesia, 2000, 206.
5
Pendapat Pigeaud ini dikutip dalam Najemain, “Jejak Budaya Luwu,”
207.
29
Penyebutan “Luwuk” pada kutipan di atas adalah untuk
menunjukkan suatu wilayah yang berkaitan dengan usaha
memperoleh sumber bahan baku logam. Persoalannya, di manakah
letak Luwuk yang disebutkan oleh sumber Jawa klasik itu? Di
Sulawesi, ada dua tempat yang menggunakan nama itu, pertama
Luwuk di Sulawesi Tengah dan Luwu di Sulawesi Selatan. Penelitian
intensif yang dilakukan akhir-akhir ini, tampaknya, telah dapat
mengungkapkan bahwa telah terjadi hubungan antara kerajaan
Majapahit dan Luwu yang di Sulawesi Selatan. Laporan tim The
Origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS) Project
menyebutkan, “The world’s largest nickel-mining complex is located
on the southern bank of Lake Matano, which has led to speculation
that nickeliferous iron are from the Matano area was smelted to
produce the famous pamor Luwu used in Majapahit krisses.”6
Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa Luwu yang
dimaksud sebagai asal-usul orang Bugis adalah Luwu yang saat ini
menjadi salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan ibu kota
Palopo. Hal ini juga sesuai dengan kisah pengembaraan lima opu dari
Luwu ke Tanah Melayu.
Sejarah Luwu diawali dari suatu tahapan waktu yang dikenal
sebagai “Periode Galigo” (Hemelingen Period). Periode ini
diperkirakan berlangsung dari abad XI-XIII Masehi atau lebih awal
lagi.7 Peristiwa dan tokoh-tokoh yang memainkan peran sentral pada
periode awal ini dipenuhi dengan mitos yang sulit untuk dibuktikan.
Teks La Galigo melukiskan periode ini dengan gejala-gejala metafisik
yang luar biasa sebagai penggambaran awal terciptanya dunia dan
berbagai usaha para dewa langit untuk menempatkan penguasa di
bumi (Alékawa).
Tokoh istimewa yang mendapat legitimasi sebagai penguasa
yang ditempatkan di bumi itu bernama La Togéq Langiq bergelar
Batara Guru. Ia adalah anak tertua pasangan dewa-dewi, Datu Patoto
To Pallanro É yang bernama La Patiganna Ajiq Sungkuru Wira dan

6
Bulbeck, The Origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS)
Project, dalam Najemain, “Jejak Budaya Luwu,” 207.
7
Najemain, “Jejak Budaya Luwu,” 206.
30
Datu Palingeq Mutia Unruq Ri Senrijawa yang bersemayam di Boting
Langiq (baca botillangiq = negeri kayangan). Batara Guru dijodohkan
dengan sepupunya, Wé Nyiliq Timoq Tompoq É Ri Busa Émpong,
anak perempuan Guru Ri Selleng Puang Ri Toja, penguasa dunia
bawah (Pérétiwi atau Uriq Liung atau Toddang Toja = Toddattoja)
dari istrinya, Sinauq Toja, adik kembar perempuan dari Datu Patoto
To Pallanro É.8
Adapun Guru Ri Selleng Puang Ri Toja sendiri adalah saudara
kembar Datu Palingeq Mutia Unruq Ri Senrijawa, istri Datu Patoto To
Pallanro É. Manusia keturunan dewa inilah yang disebut sebagai
Manurungng É atau To Manurung periode awal (orang yang turun
dari langit) dan dipercaya sebagai asal muasal manusia Bugis. Secara
berurutan, keturunan Datu Patoto To Pallanro É La Patiganna Aji’
Sungkuru Wira yang memerintah di bumi adalah La Togéq Langiq
bergelar Batara Guru (Datu Luwu I), La Tiuleng bergelar Batara
Lattuq (Datu Luwu II), La Maddukelleng To Appanyompa bergelar
Sawérigading (tidak pernah menjadi Datu di Luwu, tetapi ia adalah
suami dari Wé Cudaiq Daéng Ri Sompa Datunna Tana Ugiq, Datu
Bugis II), La Galigo To Padammamani (Datu Bugis III, tidak pernah
menjadi Datu di Luwu), La Tenritattaq Pajung Masagala É Ri Luwu
(Datu Luwu III). Periode Galigo berakhir pada masa Datu Luwu III
ini.9
Kemampuan manusia-manusia dewa itu melampaui manusia
biasa. Sebagai titisan Patoto É (Sang Penentu Nasib), Batara Guru
memperoleh kekuasaan dan kewenangan mutlak. Karena
keistimewaan dan proses penerimaan kekuasaan dan kewenangannya
itu sendiri berlangsung secara irasional, ia menjadi penguasa yang
menjalankan kepemimpinan bercorak religio-karismatik.10

8
Andi Zainal Abidin, Capita Selecta: Sejarah Sulawesi Selatan
(Ujungpandang: Hasanuddin University Press, 1999), 37; Laica Marzuki, Siri’:
Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat
Hukum) (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), 105.
9
Abidin, Capita Selecta, 85.
10
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), 387, 401.
31
Sepanjang kisah pada Periode Galigo di tanah Luwu, tidak
seorang pun manusia biasa yang terlibat. Semua peristiwa adalah milik
para dewa dan segalanya terjadi menurut kehendak sabda dewata.
Manusia-dewa yang diturunkan ke bumi dari Boting Langiq untuk
mengisi dunia (Alékawa) agar tidak sepi itu kemudian mendapat
pasangannya masing-masing yang luar biasa pula dari Pérétiwi.
Keturunan merekalah yang ditentukan sebagai penguasa di dunia,
sementara manusia biasa yang tidak termasuk golongan Boting Langiq
dan Pérétiwi pasrah menerima nasib. Bagi mereka, tiada aturan,
kecuali aturan manusia istimewa itu, tiada kebijakan, kecuali yang
bersumber dari golongan itu.11
Periode Galigo berakhir ketika para manusia-dewa itu telah
meninggalkan dunia Alékawa. Menurut Lontaraq Attoriolonnna To
Bone yang disalin oleh B.F. Matthes dalam bukunya Boegineesche
Chrestomathie (tiga jilid) terbit 1872, masing-masing manusia-dewa
itu kembali ke asalnya: sebagian kembali ke Boting Langiq dan
sebagian ke Pérétiwi (tenggelam di Sungai Cérékang).
Setelah itu, selama pitu pariamang (tujuh generasi) dunia
mengalami kekosongan pimpinan To Manurung.12 Orang-orang Bugis
percaya—berdasarkan berbagai lontaraq Bugis-Makassar—bahwa
masa jeda kepemimpinan manusia dewa ini telah terjadi chaos.13
Mereka hidup dalam kelompok kaum yang diikat oleh rasa
seketurunan dari seorang nenek moyang tertua (anang) dalam
kepemimpinan patrimonial. Setiap kaum hidup memencilkan diri
dalam bentuk persekutuan teritorial yang tertutup bagi persekutuan
kaum yang lain. Tidak satu pun dari mereka yang mampu menciptakan
ketertiban dan mempersatukan antarkaum yang saling bermusuhan itu
sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin titisan dewa pada
Periode Galigo. Masa ini mereka sebut sebagai periode sianre balena
tau é, yakni zaman ketika manusia saling terkam, seperti ikan
memangsa ikan yang lain.14

11
Ibid., 389.
12
Abidin, Capita Selecta, 42.
13
Mattulada, Latoa, 403.
14
Abidin, Capita Selecta, 43.
32
Keadaan kacau ini membuat manusia bumi rindu kepada
suasana damai, seperti ketika diperintah oleh manusia Boting Langiq
dan Pérétiwi. Mereka mengharapkan datangnya seorang pemimpin
atau penguasa yang dapat menghimpun dan mempersatukan mereka.
Pemimpin yang ideal itu tidak mungkin berasal dari kaum atau anang
yang saling bermusuhan itu. Tibalah mereka pada periode
pascakekacauan yang disebut sebagai Periode Lontaraq. Disebut
demikian karena informasi yang diperoleh pada periode ini tidak lagi
dari La Galigo, melainkan dari sumber-sumber lontaraq: di Bone
dikenal dengan Lontaraq Attoriolonna To Boné, di Wajo dikenal
dengan Lontaraq Pammulanna Arunng É Ri Cinnottabbi, Lontaraq
Wajo, dan di Makassar dijumpai Lontara Patturioloanga Ri Tu
Gowaya.15
Periode Lontaraq dimulai juga dengan ditemukannya To
Manurung (tahap ke-2). Kecuali di Wajo, To Manurung telah datang
di semua wilayah kerajaan di Sulawesi Selatan. Di Luwu To
Manurung dinamai Simpurusiya;16 di Bone ia ditemukan di Matajang
dan dinamai sebagai Mata Silompoq É Manurung É Ri Matajang;17 di
Soppeng ia menjelma di Sekkanyiliq bernama La Temmamalaq;18 dan
di Gowa To Manurung ditemukan di Tamalate.19
Setelah kedatangan To Manurung yang digambarkan oleh
lontaraq-lontaraq itu sebagai suatu peristiwa yang luar biasa,
disusunlah silsilah yang mempertalikannya dengan masa silam yang
jauh ke Periode Galigo. Gowa mempertautkan To Manurung-nya
dengan Karaeng Bayo dan Lakipadada, yakni tokoh-tokoh mitologi
Tana Toraja. Wajo—yang meskipun tidak didatangi To Manurung—
mempertalikan silsilah raja-rajanya dengan raja-raja Luwu yang
berasal dari Sawérigading. Bone dan Soppeng juga mencari pertautan
dengan Epos Galigo di Tana Luwu. 20

15
Mattulada, Latoa, 403.
16
Hafid (ed.), Kerajaan Luwu, 61.
17
H.D. Mangemba, Kenallah Sulawesi Selatan (Djakarta: Timun Mas,
1998), 125; Abidin, Capita Selecta, 62.
18
Mattulada, Latoa, 414.
19
Mangemba, Kenallah Sulawesi Selatan, 157.
20
Mattulada, Latoa, 413-414.
33
Ada persamaan dan perbedaan antara To Manurung pada
Periode Galigo dan To Manurung pada Periode Lontaraq.
Persamaannya adalah
1. Adanya tokoh istimewa yang menjadi penguasa di bumi yang
mereka sebut sebagai Manurung É atau To Manurung.
2. Model kepemimpinannya bercorak patrimonial. Artinya, sejak
semula peradaban Bugis telah mengambil garis laki-laki sebagai
pemimpin, kecuali To Manurung yang turun di Gowa adalah
seorang perempuan.21

Meski ada kesamaan yang merupakan benang merah


penghubung antara dua periode itu, ada beberapa perbedaan mendasar
yang mengakibatkan perbedaan mendasar pula pada corak masyarakat
yang terbentuk di dua periode itu. To Manurung pada Perioede Galigo
jelas asal-usulnya, jelas alasan-alasan penurunannya, jelas tugas-
tugasnya, dan jelas pula urut-urutan peristiwa yang menyertainya
sejak awal hingga akhirnya ketika mereka kembali ke Boting Langiq
dan Pérétiwi. Kejelasan itu tentu saja menurut logika mitologi yang
dibangun oleh kisah tersebut.
Tidak demikian dengan tokoh To Manurung pada Periode
Lontaraq. Kemunculannya amat misterius dengan peristiwa luar biasa
yang menyertainya. Mereka memang dirindukan dan dicari oleh
orang-orang bumi untuk dijadikan pimpinan. Pada pencarian itulah,
To Manurung ditemukan yang tidak mereka ketahui asal-usulnya.
Mereka hanya percaya bahwa orang yang mereka temukan itu adalah
manusia istimewa yang turun dari Boting Langiq. Itulah sebabnya
kemudian mereka mempertautkan To Manurung mereka dengan To
Manurung Periode Galigo dengan maksud memperoleh penerimaan
model kepemimpinan yang bersifat karismatik di mata rakyat.22

21
Kelak, terlihat bahwa teks PPID tidak ditemukan dalam bahasa
Makassar. Hal ini diduga bahwa orang Makassar tidak memerlukan lagi seorang
tokoh wanita seperti I Darmatasia untuk mewakili ideologi perlawanan
perempuan yang diperankan oleh I Daramatasia.
22
Mattulada, Latoa, 414.
34
Yang perlu digarisbawahi pada peristiwa pengangkatan To
Manurung sebagai pimpinan pada Periode Lontaraq adalah orang-
orang bumi menentukan beberapa syarat. Dalam sebuah perjanjian
yang demokratis antara kedua belah pihak, orang-orang bumi
mengangkat sang manusia misterius sebagai pimpinan yang akan
mereka patuhi selama To Manurung tidak melanggar perjanjian itu.23
Model pengangkatan pimpinan yang demokratis ini berdampak positif
pada peran yang dimainkan oleh masing-masing pihak.
Jika manusia biasa pada masa pemerintahan To Manurung
Periode Galigo sama sekali tidak ambil peran, pada pemerintahan To
Manurung Periode Lontaraq telah ambil bagian yang cukup besar
dalam sistem pengaturan dunia. To Manurung mereka angkat sebagai
pemimpin setelah manusia bumi mengadakan perjanjian dengannya
tentang hak dan kewajiban yang harus mereka patuhi bersama.
Sanksinya pun cukup jelas bagi setiap pelanggarnya. Dari sini,
dimulailah periode sejarah orang Bugis yang kemudian menyebar ke
delapan penjuru mata angin.
Dari sejarah yang tertulis, orang Bugis merupakan etnis yang
tergolong ke dalam etnis-etnis Melayu Deutero. Mereka masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia,
tepatnya dari Yunan. Kata “Bugis”—yang dalam bahasa aslinya
adalah “Ugi”—berasal dari kata To Ugi, yang berarti Orang Bugis.
Penamaan “Ugi” merujuk pada nama tokoh “La Sattung Pogi”
(dibaca= Lasattumpogi), datu pertama Kedatuan Cina 24 di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini. Sewaktu rakyat La Sattung Pogi
mengidentifikasi diri, mereka merujuk pada nama datu mereka.
Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau
pengikut dari La Sattung Pogi. Datu La Sattung Pogi adalah ayah dari
We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari

23
Abidin, Capita Selecta, 3-14.
24
Sering kali tidak bisa dibedakan antara Cina Pammana-Wajo dan Cina
Tiongkok. Untuk keterangan lebih jauh tentang Cina Pammana-Wajo. Lihat AB.
Takko Bandung, To Manurung: Asal Usul Manusia dalam Kebudayaan Bugis
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 7.
35
Sawerigading. 25 Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai
dan melahirkan beberapa anak termasuk tokoh La Galigo,26 yang
membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih
9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang Dipertuan di
Ware) adalah cerita yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo
dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal
dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo, dan beberapa
tradisi lain di Sulawesi, seperti Buton.
Bersamaan dengan diangkatnya To Manurung sebagai
pemimpin, negara-negara Bugis mulai membuka diri dan keluar dari
lingkungannya masing-masing sehingga pertukaran kebudayaan pun
sudah mulai bertambah banyak. Pertama, mereka bersentuhan dengan
kebudayaan Cina (Tiongkok), kemudian dengan Timur Tengah
(Islam) sekitar abad ke-16, selanjutnya dengan kebudayaan Belanda
yang membawa pengaruh besar dalam pandangan hidup dan watak
orang-orang Bugis. Sistem kepemimpinan religio-karismatik Periode
Galigo secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan menuju ke satu
model kepemimpinan baru yang melibatkan manusia biasa sebagai
pemegang peranan yang lebih penting.27 Fase-fase berikutnya adalah
fase sejarah bagi manusia Bugis yang pada akhirnya mereka disatukan
dalam suatu kesatuan geografis yang dikenal sebagai Sulawesi
Selatan. Pada periode ini, manusia Bugis tidak saja sudah menerima

25
Tentang Sawerigading dikisahkan lengkap oleh Nurhayati Rahman
dalam disertasinya yang sudah dibukukan dengan judul, Cinta, Laut, dan
Kekuasaan dalam Epos La Galigo (Episode Pelayaran Saweregading ke Tanah
Cina: Perspektif Filologi dan Semiotik) (Makassar: La Galigo Press, 2006).
26
La Galigo adalah nama seorang tokoh dalam naskah yang bernama
sama, La Galigo. Naskah ini menjadi epos terpanjang di dunia dengan jumlah
kurang lebih 9000 eksemplar halaman folio. Beberapa episodenya telah diteliti
oleh, antara lain, Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Wélenrénngé: Sebuah
Episode Sastra Bugis Klasik Galigo (Jakarta: Ecole Française d’Extrême-Orient,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan Yayasan Obor Indonesia, 1999);
Nurhayati Rahman, “Episode Meongpalo Bolongnge dalam Naskah La Galigo:
Kajian Stuktur Mitologis Karya Sastra Bugis Klasik,” Tesis (Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran 1990); Rahman, Cinta, Laut, dan
Kekuasaan; Bandung, To Manurung: Asal Usul Manusia.
27
Mattulada, Latoa, 414.
36
orang luar, tetapi sebagian mereka bahkan sudah merantau ke wilayah-
wilayah lain di luar Sulawesi Selatan.
Provinsi Sulawesi Selatan28 saat ini dihuni oleh empat etnis
besar, To Ugiq (Bugis), To Mangkasara (Makassar), To Raja
(Toraja), dan To Menre’ (Mandar). To Ugiq (Orang Bugis)
menduduki posisi sebagai etnis terbesar dibanding dengan etnis lain di
Sulawesi Selatan.29 Jumlah mereka lebih dari 3 juta jiwa yang secara
mayoritas menyebar di 12 kabupaten/kota dari 26 kabupaten/kota saat
ini. Belum terhitung mereka yang minoritas di 14 kabupaten/kota yang
lain. Kabupaten/kota tempat penyebaran orang-orang Bugis ini adalah
Bone, Soppeng, Wajo, Luwu, Sidrap (Sidenreng-Rappang),
Bulukumba, Sinjai, Pinrang, Polmas (Polewali-Mamassa), Enrekang,
Pare-pare, Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan), Barru, dan Maros.30
Pangkep, Maros dan Bulukumba adalah daerah peralihan bahasa
Bugis dan Makassar. Penduduknya menggunakan dua bahasa
sekaligus, yakni Bugis dan Makassar, sementara Enrekang merupakan
daerah peralihan antara bahasa Bugis dan Toraja. Penduduk daerah ini
pengguna bahasa Enrekang biasa juga disebut orang Duri dan
Massenrempuluq dengan dialek bahasa Duri dan Enrekang.31
Berdasarkan rumpun bahasa, Sulawesi Selatan memiliki 6 rumpun
bahasa, yakni bahasa Makassar, Bugis, Mandar, Luwu, Toraja, dan
Massenrempuluq.32
Rumpun bahasa Makassar digunakan di wilayah Gowa, Takalar,
Jeneponto (Turatea), Bantaeng, Selayar, Kajang (Bulukumba), Manipi
(Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai). Rumpun bahasa Bugis
digunakan di daerah Sinjai, Bone, Wajo, Soppeng, Pinrang,

28
Ketika penelitian dimulai, Provinsi Sulawesi Barat masih menyatu
dengan Provinsi Sulawesi Selatan.
29
Rahman, Cinta, Laut, dan Kekuasaan, 3.
30
Mattulada, Latoa, 5; Lihat juga M. Johan Nyompa dkk., Inventarisasi
Bentuk Folklore Lisan Orang Bugis di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang:
Universitas Hasanuddin, 1980), 17-18.
31
Mattulada, Latoa, 6.
32
A. Moein MG, Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar:
Kualleangnga Tallanga Na-Toalia, Sirik Na Pacce (Ujung Pandang: Yayasan
Makassar Press, 1994), 1.
37
Sidenreng-Rappang (Sidrap), Bulukumba, Pare-pare, juga di sebagian
daerah Pangkajene-Kepulauan (Pangkep), Maros, Enrekang, Barru,
dan Palopo (Luwu).
Rumpun bahasa Mandar digunakan di wilayah Polmas
(Polewali-Mamassa), Majene, dan sebagian daerah Pinrang. Rumpun
bahasa Luwu meliputi daerah Luwu yang sub-sublokalnya punya
bahasa tersendiri. Ada dua belas bahasa, seperti bahasa Bugis, Barru,
Siko, Lubung, Wotu, Pajatabu, Mangkutana, Saroaka, Paraso, Siwa,
Toraja, dan Pamuna. Bahasa Bugis digunakan oleh masyarakat dalam
kota Palopo (ibu kota Kabupaten Luwu) dan daerah pesisir Pantai
Wotu.33
Rumpun bahasa Toraja meliputi daerah Toraja, terutama
Makale dan Rantepao, juga di sebagian wilayah sub-lokal Masamba
di daerah Luwu, sekitar 60 km utara Palopo. Rumpun bahasa
Massenrempuluq meliputi daerah Massenrempuluq, terutama
Enrekang, dan daerah-daerah sekitarnya yang meliputi gunung-
gunung, yakni di Massenrempuluq, di sebagian wilayah Kabupaten
Pinrang, Polmas, dan Toraja.34
Etnis Bugis adalah suku bangsa yang paling banyak jumlahnya
dan paling progresif di Sulawesi Selatan.35 Suku bangsa ini tidak
hanya mendiami daratan Sulawesi Selatan. Dengan berbagai motif,
mereka bermigrasi mengarungi laut dan samudra dari satu pulau ke
pulau yang lain, dari satu negara ke negara yang lain, dari satu benua
ke benua yang lain sehingga komunitas-komunitas Bugis selalu
dijumpai di hampir semua tempat yang berpenduduk.
Penyebaran manusia Bugis baik di Sulawesi Selatan maupun di
luar Sulawesi Selatan, diikuti pula oleh penyebaran budaya dan
tradisinya. Hal itu dapat ditelusuri di daerah-daerah yang dihuni oleh
komunitas Bugis di seluruh Nusantara.36 Di beberapa daerah, mereka

33
Ibid, 1-2.
34
Ibid, 1-2.
35
Rahman, “Episode Meongpalo Bolongnge,” 26.
36
Hal ini dapat dilihat dari pemetaan bahasa Bugis yang digunakan di luar
daerah asalnya, seperti di Desa Sabira dan Kelapa Dua, Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Lihat Sugono, Bahasa
dan Peta, 38. Di Sumatera, penutur bahasa Bugis terkonsentrasi di Kota Karang,
38
bahkan sempat menjadi penguasa di zaman kerajaan dahulu, seperti di
Kerajaan Riau,37 di Kesultanan Pontianak dan kerajaan-kerajaan kecil
di Sumbawa.38 Di daerah yang disebut terakhir, budaya Bugis tidak
hanya diusung untuk menyertai para perantaunya, melainkan telah
menjadi semacam inspirasi yang mewarnai budaya setempat.39

Kecamatan Teluk Betung Barat, Kota Bandar Lampung; Desa Sungai Jambat,
Kecamatan Sadu, Desa Kampunglaut, Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten
Tanjung Jabung Timur; Desa Tangkit, Kecamatan Kpt Kumpe Ulu, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi; Desa Tekulai Bugis, Kecamatan Tanah Merah,
Kabupaten Indragirihilir dan Desa Pulau Kecil, Kacamatan Reteh, Kabupaten
Indragirihilir dan Desa Sungai Sebesi, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Lihat
Sugono, Bahasa dan Peta, 23. Di NTB, bahasa Bugis dituturkan di pulau
Lombok dan Sumbawa. Di Pulau Lombok terkonsentrasi di Desa Pelangan,
Kecamatan Sekotong Tengah dan di Desa Labuhan Haji, Kecamatan Labuhan
Haji, Desa Labuhan Lombok, Kecamatan Pringgabaya, Desa Keruak,
Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur. Di Pulau Sumbawa
terkonsentrasi di Desa Labuhan Mapin dan Desa Labuan Alas, Kecamatan Alas
Barat; Desa Labuhan Jantol dan Desa Teluk Santong, Kecamatan Plambang, dan
Desa Labuhan Jambu, Kecamatan Tarano, Kabupaten Sumbawa; lalu di Desa
Bugis, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima; kemudian di Desa Soro, Kecamatan
Kempo, Kabupaten Bima. Lihat Sugono, Bahasa dan Peta,98-99. Di Pulau
Kalimantan, bahasa Bugis dituturkan, antara lain di Pulau Sebuku, Desa Gunung
Halaban (Sarakaman), Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kota Baru; di Desa
Juku Eja, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Kota Baru (Tanah Bumbu),
Provinsi Kalimantan Selatan. Di Provinsi Kalimantan Timur, bahasa Bugis
dituturkan di Desa Santan Tengah, Kecamatan Marang Kayu, Desa Muara Badak
Ulu, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kertanegara; di Desa Sepatin,
Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kertanegara; Desa Api-Api, Kecamatan
Waru, Desa Tanjung Tengah, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Pasir
Utara; Desa Muara Telake, Kecamatan Long Kali, Kabupaten Pasir; Desa
Tanjung Palas Utara, Kecamatan Tanjung Palas Utara, Kabupaten Bulungan;
Desa Karingau, Kecamatan Balikpapan Barat, Kebupaten Balikpapan. Lihat
Sugono, Bahasa dan Peta, 52-53.
37
Dua karya Raja Ali Haji dapat dijadikan rujukan betapa orang-orang
Bugis pernah berkuasa di Kerajaan Riau dan Kalimantan Barat, yakni yang
pertama, Raja Ali Haji, Tuhfat Al-Nafis, Alih-aksara Encik Munir bin Ali
(Singapura: Malaysian Publication Ltd., 1965); kedua, Raja Ali Haji, Silsilah
Melayu dan Bugis, Alih-aksara Arenawati (Kuala Lumpur: Pustaka Antara,
1973).
38
Lalu Mantja, Sumbawa pada Masa Lalu (Sebuah Tinjauan Sejarah)
(Surabaya: Rinta, 1984), 25-27.
39
Beberapa makanan tradisional Sumbawa, seperti “barongko”,
sesungguhnya makanan tradisional Bugis; juga terlihat pada aksara Sumbawa
39
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa secara umum manusia
Bugis merasa memiliki suatu kesatuan sejarah asal-usul nenek
moyang yang mereka yakini sebagai milik bersama. Pemahaman ini
penting dalam rangka mengidentifikasi benang merah yang
menghubungkan mereka dengan nilai-nilai filosofis-kolektif yang
dipahami, diyakini, dan diekspresikan secara bersama, termasuk
tradisi-tradisi mereka.

B. Sistem Kekerabatan Orang Bugis


Sebelum memaparkan sistem kekerabatan orang Bugis, terlebih
dahulu akan diterangkan wujud kebudayaan menurut
40
Koentjaraningrat. Pertama, kebudayaan mewujud sebagai ide,
gagasan, nilai, atau norma. Kedua, ia mewujud sebagai aktivitas/pola
laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, kebudayaan
juga mewujud sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama tidak dapat dilihat dengan indra penglihatan
karena ia abstrak. Ia hanya ada di dalam pikiran masyarakat. Ide atau
gagasan hidup bersama masyarakatnya. Gagasan itu selalu berkait-
berkelindan antara gagasan yang satu dan gagasan yang lainnya.
Keterkaitan antargagasan ini disebut sistem. Menurut
Koentjaraningrat, kata adat dalam bahasa Indonesia adalah kata yang
searti untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa
ide atau gagasan ini, sementara untuk bentuk jamaknya disebut dengan
adat-istiadat.41
Bentuk kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial. 42
Menurut Koentjaraningrat, sistem sosial adalah keseluruhan laku
manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktivitas ini
dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu
berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Aktivitas-
aktivitas yang memiliki pola tersebut itulah yang oleh

yang mengadopsi aksara Lontaraq; dan beberapa karya sastra Sumbawa yang
diinspirasi oleh sastra Bugis. Lihat Mantja, Sumbawa pada Masa Lalu, 34.
40
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, (Jakarta: UI Press,
1987), I: 186-187.
41
Ibid., 187.
42
Ibid.,187.
40
Koentjaraningrat dinamai sebagai sistem sosial. Sistem sosial
berbentuk konkret karena bisa dilihat pola-pola tindakannya oleh indra
penglihatan. Wujud ketiga kebudayaan disebut oleh Koentjaraningrat
sebagai kebudayaan fisik.43 Keberadaan kebudayaan ini bersifat
konkret karena merupakan benda-benda hasil karya, tindakan,
aktivitas, atau perbuatan manusia di tengah-tengah masyarakat.
Koentjaraningrat juga membagi unsur kebudayaan menjadi
tujuh, yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem
mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan. 44
Ketujuhnya disebut oleh Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan
universal karena wujud di setiap masyarakat. Lebih lanjut,
Koentjaraningrat mengatakan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat
diperinci lagi menjadi sub-unsur hingga beberapa kali menjadi lebih
kecil, tetapi yang pasti, ketujuh unsur itu ada di dalam tiga wujud
kebudayaan tersebut.
Sebagai contoh, Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sistem
religi dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan. Dalam wujud
kebudayaan yang pertama atau ide atau gagasan, sistem religi
memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi, roh-roh halus, surga dan
neraka, reinkarnasi, dan sebagainya. Lalu sebagai wujud kebudayaan
yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga mempunyai pola-pola
aktivitas atau tindakan, seperti upacara atau ritual, baik yang diadakan
musiman atau setiap hari. Kemudian sistem religi juga mempunyai
benda-benda yang dianggap suci, sakral, atau religius sebagai bentuk
wujud kebudayaan ketiga, yaitu kebudayaan fisik atau artefak.
Orang Bugis merupakan etnis yang menganut sistem patron-
klien atau sistem kelompok kesetiakawanan antara pemimpin dan
pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Mengikuti James C. Scott
(1972), Ahimsa-Putera mendefiisikan patron-klien sebagai:
… hubungan antar dua orang yang sebagian besar
melibatkan persahabatan instrumental, di mana seseorang yang
lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron)
menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya

43
Ibid.,188.
44
Ibid., 203-204.
41
untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-
duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien),
yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan
memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-
jasa pribadi, kepada patron.45

Hubungan patron-klien ini sebenarnya tidak sederhana. Ia


merupakan sistem hierarki yang sangat kaku dan rumit. Meski
demikian, orang-orang Bugis mempunyai mobilitas yang sangat
tinggi. Buktinya, tidak sulit untuk menemui orang Bugis di mana pun
mereka berada. Orang Bugis terkenal berkarakter keras dan sangat
menjunjung tinggi kehormatan yang mereka sebut siriq, pekerja keras
demi kehormatan keluarga.46
Sistem kekerabatan orang Bugis disebut dengan asseajingeng
yang merupakan salah satu aspek dari pangadêrêng.47 Sistem
asseajingeng ini mengikuti sistem bilateral atau sistem yang
mengikuti pergaulan hidup dari ayah dan dari pihak ibu. Garis
keturunan berdasarkan kedua orang tua sehingga seorang anak tidak
hanya menjadi bagian dari keluarga besar ayah, tetapi juga menjadi
bagian dari keluarga besar ibu. Hubungan kekerabatan atau
asseajingeng ini dibagi dua: seajing mareppe (kerabat dekat) dan
seajing mabella (kerabat jauh). Seajing mareppe merupakan penentu
dan pengendali martabat keluarga. Seajing mareppe inilah yang akan
menjadi “To Masiriq” (orang yang yang terbebani untuk menanggung
martabat keluarga) bila ada perempuan anggota keluarga mereka yang

45
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Minawang: Hubungan Patron-Klien di
Sulawesi Selatan (Yoyakarta: Gajdah Mada University Press, 1988), 2.
46
Mega Mahmudia, “Adat dan Kebudayaan Suku Bugis,” diakses 19
September 2021
https://www.academia.edu/7891105/Adat_dan_Kebudayaan_Suku_Bugis,.
47
Mattulada, Latoa, 38. Pangadêrêng adalah semua sistem norma dan
peraturan adat yang mengatur perilaku orang Bugis. Selanjutnya, dikatakan
bahwa sistem norma ini dibagi menjadi lima pangadêrêng: (1) dasar,
fundamental, norma disebut adeq; (2) semua keadaan yang berkaitan dengan
peradilan disebut bicara; (3) ketentuan yang penting dalam norma disebut
rapang; (4) hak dan kewajiban tiap orang dalam kehidupan sosial disebut wariq;
dan (5) syariat Islam disebut saraq. Persoalan panggadereng ini akan
dibicarakan pada pembahasan tersendiri.
42
rilariang (dibawa lari oleh orang lain). Mereka punya kewajiban untuk
menghapus siriq atau malu tersebut. Anggota seajing mareppe
didasarkan atas dua jalur, yaitu reppe-mereppe atau anggota
kekeluargaan berdasarkan hubungan darah dan siteppang-mareppe
(sompung lolo) atau anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan
perkawinan.48
Dalam tradisi kebudayaannya, orang Bugis terkenal sebagai
pelaut ulung, transmigran spontan dan mandiri, petani, dan pedagang
ulung. Orang Bugis mempunyai etos kerja dan struktur masyarakat
yang khas, yang ternyata akar-akar budayanya masih dapat ditelusuri
jejak-jejaknya dari zaman lampau hingga sekarang. 49
Konsentrasi sebagian besar etnis Bugis terletak di dataran
rendah dan pesisir pulau Sulawesi bagian selatan. Dataran rendah ini
mempunyai tanah yang lumayan subur sehingga banyak masyarakat
Bugis yang menggantungkan hidupnya sebagai petani-sawah
(pallaong-ruma). Selain berprofesi sebagai petani-sawah, etnis Bugis
juga dikenal menekuni profesi nelayan (pakkaja). Meskipun tanah
mereka subur dan cocok untuk bercocok tanam, sebagian besar
masyarakat mereka adalah kelas-pedagang (pasompeq).50 Etnis Bugis
mencari kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut. Tidak sedikit
orang Bugis yang merantau sampai ke seluruh negeri dengan
menggunakan perahu pinisi-nya. Bahkan, kepiawaian etnis Bugis
dalam mengarungi samudra cukup terkenal hingga ke luar negeri.
Wilayah perantauan mereka, antara lain, Filipina, Brunei, Thailand,
Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Etnis Bugis memang
terkenal sebagai suku yang hidup merantau. Beberapa dari mereka
lebih suka berkeliaran untuk berdagang dan mencoba melangsungkan
hidup di tanah orang lain. Bahkan beberapa dari mereka berhasil
menjadi penguasa di tanah rantau, seperti di Johor, Pahang, Riau,
Kalimantan Barat, dan Sumbawa.51

48
Mattulada, Latoa, 38.
49
Rahman, Cinta, Laut, dan Kekuasaan, 3.
50
Mattulada, Latoa, 58-59.
51
Haji, Tuhfat al-Nafis.
43
C. Pangadêrêng: Pranata Pengatur Kehidupan Orang Bugis
Terkadang orang memahami konsep pangadêrêng sama dengan
aturan-aturan adat dan sistem norma sosial. Pangadêrêng selain
meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan
adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai normatif,
juga meliputi hal-hal yang membuat seseorang—ketika
memperlakukan dirinya dalam tingkah laku sosialnya—bukan saja
merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih jauh daripada itu,
ialah adanya semacam “larutan perasaan” bahwa seseorang itu adalah
bagian integral dari pangadêrêng. Dengan begitu, pangadêrêng
adalah bagian dari dirinya sendiri dalam keterlibatannya dengan
keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya.52 Pangadêrêng dalam
pemahaman ini dapat dikatakan adalah wujud kebudayaan yang selain
mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata
tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan
hidup manusia bertingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan
berupa peralatan-peralatan materiel dan non-materiel.53
Sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang
Bugis disebut adeq. Adeq, dengan demikian, adalah salah satu aspek
pangadêrêng yang mendinamisasi kehidupan masyarakat karena adeq
meliputi segala keharusan tingkah laku dalam kegiatan-kegiatan orang
Bugis. Adeq berarti tata tertib yang bersifat normatif, yang
memberikan pedoman kepada sikap hidup dalam menghadapi,
menanggapi, dan menciptakan hidup kebudayaan, baik ideologis,
mental spiritual maupun fisik.54
Sebagai satu eksistensi, manusia Bugis telah menjadi subjek
dalam pangadêrêng sejak seseorang masih dalam rahim ibunya.
Kemudian ketika lahir dan pertama kali memperdengarkan
tangisannya, ia sudah diperlakukan sebagai pendatang baru dalam
pangadêrêng. Pendatang baru itu kemudian tumbuh dalam asuhan
pangadêrêng, memiliki dan sekaligus berperan di dalamnya. Ia
memelihara dan menjaga pangadêrêng itu. Pangadêrêng itulah yang

52
Mattulada, Latoa, 339.
53
Ibid.
54
Ibid.
44
telah memotivasi segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan orang
Bugis dalam kehidupan bermasyarakat dan berkebudayaan.
Pangadêrêng telah memungkinkan orang Bugis melihat, mengetahui,
dan memiliki dunianya itu. Orang Bugis tidak memiliki pilihan untuk
bersikap atau berbuat lain, selain bersikap dan berbuat sebagaimana
layaknya ia harus bersikap dan berbuat terhadap dirinya dan terhadap
segala sesuatu di luar dirinya.55
Pangadêrêng adalah dunianya, adalah dirinya sendiri bersama
seluruh yang bergantung padanya dan menjadikannya tempat
bergantung. Pangadêrêng adalah pola umum yang harus diikuti
seteguh-teguhnya. Ia telah menjadi kebiasaan yang hidup dan sukar
bagi orang Bugis untuk berlepas diri darinya.
Akan tetapi, menurut penelitian Mattulada, kebiasaan itu bukan
satu-satunya faktor yang menentukan pola tingkah laku orang Bugis
yang diwariskan dari generasi ke generasi sehingga watak mereka
sukar untuk diubah.56 Jika kebiasaan itu telah menjadi sistem dalam
pangadêrêng, dalam arti kebiasaan yang dihormati dan dipelihara,
akan sampai pada dugaan bahwa dengan mengikuti dan menaati secara
saksama semua kebiasaan adat dan peraturannya sebagai aspek
pangadêrêng, segala sesuatu akan beres dengan sendirinya, atau
segala sesuatunya akan berjalan dengan sepantasnya, niscaya tidak
demikian adanya. Dugaan itu salah.57
Jika pangadêrêng semata dianggap sebagai kebiasaan atau
aturan-aturan yang sudah dibiasakan, akan hilanglah satu aspek yang
merupakan hakikat pangadêrêng itu sendiri, yakni aspek memelihara
dan menumbuhkan harkat dan nilai-nilai kemanusiaan, yang justru
menjadi tulang punggung bagi tegaknya pangadêrêng. Kebiasaan dan
aturan-aturan adat yang dibiasakan, malah dapat menjerumuskan
harkat dan martabat kemanusiaan ke dalam jurang kebinasaan.
Sebagai contoh, kebiasaan kekerasan dan penindasan dalam
kehidupan sosial tidak bisa diterima dan tidak cocok disebut sebagai
bagian dari pangadêrêng. Sebagai adat kebiasaan, aturan yang

55
Ibid., 339-340.
56
Ibid., 340.
57
Ibid.
45
dibiasakan dapat saja disebut sebagai adat, tetapi ia bukan
pangadêrêng dalam arti esensial. 58
Contoh yang baik dalam hal ini adalah beberapa kasus yang
sudah terjadi di masa lalu pada masyarakat Bugis ketika rakyat
memiliki alternatif untuk membunuh rajanya, memakzulkan tahtanya,
atau mengusirnya dari negerinya jika terjadi pemaksaan suatu sistem
yang meninggalkan hakikat terdalam dari pangadêrêng. Kasus La
Pateddungi To Samallangi, Batara Wajo III (memerintah antara tahun
1466-1469) dimakzulkan dan dibunuh karena kegemarannya
memperkosa rakyatnya.59 Ini membuktikan betapa pangadêrêng itu
memiliki esensi yang memuliakan dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Dari sini, jelas terlihat perbedaan antara
pangadêrêng dan adeq (adat) dalam arti kebiasaan. Suatu adeq dalam
arti kebiasaan dapat mengundang kesewenang-wenangan yang
akhirnya diterima sebagaimana adanya dalam sistem sosial, padahal
pangadêrêng menolak setiap kesewenang-wenangan, perkosaan,
penindasan, dan kekerasan sebagai salah satu unsur dalam sistemnya,
betapapun hal itu telah menjadi kebiasaan. Pangadêrêng, menurut
Mattulada, melekat pada hakikat martabat kemanusiaan. Ia
menjunjung tinggi persamaan hak dan kebijaksanaan. Karena itulah,
pangadêrêng memperoleh kekuatannya dari siriq sebagai nilai
esensial dari manusia karena siriq itu tidak lain adalah martabat dan
harga diri manusia itu sendiri.60
Orang Bugis, ke mana pun mengembara, akan membawa serta
pangadêrêng-nya yang dilandasi oleh konsep siriq. Pangadêrêng
yang menjadi soul mate-nya dalam pengembaraan ini memberikan
warna dalam pergaulannya di lingkungan yang baru. Karena itu, orang
Bugis di perantauan banyak mendapat tanggapan sebagai gejala
stereotip. Kadang ia dianggap “orang liar”, “pengamuk”, “bengis”,
“kasar”, “keras kepala”, dan “sukar dipahami”. 61

58
Ibid.
59
Lebih lengkap lihat Andi Zainal Abidin Farid, Wajo Abad XV-XVI:
Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan (Bandung: Alumni,
1985).
60
Mattulada, Latoa., 341.
61
Ibid.
46
Pangadêrêng dibangun oleh berbagai unsur yang saling
menguatkan. Ia meliputi adeq¸ bicara, rapang, wariq, dan saraq.
Semua unsur itu diteguhkan dalam satu rangkuman yang
melatarbelakanginya, yaitu satu ikatan yang paling mendalam, yaitu
apa yang disebut siriq.62
Pangadêrêng memiliki empat asas dasar yang merupakan aspek
ideal darinya. Keempatnya adalah
1. Asas mappasilasa é. Hal ini diwujudkan dalam manifestasi adeq
supaya tercipta keserasian bagi manusia Bugis dalam bersikap
dan bertingkah laku bagi dirinya sendiri dalam bingkai
pangadêrêng. Di dalam tindakan operasional, ia tampak dalam
usaha-usaha pencegahan (preventif) sebagai tindakan-tindakan
penyelamat.63
2. Asas mappasisau. Hal ini diwujudkan dalam manifestasi adeq
dalam rangka menjatuhkan hukuman pada tiap pelanggaran
adeq yang dinyatakan dalam bicara (pengadilan). Asas ini
menunjukkan adanya pedoman legalitas dan represif yang amat
konsekuen dijalankan. Di samping itu, asas ini dilengkapi
dengan siariwawong yang wujud manifestasi adeq-nya adalah
untuk menyatakan adanya perlakuan yang sama, mendidik
setiap manusia Bugis untuk mengetahui mana yang benar dan
mana yang salah. Hal ini dinyatakan dalam pangoriseng yang
erat hubungannya dengan bicara.64
3. Asas mappasenrupa é. Asas ini diwujudkan dalam manifestasi
adeq dengan maksud memelihara keberlangsungan pola-pola
yang sudah ada lebih dahulu guna menstabilkan perkembangan-
perkembangan yang muncul kemudian. Hal ini dinyatakan
dalam rapang.65
4. Asas mappallaiseng. Asas ini diwujudkan dalam manifestasi
adeq dengan maksud untuk memberikan batas-batas yang jelas
antara manusia Bugis dan lembaga-lembaga sosialnya. Hal ini

62
Ibid.
63
Ibid.
64
Ibid.
65
Ibid., 342.
47
agar masyarakat terhindar dari ketaktertiban, suasana chaos, dan
seterusnya. Hal ini dinyatakan dalam wariq dengan segala
variasi perlakuannya.66

Masing-masing dari keempat asas ini ditemukan dalam pelbagai


bentuk aspek dari pangadêrêng. Ia menjelmakan diri dalam
keseluruhan sistem untuk membangun pribadi-pribadi manusia Bugis
yang bertitik tumpu pada harga diri manusia secara umum yang
terjelma dalam konsepsi siriq. Siriq inilah yang menjadi asas terdalam
dari semua kegiatan manusia Bugis ketika memperlakukan dirinya
dalam aspek-aspek pangadêrêng lainnya.67

66
Ibid., 342.
67
Ibid.
48
BAB III
AGAMA BUGIS DAN ISLAM

A. Agama Tradisional Orang Bugis: Bissu sebagai Tokoh


Sentral
Menelusuri agama asli orang Bugis tidaklah mudah jika hal itu
dikaitkan dengan praktik-praktik kepercayaan atau kebudayaan yang
tersisa saat ini. Dalam artian, tidak mudah untuk menyebutkan agama
asli tertentu orang Bugis sebagaimana menyebut Hindu atau Budha,
dua agama tertua di luar Sulawesi Selatan, khususnya di Jawa dan
Sumatera.
Dalam teks kuno La Galigo—rujukan tertulis tertua dalam
menelusuri kebudayaan orang Bugis—tidak disebutkan suatu
penjelasan sistematis tentang sistem kepercayaan kuno orang Bugis.
Namun, menurut Pelras, rekonstruksi tentang agama asli orang Bugis
dapat dilakukan dengan analisis saksama terhadap teks-teks La Galigo
dan beberapa teks zaman berikutnya.1 Berikut adalah rekonstruksi
yang dilakukan oleh Pelras.
Menurutnya, orang Bugis kuno memercayai bahwa di atas
segala-galanya ada suatu entitas yang mereka namakan Déwata Sisiné
atau ‘Yang Maha Esa’. Dari entitas ini, setelah tujuh lapis langiq
(langit), tana (bumi), dan tujuh lapis pérétiwi atau uriq liung/buriq liu
(dunia bawah) diciptakan, muncullah sepasang dewa yang disamakan
dengan matahari dan bulan yang masing-masing dinamai La Tépu
Langiq (Langit Selengkapnya) dan Wé Sengngeng Lingeq (Ciptaan
Sempurna). Berbarengan dengan itu, bintang-bintang pun tercipta. 2

1
Christian Pelras, Manusia Bugis, terj. Abdul Rahman Abu Hasriadi dan
Nurhady Sirimorok (Jakarta: Forom Jakarta-Paris, École françiase d’Extrême-
Orient, 2006), 101.
2
Ibid. Bandingkan dengan konsep “Dewata Sewwaé” dalam Nurhayati
Rahman, Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos Lagaligo (Episode Pelayaran
Sawerigading ke Tanah Cina: Perspektif Filologi dan Semiotik) (Makassar: La
Galigo Press, 2006), 49-50 dan dirujuk oleh Husnul Fahimah Ilyas, Rekonstruksi
Awal Islamisasi di Wajo (Solo: Arti Bumi Intaran, 2020), 393.

49
50
Di saat Sang Matahari dan Sri Bulan bertemu ketika terjadi
gerhana, lahirlah pasangan lain yang juga adalah dewa yang kemudian
ditiupkan nafas oleh Déwata Sisiné. Pihak lelaki dari pasangan ini
yang juga seorang Dewa Matahari bernama La Patiganna, sedangkan
perempuannya bernama Wé Letté Sompa (Petir yang disembah). Dari
pasangan terakhir ini, lahir 9 pasangan kembar. Keturunan dari para
dewa ini menikah satu sama lain, tetapi tidak boleh menikahi
kembarannya karena dianggap inses.3 Hal ini mengingatkan kepada
syariat Nabi Adam a.s. yang anak-anak kembarnya tidak boleh
menikahi pasangannya.
Anak-anak dari kesembilan pasang dewa inilah yang tertulis
dalam naskah La Galigo. Di antaranya, tujuh pasangan disebut khusus
sebagai asal muasal berbagai dinasti yang pernah memerintah di
Luwu, Cina,4 Tompoq Tikka, Wadeng, Senrijawa, Wéwang Nriwuq,
Gima, dan Jawa.5 Tiga pasangan dari mereka menjadi dewa untuk
dunia bawah dan di antara mereka ada yang menjadi dewa tertinggi,
yaitu La Mata Timoq (Sang Mata dari Timur yang berarti Sang
Matahari Terbit). Ia bergelar Guru Ri Sellé (Penguasa Selat) yang
bersemayam di Buriq Liu (Palung Laut). Istrinya bernama Sinau Toja,
Penghuni Air bergelar Massao Bessi Ri Lapiq Tana (Yang Punya
Rumah Besi di Dasar Tanah).6 Tiga pasangan lainnya mendiami surga.
Dewa tertinggi di antara kesembilan pasangan generasi ini
memerintah seluruh jagat raya. Tempat bersemayam mereka disebut
Senrijawa atau Boting Langiq (Langit Tertinggi). Dewa tertinggi ini
bernama Sungkuruq Wira (Sang Guru Para Pemberani) bergelar Datu

3
Ibid., 101.
4
Cina terkenal dengan buah jeruknya sehingga melahirkan varietas
“Lemo Cina” (Jeruk Cina). Berkali-kali Cina Sulawesi Selatan disamakan
dengan Tana Ugiq (Tanah Bugis) dan di antara negeri tetangganya yang disebut
adalah Soloq (aliran sungai), Témpé (Danau Tempe), Sidénréng, Soppéng, atau
Lamuru, yang semuanya terletak di Sulawesi Selatan. Lihat Pelras, Manusia
Bugis, 102, khususnya footnote nomor 15.
5
Pelras, Manusia Bugis, 101-102
6
Ibid., 102.
51
Patotoq (Sang Raja Penentu Nasib). Istrinya bernama Mutia Unruq
(Mutiara Badai) dengan gelar Datu Palingeq (Sang Ratu Ibu).7
Semua pasangan dewa ini melahirkan sembilan anak yang
kemudian berkembang biak beranak bercucu. Namun, hanya beberapa
orang di antara mereka yang tertulis dalam naskah-naskah yang ada.
Tujuh dari kesembilan anak Datu Patotoq memerintah di setiap
tingkatan langit dengan tugas khusus. Misalnya, dewa yang
memerintah langit pertama bertugas memulai hari dan mendatangkan
malam, menurunkan hujan, membuat petir/guntur, saling
menabrakkan petir dan menyambarkan kilat yang merupakan api para
dewa. Dewa pada langit kedua bertugas menciptakan besi dan emas di
pegunungan. Dewa langit ketiga bertugas mengatur peperangan dan
saung manuq (penyabungan ayam), 8 sedangkan dewa di langit kelima
menjaga agar bintang-bintang tetap berada pada orbitnya masing-
masing.9
Begitulah, La Togeq Langiq (Tahta di Langit), yang bergelar
Batara Guru, putra Patotoq yang sulung, bertugas mengatur Dunia
Tengah, tempat manusia hidup, dan sekaligus memerintah Luwu.
Sementara itu, putra Patotoq yang bungsu yang bernama La Sa’da
Wero (ucapan gemilang) yang bergelar Aji Mangkauq (Penguasa yang
Berwibawa) ditugaskan untuk menguasai Pusar Bumi yang berada
jauh di seberang Laut Barat.10
Guru Ri Sellé menurunkan tujuh dewa yang masing-masing
memerintah di tujuh tingkatan dunia bawah dengan masing-masing
tugas pula, di antaranya membawa persembahan manusia turun ke
dewa-dewa Buriq Liu, membuat badai dan menenggelamkan perahu-

7
Ibid.
8
Menyabung ayam dalam adat Bugis sangat penting sebagaimana tradisi
di masyarakat Bali, Sunda, Jawa, dan etnis-etnis lain di Nusantara dan telah
dibahas oleh banyak antropolog. Lihat Administrator, “Sabung Ayam, Antara
Mitos dan Sejarah”, dalam Indonesia.Go.Id: Portal Informasi Indonesia, Juli
2019, https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/sabung-ayam-antara-
mitos-dan-
sejarah?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1
?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1, diakses tanggal 29 November 2021.
9
Pelras, Manusia Bugis, 102.
10
Ibid., 102-103.
52
perahu para lanun/bajak laut.11 We Nyiliq Timoq (Kerlingan dari
Timur) adalah anak perempuan tertua dari Guru Ri Sellé. Ia diutus
untuk diperistri oleh Batara Guru, sementara anak keduanya bernama
La Punna Liung (Penguasa Pusar Bumi) berwujud buaya air asin
raksasa. Tugasnya adalah sebagai perantara antara dunia bawah dan
dunia tengah. 12
Menurut pembacaan Pelras, hingga kini belum ditemukan
naskah yang menceritakan proses penciptaan Dunia Tengah (alam
yang dihuni oleh manusia biasa). Naskah awal La Galigo hanya
merekonstruksi kisah tentang campur tangan para dewa dalam
mengatur Dunia Tengah, menyuburkannya, menyebarkan tanaman
budi daya, dan menata penghuninya yang belum mempunyai raja dan
belum memiliki tata cara peribadatan. Hal ini dibuktikan dengan
pernikahan dua dewa yang masing-masing mewakili Dunia Atas dan
Dunia Bawah, yakni Batara Guru (putra tertua Datu Patotoq) dari
Dunia Atas dengan We Nyiliq Timoq (putri tertua Guru Ri Sellé)
mewakili Dunia Bawah, yang kemudian membangun dinasti pertama
manusia “maddara takku’” (berdarah putih) di Luwu. Pasangan ini
merupakan the first row model sebagai to manurung dan to tompoq.13
Pasangan ini dipercayai sebagai titisan para leluhur para dewa yang
menjadi penguasa di berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan-Barat,
Selatan-Tenggara, Selatan-Timur, Selatan-Utara, Selatan-Tengah,
Maluku Utara, dan di Sumbawa dan mungkin juga di Kalimantan
Timur.14 Tidak hanya kerajaan-kerajaan yang disebut pada awal
naskah La Galigo, tetapi juga pada kerajaan-kerajaan yang terbentuk
kemudian setelah masa sejarah.
Dengan demikian, terlihat bahwa lagi-lagi mitos La Galigo
dijadikan model untuk legitimasi kepentingan politik dan sosial, yakni
untuk mempertegas eksistensi kaum bangsawan sebagai turunan
déwata yang memberikannya hak eksklusif berupa kekuasaan politik
dan sekaligus membedakannya dengan rakyat jelata. Hal inilah yang

11
Ibid., 103.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
53
menyebabkan mitos ini bertahan hingga masuknya Islam, bahkan
hingga kini, yang masih dipercayai kebenarannya oleh sebagian orang
Bugis, bukan hanya oleh kalangan bangsawan, tetapi juga oleh
masyarakat yang memegang tradisi.15 Mitos lain yang bertahan hingga
masuknya Islam adalah tentang Sawérigading (tokoh utama dalam
budaya Bugis) dan Sangiang Seri (Dewi Padi).16
Mendiskusikan agama asli orang Bugis tidak akan lengkap jika
tidak membicarakan bissu dan perannya. Unik, itulah kata yang tepat
untuk menggambarkan karakter seorang bissu secara umum. Di zaman
La Galigo, seorang bissu menempati posisi di luar sistem
kemasyarakatan dengan peran utama sebagai tokoh spiritual yang
bertindak sebagai pendeta, dukun, dan ahli “ritual trance”
(kemasukan roh). Dalam bahasa Bugis disebut assoloreng.17 Mereka
adalah tokoh penghubung antara manusia dan dewata. Mereka
memiliki pasangan mistis dari makhluk kayangan. Sejak
kemunculannya, bissu adalah waria (calabai)18 yang biasanya
berperilaku homoseksual, sesuatu yang mengejutkan bagi peneliti
Eropa di abad ke-16 karena pada waktu itu perilaku homo di Eropa

15
Ibid. Perdebatan yang amat tajam antara mereka yang memercayai mitos
tersebut dan mereka yang tidak memercayainya sebagai realitas sejarah dapat
dilihat di dunia maya. Periksa Group FB Simpugi.
16
Pelras, Manusia Bugis, 103.
17
Ibid., 97.
18
Agak muskil sebenarnya mengatakan bahwa semua bissu adalah waria
karena sejarah turunnya bissu, menurut penelitian Dr. Halilintar Lathief, dalam
Surek Galigo termuat bahwa dari 40 bissu gelombang pertama yang turun ke
bumi, hanya delapan yang waria. Entah mengapa bissu waria sekarang ini lebih
mendominasi daripada bissu perempuan.” Lihat Halilintar Lathief, Bissu:
Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis (Depok: Desantara, 2004).
Lihat juga Muh. Said, “Peran Bissu pada Masyarakat Bugis,” Makalah
dipresentasikan di Seminar Nasional, “Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Membentuk
Karakter Bangsa dalam Rangka Daya Saing Global”, Kerja sama: Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial Indonesia, Grand Clarion Hotel, Makassar, 29 Oktober 2016, diakses
21 September 2021, https://ojs.unm.ac.id/PSN-
HSIS/article/download/2731/1470; Titiek Suliyati, “Bissu: Keistimewaan
Gender dalam Tradisi Bugis,” Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi 2,
no. 1 (Desember 2018): 52-61.
54
akan dibakar hidup-hidup, sementara di waktu yang sama di
masyarakat Bugis dijadikan sebagai pendeta.19
Menurut penelitian Sharyn Graham, bissu dalam kepercayaan
kuno Tolotang20—yang dianut oleh sebagian masyarakat Amparita di
Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan—adalah kaum pendeta yang
tidak mempunyai golongan gender. Bissu bahkan disebut “di luar
batasan gender”, suatu makhluk yang bukan laki-laki bukan pula
perempuan. Menurut Graham, tidak ada penjelasan yang meyakinkan
tentang makna “di luar batasan gender” dan bagaimana sebutan itu
diawali.21
Seorang bissu tidak bisa dianggap sebagai banci atau waria
karena mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apa pun.
Mereka memiliki setelan pakaian tersendiri dan unik. Menurut
Graham, dalam sistem kepercayaan Bugis tradisional, tidak hanya
mengenal dua jenis kelamin seperti lazimnya, tetapi ada empat atau
lima jika golongan bissu juga dihitung, yaitu "oroane" (laki-laki),
"makunrai" (perempuan), "calalai" (perempuan yang berpenampilan
seperti laki-laki), "calabai"22 (laki-laki yang berpenampilan seperti
perempuan), dan bissu—yang di dalam kepercayaan masyarakat
tradisional Bugis—dianggap kombinasi dari semua jenis kelamin

19
Pelras, Manusia Bugis, 97.
20
Masyarakat Tolotang di desa Amparita terdiri dari dua golongan:
Towani Tolotang dan Tolotang Benteng. Towani Tolotang mempunyai konsep
ketuhanan yang disebut Dewata Seuwae. Pelaksanaan ritusnya adalah
menyembah kuburan nenek moyang dan bebatuan, sementara konsep ketuhanan
Tolotang Benteng sama dengan Towani Tolotang, tetapi secara formal mereka
mengaku beragama Islam, meski tidak menjalankan ajarannya. Uraian lebih
lanjut lihat Atho Mudzhar, “Masjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi
dalam Masyarakat Bugis Amparita,” dalam Pendekatan Studi Islam dalam Teori
dan Praktek, ed. H.M. Atho Mudzhar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, 127-
141.
21
Sharyn Graham, “Sex, Gender and Priests in South Sulawesi,” IIAS
Newsletter 29, 27 November 2002, diakses 21 September 2021,
https://web.archive.org/web/20191023074141/https://www.iias.asia/sites/defaul
t/files/IIAS_NL29_27.pdf.
22
Calabai berasal dari kata sala bai atau sala baine yang berarti ‘bukan
perempuan’. Lihat Andi Baso Djaya dan Ancha Hardiansya, “Bissu, Gender
Kelima dari Tanah Bugis,” Lokadata, 14 Juli 2017, diakses tanggal 21 September
2021, https://lokadata.id/artikel/bissu-gender-kelima-dari-tanah-bugis,.
55
yang ada.23 Menyimak nama-nama para bissu (Paung Lolo Ségéri,
Puang Matoa Saidi, dll.) tidak bisa ditebak apakah mereka terlahir
sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Dalam beberapa kejadian,
ada pula golongan bangsawan yang menjadi bissu, seperti saudara
kembar Sawérigading, Wé Tenriabeng dan seorang anak
perempuannya, Wé Tenridio.24
Seorang bissu sering dianggap sebagai waria. Anggapan ini
merupakan kesalahpahaman masyarakat umum dalam
memahami sejarah dan peran bissu di masyarakat. Menjadi bissu,
seseorang harus memadukan semua aspek gender. Dalam banyak
kasus, mereka harus dilahirkan dengan membawa
sifat hermafrodit atau interseksual. Kadang-kadang muncul kasus
bissu, baik bissu laki-laki maupun perempuan, sepenuhnya terbentuk
secara seksual. Fungsi dan peran interseksual bissu yang tidak biasa
dalam masyarakat Bugis tradisional tidak secara khusus berhubungan
dengan anatomi tubuh mereka, tetapi ada di dalam kebudayaan Bugis.
Identitas nir-gender mereka (atau bahkan gabungan dari segala jenis
kelamin) dan karakter berbagai jenis tidak dapat dimasukkan secara
valid kepada jenis kelamin apa pun. Itu dapat dilihat pada cara
berpakaian para bissu. Mereka mengenakan sejenis gaun dan pakaian
yang tidak dikenakan oleh jenis kelamin apa pun, tetapi juga
memasukkan elemen dan karakter pakaian "pria" dan "perempuan".
Hal ini menjawab pertanyaan, “mengapa golongan bissu tidak dapat
disebut sebagai waria”, karena mereka hanya diperbolehkan
mengenakan pakaian yang sesuai untuk golongan gender mereka.25
Menurut Hamonic yang dikutip oleh Pelras, menjadi bissu
kadang-kadang bukan sebuah pilihan sukarela, tetapi karena adanya
bisikan makhluk gaib yang nantinya akan menjadi “pengantin gaib”
sang bissu. Bahkan para bissu calabai dan bissu calalai, meski dalam
kehidupan sehari-hari memiliki pasangan, pada waktunya kelak tetap

23
Pepi Al-Bayqunie, Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki
(Tanggerang: Javanica, 2016); Lathief, Bissu.
24
Pelras, Manusia Bugis, 97.
25
Lathief, Bissu, 40.
56
saja memiliki pasangan-pasangan gaib, satu perempuan dan satu laki-
laki.
Keunikan bissu tidak hanya terletak pada kenyataan gendernya,
tetapi juga pada perannya yang selari dengan keterbatasan gender
mereka itu. Ide yang muncul sehubungan dengan hal ini adalah
“karena kita adalah manusia yang berada di balik batasan gender, kita
pun tidak ada di tengah-tengah dunia yang tampak dan yang
tersembunyi”. Ide ini diperkirakan hampir sama dengan konsep awal
muslim tentang khanith yang menjadi pengawal batas-batas kesucian,
tetapi dalam kasus bissu, tampaknya ia melulu bersumber dari budaya
Bugis yang jauh lebih awal dari budaya muslim. 26
Peran bissu dalam budaya Bugis biasanya dimintai nasihat
dalam “persetujuan tertentu” untuk urusan spiritual, baik dulu sebelum
Islam datang maupun ketika Islam sudah diterima luas di Tanah Bugis.
Contohnya adalah ketika orang Bugis mau melakukan perjalanan haji
ke Makkah, bissu yang dimintai nasihat akan melakukan ritual untuk
mengizinkan sebangsa jin yang sangat baik untuk merasuki dirinya.
Di sini bissu yang sudah trance akan berbicara sebagai utusan dari
dunia yang tak tampak.27 Nasihat-nasihat bissu ketika sedang tak sadar
itulah yang akan dijadikan pedoman oleh si peminta nasihat dalam
melakukan perjalanan haji.
Saat trance, semua bissu di Tanah Bugis kebal terhadap senjata
tajam, seperti badik. Hal ini tentu saja akan menjadi semacam
“mukjizat” dalam rangka menanamkan kepercayaan masyarakat
pendukung/penganutnya.
Walaupun tradisi bissu dalam memanggil jin adalah tidak sesuai
dengan tradisi Islam lokal di Sulawesi, tradisi ini telah dipertahankan
oleh komunitas muslim regional di Sulawesi Selatan dengan syarat
bahwa bissu dan tradisi mereka tidak menunjukkan atau terdiri dari
tindakan yang jelas bertentangan dengan syariat Islam. Dengan kata
lain, asal tidak terang-terangan bertentangan dengan syariat Islam,
mereka tetap mempertahankan budaya bissu. Dalam kasus yang tidak
biasa untuk kerasnya tradisi Islam ini, itu berarti bahwa kekuatan

26
Pelras, Manusia Bugis, 97.
27
Ibid.
57
seorang bissu dan jin yang mereka kuasai tidak boleh diukur dengan
cara apa pun sebagai otonom (berdiri sendiri) dari kekuasaan Allah
karena di dalam sistem Islam, Allah adalah satu-satunya yang harus
dihormati.
Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat pengguna jasa bissu
di desa-desa, bissu, calabai, dan calalai mendapat keleluasaan penuh
dan tidak terlarang untuk memasuki bilik-bilik perempuan maupun
laki-laki. Sementara itu, bagi pegiat budaya Indonesia, komunitas
bissu dianggap sebagai golongan pelestari tradisi dan budaya Bugis
yang berjasa meramaikan keragaman budaya nasional Indonesia.
Meski demikian, keberadaan dan pengguna jasa mereka semakin
jarang ditemui—kecuali diundang oleh lembaga-lembaga
kebudayaan28—dan mungkin akan punah karena globalisasi dan
semakin tertekannya keberadaan mereka oleh agama-agama
mainstream di Indonesia.29

28
ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta pernah menanggap Komunitas
Bissu dari Segeri Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, tanggal 08
Juli 2012. Lihat ulasan Olivia Lewi Pramesti, “Bissu, Pendeta Agama Bugis
Kuno yang Kian Terpinggirkan,” National Geographic Indonesia, 10 Juli 2012,
diakses 22 Agustus 2016,
https://nationalgeographic.grid.id/read/13282571/bissu-pendeta-agama-bugis-
kuno-yang-kian-terpinggirkan?page=all.
29
Sebagaimana dikeluhkan juga oleh Ariyanti Sultan, salah seorang
koreografer tari dari ISI Yogyakarta sekaligus pengamat kehidupan bissu di
Sulawesi Selatan, “Upacara ritual dan bissu sudah menjadi icon wisata.
Seharusnya pemerintah memberikan ruang untuk ini karena merupakan local
wisdom yang bagus dan menarik. Sayangnya, pemerintah tidak
memperhatikan icon pariwisata ini,” kata Ariyanti. Lihat Pramesti, “Bissu,
Pendeta Agama Bugis.”
58

Gambar 1 Tari Mabbissu


Komunitas bissu pimpinan Puang Upe’ dari Segeri Mandalle,
Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan ketika mementaskan Tari
Mabbissu di ISI Yogyakarta, 08 Juli 2012. Sumber foto:
https://nationalgeographic.grid.id/read/13282571/bissu-pendeta-
agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan?page=all, diakses
tanggal 22 Agustus 2016.
59

Gambar 2 Tari Maggiri


Puncak dari Tarian Mabbissu adalah ketika bissu menusukkan
senjata tajam ke tubuhnya yang menjadi kebal senjata. Sumber foto:
https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Bissu-
1.jpg&filetimestamp=20100308200714&.

B. Keberislaman Orang Bugis: Musu Selleng sebagai Awal


Musu Selleng berarti “Perang Islamisasi”. Istilah ini muncul di
Tanah Bugis karena dalam sejarah masuknya Islam di kerajaan-
kerajaan Bugis tidaklah mulus. Sempat mendapatkan perlawanan
sengit, meski penolakan itu lebih bernuansa politis karena Sultan Bone
XI La Tenriruwa Sultan Adam Matinroé ri Bantaeng sudah memeluk
Islam sebelum Musu Selleng berlangsung.
Musu Selleng bermula ketika kerajaan kembar yang berbasis
bahasa Makassar, Gowa-Tallo, sebagai kerjaan pertama yang
menerima Islam dan menjadikannya agama resmi kerajaan ingin
mendakwahkan agama baru ini ke semua kerajaan di Sulawesi
60
Selatan. Namun, maksud itu tidak disambut baik oleh kerajaan-
kerajaan Bugis di bagian utara Sulawesi Selatan karena mereka
menangkap niat ekspansi kekuasaan di balik pengislaman itu.
Tema tentang masuknya Islam di Sulawesi Selatan secara
keseluruhan sebenarnya tidak gampang. Hal ini dikarenakan adanya
persaingan antara misi Nasrani yang disponsori oleh Portugis setelah
menaklukkan Malaka (1511 M.) dan dakwah Islam yang bersumber
dari Sumatera (Aceh, Minangkabau, dan Melayu) untuk menanamkan
pengaruhnya di kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Menurut catatan Perlas,30 sampai paruh kedua abad ke-16,
persaingan pengaruh antara Nasrani dan Islam di Sulawesi Selatan
belum menunjukkan tanda-tanda pemenang. Beberapa kerajaan di
Sulawesi Utara dan Tenggara telah resmi menerima Islam: Gorontalo
(1525 M.) dan Buton (1542 M.) serta beberapa keluarga non-
bangsawan di Sulawesi Selatan. Raja Gowa, Manrio Gau
Tunipallangga, sekitar tahun 1550 M memberikan kemudahan-
kemudahan dan keistimewaan kepada para pedagang Melayu yang
tinggal di Makassar. Pada tahun 1575 M, datanglah seorang dai dari
Minangkabau ke Makassar. Dai ini bernama Abdul Makmur yang
kemudian bergelar Dato ri Bandang. Ia datang ke Sulawesi Selatan
setelah menamatkan pelajaran Islamnya di Aceh. Namun, usaha ini
menemui kegagalan karena terbentur dengan kebiasaan dan
kegemaran masyarakat Sulawesi Selatan yang mengonsumsi dendeng
babi, lawa dara,31 dan arak.
Abdul Makmur kemudian meninggalkan Sulawesi Selatan
menuju Kutai dan ternyata ia lebih berhasil di sana. Pada tahun 1580
M, Sultan Ternate, Sultan Babullah yang sedang berseteru dengan
Portugis, mendesak penguasa Gowa, Daeng Mamméta Tonijallo
(pengganti Manrio Gau Tunipallangga), untuk memeluk Islam.
Namun, ternyata Daeng Mamméta menolak desakan tersebut. Meski

30
Pelras, Manusia Bugis, 158.
31
Lawa’ dara berbahankan hati rusa yang dicacah dicampur bumbu dan
darah hewan. Lihat Pelras, Manusia Bugis, 158.
61
demikian, ia berbaik hati dengan mengizinkan komunitas Melayu32
mendirikan masjid di Mallékanna, tempat pedagang-pedagang
Melayu ini bermukim. 33
Persaingan yang belum berujung ini menyebabkan beredarnya
cerita lisan di antara masyarakat yang kemudian sampai ke telinga
orang asing di awal abad ke-17 M bahwa Raja Gowa—orang asing
lebih suka menyebutnya dengan Raja Makassar—bingung dan tidak
dapat menentukan agama mana yang akan dipeluk dan dijadikan
agama resmi kerajaan. Ia kemudian mengirim utusan ke Malaka
(Portugis) untuk meminta dikirimi pendeta dan pada saat yang sama
mengirim utusan juga ke Aceh agar dikirimi ulama. Lalu ia
bersumpah, jika pendeta yang datang lebih dulu ia akan memeluk
Nasrani, tetapi jika ulama yang datang lebih dahulu, ia akan memeluk
Islam. Ternyata ulama yang sampai lebih dahulu sehingga ia memeluk
Islam.34
Portugis akhirnya menyadari bahwa Raja Makassar yang waktu
itu dijabat oleh Karaeng Matoaya tidak mungkin lagi memeluk
Nasrani, meski tampaknya ia belum bisa menentukan pilihan yang
tepat. Abdul Makmur (Datok Ri Bandang) kembali ke Makassar
ditemani oleh dua orang rekannya: Sulaiman (Datok Ri Pattimang)
dan Abdul Jawad (Datok Ri Tiro). Ketiga ulama ini adalah orang
Minangkabau yang berguru Islam di Aceh dan datang ke Makassar
atas perintah Sultan Johor. Karena di Makassar mereka kembali gagal

32
Komunitas Melayu ini terdiri dari orang-orang Melayu yang berasal
dari Champa, Patani, Johor, dan Minangkabau. Lihat Ahmad M. Sewang,
Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), cet. ke-2 (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), 1. Lihat juga Mattulada, “Islam di Sulawesi
Selatan,” dalam Agama dan Perubahan Sosial, ed. Taufik Abdullah, Jakarta:
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1983, 214-215; Suriadi Mappangara dan Irwan
Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan (Makassar: Biro KAPP Setda Propinsi
Sulawesi Selatan dan Lamacca Press, 2003), 49-51.
33
Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization
in South Sulawesi,” Indonesia, no. 57 (April 1993): 133-154.
34
Cerita lisan ini sesuai dengan fakta bahwa Sultan Abdullah Karaéng
Matoaya pada tahun 1620 M memberitahukan kepada pendeta Portugis bahwa ia
pernah berulang kali meminta misionaris Nasrani, tetapi tidak dikabulkan.
Akhirnya, karena desakan dari Sultan Johor, ia pun memeluk Islam. Lihat Perlas,
Manusia Bugis, 159.
62
mengislamkan Karaeng Matoaya yang masih bimbang menentukan
pilihan, mereka memutuskan untuk menuju Luwu. Di sini mereka
berhasil mengislamkan Pajung ri Luwu, La Patiware’, Daeng
Parabung yang resmi mengucapkan dua kalimat syahadat pada tanggal
4 Februari 1605 M. bertepatan dengan 15 Ramadhan 1013 H. Ia
kemudian mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Waliul
Mudaruddin.35
Setelah mengislamkan La Patiware’ Daeng Parabung, ketiga
Dato itu kembali ke Makassar dan delapan bulan kemudian, Karaeng
Matoaya mengucapkan dua kalimat syahadat tanda keislamannya. Ia
pun mengganti namanya menjadi Sultan Abdullah Awalul Islam.
Setelah itu, ia mendorong kemenakannya, Raja Gowa, I Manga’rangi
Daeng Manra’bia yang masih belia untuk memeluk Islam. Sang Raja
memenuhi anjuran sang paman dan mengganti namanya menjadi
Sultan Ala’uddin. Salat jemaah pertama dengan khidmat di Masjid
Tallo’—yang baru selesai dibangun—dilakukan pada tanggal 9
November 1607 M bertepatan dengan tanggal 19 Rajab 1016 H.36
Sultan Ala’uddin adalah salah seorang jemaahnya.
Cukup lama penguasa Gowa-Tallo berada dalam keraguan
antara menerima Islam atau Kristen hingga pada akhirnya memilih
Islam. Ini merupakan perubahan yang besar dan mengandung
konsekuensi yang besar pula. Beredar cerita lisan bahwa berkat
kehebatan ketiga Dato itulah—dengan dibumbui mistik khas lokal37—
yang membuat penguasa di Sulawesi Selatan tersebut luluh memeluk
Islam.
Setelah Gowa-Tallo resmi menjadi kerajaan Islam, mulailah
babak baru islamisasi di kawasan itu dan ini adalah permulaan dari

35
Pelras, Manusia Bugis, 159.
36
Jacob Noorduyn, “De Islamisering van Makassar,” BKI, 112, 1956,
247-266 (terima kasih kepada Drs. Muhammad Salim yang membantu penulis
memahami tulisan Jacob Noorduyn); Lihat juga Pelras, “Religion, Tradition.”
37
Konon, ketiga Dato’ itu biasa mendirikan salat di pelepah pisang yang
masih hidup. Seorang di bagian atas dan seorang lagi di bagian bawah yang tentu
saja posisi berdirinya terbalik. Mereka juga dikabarkan mampu berjalan di atas
permukaan air tanpa tenggelam. Cerita ini diperoleh dari almarhumah nenek
penulis di kampung. Lihat juga Pelras, Manusia Bugis, 159.
63
peristiwa “Musu Selleng”. Kerajaan-kerajaan Bugis yang dibidik oleh
Gowa-Tallo untuk diislamkan adalah Suppa, Sawitto, Rappang,
Sidenreng, Soppeng, Wajo, dan Bone.38 Dengan dukungan kekuatan
militer yang besar, hampir semua kerajaan-kerajaan Bugis itu dengan
mudah ditundukkan dan diajak masuk Islam lalu kesemuanya
dijadikan kerajaan palili (vassal) Gowa. Akan tetapi, tidak demikian
dengan Bone. Hanya Bone yang melakukan perlawanan sengit dalam
episode Musu Selleng ini. Rakyat Bone dan Adeq Pitué39 menolak
keras seruan Gowa untuk memeluk Islam. Kecurigaan Bone terhadap
niat ekspansi kekuasaan Gowa yang berbalut program islamisasi ini
bukan tidak beralasan. Gowa sudah sejak lama ingin menaklukkan
Bone dengan serangkaian perang yang dimulai sejak tahun 1562 di
masa Raja Gowa X.40

38
Rahmawati Rahma, “Musu’ Selleng dan Islamisasi dalam Peta Politik
Islam di Kerajaan Bone,” Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan 6, no. 1
(2018): 132-140; lihat juga Ilyas, Rekonstruksi Awal Islamisasi di Wajo, 376-
388.
39
Ade’ Pitué adalah salah satu unsur dalam struktur Pemerintahan
Kerajaan Bone. Struktur tersebut terdiri dari Arumpone bergelar “Mangkau
Makedangnge Tana”, “Tomarilaleng”, “Ade’ Pitué”, “Ponggawa”, “Jennang”,
“Kali”, dan “Bissu”. Masing-masing memiliki tugasnya. Ade’ Pitué merupakan
sebuah dewan yang memberikan pertimbangan kepada Raja dalam pengambilan
keputusan yang bersifat strategis, seperti pemindahan nama ibukota kerajaan
yang semula bernama Lalebbata menjadi Watampone. Ade’ Pitué terdiri dari 7
orang: (1) Arung Ujung (bertugas mengepalai Urusan Penerangan Kerajaan
Bone), (2) Arung Ponceng (bertugas mengepalai Urusan Kepolisian/Kejaksaan
dan Pemerintahan), (3) Arung T A’ (bertugas mengepalai Urusan Pendidikan dan
mengetuai Urusan Perkara Sipil), (4) Arung Tibojong (bertugas mengepalai
Urusan Perkara/Pengadilan, (5) Arung Tanété Riattang (bertugas memegang Kas
Kerajaan, mengatur Pajak dan Pengawas Keuangan), (6) Arung Tanété Riawang
(bertugas mengepalai Pekerjaan Negeri, Pajak Jalan, dan Pengawas Opzichter,
(7) Arung Macégé (bertugas mengepalai Urusan Pemerintahan Umum dan
Perekonomian. Lihat Salina Zainol, Azharudin Mohamed Dali, dan Mardiana
Nordin. “Pemerintahan Kerajaan Bone Abad Ke-14 Sehingga Abad Ke-19,”
Sejarah: Journal of History Department, University of Malaya 29, no. 2 (2020):
1-22.
40
Rahma, “Musu’ Selleng.” Pada periode pemerintahan Arung Poné
(Raja Boné) VI, La Uliyo Boteé Matinroé Ri Itterrung (1519-1544), dan Karaéng
Gowa (Raja Gowa) IX, Daéng Matanré Karaéng Tumapakrisik Kallonna (1512-
1548) telah dibuat Ulu Ada (perjanjian damai/perjanjian persahabatan) pada
tahun 1540. Isi perjanjian tersebut sangat indah yang menggambarkan
64
Perang tidak dapat dihindari. Dipimpin langsung oleh Raja
Gowa XIV, I Manga'rangi Daeng Manra'bai Sultan Alauddin bersama
mangkubuminya, I Mallingkaang Daeng Manyonri, datang bagai
gelombang manusia sejumlah kurang lebih 20.000 pasukan untuk
memaksa rakyat Bone menerima Islam. Bone luluh lantak oleh taktik
bumi hangus pasukan Gowa. Semua rumah-rumah penduduk yang ada
di Lalebbata—ibukota Kerajaan Bone sebelum berganti nama menjadi
Watampone—habis terbakar oleh amarah Gowa. Mau tidak mau, Raja
Bone La Tenripale, yang baru menggantikan La Tenriruwa Sultan
Adam, menyerah kalah dari Gowa. Barulah rakyat Bone dan Adeq
Pitué menerima agama Islam. Sebagai konsekuensi dari kekalahan itu,
Kerajaan Bone berubah status menjadi palili (vassal) di bawah

persaudaraan antara dua kerajaan besar di semenanjung barat dan timur di Jazirah
Sulawesi Selatan. Ulu Ada ri Tamalaté (Perjanjian Damai Tamalaté) yang luar
biasa tersebut terdiri dari 4 pasal: Pasal 1: Narékko engka perrina Boné,
maddaungngi tasié naola Mangkasaé. Narékko engka perrina Gowa,
makkumpelei bulué naola To Boné (Jika Bone dalam kesusahan karena ancaman
musuh, berdaunlah lautan karena ditempuh oleh orang Makassar. Jika Makassar
dalam kesusahan karena ancaman musuh, ratalah gunung karena dilalui oleh
orang Boné). Pasal 2: Tessinawa-nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone-
Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe (Tidak saling berprasangka
buruk, tidak akan saling menyerang Bone-Gowa, dan tidak akan saling
mencampuri urusan dalam negeri masing-masing). Pasal 3: Iyyasi somperengngi
Gowa, iyyasi mania ada torioloé (Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa
maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan
bahtera Bone maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini). Pasal 4: Nigi-nigi
temmaringngerang ri ada totioloé mareppak’i urikkurinna, lowa-lowanna, padai
tello riaddampessangngé ri batué Tanana (Siapa saja yang tidak mengingat
amanat leluhur ini maka pecahlah periuk belanganya, negerinya, seperti telur
yang dihempaskan di atas batu. Isi Ulu Adaé ri Tamalaté ini sangat luar biasa
seandainya dijalankan oleh para pemegang pimpinan, baik di Gowa maupun di
Bone. Namun, apa mau dikata, ibarat kata orang, “Perjanjian dibuat memang
untuk dilanggar”. Itulah yang terjadi antara Gowa dan Bone yang tidak sepi dari
perang dan tidak sepi juga dengan pembaharuan-pembaharuan perjanjian di saat
dirasa perang sangat melelahkan. Pihak Bone kemudian memprakarsai aliansi
tiga kerajaan untuk membendung ambisi Gowa dan gangguan dari Luwu maka
terbentuklah aliansi Tellumpoccoé ri Timurung pada tahun 1572 antara kerajaan
Bone, Wajo, dan Soppeng. Lihat Bahtiar, “Hubungan Politik Antarkerajaan:
Gowa dengan Bone, Soppeng, Wajo (Tellumpocco),” WALASUJI 10, no. 2
(Desember 2019): 251-267.
65
kekuasaan Gowa 1611.41 Dengan demikian, boleh dikatakan selesailah
sudah “tugas” islamisasi ala Gowa di Sulawesi Selatan. Hanya
wilayah Toraja dan sekitarnya (daerah pedalaman Sulawesi Selatan)
yang tidak tersentuh “islamisasi” ini.
Jika kemudian seluruh penguasa di Sulawesi Selatan telah resmi
menerima Islam dan menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, tentu
saja tidak dengan sendirinya praktik-praktik animisme (ritual spiritual
asli Bugis) menjadi hilang.
Berterimanya Islam di Sulawesi Selatan merupakan peristiwa
penting yang mengubah tatanan kehidupan orang Bugis dan telah
menjadi identitas di kawasan itu. Orang Bugis bersama Makassar di
Sulawesi Selatan dianggap sebagai suku-suku bangsa di Indonesia
yang kuat dan teguh memegang Islam dan hampir semua orang Bugis
adalah pemeluk Islam, kecuali komunitas kecil Towani Tolotang42
yang menganut aliran kepercayaan pribumi. Sejak abad ke-17 M,
mereka bermukim di Amparita, Sidenreng. Populasi mereka pada
tahun 1980-an tidak lebih dari 20.000 orang.43 Pengecualian yang lain
adalah sebagian kecil orang Bugis Kristen di Soppeng dan beberapa
tempat yang lain. 44

41
Mappangara & Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, 107-109.
42
Ada juga yang menyebut mereka Toani Tolotang. Lihat Ibid., 31-32.
43
Lihat Mudzhar, “Masjid dan Bakul Keramat,” 127-238; dan Perlas,
Manusia Bugis, 209.
44
Perlas, Manusia Bugis, 209.
66

Gambar 3 Kittaq Passitalikang Bau Kareba Bajiq


(Kitab Perjanjian Baru Kabar Baik)45

Syariat Islam kemudian masuk ke dalam sistem pangadêrêng


orang Bugis. Pangadêrêng sebagaimana telah diuraikan di atas adalah
aturan-aturan adat dan sistem norma yang merupakan wujud
kebudayaan orang Bugis dalam mengatur seluruh aspek
kehidupannya. Pangadêrêng pra-Islam hanya terdiri dari adeq, bicara,
rapang, dan wariq. Namun, setelah Islam diterima sebagai agama
negara, masuklah satu unsur lagi, yakni saraq (syariat Islam).
1. Adeq. Salah satu makna adeq adalah sebagai pranata sosial yang
merupakan pola-pola ideal dalam bentuk dan suasana yang
beraneka ragam. Hal inilah yang menentukan pola-pola formal
dari adeq dan pemberlakuannya secara urut, serta sarana-sarana
pelaksanaannya. Jenis-jenis adeq dalam arti pranata
masyarakat, antara lain

45
Sitti Arafah, “Islam dan Kristen di Tanah Bugis Soppeng (Sejarah dan
Perkembangannya),” Jurnal Pusaka: Khazanah Keagamaan 5, no. 2 (2017):
151-164.
67
a. Adeq pura onro (norma asas yang sukar untuk diubah-
ubah).
b. Adeq abiasang atau adeq assituruseng (norma kebiasaan).
c. Adeq maraja atau adeq baru (norma baru).

Kata adeq tidak sama dan sebangun dengan kata “adat” dalam
bahasa Indonesia yang berasal dari perbendaharaan bahasa
Arab, ‘ādah. Akar kata adeq berasal dari budaya Bugis sendiri
karena jauh sebelum Islam masuk ke Tanah Bugis, orang Bugis
telah memiliki pranata sosial yang mengatur pola tingkah laku
mereka.46
2. Bicara. Di dalam pangadêrêng, fungsi bicara adalah segala
sesuatu yang menyangkut peradilan. Dengan demikian, bicara
mempersoalkan hak dan kewajiban setiap orang atau badan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat orang Bugis. Bicara
mengandung aspek-aspek normatif dalam mengatur tingkah
laku setiap subjek hukum, orang perseorangan secara timbal
balik.47
3. Rapang. Rapang merupakan salah satu unsur penting dalam
pangadêrêng. Menurut arti leksikal, rapang berarti contoh,
misal, ibarat, perumpamaan, persamaan, penyerupaan, kias, dan
yang searti dengannya. Rapang memiliki beberapa fungsi.
Pertama, stabilisator, seperti undang-undang. Rapang menjaga
agar sebuah ketetapan, keseragaman, dan keberlangsungan
suatu tindakan berlaku konsisten dari waktu ke waktu, dari dulu,
kini, dan masa yang akan datang. Kedua, bahan perbandingan.
Dalam situasi belum adanya norma-norma atau undang-undang
yang mengatur suatu hal tertentu, rapang berfungsi sebagai
perbandingan dari peristiwa yang sama atau sejenis yang pernah
terjadi di masa lampau, atau semacam yurisprudensi. Di dalam
hukum Islam, ini semacam qiyas. Ketiga, alat pelindung yang
berwujud dalam paseng (pesan-pesan bijaksana) atau pémmali-

46
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), 342.
47
Ibid., 358.
68
pémmali (pantangan-pantangan, taboo) atau sejenis ilmu gaib
penolak bala yang berfungsi (a) melindungi milik umum dari
gangguan individu tertentu dan (b) melindungi seseorang dari
keadaan bahaya.48
4. Wariq. Menurut konsep Latoa yang dikutip oleh Mattulada,
Wariq adalah perbuatan mappallaisengngé (yang tahu
membedakan). Wariq menurut arti leksikal adalah penjenisan
yang membedakan yang satu dari yang lain—suatu perbuatan
yang selektif, perbuatan menata atau menertibkan. Wariq
berfungsi, antara lain, mengatur tata- susunan dan jenjang-
jenjang keturunan dan menentukan hubungan-hubungan
kekerabatan. Secara umum, wariq berfungsi sebagai protokoler
dan meliputi setidak-tidaknya tiga aspek: (a) menjaga jalur dan
garis keturunan dalam membentuk pelapisan masyarakat, tetapi
ini berbeda dari konsep kasta dalam komunitas masyarakat
tertentu. Jalur dan garis keturunan di sini lebih kepada aturan
tentang tata keturunan melalui hubungan perkawinan; (b)
menjaga atau memelihara tata susunan atau tata penempatan
sesuatu menurut urutan yang semestinya; (c) menjaga atau
memelihara hubungan kekerabatan antara raja satu negeri dan
negeri yang lain agar dapat ditentukan raja mana yang lebih tua
dan raja mana yang lebih muda dalam tata pangadêrêng.49
Dalam budaya Bugis, wariq bertujuan untuk penataan
pangadêrêng dengan penertiban sebagai berikut: (a) wariq tana,
yakni tata kekuasaan dan tata pemerintahan dalam hal mengenai
dasar-dasar negara. Mengatur tata cara raja memosisikan diri di
hadapan rakyatnya dan sebaliknya, termasuk tata cara
menghadap raja, menyertainya dalam perjalanan, dan
seterusnya; (b) wariq asseajingeng, yakni tata tertib yang
menentukan garis keturunan dan kekeluargaan, yakni tentang
pelapisan masyarakat, termasuk di dalamnya menentukan
siapakah yang disebut anakarung (anak keturunan raja),
maradeka (orang yang merdeka, bukan hamba sahaya), dan ata

48
Ibid., 378.
49
Ibid., 380.
69
(hamba sahaya). Dalam persoalan kawin-mawin, wariq yang
memegang peranan penting; (c) wariq pangoriseng, yakni tata
hukum dalam sebuah negara. Wariq jenis inilah yang
menentukan ditolak atau diterimanya suatu undang-undang atau
hukum jika dilihat dari sudut jenis kekuatan formal dan
materielnya. Ini tercermin dalam semboyan yang berbunyi
“rusaq taro arung, tenrusaq taro adeq; rusaq taro adeq,
tenturusaq taro anang; rusaq taro anang, tenrusaq taro to-
maega” (batal ketetapan raja, tak batal ketetapan adeq; batal
ketetapan adeq tak batal ketetapan kaum; batal ketetapan kaum,
tak batal ketetapan rakyat).50
5. Saraq. Saraq adalah unsur kelima dari pangadêrêng yang
masuk setelah agama dan ajaran Islam berterima di tanah Bugis.
Orang Bugis menyebut pranata Islam ini sebagai saraq berasal
dari kata syariat Islam. Jadi, genaplah lima unsur dalam
pangadêrêng: adeq, bicara, rapang, wariq, dan saraq. Kelima
unsur ini padu dan setara kedudukannya bagi orang Bugis di
Tana-Ugi. Ketundukan mereka kepada saraq sama kuatnya
dengan ketundukan mereka kepada adeq. Meski saraq masuk
paling belakang, pranata Islam ini secara perlahan mampu
mewarnai keempat unsur yang mendahuluinya di dalam
pangadêrêng. Oleh karenanya, menurut pengamatan Mattulada,
Sangat janggal bagi sebagian besar orang Bugis apabila
dikatakan bahwa ada orang Bugis yang bukan Islam,
karena orang itu berarti menyalahi pangadêrêng dan
karena pangadêrêng memberi identitas kepada orang
Bugis, maka orang seperti ini biasanya dianggap bukan
orang Bugis lagi. Dia akan diperlakukan sebagai orang
asing dalam kehidupan sosial budaya dalam lingkungan
pangadêrêng.51

Saraq dalam implementasinya dalam pangadêrêng menjelma


dalam dua bentuk organisasi. Pertama, parewa saraq.
Organisasi ini sejajar dengan parewa adeq dengan fungsi

50
Ibid., 380.
51
Ibid., 383.
70
masing-masing dalam pelayanan masyarakat. Parewa adeq
bertugas di wilayah pemerintahan umum, sementara parewa
saraq berada di wilayah agama, seperti soal ibadah mahda,
zakat, kepengurusan masjid, pernikahan, dan waris. Dalam
organisasi kekuasaan, kerajaan-kerajaan Bugis mengangkat
person-person tertentu yang menduduki organisasi parewa
saraq yang terdiri dari kali (qadhi) sebagai pejabat parewa
saraq tertinggi dalam kerajaan.52 Karena organisasi kekuasaan
di kerajaan Bugis terbagi ke dalam beberapa limpo (wilayah)
yang memilik raja dan pejabatnya sendiri, parewa saraq minus
kali pun ada di setiap limpo bersama parewa adeq mendampingi
raja dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagai contoh, di
Tana Wajo yang memiliki tiga limpo. Keseluruhan parewa adeq
di Tana Wajo berjumlah 39 orang. Merekalah yang memilih
Arung Matoa (Raja Wajo). Lalu ditunjuk pulalah pejabat
parewa saraq di setiap limpo itu. Orang pertama yang menunjuk
personel parewa saraq di Tana Wajo dan di setiap limpo-nya
adalah Dato Sulaiman (Dato ri Pattimang).53 Pejabat-pejabat
parewa saraq yang ia tunjuk adalah dua orang khatib, dua orang
bilal, seorang penghulu dan seorang ‘amil. Untuk seluruh Wajo,
ia menunjuk seorang kali. Ditunjuk pula 40 orang mukim yang
bertugas selalu menghadiri salat Jumat sebagai persyaratan
sahnya salat Jumat. Kesejajaran kedudukan antara parewa adeq
dan parewa saraq dapat dilihat pada posisi duduk mereka ketika
acara-acara musyawarah resmi kerajaan. Arung Matoa duduk di
tengah, parewa adeq di sisi kirinya Arung Matoa, sementara
parewa saraq di sisi kanannya berurutan sesuai derajat
kepangkatan masing-masing.54 Begitu pula di kerajaan-kerajaan
Bugis lainnya, memiliki parewa saraq dengan jumlah yang
bervariasi. Yang perlu dicatat bahwa semua anggota parewa
saraq, terutama kali, adalah orang terkemuka di kerajaan. Ia
berasal dari anakarung maddara takku yang ‘ālim dengan

52
Ibid., 384.
53
Ibid.
54
Ibid., 284.
71
pengetahuan Islam di atas rata-rata masyarakat kerajaan.
Karenanya, seorang kali sangat berwibawa di samping raja.

Sebagaimana realitanya, Islam berterima di Tanah Bugis


dimulai dari para rajanya. Oleh karenanya, Islam segera berterima pula
di kalangan masyarakatnya yang masih berpola patron-klien. Akan
tetapi, karena kedudukan adeq dan saraq di Tanah Bugis adalah
seimbang, pranata-pranata pangadêrêng yang sudah sedia ada
sebelum Islam berterima tetap dijalankan sebagaimana adanya
berdampingan dengan tata cara ibadah Islam. Beberapa bagian tertentu
dari ritual pra-Islam masih terus berlangsung, seperti pemujaan dan
persembahan kepada attu-riolong (roh leluhur), saukang, dan upacara-
upacara pada peristiwa-peristiwa tertentu, seperti tarian-tarian bissu
pada upacara kerajaan, pesta keramaian waktu turun ke sawah untuk
memulai menanam padi, tradisi maccera’,55 dan lain sebagainya yang
kesemuanya itu mengingatkan pada perilaku kehidupan zaman purba

55
Maccera’ berasal dari akar kata cera’ yang secara harfiah berarti
menyembelih hewan tertentu guna diambil darahnya untuk dioleskan pada benda
tertentu. Maccera’ merupakan ritual kuno orang Bugis pra-Islam yang masih
dipraktikkan dengan maksud menolak bala. Ada banyak jenis cera’, antara lain,
maccera’ bola, maccera’ tappareng, maccera’ baca korang, dan maccera’
manurung. Acara maccera’ dikuti dengan tradisi kenduri dan makan bersama
yang dipimpin oleh sandro (dukun), panre (tukang yang mahir), tetua adat, dan
pemuka agama. Lihat Kamaruddin Mustamin, “Makna Simbolis dalam Tradisi
Maccera' Tappareng di Danau Tempe Kabupaten Wajo,” Al-Ulum 16, no. 1 (Juni
2016): 246-264; Rudhi, “Persepsi Masyarakat Tentang Maccera Aqorang di
Desa Barakkae Kec. Lamuru Kab. Bone,” Sulesana 12, no. 1 (2018): 76-98; Nur
Rahma, Hajra Yansa, dan Hamsir, “Tinjauan Sosiokultural Makna Filosofi
Tradisi Upacara Adat Maccera Manurung sebagai Aset Budaya Bangsa yang
Perlu Dilestarikan (Desa Kaluppini Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan),”
Jurnal PENA 3, no. 1 (2016): 428-440; Iriani, Maccera' Tasi' sebagai Ritul
Nelayan di Luwu (Makassar: BPNB Makassar, 2015); Junita Amir. “Hubungan
Tingkat Kepercayaan Adat Maccera Tasi terhadap Pendapatan Masyarakat
Nelayan di Desa Lampenai Kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Timur,” Skripsi
(Palopo: IAIN Palopo, 2019); Rahmadien Fibrian. “Tradisi Maccera Tasi’
sebagai Bentuk Ungkapan Syukur Masyarakat di Daerah Pesisir Luwu Raya,”
diakses 25 September 2021,
https://www.academia.edu/43125637/Tradisi_Maccera_Tasi_Sebagai_Bentuk_
Ungkapan_Syukur_Masyarakat_di_Daerah_Pesisir_Luwu_Raya.
72
ketika mereka masih memuja para dewa dan roh nenek moyang yang
sebagian besarnya masih berlangsung hingga kini.
Lalu, orang-orang Bugis punya ikatan persaudaraan
berdasarkan kesamaan agama, bahasa, dan budaya, sebagaimana
orang Islam di belahan bumi mana pun selalu dipersatukan oleh
persaudaraan sesama Islam yang dikenal sebagai ukhuwah islamiyyah.
Hal ini memang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa
hubungan orang Islam yang satu dengan yang lainnya bagaikan satu
tubuh; jika sakit pada bagian tertentu dari tubuh tersebut, bagian yang
lain akan ikut merasakan sakitnya.56 Namun, bagi orang Bugis,
tampaknya tidak cukup hanya dengan ukhuwah islamiyyah. Untuk
penguatan intern-identity, sesama orang Bugis akan merasa lebih
nyaman menyebut diri mereka sebagai simpugita (kita sesama orang
Bugis). Artinya, mereka dipersatukan oleh kesamaan bahasa dan
budaya, yakni bahasa dan budaya Bugis, atau mungkin bisa disebut
sebagai ukhuwah wathaniyyah. Namun, untuk pengenalan outer-
identity, orang-orang Sulawesi Selatan yang berbahasa Bugis,
Mandar, Massenrempulu’, dan Makassar sepakat membentuk entitas
supra-etnis dengan menyebutkan diri mereka sebagai orang “Bugis-
Makassar”.57 Mengapa Bugis-Makassar? Jawaban yang mungkin
adalah karena kedua etnis endemik Sulawesi Selatan ini lebih besar
populasinya dan lebih terkenal di dunia hingga ke mancanegara,
bahkan kadang-kadang etnis-etnis di luar keempat suku besar itu
dengan sukarela memperkenalkan diri mereka sebagai orang Bugis-
Makassar, seperti orang-orang Selayar, Buton, dan Bajo.
Menarik untuk dicermati bahwa meski agama Islam berterima
hampir 100% di Tanah Bugis, sesungguhnya realitas keislaman
sebagian mereka masih belum ideal, belum Islam yang kaffah jika

‫ َو َم ْن‬،‫ َو َم ْن كَانَ فِي َحا َج ِة أ َ ِخي ِه َكانَ هللا ُ فِي َحا َجتِ ِه‬،ُ‫ظ ِل ُمهُ َو ََل يُ ْس ِل ُمه‬ ْ َ‫ ْال ُم ْس ِل ُم أ َ ُخو ْال ُم ْس ِل ِم ََل ي‬56
‫ست ََره ُ هللاُ يَ ْو َم‬ َ ‫ َو َم ْن‬،‫ت يَ ْو ِم ْال ِقيَا َم ِة‬
َ ‫ست ََر ُم ْس ِل ًما‬ ِ ‫ع ْنهُ ُك ْربَةً ِم ْن ُك ُربَا‬
َ ُ‫ع ْن ُم ْس ِلم ُك ْربَةً ف َ َّر َج هللا‬ َ ‫فَ َّر َج‬
‫ْال ِقيَا َم ِة‬
HR. Bukhari no. 2442, Muslim no. 2580, Ahmad no. 5646, Abu Dawud
no. 4893, at-Tirmidzi no. 1426 ; dari Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma.
Diakses 25 September 2021, http://www.salamdakwah.com/hadist/388-sesama-
muslim-bersaudara.
57
Pelras, Manusia Bugis, 209.
73
ditinjau dari segi akidah.58 Di satu sisi, Islam memang telah hadir
dalam semua aspek kehidupan mereka, seperti nama-nama yang
mereka sandang, masjid-masjid yang mereka bangun, dan lembaga-
lembaga pendidikan yang mereka dirikan (madrasah, pesantren, dan
perguruan tinggi). Akan tetapi, di sisi lain, siapa pun yang pernah
secara intens tinggal dan bergaul dengan orang Bugis, baik di Sulawesi
Selatan maupun di perantauan, pasti akan menyaksikan pula bahwa
mereka masih memelihara praktik-praktik ritual dan kepercayaan
terhadap mitos pra-Islam, seperti persembahan kepada leluhur di
acara-acara tertentu, pemujaan benda-benda dan tempat-tempat
keramat, bahkan masih menghidup-hidupkan bissu dan mengakui
perannya, padahal semua itu bertentangan dengan ajaran Islam yang
telah mereka anut.
Dalam hal pengamalan Islam di kalangan orang Bugis, terdapat
dua kubu pembelanya, yakni kalangan aristokrat yang cenderung
mempertahankan sinkretisme dan kalangan pedagang dan pelaut yang
cenderung menerapkan ajaran Islam syar‘i. Meski demikian,
pemisahan ini tidak “belah bambu” karena dalam sejarahnya, terdapat
kalangan elite yang ingin menerapkan ajaran Islam syar‘i, sementara
banyak juga di kalangan masyarakat awam yang justru sinkretis. 59
Contoh kalangan elite yang bersungguh-sungguh ingin menerapkan
ajaran Islam syar‘i adalah La Ma’daremmeng, Sultan Muhammad
Saleh, Raja Bone XIII, pada abad ke-1760 yang melarang praktik-
praktik takhayul, mengusir para bissu dari kerajaannya, dan
memerdekakan budak. La Ma’daremmeng, di samping sebagai raja, ia
memang seorang ulama sufi yang produktif menulis kitab-kitab ajaran

58
Ibid.
59
Praktik-praktik sinkretis yang dijalankan masyarakat Bugis awam di
antaranya ritual cemme sapareng (Mandi Safar), yakni mandi di awal bulan Safar
setiap tahun untuk membuang sial. Ada kepercayaan bahwa bulan Safar dalam
penanggalan Hijriah merupakan bulan sial yang mereka sebut sebagai nahasek
taung (nahas tahunan) atau sial tahunan yang harus dibuang dengan cara cemme
sapareng. Komando Plus, “Cemme Safareng, Tradisi Buang Sial Warga Tellu
Limpoe,” Komando, Tuntas Mengungkap Kasus, 09 November 2018, diakses 29
November 2020, http://www.komandoplus.com/2018/11/cemme-safareng-
tradisi-buang-sial-warga.html.
60
Pelras, Manusia Bugis, 211.
74
Islam yang masih beredar di kalangan ulama Bugis hingga kini.
Contoh yang lain adalah Syekh Yusuf al-Makassari, salah seorang
kerabat penguasa Gowa. Ia adalah seorang ulama yang disegani dan
terkenal sebagai penyebar Tarekat Khalwatiyyah di Sulawesi
Selatan.61
Pada tahun 1645, ketika ia berusia 19 tahun, Muhammad Yusuf
muda merantau ke Makkah untuk menuntut ilmu agama Islam.
Sebelum ke Makkah, ia singgah di Aceh dan berguru kepada sufi
Nuruddin ar-Raniri. Setelah itu, ia ke Yaman untuk berguru pada guru
sufi dan baru kemudian ke Makkah. Setelah menamatkan pelajarannya
di Makkah, ia melanjutkan musafir ilmunya ke Damaskus yang juga
untuk memperdalam ilmu tasawuf. Di Damaskus inilah, ia berkenalan
dengan Tarekat Khalwatiyyah yang kelak dikembangkannya di
Sulawesi Selatan.62
Sekembalinya dari perantauan, Muhammad Yusuf begitu
terkejut melihat kenyataan praktik-praktik ajaran Islam yang sinkretis
di tengah-tengah masyarakatnya, seperti berjudi, minum arak,
menghirup candu, menyembah dan memuja berhala yang semuanya
dilindungi oleh raja-raja muslim. Usahanya begitu keras dalam
memberantas praktik-praktik penyimpangan akidah tersebut karena
ditentang habis-habisan oleh para elit kerajaan muslim di Sulawesi
Selatan. Akhirnya, Syekh Yusuf memutuskan untuk meninggalkan
Makassar menuju Banten setelah menunjuk salah seorang muridnya
untuk melanjutkan kepemimpinan Tarekat Khalwatiyyah di Sulawesi
Selatan.63

61
Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi, “Ziarah Makam Syekh Yusuf
Al-Makassari di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan,” Pangadereng 5, no. 1
(Juni 2019): 64-74; Retna Dwi Estuningtyas, “Tarekat Khalwatiyah dan
Perkembangannya di Indonesia,” The International Journal of Pegon: Islam
Nusantara Civilization 3, no. 2 (2020): 113-129.
62
Martin van Bruinessen, “The Tariqa Khalwatiyya in South Celebes,”
dalam Excursies in South Celebes, ed. H.A. Poeze dan P. Schoorl. Leiden:
KITLV Uitgeverij, 1991, 251-269.
63
Ibid.
75
Sinkretisme atau kepercayaan tradisional di Sulawesi Selatan,
khususnya di masyarakat Bugis, menurut Pelras,64 terbagi menjadi
dua: sinkretisme esoterik dan sinkretisme praktis. Sinkretisme esoterik
adalah semua jenis aliran kepercayaan yang berasal dari periode awal
islamisasi atau bahkan lebih awal yang penyebarannya melalui teks-
teks, baik lisan maupun tulisan. Ajaran ini terlihat di antaranya pada
komunitas To-Lotang65 (sudah dijelaskan di atas) di desa Amparita,
Pangkep; komunitas Ammatoa,66 Suku Kajang di Bulukumba;
Komunitas Karampuang di Sinjai.67
Yang paling banyak dipraktikkan oleh orang Bugis adalah jenis
yang kedua, yakni sinkretisme praktis. Agak mengherankan karena,
sebagaimana dijelaskan di atas, orang Bugis dikenal sebagai salah satu
etnis yang paling kuat memegang ajaran Islam. Ini dibuktikan, antara
lain, dengan pernah munculnya gerakan DII/TII di Sulawesi Selatan

64
Pelras, Manusia Bugis, 216.
65
Ada yang beranggapan bahwa ajaran To-Lotang sebenarnya bukan
sinkretis, tetapi murni agama lokal warisan nenek moyang. Pemda setempat
malah menggolongkan mereka sebagai penganut Hindu To-Lotang. Lihat
Mappangara dan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, 31. Lihat juga Hasse
J., Bernadr Adeney Risakotta, dan Zainal Abidin Bagir, “Diskriminasi Negara
terhadap Agama di Indonesia: Studi atas Persoalan Posisi Hukum Towani
Tolotang Pasca Pengakuan Agama Resmi,” Kawistara 1, no. 2 (Agustus 2011):
180-190; Hasse J., “Dinamika Hubungan Islam dan Agama Lokal di Indonesia:
Pengalaman Towani Tolotang di Sulawesi Selatan,” WAWASAN: Jurnal Ilmiah
Agama dan Sosial Budaya 1, no. 2 (2016), 179-186.
66
Arman B, “Mengenal Lebih Dekat Komunitas Ammatoa sebagai
Identitas Kearifan Lokal: Perspektif ‘Orang Dalam’,” Sosioreligius 1, no. 1 (Juni
2015): 26-34.
67
Muhannis, Karampuang dan bunga Rampai Sinjai (Yogyakarta:
Ombak, 2009), 2; Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Sinjai, “Sejarah Ritual
Karampuang: Sebuah Kajian House of Spirit,” diakses 17 April 2017,
www.sinjaikab.go.id; Andi Nasrullah, “Tradisi Upacara Adat Mappogau Hanua
Karampuang di Kabupaten Sinjai (Studi Kebudayaan Islam),” Skripsi (Makassar:
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016), diakses 25 September
2021, http://repositori.uin-alauddin.ac.id/921/1/Andi%20Nasrullah.pdf;
Nasruddin, dkk. “Gender Aspects in the Architecture of Karampuang Traditional
House in Sinjai Regency, South Sulawesi,” diakses 25 September 2021,
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/4e7c82297ab2b3b56bf7103e6c9b2934.pdf.
76
yang dipimpin oleh Kahar Muazakkar tahun 1960-an.68 Akan tetapi,
tampaknya keislaman sebagian mereka hanya sebatas emosional
sehingga timbullah istilah: “orang Bugis, meskipun tidak menjalankan
syariat, jika Islam dilecehkan dan dihina, mereka akan
mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan kembali kewibawaan
agamanya”. Ini berarti bahwa orang Bugis telah menganggap agama
Islam itu sebagai bagian dari siriq yang wajib ditegakkan dan
dipertahankan.
Sinkretisme praktis yang dijalankan secara luas dan terbuka oleh
orang Bugis dapat diamati pada, antara lain, ritus siklus kehidupan,
ritus pertanian, ritus pembangunan rumah, ritus pembuatan perahu,
ritus penangkapan ikan, ritus pengobatan, ritus perjalanan. Ritus-ritus
tersebut kental dengan perilaku kemusyrikan. Mereka cenderung
memperlakukan entitas spiritual to alusuq (makhluk/orang halus) dan
entitas gaib to tenrita (makhluk/orang tak kasatmata) sebagai
perantara antara manusia dan Tuhan. Akibat kemusyrikan dari praktik-
praktik sinkretisme tersebut tidak selalu disadari oleh mereka yang
mempraktikkannya, sebagian dari mereka menganggap to alusuq dan
to tenrita sebagai dewata atau roh-roh para leluhur dan sebagian lagi
menganggapnya sebagai jing (jin) dan malaikaq (malaikat).69
Sebenarnya, ajaran Islam pun memercayai adanya jin dan
malaikat, tetapi tidak untuk disembah, melainkan diimani sebagai
salah satu golongan makhluk Allah Swt. Sisa-sisa kepercayaan
menyembah nenek moyang masih dipraktikkan di sebagian
masyarakat Bugis hingga kini, seperti persembahan nasi dan lauk-
pauknya pada ritual pendirian rumah baru dan persembahan bubur
pada perayaan Asyura. Mereka juga masih menziarahi kubur orang-

68
Baca lebih lanjut Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari
Patriot hingga Pemberontak (Jakarta: Grasindo, 1992), 232. Keinginan
menerapkan syariat Islam tidak pernah surut di Sulawesi Selatan hingga kini.
Bahkan sudah memasuki wilayah perjuangan di DPRD. Lihat Alamsyah,
“KPPSI: Perjuangan Politik Identitas-Islam di Sulawesi Selatan,” Kompasiana,
24 November 2011, diakses 22 April 2017,
http://www.kompasiana.com/alamsyah1970/kppsi-perjuangan-politik-identitas-
islam-di-sulawesi-selatan_5509ce34813311775db1e3a0.
69
Pelras, Manusia Bugis, 218.
77
orang yang dianggap keramat semasa hidupnya dalam rangka
memohon kepada “sang keramat” agar menjadi perantara antara
dirinya dan Tuhan. Tokoh-tokoh yang mereka anggap keramat, antara
lain, tokoh mitos pendiri kerajaan, tokoh pahlawan, para sufi, atau
tokoh yang dianggap oleh masyarakat setempat memiliki kelebihan
utama yang tidak dimiliki oleh masyarakat biasa.
Di rakkeang (loteng) pada sejumlah rumah orang Bugis,
terdapat miniatur rumah yang dalam bahasa Bugis disebut bola-bola
akkaramekeng (rumah-rumahan kecil tempat memuja keramat) atau
miniatur tempat tidur yang dalam bahasa Bugis disebut palakka
lengkap dengan bantal, guling, kasur, dan kelambu. Miniatur-Miniatur
tersebut dimaksudkan sebagai tempat transit to-alusuq atau to-tenrita
yang diundang dengan ritual tertentu untuk diberi persembahan berupa
makanan atau apa saja yang dianggap malebbi (istimewa). Tiang
utama setiap rumah dan tiang penyangga tangga dianggap sebagai
hunian tetap roh pangngonroang bola (penjaga rumah) yang sewaktu-
waktu bisa dipanggil untuk diberi sesajen.70

70
Ibid., 218-219.
78

Gambar 4 Bola-Bola Akkaramekeng (Miniatur Rumah Keramat)


Mappanre to-alusuq atau to-tenrita (memberikan sesajen kepada
makhluk “halus” atau makhluk tak-kasatmata) dalam bola-bola
akkaramekeng (miniatur rumah keramat) di atas loteng. Sumber:
Pelras, Manusia Bugis, 221.
79

Gambar 5 Orang Bugis Mappanre Tasiq (Melarung Sesaji di Laut)


Sumber:
https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=imag
es&cd=&ved=0ahUKEwjd_YWvobrTAhVFp48KHa_TDh0QjRwIB
w&url=http%3A%2F%2Fwww.fadhilza.com%2F2012%2F11%2Fdu
nia-metafisika%2Fmeminta-perlindungan-dan-memberi-sesaji-pada-
jin.html&psig=AFQjCNGYg5eoWQ7MoM3ejSRsey--
D2BSTA&ust=1493025900527973
80

Gambar 6 Melakukan ziarah Kubur Keramat yang diyakini


sebagai makam Putera Raja Bone yang membawa orang Bugis ke
Bali. Makam ini terletak di Jln. Pendidikan, Denpasar, Bali. Ziarah
dilakukan pada tanggal 04-06-2016 dihadiri ratusan masyarakat
Bugis di seantero Pulau Bali
Sumber: “Inilah Putra Raja Bone yang Membawa Orang Bugis ke
Bali,” Tribun Bali, 04 Juni 2016.

Di luar rumah, orang Bugis sering memberikan sesajen di


pinggir pantai, tengah laut, tepi sungai, di atas batu besar, pohon-
pohon besar, bukit karang, puncak bukit, dan tempat-tempat yang
mereka anggap keramat yang dipercayai bersemayamnya to-alusuq
atau to-tenrita. Tempat-tempat lain yang biasa diziarahi untuk memuja
to-alusuq atau to-tenrita adalah kuburan keramat tokoh-tokoh penting
masa lampau. Kadang-kadang tempat-tempat kuno itu bukanlah
kuburan, tetapi diklaim sebagai kuburan keramat.71 Hal ini agar

71
Menciptakan tempat-tempat keramat untuk memancing masyarakat
datang berziarah sebenarnya bukan monopoli perilaku orang Bugis, tetapi
hampir dapat ditemui di tempat-tempat lain di seantero Nusantara. Salah satu
contoh adalah kuburan keramat Kiai Langgeng yang terletak di area Taman Kiai
Langgeng yang dulu bernama Taman Bunga, di Kota Magelang, Jawa Tengah
yang selalu ramai diziarahi. Jika kita bertanya kepada masyarakat sekitar yang
telah menetap di situ sejak taman tersebut belum dibangun, mereka pasti akan
81
kegiatan pemujaan mereka tidak terlalu mencolok karena ziarah kubur
dalam ajaran Islam tidaklah terlarang.
Tidak jarang ditemui di kalangan orang Bugis yang melakukan
praktik sinkretisme secara terang-terangan adalah mereka yang
menjalankan rukun Islam dan rajin ke masjid. Mereka beralasan dan
menganggap bahwa sosok Allah itu sangat suci dan jauh dari manusia.
Oleh karenanya, Allah tidak mudah dijangkau tanpa perantara to-
alusuq atau to-tenrita. Mereka juga beralasan bahwa praktik semacam
itu adalah warisan dari para leluhur yang sudah berlangsung dalam
waktu yang sangat lama sehingga mereka merasa wajib
melestarikannya tanpa harus mempersoalkannya dari sudut akidah.
Sinkretisme praktis orang Bugis merupakan sikap beragama
tanpa mempertimbangkan ilmu agamanya atau abai terhadap
usuludin.72 Praktik sinkretisme praktis diamalkan secara terbuka dan
terang-terangan. Dengan variasi yang berbeda, praktik-praktik—yang
sebagian besar berasal dari warisan budaya Austronesia—tidak hanya
ditemui di pedesaan: pada kaum petani, orang miskin, buta huruf, dan
lapisan bawah, tetapi juga dipraktikkan di kota-kota kecil dan kota-
kota besar di kalangan kelas menengah, orang kaya dan
berpendidikan, dengan variasi tertentu yang menonjol di kalangan
bangsawan.73
Ritus sinkretisme itu merupakan campuran unsur-unsur Islam
dan pra-Islam dan tidak ada standar baku yang mengaturnya. Setiap
pemimpin ritus atau sandro bebas menentukan tata cara ritus sinkretis
tersebut tanpa dapat dibantah oleh masyarakat pengikutnya. Keahlian
seorang sandro mungkin saja warisan dari seorang guru, mungkin pula
temuan sendiri—lewat ilham atau mimpi sehingga akan menambah

mengatakan tidak mengetahui adanya sebuah kuburan keramat di situ. Sosok


Kiai Langgeng sendiri jika ditelusuri sejarahnya yang banyak ditulis di blogspot-
blogspot hanya diketahui sebagai sosok pejuang pengikut Pangeran Diponegoro
yang menentap di Magelang dan wafat tahun 1829. Akan tetapi, siapa sejatinya
Kiai Langgeng tidak ada yang tahu dan belum ada yang menulisnya secara
ilmiah.
72
Pelras, Manusia Bugis, 217.
73
Ibid., 219.
82
daya magisnya. Namun, jika diamati, tata cara tersebut hanyalah
varian dari pola-pola umum.74
Menurut pandangan umum di kalangan masyarakat Bugis, juga
di kalangan masyarakat Nusantara, perbedaan yang mencolok antara
ritus Islam dan ritus Bugis terletak pada tata cara penyembahannya.
Ritus Bugis menyembah melalui sesajen, sementara ritus Islam
melalui salat. Praktiknya boleh berbeda, tetapi keduanya dapat
menghasilkan hal yang sama.75
Seorang sandro (Jawa: dukun; Melayu: pawang atau bomoh)
memiliki bidang keahlian tertentu. Di antara sandro yang dikenal
adalah sandro bola (pemimpin ritus adat yang punya keahlian dalam
pendirian dan “pemeliharaan” rumah), sandro wanua (pemimpin ritus
adat pada komunitas wilayah tertentu, khususnya ritus pertanian),
sandro anaq (pemimpin ritus adat yang berkaitan dengan fase-fase
perkembangan anak mulai dari kandungan hingga kelahiran), sandro
pabbura (pemimpin ritus adat yang punya keahlian mengobati dan
perlindungan). Selain Sandro, ada profesi lain yang mirip, yakni indoq
(inang), seperti indoq botting, inang pengantin yang ahli dalam tata
laksana upacara perkawinan (biasanya perempuan atau
calabai/banci). Anggota keluarga dan teman dekat yang meskipun
memiliki keahlian penyelenggaraan ritus adat tetap tidak dipanggil
sandro.76
Berikut adalah proses salah satu upacara persembahan (sinkretis
praktis) orang Bugis. Dimulai dengan pembakaran kemenyan di dalam
wadah dupa kecil. Hal ini dimaksudkan oleh sandro untuk
mengundang to-alusuq dari Dunia Atas (Boting Langiq), sementara
jika ingin “memanggil” to-alusuq dari Dunia Bawah (Buriq Liu),

74
Ibd., 219-220.
75
Ibid., 224.
76
Ibid., 220. Lihat juga Ujddi Usman, “Prosesi Pernikahan Adat Bugis,”
10 November 2014, diakses 27 September 2021,
http://ilmubudaya.unhas.ac.id/ilmusejarah/id/?p=&title=Prosesi-Pernikahan-
adat-Bugis; Hyrasti Kayana, “Prosesi Pernikahan Adat Bugis,” Popbela.com, 5
Agustus 2019, diakses 27 September 2021,
https://www.popbela.com/relationship/married/hyrasti-kayana/prosesi-
pernikahan-adat-bugis/7.
83
dilakukan dengan cara meneteskan minynyaq bauq (minyak wangi) ke
air atau mencelupkan mata pisau ke dalam air. Setelah itu, “mereka”
dipersilahkan memakan benno (bertih, popcorn) yang dianggap
sebagai makanan favorit para to-alusuq tersebut. Jika “tetamu
undangan” itu dianggap sudah hadir, dibunyikanlah kanci (simbal)
atau bunyi-bunyian dari logam, seperti anak beccing dan tetti laguni,
atau dari bambu, seperti léa-léa sambil sang sandro menyalakan lilin
kemiri pelleng pesseq. Sandro kemudian mengolesi tangannya dengan
minynyaq bauq lalu mengambil sejumput makanan dari tiap-tiap jenis
yang disajikan kepada makhluk halusnya. Perjamuan kemudian
ditutup dengan menuangkan air mentah. Ritus ini dilanjutkan dengan
syukuran (baca daong) dengan membaca doa sambil menyantap
bersama makanan “sisa” persembahan. 77
Ritus sinkretis berikutnya adalah macceraq (pengurapan dengan
darah). Darah ayam atau darah hewan kurban (bukan hewan kurban
pada hari Iduladha) diusapkan kepada seseorang atau benda tertentu
yang dianggap keramat yang memerlukan perlindungan gaib, seperti
barang pusaka, bendera perang, dan bajak yang akan dipakai turun
sawah. Praktik ini mirip dengan acara ruwatan di Jawa. Ritus
macceraq dimaksudkan untuk menambah energi vital (sumangeq) ke
dalam diri seseorang atau benda keramat tersebut. Yang aneh adalah
ritual macceraq bacaan Al-Qur’an. Anak-anak yang manggaji (belajar
membaca Al-Qur’an) yang dimulai dari juz ‘ammah (secara berurut
dari surah Al-Fatihah sampai kepada surah An-Naba’) akan di-ceraq
bacaannya ketika menamatkan juz ‘ammah. Acara macceraq sudah
dimulai sewaktu anak-anak diserahkan kepada guru ngaji.
Selanjutnya, bacaan-bacaan yang di-ceraq adalah awal surah Al-
Baqarah, awal surah Ali ‘Imran, ayat 19 surah Al-Kahfi pada bacaan
wa al-yatalaththaf (biasanya ditulis dengan tinta merah pada mushaf

77
Perlas, Manusia Bugis, 222. Lihat juga Rio Anthony, “Ma'Baca-baca,
Kolaborasi Adat dan Agama Suku Bugis: Tradisi Ma'Baca-baca, Kolaborasi
Adat dan Agama di Suku Bugis-Makassar,” Tagar.id, 10 Juni 2019, diakses 27
September 2021, https://www.tagar.id/mabacabaca-kolaborasi-adat-dan-agama-
suku-bugis/.
84
tertentu), dan terakhir surat ke-46 (akhir) dari surah An-Nāzi‘āt (juz
29).
Ritual macceraq bacaan Al-Qur’an ini disertai dengan baca
daong (syukuran) yang dipersembahkan kepada guru ngaji dengan
sajian masakan sokko na manuq (ketan dan lauk ayam). Di antara ritus
macceraq baca yang paling penting adalah ketika menamatkan juz
‘ammah. Setelah guru ngaji membaca doa di hadapan hidangan
tersebut yang dipersembahkan kepada Nabi Muhammad saw., murid
yang macceraq baca dipersilahkan untuk memakan terlebih dahulu.
Orang tua, teman-teman mengaji anak yang macceraq baca, dan
gurunya akan memperhatikan bagian mana dari ayam yang dimakan
terlebih dahulu oleh sang murid. Jika yang dimakan bagian kakinya
dahulu, itu perlambang pelajarannya akan cepat tamat secepat ayam
berlari. Jika bagian sayapnya dimakan terlebih dahulu, pelajarannya
akan cepat tamat juga secepat terbangnya ayam. Akan tetapi, jika yang
disantap terlebih dahulu adalah buntut ayam, pelajarannya akan
lambat dan selalu tertinggal dari teman-temannya yang lain.
Kepercayaan macceraq baca ini tampaknya dipengaruhi oleh
kepercayaan nenek moyang pra-Islam. Terkadang ritual macceraq
baca ini dilakukan dengan ekstrem, yakni dengan mengusapkan darah
ayam pada mushaf Al-Qur’an, khususnya pada ayat-ayat yang di-
ceraq.78

C. Mentalitas Orang Bugis: Siriq na Pessé sebagai Penggerak


Utama
Dalam berbagai literatur, penyebutan manusia Bugis sering
digandengkan dengan manusia Makassar. Bahkan, kedua etnis ini
sering pula mewakili Sulawesi Selatan secara keseluruhan dalam
kaitannya dengan budaya dan tradisi sehingga timbullah istilah Bugis-

78
Sering dijumpai noda darah yang sudah mengering pada tulisan wa al-
yatalaththaf yang menandakan bahwa pemilik mushaf sudah melakukan ritual
maccera’ baca pada mushaf tersebut. Ini adalah bentuk maccera’ baca yang
ekstrem. Lihat Rudhi, “Persepsi Masyarakat tentang Maccera.”
85
Makassar.79 Tidak demikian dengan dua etnis besar yang lain, Mandar
dan Toraja, sehingga tidak lazim penyebutan Bugis-Mandar atau
Bugis-Toraja. Hal ini menimbulkan tanda tanya karena Bugis dan
Makassar hanyalah dua dari empat etnis terbesar di Sulawesi Selatan
(Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja). Penggandengan Bugis dan
Makassar itu tampaknya erat kaitannya dengan sikap mental dan
sistem nilai budaya yang dimiliki dan dihayati oleh kedua etnis ini.
Hal itu seolah-olah telah mewakili watak dan karakter dua etnis yang
lain secara stereotip.80
Manusia Bugis biasa dikenal sebagai suku bangsa yang
temperamental, pendendam, penaik darah, suka mengamuk, suka
membunuh, dan rela mati untuk suatu perkara yang remeh. 81 Hal yang
positif, paling jauh, etnis ini dikenal sebagai pelaut ulung yang berani
mengarungi samudra luas dengan perahu pinisinya. Sifat negatif dan
positif atau watak yang melekat pada suku bangsa ini bersumber dari
suatu pandangan hidup yang mereka namakan siriq. Pandangan hidup
ini merupakan penggerak perilaku manusia Bugis di dalam berbagai
bidang, seperti politik, hukum, sosial, dan ekonomi, khususnya adat,

79
Periksa Hamid Abdullah, Manusia Bugis Makassar (Jakarta: Inti Idayu
Press, 1985); Leonard Y. Andaya, “Pandangan Arung Palakka tentang Desa dan
Perang Makassar 1966-1969,” dalam Dari Raja Ali Haji hingga Hamka:
Indonesia dan Masa Lalunya, ed. Anthoni Reid dan David Marr (Jakarta: Grafiti
Pers, 1983); H.D. Mangemba, Kenallah Sulawesi Selatan (Djakarta: Timun Mas,
1998).
80
Di beberapa daerah di luar Sulawesi Selatan, muncul pula istilah Bugis-
Selayar, Bugis-Buton, Bugis-Muna dan nama-nama suku bangsa lain yang
berasal dari Sulawesi kemudian digandengkan dengan Bugis. Suku bangsa
Selayar sebenarnya hanya sub- dari suku bangsa Makassar yang mendiami Pulau
Selayar di selatan Sulawesi Selatan, sementara Buton dan Muna bukan bagian
dari suku bangsa di Sulawesi Selatan, melainkan suku bangsa yang mendiami
Pulau Buton dan Pulau Muna di selatan Sulawesi Tenggara. Sekali lagi,
tampaknya, penggandengan tersebut berkaitan dengan sikap mental stereotip
yang dimiliki dan dihayati oleh manusia Bugis dan Makassar (selanjutnya hanya
digunakan istilah “Bugis” dalam merujuk sikap mental dan sistem nilai budaya
yang dimiliki dan dihayati kedua suku bangsa ini, kecuali memang diperlukan
untuk menyebutkan keduanya sekaligus atau secara terpisah).
81
Mangemba, Kenallah Sulawesi Selatan, 9.
86
di mana pun mereka berada.82 Meski konsep siriq terdapat juga pada
etnis Mandar83 dan etnis Toraja,84 tetapi siriq sangat khas dimiliki dan
melekat pada etnis Bugis.85
Berbagai tulisan,86 penelitian,87 dan seminar88 tentang siriq telah
dilakukan. Hal ini menandakan bahwa sistem nilai budaya ini tidak
mudah dipahami oleh komunitas lain di luar suku bangsa Bugis.

82
Periksa Laica Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-
Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum) (Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press, 1995); Mattulada, “Sirik dan Pembinaan Kebudayaan,”
Ceramah Budaya dalam Seminar Masalah Siriq di Sulawesi Selatan (Ujung
Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977); Abdullah, Manusia Bugis Makassar
83
Darmawan Mas’ud Rahman, “Pengertian, Perkembangan Siri’ pada
Suku Mandar,” Makalah Referensi dalam Seminar Masalah Siri’ di Sulawesi
Selatan (Ujungpandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977).
84
C.Salombe, “Pengertian, Perkembangan Siri’ pada Suku Toraja,”
Makalah Referensi dalam Seminar Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan (Ujung
Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977).
85
Periksa Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. ke-3, cet. ke-
3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), entri siri’.
86
A. Moein MG, Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar:
Kualleangnga Tallanga Na-Toalia, Sirik Na Pacce (Ujung Pandang: Yayasan
Makassar Press, 1994); Abdullah, Manusia Bugis Makassar; Hamid Abdullah,
“Siriq, Etos Budaya Sulawesi Selatan,” dalam Reaktualisasi Etos Budaya
Manusia Bugis, ed. Husni Abrar (Solo: Ramadhani, 1990); M. Anwar Ibrahim,
“Kaitan Siriq dan Konsep Manusia,” Harian Sinar Harapan (Ujung Pandang, 22
Juni 1983); M. Anwar Ibrahim, “Kepribadian Manusia Bugis,” Harian Sinar
Harapan (Ujung Pandang, 19 Februari 1986); Husain Ibrahim, “Apakah Siriq
Merupakan Unsur Positif bagi Pembangunan?” Ceramah Seminar Masalah Siriq
di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977); M.
Askin, “Kedudukan Sirik dalam Yurisprudensi,” Majalah Lontara, No. 26.
Tahun XXIV, 1985; Errington Shely, Siriq, Darah dan Kekuasaan Politik di
dalam Kerajaan Luwu’ Zaman Dulu (Ujung Pandang: Bingkisan Budaya
Sulawesi Selatan, 1983).
87
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum; Rahim, Nilai-Nilai Utama
Kebudayaan Bugis, 138-144.
88
Rahman, “Pengertian, Perkembangan Siri’ pada Suku Mandar”;
Hamka, “Pandangan Agama Islam terhadap Siriq,” Ceramah Seminar Masalah
Siriq di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977);
Ibrahim, “Apakah Siriq Merupakan Unsur”; H.D. Mangemba, “Sirik dalam
Pandangan Orang Makassar,” Ceramah Budaya dalam Seminar Masalah Siriq
di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977);
Mattulada. “Sirik dan Pembinaan Kebudayaan”; La Side, “Pengertian,
87
Satu hal yang menarik, dalam praktiknya, konsep siriq lebih
banyak dihayati dan dijalankan oleh kaum lelaki Bugis, sementara
kaum perempuannya sering kali hanya menjadi pendukung atau
bahkan menjadi “kata benda” yang searti dengan siriq itu sendiri yang
wajib dijaga dengan taruhan nyawa.89 Itulah sebabnya seorang lelaki
Bugis terkadang menyebut perempuan anggota keluarga inti atau
orang lain yang sudah dianggap keluarga inti dengan istilah wélakku
atau bélakku, gabungan dari dua kata wélang atau bélang dan ku
(wélang atau bélang = telanjang atau aurat; dan ku = kata ganti
kepunyaan orang pertama).90 Wélakku atau bélakku berarti “auratku”.

Perkembangan Sirik Suku Toraja,” Makalah Referensi dalam Seminar Masalah


Siriq di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977
89
Pembunuhan yang disebabkan perempuan sering terjadi di realitas
orang Bugis jika terjadi peristiwa perkawinan silariang atau kawin lari dengan
berbagai sebab. Dalam hal ini, keluarga dari pihak perempuan telah diserang
siriq-nya atau dipakasiriq. Jadi, keluarga perempuan mempunyai kewajiban
moral untuk menegakkan kembali siriq keluarga dengan cara membunuh lelaki
yang membawa lari anak gadisnya. Secara hierarkis, urut-urutan keluarga yang
wajib membela siriq itu adalah 1) saudara laki-laki tertua. Apabila tidak ada,
salah satu di antara saudara laki-lakinya. Peranan ini penting karena dia mewakili
keluarga; 2) ayah, kecuali bila ayah sudah tua atau sudah tidak ada; 3) anggota
kerabat laki-laki yang terdekat dari pihak keluarga yang ternoda siriq-nya. Meski
orang yang langsung bertanggung jawab adalah saudara laki-laki tertua, atau
adiknya, atau ayahnya, atau kerabatnya, sebenarnya pribadi dari kerabat itu
menyatu dalam melaksanakan usaha penegakan siriq keluarga. Lihat Abdullah,
Manusia Bugis Makassar, 38-39; Abdullah, “Siriq, Etos Budaya Sulawesi
Selatan,” 34. Sebuah film berjudul “Badik Titipan Ayah” bertema silariang
(kawin lari) diproduseri oleh Dedy Mizwar ditayangkan di acara Sinema Wajah
Indonesia 2010-2011 produksi SCTV, 2 Oktober 2010 berdurasi 1 jam 22 menit.
Dibintangi oleh Reza Rahardian, Ratu Tika Bravani, Aspar Paturusi dan
Widyawati dengan setting dan bahasa yang digunakan Bugis-Makassar,
disutradarai oleh Dide Setiadi. Film ini menggambarkan sangat baik tentang
penegakan siriq keluarga karena anak perempuannya lari bersama pacarnya
untuk kawin lari (silariang). Bisa ditonton di YouTube di alamat
https://www.youtube.com/watch?v=nUdsoBXv2-Y. Sebuah penelitian tentang
film ini sudah pula dilakukan oleh Nursyafitri T., “Kajian Estetika John Fiske
pada Film Badik Titipan Ayah Karya Dedi Setiadi,” ISI Surakarta Embrio Institut
Seni Budaya Indonesia Sulawesi Selatan (ISBI), diakses 27 September 2021,
https://www.academia.edu/28577663.
90
Bandingkan dengan M. Ide Said MD, Kamus Bahasa Bugis-Indonesia
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977), entri welang.
88
Dengan kata lain, seorang perempuan Bugis diibaratkan sebagai aurat
bagi anggota keluarga. Aurat menurut konsep Islam harus
disembunyikan, ditutupi, dijaga, dan dibela dari gangguan pihak luar.
Seorang lelaki Bugis yang membiarkan perempuan anggota keluarga
atau saudara-saudara dekatnya diganggu oleh orang lain sama artinya
sedang telanjang bulat atau sedang mempertontonkan auratnya.
Konsep siriq menurut pengamatan Marzuki91 adalah bagian dari
sistem nilai budaya Bugis sejak dahulu kala, sejak To Manurung
pertama memerintah di seantero Sulawesi Selatan. Konsep siriq
kemudian dikukuhkan kembali di zaman To Manurung kedua, periode
Lontaraq, lewat perjanjian To Manurung dengan para Matoa (wakil
manusia Bugis), yakni di saat orang-orang Bugis sepakat untuk
mengangkat To Manurung periode kedua sebagai pemimpin mereka.
Sistem nilai budaya (cultural value system) berhubungan erat
dengan konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat yang
memilikinya, yakni tentang sesuatu yang dianggap bernilai, berharga,
serta penting dalam kehidupan mereka. Sistem nilai budaya ini sering
kali berfungsi sebagai pedoman tertinggi, yang memberikan arah dan
orientasi bagi kehidupan para warga masyarakat. Konsepsi-konsepsi,
gagasan-gagasan, ide-ide yang paling dalam dari wujud sistem budaya
(culture system) merupakan kandungan nilai-nilai (values) yang
paling dini dipelajari dan lebih dahulu diinternalisasikan para warga
masyarakat dalam kehidupan mereka. Sistem nilai budaya ini akan
menjiwai seluruh kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat.92
Secara etimologis, kata siriq searti dengan kata malu93 atau rasa
malu.94 Namun, memahami makna siriq dalam konteks kultural tidak
sesederhana memahami makna malu atau rasa malu dalam arti
leksikal. KBBI terbitan tahun 1990, halaman 847, merumuskan entri

91
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 100-1, 109-13.
92
Koentjaraningrat, “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional,” dalam
Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaa, ed. Alfian (Jakarta: PT Gramedia,
1985), 99-101; Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara
Baru, 1986), 190-191.
93
Said MD, Kamus Bahasa Bugis-Indonesia, 187, entri siri.
94
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 35.
89
sirik (dengan huruf akhir k)—tanpa pembubuhan konsonan glottal
stop—menurut makna kultural sebagai berikut:
Sirik, n, sistem nilai sosiokultural kepribadian yang merupakan
pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai
individu dan sebagai anggota masyarakat.

Terbitan-terbitan berikutnya, rumusan KBBI tentang siriq


mengalami penambahan tiga kata di akhir kalimat tersebut, “di
masyarakat Bugis”
Si ri, n, sistem nilai sosiokultural kepribadian yang merupakan
pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sbg
individu dan anggota masyarakat di masyarakat Bugis. 95

Melihat adanya perubahan rumusan tersebut, konsep siriq


memang khas milik orang Bugis dan, sekali lagi, tidak mudah dihayati
oleh orang di luar komunitas suku bangsa ini. Di dalam konsep siriq,
bersenyawa dua unsur secara simbiosis antara nilai malu dan nilai
harga diri (martabat). Di dalam rasa malu ada harga diri, di dalam
harga diri ada rasa malu yang kadang-kadang dapat menimbulkan
peristiwa dan konsekuensi tak terduga, seperti mengamuk dan
membunuh secara membabi buta, mati sesak nafas, dan mencelakai
diri sendiri karena terserang rasa maloecomplex.96
Kata siriq tidak dengan tegas disebutkan dalam literatur tertua
Bugis, La Galigo. Manuskrip ini menyebutkan dua jenis tanaman yang
digandeng menjadi satu, yakni siri-atakka atau siri bali atakka yang
dianggap sebagai “sennureng” (perlambang) terhadap kata siriq.97
Menurut Matthes (1874) yang dikutip oleh Marzuki,98 nama tanaman

95
Periksa Tim Redaksi, Kamus Besar, 1074.
96
Sulit dinalar oleh logika bahwa orang Bugis sanggup mengamuk dan
membunuh secara membabi buta hanya karena malu lantaran tidak sengaja
kentut bersuara di khalayak ramai. Dalam bahasa Bugis disebut nakélo ettu
(diperdaya oleh kentut). Orang Bugis juga bisa mati sesak nafas menanggung
rasa malu karena dituduh tidak jujur. Lihat Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran
Hukum, 119-120. Inilah jenis rasa malu yang bersenyawa dengan rasa harga diri
di dalam siri’.
97
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 35-6.
111
Ibid., 36.
90
yang dilambangkan sebagai bali atakka (pasangan tanaman atakka) itu
tidak lain adalah tanaman siri atau sirih (piper btle L.). Fonem siri atau
sirih mempunyai kesamaan dengan siriq, juga dalam penulisannya,
siri (si ri).
Menurut sebuah penelitian,99 nama tanaman siri atakka
disebutkan dalam episode Riuloqna Batara Guru dalam La Galigo.
Ketika Datu Patoto To Palanro É, dewa Pencipta langit yang
bernama La Patiganna Ajiq Sangkuru Wira, mengutus anak
sulungnya, La Togéq Langiq, yang bergelar Batara Guru untuk
memerintah di Alékawa (bumi) guna memimpin “dunia tengah”, Datu
Patoto berpesan agar apabila Batara Guru turun ke bumi, “....
tiwiqko ritu... siri atakka ... narékkua mattennga lalenno nonno ri lino
... muadangkeng siri atakka ri ataunnu ...ianatu matu mancaji aleq
(bawalah ...siri atakka ... manakala engkau telah di tengah perjalanan
turun ke dunia ... susurkan siri atakka di bagian kananmu ... itulah
kelak menjadi hutan). Kata aleq (hutan) dimaknai oleh Salahuddin
sebagai perlambang kehidupan. 100 Hingga kini, beberapa paseng atau
pappaseng (petuah) Bugis masih menjadikan nama tanaman siri
sebagai sennureng terhadap siriq sebagaimana dikutip oleh Marzuki101
berikut.
1. Abbekkekko daussiri (lilitkan daun sirih di pinggangmu).
Maksudnya, pakailah siriq selalu.
2. Tanekko daussiri ri olo bolamu, mutaneng perring ri munri
bolamu (tanamlah sirih di halaman rumahmu, dan tanamlah
bambu di belakang rumahmu). Kata siri mempunyai kesamaan
dengan fonem siriq, sementara kata perring mirip dengan fonem
perri yang berarti hambatan, kesulitan. Maksud paseng di atas
adalah siriq pa molo i wi perri é nariullé pajajiwi (hanya siriq
yang dapat menghadapi segala hambatan dan kesulitan).

99
Salahuddin, “Siri’ sebagai Nilai Luhur Budaya Masyarakat Bugis:
Pengertian dan Penerapannya,” tidak dipublikasikan (Ujungpandang: 1984),
dikutip oleh Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 36.
100
Ibid.
101
Ibid,, 36-7.
91
Menurut pengamatan M. Anwar Ibrahim, 102 ada lima
akkatenningeng (pegangan hidup) yang tertuang dalam lontaraq
paseng:
1. ada tongeng (ucapan yang benar). Perbuatan harus sesuai
dengan ucapan;
2. lempuq (jujur). Jujur atau amanah, khususnya yang berkaitan
dengan harta;
3. getteng (teguh mempertahankan keyakinan yang benar). Jika
sudah meyakini suatu kebenaran, tidak ada alasan untuk goyah;
4. sipakatau (saling memanusiakan). Saling menghargai sesama
manusia.
5. mappésona ri dewata séuwa É (berserah diri pada Yang Maha
Tunggal).

Kelima akkateningeng itu baru bisa dimiliki oleh pribadi yang


memelihara siriq. Tanpa siriq, orang tidak akan sanggup memedomani
kelima akkatenningen yang diwariskan oleh sastra lontaraq paseng
itu. Artinya, siriq adalah inti dari akkatenningeng.
Sejalan dengan pendapat M. Anwar Ibrahim, A. Rahman Rahim
mengemukakan enam nilai utama kebudayaan Bugis, yakni lempuq
(kejujuran), amaccang atau acca (kecendekiaan), aSittinajang
(kepatutan), getteng (keteguhan), réso (usaha), serta siriq. 103
Mattulada yang mengkaji Latoa dari kacamata antropologis
melihat siriq sebagai inti dari kebudayaan Bugis yang mendominasi
dan menjadi kekuatan pendorong terhadap pangadêrêng.104 Siriq
adalah totalitas kebudayaan Bugis. Isi pangadêrêng itu adalah sebagai
berikut.
1. Adeq adalah aturan perilaku masyarakat, yakni kaidah
kehidupan yang mengikat semua warga.

102
Ibrahim, “Kaitan Siriq dan Konsep Manusia.”
103
A Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2011). 168-175.
104
Pangadêrêng adalah kata jadian dari kata benda abstrak adeq. Selain
dipahami sebagai wujud totalitas kebudayaan Bugis, pangadêrêng juga
bermakna ihwal ade’ atau persoalan ade’. Mattulada, Latoa, 333.
92
2. Bicara adalah aturan peradilan yang menghakimi adil tidaknya,
benar tidaknya suatu perkara.
3. Wariq adalah aturan ketatalaksanaan yang mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan kewajaran dalam hubungan
kekerabatan dan silsilah.
4. Rapang.
5. Saraq adalah aturan syariat Islam. Saraq masuk menjadi unsur
pangadêrêng sekitar tahun 1611 M105 ketika Islam diterima
sebagai agama resmi dan umum pada masyarakat Bugis-
Makassar.

Pangadêrêng dibangun di atas landasan konsep siriq. Menurut


Mattulada, siriq tidak lain adalah harkat martabat dan harga diri
manusia itu sendiri. 106 Di Soppeng, siriq ditemukan konsepnya dalam
Lontaraq Pappaseng yang ditulis oleh Arung Bila Lawadeng
Lawaniaga, penasihat Datu Soppeng sekitar abad XVI dan awal abad
XVII. Arung Bila107 hidup sezaman dengan Laméllong To Suallé yang
bergelar Kajao Laliddo di Bone. Menurut Arung Bila,108 siriq sibawa
getteng (siriq yang disertai getteng) merupakan salah satu dari empat
paramata mattappaq (permata yang bercahaya) yang memancar dari
pribadi yang terpuji. Tiga paramata mattapaq yang lain adalah lempuq
é sibawa tauq (kejujuran disertai keseganan), makkeda tongeng
sibawa tikeq (berkata benar disertai kewaspadaan atau kehati-hatian),
akkaleng ngé sibawa nyameng ki ininnawa (akal budi disertai
keramahan).

105
Sara’ atau “syariat Islam” baru dimasukkan dalam lontaraq Latoa
pada sekitar tahun 1611 M, yakni di saat Raja Bone, La Tenrirua Sultan Adam
bergelar Mantiro é ri Bantaéng memeluk agama Islam. Kajao Laliddo
(penasihat Raja Boné VII, La Tenrirawé Bongkanng é) yang menulis lontaraq
Latoa di masa hidupnya tidak memeluk agama Islam. Marzuki, Siri’: Bagian
Kesadaran Hukum, 42.
106
Mattulada, Latoa, 339-341.
107
Arung Bila adalah gelar bagi jabatan penasihat kerajaan di Kedatuan
Soppéng. Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 42).
108
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 42.
93
Arung Bila juga mengemukakan pendapat orang-orang dahulu
tentang seseorang yang disebut sebagian to maupueq (orang yang
mujur atau beruntung), yakni orang yang memiliki enam sifat:
alempureng é (kejujuran), ada tongenng é (kata yang benar), gettenng
é (keteguhan hati), siriq é (malu), acca é (kepandaian), dan
awaraningenng é (keberanian). Di antara keenam itu, siriq menduduki
posisi utama karena bagi seseorang yang memiliki siriq adalah orang
yang maupeq (bertuah) karena maéga sellaong, ia to na ro ritaroi
rahasia ri arunng é (banyak pengikutnya, dan akan dipercaya oleh raja
untuk menyimpan rahasia).109
Masih menurut Marzuki, di Wajo, konsep siriq ditemukan pula
dalam Lontaraq Sukkuqna Wajo.110 Selain memuat peristiwa sejarah,
lontaraq ini juga banyak memuat pappaseng dan pembicaraan to acca
(cendikiawan) Wajo zaman dahulu. Salah satu paseng yang memuat
konsep siriq adalah dari La Tiringeng To Tabaq, Arung Saotanré di
abad XV yang berpesan, “Asiriq muétauqi Déwata Seua É, muasiriq i
alému, muasiriq toi padammu tau!” (Taruhlah siriq serta takut kamu
kepada Tuhan Yang Esa, agar kamu menaruh siriq kepada dirimu
sendiri, dengan itu kamu pun menaruh siriq kepada sesama
manusia).111
Sebuah seminar masalah siriq yang diadakan di Ujung Pandang,
Juli 1977, merumuskan bahwa siriq adalah sistem nilai sosio-kultural
dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan
martabat manusia (Bugis—pen.) sebagai individu dan sebagai anggota
masyarakat. Di dalam konsep siriq, terkandung dua nilai yang
dominan, yakni nilai malu dan nilai harga diri (martabat). Dua konsep
ini — malu (shame) dan harga diri (self-esteem, self-respect, self-

109
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 43.
110
Lontaraq Sukkuqna Wajo adalah kumpulan lontaraq sejarah Wajo
yang dirangkum oleh sebuah tim pallontaraq di bawah bimbingan La Sangaji
Puanna La Senngeng di abad XVIII di masa pemerintahan Arung Matoa
Mapajung Puanna Salowong (1749-1767). Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran
Hukum, 43.
111
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 43.
94
worth)—menurut pengamatan Andaya 112 seakan-akan berlawanan
(two seemingly contradictory meaning), padahal, “There is no
contradiction in these terms, for a sense of shame implies a conception
by an individual of his own self-worth from which arises his dignity...
Siriq is a concept which embraces the idea of self-worth and
shame.”113
Ada empat kategori dalam struktur siriq yang berlaku secara
simultan tanpa mengenal mati, 114 yaitu
Pertama, ripakasiriq (dipermalukan). Siriq ini sangat
berhubungan dengan harga diri pribadi, juga harkat dan martabat
keluarga yang tabu untuk dilanggar. Orang atau anggota masyarakat
yang berani melanggar berarti ia telah menjadikan nyawanya sendiri
sebagai taruhan. Hal ini jamak terjadi dengan perilaku penganiayaan
atau pembunuhan. Pada saat bersamaan, keluarga korban yang
terlanggar harga dirinya (ripakasiriq) wajib menegakkan kembali
siriq tersebut. Dalam praktiknya, pengembalian siriq harus
membunuh atau terbunuh. Orang Bugis meyakini bahwa seseorang
yang mati terbunuh karena menegakkan siriq adalah syahid yang
tinggi derajatnya di sisi Tuhan (mate risantangi atau mate rigollai =
mati dalam keadaan gurih bercampur manis). Hakim PPIDana di
zaman penjajah Belanda terheran-heran dan tidak bisa mengerti
mengapa orang Bugis begitu bangga dan secara kesatria mengakui di
depan persidangan PPIDana bahwa dia telah melakukan pembunuhan
berencana dengan ancaman PPIDana sangat berat. Inilah arti penting
menjaga siriq untuk kategori ripakasiriq dan itu terpampang jelas

112
Leonard Y. Andaya, “A Village Perception of Arung Palakka and the
Makassar War of 1666-1669,” dalam Perception of the Past South East Asia, ed.
Anthony Reid dan David Marr (Singapore: Asian Studies of Australia, 1979),
366-367.
113
Andaya, “A Village Perception of Arung Palakka,” 15.
114
Muh. Darwis, “Siri’ Na Pacce dalam Perspektif Pemberdayaan,”
Kotaku: Kota Tanpa Kumuh, Makassar, 20 November 2012, diakses 27
September 2021,
http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaarsipdetil.asp?mid=5265&catid=2&;
Coursehero, “Struktur Siri dalam Budaya Bugis atau Makassar,” diakses 27
September 2021, https://www.coursehero.com/file/pse0lri/Struktur-Siri-dalam-
Budaya-Bugis-atau-Makassar-mempunyai-empat-kategori-yaitu/.
95
dalam falsafah Bugis yang tertulis dalam kalimat, “Siriq é mmi ri
tuoang ri lino é. Narékko tabbé ni siriqmu, lebbiqni mate bawanno,
nasabaq déq na angkeqmu. Malebbiq mui olo-koloq é na alému”.115
Kedua, mappakasiriq-siriq. Siriq ini berkaitan dengan prinsip
hidup mandiri atau etos kerja. Pepatah adat Bugis berbunyi, “Narekko
deq gaga siriqmu, inrekko siriq” (Jika kamu tak punya siriq, pinjamlah
kepada orang yang masih memilikinya); “Narekko engka siriq-mu,
ajaq mupakasiriq-siriq” (Jika kamu punya siriq, janganlah malu-
maluin). Orang Bugis akan selalu bekerja keras, tekun, dan pantang
menyerah dalam mengarungi hidup. Orang yang seluruhnya beragama
Islam selalu berkesesuaian dengan ajaran agama yang diyakini yang
mewajibkan untuk bekerja keras hingga perintah adat yang
menyarankan “bekerja keraslah, nanti harkat dan martabat keluargamu
terangkat”. Jangan sampai seorang anak Bugis menjadi pengemis
karena perbuatan itu akan membuka luka siriq (memalukan).
Sebagaimana lazimnya orang Bugis berprofesi sebagai pasompeq
(berlayar mengarungi lautan), prinsip bekerja keras itu tertuang dalam
pepatah, “Lebih baik tenggelam (di tengah laut) daripada balik haluan
sebelum mencapai cita-cita”.116
Selain itu, siriq mappakasiriq-siriq juga dapat mencegah
seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-
nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang
dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Salah satu
falsafah Bugis dalam kehidupan adalah “Maliq siparampe, malilu
sipakainga” dan “Pada idiq pada eloq sipatuo sipatokkong” atau
“Pada idiq pada eloq sipatuo sipatettong”. Artinya, ketika seseorang
kerabat tertimpa kesusahan atau musibah, keluarga lain akan ikut
membantu; jika seseorang kerabat cenderung terjerumus ke dalam
perbuatan nista karena khilaf, keluarga yang lain wajib mengingatkan
dan meluruskannya.117
Struktur ketiga adalah teddeng siriq. Teddeng siriq yang dikenal
dalam masyarakat Bugis adalah siriq yang berhubungan dengan rasa

115
Coursehero, “Struktur Siri.”
116
Darwis, “Siri’ Na Pacce.”
117
Friskawini, “Makna Siri’ na Pacce’.”
96
malu seseorang karena “terusik” siriq-nya, biasanya karena memiliki
utang. Di saat berutang, ia berjanji melunasinya suatu saat nanti.
Namun, ketika waktunya sampai, ia belum juga melunasinya maka ia
disebut tak menepati janji. Ia telah kehilangan siriq dan
mempermalukan dirinya. Bila hilang rasa siriq karena ini,
implikasinya juga tak kalah penting dibanding dua siriq di atas ini.118
Siriq keempat adalah mate siriq. Mate siriq merupakan puncak
siriq atau puncak rasa malu. Itu disebabkan rasa malu yang
berhubungan dengan mahkota hidup seseorang, yaitu iman
(keyakinan). Orang yang mate siriq-nya (hilang rasa malu) berarti
sudah tidak ada iman walau se-zarah. Adat Bugis menganggap orang
ini sebagai bangkai hidup. Walaupun disindir, diajari, bahkan dikenai
kekerasan, siriq-nya tidak akan pernah muncul. 119
Sepadan dengan siriq, manusia Bugis memiliki konsep pessé.
Pessé adalah nama sejenis tanaman yang dikenal dalam bahasa
Indonesia sebagai jahe atau halia yang mempunyai rasa pedas dan
hangat. Dalam makna kultural, pessé bermakna essé babua (iba hati)
di saat melihat penderitaan orang lain. Ia bermakna semacam
kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau
kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).120
Andaya memaknai kata ini sebagai a Bugis-Makassar concept of
empathy with the members of one’s community.121
Secara harfiah, pessé bermakna perih atau pedih yang meresap
dalam kalbu seseorang karena melihat kepedihan atau penderitaan
orang lain. Pessé berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas,
pembersamaan, serta pemuliaan humanitas yang dalam bahasa Bugis
disebut sipakatau. Karena perasaan pessé ini, orang Bugis akan rela
mempertaruhkan nyawanya untuk menolong sesama, meski terhadap

118
Darwis, “Siri’ Na Pacce.”
119
Friskawini, “Makna Siri’ na Pacce’.”
120
Ibid.
121
Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of
South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (The Hague Martinus
Nijhoff, 1981), 368.
97
orang asing yang meminta perlindungan karena teraniaya atau terkena
musibah.122
Pessé akan memotivasi solidaritas sosial dalam penegakan
harkat siriq orang lain. “Orang lain” di sini meliputi semua orang di
luar dirinya sendiri (subjecktum), tepatnya siapa pun yang menjadikan
dirinya larut oleh endapan perasaan pessé. Perasaan pessé akan selalu
muncul di saat melihat orang lain diserang siriq-nya atau
dipermalukan (dipakasiriq).
Konsep pessé akan selalu tampil beriringan dengan konsep
123
siriq. Siriq dan pessé menurut Andaya adalah twin concept which
define the Bugis-Makassar individual. Dalam kaitannya dengan
penegakan siriq, pessé tidak hanya sekadar to smart, poignant, tetapi
it expresses a more subtle and intimate emotion than the literal
meaning.124 Bagi orang Bugis, jika siriq belum kunjung ditegakkan,
setidak-tidaknya mereka masih punya pessé yang mempersatukan
mereka dalam rangka memulihkan harkat siriq. Jadi, ada ungkapan,
Iya sempugiqku, rékkua déq na siriqna engka messa pesséna (Bagi
sesamaku orang Bugis, jika tiada lagi siriq, paling tidak masih
memiliki pessé).125
Siriq dan pessé ibarat dua sisi dari sebuah koin yang tidak
terpisahkan. Pessé mempunyai nilai tersendiri dan selalu mengikuti
sikap siriq. Dengan sikap hidup yang berdasarkan pessé ini, seseorang
mengembangkan sikap berperikemanusiaan yang tinggi. Sikap
kemanusiaan dalam pandangan hidup yang terkandung dalam kata
pessé ini tidak terbatas kepada sesama manusia saja, tetapi juga kepada
seluruh makhluk. Keserasian antara siriq dan pessé harus tercapai,
saling mengisi antara keduanya, dan sewaktu-waktu berfungsi sebagai
penetralisasi sikap yang terlalu ekstrem dari salah satunya. Nilai-nilai
kebudayaan inilah yang dianalisis dalam lintas teks PPID, di mana
nilai-nilai tersebut telah berfungsi sebagai latar penciptaan teks
dimaksud.

122
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 132.
123
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 133.
124
Andaya, “A Village Perception of Arung Palakka,” 367.
125
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 133.
98
BAB IV
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA

A. Identifikasi PPID: Sastra Pau-Pau


Sastra Bugis memiliki gendre pau-pau dan pau-pau rikadong.
Pau-pau berasal dari kata pau yang secara lesikal berarti “ucapan,
perkataan.”1 Ketika kata itu diulang menjadi pau-pau ia bermakna
“cerita, dongeng, kisah”, sementara rikadong berarti “diangguki, di-
iyakan, disetujui.”2 Dalam konvensi sastra Bugis pau-pau sama
dengan sureq yang berarti “hikayat” seperti Pau-paunna Indale
Patara / Sureqna Indale Patara (Hikayat Indra Putera), Sureq
Makkelluqna Nabitta (Hikayat Nabi Bercukur), Sureq Panrita
Sulesanaé (Hikayat Para Ulama Bijaksana), Sureq Galigo,3 dan lain
sebagainya. Pau-pau berbasis pada sastra tulis Bugis (STB),
sementara pau-pau rikadong berbasis pada sastra lisan Bugis (SLB).
Dalam tradisi tutur, pau-pau Rikadong mempunyai formulaik
khusus. Penutur akan dikelilingi oleh pendengar yang selalu
“mengangguk-anggukan kepala” (kado-kado) pertanda setuju atau
lebih tepatnya berpura-pura setuju dengan isi cerita tersebut, lalu
penutur akan memulai dongengnya dengan ucapan, “Bila dusta yang
kudongengkan, lebih dusta lagi yang mendengarkan karena semua
yang kuceritakan dianggukinya, dibenarkannya” (Narékko bellé upau,
pabellépi ya méngkalingai, nasabaq nakadoang maneng pau-
paukkuq).4 Cerita akan ditutup oleh penutur dengan ucapan, puppuqni
bangkungngé sipuppureng curitaé (parang sudah tumpul, bersamaan

1
Said MD, Kamus Bahasa Bugis-Indonesia, 150.
2
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Pau-Pau Rikadong dalam Budaya Bugis,”
Kata Pengantar Edisi 2011 untuk buku A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama
Kebudayaan Bugis (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), xii.
3
Nurhayati Rahman, Pau-paunna Indale Patara: Dari Hindu India,
Islamisasi Melayu, sampai ke Sufi Bugis (Makassar: La Galigo Press, 2014), 1.
4
Nurdin Yusuf, dkk., Pau-Pau Rikadong: Suatu Tradisi Lisan Sulawesi
Selatan Sebagai Sarana Pendidikan dan Hiburan (Makassar: Pustaka Refleksi,
2015), v.

99
100
tumpulnya/tamatnya cerita) atau lettukni di Singapura sipurangeng
curitaé (sampailah di Singapura, bersamaan tamatnya cerita).5
Kebanyakan pau-pau yang berisi dongeng keagamaan dianggap
sakral serta diyakini kebenarannya, namun ada pula pau-pau yang
tidak sakral seperti Pau-paunna I Bunga Tanjong.6 Sementara pau-
pau rikkadong adalah sastra profan yang sejak semula dianggap hanya
dongeng belaka. Baik pau-pau maupun pau-pau rikadong mempunyai
kedudukan penting dalam kebudayaan Bugis, karena mengandung
pengajaran nilai-nilai luhur.7 A. Rahman Rahim bahkan mengangkat
Pau-pau Rikadong “Masala Uli” (Dongeng Anak Raja Luwu yang
Sakit Kulit) sebagai contah ketika menulis bukunya yang berbicara
tentang nilai-nilai utama kebudayaan Bugis.8 Lalu di manakah posisi
dongeng I Daramatasia?
Tahun 1981, Fachruddin Ambo Enre dkk. menerbitkan buku
hasil inventarisasi SLB (Sastra Lisan Bugis) di empat Kabupaten di
Sulawesi Selatan: Bone, Soppeng, Wajo, dan Luwu. Ada 34 SLB yang
berhasil direkam. Enre dkk. tidak menyebut SLB yang
dikumpulkannya itu sebagai sastra pau-pau atau pau-pau rikadong.9
Tahun 2015, Nurdin Yusuf dkk. mengumpulkan 23 SLB yang
digolongkannya sebagi pau-pau rikadong.10 Dari dua buku kumpulan
SLB tersebut, tidak terdapat dongeng I Daramatasia yang

5
Pengalaman penulis mendengarkan Puang Manna’ mendongeng pau-
pau rikadong di tahun 1970-an.
6
Menurut Fachruddin Ambo Enre, Pau-paunna I Bunga Tanjong
tergolong pau-pau jenis baru yang jelas siapa pengarangnya dan bukan
merupakan terjemahan dari bahasa lain. Lihat Fachruddin Ambo Énré,
Ritumpanna Wélenrengngé, 87.
7
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Pau-Pau Rikadong dalam Budaya Bugis”,
xii.
8
A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2011), 169-185.
9
Fachruddin Ambo Enre dkk., Sastra Lisan Bugis (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kabudayaan, 1981).
10
Nurdin Yusuf, dkk., Pau-Pau Rikadong: Suatu Tradisi Lisan Sulawesi
Selatan Sebagai Sarana Pendidikan dan Hiburan (Makassar: Pustaka Refleksi,
2015).
101
mengidikasikan bahwa dongeng ini tidak diperhitungkan sebagai
SLB.
Baru pada tahun 1999, ketika berbicara tentang sastra Bugis,
Enre ada menyebut sastra pau-pau dan pau-pau rikadong. Pertama, ia
membagi Sastra Tulis Bugis (STB) menjadi dua bagian besar, yakni
sastra sureq dan sastra lontaraq. Perbedaan keduanya terletak pada
saat membacanya. Sastra Sureq dibaca sambil berlagu (bernyanyi),
sementara sastra lontaraq tidak. Istilah lontaraq sendiri memiliki
pengertian lain yakni sebagai huruf (urupuq, ukiq) yang dipakai oleh
orang Bugis-Makassar. Perbedaan yang lain adalah, sastra sureq
berisi cerita, sementara sastra lontaraq berisi silsilah, catatan harian,
atau kumpulan catatan sejarah.11
Sastra sureq terbagi lagi memjadi dua jenis: sastra galigo dan
sastra toloq. Keduanya memiliki kesatuan rima yang tetap, terdiri dari
5 dan 8 suku kata. Sastra galigo sebagaimana diketahui adalah epos
yang bercerita tentang asa-usul orang Bugis yang tidak melulu berupa
sanjungan, sementara sastra toloq berisi sanjungan terhadap
kepahlawanan seseorang. Sastra sureq adalah prosa yang dibaca
sambil berlagu, memiliki irama tertentu yang merujuk kepada
kebiasaan tertentu di suatu daerah. Misalnya laoang gandra, merujuk
pada kebiasaan orang-orang kampung Gandra melagukannya.12
Di dalam sastra sureq ada jenis sastra yang disebut pau-pau,
pau-pau baru, dan pau-pau rikadong. Lebih lengkap, Enre13 membagi
sastra tulis Bugis menjadi:
1. Galigo, bercerita tentang kehidupan dinasti Batara Guru dan
asal-usul orang Bugis.
2. Tolog, bercerita tentang kepahlawanan seseorang karena
melawan penjajah Belanda seperti Toloqna Petta Malampeq é
Gemmeqna, yakni kisah heroik Arung Palakka.

11
Fachruddin Ambo Énré, Ritumpanna Wélenrengngé:, 86

12
Mas’ud Muhammadiah. “Teori Kajian Filologi” dalam Suwardi
Endraswara (ed.), Teori Kajian Sastra Kritis: Perspektif Tokoh Sastra di
Indonesia (Yogyakarta: Textium, 2021), 18.
13
Fachruddin Ambo Énré, Ritumpanna Wélenrengngé, 87.
102
3. Pau-Pau (cerita), yang termasuk dalam jenis ini antara lain
Sureq Baweng (Hikyat Bayan Budiman), Sureq Bekku (cerita
burung tekukur), Sureqna I Mase-Mase (cerita tentang I Mase-
Mase), Sureq Makkeluqna Nabitta (Hikayat Nabi Bercukur), dll.
4. Pau-pau baru, cerita karangan sendiri oleh pengarangnya,
bukan terjemahan, seperti Pau-Paunna I Bunga Tojang.
5. Pau-pau rikadong, berisi berbagai macam cerita termasuk
dongeng dan mitos. Fungsi dari pau-pau rikadong antara lain:
sebagai perintang-rintang waktu di saat berjaga-jaga
(passaleweq tau temmarinro), pengibur untuk orang yang
sedang merindu (paddaga-daga tua maruddani).14

Dalam pembagian di atas, terlihat Enre tidak menyadari bahwa


katogerinya tidak sesuai dengan konvensi sastra Bugis karena ia
memasukkan pau-pau rikadong sebagai STB, padahal pau-pau
rikadong adalah cerita rakyat Bugis yang berbasis pada budaya lokal
dan tradisi lisan. Adapun kemudian ada yang menulis pau-pau
rikadong, itu adalah perkembangan berikutnya dalam rangka
melestarikan cereita-cerita tersebut.
Kembali kepada dongeng I Daramatasia. Dari kategori-katogeri
yang dijelaskan oleh para ahli sastra Bugis di atas, dapat disimpulkan
bahwa dongeng I Daramatasia termasuk ke dalam gendre pau-pau atau
sureq dengan dua sebab. Pertama, kisah I Daramatasia merupakan
terjemahan dari tradisi naskah Melayu, dibawa oleh orang-orang
Melayu yang menetap di Sulawesi Selatan. 15 Ketika agama Islam
berterima secara luas di Sulawesi Selatan, naskah ini disalin dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis oleh sastrawan-sastrawan Bugis
untuk keperluan dakwah di abad ke-16.16 Penerjemahan dan
penyalinan kisah I Daramatasia (dari Hikayat Darma Tahsiyah)
seangkatan dengan Hikayat Bayan Budiman (Sureq Baweng), Hikayat

14
Mas’ud Muhammadiah. “Teori Kajian Filologi,” 19.
15
Fachruddin Ambo Énré, Ritumpanna Wélenrengngé, 87; Lihat juga
Rahman, Pau-paunna Indale Patara, 1.
16
A.R. Daeng Patunru, Sejarah Gowa (Makassar: Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1969), 20-21.
103
Sultanul Injilai (Sureq Bekkȗ), Hikayat Si Miskin (Sureqna I Masé-
Masé), Hikayat Bakhtiar (Sureqna Sabattiara), Hikayat Nabi
Bercukur (Sureq Makkellȗna Nabitta), Hikayat Indera Putera (Suqna
Indale Patara atau Pau-paunna Indale Patara), Hikayat Isma Yatim
(Sureqna La Béu), dan Hikayat Cekel Wenang Pati (Sureq Cékéléq).17
Kesemua naskah yang disebutkan di atas, menurut Enre, tidak
dimaksudkan sebagai gambaran kehidupan nyata meski ada naskah
meyebutkan nama-tama negeri yang dikenal ada, seperti Mesir, Turki,
Bagdad, Madinah, Arafah, Mekah, Singapura dll.18
Kedua, salah satu naskah I Daramatasia yang penulis sunting
menjadi versi Bone memang menyebutkan bahwa kisah ini adalah
pau-pau,
Iana é ada-ada tongeng pau-paunna I Daramatasiya anaq-
anaq ada, enrenngé to ha massipolé ri kittaq maeripaqna
napaké punna ri makkunraié nasabaq oroané /anaq/ anaqna
riaseng Saéheq Akebare. Iya asengna makkunrainna riasenngi
Siti Rabiyatul Alawiya..Engka ananqna riaseng I
Daramatasiya, ripasialai orowané riasenngé Saéheq
Bilemaerupi.

Kisah wanita yang memotong rambutnya lalu diusir oleh


suaminya di Nusantara memiliki dua versi: naskah dan lisan.
Naskahnya ada di empat bahasa: Melayu, Jawa, Sunda, dan Bugis.
Terkait naskah yang berbahasa Bugis, versi lisannya lebih dulu
bertransformasi dan telah terjadi transformasi bolak-balik: lisan ke
tulisan dan sebaliknya, tulisan ke lisan. Dafirah19 menemukan fakta
bahwa orang Bugis telah menambahkan unsur-unsur Bugis ke dalam
kisah ini, seperti gaya bahasa, dialek, diksi, dan struktur kalimat yang
menunjukkan pakem yang tidak tetap.

17
Fachruddin Ambo Énré, Ritumpanna Wélenrengngé, 86.
18
Ibid.
19
Dafirah, “Konsep Wanita dalam Naskah Klasik I Daramatasia,”
Laporan Penelitian (Makassar: Fakultas Sastra Unhas, 2000); Dafirah.
“Perbandingan Daramatasia Menurut Versi Naskah Bugis dan Melayu,” Laporan
Penelitian (Makassar: Masyarakat Pernaskahan Nusantara, 2001); Dafirah,
“Analisis Wacana I Daramatasia: Discourse Analysis of I Daramatasia,” Tesis
(Ujung Pandang: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1999).
104
Mustari20 telah melakukan kajian filologis terhadap PPID. Ada
tujuh lontaraq garapan dan ia berhasil menyuntingnya menjadi tiga
versi: versi Bone, versi Barru, dan versi Pangkep. Ketiga versi
suntingan tersebut disarikan dari sedikitnya 7 naskah yang ditemukan
oleh Mustari: 1 Naskah di Sulawesi Barat, 5 naskah di Sulawesi
Selatan, 1 naskah di Tanjungpinang. Melihat kepopuleran cerita ini,
kemungkinan PPID tidak hanya memiliki 7 eksemplar. Diduga masih
banyak dalam koleksi perorangan. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan
orang Bugis yang amat ketat dalam memelihara lontaraq yang
diwarisi dari leluhur sehingga tidak mudah untuk memperolehnya.
Berikut disajikan identifikasi ketujuh lontaraq tersebut.
Pertama, Lontaraq Polmas (Lontaraq A). Naskah ini
ditemukan oleh As’ad Bua di Wonomulyo, Kecamatan Wonomulyo,21
Kabupaten Polmas (Polewali Mamasa),22 Provinsi Sulawesi Barat,
maka penulis namai Lontaraq Polmas. Pemiliknya adalah seorang
wanita passureq, bernama Kanijah, kelahiran 1923 di desa Mosso,
Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polmas. Alas naskah berupa
kertas tulis tak bergaris dengan warna yang kekuning-kuningan.
Pinggiran kertas sudah tidak rata karena termakan usia. Menurut
pemiliknya, naskah ini diperoleh sebagai hadiah dari sahabatnya,
Syarifah Intan, sewaktu ia tinggal di desa Karama, Kecamatan
Tinambung, Kabupaten Polmas. Awalnya, Kanijah sering diajak oleh
sahabatnya itu untuk membacakan PPID di samping naskah Sureq
Makkelluqna Nabitta (Hikayat Nabi Bercukur). Karena suaranya yang
merdu, Syarifah Intan menghadiahkan naskah PPID kepadanya. 23

20
Mustari, “I Daramatasia: Suntingan Teks dan Analisis Transformasi,”
Tesis (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM, 2005).
21
Desa Wonomulyo merupakan daerah transmigrasi penduduk dari Jawa
sehingga namanya diambil dari nama Jawa.
22
Polmas kini sudah menjadi dua kabupaten yang terpisah, yakni
Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamassa yang termasuk dalam wilayah
Provinsi Sulawesi Barat.
23
M. As’ad Bua, “I Daramatasia (Transliterasi dan Terjemahan),”
Laporan Penelitian (Ujungpandang: Fakultas Sastra, 1988), 11.
105
Menurut As’ad Bua,24 kisah I Daramatasia dijadikan hiburan
oleh pemiliknya dalam menyampaikan ajaran moral, khususnya
sosialisasi ajaran bakti seorang istri kepada suami. Naskah tersebut
dibacakan dengan bernyanyi pada setiap malam Jumat atau sesudah
murid-muridnya belajar membaca Al-Qur’an. Kanijah juga melayani
panggilan sanak keluarga yang khusus mengundangnya untuk
membacakan kisah tersebut. Ada kepercayaan di kalangan
masyarakatnya bahwa membaca PPID dapat menghapus dosa-dosa,
baik pembacanya, pendengarnya, maupun pemelihara naskahnya.
Itulah sebabnya pemiliknya selalu membaca lontaraq tersebut setelah
selesai menunaikan salat fardu, khususnya di malam Jumat.
Naskah Polmas ini terdiri dari 26 halaman, beberapa bagian
sudah sangat rapuh dan beberapa bagian lagi sudah kabur tulisannya
sehingga hampir tidak terbaca, terutama bagian awal (lembaran-
lembaran awal). Pada bagian bawah ujung kanan sudah sangat aus dan
kotor berwarna kehitaman akibat termakan usia dan terlalu sering
dibaca. Lontaraq ini berukuran 16 x 20,5 cm dengan blok tulisan
berukuran 12,5 x 17,5 cm. Jumlah baris setiap halaman adalah 12
baris, kecuali halaman pertama dan terakhir masing-masing 11 dan 6
baris. Jumlah kata setiap baris rata-rata adalah 8 kata. Kertas yang
digunakan adalah jenis yang tidak bergaris dengan permukaan tidak
begitu halus, berwarna kekuning-kuningan dengan pinggir tidak rata
lagi yang menunjukkan tuanya usia lontaraq ini.
Dijilid dengan seutas benang, lembar pertama dan terakhir telah
lepas dari jilidannya. Sampul lontaraq sudah hilang, tetapi diberi
sampul baru oleh pemiliknya dengan kertas sak semen berwarna
cokelat, kemudian dibungkus plastik bening.
Teks lontaraq ditulis dengan aksara serang25 berbentuk prosa
bebas dalam bahasa Bugis yang diintervensi bahasa Mandar. Beberapa
kata ditulis dalam aksara Arab dengan kaidah bahasa tersebut. Dari
karakter huruf, dapat diduga bahwa alat tulis yang digunakan adalah

24
Ibid.
25
Dafirah khilaf ketika mendeskripsikan lontaraq ini dengan mangatakan
bahwa teksnya ditulis dengan aksara lontaraq. Lihat Dafirah, “Perbandingan
Daramatasia,” 27.
106
kallang (kalam). Penulisan hurufnya relatif rapi berukuran sedang. Isi
teks (cerita) masih utuh dari awal hingga akhir. Lontaraq ini telah
ditransliterasi dan diterjemahkan oleh As’ad Bua pada tahun 1988
dengan menggunakan metode edisi naskah tunggal, khususnya edisi
standar atau edisi kritik. Kelemahan edisi As’ad Bua adalah tidak
disertai dengan pertanggungjawaban edisi dan aparat kritik.
Cerita dalam Lontaraq Polmas dapat dipenggal menjadi
beberapa episode:
Episode ke-1: Pengabdian I Daramatasia kepada Suami.
Episode ke-2: Pesan Syekh al-Ma’ruf kepada I Daramatasia.
Episode ke-3: I Daramagtasia Melahirkan.
Episode ke-4: I Daramatasia Memotong Rambutnya
Episode ke-5: I Daramatasia Diusir Suaminya
Episode ke-6: I Daramatasia Mengadu ke Ibu Bapaknya.
Episode ke-7: I Daramatasia Membuang Diri ke Rimba Raya.
Episode ke-8: I Daramatasia Mendapat Pertolongan Allah Taala.
Episode ke-9: I Daramatasia Pulang ke Rumah Suaminya.
Episode ke-10: Syekh al-Ma’ruf Salah Tingkah.
Episode ke-11: I Daramatasia Membuka Rahasia Kecantikannya.
Episode ke-12: I Daramatasia Dilamar Tujuh Laki-Laki Bersaudara.
Episode ke-13: I Daramatasia Dilamar Tiga Laki-Laki Bersaudara.
Episode ke-14: Ahmad Memecahkan Persoalan I Daramatasia.
Episode ke-15: Ahmad Diminta Menunda Pernikahan.
Kolofon.

Kedua, Lontaraq Barru-1 (Lontaraq B)


Lontaraq ini ditemukan di daerah Batu Bessi, Kabupaten Barru,
Sulawesi Selatan, maka lontaraq ini penulis namai Lontaraq Barru-1
karena ada 2 naskah yang berasal dari Kabupaten Barru. Pemiliknya
bernama Yambe (kelahiran tahun 1927). Menurut keterangan di Daftar
Catalog Rol 1-82 (1994: 281), lontaraq ini berjudul Daramatasia, telah
dimikrofilm pada tanggal 30 Oktober 1992. Naskah ini tersimpan di
Arsip Nasional RI (ANRI) Wilayah Sulawesi Selatan, dengan kode
roll 36 No. 19.
107
Lontaraq Barru-1 ini ditulis dengan aksara lontaraq. Khusus
penulisan nama I Daramatasia, Syekh bi al-Ma’ruf dan tokoh-tokoh
yang lain, ditulis dalam aksara Arab (serang). Ukuran halaman 15,5 x
20,5 cm dengan blok teks 12,5 x 16,5 cm. Ditulis di atas kertas minyak
dengan tinta hitam. Keadaan fisik lontaraq sudah tidak lengkap dan
kertasnya kekuning-kuningan. Lontaraq ini sudah tidak bersampul
dan dijilid dengan benang. Jumlah halaman 51 halaman terdiri atas 15
baris tiap halaman. Penomoran halaman dilakukan oleh pendeskripsi,
sementara pencatatnya adalah Drs. M. Salim dan Dra. Hastina D.
Terdapat halaman kosong, yakni halaman 1, 2, 3, 31 dan 32.
Berdasarkan jenis kertas yang digunakan, naskah ini diperkirakan
ditulis pada tarikh abad ke 20.
Lontaraq Barru-1 ini dapat dipenggal menjadi beberapa
episode:
Episode ke-1: Syekh bi al-Ma’ruf Mendengar I Daramatasia Membaca
Al-Qur’an.
Episode ke-2: I Daramatasia Nyantri di Rumah Imam Syafi’i.
Episode ke-3: Syekh bi al-Ma’ruf Berpapasan dengan I Daramatasia.
Episode ke-4: I Daramatasia Diuji oleh Syekh Akbar.
Episode ke-5: I Daramatasia Dilamar oleh Syekh bi al-Ma’ruf.
Episode ke-6: I Daramatasia Dikawinkan dengan Syekh bi al-Ma’ruf.
Episode ke-7: I Daramatasia Mendebat Syekh bi al-Ma’ruf Soal Seks.
Episode ke-8: I Daramatasia Pindah ke Rumah Syekh bi al-Ma’ruf.
Episode ke-9: Bakti I Daramatasia kepada Suaminya.
Episode ke-10: Pesan Syekh bi al-Ma’ruf kepada I Daramatasia.
Episode ke-11: I Daramatasia Melahirkan.
Episode ke-12: I Daramatasia Memotong Rambutnya.
Episode ke-13: I Daramatasia Diusir oleh Suaminya.
Episode ke-14: I Daramatasia Mendapat Pertolongan Allah Taala.
Episode ke-15: I Daramatasia Pulang ke Rumah Suaminya.
Episode ke-16: Syekh bi al-Ma’ruf Salah Tingkah.
Episode ke-17: I Daramatasia Membuka Rahasia Kecantikannya.
Episode ke-18: Syekh bi al-Ma’ruf Berpulang ke Rahmat Allah Taala.
Episode ke-19: I Daramatasia Dilamar Lima Orang Laki-laki
Bersaudara.
108
Episode ke-20: I Daramatasia Dilamar Tujuh Laki-laki Bersaudara.
Episode ke-21: Raja Ahmad Ingin Melamar I Daramatasia.
Episode ke-22: I Daramatasia Dilamar Tiga Orang Anak Raja.
Episode ke-23: Raja Ahmad Memecahkan Masalah I Daramatasia.
Episode ke-24: Raja Ahmad Memperlihatkan Kesaktiannya kepada I
Daramatasia.

Ketiga, Lontaraq Barru-2 (Lontaraq C)


Difilmkan pada tanggal 11 Desember 1991. Sebelumnya,
lontaraq ini milik Ibu Ana S. Mikrofilmnya dikoleksi oleh
Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Wilayah
Sulawesi Selatan dengan kode roll 15 No. 16. Dari informasi Daftar
Catalog Rol 1-82 (1994: 86), diperoleh keterangan bahwa lontaraq ini
berasal dari Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Oleh karenanya,
penulis namai Lontaraq Barru-2. Informasi yang diperoleh dari
Daftar Catalog di atas juga menyebutkan bahwa lontaraq ini berjudul
Syekh Indaramatasia dengan kondisi fisik utuh. Namun,
kenyataannya lontaraq ini tidak berjudul dan tidak memiliki kolofon.
Halamannya memang bermula dari halaman pertama dan berakhir
pada halaman 123 dengan beberapa halaman kosong (6 dan 10) dan
pemotretan terbalik (3 dan 7).
Menggunakan bahasa Bugis, hampir seluruh teks ditulis dengan
huruf lontaraq, kecuali kalimat basmalah pada halaman pertama.
Ukuran sampulnya 20,5 x 16 cm, ukuran halaman 20,3 x 15,9 cm
dengan blok tulisan 17,5 x 14 cm. Memakai bahan kertas buku tulis
keluaran pabrik berwarna putih dengan tinta warna biru meresap dan
sebagian menggunakan pensil. Sampulnya terbuat dari kertas tebal
dengan jilidan benang yang masih utuh. Penomoran halaman
dilakukan oleh pendeskripsi. Rata-rata setiap halaman terdiri dari 14
baris.
Melihat ujung cerita yang berakhir pada halaman 123
tampaknya cerita ini belum selesai karena Raja Ahmad dan I
Daramatasia belum sampai ke kampung Raja Ahmad. Dugaan ini
diperkuat dengan tidak adanya kolofon. Meski demikian, lontaraq ini
109
adalah versi yang terpanjang karena di samping banyaknya
penambahan cerita, terdapat juga pengulangan episode.
Lontaraq Barru-2 ini dapat dipenggal-penggal sebagai berikut:
Episode ke-1: I Daramatasia Dibawa Nyantri ke Rumah Imam Syafi’i.
Episode ke-2: I Daramatasia Diuji oleh Syekh Akbar.
Episode ke-3: I Daramatasia Dilamar oleh Syekh Bilma’ruf.
Episode ke-4: I Daramatasia Dikawinkan dengan Syekh Bilma’ruf.
Episode ke-5: I Daramatasia Mendebat Syekh Bilma’ruf Soal Seks.
Episode ke-6: I Daramatasia Pindah ke Rumah Syekh Bilma’ruf.
Episode ke-7: Bakti I Daramatasia kepada Suaminya.
Episode ke-8: Pesan Syekh Bilma’ruf kepada I Daramatasia.
Episode ke-9: I Daramatasia Melahirkan.
Episode ke-10: I Daramatasia Memotong Rambutnya.
Episode ke-11: I Daramatasia Diusir Suaminya.
Episode ke-12: I Daramatasia Mengadu ke Ibu Bapaknya.
Episode ke-13: I Daramatasia Membuang Diri ke Rimba Raya.
Episode ke-14: I Daramatasia Mendapat Pertolongan Allah Taala.
Episode ke-15: I Daramatasia Pulang ke Rumah Suaminya.
Episode ke-16: Syekh Bilma’ruf Salah Tingkah.
Episode ke-17: I Daramatasia Membuka Rahasia Kecantikannya.
Episode ke-18: Syekh Bilma’ruf Berpulang ke Rahmat Allah Taala.
Episode ke-19: I Daramatasia Dilamar Lima Laki-Laki Bersaudara.
Episode ke-20: I Daramatasia Dilamar Rombongan Empat Orang
Syekh.
Episode ke-21: I Daramatasia Dilamar Rombongan Tujuh Bersaudara.
Episode ke-22: Raja Ahmad Ingin Melamar I Daramatasia.
Episode ke-23: I Daramatasia Dilamar Tiga Orang Anak Raja.
Episode ke-24: Raja Ahmad Memecahkan Masalah I Daramatasia.
Episode ke-25: I Daramatasia Dilamar Rombongan Empat Orang. 26
Episode ke-26: I Daramatasia Dilamar Rombongan Tujuh Orang.27

26
Episode ini sesungguhnya pengulangan episode ke-20, tetapi
persoalan yang ditanyakan ID berbeda.
27
Episode ini merupakan pengulangan episode ke-21.
110
Episode ke-27: Raja Ahmad Ingin I Daramatasia.28
Episode ke-28: I Daramatasia Dilamar Tiga Orang Anak Raja.29
Episode ke-29: Raja Ahmad Memecahkan Masalah I Daramatasia.30
Episode ke-30: Raja Ahmad Memperistri I Daramatasia.
Episode ke-31: Raja Ahmad Makan Bersama dengan I Daramatasia.
Episode ke-32: I Daramatasia Menguji Pengetahuan Raja Ahmad.
Episode ke-33: Raja Ahmad Mengajak I Daramatasia Bertandang ke
Negerinya.
Episode ke-34: Raja Ahmad Bertemu dengan Gurunya.

Keempat, Lontaraq Pangkep-1 (Lontaraq D)


Lontaraq ini ditemukan di Kampung Bucinri, Kelurahan
Mappasaile, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi
Selatan, maka penulis namai Lontaraq Pangkep-1 karena ada dua
lontaraq dari Kabupaten Pangkep yang penulis temukan. Pemilik
lontaraq adalah Mustakim (tidak diketahui tahun lahirnya).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Daftar Catalog Rol 1-82
(1994: 102), lontaraq ini dimikrofilmkan pada tanggal 20 Desember
1991 dan disimpan Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) Wilayah Sulawesi Selatan di Makassar dengan kode roll 17
No. 7. Ukuran halaman 11 x 16,5 cm dengan blok tulisan 9 x 14 cm.
Dari Daftar Catalog itu juga diperoleh informasi bahwa naskah ini
berjudul Daramatasia, tanpa menggunakan proklitik.
Setiap halaman berisi 17 baris dan ditulis pada kertas buku tulis.
Keadaan fisik lontaraq tidak lengkap, warna kertas kekuning-
kuningan, dan bertinta hitam. Berjumlah 59 halaman dan dijilid
dengan benang. Ada 5 halaman kosong (1 s.d. 5). Penomoran halaman
dilakukan oleh penyalin yang bernama Tolli, sementara pencatatnya
adalah Abd. Rasyid dan Drs. Syahrawi M.

28
Episode ini merupakan pengulangan episode ke-22 dengan beberapa
perbedaan pada penulisan huruf.
29
Episode ini merupakan pengulangan episode ke-23.
30
Episode ini merupakan pengulangan sebagian episode ke-24 dengan
penyempurnaan cerita.
111
Lontaraq Pangkep-1 ini dapat dipenggal-penggal sebagai
berikut:
Episode ke-1: Daramatasia Melahirkan.
Episode ke-2: Daramatasia Memotong Rambutnya.
Episode ke-3: Daramatasia Diusir Suaminya.
Episode ke-4: Daramatasia Mengadu ke Ibu Bapaknya.
Episode ke-5: Daramatasia Membuang Diri ke Rimba Raya.
Episode ke-6: Daramatasia Mendapat Pertolongan Allah Taala.
Episode ke-7: Daramatasia Pulang ke Rumah Suaminya.
Episode ke-8: Syekh Bilma’ruf Salah Tingkah.
Episode ke-9: Daramatasia Membuka Rahasia Kecantikannya.
Episode ke-10: Daramatasia Dilamar Tujuh Laki-laki Bersaudara.
Episode ke-11: Daramatasia Dilamar Tiga Laki-laki Bersaudara.
Episode ke-12: Ahmad Memecahkan Masalah Daramatasia.
Episode ke-13: Nasihat Daramatasia.

Kelima, Lontaraq Pangkep-2 (Lontaraq E)


Lontaraq ini ditemukan oleh Drs. Muhammad Salim yang
meminjamnya pada tanggal 14 April 1973 ketika ia menjabat sebagai
Kepala Kantor P dan K Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Pemilik
lontaraq ini bernama I Dahirah H. Bandi di Pangkajene, tetapi pada
kolofonnya tertera nama penyalinnya yang ditulis dengan huruf Arab,
Hadijah. Ketika penulis ke Makassar pada September 2002, Drs.
Muhammad Salim kembali mengusahakan meminjam lontaraq
tersebut dari I Dahirah dan ia berhasil. Darinya, penulis memfotokopi
lontaraq ini yang kemudian penulis namai sebagai Lontaraq
Pangkep-2.
Lontaraq ini ditulis pada Note Book berukuran 15 x 10 cm
dengan blok tulisan 12,5 x 9,5 cm. Kertas yang digunakan adalah
kertas bergaris berwarna putih dengan sampul kertas karton tebal
bermotif batik berwarna hitam. Jilidannya dari benang, masih bagus.
Penomoran halaman dilakukan oleh penyalin. Keseluruhan halaman
berjumlah 85 halaman. Setelah kolofon terdapat catatan Drs.
Muhammad Salim yang menginformasikan pemilik naskah dan
tanggal peminjamannya. Halaman 1 hingga 4 telah hilang sehingga
112
awal cerita ini turut hilang pula. Halaman 80 dan 81 juga tidak ada,
tetapi melihat ketersambungan kalimat dan cerita, sesungguhnya dua
halaman tersebut tidak hilang, melainkan hanya kekeliruan penyalin
yang melangkahi kedua nomor itu.
Rata-rata setiap halaman berisi 18 baris dengan pengecualian
pada beberapa halaman. Ditulis tangan dengan tinta berwarna hitam.
Rata-rata tiap baris berisi antara 8 hingga 13 huruf berukuran sedang.
Menggunakan huruf lontaraq dengan campuran huruf Arab,
khususnya kalimat-kalimat yang berasal dari bahasa Arab. Lebih
khusus lagi untuk menuliskan nama Syekh bi al-Ma’ruf. Meski
demikian, beberapa kali nama tersebut ditulis pula dengan huruf
lontaraq. Dari kolofonnya dapat diketahui bahwa lontaraq ini berjudul
Pappanngajaqna I Daramatasia atau Nasihat I Daramatasia.
Selain cerita I Daramatasia, lontaraq ini juga berisi catatan-
catatan lain seperti peringatan agar yang meminjamnya supaya
menjaganya dengan baik. Ada pula beberapa lagu, seperti “Mars
Perguruan DDI”, “Mars PII”, “Mars Corps PII Wati”, “Mars PKP”,
“Lagu Doa PII”, “Hymne PII”, “PII Berjuang”, “Mars Perjuangan”,
“Haju Batur PII”, “Aku Pilih PII Wae”, dan “Bahagia dan Selamat”.
Selain itu, ada pula alamat beberapa rekan pemilik naskah.
Kesemuanya ditulis dengan huruf Latin. Ada pula beberapa puisi Arab
yang ditulis dengan huruf Arab.
Lontaraq ini dapat dipenggal-penggal sebagai berikut:
Episode ke-1: Bakti I Daramatasia kepada Suaminya.
Episode ke-2: Pesan Syekh bil al-Ma’ruf kepada I Daramatasia.
Episode ke-3: I Daramatasia Melahirkan.
Episode ke-4: I Daramatasia Memotong Rambutnya.
Episode ke-5: I Daramatasia Diusir Suaminya.
Episode ke-6: I Daramatasia Mengadu ke Ibu Bapaknya.
Episode ke-7: I Daramatasia Mendapat Pertolongan Allah Taala.
Episode ke-8: I Daramatasia Pulang ke Rumah Suaminya.
Episode ke-9: Syekh bi al-Ma’ruf Salah Tingkah.
Episode ke-10: I Daramatasia Membuka Rahasia Kecantikannya.
Episode ke-11: I Daramatasia Dilamar Tujuh Laki-laki Bersaudara.
Episode ke-12: I Daramatasia Dilamar Tiga Laki-laki Bersaudara.
113
Episode ke-13: Ahmad Memecahkan Masalah I Daramatasia.
Episode ke-14: Ahmad Memperistri I Daramatasia Tanpa Mahar.
Episode ke-15: Ahmad Pulang ke Mesir.
Episode ke-16: Bapak Ahmad Mengumpulkan Orang-Orang Mesir.
Episode ke-17: I Daramatasia Dilamar Resmi oleh Orang Tua Ahmad.
Episode ke-18: Ahmad Diiring sebagai Pengantin.
Kolofon.

Keenam, Lontaraq Tanjungpinang (Lontaraq F)


Lontaraq Tanjungpinang adalah versi terpendek, tetapi
ceritanya utuh. Lontaraq ini dimiliki oleh Ramli (kelahiran tahun
1952). Menurut pemiliknya, naskah tersebut disalinnya dari seseorang
di Jambi. Lontaraq ini ditulis di atas kertas buku tulis diary berangka
tahun 1978 dengan sampul tebal biru. Namun, pemiliknya sendiri
tidak ingat tahun berapa ia menyalin lontaraq tersebut. Ukuran naskah
19 x 12,8 cm dengan blok tulisan 14 x 12 cm dengan rata-rata 12 baris
tiap halaman. Isi buku diary itu bermacam-macam catatan, seperti
jampi-jampi dan doa-doa.
Tanpa judul, cerita ini ditulis pada halaman 8 May, Senin, dan
seterusnya. Menggunakan aksara lontaraq berukuran sedang dengan
campuran huruf Arab pada penulisan kata Allah dan Muhammad.
Namun, tulisan Arab yang digunakan tidak mengikuti aturan baku.
Tinta yang digunakan berwarna biru. Teks ini hanya terdiri dari 1
pembukaan, 4 episode, dan 1 penutup.
Lontaraq ini dapat dipenggal-penggal sebagai berikut:
Pembukaan.
Episode ke-1: Bakti I Daramatasia kepada Allah.
Episode ke-2: Bakti I Daramatasia kepada Suaminya.
Episode ke-3: Pesan Syekh Bilma’ruf kepada I Daramatasia.
Episode ke-4: I Daramatasia Melahirkan.
Episode ke-5: I Daramatasia Memotong Rambutnya.
Episode ke-6: I Daramatasia Diusir Suaminya.
Penutup.
114
Ketujuh, Lontaraq Sinjai (Lontaraq G)
Lontaraq ini tergabung dalam Bunga Rampai Budaya yang
memuat 3 teks: “Kisah Daramatasia”, “Surat Nabi Bercukur”, dan
“Pedoman Memilih Benih sampai Panen”. Jumlah keseluruhan
halaman terdiri dari 164 halaman dengan kekosongan pada halaman
50, 58, 89-131. Teks Daramatasia terdapat pada halaman 1 s.d. 57.
Sebelum dimikrofilmkan pada tanggal 21 Mei 1993, lontaraq ini milik
Kamaruddin yang beralamat di Biringngere, Kabupaten Sinjai,
Sulawesi Selatan. Itulah sebabnya naskah ini dinamai Lontaraq
Sinjai. Mikrofilmnya dikoleksi oleh Perpustakaan Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI) Wilayah Sulawesi Selatan dengan kode
roll 51 No.24.
Menggunakan bahasa Bugis dialek Sinjai campur Bone, seluruh
teks menggunakan huruf lontaraq, kecuali kalimat salam dan
basmalah pada halaman pertama serta kata tammat pada halaman
terakhir. Ukuran sampulnya 15 x 9,5 cm, ukuran halaman 15 x 9,5 cm
dengan blok tulisan 12 x 8,5 cm. Jumlah baris tiap halaman rata-rata 3
s.d. 17 baris. Sampulnya terbuat dari karton dengan jilidan benang.
Penomoran halaman dilakukan oleh pendeskripsi. Halaman 1 s.d. 131
dari kiri ke kanan, 132 s.d. 134 dari kanan ke kiri, dan 135 s.d. 164
dari kiri ke kanan.
Teks ini memiliki permulaan cerita, tetapi tidak mempunyai
kolofon. Meski demikian, ceritanya utuh karena disudahi dengan kata
temmeqni (sudah tamat).
Lontaraq ini dapat dipenggal-penggal sebagai berikut:
Permulaan Cerita.
Episode ke-1: Bakti I Daramatasia kepada Suaminya.
Episode ke-2: Pesan Syekh Bilma’ruf kepada I Daramatasia.
Episode ke-3: I Daramatasia Melahirkan.
Episode ke-4: I Daramatasia Memotong Rambutnya.
Episode ke-5: I Daramatasia Diusir oleh Suaminya.
Episode ke-6: I Daramatasia Mengadu ke Ibu Bapaknya.
Episode ke-7: I Daramatasia Membuang Diri ke Rimba Raya.
Episode ke-8: I Daramatasia Mendapat Pertolongan Allah Taala.
Episode ke-9: I Daramatasia Pulang ke Rumah Suaminya.
115
Episode ke-10: Syekh Bilma’ruf Salah Tingkah.
Episode ke-11: I Daramatasia Membuka Rahasia Kecantikannya.
Episode ke-12: I Daramatasia Dilamar Tujuh Laki-Laki Bersaudara.
Episode ke-13: I Daramatasia Dilamar Tiga Laki-Laki Bersaudara.
Episode ke-14: Hammadeq Patuju Memecahkan Masalah I
Daramatasia.
Episode ke-15: Hammadeq Patuju Memperistri I Daramatasia.
Akhir Cerita.

B. Suntingan PPID
Menurut Djamaris31 dan Ekadjati,32 hal-hal yang harus
dipertimbangkan ketika menentukan naskah dasar suntingan, antara
lain, (1) kelengkapan isi yang tidak menyimpang dari naskah
mayoritas, (2) keutuhan naskah dalam arti dapat dibaca, (3) kejelasan
tulisan dalam arti mudah dibaca, (4) kelancaran bahasa dalam arti
mudah dipahami, dan (5) usia naskah dalam arti diutamakan yang
lebih tua.
Pada naskah PPID, menurut penulis, ada satu hal lagi yang harus
dipertimbangkan, yakni faktor warna lokal. Ini penting
dipertimbangkan karena ketujuh eksemplar menunjukkan fakta
tersebut. Warna lokal itu telah mengikat semua versi PPID dalam
suatu garis benang merah, yakni adanya teka-teki yang dilontarkan
oleh I Daramatasia sebagai syarat bagi setiap pelamar yang ingin
menggantikan jodoh Séhe Bilema’rupi.
Teka-teki dimaksud merupakan salah satu konvensi sastra Bugis
yang disebut pannawa-nawang.33 Pannawa-nawang harus dipecahkan
dengan pikiran yang logis. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
istilah pengasah otak. Sebuah Pannawa-nawang menggunakan
pengantar berupa cerita-cerita pendek. Pendengar atau seseorang yang

31
Edward Djamaris, “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi,”
Bahasa dan Sastra (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun III, Nomor 1, 1977), 27
32
Edi Suhardi Ekadjati, “Cara Kerja Filologi,” Bahan Penataran di
Universitas (Jember, Universitas Jember, 1980), 6.
33
M. Johan Nyompa dkk., Inventarisasi Bentuk Folklore Lisan Orang
Bugis di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin, 1980), 149.
116
diminta menjawab diharapkan memberikan pemecahan yang tidak
terlalu panjang, tetapi logis. Berikut adalah contoh pannawa-nawang.
Pada sebuah sungai yang luas, ada sebuah gusung pasir yang di
atasnya tumbuh sebatang pohon lontar yang sangat besar dan
banyak buahnya. Akan tetapi pada suatu waktu, pohon lontar itu
rebah ke daratan sehingga banyak daunnya yang rapat ke tanah
akan tetapi buahnya tak ada yang rapat. Kebetulan ada seorang
gadis cantik menyatakan keinginannya, katanya “barang siapa
yang bisa mengambilkan aku buah lontar itu, sesungguhnya aku
menghalalkan diriku dikawini tanpa mahar (mas kawin).”
Sebabnya ia mengatakan demikian oleh karena di bawah pohon
lontar penuh dihuni dan berjejer buaya yang sedang menantikan
manusia yang hendak memetik buah lontar tersebut. Pikirkanlah
pertanyaan ini. Bagaimana cara orang mengambil buah lontar
itu, sehingga tidak dimakan oleh buaya itu? Bagaimana cara
orang yang naik dapat turun kembali sehingga ia tak dimakan
buaya itu?34

Bandingkan dengan persoalan yang diajukan oleh I Daramatasia


kepada Ahmad yang dikutip dari teks E sebagai berikut.
Berkatalah I Daramatasia, “O Daengku, Ahmad, masih ada
masalahku yang harus Daeng artikan!” “Jika Daeng masih bisa
mengartikannya, mari kita ke rumah imam untuk nikah dan
Daeng boleh memperisterikan aku tanpa mahar.” Berkatalah
Ahmad, “O Anriqku, I Daramatasia, sebutkanlah masalahmu
agar aku pecahkan sebab aku ulama juga di benua Mesir."

Berkatalah I Daramatasia, “O Daengku, Ahmad, ada satu


masalahku, ada seekor burung putih terbang melayang hinggap
di sebatang pohon kayu besar. Dia makan buahnya, juga
daunnya, juga dahannya, juga batangnya, dimakannya juga
akarnya, kemudian ia terbang kembali dan memakan dirinya
sendiri.”

Dari perbandingan dua pannawa-nawang di atas, terlihat adanya


kesamaan, yakni mempertaruhkan sesuatu yang berharga milik si

34
Ibid., 149-150.
117
perempuan, dalam hal ini adalah maharnya. 35 Konvensi sastra ini
menonjol pada sastra Bugis. Ini menjadi indikasi bahwa penyambut
teks telah membugiskan PPID. Di samping pannawa-nawang yang
dijumpai pada semua naskah PPID, lontaraq ini masih memiliki ciri-
ciri warna lokal yang khas pada masing-masing teks yang kemudian
menjadi pertimbangan penentuan metode suntingan.
Setelah melalui perbandingan naskah dari berbagai aspek
terhadap 7 eksemplar PPID, Mustari telah sampai pada simpulan
dalam melakukan suntingan, yakni dengan mengelompokkannya
menjadi 3 versi: Versi Bone (lontaraq A, D, F dan G); Versi Barru
(lontaraq B dan C); dan Versi Pangkep (lontaraq E).36 Dengan

35
Mahar atau mas kawin yang dalam bahasa Bugis disebut sompa
merupakan sesuatu yang amat serius. Dalam sebuah percakapan dengan rekan
(almarhum) Ahyar Anwar, dosen dan peneliti pada Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Makassar pada Seminar
Internasional Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ilmu Budaya dalam Rangka
Menyambut Purna Bakti Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Budaya UGM, 3-4 Desember 2004, Ahyar Anwar mengatakan bahwa mahar di
Sulawesi Selatan kini (tahun 2000-an awal) rata-rata Rp 20.000.000,- (dua puluh
juta rupiah), belum termasuk uang belanja pesta yang harus ditanggung oleh
pihak mempelai laki-laki. Kondisi ini tentu memberatkan bagi pemuda-pemuda
yang kurang mampu secara ekonomi. Untuk mengatasi kemahalan dan
kerumitan prosesi pernikahan tersebut, adat menyediakan institusi perkawinan
darurat yang disebut “silariang” atau “kawin lari”. Namun, risiko yang harus
diambil oleh pihak laki-laki adalah pertaruhan nyawa karena menyangkut siriq.
Oleh karenanya, di dalam sastra rakyat Bugis-Makassar sering dijumpai seorang
tokoh wanita yang mempertaruhkan maharnya dalam menghadapi masalah-
masalah pelik.
36
Penamaan masing-masing kelompok versi menjadi Versi Bone, Versi
Barru, dan Versi Pangkep, sebenarnya tidak mewakili dialeg masing-masing
versi, khususnya pada Versi Bone. Teks A berdialek Mandar, teks D—meski
ditemukan di Pangkep—dialeknya dekat ke Bone. Yang benar-benar berdialek
Bone hanyalah teks F, sementara teks G yang berkerabat dengan teks F
menggunakan 2 dialek sekaligus, yakni dialek Bone dan Sinjai. Ketika PPID
bertransformasi di masyarakatnya, sesungguhnya hampir merata di semua
daerah. Hal ini dibuktikan dengan sebuah lagu berjudul “Daramatasia” yang
berdialek Wajo, Ajatappaareng, Pare-Pare, dan Pirang. Orang pertama yang
menggubah PPID menjadi lagu adalah A. Rasyid dan memercayakan Nurdin
Taqwa sebagai penyanyinya. Lagu Daramatasia adalah salah satu dari 12 lagu
Losquin Bugis Terbaik yang direkam oleh Irama Baru Record tahun 1999. Lagu
ini merupakan versi terpendek cerita I Daramatasia.
118
pembagian ketujuh naskah itu menjadi 3 versi, akan ada 2 metode
suntingan yang digunakan, yakni metode gabungan dan metode
naskah tunggal. Metode gabungan digunakan untuk menyunting PPID
versi Bone dan Barru, sementara metode naskah tunggal digunakan
untuk menyunting PPID versi Pangkep. Dengan demikian pekerjaan
penyuntingan PPID sudah selesai. Penelitian ini tinggal memilih salah
satu versi yang sudah tersedia.
Dari tiga versi suntingan yang tersedia, pilihan jatuh ke PPID
versi Bone dengan pertimbangan: pertama, edisi versi Bone memiliki
cerita yang lebih utuh dan runut; kedua, cerita versi Bone lebih populer
di masyarakat dibuktikan dengan beberapa pelisanan yang direkam,
baik audio maupun audio visual berupa cerita.37

Daramatasia To Sokkuq, To ripoji-pojikkuq// Tau ritangkeqna atikkuq, To


Ritangkeq pulana 2 x// Micawa caqbéruq cennippa, macenning na caniq é// Ri
soé-soéna limanna malemmaq na mamalu 2x.
Daramatasia To macoléq, Daramatasia To makanjaq// Daramatasia To
maleqbiq,To maleqbiq ampéna 2 x// Ulangi dari awal 2 x.
Artinya
Daramatasia gadis sempurna, gadis yang kupuja-puja// Gadis idaman hatiku,
gadis kecintaanku// Senyum simpulnya sangat manis, lebih manis dari madu//
Ayunan tangannya lemah gemulai// Daramatasia gadis cantik, Daramatasia
gadis elok// Daramatasia gadis terhormat, gadis terhormat keturunannya.
Album yang semula berbentuk rekaman kaset kini sudah di-YouTube-kan. Lihat
https://www.youtube.com/watch?v=43UfiD606NE . Dalam perkembangan
selanjutnya, lagu ini dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi lain dan kadang-
kadang disertai dengan tarian. Lihat
https://www.youtube.com/watch?v=y79s8xZQRcg;
https://www.youtube.com/watch?v=n2kSithemYM. Daramatasia juga
dipilih menjadi salah satu alternatif nama gadis Bugis karena cita-cita orang tua
yang menginginkan anaknya berperilaku seperti I Daramatasia. Lihat
https://www.youtube.com/watch?v=n2kSithemYM. Video ini
memperlihatkan kisah romantis seorang gadis yang bernama Umi Fatimah
Daramatasia menemukan jodohnya.
37
Jejaknya dapat ditelusuri pada rekaman audio versi La Daming,
direkam dengan teknik rekam sederhana menggunakan pita kaset lalu
digandakan dan disebarkan. Versi La Daming sudah ditranskripsi oleh Mustari.
Lihat Mustari, “I Daramatasia: Suntingan Teks.”; Kedua, versi Ustadz. Muh.
Tang, divideokan dan di-upload di YouTube oleh ruslan rian tanggal 09/09/1411
H/10 Agustus 2012 dengan judul Dara’matasia. Lihat di
https://www.youtube.com/watch?v=4AyOGvgQ9M4. Sayang rekaman video
yang di-YouTube-kan ini tidak sampai selesai.
119
C. Terjemahan PPID Versi Bone
Berikut adalah PPID versi Bone yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
As-salāmu ‘alaikum wa rahmat Allāh wa barakātuh
Bismillāhi ar-raḥmān ar-raḥīm
Kumulai bercerita tentangnya karena kebesaran Allah Taala
yang Maha Lurus, Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi Rezeki di
alam dunia, Yang Maha Asih terhadap semesta alam, terhadap hamba-
hamba-Nya yang beriman terhadap kabar hari kemudian.
(Permbukaan Cerita)
Inilah pau-pau sesungguhnya tentang I Daramatasia, kiasan
yang diambil dari kitab ma’rifat38 yang dipakai oleh perempuan,
disebabkan oleh anak (seorang) laki-laki yang bernama Séheq
Akebareq. Adapun perempuannya bernama Rabiatul Awwalia,
memiliki seorang anak bernama I Daramatasia, dikawinkan dengan
(seorang) laki-laki bernama Séheq Bilema’rupi.

Episode I
Membaca Al-Qur’an
Kalian dengarlah baik-baik akan kuceritakan pau-paunna I
Daramatasia, anak yang dilahirkan oleh Rabiatul Awwalia, anak
perempuan Séheq Akbareq. Siapa saja yang mendengar kisah ini dari
awal hingga akhir, anak-anak atau orang tua, laki-laki atau perempuan,
mudah-mudahan kalian mengambilnya sebagai pengajaran. (1)
Bersicepat Séheq Bilema’rupi keluar dari khalwatnya 39 sambil
bertanya kepada murid-muridnya, “Sepertinya aku mendengar suara
bidadari. Apakah itu suara dari surga? Perasaanku seperti baling-
baling diterpa angin mendengar lantunan suaranya membaca Al-
Qur’an.” (2)

38
Kitab ma’rifat sejenis kitab yang menjadi rujukan para sufi.
39
Khalwat berasal dari bahasa Arab ‫'( خلوة‬penyendirian') dari kata ‫خال‬
(‘menyendiri’). Lihat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, KBBI
Daring (Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia, 2016), entri khal.wat. Secara etimologis, kata ini mengacu
kepada laku dalam tarekat. Berkhalwat berarti mengasingkan diri di tempat yang
sunyi untuk bertafakur atau beribadah.
120
“Tidak tahukan Anda, Junjungan, bahwa Séheq Akebareq telah
membawa anak semata wayangnya untuk belajar mengaji di rumah
Imang Sapi’i? Suaranya itulah yang Junjungan dengar. Konon, betapa
banyak lelaki yang sudah melamarnya, namun ditolak karena ayahnya
telah berjanji untuk menyedekahkan anak perempuannya itu kepada
salah seorang ulama agung.” (3)
Mendengar jawaban murid-muridnya, Séheq Bilema’rupi lalu
berdoa, “Wahai, Tuhanku, kumohon kepada Yang Empunya Alam ini,
pertemukanlah ukiqu40 dengan I Daramatasia. Kalian semua jadi saksi
atas nazarku: Akan kusembelih tujuh ekor kambing di Makkah, tujuh
ekor di Madinah, dan tujuh ekor di Bukit Arafah jika I Damatasia
dapat kuperistri”. Séheq Bilema’rupi lalu berjalan pulang menuju
rumahnya diiringi oleh murid-muridnya (4).

Episode II
Menamatkan Pelajaran
Kita pindah kisah (5).
Séheq Akebareq kembali ke rumahnya beriringan dengan
istrinya, Rabiatul Awwalia, sementara I Daramatasia tinggal di rumah
gurunya untuk belajar. Setelah tamat pelajaran mengaji Al-Qur’an, ia
belajar nahwu saraf; tamat nahwu saraf, ia belajar kitab;41 tamat
belajar kitab, ia belajar ilmu fikih; tamat ilmu fikih, ia belajar ilmu
falak; selesai ilmu falak, ia pelajari ilmu tafsir; tamat tafsirnya, ia
belajar ilmu batin;42 tamat ilmu batin, ia masuk berkhalwat. Hanya
tujuh hari tujuh malam belajar di rumah Imang Sapi’i, ia tamatkan
semua pelajarannya. Bahkan ia juga membaca tamat kitab Taurat dan
Zabur. Betapa puas dan lega gurunya melihat pencapaian muridnya
itu. I Daramatasia lalu sujud di kaki gurunya dan mencium tangannya
sambil berujar, “Saya mohon maaf sebesar-besarnya, Junjungan,
halalkan segala ilmu yang Junjungan berikan kepadaku” (6).

40
Kata ukiqku secara harfiah berarti “tulisanku”. Namun, secara
etimologis ia berarti “takdir” yang dalam teks ini berarti “jodoh”.
41
Yang dimaksud “kitab” adalah kitab-kitab pelajaran agama yang biasa
disebut di kalangan santri sebagai “kitab kuning”
42
Yang dimaksud ilmu batin adalah ilmu tasawuf atau tarekat.
121
Imang Sapi’i menjawab, “Kamu tidak durhaka, Nak, dan tidak
pula berdosa kepadaku”. Imang Sapi’i melanjutkan, “Wahai Anakku,
I Daramatasia, kurang seorang muridku dan kamulah yang
menggenapkannya menjadi seratus orang. Tidak seorang pun di antara
muridku yang menyamai kesempurnaan kecerdasanmu sebab hanya
dalam tujuh hari kamu tamatkan semua pelajaranmu.” (7)
”Alhamdu lillãhi rabbi al-‘ãlamȋn,” jawab I Daramatasia. “Saya
bersyukur kepada Allah karena memberi kemampuan kepadaku untuk
menamatkan semua pelajaran yang Junjungan berikan kepadaku.” (8)
Imang Sapi’i berujar kepada istrinya, “Wahai Sitti Hapessa,
antarlah anaurétaq43 kita ini ke rumahnya. Kembalikan secara baik-
baik kepada ayah-ibunya”. Imang Sapi’i kemudian memandang I
Daramatasia lalu berujar, “Pulanglah, Nak. Kamu akan memperoleh
kebaikan yang berkelanjutan dari dunia hingga akhirat” (9).

Episode III
Bertemu dengan Séheq Bilema’rupi
I Daramatasia berjalan beriringan dengan Sitti Hapessa, mereka
berpapasan dengan Séheq Bilema’rupi yang diiringi oleh murid-
muridnya. Séheq Bilema’rupi memberi salam dan dijawab oleh Sitti
Hapessa. Tanpa sadar, ketika menoleh, Séheq Bilema’rupi tersandung
batu dan terjerembap. Semua muridnya meluru untuk membantu dan
bertanya, “Anda tidak apa-apa, Junjungan?” (10).
Séheq Bilema’rupi bangun dan menjawab, “Aku baik-baik saja,
aku tidak hilang ingatan, aku tidak lupa, dan masih ingat kepada Allah.
Siapakah gerangan yang berpapasan dengan kita tadi? Ulamakah,
malaikatkah, bidadarikah, aku seperti melihat cermin bening tembus
pandang” (11).
Serempak murid-muridnya menjawab, “Bukan malaikat, bukan
pula bidadari, Junjungan, tetapi itulah gadis yang pernah Junjungan

43
Kata “anaurétaq” secara harfiah bermakna kemenakan kita atau
keponakan kita. Jika seseorang menyapa dengan sebutan anauré tanpa ada
pertalian darah, itu berarti sang penyapa menganggapnya sebagai saudara atau
kerabat dekat. Sapaan Imam Syafi’i kepada I Daramatasia, di samping dianggap
kerabat dekat, juga tanda kasih sayang.
122
dengar suaranya membaca Al-Qur’an. Hanya dalam tujuh hari tujuh
malam, ia tamatkan semua pelajaran dan kitab. Tidak ada lagi orang
yang mampu mengajarinya karena kecerdasannya.” (12)

Episode IV
Diuji oleh Séheq Akebareq
Kita tinggalkan kisah Séheq Bilema’rupi dengan murid-
muridnya. I Daramatasia telah sampai di rumah orang tuanya. Lega
dan gembira Séheq Akebareq melihat anaknya pulang diantar oleh
Sitti Hapessa. Bergegas, Rabiatul Awwalia menyambut Sitti Hapessa,
menuntunnya lalu mendudukkannya di atas permadani, kemudian
menyodorkan sirih untuk mengharumkan aroma mulut. Rabiatul
Awwalia kemudian berucap, “Silahkan minum waé pella”.44 Mereka
lalu makan dan minum bersama. Kemudian, Sitti Hapessa berujar,
“Dik, ini I Daramatasia aku kembalikan kepada kalian. Sudah
sempurna pengetahuannya dan sempurna pula kecerdasannya. Betapa
bangga dan bahagianya ibu I Daramatasia saat itu. (13)
Séheq Akebareq berkata kepada I Daramatasia, “Wahai Anak
pattoalku,45 berwudulah karena aku ingin mendengarkan bacaan Al-
Qur’anmu”. I Daramatasia pun lalu berwudu kemudian mengambil
Al-Qur’an lalu duduk dan mulai membuka lembarannya. Ia mulai
dengan membaca bismillah. Di saat I Daramatasia melantunkan ayat-
ayat Al-Qur’an, air yang mengalir di sungai mendadak berhenti
mengalir, angin yang bertiup mendadak redup, balita yang menangis

44
Secara harfiah, diksi “waé pella” berarti “air panas”. Dalam bahasa dan
budaya Bugis, waé pella berarti semua air manis yang disuguhkan kepada tamu.
Memang panas karena semua minuman manis menggunakan air panas,
sementara waktu itu belum ditemukan teknologi pembuatan es batu untuk
minuman.
45
“Anak pattola” berarti anak pewaris. Dalam sistem kekerabatan raja-
raja Bugis di Kerajaan Tellumpocco É (Bone, Soppeng, Wajo) yang menjadi
acuan bagi orang Bugis secara keseluruhan, ada yang disebut anak pattola atau
anak mattola. Anak mattola adalah anak pewaris yang dipersiapkan untuk
mewarisi tahta kerajaan, semacam Putra Mahkota. Dalam teks naskah ini, anak
pattola berarti anak yang akan meneruskan keturunan. Wajar, I Daramatasia
adalah anak tunggal sehingga dialah satu-satunya yang akan meneruskan
keturunan Séheq Akebareq.
123
mendadak diam, orang yang bertengkar mendadak akur. Ayahnya
tertegun mendengar kemerduan suara I Daramatasia membaca Al-
Qur’an. (14)
Séheq Akebare’ lalu berkata, “Cukup, Nak!” I Daramatasia
menutup Al-Qur’annya. Sitti Hapessa kemudian pamit kepada yang
mulia46 suami-isteri itu untuk pulang. Sebagai tanda terima kasih dan
kegembiraan, Rabiatul Awwalia menyerahkan emas kepada Sitti
Hapessa atas jasanya mendidik I Daramatasia. (15)

Episode V
I Daramatasia Dipinang
Kita pindah cerita. (16)
Siang malam Séheq Bilema’rupi lupa makan, lupa minum, lupa
tidur karena munajat dan beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Akhirnya, doanya diperkenankan oleh Allah Swt. (17).
Séheq Bilema’rupi lalu memberi isyarat kepada muridnya yang
empat puluh itu, “Bersiaplah, kita akan bertandang ke rumah guru kita,
Séheq Akebareq”. Séheq Bilema’rupi mematut-matut diri.
Dikenakannya pakaian yang paling bagus, lalu duduk bersimpuh
munajat dan menyerahkan diri kepada Allah. Kemudian memulai
perjalanan diiringi murid-muridnya. (18)
Tidak lama berjalan, sampailah mereka di rumah Séheq
Akebareq. Mereka beruluk salam. Séheq Akebareq bersicepat
mencuci kaki tamunya, lalu meraih tangannya, membimbingnya, dan
mendudukkannya di atas permadani kehormatan. Sementara itu,
Séheq Bilema’rupi segera pula sujud di hadapan Séheq Akebareq
seraya mencium tangannya. Séheq Akebareq berujar “Wahai Anakku,
Séheq Bilema’rupi. Apa gerangan hajatmu yang penting datang
berkunjung. Baru sekali inilah Anak mampir. Datanganmu seperti
akan melamar, ménréqmu47 seperti hendak meminang.” (19)

46
Teks ini menggunakan diksi “arung” yang berarti ‘raja’. Dalam konteks
ini diartikan menjadi ‘yang mulia’.
47
Kata ménréq berarti ‘naik’ mendapat imbuhan mu berarti ‘naikmu’.
Konstruksi rumah tradisional Bugis selalu menggunakan tiang sehingga ketika
ingin memasuki rumah, seseorang akan menaiki beberapa anak tangga sehingga
124
Séheq Bilema’rupi tersipu-sipu lalu menjawab menghiba, “Rasa
senang dan gembira yang membawaku kemari. Besar hajatku,
Junjungan, yang telah kumunajatkan kepada Allah Swt. Jika ada rasa
iba Junjungan kepadaku, akan sangat gembira jika Junjungan sudi
“tapaddeppé-ddeppé ri cappa ajéta”.48 Terserah kepada Junjungan,
apakah aku akan dijadikan gembala kambing atau dijadikan tukang
sapu bawah rumah. Yang penting saya akan sangat berbahagia jika
diperkenankan memenuhi kewajiban terhadap I Daramatasia.” (20)
Séheq Akebareq menjawab, “Jika ada satu kegembiraanmu
kepadaku, kegembiraanku kepadamu tidak terbatas, Nak, karena
memang telah kumohonkan kepada Allah Swt., jika aku mempunyai
seorang anak perempuan akan kuserahkan kepada Allah, akan
kusedekahkan kepada seorang ulama agung.” (21)
Betapa gembira dan suka cita Séheq Bilema’rupi mendengar
jawaban ayah I Daramatasia lalu berujar, “Wahai Junjunganku, hari
apakah, jika demikian, yang baik kita tetapkan di antara tujuh hari
yang ada?” (22)
Jawab Séheq Akebareq, “Wahai Anakku, Séheq Bilema’rupi,
hari Senéng bertepatan dengan purnama empat belas bulan Sabang,
hari yang sangat baik dan selamat karena tidak bertepatan dengan
hitungan hari ketiga, tidak juga bertepatan dengan hitungan hari
nahas ketujuh, tidak juga bertepatan dengan hari yang saling
membelakangi, tidak juga termasuk hitungan “kalolang”, tidak juga
bertepatan dengan penghujung nahas.”49 (23).

istilah yang selalu digunakan untuk mempersilahkan seseorang masuk adalah,


“Éréqkiq” = ‘Silahkan naik (ke rumah)’!
48
Kalimat “tapaddeppé-ddeppé ri cappa ajéta” berarti ‘merapat-rapatkan
diriku di ujung kaki Junjungan.’ Secara harfiah bermakna ‘dekatkan saya di
ujung kaki Anda’. Dalam konteks lamaran, ia bermakna ‘terimalah saya menjadi
salah satu anggota keluarga Anda’. Gaya bahasa ini lazim dipakai dalam
melamar calon istri.
49
Semua hari yang disebutkan oleh Séheq Akebareq itu merupakan hari-
hari atau waktu-waktu nahas menurut perhitungan hari baik dan hari buruk bagi
masyarakat Bugis. Hari-hari nahas tersebut di samping dipantangkan untuk
melangsungkan pernikahan, juga pamali untuk memulai menanam padi,
mendirikan rumah, memulai menenun, dan mengadakan perjalanan jauh. Lebih
125
Episode VI
Dipaksa Menikah
Séheq Bilema’rupi kembali ke rumahnya. I Daramatasia keluar
dari kamarnya lalu bertanya kepada ibu dan ayahnya, “Wahai Ibu dan
Ayahku, apa hajat tamu Anda tadi?” Rabiatul Awwalia tersenyum
mendengar pertanyaan anaknya. Ia menepuk dan mengusap pundak
anaknya sambil menata kata dan kalimat yang tepat, lalu menjawab,
“Wahai buah hatiku, sudah cukup matang akalmu, sempurna
kecerdasanmu. Telah kamu jalankan semua perintah Allah dan kamu
hindari larangan-Nya. Nak, ini adalah kehendakku dan kehendak
ayahmu”. I Daramatasia menjawab, “Apa maksud ucapanmu,
Junjungan, aku belum paham?” (24)
“Wahai Anakku, I Daramatasia, engkau perlu tahu. Jika ada
anak perempuan yang membantah hajat orang tuanya, menentang
kehendaknya, mematah-matahkan kegembiraannya, sungguh, dia
berada di luar sabuk Allah Swt.,50 ditinggalkannya surga lalu diraihnya
neraka”. Ibunya menimpali lagi, “Wahai anakku, ayahmu akan
menikahkanmu agar dosanya terlepas.” (25)
Termenung I Daramatasia. Air matanya bercucuran jatuh di
dadanya, lalu ia masuk ke kamarnya. Ia ingin menolak keinginan
ayahnya, namun ia takut kepada Allah Swt. karena ia paham betul soal
kedurhakaan anak kepada ayah dan ibunya. (26)
Lalu tibalah hari Senéng, bertepatan dengan purnama empat
belas bulan Sabang. Hari itulah yang dijanjikan kepada Séheq
Bilema’rupi. Séheq Bilema’rupi pun telah tiba dari rumahnya. Ia
diberi seperangkat persalinan, sementara rambut kudanya dihiasi
dengan intan zamrud. Guru dan para tamu pun berdatangan
memeriahkan rumah pengantin. Sementara itu, I Daramatasia
didandani di atas rumah. Séheq Bilema’rupi kemudian dinaikkan ke
rumah lalu dinikahkan oleh kali.51 (27).

lanjut bisa dilihat pada Nor Sidin, dkk., Astrologi (Kitab Ramalan) Bugis
Makassar (Makassar: Pakalawaki Penerbitan dan Percetakan, 2020).
50
Ungkapan ini bermakna di luar pemeliharaan Allah Swt.
51
Kali berarti kadi, penghulu.
126
Setelah dinikahkan oleh kali, ia pun disandingkan dengan
istrinya. Bertambah-tambah cahaya muka I Daramatasia seperti dara
sunti, berkilau memancar ke langit. (28)

Episode VII
Perdebatan Soal Seks
Séheq Bilema’rupi sudah tidak kuat menahan berahi melihat
kecantikan paras istrinya. Ia mulai meraba organ seks istrinya, tetapi I
Daramatasia menyingkirkan tangannya sambil berujar dengan jengah,
“Wahai Junjungan, agaknya Anda telah hilang kesadaran, Anda sudah
lupa kepada Allah Taala dan Rasul-Nya”. (29)
Dijawab oleh Séheq Bilema’rupi, “Wahai Adikku, I
Daramatasia, aku tidak hilang kesadaran dan tidak hilang ingatan. Jika
ada seorang perempuan yang menolak keinginan suaminya,
menghalangi harapannya, mematah-matahkan kegembiraannya,
sesungguhnya ia durhaka kepada Allah Taala. dan kepada Nabi
Muhammad saw. karena kita sudah mewakilkan kepada kali untuk
mempersuami-istrikan kita di dunia hingga akhirat.” (30)
I Daramatasia menjawab, “Wahai Junjungan, perkataan Anda
memang benar karena kita sudah mewakilkan kali untuk
mempersuami-istrikan kita dari dunia hingga akhirat. Namun, jika ada
seorang lelaki yang menuruti nafsu iblisnya ketika mendekati
perempuannya, itulah yang disebut “meniga-dua”, tiga kejahatannya,
dua kebaikannya.” (31)
Séheq Bilema’rupi tertawa mendengar bantahan istrinya
kemudian berujar, “Wahai Adikku, buah hatiku, cahaya mataku,
seandainya engkau jenis buah-buahan, niscaya sudah kumakan karena
besarnya keinginanku kepadamu.” (32)
I Daramatasia mendebat lagi, “Wahai Junjunganku, Allah Taala
berfirman, “Siapa pun yang menuruti nafsunya maka ia berada di
bawah kemurkaan-Ku.” (33)
Séheq Bilema’rupi lalu berujar, “Memang betul ucapanmu.
Namun, Allah Taala juga berfirman, “Siapa saja yang menganggap
salah sesuatu yang halal di sisi Nabi kita, Muhammaq, maka ia berada
di luar pengetahuan-Ku.” (34)
127
Setelah mendengar jawaban kunci suaminya, I Daramatasia
tidak berkata apa-apa lagi, kecuali tunduk dan patuh terhadap semua
keinginan suaminya. Ia pun lalu berbaring, sementara suaminya
dengan leluasa melakukan apa saja yang menjadi hajatnya.
Selanjutnya, apa pun yang diperintahkan oleh suaminya, pasti
dilakukannya. Begitulah perilaku I Daramatasia karena
pemahamannya tentang dosa kepada suami. (35)

Episode VIII
Pindah ke Rumah Suami
Sampailah waktunya Séheq Bilema’rupi ingin membawa
istrinya pindah ke rumahnya sendiri. Ia bersujud di hadapan kedua
orang tua I Daramatasia dan berujar, “Wahai Junjungan, suka citaku
karena saya ingin membawa adikku, I Daramatasia, pindah ke rumah
kediamanku sendiri.” (36)
Rabiatul Awwalia menjawab, “Wahai Anakku, Séheq
Bilema’rupi, ketika anak perempuanku I Daramatasia kulahirkan,
memang sudah kuserahkan nasibnya kepada Allah Taala dan sudah
kusedekahkan kepada seorang ulama yang bertanggung jawab
terhadap siang dan malamnya” (37).
Kemudian Séheq Bilema’rupi berkemas-kemas di hadapan
cermin bersama istrinya. Setelah selesai berkemas, diikatnya bajunya,
lalu mereka pun berangkat. Mereka berjalan “jokka sijokka-
jokkana”,52 mendaki bukit menuruni lembah, menyeberangi sungai,
melintasi daratan yang luas dan panjang.” (38)
Sesampainya di rumah Séheq Bilema’rupi, bersicepat ia naik ke
rumahnya, lalu membentangkan permadani, kemudian menuntun
istrinya naik, mendudukkannya di atas permadani, menyandarkannya

52
Frasa “jokka sijokka-jokkana” berarti ‘berjalan sejalan-jalannya’. Frasa
ini mengambil pola “jauh sejauh-jauhnya”, “lebat selebat-lebatnya”, “bagus
sebagus-bagusnya”, dan sebagainya. Pola frasa seperti ini menunjukkan
penekanan maksud. Pola ini pula yang dijadikan judul lagu oleh group band
Spoon dari Malaysia, Spoon, “Rindu Serindu-Rindunya” yang populer di tahun
2014.
128
pada alliri tellettu’,53 menghadapkannya ke kaca jendela tembus
pandang, lalu berujar, “Wahai Adikku, I Daramatasia, semua yang
dapat dipandang oleh penglihatanmu di dalam rumah ini adalah
kepunyaanmu. Kamulah yang ditakdirkan oleh Allah Taala menjadi
pemiliknya.” (39)
Tidak betah duduk, I Daramatasia masuk ke dapur menanak nasi
untuk suaminya. Tidak lama, nasi dan lauk pauknya sudah matang.
Kemudian ia menghidangkannya dan memanggil suaminya.
Dipegangnya lengan suaminya, dituntunnya masuk lalu berkata,
“Silahkan makan, Junjungan.” (40)
Séheq Bilema’rupi menjawab, “Wahai Adikku, I Daramatasia,
aku ingin berpesan sesuatu! Jika seorang istri sudah menghidangkan
makanan kepada suaminya lalu ia pergi meninggalkan suaminya yang
sedang makan itu, rezekinya tidak akan mendapat berkah dari Allah
Taala. Ia juga jauh dari sifat-sifat Sitti Fatimah, istri Bagéndaq Ali,
penerus Sitti Khadijah, dan ia mendapat murka dari Allah Taala dan
Rasul-Nya.” (41)
Demikianlah, selama I Daramatasia menikah dengan Séheq
Bilema’rupi, ia melulu mengabdi dengan penuh khidmat kepada
suaminya sambil mengerjakan perintah Allah Taala, menjauhi
larangan-Nya, karena menaruh siriq (hormat) kepada Nabi
Muhammaq saw. Sementara itu, Séheq Bilema’rupi senantiasa masuk
ke dalam khalwatnya. Setiap suaminya keluar dari khalwatnya, I
Daramatasia mengambil bejana berisi air lalu mencuci kaki suaminya.
Setelah itu, ia mengurai sanggulnya lalu melap kaki suaminya dengan
rambut panjangnya. Kemudian, ia menuntun lengan kanan suaminya
naik ke rumah dan mendudukkannya di atas permadani di depan
tellongeng sala.54 Setelah suaminya duduk nyaman, ia pun duduk pula

53
Konstruksi rumah orang Bugis memiliki tiang yang disebut “alliri
tellettu’”. Tiang ini tidak jejak ke tanah dan tidak pula sampai ke atap. Fungsinya
adalah untuk melekatkan dinding papan sebagai sekat kamar. Untuk mengetahui
konstruksi rumah tradisional Bugis, dapat dibaca pada Syarif dkk., “Ritual Proses
Konstruksi Rumah Tradisional Bugis di Sulawesi Selatan,” WALASUJI 9, no. 1
(Juni 2018): 53-72.
54
Konstruksi rumah panggung tradisional Bugis memiliki jendela
tanggung (bukan jendela utama). Ukurannya lebih kecil dari jendela utama. Ia
129
di hadapan suaminya lalu melepaskan kancing baju suaminya. Ia
ambil kipas lalu mengipasi suaminya hingga keringatnya kering.
Setelah itu, ia sujud di kaki suaminya sambil berujar, “Wahai
Junjungan, mohon ampun jika ada dosaku, baik besar maupun kecil.”
(42)
Dijawab oleh Séheq Bilema’rupi, “Tidak ada dosamu kepadaku,
Dik, karena Adik jalankan semua perintahku.” Lalu ia membopong
istrinya, memangkunya, dan mencumbunya. Betapa welas asih-nya ia
kepada istrinya. Dengan tatapan mesra, ia berkata, “Berhati-hatilah di
belakangku selama aku tidak di rumah. Jika Engkau melahirkan anak
perempuan, namai ia Puteri Cindra Dewi. Jika laki-laki beri nama
Hammadeq Maulana!” (43)
I Daramatasia menjawab, “Wahai Junjunganku, apa pun yang
Anda perintahkan akan aku turuti.” Ditimpali oleh Séheq Bilema’rupi,
“Wahai Adikku, Pemanis Bibirku, Penenang Rasaku, Cahaya Mataku,
Penenteram Pikirku, Pohon Subur dalam rahasiaku, Nabi kita,
Muhammaq saw. pernah bersabda bahwa “istri itu memang berada
dalam perintah suaminya. Begitulah seharusnya laku istri, Dik, agar
memperoleh kasih sayang dari Allah Taala di dunia hingga akhirat.”
(44)

Episode IX
Melahirkan
Kita pindah cerita lagi (45)
Séheq Bilema’rupi merasa sudah saatnya I Daramatasia
melahirkan. Maka lahirlah anaknya, seorang perempuan, dan diberi
nama Puteri Cindra Dewi. Séheq Bilema’rupi tahu karena ada pesan
dari Allah Taala yang mengabarkan bahwa istrimu telah melahirkan.
Ia pun keluar dari khalwatnya dan pulang ke rumah. Setelah sampai, I
Daramatasia bergegas mengambil air kemudian mencuci kaki
suaminya, lalu melapnya menggunakan rambutnya, kemudian sujud
di kakinya dan meminta ampun. (46)

berfungsi sebagai tempat memandang ke luar rumah di saat istirahat siang.


Dalam bahasa Bugis, jendela ini dinamakan tellongeng sala (jendela salah =
jendela tanggung = jendela yang bukan jendela utama).
130
Séheq Bilema’rupi berujar, “Tidak ada dosamu kepadaku, Dik,
karena kamu meneladani perilaku Sitti Fatimah.” Kemudian ia meraih
tangan istrinya dan menariknya duduk dekat anaknya. Betapa Séheq
Bilema’rupi senang melihat anaknya lalu memangkunya. (47)
I Daramatasia berdiri untuk mengambilkan hidangan untuk
suaminya lalu meletakkannya di hadapan suaminya, kemudian
membacakannya doa selamat. Ia pun duduk melayani suaminya
makan. Selesai makan, I Daramatasia mengambil anaknya lalu
menyerahkannya kepada Séheq Bilema’rupi, sambil berkata, “Wahai
Junjunganku, Séheq Bilema’rupi, inilah anakku!” Kuberi nama Puteri
Cindra Dewi.” Bersicepat Séheq meraih putrinya, memangkunya,
menciumi antara dua matanya, kemudian berseru, “Kuruq sumangeq
sambil berujar, “Wahai Anak Pemberani, terbang tinggilah semangat
dan jiwamu.” (48)
Séheq Bilema’rupi berkata kepada istrinya, “Wahai Adikku, I
Daramatasia, kita sudah dikaruniai anak hasil hubungan kita di dunia.
Oleh karena itu, dengarlah pesanku. Pertama, rukunlah dengan
tetangga dan sanak famili. Kedua, jangan suka memperhatikan
keburukan orang lain. Ketiga, gemarilah perbuatan saling tolong-
menolong dengan tetangga dan sanak famili. Keempat, jangan
sembarangan mengambil sesuatu. Kelima, jangan mencuri. Keenam,
pelihara siriq (kehormatan) dirimu, siriq orang tuamu, dan siriq-ku.
Ketujuh, jangan berburuk sangka. Kedelapan, jangan memegang
sesuatu milik orang lain. Kesembilan, jangan bercerai-berai antara
sanak famili dan suami istri. Kesepuluh, berkumpullah dengan sanak
famili. Karena kamu sudah dijadikan oleh Allah Taala, lakukan segala
perintah-Nya dan jauhi segala larangan-Nya agar kamu selamat.” (49)

Episode X
Diusir
Selang beberapa waktu, suatu hari Séheq Bilema’rupi keluar
dari khalwatnya. Ia diuji oleh Allah Taala. Datanglah ketentuan Allah,
Séheq Bilema’rupi dihasut oleh iblis. Pada suatu waktu, I Daramatasia
melayani suaminya makan malam, sementara pelitanya meredup
hampir padam karena kehabisan sumbu. Ia ingin berdiri secara diam-
131
diam, tetapi khawatir terhadap anaknya yang sedang di pangkuannya.
Ia membatin, “Jika aku berdiri diam-diam, anakku pasti menangis,
tetapi jika aku tidak berdiri, pelita akan mati, sementara Séheq
Bilema’rupi sedang makan malam.” Ia teringat pesan suaminya dan
firman Allah Taala, “Jika ada seorang istri sedang melayani suaminya
makan lantas ia berdiri tanpa seizin suaminya, berdosalah ia kepada
Allah Taala, durhaka kepada Nabi Muhammaq.” Seketika itu ia meraih
pisau yang ada di sampingnya lalu memotong rambutnya tujuh helai,
kemudian menyambungkannya dengan sumbu pelita itu sehingga
cahayanya terang kembali. Séheq Bilema’rupi bertanya, “Wahai
Ibunya Cindra Dewi, kamu apakan pelita itu sehingga terang kembali
cahayanya?” (50)
I Daramatasia menjawab, “Rambutku, Junjungan, tujuh helai
kujadikan sumbu. Semula saya ingin berdiri diam-diam mengambil
sumbu, tetapi khawatir anakku akan menangis. Saya juga teringat
pesan Anda, Junjungan, serta firman Allah Taala, “Jika ada seorang
istri melayani suaminya makan lalu ditinggalkannya, berdosa ia
kepada Allah Taala, durhaka kepada Nabi Muhammaq, durhaka pula
kepada suaminya. Jadi, kupotong rambutku tujuh helai dan kujadikan
sumbu.” (51)
Setelah mendengar keterangan I Daramatasia, bangkitlah
amarahnya lalu berujar, “Seluruh perbuatanmu selama ini tidak ada
yang tidak kamu mintakan izin kepadaku. Mau mandi saja kamu minta
izin kepadaku. Jangan dikata lagi jika kamu ingin pulang ke rumah
ibumu. Atas izinku barulah kamu boleh pergi. Sekarang mengapa
kamu potong rambutmu tanpa izinku?” (52).
I Daramatasia menjawab, “Wahai Junjunganku, saya khilaf,
Junjungan. Kini terpulang kepada Anda. Maafkan kebodohanku.” (53)
Séheq Bilema’rupi berkata, “Wahai I Daramatasia, jangan
banyak bicara! Tak kuizinkan lagi kamu tinggal di rumahku. Enyahlah
ke rumah ibumu!” (54)
I Daramatasia berujar, “Wahai Junjunganku, Séheq
Bilema’rupi, izinkan aku tinggal di rumahmu menjadi pengasuh
anakmu, atau jadikan aku tukang masak untuk mengatur dapurmu,
atau jadikan aku tukang cuci untuk mencuci pakaianmu.” (55)
132
Séheq Bilema’rupi berdiri mengambil rotan lalu menghajar
istrinya. Setelah I Daramatasia pingsan, barulah ia berhenti
menghajarnya. Ketika I Daramatasia siuman, kembali Séheq
Bilema’rupi meluru untuk menghajarnya. I Daramatasia lari ke posi
bolana55 untuk berlindung. Namun, ia terus diburu. I Daramatasia lari
ke dapur. Berkatalah Séheq Bilema’rupi, “Wahai Daramatasia,
enyahlah sekarang juga ke rumah ibumu selagi kamu masih mampu
berjalan. Aku tidak sudi lagi melihatmu. Anakku biar kuurus sendiri.”
(56)
Sambil menenangkan perasaannya, I Daramatasia bersujud di
hadapan suaminya sambil menghiba, “Wahai Junjunganku, Séheq
Bilema’rupi, sebesar-besar maaf kuminta, jika demikian, biarlah aku
pergi!” Lalu ia meraih anaknya, memangkunya sambil menangisi dan
berujar, “Wahai Anakku Cindra Dewi, tinggallah, Nak, bersama
ayahmu, biar Bunda pergi mencari peruntungan diri karena Bunda
sudah tidak ada tempat di rumahnya.” I Daramatasia menangis
tersedu-sedu sambil menciumi anaknya. Kemudian ia turun dari
rumah dan pergi meninggalkan rumah Séheq Bilema’rupi di tengah
malam buta ditemani oleh rasa sakit yang teramat sangat, peddi
mabbaséng-mpaséng,56 di sekujur tubuhnya. Ia terus berjalan menuju
rumah ibunya. (57)

55
Diksi posi bola berarti ‘pusat rumah’, lebih tepatnya adalah tiang utama
pada konstruksi rumah tradisional orang Bugis. Ia berada di tengah-tengah
bangunan utama, berdiri dari tanah hingga ke bumbung rumah. Posi bola juga
menjadi pembatas antara ruang privasi keluarga dan ruang publik para tamu.
Lihat Syarif dkk., “Ritual Proses Konstruksi Rumah.” Bandingkan dengan
Hartawan dkk., “Perubahan Sistem Struktur Bangunan Rumah Bugis Sulawesi
Selatan,” Forum Teknik: Majalah Ilmiah Teknologi 36, no. 1 (2015): 1-12.
56
Frasa peddi mabbaséng-mpaséng berarti sakit yang teramat sangat.
Secara leksikal kata baséng-paséng atau basing-pasing berarti seruling. Lihat
Said MD, Kamus Bahasa Bugis-Indonesia, 34. Jika kata tersebut digandeng
dengan kata peddi yang berarti sakit, ia menjadi kata majemuk yang
menggambarkan rasa sakit tubuh yang tak tertanggungkan. Dalam konteks ini,
peddi yang dirasakan oleh I Daramatasia berbaur antara sakit tubuh dan sakit
hati. Hatinya terluka yang amat dalam.
133
Ketika sampai di rumah ibunya, ia menapaki anak tangga sambil
minta dibukakan pintu, katanya, “Wahai Ibuku, bukakan aku pintu.”
(58)
Ibunya menjawab, “Wahai Daramatasia, aku tidak akan
membukakan pintu karena tidak biasanya kamu datang tengah malam.
Kamu pasti telah dimarahi oleh suamimu sehingga kamu sampai di
sini di tengah malam begini. Sama sekali aku tidak sudi melihat istri
yang durhaka kepada suaminya. Aku takut kepada Allah Taala dan
Rasul-Nya”. (59).
I Daramatasia berkata lagi, “Wahai Ibuku, air minum sajalah,
jika demikian, yang kuminta. Aku teramat dahaga.” (60)
Ibunya menjawab lagi, “Wahai Daramatasia, jika kuberi air
minum, itu artinya aku masih suka kepadamu. Pergilah, carilah apa
yang baik menurutmu karena aku sama sekali tidak sudi melihat istri
yang durhaka kepada suaminya.” (61)
Bercucuran air mata I Daramatasia mendengar jawaban ibunya,
lalu melangkah meninggalkan rumah bundanya. (62)

Episode XI
Ditolong Jibril
I Daramatasia berjalan sejalan-jalannya hingga sampai ke
belantara raya yang tak bertepi. Dia sudah tidak melihat rumpu api
(asap api), sudah tidak mendengar uni palungeng (bunyi lesung),
sudah tidak mendengar uni manuq (kokok ayam).57 Ia menemukan
sebongkah batu datar di tengah hutan. Ia ingin salat subuh, sementara
tidak ditemuinya air untuk berwudu. (63)
Ia ambil pisau belatinya, digoreskannya di atas batu itu, maka
datanglah pertolongan Allah Taala. Tiba-tiba memancarlah air jernih
di celah batu itu. (64)

57
Frasa rumpu api, uni palungeng, dan uni manuq adalah pola yang biasa
digunakan dalam cerita rakyat Bugis ketika menggambarkan seseorang yang
sudah jauh dari perkampungan penduduk. Tanda-tanda dan bunyi-bunyi yang
disebutkan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan budaya rumah tangga
masyarakat pedesaan di Tanah Bugis.
134
I Daramatasia lalu berwudu, kemudian salat di atas batu datar
itu. Setelah selesai salat, ia duduk tafakur. Tiba-tiba tempat duduknya
terasa panas dan sekonyong-konyong Pangulutta (Penghulu Kita),58
Malékaq Jiberilu turun dan berdiri di hadapannya. (65)
Bertanyalah Penghulu Kita, Malékaq Jiberilu, “Mengapa kamu
berada di tengah rimba raya yang tak bertepi ini tanpa melihat lagi
asap api, tanpa mendengar lagi bunyi lesung, tanpa mendengar lagi
kokok ayam?” (66)
I Daramatasia menjawab, “Wahai Junjungan, saya sedang
makan malam di rumahku, tiba-tiba cahaya pelita meredup. Kuambil
pisau belatiku, kupotong tujuh helai rambutku lalu kusambungkan
dengan sumbu pelita itu sehingga terang kembali cahayanya. Itulah
yang membuat Junjunganku, Séheq Bilema’rupi, marah dan
menghajarku tanpa ampun. Aku pergi mengadukan halku ke rumah
ibuku, tetapi ibuku juga tidak mau menerimaku, bahkan turut
menyalahkanku dan mengusirku sehingga sampailah aku di rimba
raya ini. (67)
Berkatalah Penghulu Kita, Malékaq Jiberilu, “Jika demikian,
tanjéng-tanjéngna’59 sebentar, aku akan naik ke langit ketujuh, akan
kuambilkan makanan yang paling lezat, pakaian yang paling indah,
serta wangi-wangian surga.” (68)
Penghulu Kita, Malékaq Jiberilu pun naik memohon kepada
Allah Taala, seraya berkata, “Wahai Tuhanku, ada seorang perempuan
yang membuang dirinya di bawah, di dunia, saya ingin memberinya
makan dan pakaian yang paling enak dan paling bagus, juga wangi-
wangian surga.” (69)
Allah Taala bersabda, “Pergilah ke Malékaq Ridewang, To
Tongerng é,60 penjaga pintu surga!” Maka pergilah Penghulu Kita,
Malékaq Jiberilu, mengetuk pintu surga. Malékaq Ridewang, To

58
Penutur memberikan gelar kepada Malaikat Jibril sebagai Pangulutta
(Penghulu Kita) yang bermakna Pemimpin Kita. Gelar penghormatan ini sering
juga diberikan kepada Nabi Muhammad saw., Pangulutta Nabi Muhammaq.
59
Diksi tanjeng-tanjengnaq berarti ‘tunggu-tunggulah aku’. Diksi ini
indah didengar dan jarang digunakan, kecuali dalam teks-teks sastra.
60
Penutur memberikan gelar kepada Malaikat Ridwan sebagai tau
tongeng é (Si Orang Benar, Si Orang Jujur).
135
Tongerng é bertanya, “Siapakah, siapakah gerangan di luar sana?”
(70)
Penghulu Kita, Malékaq Jiberilu menjawab, “Saya, Malékaq
Jiberilu.” Bergegas, Malékaq Ridewang, To Tongerng é membuka
pintu, lalu masuklah Malékaq Jiberilu (71)
“Ada keperluan apakah?” (72)
Penghulu Kita, Malékaq Jiberilu menjawab, “Ada seorang
perempuan membuang dirinya di bawah, di dunia. Saya diperintah
oleh Allah Taala mengambilkannya makanan paling lezat, pakaian
paling indah, serta wewangian surga”. Lalu Penghulu Kita, Malékaq
Jiberilu memperoleh hajatnya. (73)
Tidak berapa lama, ia muncul kembali di hadapan I
Daramatasia, lalu diberinya makan di atas batu itu. Setelah makan, ia
dandani I Daramatasia lalu diberikannya wewangian surga. Hasilnya,
I Daramatasia malih rupa sebanyak 7 kali di tengah hutan, di atas batu
itu karena terlalu cantiknya. (74)

Episode XII
Tapak Tilas
Berujar Penghulu Kita, Malékaq Jiberilu, “Pulanglah ke rumah
suamimu, agangngaré’ to tu maéloq na ita!”.61 I Daramatasia pun
berjalan menuju rumah ibunya. Ketika sudah sampai di halaman
rumah orang tuanya, kebetulan ibunya sedang memandang ke luar
rumah dari jendela. I Daramatasia bertanya kepada ibunya, “Wahai
Junjungan, di manakah rumah Séheq Bilema’rupi?” Rabiatul Awwalia
terpana melihat perempuan muda nan cantik itu. Ia tidak dapat
mengenali anaknya. Ia pun bertanya, “Mengapa kamu tanyakan rumah
Séheq Bilema’rupi?” (75)
I Daramatasia menjawab, “Aku akan menyampaikan salam
istrinya yang bernama I Daramatasia.” (76)

61
Diksi agangngaré’ to tu maélo’ na ita berarti ‘entah apa yang akan
dilihatnya’. Kalimat ini mengandung pengertian bahwa si penutur telah
memprediksi akan ada peristiwa luar biasa yang akan terjadi sebagai akibat dari
perbuatan seseorang di masa lalu.
136
Ibu Bapaknya menjawab, “Naiklah sebentar, kami ingin
menanyakan kabar anak kami.” (77)
Dijawab oleh I Daramatasia, “Tidak perlulah aku mampir,
Junjungan. Ini sudah hampir senja. Rumahku jauh, anakku mungkin
menangis pula, sementara aku ingin menyampaikan salam istrinya.”
(78)
Berkata ibunya, “Wahai Perempuan Muda, di manakah I
Daramatasia berada?” (79)
I Daramatasia menjawab, “Di rimba raya, Junjungan, di atas
sebuah batu, melaksanakan perintah Allah Taala siang malam.” (80)
Mendengar jawaban perempuan muda itu, seketika itu juga ibu
I Daramatasia menangis karena iba mengingat nasib anaknya, lalu
berkatalah Rabiatul Awwalia, “Teruslah berjalan, lurus!” Lalu I
Daramatasia pamit pada ibunya menuju rumah Séheq Bilema’rupi. Di
perjalanan, ia bertemu dengan gembala kambing, lalu ia pura-pura
menanyakan rumah suaminya, katanya, “Di manakah rumah Séheq
Bilema’rupi?” (81)
Gembala kambing itu menjawab, “Teruslah berjalan, masuk ke
Tanah Mesir, tidak ada rumah yang sangat besar di Tanah Mesir selain
rumah Séheq Bilema’rupi. Rumahnya sangat tinggi, di anjungannya
ada uki lapaleng62 dan timpaq lajaq-nya63 berpasangan.” (82)

62
Orang Bugis menyebut semua jenis tulisan Arab sebagai uki lapaleng.
Yang dimaksud dengan uki lapaleng adalah tulisan-tulisan Arab yang berkaitan
dengan Al-Qur’an dan hadis. Hanya saja, kebiasaan orang Bugis menisbatkan
semua uki lapaleng dengan Al-Qur’an dan hadis.
63
Timpaq lajaq atau “singkap” atau “tebar layar” atau “timba sila” atau
“sumbulayang” adalah atap bersusun yang terletak antara puncak rumah dan
dinding yang menghadap ke depan. Jumlah susunan timpaq lajaq akan menandai
status sosial pemilik rumah. Timpaq lajaq yang bersusun lima atau tujuh hanya
boleh dipakai oleh keturunan bangsawan, sementara rakyat jelata hanya
diperkenankan memakai susun tiga atau hanya satu. Jumlahnya selalu ganjil.
Selain timpaq lajaq, susunan anak tangga juga menunjukkan status sosial pemilik
rumah. Lihat Verdant Architecture, “Mengenal Rumat Adat Bugis Makassar,”
Verdant, 16 April 2020, diakses 27 April 2021,
https://architecture.verdant.id/rumah/adat/mengenal-rumah-adat-suku-bugis-
makassar/; Sapriadi Pallawalino, “Jejak Sejarah Bola Soba, Rumah Adat
Kerajaan Bone yang Terbakar,” Kumparan.com, 20 Maret 2021, diakses 27 April
2021, https://kumparan.com/adi-pallawalino/jejak-sejarah-bola-soba-rumah-
137
Ketika I Daramatasia tiba di rumah Séheq Bilema’rupi,
kebetulan ia sedang berdiri di muka pintu rumahnya. I Daramatasia
lebih dahulu menyapa, “Wahai Junjunganku, yang manakah rumah
Séheq Bilema’rupi?” Ketika Séheq Bilema’rupi melihat perempuan
muda nan cantik itu, berdebar-debarlah hatinya. Ia pun bertanya,
“Wahai Perempuan Muda yang cantik, apa hajatmu menanyakan
rumah Séheq Bilema’rupi?” (83)
I Daramatasia menjawab, “Ada salam dari perempuannya yang
bernama I Daramatasia yang akan kusampaikan.” (84)
Séheq Bilema’rupi bertanya lagi, “Wahai Perempuan Muda,
naiklah ke rumah, akulah yang bernama Séheq Bilema’rupi”. Lalu I
Daramatasia naik, terus duduk bersimpuh di balik pintu, kemudian
berkata, “Wahai Junjunganku, Séheq Bilema’rupi, terimalah salam
dari perempuan Anda, I Daramatasia.” (85)
“Salamaq”,64 jawab Séheq Bilema’rupi. “Di mana tempat
tinggal I Daramatasia sekarang?” “Dia tinggal di atas batu datar
melakukan pengabdian kepada Allah Taala siang dan malam.” (86)
Air mata Séheq Bilema’rupi meleleh menerima salam dari
istrinya, namun tatapannya tidak beranjak dari tamunya. Ia membatin,
“Andaikan tamuku ini tidak lebih muda dan tidak lebih cantik, tentulah
ia istriku karena suara dan gerak-geriknya sama persis. Yang
memastikan bahwa bukan istriku adalah karena ia lebih muda dan
lebih cantik.” (87)
I Daramatasia mulai bertanya, “Mengapa Anda mengusir istri
Anda?” (88)

adat-kerajaan-bone-yang-terbakar-1vOJqmyPwsL; Hartawan dkk., “Perubahan


Sistem Struktur Bangunan”; Wahyu Ismir, “Rumah Suku Bugis Asli di Sungai
Bakau; Tiga Kali Dibongkar, Nilai Budaya Tetap Dipertahankan,”
Pontianakpost.co.id, 26 September 2020, diakses 27 April 2021,
https://pontianakpost.co.id/rumah-suku-bugis-asli-di-sungai-bakau-tiga-kali-
dibongkar-nilai-budaya-tetap-dipertahankan/. Secara keseluruhan, rumah yang
digambarkan oleh penutur adalah rumah tradisional Bugis yang tinggi dan
bertiang, bukan rumah tradisional Arab atau Mesir, meski ia menyebutkan Tanah
Mesir.
64
Kata salamaq berarti ‘selamat’. Kata ini merupakan jawaban seseorang
ketika menerima kiriman salam khas orang Bugis. Jawaban yang lazim adalah
wa’alaikumussalam atau wa’alaiki wa ‘alaihissalam.
138
Séheq Bilema’rupi menjawab, “Suatu ketika aku sedang makan
malam, sementara sumbu pelita mau habis. Ia ingin beranjak
mengambil sumbu, tapi ia khawatir anaknya akan menangis, lalu
rambutnyalah yang ia potong tujuh helai dibuatnya sumbu tanpa
izinku. Itulah yang menyebabkan aku benci padanya.” (89)
I Daramatasia menjawab, “Rupanya, semata perbuatan benar
yang dilakukannya karena ia paham tentang dosa kepada Allah Taala
bagi istri yang meninggalkan suaminya yang sedang makan.” (90)

Episode XIII
Serangan Balik
I Daramatasia melanjutkan ujarannya, “Wahai Junjunganku,
Séheq Bilema’rupi, aku mohon diri, khawatir terhadap anakku yang
kutinggalkan. Baru empat puluh malam sejak kulahirkan.” (91)
Séheq Bilema’rupi berkata pula, “Wahai Perempuan Muda,
tidak kuizinkan kamu pulang sebelum menerima jamuanku. Tak
seorang pun yang datang ke rumahku kuizinkan pulang, kecuali telah
menerima jamuanku.” Séheq Bilema’rupi bergegas ke dapur untuk
menyalakan api. Apinya tidak bisa menyala karena sekali ia meniup
dengan pabberung,65 tiga kali ia menoleh memandang tamunya. Ia
tidak menyadari bahwa pabberung-nya tidak mengarah ke api,
melainkan ke abu dapur. Akibatnya abu dapur itu beterbangan
memenuhi kepala dan wajahnya. (92)
Hatinya diliputi keraguan, “Yang memastikan bahwa ia bukan
istriku adalah tamuku ini lebih muda dan lebih cantik, sementara
suaranya, gerak-geriknya, dan sifatnya sama persis.” (93)
I Daramatasia tersenyum-senyum melihat kelakuan suaminya,
sekali meniup api, tiga kali menoleh kepadanya. Ia merasa iba lalu
beranjak ke dapur kemudian berujar, “Wahai Junjunganku, Séheq

65
Pabberung adalah alat untuk meniup api, biasanya terbuat dari bambu
yang dikenal sebagai suling api. Masyarakat yang masih menggunakan dapur
tradisional dengan bahan bakar kayu akan menggunakan suling api atau
semacamnya untuk menyalakan api dengan cara meniupnya. Dengan tiupan itu,
api akan menjadi besar dan marak. Namun, tidak jarang jika salah tiup, abu
dapurnya akan beterbangan ke sana kemari.
139
Bilema’rupi, menjauhlah dari dapur, biar aku yang menyelakan api.”
(94)
Séheq Bilema’rupi berdiri mengambil parang untuk membelah-
belah kayu api. Namun, sekali ia menetakkan parangnya, tiga kali ia
menoleh memandang tamunya. Melihat kelakuan suaminya yang
sekali menetakkan parang, tiga kali menoleh memandang ke arahnya,
I Daramatasia pun membatin, “Bisa-bisa terpotong tangannya.” I
Daramatasia beranjak pula ke hadapan Séheq Bilema’rupi dan berkata,
“Wahai Junjunganku, berikan parang itu kepadaku, biar aku yang
membelah-belah kayu itu sebab aku khawatir tangan Anda yang
terpotong.” (95)
I Daramatasia pun membelah-belah kayu itu, sementara Séheq
Bilema’rupi menakar beras, tetapi yang diisi bukan wadah beras
sehingga berserakanlah beras itu di lantai. I Daramatasia tersenyum
melihat kelakuan suaminya. Tanpa bicara ia memunguti beras itu dan
dimasukkannya ke dalam panci untuk ditanak. (96)
Tidak lama kemudian, nasi dan lauk-pauknya sudah matang. I
Daramatasia menghidangkannya di hadapan Séheq Bilema’rupi.
Setelah selesai menata hidangan, ia mempersilahkan suaminya makan.
Séheq Bilema’rupi pun makan, lalu mengajaknya makan bersama.
(97)
“Anda makan terlebih dahulu, Junjungan”, jawab I Daramatasia.
(98)
Berkata lagi Séheq Bilema’rupi, “Wahai Perempuan tamuku.
Mengapa aku yang kamu jamu, padahal kamu yang akan aku jamu,
mengapa aku yang kamu hidangkan nasi? Marilah makan bersama!”
(99)
“Wahai Junjunganku, Séheq Bilema’rupi”, jawab I
Daramatasia. “Adeq yang ditetapkan suamiku kepadaku bahwa aku
tidak boleh mendahuluinya makan. Setelah ia selesai makan barulah
aku boleh makan.” Séheq Bilema’rupi melanjutkan santapnya.
Namun, sekali ia menyuap, tiga kali ia menoleh memandang tamunya.
(100)
140
Tiba-tiba Puteri Cindra Dewi menangis. Séheq Bilema’rupi
memohon kepada tamunya, “Wahai Perempuan tamuku, tolong
diamkan anakku!” (101)
I Daramatasia meraih anaknya, menaikkan ke pangkuannya, dan
menyusuinya. Seketika diamlah Puteri Barabil.”66 (102)
Belum selesai makan, Séheq Bilema’rupi menyingkirkan
piringnya lalu tertunduk menangis. I Daramatasia bertanya, “Mengapa
Anda menangis?” (103)
Séheq Bilema’rupi menjawab, “Sudah sekian lama, sejak I
Daramatasia membuang diri, baru kali ini aku menikmati hidangan
sama persis hidangan yang dibuat oleh I Daramatasia.” (104)
Tiba-tiba I Daramatasia berkata, “Wahai Junjunganku, anak
Anda sama sekali tidak berbeda dengan anakku yang kutinggalkan.”
(105)
Bertanyalah Séheq Bilema’rupi, “Siapa nama anak yang kamu
tinggalkan?” (106)
Dijawab oleh I Daramatasia, “Puteri Cindra Dewi.” (107)
Séheq Bilema’rupi bertanya lagi. “Siapa nama suamimu, siapa
nama ibumu dan nama bapakmu?” (108)
Menjawab I Daramatasia, “Séheq Bilema’rupi nama suamiku,
Rabiatul Awwalia nama ibuku, Séheq Akebare’ nama bapakku, I
Daramatasia namaku.” (109)
Belum selesai tuturan I Daramatasia, Séheq Bilema’rupi
melompat memeluk leher perempuannya sambil berkata, “Benarkah
kamu, adikku I Daramatasia?” (110)
Tanpa kendali Séheq Bilema’rupi mengambil cerek emasnya
kemudian diisinya air, lalu ia mengambil baskom, kemudian ia
mencuci kaki I Daramatasia di baskom itu. Setelah itu, Séheq
Bilema’rupi meminum air bekas cucian kaki istrinya sebagai pertanda
kesungguhan pertobatannya, “Maafkan aku, Dik, atas segala
kesalahanku!” (111)
I Daramatasia menjawab, Allah Taala yang akan memaafkan
Anda.” (112)

66
Entah mengapa nama Puteri Cindra Dewi berubah menjadi Puteri
Barabil.
141
Episode XIV
Menjanda
Baru sehari semalam kepulangan I Daramatasia dari
pengasingan dirinya, Séheq Bilema’rupi terserang sakit dan akhirnya
meninggal tiga hari kemudian. Berpisahlah nyawa dari raganya.
Berkatalah I Daramatasia, “Innã lillãhi wa innã ilaihi rãji’ũn.” Tubuh
Séheq Bilema’rupi diangkat ke persemayamannya. I Daramatasia
pergi memanggil bapaknya. Lalu orang kampung berkumpul di
rumahnya. Kemudian Séheq Bilema’rupi dikafani, disalatkan, lalu
dibawa ke kuburnya. (113)
I Daramatasia kemudian berwudu, lalu membaca Al-Qur’an
untuk bekal suaminya. Ketika ia membaca basmalah dan mulai
melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, air di sungai mendadak berhenti
mengalir, angin yang berhembus mendadak meredup, balita yang
menangis mendadak diam, suami istri yang bertengkar mendadak
akur, kampung yang berseteru mendadak damai. Semua orang
memujinya, sementara Séheq Bilema’rupi menjadi tenang di alam
kuburnya. Demikian pula orang-orang yang berkubur di situ, mereka
beruntung karena mendengar suara I Daramatasia. Sepeninggal
suaminya, tidak ada kegiatan I Daramatasia, kecuali mengabdikan diri
kepada Allah Taala, menegakkan agama Nabi Muhammaq. (114)

Episode XV
Dilamar oleh Tujuh Bersaudara
Tidak berselang lama, silih berganti laki-laki datang melamar I
Daramatasia, tidak peduli raja, putra mahkota, panrita,67 orang kaya,

67
Kata panrita mirip dengan kata pendeta yang bermakna ‘orang
berilmu’. Secara etimologis kata ini merupakan bentukan dari kata panre berarti
‘ahli’ dan ita berarti ‘melihat’. Dengan demikian panrita bermakna ‘orang yang
menyaksikan’. Istilah yang berasal dari Bugis ini artinya orang-orang yang ahli
di bidangnya melalui kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya.
https://www.maknaa.com/arti-nama/panrita, diakses tanggal 02 Oktober 2021.
Di masyarakat Bugis, turunan kata ini dikenal menjadi panré dan panrita.Yang
pertama bermakna orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu, seperti
panré lopi (orang yang ahli membuat perahu), panré bola (orang yang ahli
membuat rumah), panré bessi (orang ahli menempa besi), panré ulaweng (orang
yang ahli mengolah emas), sementara panrita bermakna orang yang ahli dalam
142
siang malam mengharap dapat menggantikan jodoh Séheq
Bilema’rupi. Mereka saling berlomba. Lalu datanglah tujuh lelaki
bersaudara bertanya kepada gembala kambing, katanya, “Di manakah
rumah I Daramatasia?” Si gembala memberikan petunjuk, mereka pun
pergi ke sana. Kebetulan I Daramatasia sedang memandang keluar
lewat jendela rumahnya. Ketika memandang I Daramatasia,
bergemuruh hati mereka, sampai melongo menyaksikan kecantikan I
Daramatasia. Lama mereka termangu, baru bisa uluk salam,
“Asalamualaikum!” (115)
Dijawab oleh I Daramatasia, “Waalaikumsalam. Énréq ko68 ke
rumah jika kalian mempunyai hajat dan tujuan.” (116)
Lelaki tujuh bersaudara itu naik ke rumah. Buru-buru I
Daramatasia mengambilkan cerek berisi air69 lalu diberikannya
kepada tamunya, lelaki tujuh bersaudara itu. Kemudian I Daramatasia
membentangkan tikar untuk mereka. (117)
Setelah selesai membasuh kaki, para tamu itu naik dan duduk di
atas tikar. Duduk pulalah I Daramatasia menghadapi tamunya. Salah
seorang dari lelaki tujuh bersaudara itu berkata, “Wahai Daramatasia,
kami tujuh bersaudara datang kepadamu karena kami mendengar
bahwa Séheq Bilema’rupi telah berpulang ke rahmat Allah Taala. Jadi,
kami ingin agar kamu memilih salah seorang dari kami untuk
menggantikannya.” (118)
I Daramatasia menjawab, “Meskipun baru tiga hari
berpulangnya Séheq Bilema’rupi ke rahmat Allah Taala, jika di antara

ilmu agama-Islam searti dengan ‘ulama. Dalam budaya Bugis, ada gelar lain
untuk seorang ‘ulama, yaitu Anre Gurutta yang berarti ‘Kiyai’. Gelar panrita
juga diberikan kepada tokoh bissu yang dihormati. Lihat Wahyuddin Halim,
“Arung, To-Panrita dan Transformasi Otoritas Keagamaan dan
Kecendiakawanan di Sulsel,” Kawali News: Portal Berita Online, 17 Juli 2012,
diakses 02 Oktober 2021, https://kawaliwajo.blogspot.com/2012/07/to-
panrita.html.
68
Énré’ko artinya ‘naiklah ke rumah!’ Peletakan kata “ko” (kata ganti
orang kedua = kamu), menunjukkan bahwa I Daramatasia tidak begitu hormat
kepada tamunya. Kata yang lebih halus adalah énrékkiq (Naiklah, Tuan).
69
Air yang diberikan kepada mereka itu bukan air minum, tetapi air untuk
mencuci kaki sebelum masuk ke rumah. Ini adalah kebiasaan orang desa mencuci
kaki sebelum masuk ke dalam rumah.
143
kalian ada yang bisa menjelaskan persoalanku, dialah yang akan
kujadikan sebagai penggantinya. Kamu nikahi aku tanpa mahar.”
(119)
Lelaki tujuh bersaudara itu pun berkata, “Wahai Daramatasia,
utarakanlah pertanyaanmu agar kita dengar, salah seorang dari kami
akan menjelaskannya karena kami panrita juga.” (120)
Lalu I Daramatasia memberikan soal, “Seberapa besar berahi
lelaki kepada perempuan dan seberapa besar berahi perempuan kepada
lelaki?” (121)
Serempak lelaki tujuh bersaudara itu menjawab, “Berahi lelaki
kepada perempuan hanya satu, sementara berahi perempuan kepada
lelaki ada sembilan.” (122)
I Daramatasia menjawab, “Alangkah sial dan kurang siriq-nya
kalian. Mengapa kalian yang datang kepadaku, padahal hanya satu
berahi kalian kepadaku. Seharusnya akulah yang datang kepada kalian
karena sembilan berahiku kepada kalian.” (123)
Mendengar jawaban I Daramatasia yang menohok seperti itu,
ketujuh lelaki bersaudara itu turun dari rumah I Daramatasia tanpa
berkata-kata langsung pulang ke rumah mereka dengan menanggung
siriq yang teramat sangat. (124)

Episode XVI
Dilamar oleh Tiga Bersaudara
Baru saja berlalu tujuh malam sejak kematian Séheq
Bilema’rupi, datanglah lelaki tiga bersaudara bertanya kepada
gembala kambing, “Di manakah rumah I Daramatasia?” (125)
Sang gembala memberikan petunjuk, lalu mereka mengikuti
arah yang ditunjuk. Kebetulan I Daramatasia sedang melihat-lihat
keluar dari pintu rumahnya. Ketika lelaki tiga bersaudara itu
memandang I Daramatasia, gemuruh hati mereka dan sempat terpana
menyaksikan kecantikannya. Serempak mereka uluk salam,
“Asalamualaikum wrwb.” (126)
144
“Waalaikumsalam”, jawab I Daramatasia. “Pada énréq no”.70
Lelaki tiga bersaudara itu pun naik. Bergegas I Daramatasia
mengambil air dalam cerek dan menyerahkannya kepada para lelaki
itu. I Daramatasia membentangkan tikar untuk tamunya. Setelah
selesai membasuh kaki, mereka duduk di atas tikar. Duduk pulalah I
Daramatasia memuliakan tamunya. (127)
Berujarlah lelaki tiga bersaudara itu, “Wahai Daramatasia, kami
dengar berita bahwa Séheq Bilema’rupi telah berpulang ke rahmat
Allah Taala. Itulah sebabnya kami datang bertiga bersaudara karena
kami ingin kamu memilih salah seorang di antara kami untuk menjadi
pengganti Séheq Bilema’rupi.” Adapun lelaki tiga bersaudara itu,
yang tertua bernama Hasang, yang tengah bernama Huséng, dan yang
bungsu bernama Hammadeq Patuju. (128)
I Daramatasia menjawab, “Meskipun baru tujuh malam
berpulangnya Séheq Bilema’rupi ke rahmat Allah Taala, jika ada yang
bisa menjelaskan pertanyaanku, dialah yang akan kujadikan pengganti
Séheq Bilema’rupi. Aku rela dinikahinya tanpa mahar.” (129)
Lelaki tiga bersaudara itu berujar, “Wahai Daramatasia,
utarakanlah pertanyaanmu, salah seorang di antara kami diizinkan
oleh Allah Taala untuk menjelaskannya kepadamu karena kami
panrita juga. (130)
Lalu bertanyalah I Daramatasia, “Berapa berahi lelaki kepada
perempuan dan berapa pula berahi perempuan kepada lelaki?” (131)
Hasang dan Huséng menjawab, “Berahi lelaki kepada
perempuan hanya satu, sementara berahi perempuan kepada lelaki ada
sembilan.” (132)
I Daramatasia menyanggah mereka dengan sigap, “Betapa
kurang siriq kalian dan betapa sialnya kalian. Mengapa kalian yang
datang kemari, padahal berahimu hanya satu. Seharusnya akulah yang
mencari kalian karena sembilan berahiku.” (133)
Ketika mendengar bantahan I Daramatasia seperti itu, Hasang
dan Huséng berdiri dan pergi dengan menanggung siriq yang teramat
sangat. Hanya setakat itu kepintaran mereka. (134)

70
Énré’no sama artinya dengan énré’ko.
145
Sementara itu, Hammadeq Patuju masih tetap tinggal, lalu
berkata, “Wahai I Daramatasia, betul jawaban mereka itu bahwa
memang satu berahi lelaki kepada perempuan dan sembilan berahi
perempuan kepada lelaki, begini penjelasannya. Berahi lelaki ibarat
tabung bambu yang bocor ujung pangkalnya sehingga berahi itu
gampang keluar, tampak di permukaan, sementara berahi perempuan
ibarat sesuatu yang tersimpan di dalam peti besi bergembok lalu anak
kunci gemboknya dibuang ke sungai. Oleh karenanya, berahi lelaki
tampak jelas, sementara berahi perempuan terlindung, tertahan.” (135)
Keadaan ini bermula dari kejadian asalnya, yaitu peristiwa
Adam dan Hawa ketika memakan buah khuldi lalu ditegur oleh
malaikat penjaga kayu71 yang kemudian menyebabkan mereka
diturunkan ke dunia. Buah itu masih ada di tenggorokan kakek kita,
Adam, sehingga ketika lehernya dipencet, ia menjadi jakun
(kolomenjing). Nenek kita, Hawa, telah menelannya dan ketika
tengkuknya dipukul, buah itu membusung di dadanya. Itulah sebabnya
lelaki kurang berahinya, tetapi terlihat nyata di luar, sementara
perempuan banyak berahinya sebab nenek kita, Hawa, memang lebih
banyak dan berkali-kali memakan buah khuldi itu.” (136)
I Daramatasia bertanya lagi, “Ada seekor burung terbang dari
Makkah. Burung itu memiliki lima kepala, tujuh kaki, tiga puluh
sayap, empat puluh bulu rumbai, dan satu ekornya.” (137)
Hammadeq Patuju menjawab, “Benar katamu, Dik. Lima
kepalanya karena memang ada lima waktu salat sehari semalam.
Tujuh kakinya karena ada tujuh hari dalam satu putaran Jumat. Tiga
puluh bulu sayapnya karena ada tiga puluh juz dalam Al-Qur’an.
Empat puluh bulu rumbainya karena syarat sah salat Jumat adalah
empat puluh orang. Memang hanya satu ekornya karena Allah hanya
satu.” (138)
I Daramatasia bertanya kembali, “Masih ada pertanyaanku.
Mengherankan, nenekku sedang berjalan kaki. Ketika sampai di
sungai yang digenangi air, ia memakai sepatunya, ketika naik ke darat,
ia melepaskan sepatunya, ketika masuk hutan yang lebat ia

71
Al-Qur’an tidak menyebutkan bahwa malaikat penjaga kayu yang
menegur Adam dan Hawa.
146
kembangkan payungnya, ketika keluar ke tanah lapang yang terik
mentari, ia tutup payungnya?” (139)
Hammadeq Patuju menjawab, “Dia adalah seorang tua yang
sangat menjaga kesucian. Ia tidak mau kakinya berlumpur di lembah.
Itulah sebabnya ia memakai sepatunya. Ketika masuk hutan lebat, ia
tidak mau dijatuhi najis. Itulah sebabnya ia kembangkan payungnya
karena banyak burung yang membuang kotoran di pepohonan.”72
(140)
Mendengar penjelasan Hammadeq Patuju, berkatalah I
Daramatasia, “Engkaulah yang diizinkan Allah Taala menggantikan
Syekh Bilma’ruf.” Maka I Daramatasia pun menyuruh orang
memanggil Puang kali. Dinikahkanlah Hammadeq Patuju. Hammadeq
Patujulah yang memperistri I Daramatasia. Selesai pulalah cerita ini.
(141)

72
Persoalan yang dikemukakan oleh I Daramatasia ini mirip dengan
tindakan tokoh Puspa Wangi dalam film Musang Berjanggut. Tun Nila Utama,
putra mahkota Kerajaan Pura Cendana yang sedang mencari seorang
“perempuan” untuk dijadikan istri, bertemu dengan Puspa Wangi yang sedang
bermain “Tutup Mata” dengan teman-temannya. Puspa Wangi yang sedang
memerankan tokoh “Mak Nenek” dalam permainan itu sedang ditutup matanya
dan dihukum untuk menangkap salah seorang temannya. Ia salah tangkap karena
yang dipeluknya bukan temannya, melainkan Tun Nila Utama. Ini adalah awal
perkenalan Sang Putra Mahkota dengan “perempuan” yang dicarinya. Dalam
perjalanan pulang ke rumah orang tuanya, Puspa Wangi berkelakuan aneh yang
membuat Tun Nila Utama terheran-heran. Ketika menyeberangi anak sungai,
Puspa Wangi memasang sepatunya, sementara Tun Nila Utama membuka
sepatunya karena takut basah. Ketika melewati padang dengan terik mentari,
Puspa Wangi yang membawa payung tidak mengembangkan payungnya,
sementara Tun Nila Utama terengah-engah menutupi kepalanya dengan buntalan
kain bawaannya. Ketika melewati hutan lebat yang tidak tertembus cahaya
matahari, Puspa Wangi mengembangkan payung untuk menutupi kepalanya.
Kelakuan aneh Puspa Wangi ini membuat Nila Utama selalu bertanya kepada
Puspa Wangi, seperti Nabi Musa yang selalu bertanya kepada Nabi Khidir. Film
Musang Berjanggut diproduksi tahun 1960 oleh Malay Film Production,
sekarang bisa disaksikan di YouTube.
https://www.youtube.com/watch?v=RHmdr4xVfHk, diakses 02 Oktober 2021.
147
Penutup
Begitulah kisah I Daramatasia dan Hammadeq Patuju.
Tamatlah sudah.

Episode Tambahan
(Menunda Pernikahan)
Ketika I Daramatasia dan Hammadeq Patuju sampai di rumah
Puang Kali, berkatalah I Daramatasia, “Wahai Puang, nikahkan
Hammadeq Patuju, jadikan kami bersuami istri!”
Bertanyalah Puang Kali, “Sudah berapa lama wafatnya Séheq
Bilema’rupi?”
Menjawab I Daramatasia, “Sudah tujuh malam, Puang.”
Berkatalah Puang Kali, “Orang belum diperbolehkan kawin jika
belum sampai idahnya empat bulan sepuluh hari. Kembalilah ke
rumahmu, nanti jika sudah lepas idahmu, suruhlah Hammadeq Patuju
kemari untuk kunikahkan. Saya hanya ingin memperingatkanmu
Hammadeq Patuju, sekali-kali jangan tinggal di rumah I Daramatasia
sebab kita tidak tahu godaan setan, carilah rumah lain!”
Jadi, kembalilah I Daramatasia bersama Hammadeq Patuju ke
rumahnya.
Hammadeq Patuju pun pergi mencari rumah lain dan di rumah
itulah ia menetap sementara.
Tidak berapa lama tinggal di rumah orang lain, sampailah idah
I Daramatasia empat bulan sepuluh malam.
Lalu, pergilah Hammadeq Patuju ke rumah Puang Kali.
Berkatalah Hammadeq Patuju kepada Puang Kali, “Wahai
Puang, nikahkanlah saya sebab sudah sampai idah I Daramatasia
empat bulan sepuluh hari!”
Berkatalah si Puang Kali, “Baiklah!”
Kemudian Hammadeq Patuju dinikahkan oleh Puang Kali
mewakili bapak I Daramatasia.
Setelah menikah, Hammadeq Patuju pun pamit, katanya,
“Wahai Puang, biarlah saya pergi ke rumah I Daramatasia.”
148
Dijawab oleh Puang Kali, “Pergilah ke rumah perempuanmu
sebab kamu sudah menikah!” Lalu, berjalanlah Hammadeq Patuju ke
rumah I Daramatasia.
Setelah sampai di rumah I Daramatasia, berkatalah Hammadeq
Patuju, “Aku sudah nikah, Dik, sebab sudah sampai idahmu empat
bulan sepuluh hari.”
Berkatalah I Daramatasia, “Baiklah!”
Jadi, tinggallah Hammadeq Patuju di rumah I Daramatasia, di
rumah perempuannya yang bernama I Daramatasia. Sama-sama
berbakti kepada Allah Taala, menjauhkan larangan-Nya, berdua suami
istri hingga sampai ajal mereka.

Apendik
(Nasihat I Daramatasia)
Berkata Daramatasia, “Wahai saudaraku sesama perempuan,
sungguh-sungguhlah berbakti kepada suamimu sebab Nabi kita
bersabda, “Perempuan itu di dalam perintah suaminya.”
Nabi kita juga bersabda, “Tidak ada amalan yang lebih mulia
dan lebih baik dikerjakan oleh para perempuan, kecuali tuma’ninah73
dalam mengerjakan perintah dan kehendak suaminya.”
Bersabda juga Nabi kita, “Wahai Anakku, Fatimah, ‘Sungguh-
sungguhlah berbakti kepada suamimu’”.
Pada suatu waktu, Nabi kita berkunjung ke rumah Fatimah az-
Zahra. Didapatinya Fatimah az-Zahra sedang menggiling gandumnya.
Ketika Nabi kita sampai di hadapan Fatimah az-Zahra, menangislah
Fatimah, katanya, “Ya Rasulullah, Junjunganku, Pesuruh Allah Taala,
andaikan aku dibelikan hamba sahaya, niscaya ada yang
menggilingkan gandumku. Betapa berat rupanya berumah tangga ini!”
Ketika Nabi kita mendengar ucapan anaknya, ibalah Nabi kita.
Nabi kita lalu berdiri di samping batu giling itu dan bersabda, “Wa lā
ilāha subḥāna Allāh wa al-ḥamdulillāh wa lā ḥaula wa lā quwwata
illā bi Allāh al-‘aliyy al-‘aẓīm illa Allāh wa Allāhu akbar.”

73
Secara harfiah, tuma’ninah berarti ‘berhenti sejenak dalam gerakan
salat’. Dalam konteks cerita ini, kata tersebut berarti ‘konsisten’.
149
Tiba-tiba, batu giling itu berputar dengan sendirinya
menggiling habis gandum Fatimah. Setelah tergiling semua, barulah
ia berhenti berputar.
Berkatalah Nabi kita, “Wahai Anakku, Fatimah, andaikan Allah
Taala menghendaki kamu tidak bekerja untuk suamimu, niscaya batu
giling itu akan menggiling sendiri gandummu setiap hari. Namun,
Allah Taala menghendaki agar kamu bekerja untuk suamimu.”
Bersabda juga nabi kita, “Perempuan yang menggiling gandum
karena ingin dimakan suaminya, Allah Taala akan memberinya
kebaikan sebanyak bilangan gandum yang digilingnya.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang memasakkan
suaminya, ia dijauhkan Allah Taala dari api neraka.”
Bersabda juga Nabi kita, “Siapa saja yang menjahitkan pakaian
suaminya, niscaya kelak akan dijahitkan pula pakaian mulia untuknya
di surga.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang mencucikan
pakaian suaminya, Allah Taala akan mengampuni dosanya, sebersih
pakaian suaminya yang sudah dicucinya.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang menyisir-nyisir
rambut suaminya, niscaya Allah Taala akan memberikan pahala
sebanyak rambut suaminya.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang senantiasa
mendoakan kebaikan suaminya, mereka akan dikumpulkan dan
disatukan kembali kelak di surga.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang senantiasa
tersenyum melihat suaminya, kelak dia akan tersenyum-senyum pula
masuk surga.”
Bersabda juga Nabi kita, “Siapa saja yang senantiasa gembira
melihat suaminya, Allah Taala meninggikan tempatnya di dalam
surga.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang teramat takut
kepada suaminya akan diangkat kelak tempatnya di dalam surga.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang memuliakan
suaminya, kelak dia juga akan dimuliakan oleh malaikat di dalam
surga.”
150
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang amat menaruh belas
serta patuh terhadap setiap perintah dan kemauan (suaminya), kelak
dia akan dikumpulkan bersama suami dan kerabatnya di dalam surga
bersama dengan bidadari.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang senantiasa
memohonkan kebaikan suaminya siang malam akan dibukakan pintu
surga untuknya. Hal ini hanya untuk suami istri yang sadar
mengerjakan perintah Allah Taala, menjauhkan larangan-Nya.”
Berkata juga Nabi kita, “Perempuan yang jahat hati kepada
suaminya, nanti ia akan menangis masuk neraka.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang senantiasa cemberut
kepada suaminya, kelak ia akan dilemparkan oleh malaikat masuk ke
neraka.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang senantiasa
cemberut, niscaya tidak akan memperoleh kebaikan dan kelak ia akan
dipisahkan dari suaminya.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang menipu suaminya,
artinya melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan suaminya, ia akan
disiksa di dalam neraka seperti pencuri.”
Bersabda juga Nabi kita, “Perempuan yang mandi junub setelah
selesai bersetu(buh) dengan suaminya, di {…}
Sabdanya juga, “Tidak ada amal yang lebih baik dilakukan oleh
laki-laki yang beristri, kecuali memelihara istrinya serta mencukupkan
belanjanya, pakaiannya dan tempat tinggalnya, karena sesungguhnya
laki-laki pulalah yang berkewajiban menunjukkan jalan kebenaran
dan mencegahnya dari jalan keburukan.”
Bersabda juga Nabi kita, “(Perempuan) dan laki-laki yang
saling asih dalam rangka mencari penghidupan dunia dan
penghidupan akhirat, niscaya kelak ia akan dikumpulkan bersama-
sama dengan para nabi. Sementara istrinya akan dikumpulkan bersama
dengan penghulu para perempuan di dalam surga.”
Bersabda Nabi kita, “Wahai semua perempuan, seboleh-
bolehnya (kalian berbakti sebaik-baiknya kepada suamimu) sebab
sesungguhnya perempuan itu di dalam perintah lelakinya. Mudah-
151
mudahan dengan demikian, kalian memperoleh pahala yang sudah
disebutkan.”
Bersabda nabi kita, “Wahai semua laki-laki yang sudah beristri,
seboleh-bolehnya kalian pelihara perempuan(mu) ke perbuatan yang
baik, kalian larang ke perbuatan yang buruk, sebab kalianlah pula yang
punya kewajiban terhadap istri kalian.”
Bersabda Nabi kita, “Semua pasangan suami istri, berkasih-
kasihanlah dalam menjalankan perintah Allah Taala, menjauhi
larangan-Nya, mudah-mudahan dengan demikian, Allah Taala
mempersatukan kalian di dalam surga, sebagaimana kalian bersatu di
dalam dunia. Mudah-mudahan dengan demikian, kalian memperoleh
kebaikan yang sudah disebutkan, serta dijauhkan dari kejahatan yang
juga sudah disebutkan.” Āmīn, Yā Rabb al-‘ālamīn.
152
BAB V
PERJUMPAAN BUDAYA DAN AGAMA DALAM
PAU-PAUNNA I DARAMATASIA (PPID)

A. Identifikasi Oposisi dalam PPID


Menghadapi karya sastra dengan maksud menemukan makna
oposisi biner yang terindikasi di dalamnya sudah banyak dilakukan,
khususnya yang menggunakan teori dekonstruksi Derrida.1 Pertama,
mendeteksi hierarki oposisi dalam teks biasanya terlihat pada
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana
yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan memperlihatkan
adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan itu.
Ketiga, memunculkan istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak
dapat dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.2
Perlu dicatat bahwa oposisi biner bukanlah suatu perlawanan,
melainkan pasangan yang dapat melengkapi dan menemukan arah
sebuah karya sastra. Dengan kata lain, fungsi sebuah oposisi baru
bermakna ketika disandingkan dengan oposisinya. Laki-laki baru
bermakna ketika disandingkan dengan perempuan, malam baru berarti
jika ada siang, dan sebagainya. Namun, untuk memahami fungsi
masing-masing oposisi, penting mencari tema besar atau tema utuh
sebuah cerita agar dapat didudukkan pada fungsi masing-masing
oposisi dalam kedudukan yang benar.
Untuk menemukan tema utama dalam sebuah teks cerita,
khususnya tema-tema yang bernuansa oposisi, diperlukan langkah-
langkah strategis. Lévi-Straus sebagai pelopor teori struktural telah
menemukan makna di balik mitos, mite atau dongeng yang notabene

1
Antara lain dilakukan oleh Fatkhu Rohmatin, “Dekonstruksi Wacana
Patriarki dan Kebungkaman Perempuan dalam Manuskrip Hikayat Darma
Tasiyah,” Jurnal Jumantara 10, no. 2 (2019): 149-162; Sandy Allifiansyah,
“Oposisi Biner Kesejarahan Indonesia Peridoe Revolusi Fisik (1945-1949)
dalam Film Soegija (2012) & Sang Kiai (2013),” SEMIOTIKA: Jurnal
Komunkasi 11, no. 1 (2017): 163-200.
2
Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2009).

153
154
adalah struktur pemikiran para pemilik mitos, mite atau dongeng
tersebut. Namun, strateginya tidak cukup praktis untuk diikuti karena
rumit sehingga tidak banyak dimanfaatkan oleh akademisi Indonesia, 3
sampai kemudian Ahimsa-Putra memodifikasinya di saat meneliti
dongeng suku Bajo, Pitoto’ Si Muhammaq.4 Strategi yang dilakukan
Ahimsa-Putra lebih mudah diikuti karena ia memenggal-menggal
cerita menjadi beberapa episode sehingga mudah pula menemukan
pola-pola oposisinya. Langkah itu pula yang dilakukan dalam
penelitian ini dalam rangka mencari pola-pola oposisi dan tema utama
PPID.
Pemenggalan cerita diperlukan sebagai langkah strategis untuk
mengetahui kandungan kisah yang umumnya setiap episode berisi
deskripsi tentang tindakan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-
tokoh dalam cerita. Tindakan atau peristiwa ini—yang merupakan
mythem atau ceriteme—hanya dapat ditemukan pada tingkat kalimat.
Oleh karenanya, sebagaimana dilakukan oleh Ahimsa-Putra,5
perhatian utama analisis diarahkan pada kalimat-kalimat yang
menunjukkan tindakan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh
kisah. Hanya saja, cara ini juga tidak terlalu pas karena sebuah
pengertian atau ide tertentu sering pula diungkapkan dalam beberapa
kalimat.6 Oleh karenanya, upaya menentukan ceriteme-ceriteme
dilakukan dengan memperhatikan rangkaian kalimat-kalimat yang
memperlihatkan adanya satu ide tertentu. Dengan cara seperti ini, akan
dapat ditemukan rangkaian-rangkaian kalimat yang memperlihatkan
suatu pengertian tertentu, seperti kalimat-kalimat berikut.
1. Menjawablah Séheq Akebare’, “Jika ada satu gembiramu
kepadaku, kegembiraanku kepadamu tidak terbatas, Nak,
karena memang telah kumohonkan kepada Allah Taala, jika aku

3
Yoseph Yapi Taum, “Teori-Teori Analisis Sastra Lisan: Strukturalisme
Levi-Strauss,” Academia.edu. diakses 09 Oktober 2021,
https://www.academia.edu/3478000/TEORI_TEORI_ANALISIS_SASTRA_LI
SAN_STRUKTURALISME_LEVI_STRAUSS.
4
Heddy Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya
Sastra, ed. baru (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), 204.
5
Ibid., 212.
6
Ibid., 212.
155
mempunyai seorang anak perempuan akan kuserahkan kepada
Allah Taala, akan kusedekahkan kepada seorang ulama besar”
(21).
2. sementara I Daramatasia tinggal di rumah gurunya untuk
belajar. Setelah tamat pelajaran mengaji Al-Qur’annya, ia
belajar nahwu saraf. Tamat nahwu sarafnya, ia mengaji kitab.
Tamat mengaji kitab, ia belajar ilmu fikih. Tamat ilmu fikihnya
ia belajar ilmu falak. Selesai ilmu falak, ia pelajari ilmu Tafsir.
Tamat tafsirnya, ia belajar ilmu batin. Tamat ilmu batinnya, ia
masuk berkhalwat. Hanya tujuh hari tujuh malam nyantri di
rumah Imang Sapi’i, ia tamatkan semua pelajarannya. Bahkan
ia juga membaca tamat kitab Taurat dan Zabur. (6)
3. Imang Sapi’i menjawab, “Kamu tidak durhaka, Nak, dan tidak
pula berdosa kepadaku”. Imang Sapi’i melanjutkan, “Wahai
Anakku, I Daramatasia, kurang seorang muridku dan kamulah
yang menggenapkannya menjadi seratus orang. Tidak seorang
pun di antara muridku yang menyamai kesempurnaan
kecerdasanmu sebab hanya dalam tujuh hari kamu tamatkan
semua pelajaranmu.” (7)
4. Bersicepat Séheq Bilema’rupi keluar dari khalwatnya sambil
bertanya kepada murid-muridnya, “Sepertinya aku mendengar
suara bidadari. Apakah itu suara dari surga? Perasaanku seperti
baling-baling diterpa angin mendengar lantunan bacaan Al-
Qur’annya. (2)
5. “Tidak tahukan Anda, Junjungan, bahwa Séheq Akebareq telah
membawa anak tunggal semata wayangnya untuk mengaji di
rumah Imang Sapi’i? Suaranya itulah yang Junjungan dengar.
Menurut kabar, betapa banyak lelaki yang sudah melamarnya,
namun ditolak karena ayahnya telah berniat untuk
menyedekahkan anak perempuannya itu kepada salah seorang
ulama besar.” (3)
6. Séheq Akebare’ kemudian berkata kepada I Daramatasia,
“Wahai Anak pattolakuq, berwudulah karena aku ingin
mendengarkan bacaan Al-Qur’anmu”. I Daramatasia pun lalu
berwudu kemudian mengambil mushaf Al-Qur’an lalu duduk
156
dan mulai membuka lembarannya. Ia mulai dengan membaca
bismillah. Di saat I Daramatasia melantunkan ayat-ayat Al-
Qur’an, air yang mengalir di sungai menjadi terhenti, angin
yang bertiup mendadak meredup, balita yang menangis menjadi
diam, orang yang bertengkar menjadi berdamai. Ayahnya
tertegun mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an I
Daramatasia. (14)

Ceriteme-Ceriteme tersebut di atas adalah rangkaian dari


kalimat-kalimat yang berdiri sendiri. Ceriteme-ceriteme itu perlu
disandingkan dengan ceriteme-ceriteme yang tempatnya belum tentu
berurutan atau berdampingan. Hanya dengan menyandingkan
ceriteme itulah, sebagaimana dikatakan oleh Ahimsa-Putra,7 akan
didapatkan pengertian tertentu. Pengertian baru ini seakan-akan lahir
dari relasi antarceriteme tersebut. Hal itu merupakan konteks yang
baru.
Dengan teknik seperti itu, misalnya, ceriteme pertama di atas
dapat dimaknai bahwa I Daramatasia adalah seorang anak perempuan
yang memang dinanti-nantikan kelahirannya oleh seorang lelaki yang
tidak lain adalah ayahnya. Untuk menunjukkan keseriusan
keinginannya itu, lelaki itu telah berjanji bahwa jika mendapat anak
perempuan, ia akan menyerahkannya kepada Allah. Allah adalah zat
yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam benak orang Bugis yang
tidak kasatmata. Lalu, ia pun berjanji untuk menyedekahkan anak
perempuannya itu kepada seorang ulama besar. Ulama besar adalah
seorang lelaki yang istimewa dalam pikiran orang Bugis, yang tidak
lain adalah Séheq Bilema’rupi. Inilah awal oposisi antara lelaki dan
perempuan dalam teks ini.
Ceriteme kedua dapat dimaknai bahwa I Daramatasia bukanlah
perempuan biasa. Ia adalah sosok gadis yang cerdas yang dapat
menamatkan semua mata pelajaran yang diberikan oleh gurunya—
yang lelaki—hanya dalam waktu tujuh malam. Ceriteme kecerdasan
ini dipertegas oleh ceriteme ketiga yang menggambarkan I

7
Ibid., 214
157
Daramatasia—yang perempuan—mengalahkan kecerdasan 99 murid
seperguruannya—yang lelaki, sebagaimana dapat dibaca,
Imang Sapi’i melanjutkan, “Wahai Anakku, I Daramatasia,
kurang seorang muridku dan kamulah yang menggenapkannya
menjadi seratus orang. Tidak seorang pun di antara muridku
yang menyamai kesempurnaan kecerdasanmu sebab hanya
dalam tujuh hari kamu tamatkan semua pelajaranmu.” (7)

Ceriteme keempat dapat ditafsirkan bahwa kehebatan Séheq


Bilema’rupi —yang lelaki sekaligus ulama besar—dioposisikan
dengan kehebatan I Daramatasia—yang perempuan dan cerdas. I
Daramatasia mampu menggoyah kesadaran Séheq Bilema’rupi yang
sedang dalam laku khalwat, sebagaimana dapat dibaca berikut,
Bersicepat Séheq Bilema’rupi keluar dari khalwatnya sambil
bertanya kepada murid-muridnya, “Sepertinya aku mendengar
suara bidadari. Apakah itu suara dari surga? Perasaanku seperti
baling-baling diterpa angin mendengar lantunan bacaan Al-
Qur’annya. (2)

Cireteme kelima dapat ditafsirkan sebagai penegasan oposisi


kehebatan I Daramatasia—yang perempuan—terhadap lelaki. I
Daramatasia tidak bisa diperistri oleh sebarang lelaki, sebagaimana
terbaca dalam kalimat, “...betapa banyak lelaki yang sudah
melamarnya, namun ditolak karena ayahnya telah berniat untuk
menyedekahkan anak perempuannya itu kepada salah seorang ulama
besar.”
Ceriteme keenam dapat ditafsirkan sebagai puncak kehebatan I
Daramatasia—yang perempuan—karena hanya dengan membaca Al-
Qur’an dengan tahsin, bukan saja kesadaran Séheq Bilema’rupi yang
goyah, melainkan alam dan sekitarnya bisa menjadi hening,
sebagaimana tergambar pada kalimat,
Di saat I Daramatasia melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, air
yang mengalir di sungai mendadak terhenti, angin yang bertiup
mendadak meredup, balita yang menangis mendadak diam,
orang yang bertengkar mendadak berdamai. Ayahnya tertegun
mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an I Daramatasia. (14)
158
Di dalam cerita rakyat Bugis ini, kehebatan I Daramatasia ini
tidak pernah bisa dilakukan oleh siapa pun, bahkan oleh lelaki yang
ulama sekali pun. Hanya I Daramatasia yang bisa melakukannya.
Dari keenam ceriteme tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat
relasi oposisi antara I Daramatasia sebagai tokoh protagonis dengan
Séheq Bilema’rupi sebagai tokoh antagonis dalam teks tersebut. I
Daramatasia dapat disebut sebagai perempuan yang menonjol
kehebatannya, sementara Séheq Bilema’rupi adalah lelaki yang tidak
sepenuhnya Bugis yang juga pintar karena digolongkan sebagai ulama
besar.
Dengan strategi analisis seperti ini, akan mudah menemukan
oposisi-oposisi antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis
berdasarkan tindakan dan peristiwa-peristiwa yang dialami mereka.
Oposisi-oposisi itu akan lebih mudah dipahami dan ditafsirkan ketika
ia ditempatkan pada oposisi-oposisi lain yang berasal dari data
etnografis. Karenanya, penting untuk mengetahui konteks budaya
orang Bugis. Dengan demikian, akan lebih mudah memahami dan
menginterpretasi relasi-relasi oposisi antara perempuan dan lelaki,
antara istri dan suami, antara kearifan budaya lokal dan kearifan
budaya asing, bahkan dapat digali makna filosofis dalam benak orang
Bugis yang dapat diamati dari teks cerita rakyatnya.
Teks PPID akan dipenggal-penggal menjadi beberapa episode.
Setiap episode menggambarkan sesuatu yang dianggap penting dalam
budaya Bugis. Dari episode-episode itu akan dicari ceriteme-
ceritemenya yang terdapat pada tingkat kalimat. Sebuah kalimat akan
dianggap sebagai suatu ceriteme jika ia menggambarkan adanya suatu
relasi, atau kalimat tersebut melukiskan hubungan-hubungan tertentu
antarelemen cerita. Selanjutnya, ceriteme itu disusun secara sinkronis
dan diakronis. Dengan model ini, akan ditemukan ceriteme-ceriteme
yang melukiskan relasi yang sama dan yang tidak sama. Interpretasi
lebih lanjut atas suatu cerita akan ditentukan oleh keseluruhan relasi
antarceriteme yang berhasil diperoleh dan makna referensial maupun
kontekstual dari elemen-elemen yang ada dalam ceriteme itu.
159
B. Struktur Oposisi Biner dalam PPID
Setelah mentranskripsi seluruh teks dan membacanya berulang-
ulang, teks tersebut akan dipenggal-penggal menjadi beberapa
episode. Selanjutnya, menafsirkan episode tersebut dengan
melibatkan acuan di luar cerita dengan memperhatikan relasi
antarepisode dalam keseluruhan cerita sehingga akan diperoleh makna
masing-masing episode. Berikut pemaknaan masing-masing episode
tersebut.

Episode I: I Daramatasia Membaca Al-Qur’an


Episode I dibuka dengan memperkenalkan tokoh I Daramatasia
lalu menggambarkan keterpesonaan Séheq Bilema’rupi ketika
mendengar alunan merdu suara I Daramatasia melantunkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan bacaan tahsin. Dikisahkan bahwa I Daramatasia
adalah anak perempuan tunggal dari pasangan Séheq Akebare’ dan
Rabiatul Awwalia.
Melihat dari namanya yang diawali dengan “I” menandakan dia
adalah orang Bugis. “I” dalam penamaan orang Bugis berarti “Si”.
Meski penamaan “I” dipakai juga di Bali untuk laki-laki dan “Ni”
untuk perempuan, 8 namun “I” pada nama “I Daramatasia” jelas
berasal dari budaya Bugis karena sebagaian besar nama-nama tokoh
dalam Sastra Lisan Bugis (pau-pau rikadong) memakai “I”. Selain “I”
digunakan juga “La” dengan arti yang sama seperti “La Galigo”, “La
Mellong”, “La Sungkuru Patau”, “I Pulandoq”, “La Pagala”, “La
Patunru”, “La Bungko-Bungko”, “I Tenrigau”, “La Padoma Sibawa I
Mangkawani”, “I Randeng”, “I Nyamekkininnawa sibawa I
Parikininnawa”, “I Kuttu”, “I Oro/La Oro”, dan seterusnya.9

8
Peletakan huruf ‘I” di awal nama sebenarnya bukan monopoli Bugis dan
Makassar. Orang Bali juga menggunakan huruf “I” di awal namanya, seperti I
Wayan dengan makna yang sama pada nama Bugis. Bedanya, di Bali huruf “I”
khusus untuk laki-laki dan “Ni” untuk perempuan, sementara di Bugis tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Lihat Arya Harimbawa, “Mengapa
banyak Orang Bali yang Menggunakan Nama Depan "I" atau "Ni"? Apakah
Artinya?” diakses 12 Oktober 2021, https://id.quora.com/Mengapa-banyak-
orang-Bali-yang-menggunakan-nama-depan-I-atau-Ni-Apakah-artinya.
9
Lihat Yusuf, Pau-Pau Rikadong dan Enre, Sastra Lisan Bugis.
160
Sebagaimana diketahui, cerita ini memiliki empat versi bahasa:
ada di Melayu, ada di Jawa, ada di Sunda, dan ada di Bugis. Versi
bahasa Bugisnya bertransformasi dari versi yang berbahasa Melayu
yang berjudul Hikayat Darma Tahsiyah. Menurut penelitian
Chanifah,10 di dalam nama Darma Tahsiyah terkandung gabungan
unsur Sanskerta (Hindu) dan Arab (Islam). Kata darma berasal dari
Sanskerta dharma yang berarti ‘perbuatan’, ‘kebijaksanaan’, ‘tugas
hidup’.11 Notosudirjo menjelaskan kata dharma secara etimologis
sebagai (1) ‘kebaikan’ lalu menjadi (2) ‘kewajiban’.12
Dharma merupakan konsep penting pada ajaran Hindu. 13 Kata
dharma menemukan pasangannya dengan kata tahsiyah lalu menyatu
menjadi Darma Tahsiyah. Kata tahsiyah berasal dari bahasa Arab
takhasya yang berarti ‘takut kepada’. Kata ini berakar pada kata dasar
khasiya; yakhsya; khasyyatan yang berarti ‘takut’ atau ‘yang takut’.14
Di dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menunjukkan arti dimaksud.
Balasan bagi mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan
mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (Q.S. Al-
Bayyinah [98]: 8).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di dalam nama


yang sekaligus menjadi judul cerita rakyat Bugis ini, I Daramatasia,
terkandung tiga unsur sebagai berikut.

10
Yayah Chanafiah, “Hikayat Darma Tahsiyah: Sebuah Telaah
Filologis,” Tesis (Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadajaran. 1999), 9-10.
11
Badudu-Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1996), 312; Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. ke-3,
cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 238, entri darma.
12
Suwardi Notosudirjo, Pengetahuan Bahasa Indonesia: Etimologi
(Jakarta: Mutiara, 1970), 53.
13
I Made Budiasa, Konsep Budaya Bali dalam Geguritan Sucita Subudhi
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 19970, 36.
14
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qura’an, 1977), 117.
161
1. Unsur Bugis. Unsur ini berakar pada budaya lokal, tempat cerita
rakyat ini berterima.
2. Unsur Sanskerta. Tepatnya unsur Hindu, tempat sastra lisan ini
diterima di Nusantara pertama kali di dalam bahasa Melayu.
3. Unsur Arab. Tepatnya unsur ajaran Islam, yakni ajaran yang
telah mempengaruhi cerita rakyat ini.

Di sisi lain, nama Séheq Bilema’rupi (Syekh Bilma’ruf) sama


sekali tidak mengandung unsur lokal (Bugis), kecuali unsur Arab
(Islam). Secara harfiah, kata Syekh Bil Ma’ruf (Séheq Bilema’rupi)
berarti “lelaki tua yang bijaksana”. Murni tidaknya kebugisan realitas
kedua tokoh ini dapat diketahui dengan jelas jika disandingkan seperti
berikut.
ID perempuan Lokal, Hindu, Islam

Episode I mengandung unsur

SB laki-laki melulu Islam

Untuk memahami episode ini, perlu mengetahui pemahaman


orang Bugis terhadap Islam yang diterima mereka. Sebagaimana telah
diuraikan pada bab sebelumnya, kerajaan pertama di Sulawesi Selatan
yang menerima Islam adalah Kerajaan Gowa. Pengislaman itu terjadi
pada tahun 1605 M oleh ulama-ulama Melayu yang dipimpin oleh
Abdul Kadir atau Khatib Tunggal yang bergelar Dato Ri Bandang,
bersama Khatib Sulung atau Datok Sulaiman yang bergelar Dato
Pattimang, dan Khatib Bungsu bergelar Dato Ri Tiro. 15
Setelah Gowa menerima Islam, menyusul kerajaan-kerajaan
Bugis lainnya: Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609 M, Wajo pada
tahun 1610 M, dan Bone pada tahun 1611 M.16 Berbeda dengan
penerimaan Gowa (berbasis etnis Makassar) terhadap Islam dengan

15
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah
(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1990), 42-45; Suriadi
Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan (Makassar:
Biro KAPP Setda Propinsi Sulawesi Selatan dan Lamacca Press, 2003), 75.
16
Mappangara dan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, 78-117.
162
suka rela, kerajaan-kerajaan Bugis (berbasis etnis Bugis), terutama
kerajaan Tellu mPoccoé (Bone, Soppeng, dan Wajo) menerima Islam
setelah ditaklukkan oleh Gowa melalui peperangan yang berkali-kali
yang dikenal dengan Musuq Selleng di Tanah Ugi atau “Perang Islam
di Tanah Bugis”, sebagaimana sudah diuraikan pula pada bab dua.17
Hal ini dapat dimaknai bahwa keislaman Bugis tidak diterima dengan
sukarela sehingga meskipun mereka telah Islam, ajaran lokal tetap
juga mereka pakai. Perlu dicatat, cerita rakyat ini dikenal di seluruh
daerah berbahasa Bugis, sebaliknya tidak dijumpai pada etnis
Makassar.
Realitas ini dapat membantu dalam memahami oposisi yang
digambarkan di atas. I Daramatasia yang perempuan, yang namanya
bercorak sinkretis, dapat dianggap mewakili masyarakat Bugis,
sementara Séheq Bilema’rupi yang laki-laki, yang tidak terdapat unsur
sinkretis, dapat dianggap mewakili budaya non-Bugis (Arab-Islam)
yang mencoba mempengaruhi atau “menyempurnakan” keislaman
masyarakat Bugis. Séheq Bilema’rupi yang laki-laki adalah lambang
agresivitas, sementara I Daramatasia yang perempuan adalah lambang
difensivitas.
Membaca Al-Qur’an, bagaimanapun penguasaan dan
kemerduan suara orang yang melantunkannya, tetap dianggap hanya
permukaan belaka. Itu hanya keterampilan membaca secara tahsin,
bukan pengamalan agama yang substantif. Berbeda dengan laku
tarekat yang dijalankan oleh Séheq Bilema’rupi dengan berkhalwat.
Laku ini memerlukan pemahaman agama yang mendalam dan
konsisten (istiqamah). Tidak semua orang bisa menjalankannya.
Namun, hal itulah yang dipraktikkan oleh Séheq Bilema’rupi.
Berdasarkan kategori Bugis vs non-Bugis di atas, dapat
ditemukan model pemikiran orang Bugis terhadap ajaran Islam dan
praktiknya. Tampaknya, Islam yang dibalut oleh budaya lokal masih
dianggap lebih unggul daripada praktik Islam yang datang dari luar

17
Hamid Abdullah, Manusia Bugis Makassar (Jakarta: Inti Idayu Press,
1985), 54; Rahmawati Rahma, “Musu’ Selleng dan Islamisasi dalam Peta Politik
Islam di Kerajaan Bone,” Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan 6, no. 1
(2018): 132-140.
163
sebagaimana yang dipraktikkan oleh Séheq Bilema’rupi. Hal itu akan
lebih jelas ketika oposisi I Daramatasia dan Séheq Bilema’rupi
disandingkan seperti berikut:

SB berkhalwat tergoda & linglung

Episode I: laku agama

ID tilawah Al-Qur’an tidak tergoda

Séheq Bilema’rupi dan I Daramatasia sama-sama melakukan ajaran


agama. Séheq Bilema’rupi berkhalwat, sementara I Daramatasia
melakukan tilawah Al-Qur’an dengan tahsin. Konsentrasi yang
dibutuhkan dalam berkhalwat jauh lebih tinggi daripada yang
diperlukan ketika tilawah Al-Qur’an. Di samping itu, tilawah Al-
Qur’an belum tentu memerlukan pemahaman agama yang mendalam,
sementara orang yang berkhalwat dapat dianggap sudah sampai pada
taraf pemahaman agama yang tinggi. Namun, peristiwa yang terjadi
ketika Séheq Bilema’rupi mendengar lantunan ayat-ayat suci yang
dibaca oleh I Daramatasia sungguh luar biasa. Séheq Bilema’rupi
menjadi linglung seperti baling-baling diterpa angin. Setelah
mengetahui dari murid-muridnya bahwa suara merdu itu adalah milik
anak perempuan tunggal dari Séheq Akebare’, ia pun berdoa kepada
Allah agar dipertemukan jodohnya dengan I Daramatasia. Bahkan
untuk itu, ia bernazar untuk menyembelih kambing di Makkah, di
Madinah, dan di Arafah.
Nazar dalam bahasa Bugis disebut tinjaq. Hukum bernazar
dalam hukum Islam adalah mubah atau boleh sepanjang tidak
melanggar syariat, sementara pelaksanaannya adalah wajib.18
Membayar nazar dalam budaya Bugis disebut mappaleppeq tinjaq.
Ritual mappaleppeq tinjaq merupakan penebusan diri dengan upacara
atas nazar yang pernah diucapkannya baik dalam mimpi (tinjaq tinro)

18
Lebih lanjut lihat Jumria H. dan Muammar Muhammad Bakry, “Fikih
Nazar Menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki (Studi Kasus Pelepasan
Nazar di Desa Balang Lompoa Kabupaten Jeneponto),” Shautuna: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Perbandingan Mazhab 1, no. 3 (September 2020): 354-367.
164
maupun di alam nyata (tinjaq mallahéréng). Tinjaq itu sendiri
diucapkan ketika keluarga atau para keluarga mengalami krisis, seperti
gagal panen, sakit keras, tertimpa bencana alam, gagal dalam berbagai
usahanya, dan menginginkan sesuatu dengan amat sangat. Dalam hal
ini, tinjaq Séheq Bilema’rupi dikarenakan sangat ingin memperistri I
Daramatasia.
Jenis tinjaq itu sendiri bermacam-macam, yakni berpuasa
(mappuasa), mempersembahkan seperiuk nasi putih dengan sebutir
telur ayam kampung (sipakkoring-koring nanré na telloq manuq),
ketan dan dadeh gula merah (sokkoq na palopoq), menyembelih ayam
(géréq manuq), menyembelih kambing (géréq bémbéq), menyembelih
sapi (géréq saping), atau menyembelih kerbau (géréq tédong).
Biasanya acara mappaleppeq tinjaq diiringi pesta besar-besaran
makan bersama satu kampung jika jenis tinjaq adalah géréq saping
atau géréq tédong. Akan tetapi, itu juga tergantung pada niat/nazar
semula yang pernah ditetapkan dalam hati atau diucapkan dan
disaksikan oleh orang lain, baik dalam mimpi (tinjaq tinro) maupun di
alam sadar (tinjaq mallahéréng).19 Jumlah hewan yang akan
disembelih juga tergantung pada tingkat krisis atau keinginan
memperoleh sesuatu. Bisa menyembelih seekor, tiga ekor, lima ekor,
tujuh ekor, dan seterusnya. Séheq Bilema’rupi telah bernazar dengan
jumlah kambing yang tidak tanggung-tanggung jika ia bisa
memperistri I Daramatasia. Ia akan menyembelih kambing 21 ekor (7
ekor di Makkah, 7 ekor di Madinah, 7 ekor di bukit Arafah). Ini
menunjukkan betapa kuatnya keinginannya untuk menikahi I
Daramatasia.
Begitulah cerita ini telah dimulai dengan episode yang
mengoposisikan sesuatu yang amat sakral dengan sesuatu yang profan.
Ketertarikan Séheq Bilema’rupi kepada I Daramatasia bukan kepada
inti ajaran Al-Qur’an yang dibacanya, tetapi lebih kepada kemerduan
suaranya. Yang profan telah mengalahkan yang sakral, yang lokal
telah menandingi yang non-lokal.

19
Andi Agussalim AJ dan Sri Hastanto, “Padéndang Ogi Musik Upacara
Ritual Mappalêppê’ Tinja’ Masyarakat Bugis Wajo Sulawesi Selatan,”
Sosiohumanika (Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM, 1999), 249.
165
Episode II: Menamatkan Pelajaran
Episode ini menceritakan kepintaran I Daramatasia yang bisa
menamatkan seluruh pelajarannya hanya dalam waktu 7 hari 7 malam.
Hampir semua ilmu penting dalam agama Islam tamat dipelajarinya,
antara lain, membaca Al-Qur’an, nahwu saraf, mengaji kitab (kitab
kuning), ilmu fikih, ilmu falak, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu batin,
bahkan dia juga mempelajari kitab Zabur dan Taurat. Diceritakan pula
bahwa I Daramatasia adalah satu-satunya murid perempuan di tengah
murid laki-laki yang berjumlah 99 orang. I Daramatasia mencukupkan
bilang 100 murid Imang Sapi’i. Oposisi yang dapat dibaca pada
episode ini adalah sebagai berikut.

ID 1 orang perempuan tamat 7 malam

Episode II 10 mata pelajaran

Murid 99 orang lelaki tidak tamat 7


malam

Di antara ilmu agama yang paling awal diajarkan oleh orang


Bugis kepada anak-anaknya adalah membaca Al-Qur’an.20 Biasanya
diajarkan langsung oleh orang tua, tetapi kebanyakan diajarkan oleh
orang lain yang memang menyediakan diri secara sukarela menjadi
guru ngaji. Merupakan kebanggaan tersendiri bagi orang tua jika
anaknya pintar mengaji lengkap dengan tajwid dan makhrajnya yang
disertai dengan tahsin. Orang Bugis punya istilah tersendiri untuk
menyebut seseorang yang pintar mengaji yang disertai dengan tahsin
sebagai pallagu.21 Kepintaran ini bahkan sering ditanyakan kepada
seseorang yang ingin melamar atau dilamar, Macca mo mallagu?
(Apakah dia pintar membaca Al-Qur’an dengan tahsin?). Atau paling
tidak ditanyakan, Macca mo mangaji? (Apakah dia bisa baca Al-

20
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), 51.
21
Pallagu berasal dari akar kata lagu yang berarti ‘nyanyi’. Secara
harfiah, pallagu berarti ‘penyanyi’, tetapi dalam konteks ini berarti pelantun
bacaan Al-Qur’an.
166
Qur’an?). Kealpaan terhadap penguasaan ilmu yang satu ini
merupakan aib tersendiri, baik bagi keluarga maupun bagi dirinya
sendiri. Namun, perlu diingat, ini hanya membaca Al-Qur’an, belum
termasuk memahami maknanya, apalagi menjalankan isinya.
Diagram oposisi di atas dapat dijelaskan bahwa I Daramatasia
satu-satunya murid perempuan mampu menguasai 10 pelajaran agama
Islam hanya dalam 7 hari 7 malam yang tidak mampu dikuasai oleh
seorang pun dari 99 murid lelaki sepengajiannya. Hal ini dapat
ditafsirkan sebagai penambahan bobot orang Bugis, atau paling tidak,
perempuan Bugis di hadapan para lelaki. Penekakan pada murid
perempuan satu-satunya dan anak perempuan satu-satunya dari
pasangan Séheq Akebare’ dan Rabiatul Awwalia juga mengisyaratkan
keistimewaan I Daramatasia.22
Menarik untuk dicermati bahwa guru I Daramatasia dalam
episode ini adalah Imang Sapi’i yang beristrikan Sitti Hapessa. Hal ini
dapat ditafsirkan bahwa kehebatan I Daramatasia yang
merepresentasikan keislaman lokal, orang-orang Bugis masih
mengakui bahwa Islam yang bernuansa Timur Tengah lebih unggul
dan ke sanalah mereka berkiblat. I Daramatasia sendiri dilahirkan dari
sepasang suami istri yang bernuansa Timur Tengah. Adapun
kemudian Imang Sapi’i mengagumi kecerdasan I Daramatasia, hal itu
bisa dimaknai sebagai angan-angan orang Bugis untuk tampil unggul
di hadapan keislaman Timur Tengah, sumber Islam pertama. Ini
adalah sikap mendua orang Bugis yang di satu sisi ingin
mengunggulkan keislaman mereka yang lokal, tetapi di sisi yang lain
tetap tergantung pada keislaman Timur Tengah sebagai pemasok
keislaman. Episode ini merupakan kelanjutan relasi keislaman orang
Bugis dari episode sebelumnya.
Yang patut dicatat adalah oposisi antara perempuan dan laki-
laki begitu mencolok. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa I Daramatasia
memang telah dipersiapkan sejak awal memiliki sifat unggul atau

22
Sesuatu yang tunggal menujukkan keistimewaan dan kekhususan
karena tidak ada saingannya. Dalam budaya timur, khususnya budaya Bugis,
sesuatu yang tunggal selalu menempati posisi istimewa, seperti manuq tungkeq
(ayam satu-satunya), pao tungkeq (mangga satu-satunya).
167
lebih tepatnya sifat maskulin, sebagaimana disebutkan dalam pepatah
Bugis, Muq ni na worowané, na makkunrai sifaqna makkunrai mui.
Muq ni makkunrai, na worowané sifaqna, na worowané mui
(Meskipun ia seorang lelaki, jika ia bersifat perempuan, ia dianggap
sebagai perempuan. Meskipun ia seorang perempuan, jika ia bersifat
lelaki, ia dianggap sebagai lelaki). 23

Episode III: Bertemu dengan Séheq Bilema’rupi


Episode ini memaparkan peristiwa yang dialami oleh Séheq
Bilema’rupi ketika berpapasan dengan I Daramatasia. Setelah
menamatkan pengajiannya selama 7 hari 7 malam, Imang Sapi’i
meminta istrinya, Sitti Hapessa, untuk menyerahkan kembali I
Daramatasia ke orang tuanya. Dalam perjalanan pulang itu, I
Daramatasia dan Sitti Hapessa berpapasan dengan rombongan Séheq
Bilema’rupi yang diiringi oleh murid-muridnya. Inilah buat pertama
kalinya Séheq Bilema’rupi bersua dan memandang fisik I Daramatasia
yang begitu memesona.
Agak mengherankan ketika seorang ulama tarekat tertarik
kepada kecantikan fisik lahiriah seorang perempuan. Biasanya,
seseorang yang melakoni hidup zuhud dalam sufi/tarekat tidak mudah
tertarik kepada hal-hal yang bersifat fisik keduniaan, apalagi terhadap
kecantikan perempuan. Namun, yang dialami oleh Séheq Bilema’rupi
sungguh luar biasa. Ia sampai kehilangan kendali, hilang
keseimbangan, tersandung, dan terjerembap ke tanah. Ia merasakan
melihat sebuah cermin tembus pandang.
Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh I Daramatasia. Ia
tidak memberikan reaksi apa-apa pada perjumpaan pertama itu. Uluk
salam yang diucapkan oleh Séheq Bilema’rupi pun bukan I
Daramatasia yang menjawabnya, kecuali Sitti Hapessa. Mereka
berdua terus melanjutkan perjalanan tanpa menghiraukan apa yang
terjadi pada rombongan Séheq Bilema’rupi.
Oposisi pada episode ini melanjutkan oposisi episode
sebelumnya. Akan lebih jelas terbaca pada diagram berikut.

23
H.D Mangemba, Kenallah Sulawesi Selatan (Djakarta: Timun Mas,
1998), 34.
168

Untuk memahami realitas ketertarikan seorang sufi pengamal


tarekat kepada perempuan berparas cantik dalam kisah ini, tidak cukup
hanya merujuk kepada sistem patriarki orang Bugis yang menabukan
agresivitas perempuan kepada lelaki. Pemahaman harus pula dibantu
dengan mempertimbangkan pandangan orang Bugis terhadap kaum
perempuannya. Perempuan bagi orang Bugis merupakan simbol
kehormatan keluarga yang harus dijaga dan dilindungi. Di dalam diri
perempuan Bugis terkandung siriq keluarga yang nyawa adalah
taruhannya. Jika ada seorang anggota keluarga perempuan yang rusak,
rusak pulalah kehormatan keluarga tersebut.24
Dengan demikian, oposisi di atas dapat dipahami sebagai sikap
orang Bugis menghormati perempuan, apalagi I Daramatasia bukanlah
perempuan biasa. Ia adalah perempuan istimewa karena kecantikan
dan kepintarannya. Jadi, masuk akal jika ada seorang lelaki—
meskipun ia seorang pengamal tarekat—yang ingin kepadanya harus
memperlihatkan ketertarikan yang lebih dan serius. Dengan demikian,
apa yang dialami oleh Séheq Bilema’rupi adalah sebuah kewajaran.
Dalam hal ini, ada pepatah Bugis yang mengatakan, Makunru cappaq
kawali é ri olona cappaq simpolong é (ujung badik menjadi tumpul di
hadapan ujung sanggul). Maksudnya, sehebat-hebatnya seorang lelaki
akan tunduk di hadapan perempuan pujaannya. Itulah tafsir yang dapat
diberikan pada oposisi episode I.

Episode IV: Diuji oleh Séheq Akebare’


Setelah Sitti Hapessa dan I Daramatasia sampai ke rumah Séheq
Akebare’ dan Rabiatul Awwalia, kedua orang tua I Daramatasia itu
sangat gembira dan menjamu Sitti Hapessa layaknya tamu agung.
Séheq Akebare’ ingin mengetahui penguasaan ilmu agama yang

24
Ibid., 37.
169
diperoleh anaknya setelah berguru selama 7 hari 7 malam kepada
Imang Sapi’i. Tes yang dilakukannya adalah dengan meminta I
Daramatasia membaca Al-Qur’an. Peristiwa semacam ini
sesungguhnya merupakan hal biasa dalam masyarakat Bugis. Akan
tetapi, reaksi alam terhadap kemerduan suara I Daramatasia ketika
melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, itu yang luar biasa. Ia mampu
menghentikan aliran sungai, menghentikan hembusan angin,
menenangkan anak-anak yang sedang menangis, mendamaikan orang
yang sedang berselisih.
Jika dibaca sepintas, tidak ada oposisi pada episode ini. Akan
tetapi, jika diperhatikan lebih saksama, oposisi itu tetap ada, yakni
oposisi antara yang tampil dalam cerita dan sesuatu yang ada dalam
pikiran orang Bugis. Menarik diperhatikan ucapan Syekh Akbar ketika
menyapa anaknya sebagai, Ooo, Anaq pattolaku, lao no muajjénnéq
apaq maéloq kaq méngkalinga ko mangaji (Wahai Anak penerusku,
pergilah berwudu karena aku ingin mendengarmu mengaji). Anaq
pattola berarti “anak penerus keturunan” atau “anak pewaris” yang di
dalam sistem kekerabatan bangsawan Bugis adalah putra mahkota.
Dalam masyarakat Bugis yang menganut sistem patriarki, “anak
penerus keturunan” atau “anak pewaris” biasanya dibebankan kepada
anak lelaki.25 Berdasarkan sistem pewarisan ini, oposisi yang timbul
dari episode ini adalah oposisi antara teks cerita dan konsep yang ada
dalam pikiran orang Bugis. Gambarannya adalah sebagai berikut.

Pertanyaannya, mengapa cerita ini menempatkan I Daramatasia yang


perempuan sebagai ana’ pattola? Ha ini tentu saja ada kaitannya
dengan sifat maskulin yang dimilikinya, bukan sekadar ia adalah anak
tunggal dari Syekh Akbar dan Rabiatul Awwalia.

25
Mattulada, Latoa, 28.
170
Episode V: I Daramatasia Dipinang
Episode ini mengisahkan kedatangan Séheq Bilema’rupi ke
rumah Séheq Akebare’ untuk melamar I Daramatasia. Keterpesonaan
Séheq Bilema’rupi kepada I Daramatasia dilanjutkan dengan acara
melamar. Episode ini seperti hendak menguji nazar dan munajat Séheq
Bilema’rupi. Akankah terkabul? Ternyata gayung bersambut, Séheq
Bilema’rupi tidak mendapat halangan apa pun dalam mencapai
keinginan berahinya. Dengarlah jawaban Séheq Akebare’ dalam
menjawab lamaran Séheq Bilema’rupi,
“Jika ada satu gembiramu kepadaku, kegembiraanku
kepadamu tidak terbatas, Nak, karena memang telah
kumohonkan kepada Allah, jika aku mempunyai seorang anak
perempuan akan kuserahkan kepada Allah, akan kusedekahkan
kepada seorang ulama besar” (21).

Jawaban Séheq Akebare’ yang dengan mudah menyetujui lamaran


Séheq Bilema’rupi ini mengejutkan karena tidak sebanding dengan
usaha kerasnya: bernazar, munajat, dan laku tarekat dalam rangka
mendapatkan jodoh I Daramatasia. Tampaknya tidak ada oposisi
dalam episode ini. Yang ada adalah permufakatan antara dua orang
lelaki terhadap jodoh seorang perempuan. Skema kesepakatan tersebut
dapat dilihat sebagai berikut.

Untuk memahami sikap Séheq Akebare’ yang berniat


menyedekahkan anak perempuan satu-satunya kepada seorang ulama
besar, harus dirujuk kepada sikap penghormatan orang Bugis terhadap
seseorang yang dianggap ulama atau alim dalam persoalan agama.
Ada semacam kebanggaan bagi orang tua jika anaknya diperistri oleh
seorang ulama. Namun, diksi “sedekah” merupakan hal yang agak
muskil karena menimbulkan tanda tanya.
171
Islam telah mengajarkan penganutnya untuk bersedekah, tetapi
sedekah yang dimaksud biasanya berupa harta atau ilmu pengetahuan,
bukan anak gadis. Oleh karenanya, ada pembalikan oposisi pada
episode ini. Jika pada episode-episode terdahulu terlihat
mengunggulkan perempuan dan meletakkannya pada posisi yang
tinggi dan terhormat karena sifat-sifat maskulinnya, episode V justru
membalikkannya. I Daramatasia pada episode ini adalah objek yang
ditentukan jodohnya oleh dua orang lelaki. Dengan demikian, tetap
ada oposisi, tetapi ia harus disandingkan dengan oposisi episode III
dan IV.
Menarik pula untuk dicermati bahwa kesepakatan antara kedua
syekh tersebut dibumbui pula oleh alam pikiran mistis khas orang
Bugis, yakni penentuan hari baik bagi pernikahan antara Séheq
Bilema’rupi dan Séheq Akebare’. Hari Senéng, bertepatan dengan
purnama empat belas bulan Sabang, adalah hari yang sangat baik dan
aman karena tidak bertepatan dengan “hitungan hari ketiga” (balitellu
esso é), juga tidak bertepatan dengan “hari nahas ketujuh” (kerreq pitu
esso é), tidak juga bertepatan dengan “hari saling membelakangi”
(esso sibokoreng é), tidak juga termasuk “hitungan kalolang”, tidak
juga bertepatan dengan “penghujung nahas” (paccappureng kerreq).
Semua hari nahas itu dipantangkan untuk melakukan pekerjaan
penting, seperti mendirikan rumah, melaksanakan pernikahan, pindah
rumah, dan memulai menanam padi.26
Terlihat bahwa ada ambiguitas pemikiran orang Bugis: di satu
sisi menerima ajaran Islam dan memberikan penghormatan kepada
ulama, tetapi di sisi lain masih terus melestarikan ajaran leluhur yang
notabene bertentangan dengan ajaran tauhid. Perilaku sinkretis inilah
yang dianggap baik.

Episode VI: Dipaksa Menikah


Betapa galaunya I Daramatasia ketika mengetahui bahwa ia
akan dinikahkan dengan Séheq Bilema’rupi. Ibunya yang semestinya
membelanya karena sesama perempuan justru menjadi penyambung

26
Lihat kupasan tuntas Nor Sidin, dkk., Astrologi (Kitab Ramalan) Bugis
Makassar (Makassar: Pakalawaki Penerbitan dan Percetakan, 2020).
172
lidah ayahnya yang sudah mempunyai kesepakatan dengan Séheq
Bilema’rupi.
Perjodohan anak perempuan perawan bagi keluarga Bugis
tradisional adalah hak mutlak orang tua, dalam hal ini adalah ayahnya.
Namun, biasanya, orang tua tetap bertanya kepada anak perawannya.27
Akan tetapi, yang terjadi pada I Daramatasia adalah pemaksaan
mutlak. Alih-alih meminta pendapat anaknya, ibunya justru
mengancam I Daramatasia sambil berlindung di balik dalil-dalil untuk
menundukkan penolakan I Daramatasia. Pelajaran agama yang
diterima selama belajar kepada Imang Sapi’i seolah menjadi
bumerang yang berbalik melukai nalarnya dan membelenggu haknya.
Skema oposisi berikut akan memperlihatkan hal tersebut.

Dari struktur di atas dapat dilihat bahwa ada dua orang


perempuan yang sama-sama memahami agama, tetapi melahirkan
efek yang berbeda. I Daramatasia dengan kecerdasannya yang
melebihi kecerdasan rata-rata laki-laki dalam memahami agama
mendapati dirinya terbelenggu oleh pemahamannya sendiri. Maéloq i
rumpaq i akkélona ammaq na métauq i ri Allah Ta’ala, apaq pura
najeppui adorakang é ri ammaq na ri inanna (Ia ingin menolak
kemauan ayahnya, tetapi ia takut murka Allah Taala karena ia paham
betul perkara kedurhakaan anak kepada ayah dan ibunya). Sementara
itu, di pihak lain, ibunya yang dengan pemahaman serupa menjadikan
ajaran agama sebagai alat untuk menundukkan penolakan I
Daramatasia tentang perjodohannya.
Masyarakat Bugis adalah penganut sistem patriarki
sebagaimana banyak ditemui di masyarakat Nusantara. Meski dalam
banyak literatur klasik Bugis, seperti La Galigo, memperlihatkan

27
Mangemba, Kenallah Sulawesi Selatan, 58.
173
kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan, tetapi peristiwa
pada peristiwa episode di atas memperlihatkan bahwa orang Bugis
menginginkan ketundukan mutlak anak perempuan di hadapan
ayahnya, istri di hadapan suaminya. Datangnya ajaran Islam yang
“seolah-olah” mendukung pandangan patriarki ini telah menghidup-
suburkan pikiran orang Bugis tentang anak perawan yang ideal di
hadapan orang tua. Itu terlihat pula dalam dialog ibu I Daramatasia,
Ooo Anaq ku, maélo ni ammaq mu pallakkaiko naleppeq toni dosana
ri Allahu Taala (Wahai Anakku, ayahmu akan menjodohkanmu agar
terlepas dosanya kepada Allah Taala). Memiliki anak perawan
dianggap masih menanggung dosa kepada Allah Taala.

Episode VII: Perdebatan Soal Seks


Séheq Bilema’rupi digambarkan tidak mampu lagi menahan
berahinya kepada I Daramatasia di malam pertama pernikahannya.
Tanpa tedeng aling-aling, ia mulai mencumbu dan meraba bagian-
bagian intim I Daramatasia. Merasa jengah diperlakukan seperti itu, I
Daramatasia mencoba melakukan perlawanan dengan mengingatkan
Séheq Bilema’rupi agar tidak menuruti berahinya karena hal itu pasti
ditunggangi setan. I Daramatasia menggunakan dalil agama dalam
penolakannya. Akan tetapi, yang terjadi adalah matinya perlawanan I
Daramatasia karena Séheq Bilema’rupi menggunakan dalil agama
tandingan. Akhirnya, I Daramatasia tidak bisa berbuat apa-apa lagi,
kecuali penyerahan total di malam pertama itu. Tidak hanya di malam
pertama itu, melainkan juga pada malam-malam dan hari-hari berikut
dari perkawinannya. Kelanjutan ceriteme-ceriteme itu dapat dilihat
pada struktur oposisi berikut.

Sama dengan di episode VI, I Daramatasia yang terpaksa tunduk


kepada kemauan orang tuanya, di episode ini ia terpaksa tunduk pula
174
kepada kemauan suaminya. Meskipun ia sempat menolak karena
diperlakukan semena-mena, dengan dalil agama, I Daramatasia
tunduk, pasrah, dan membiarkan Séheq Bilema’rupi leluasa
melakukan dan memuaskan berahinya di atas tubuhnya. I Daramatasia
yang pintar, yang hanya dalam 7 hari 7 malam mampu menamatkan
sepuluh jenis pelajaran agama, yang melampaui kecerdasan 99 laki-
laki seperguruannya, tidak mampu mempertahankan haknya di
hadapan laki-laki yang telah menjadi suaminya, Séheq Bilema’rupi,
yang dianggap sebagai seorang ulama besar oleh orang tuanya. Semua
pemahamannya tentang agama Islam berbalik menjadi bumerang
membidik keperawanannya. Séheq Bilema’rupi bahkan
menyamakannya dengan buah-buahan yang lezat untuk disantap.
Wahai Adikku, buah hatiku, cahaya mataku, seandainya engkau jenis
buah-buahan, niscaya sudah kumakan karena besarnya keinginanku
kepadamu.
Situasi malam pertama yang dilalui oleh pengantin baru, I
Daramatasia dan suaminya, Séheq Bilema’rupi, agak berbeda dengan
ajaran leluhur orang Bugis tentang seks malam pertama yang terekam
dalam Lontaraq Assikalaibinéng28 yang populer di Tanah Bugis. Ada
tahapan-tahapan sakral yang harus dilalui oleh kedua pengantin di
malam pertama. Biasanya seorang istri akan menguji kesiapan
suaminya dan sampai sejauh mana pemahamannya terhadap
kehidupan seks bersuami istri. Kadang-kadang seorang suami terpaksa
pergi meninggalkan istrinya di subuh hari pada hari kedua
pernikahannya karena tidak mampu menjawab semua persoalan yang
menjadi tanggung jawabnya sebagai suami, khususnya masalah seks.
Kepergian ini adalah kepergian selamanya karena suami merasa

28
Penyebutan sebagai Lontaraq Assikalaibinéng hanya untuk
menyeragamkan penyebutan lontaraq serupa. Ada 17 lontaraq sejenis yang
kemudian dapat digolongkan menjadi empat golongan: (1) lontaraq perilaku
seksualitas, (2) lontaraq mitos seksualitas, (3) lontaraq tentang vagina, (4)
lontaraq tentang air mani. Lihat Muhlis Hadrawi, Assikalaibineng: Kitab
Persetubuhan Bugis, cet. ke-5 (Makassar: Ininnawa, 2017).
175
dipermalukan oleh istrinya sendiri. Ini disebut dikapasiriq i ri bainé
na (dipermalukan oleh istrinya).29
Apa yang dapat dipahami dari oposisi episode VII ini?
Hubungan seks yang diajarkan oleh tradisi Bugis haruslah
berlangsung dalam suasana kesetaraan dan kerelaan antara suami dan
istri. Hal ini dapat dilihat dari penamaan alat kelamin laki-laki yang
disebut Ali, sementara alat kelamin perempuan disebut Patimang. Ali
adalah nama menantu Nabi Muhammad saw. dan sekaligus sahabat
beliau, sekaligus khalifah keempat dari Khulafa’u ar-Rasyidun,
sementara Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah. Dengan
demikian, hubungan seks yang sah bagi orang Bugis adalah sangat
sakral dalam suasana religius. Salah satu doa atau mantra Bugis saat
akan melakukan hubungan seks yang terdapat dalam Lontaraq
Assikalaibinéng yang diucapkan oleh suami adalah sebagai berikut.

Iko Patimang, iyyaq Ali


Usarakengngi alépuq ri watakkalékuq
Lapaleng Allah ri watakkalému
Ukkarengngaq tangeq na Parimang
Nauttamaq Ali
Barakkaq Lā ilāha illallāh

(Engkau Fatimah, Aku Ali


Aku syaratkan alif di tubuhku
Huruf Allah di tubuhmu
Bukakan untukku pintanya Fatimah
Agar Ali bisa masuk
Berkat Lā ilāha illallāh).

Mantra ini akan disambut oleh istri sebelum penetrasi


berlangsung sebagai berikut.
Iko I Ali puttamaq
I Usupeq asenna katawammu

29
Hal ini diakui juga oleh Christian Pelras ketika berceramah di Aula
IAIN Sunan Kalijaga, 22 September 2005.
176
Laquq asenna mannimmu
Kocai lakoci Patimang
Kociq waddu waddi manni mannikeng
Soddi larasekkuq
Barakkaq Lā ilāha illallāh

(Engkau Ali yang memasukkan


Yusuf nama kelaminmu
Laquq nama manimu
Mengecap menyusupi Fatimah
Menyusup waddu waddi mani manikeng
Getah Laserakuq
Berkat Lā ilāha illallāh).30

Lafal mantra di atas bukan doa bersetubuh yang diajarkan oleh


Nabi Muhammad saw., melainkan ciptaan orang Bugis dengan
memasukkan unsur-unsur Islam. Ini adalah salah satu bentuk
sinkretisme antara Islam dan tradisi lokal Bugis. Lalu tafsir apa yang
dapat diberikan kepada episode VII ini?
Melihat praktik sinkretisme dari Lontaraq Assikalaibinéng di
atas, tergambar sikap ambigu orang Bugis dalam menentukan sikap:
apakah ajaran sinkretis yang lebih baik atau ajaran Islam murni yang
lebih baik? Bobot istimewa yang diberikan kepada tokoh I
Daramatasia pada episode I, II, dan III memperlihatkan bahwa orang
Bugis lebih menganggap ajaran sinkretis yang lebih baik. Akan tetapi,
dalam masalah seks, tampaknya, orang Bugis lebih berpikiran praktis
dan hal itu mendapat pembenaran dari dalil-dalil agama sebagaimana
dikemukakan oleh Séheq Bilema’rupi ketika mematahkan pertahanan
I Daramatasia di malam pengantin. Memang betul ucapanmu itu.
Namun, Allah juga berfirman, “Siapa saja yang menganggap salah
sesuatu yang halal di sisi Nabi kita, Muhammad, maka ia berada di
luar pengetahuan-Ku”. Di samping itu, episode ini juga
memperlihatkan angan-angan orang Bugis yang ingin menguasai

30
Hadrawi, Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis, 204.
177
perempuan seutuhnya. Sikap ambiguitas orang Bugis di episode ini
akan memperoleh maknanya jika disandingkan dengan episode I, II,
dan III.

Episode VIII: Pindah ke Rumah Suami


Episode ini bercerita tentang keinginan Séheq Bilema’rupi
memboyong istrinya kembali ke rumahnya dan kisah pengabdian total
I Daramatasia kepada Séheq Bilema’rupi. Ketika Séheq Bilema’rupi
mohon pamit kepada orang tua I Daramatasia untuk memboyongnya,
jawaban ibu I Daramatasia kembali mempertegas jawaban ayahnya
ketika Séheq Bilema’rupi melamarnya bahwa memiliki anak
perempuan, meskipun ia adalah anak yang diharap-harapkan dengan
nazar dan doa, tetaplah menjadi beban dosa bagi orang tua selagi anak
perempuan tersebut belum dinikahkan dan diserahkan kepada
suaminya. Jawaban ibu I Daramatasia tersebut di samping
mempertegas hal tersebut, juga mengandung pengertian agar Séheq
Bilema’rupi segera memboyong istrinya karena sudah bukan
tanggung jawab orang tuanya lagi, beban dosanya sudah berpindah
kepada suaminya.
I Daramatasia kemudian segera menjalankan fungsinya sebagai
istri dan ibu rumah tangga di rumah Séheq Bilema’rupi dengan
pengabdian sepenuh hati. Beberapa peristiwa dialami oleh I
Daramatasia. Pertama, dijadikan pemilik rumah dan semua harta
milik Séheq Bilema’rupi. “Wahai Adikku, I Daramatasia, segala yang
dapat dipandang oleh penglihatanmu di dalam rumah ini adalah
kepunyaanmu. Kamulah yang ditakdirkan oleh Allah menjadi
pemiliknya”.
Kedua, I Daramatasia diminta menjadi pelayan sepenuh hati
kepada Séheq Bilema’rupi di saat ia sedang makan karena itu adalah
perintah agama.
“Wahai Adikku, I Daramatasia, aku ingin berpesan sesuatu! Jika
seorang istri sudah menghidangkan makanan kepada suaminya
lalu ia pergi meninggalkan suaminya yang sedang makan itu,
rezekinya tidak akan mendapat berkah dari Allah Taala. Ia juga
jauh dari sifat-sifat Sitti Patimang, istri Bagénda’ Ali, penerus
178
Sitti Khadijah, dan ia mendapat murka dari Allah Taala dan
Rasul-Nya”

Ketiga, I Daramatasia juga menjadi pelayan ketika suaminya


Séheq Bilema’rupi pulang dari berkhalwat.
Begitulah, selama I Daramatasia menikah dengan Séheq
Bilema’rupi, ia hanya melulu mengabdi dengan penuh khidmat
kepada suaminya sambil mengerjakan perintah Allah Taala,
menjauhi larangan-Nya, karena menaruh siriq (hormat) kepada
Nabi Muhammaq saw. Sementara itu, Séheq Bilema’rupi
senantiasa masuk ke dalam khalwatnya. Setiap suaminya keluar
dari khalwatnya, I Daramatasia mengambil cerek berisi air lalu
mencuci kaki suaminya. Setelah itu, ia mengurai sanggulnya
lalu melap kaki suaminya dengan rambut panjangnya. Setelah
itu, ia menuntun lengan kanan suaminya naik ke rumah dan
mendudukkannya di atas karpet permadani di depan jendela
tanggung. Setelah suaminya duduk cantik, duduk nyaman, ia
pun duduk pula di hadapan suaminya lalu menanggalkan
kancing baju suaminya. Ia kemudian meraih kipas lalu
mengipas suaminya hingga keringatnya kering. Setelah itu, ia
sujud di kaki suaminya sambil berujar, “Wahai Junjungan,
mohon ampun jika ada dosaku, baik besar maupun kecil”.

Keempat, I Daramatasia tidak diberi peluang untuk memberikan


nama kepada anak mereka, tetapi menjadi hak suaminya, Séheq
Bilema’rupi. “Berhati-hatilah di belakangku selama aku tidak di
rumah. Jika Engkau melahirkan anak perempuan, namai ia Puteri
Cindra Dewi, tetapi jika laki-laki beri nama Hammadeq Maulana!”
Kelima, I Daramatasia tidak keberatan dengan semua tugas yang
dibebankan kepadanya, sementara Séheq Bilema’rupi menguncinya
dengan menggunakan dalil-dalil agama.
I Daramatasia menjawab, “Wahai Junjunganku, apa saja yang
Anda perintahkan akan aku turuti semuanya”. Ditimpali oleh
Séheq Bilema’rupi, “Wahai Adikku, Pemanis Bibirku,
Penyenang Rasaku, Cahaya Mataku, Penenteram Pikirku,
Pohon yang tumbuh subur dalam rahasiaku, Nabi kita,
179
Muhammaq saw. pernah bersabda, bahwa “istri itu memang
berada dalam perintah suaminya. Begitulah seharusnya perilaku
istri, Dik, agar memperoleh kasih sayang dari Allah Taala. di
dunia hingga akhirat”.

Mattulada mengatakan bahwa seorang lelaki Bugis yang sudah


menikah disebut makkalépuni (sudah utuh sebagai manusia laki-laki)
dan ia sudah mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga
masyarakat dengan tanggung jawab penuh. Ia disebut nalaoang ni
aléna (sudah tegak di atas kakinya sendiri, sudah mandiri). 31 Ia sudah
menjadi kepala keluarga, ia wajib menyediakan segala sesuatunya
untuk kelangsungan kehidupan rumah tangganya. Sementara di sisi
lain, istri berkewajiban memelihara segala sesuatu yang disediakan
oleh suaminya di dalam rumah tangganya.
Jawaban ibu I Daramatasia ketika Séheq Bilema’rupi pamit
untuk membawa I Daramatasia pulang ke rumahnya merupakan
penegasan atas niat Séheq Akebare’ ketika menerima lamaran Séheq
Bilema’rupi bahwa ia akan menyedekahkan anak perempuannya
kepada seorang ulama besar. Ini juga dapat diartikan sebagai
penyerahan tanggung jawab dan pelepasan dosa orang tua karena
memiliki anak perempuan kepada suaminya. Dengan demikian,
peristiwa pamitan ini dapat dimaknai sebagi serah terima beban dosa
dari orang tua I Daramatasia kepada suaminya.
Menarik untuk dicermati bahwa setelah Séheq Bilema’rupi
menyerahkan semua harta dan rumahnya di bawah penguasaan
istrinya, I Daramatasia, ia juga menerapkan aturan mutlak kepada
istrinya. Bagi Séheq Bilema’rupi, istri mempunyai tugas sebagai
pelayan kepada suaminya, bahkan melebihi tugas-tugas istri dalam
rumah tangga Islam yang dikenal pada umumnya. Tidak lazim seorang
istri membasuh kaki suaminya setiap kali akan naik/masuk rumah,
tidak lazim juga seorang istri melap kaki suaminya dengan rambutnya
lalu sujud dan memohon ampun kepada suaminya, tidak lazim pula
istri melayani suaminya makan sementara si istri sendiri tidak boleh

31
Mattulada, Latoa, 53.
180
ikut makan, dan tidak boleh beranjak dari tempat duduknya sebelum
mendapat izin dari suaminya.
Ketidaklaziman ini merupakan pengabdian yang berlebih-
lebihan. Oleh karenanya, kelima ceriteme yang dialami I Daramatasia
pada episode ini mempertegas superioritas Séheq Bilema’rupi atas I
Daramatasia, superioritas suami terhadap istri dengan dalil agama.
Jadi, oposisi biner yang dapat digambarkan pada episode ini adalah
seperti berikut.

Karena hipogram cerita ini tidak murni dari budaya Bugis,


analisisnya adalah bahwa yang dialami oleh I Daramatasia pada
episode ini merupakan transformasi budaya yang tidak mengakar pada
budaya Bugis. Chanafiah32 yang meneliti versi Melayu cerita ini
menjelaskan bahwa pengabdian perempuan yang berlebihan seperti
ini bersumber dari ajaran agama Hindu. Dalam agama Hindu, istri
wajib mendarmabaktikan hidup dan dirinya sedemikian rupa kepada
suami sambil melupakan hak-hak dirinya sendiri. Bakti kesetiaan istri
kepada suami seperti konsep di atas dapat dijumpai dalam masyarakat
Hindu-Bali yang dikenal dengan istilah pati brata.33
Yang menjadi pertanyaan, mengapa orang Bugis menyukai
model pengabdian seperti yang dilakukan oleh I Daramatasia kepada
suaminya? Jawabannya yang mungkin adalah itu hanya angan-angan
orang Bugis terhadap istri yang ideal. Namun, akan terbukti juga
bahwa orang Bugis tidak sepenuhnya setuju dengan perilaku seperti

32
Chanafiah, “Hikayat Darma Tahsiyah.”
33
Budiasa. Konsep Budaya Bali; lihat juga AA Seri Kusniarti, “Pati Brata,
Ajaran Kesetiaan Istri pada Suami dalam Kepercayaan Hindu di Bali,” Tribun-
Bali.com, 29 September 2021, diakses 15 Oktober 2021,
https://bali.tribunnews.com/2021/09/29/pati-brata-ajaran-kesetiaan-istri-
pada-suami-dalam-kepercayaan-hindu-di-bali.
181
itu. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh I Daramatasia hanya
paradoks untuk mencari perhatian para pembaca/pendengar cerita.

Episode IX: Melahirkan


Inti cerita episode ini adalah I Daramatasia melahirkan anak
perempuan dan diberi nama Puteri Cindra Dewi, sesuai pesan Séheq
Bilema’rupi. Séheq Bilema’rupi sendiri mengetahui kelahiran
anaknya itu lewat ilham dari Allah. Ia pun bergegas pulang dan
disambut oleh I Daramatasia sebagaimana penyambutan biasanya
dengan memosisikan dirinya sebagai “pelayan suami” yang taat:
mencucikan kakinya, melap kaki suaminya dengan rambutnya, lalu
sujud dan memohon ampun atas dosa-dosanya. Dijawab oleh Séheq
Bilema’rupi bahwa I Daramatasia tidak mempunyai dosa kepadanya
karena telah melakukan standar sebagai seorang istri seperti yang
dicontohkan oleh Fatimah, istri Ali bin Abi Thalib ra.
Kemudian I Daramatasia melanjutkan kewajiban servisnya. Ia
menghidangkan nasi kepada Séheq Bilema’rupi. Selesai makan, I
Daramatasia menyerahkan anaknya kepada Séheq Bilema’rupi untuk
dipangku. Séheq Bilema’rupi lalu menyeru semangat, kur semangat,
kepada anaknya. Kemudian ia memberikan nasihat kepada I
Daramatasia, khas cara Bugis.
“Wahai Adikku, I Daramatasia, kita sudah dikaruniai anak hasil
hubungan kita di dunia. Oleh karena itu, dengarlah pesanku.
Pertama, rukunlah dengan tetangga dan sanak famili (to
massiddi-siddina massupung lolo mabbali bola). Kedua,
jangan suka memperhatikan keburukan orang lain (ajaq mu
ajjennangeng eloq to majjennang). Ketiga, gemarilah saling
tolong-menolong dengan tetangga dan sanak famili (tositulung-
tulung massupung lolo mabbali bola). Keempat, jangan
sembarangan mengambil sesuatu (ajaq mukajeppaq-jeppaq).
Kelima, jangan mencuri (ajaq mukalima-lima). Keenam,
pelihara kehormatan dirimu, kehormatan orang tuamu, dan
kehormatanku (anennengiwi siriqmu, anrengngé
tomatoammu, iyyaq topa paimeng). Ketujuh, jangan berburuk
sangka (ajaq muappétua pallawwangeng). Kedelapan, jangan
memegang sesuatu milik orang lain (ajaq murua-ruai
appunnanna tau é). Kesembilan, jangan bercerai-berai antara
182
sanak famili dan suami istri (ajaq muassara-sarang maranaq
mallaibiné. Kesepuluh, berkumpullah dengan sanak famili.
Karena kamu sudah dijadikan oleh Allah Swt., agar kamu
selamat, lakukan segala perintah-Nya dan jauhi segala larangan-
Nya (sipulung-pulung ko massumpung lolo pura ncajiko na
maraja é engka pa tubu mménréq mu salamaq motto lino
mulettuq na ri bola tudangemmu, aga mupugauq
pakkasiwiyang muniniri pappésangkanna lao ri Allah Swt.”

Nasihat yang khas Bugis adalah yang keenam (anennengiwi


siriqmu, anrengngé tomatoammu, iyyaq topa paimeng: pelihara
kehormatan dirimu, kehormatan orang tuamu, dan kehormatanku). Inti
dari nasihat ini adalah siriq. Siriq sebagaimana sudah diterangkan di
atas adalah inti dari budaya manusia Bugis.
Perlu juga dicatat sikap kasih sayang Séheq Bilema’rupi
terhadap anaknya yang juga memperlihatkan khas budaya Bugis,
yakni mappakuruq sumangeq.
“... na iyya Séheq Bilema’rupi na riwani ana’na naémmau
pallawangeng matanna, napakuruq sumangeqi nabbéré ada
makkeda, Wé... ana’ terru’na, jé’, sumangeqmu mu énré’
mallongi-longi pakéang longi-longiang”. (Séheq Bilema’rupi
meraih anaknya, memangkunya lalu menciumi antara ke dua
matanya, kemudian memberinya, “kuruq sumangeq sambil
berujar, “Wahai Anak Pemberani, terbangkan semangat dan
jiwamu setinggi-tingginya.”).

Tidak ada terjemahan yang pas untuk frasa kuruq sumangeq


(seru semangat) karena di dalamnya terkandung makna budaya yang
hanya bisa dipahami secara sempurna oleh orang Bugis. Secara
sederhana, frasa kuruq sumangeq adalah ungkapan kasih sayang dan
simpati yang mendalam dari seseorang yang lebih tua kepada yang
lebih muda atau yang dianggap anak, tetapi tidak selalu juga yang
diberi simpati dan empati itu harus lebih muda. Secara harfiah, frasa
kuruq sumangeq itu bermakna “seru semangat”.34

34
Dalam konteks tertentu, frasa kuruq sumangeq dapat dipadankan
dengan ucapan terima kasih. Lihat Pepi Al-Bayqunie, Calabai: Perempuan
dalam Tubuh Lelaki (Tanggerang: Javanica, 2016), 335; lihat juga La Oddang
183
Dalam episode ini terlihat superioritas Séheq Bilema’rupi atas I
Daramatasia secara sempurna. Tidak terlihat lagi kesan kehebatan dan
kecerdasannya dalam mempertahankan haknya sebagai perempuan
cerdas. Situasi ini adalah gambaran rumah tangga yang diidealkan
oleh orang Bugis tentang kehidupan rumah tangga. Laksana sebuah
pertandingan, episode ini sepenuhnya milik Séheq Bilema’rupi.

Lokalitas budaya yang diperlihatkan dalam oposisi ini


sebenarnya tidak cukup kuat karena Séheq Bilema’rupi masih
menyandarkan pembenaran perilakunya pada ajaran Islam yang
dipengaruhi oleh mitos tokoh perempuan yang diidealkan, yakni
Patimang, sebagaimana sudah diterangkan di atas. Dengan demikian,
ceriteme-ceriteme pada episode ini memperlihatkan sikap mendua
orang Bugis terhadap rumah tangga yang ideal: apakah akan
berpedoman pada budaya lokal ansih atau yang sudah dipengaruhi
oleh Islam.

Episode X: Terusir
Pada suatu malam, ketika I Daramatasia sedang memangku
anaknya sambil melayani Séheq Bilema’rupi santap malam, tiba-tiba
cahaya pelitanya meredup karena hampir habis sumbunya. I
Daramatasia menjadi bimbang antara dua pilihan dalam
menyelamatkan kenyamanan santap malam suaminya. Jika ia berdiri
ke dapur untuk mengambil sumbu pelita yang baru, ia khawatir
anaknya yang sedang di pangkuannya akan rewel dan menangis. Jika
ini terjadi, kenyamanan suaminya terganggu. Namun, jika ia tetap

Tosessungriu, “Kurru Sumangeq,” Palontaraq: Bertindak Lokal Berpikir


Global, 4 November 2019, diakses 4 Desember 2020,
https://palontaraq.id/2019/11/04/kurru-sumange/.
184
duduk tidak beranjak, pelitanya pasti padam dan hal ini juga akan
mengganggu kenyamanan santap malam suaminya. Tiba-tiba timbul
pikiran cerdas pada pilihan ketiga. Ia meraih pisau kecilnya dan
memotong 7 lembar rambutnya lalu menyambungkannya ke sumbu
pelita yang hampir padam itu. Situasi terselamatkan dan Séheq
Bilema’rupi dapat bersantap dengan nyaman tanpa gangguan hingga
selesai.
Setelah kenyang, Séheq Bilema’rupi duduk bersandar di dinding
rumahnya sambil bertanya kepada I Daramatasia, “Kamu apakan
pelita itu tadi sehingga terang kembali cahayanya?” Dengan memohon
ampun, I Daramatasia menjawab sejujurnya. Mengagetkan, karena
bukan terima kasih yang diperolehnya, melainkan kemarahan yang
luar biasa dari Séheq Bilema’rupi. Bagi Séheq Bilema’rupi, istri
adalah milik mutlak suami. Tidak sehelai rambut pun yang boleh
dilepaskan dari tubuh istri tanpa seizin dan sepengetahuan suami.
“Pergi mandi dan pergi bertandang ke rumah orang tuamu saja,
wajib meminta izin suami, apatah lagi memotong rambutmu sendiri.”
Merasa dilecehkan haknya oleh istrinya, Séheq Bilema’rupi
bangkit mengambil sebilah rotan lalu memukul I Daramatasia sampai
pingsan. Sia-sia I Daramatasia memberi alasan dan memohon ampun.
Tidak cukup kekerasan fisik, Séheq Bilema’rupi juga menerornya
dengan mengusirnya. Seorang anak yang sudah lahir dari pernikahan
mereka tidak membuat hati Séheq Bilema’rupi luluh. Pun, nasihat-
nasihat bijaknya kepada I Daramatasia selama ini tidak berbekas sama
sekali. Séheq Bilema’rupi tidak lagi menampakkan wajah sufi
pengamal tarekat yang senantiasa berkhalwat, melainkan telah
berubah menjadi monster yang mengerikan bagi I Daramatasia.
Akhirnya, dengan menahan luka tubuh dan luka hati, I
Daramatasia meninggalkan rumah Séheq Bilema’rupi di malam buta
itu menuju rumah orang tuanya. Namun, apa hendak dikata, ibunya
bukanlah sekutu yang sepaham dengannya dalam memandang
peristiwa kekerasan dalam rumah tangganya itu. Ibunya tidak sudi
menerima I Daramatasia, bahkan tidak memberinya sebutir nasi,
seteguk air, sebiji garam sekali pun. Membantu dan menaruh belas
185
kepada I Daramatasia pada malam itu bagi ibunya adalah perbuatan
dosa karena sama saja bersekutu dengan istri durhaka kepada suami.
Inilah puncak penderitaan batin dan fisik I Daramatasia. Merasa
tidak punya pilihan lagi di kampungnya, I Daramatasia membuang
dirinya ke rimba raya tidak bertepi. Jadi, oposisi yang dapat dilihat
pada episode ini adalah sebagai berikut.

Struktur oposisi di atas dapat diperpanjang dengan memosisikan


I Daramatasia dengan ibunya yang tidak sudi menerimanya ketika ia
datang mengadu. Akan tetapi, hal itu tidak penting lagi karena yang
perlu dilihat adalah makna dari keterusiran itu.
Karena Séheq Bilema’rupi adalah tokoh sufi yang menguasai
ajaran agama dengan nasihat-nasihatnya kepada I Daramatasia,
sepertinya mustahil ia memperlakukan I Daramatasia dengan semena-
mena tanpa memberinya kesempatan membela diri. Pemukulan dan
pengusiran yang dilakukan Séheq Bilema’rupi tidak setimpal dengan
kesalahan yang dilakukan oleh I Daramatasia. Apa lagi pemotongan
rambut itu untuk kepentingan Séheq Bilema’rupi juga. Di sini terlihat
bahwa istri bagi orang Bugis mutlak dikuasai oleh suami tanpa pamrih,
yang sebenarnya diambil dari dalil-dalil agama sebagaimana
diucapkan oleh Séheq Bilema’rupi,
“Wahai Adikku, Pemanis Bibirku, Penyenang Rasaku, Cahaya
Mataku, Penententram Pikirku, Pohon yang tumbuh subur
dalam rahasiaku, Nabi kita, Muhammaq saw. pernah bersabda
bahwa “istri itu memang berada dalam perintah suaminya.
Begitulah seharusnya perilaku istri, Dik, agar memperoleh kasih
sayang dari Allah Taala. di dunia hingga akhirat”

Penggunaan dalil-dalil agama sebagai pembenar Séheq


Bilema’rupi dalam teks ini memang menarik digarisbawahi karena
perilaku kasar seperti ini tidak dapat dirujuk dalam tradisi orang Bugis.
186
Oleh karena itu, penafsiran yang dapat diberikan adalah adanya
pertarungan di dalam pikiran orang Bugis tentang nilai-nilai mana
yang lebih baik antara pengaruh luar (Islam) dan tradisi lokal
(pangadêrêng) yang sudah mengakar. Oposisi-oposisi ini mewarnai
seluruh episode dengan silih berganti menunjukkan keunggulannya
masing-masing.

Episode XI: Ditolong Jiberilu


Episode ini berkisah tentang pertolongan Allah Taala melalui
Malékaq Jiberilu kepada I Daramatasia. Pertolongan itu berupa
keluarnya air dari batu tempat I Daramatasia beristirahat setelah ia
menggoreskan pisaunya. Ia butuh air untuk berwudu karena ia akan
melaksanakan salat subuh lalu muncullah Jiberilu di hadapannya yang
siap sedia membantunya. Jiberilu, setelah mengetahui persoalan yang
dialami oleh I Daramatasia, naik ke langit ketujuh menemui Allah
Taala bermaksud meminta izin untuk mengambilkan makanan,
pakaian, dan wewangian terbaik untuk I Daramatasia. Allah Taala
bersetuju dengan usulan Jiberilu dan memerintahkannya untuk
menemui Malékaq Ridewang si penjaga surga karena keperluannya itu
semua ada di surga.
Perlu dicatat bahwa ada perbedaan cerita antara versi pelisanan
La Daming dan versi Bone. I Daramatasia pada versi pelisanan La
Daming memohon kepada Allah Taala agar diberikan air dan pakaian
layak untuk keperluan salat, sementara pada versi Bone, ia cukup
dengan menggoreskan pisau kecilnya di atas batu yang dijadikannya
tempat istirahat lalu memancarlah air dari goresan batu itu. Perbedaan
mencolok ini penting untuk dianalisis karena menyangkut pemikiran
orang Bugis di balik kisah ini, yakni apakah mereka senang pada
kemandirian dalam menyelesaikan persoalan ketika keadaan genting
atau mereka tetap bergantung pada kekuatan supranatural. Untuk lebih
jelasnya dapat dioposisikan sebagai berikut.
187

Di dalam budaya Bugis, pisau kecil atau disebut juga cobok-


cobok adalah senjata yang selalu dibawa oleh perempuan, sementara
para lelaki membawa kawali atau badik.35 Senjata ini dijadikan teman
seperjalanan yang dapat dipercaya. Hal inilah yang dilakukan oleh I
Daramatasia versi Bone. Dengan pisaunya, ia memperoleh air setelah
menggoreskannya di atas batu. Artinya, versi Bone mengatakan
bahwa dengan kemandirian budaya lokal, suatu masalah bisa diatasi.
Makna ini baru bisa diperoleh penjelasannya setelah menyandingkan
kedua versi. Analisis ini mengatakan bahwa dalam menyelesaikan
persolan, orang Bugis kadang-kadang bersikap mendua. Suatu waktu
ia mandiri dengan penyelesaian budayanya, sementara di saat lain ia
malah meminta pertolongan kepada kekuatan supranatural.

Episode XII: Tapak Tilas


Setelah mendapat pertolongan dari Allah Taala, I Daramatasia
diminta oleh Jiberilu untuk pulang ke rumah Séheq Bilema’rupi.
Waktu memintanya pulang, Jiberilu mengiringi dengan ucapan, “...
aga ngngaréq to tu maéloq na ita!” (entah apa yang akan dilihatnya
kelak). Dalam kalimat prediktif ini terkandung nada ancaman halus
yang ditujukan kepada Séheq Bilema’rupi. Di sini terlihat bahwa I
Daramatasia tidak sendiri lagi dalam menanggung deritanya. Dia
sudah punya sekutu yang mem-back up dan memberinya pertolongan.
Dua tokoh yang membantunya tidak tanggung-tanggung, yakni Allah
Taala dan Jiberilu.
Lalu, pulanglah I Daramatasia menyusuri tapak tilasnya untuk
memulihkan siriq (harga dirinya). Pertama, ia mampir ke rumah orang
tuanya. Meski tidak bersedia naik dengan alasan buru-buru karena

35
Ruwaidah, “Makna Badik bagi Masyarakat Suku Bugis (Studi di
Kelurahan Pulau Kijang, Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir,” JOM
FISIP 5, no. 1 (April 2018): 1-14.
188
ingin ke rumah Séheq Bilema’rupi, I Daramatasia telah berhasil
membuat ibunya menyesal atas tindakannya menuduh I Daramatasia
sebagai istri durhaka kepada suaminya dan membiarkannya
membuang diri ke rimba raya. I Daramatasia sudah malih rupa
menjadi amat cantik—berkat pertolongan Allah Taala melalui
Jiberilu—dan berpura-pura menjadi utusan I Daramatasia untuk
menyampaikan salam I Daramatasia kepada Séheq Bilema’rupi.
I Daramatasia melanjutkan penyamaran dan perjalanannya ke
rumah Séheq Bilema’rupi. Setibanya di rumah Séheq Bilema’rupi,
suaminya sudah tidak mengenalinya, tetapi amat terpesona terhadap
kecantikannya dan selalu salah tingkah di hadapan istrinya itu. Teori-
teori dan doktrin keagamaan yang selalu dinasihatkannya kepada I
Daramatasia selama ini rontok di hadapan kecantikan I Daramatasia.
Bahkan pantangan bagi seorang perempuan/istri makan bersama
suaminya dimansukh sendiri oleh Séheq Bilema’rupi ketika ia
mengajak tamunya makan bersama dengannya yang tidak lain adalah
istrinya.
Namun, yang paling penting digarisbawahi pada episode ini
adalah dialog yang terjadi antara I Daramatasia yang sedang
menyamar dan Séheq Bilema’rupi. I Daramatasia mempertanyakan
alasan Séheq Bilema’rupi mengusir istrinya yang langsung menusuk
ke inti persoalan. “Aga sabaq na tasuro i meddéq bainé ta?” (“Apa
sebabnya Anda mengusir istri Anda?”). Ketika Séheq Bilema’rupi
terpaksa berterus terang, I Daramatasia menguncinya dengan ucapan
pamungkas, “Sabaq gauq patuju mua paléq. Métauq i apaq naisseng
adorakang ngé ri Allahu Ta’ala tau mpélaéng ngi manré lakkainna”
(“Rupanya, perbuatan benar yang dilakukannya karena ia paham
tentang dosa kepada Allah Taala bagi istri yang meninggalkan
suaminya yang sedang makan”). Akan lebih jelas makna tapak tilas I
Daramatasia ini dengan struktur oposisi sebagai berikut.
189
Dengan struktur di atas, jelas terlihat bahwa oposisi-oposisi
yang terbangun menunjukkan adanya pertarungan nilai dalam
pemikiran orang Bugis, yakni antara nilai lokal dan nilai yang datang
dari luar. Episode ini merupakan titik balik perjalanan hidup I
Daramatasia yang dapat diartikan sebagai titik pangkal bagi
pengunggulan nilai lokal dengan berbagai perlawanannya kelak.
Keberpihakan Jiberilu yang direstui oleh Allah Taala dapat
dimaknai sebagai keberpihakan karena emosional yang melibatkan
perasaan pessé. Pessé (rasa perih) bagi orang Bugis adalah sebuah
nilai yang mendorong rasa solidaritas dan empati yang tinggi terhadap
penderitaan seseorang yang ditimpa kemalangan dan penderitaan.
Pessé (yang juga bermakna tanaman jahe) berfungsi sebagai perekat
pemersatu solidaritas dan kebersamaan serta pemuliaan humanitas
yang dalam bahasa Bugis disebut sipakatau (saling memanusiakan).36
Inilah yang dilakukan oleh Jiberilu sewaktu menolong I Daramatasia
dan yang ditolong adalah orang Bugis dengan perasaan kebugisan
yang kental.

Episode XIII: Serangan Balik


Setelah menyampaikan salam I Daramatasia kepada Séheq
Bilema’rupi, I Daramatasia—yang sedang dalam penyamaran—pamit
pulang karena khawatir terhadap anaknya. Akan tetapi, Séheq
Bilema’rupi tidak membenarkannya karena ia ingin menjamunya.
Menurutnya, tidak seorang pun tamu yang datang ke rumahnya boleh
pulang sebelum disuguhi makan. Sebenarnya, ini hanya dalih atas
maksud lain yang tersembunyi, yakni ia ingin lebih lama menikmati
kecantikan wajah utusan “I Daramatasia” sekaligus ingin menelusuri
jati diri perempuan muda tamunya itu.
Séheq Bilema’rupi beranjak menuju dapur untuk
mempersiapkan segala sesuatunya: menghidupkan api dapur, menakar
beras, membelah kayu bakar, mengambil air di sumur, dan lain-lain,
sementara I Daramatasia diperlakukan sebagai tamu terhormat. Alih-
alih menyelesaikan segala pekerjaannya, Séheq Bilema’rupi tidak bisa

36
Subhan Bakri, “Sipakatau dalam Masyarakat Bugis Bone Perspektif Al-
Qur’an,” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 5, no. 2 (2020): 254-271.
190
konsentrasi pada pekerjaannya karena sekali tangannya bekerja, tiga
kali matanya menoleh ke arah I Daramatasia. Ia sangat penasaran
kepada tamunya itu karena banyak kemiripannya dengan I
Daramatasia. Perbedaannya, tamunya itu lebih cantik dan lebih muda.
Karena I Daramatasia yang sedang menyamar itu merasa iba
kepada Séheq Bilema’rupi yang senantiasa salah tingkah, ia
mengambil alih seluruh pekerjaan dapur itu dan mempersilahkan
Séheq Bilema’rupi untuk duduk manis. Tak kuasa menahan kantuk,
Séheq Bilema’rupi tertidur sambil bersandar di dinding rumahnya. I
Daramatasia kembali berfungsi sebagai ibu rumah tangga seperti
semula. Setelah semua pekerjaan dapur selesai dan nasi telah
terhidang, ia membangunkan Séheq Bilema’rupi untuk makan.
Situasi menjadi terbalik karena yang semula Séheq Bilema’rupi
yang ingin melayani tamunya, kini dialah yang dilayani oleh tamunya.
Dengan tergagap, Séheq Bilema’rupi mengajak sekalian tamunya
untuk makan bersama. Di sinilah I Daramatasia melanjutkan
“serangan baliknya” kepada Séheq Bilema’rupi. Ia menolak ajakan
untuk makan bersama itu dengan mengatakan bahwa menurut ajaran
suaminya, istri/perempuan tidak boleh ikut makan bersama
lelaki/suami karena ia harus siap sedia menjadi pelayan santapnya.
Séheq Bilema’rupi terdiam mendengar jawaban tamunya itu dan mulai
makan sendirian. Namun, belum selesai makannya, ia berhenti dan
menangis karena sejak I Daramatasia meninggalkan rumahnya, baru
kali ini ia merasakan enaknya makan seenak masakan istrinya yang
telah diusirnya itu. Séheq Bilema’rupi tidak dapat menahan rasa
penasarannya dan meminta tamunya itu berterus terang tentang
identitasnya. Akhirnya, perempuan muda nan cantik itu membuka
rahasianya yang ternyata tidak lain adalah I Daramatasia sendiri.
Reaksi Séheq Bilema’rupi luar biasa. Ia kemudian rela meminum air
bekas cuci kaki I Daramatasia sebagai tanda penyesalan dan
permintaan maafannya. Penyesalan dan permintaan maaf seperti ini
adalah perilaku yang khas dalam budaya Bugis.
Rasa penasaran Séheq Bilema’rupi pada episode ini sebenarnya
memperlihatkan inversi dari episode sebelumnya, yakni adanya
perasaan solidaritas yang didasari oleh nilai pessé dalam tokoh utama
191
yang mengalami kekerasan fisik dan psikis pada episode-episode
sebelumnya. Jadi, tindakan Séheq Bilema’rupi meminum air bekas
cuci kaki I Daramatasia dianggap sebagai hal yang wajar di dalam
budaya Bugis yang menandakan pertobatan yang sungguh-sungguh.
Hal ini juga dapat dimaknai sebagai mengunggulkan budaya lokal
Bugis daripada budaya luar sebagaimana dapat dilihat pada oposisi
berikut.

Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam konteks relasi gender,


pertarungan nilai keduanya secara perlahan mulai memperlihatkan
keunggulan nilai-nilai lokal yang diwakili oleh I Daramatasia yang
perempuan atas Séheq Bilema’rupi yang laki-laki, yang mewakili
nilai-nilai agama yang berasal dari luar budaya Bugis.

Episode XIV: Menjanda


Baru saja sehari semalam kepulangan I Daramatasia dari
pengusirannya, Séheq Bilema’rupi jatuh sakit dan wafat tiga hari
kemudian. Jenazahnya diurus oleh orang kampung sampai ke
pemakaman. Sesuai dengan keyakinan dan kebiasaan orang Bugis,
jika ada orang meninggal, sebaiknya ada yang membacakan Al-
Qur’an untuk bekal si mayit di alam kubur. Itulah yang dilakukan oleh
I Daramatasia. Namun, reaksi alam ketika mendengar suara I
Daramatasia sungguh luar biasa. Ini mengulang peristiwa ketika I
Daramatasia membaca Al-Qur’an waktu diminta oleh bapaknya,
Séheq Akebare’, setelah menyelesaikan pengajiannya di rumah Imang
Sapi’i. Semua orang yang melayat memuji suara I Daramatasia. Tidak
hanya itu, jenazah Séheq Bilema’rupi dan semua jenazah yang berada
di kubur merasa tenang ketika mendengar suara I Daramatasia.
Peristiwa membaca Al-Qur’an ini merupakan pemunculan
pertama I Daramatasia di depan publik setelah mengalami masa-masa
pingitan yang panjang penuh pengabdian di bawah penguasaan suami
192
sampai dengan masa-masa pengusiran ke dalam rimba raya. Keadaan
ini akan terlihat jelas pada skema oposisi berikut.

Ceriteme yang terjadi pada I Daramatasia pada episode ini


sebenarnya merupakan pengulangan episode II, tetapi bobotnya lebih
karena pemaknaannya berbeda. Kejadian pada episode ini bisa
ditafsirkan sebagai awal mula pemunculan nilai-nilai lokal yang
melekat pada diri I Daramatasia setelah bergumul dengan nilai-nilai
agama yang melekat pada diri Séheq Bilema’rupi. Bila pada episode-
episode sebelumnya kedua nilai ini saling memperebutkan hegemoni
dalam pemikiran orang Bugis dan kelihatan nilai-nilai agama yang
unggul, pada episode ini, posisi ini mulai bergeser. Kekaguman para
pelayat di hari kematian Séheq Bilema’rupi dapat pula dimaknai
sebagai empati orang Bugis terhadap seorang yang teraniaya yang
dilandasi oleh nilai pessé. Posisi inilah yang terlihat pada episode-
episode berikutnya.

Episode: XV: Dilamar oleh Tujuh Bersaudara


Setelah Séheq Bilema’rupi wafat, banyak sekali lelaki melamar
I Daramatasia untuk menggantikan jodoh Séheq Bilema’rupi. Ada
raja, ada anak raja, ada panrita, ada orang kaya. Tidak pakai waktu
lama, tidak pakai menunggu idah, bahkan baru lepas tiga hari, mereka
sudah saling berlomba datang ke rumah I Daramatasia.
Rombongan pertama yang datang melamar adalah lelaki tujuh
bersaudara. Mereka adalah panrita dan meminta kepada I Daramatasia
agar memilih salah seorang di antara mereka. I Daramatasia merasa
tidak keberatan dengan gaya lamaran seperti itu, bahkan ia berjanji
untuk menggratiskan maharnya jika ada di antara mereka dapat
menjawab persoalan yang akan ditanyakan. I Daramatasia memilih
193
menantang mereka dengan beradu kepintaran yang biasa disebut
pannawa-nawang atau teka-teki atau pengasah otak.
Pannawa-nawang termasuk jenis folklor37 yang amat populer di
kalangan orang Bugis. Di dalam pannawa-nawang terkandung sebuah
masalah yang harus dipecahkan secara logis.38 Sering kali sebuah
pannawa-nawang dijadikan senjata terakhir bagi seorang perempuan
yang terdesak untuk menentukan suatu keputusan yang berat—
biasanya penyangkut perjodohan—dengan taruhan mahar.39 Salah
satu contoh pannawa-nawang yang populer di kalangan orang Bugis
adalah sebagai berikut.
Pada sebuah sungai yang luas, ada sebuah gusung pasir
(gundukan pasir di laut yang tidak tenggelam meskipun air
pasang naik—pen.) yang di atasnya tumbuh sebatang pohon
lontar yang sangat besar dan banyak buahnya. Akan tetapi, pada

37
Konsep “…folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemoric
device)”… Lihat Jemes Dananjaja, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,
dan Lain-Lain (Jakarta: Grafitipress, 1984), 2.
38
M. Johan Nyompa dkk., Inventarisasi Bentuk Folklore Lisan Orang
Bugis di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin, 1980), 149.
39
Mahar atau mas kawin dalam bahasa Bugis disebut sompa. Mengapa
sompa selalu dipertaruhkan? Karena sompa di kalangan masyarakat Bugis sangat
mahal. Tahun 2004 saja, sompa di Sulawesi Selatan sudah berkisar Rp
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Informasi ini penulis peroleh dari Ahyar
Anwar, dosen dan peneliti pada Fakultas bahasa dan Seni Universitas Negeri
Makassar pada Seminar International Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ilmu
Budaya dalam Rangka Menyambut Purna Bakti Guru Besar Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, 3-4 Desember 2004. Belum lagi uang
panai-nya, yakni pemberian wajib calon mempelai pria kepada keluarga
mempelai wanita di luar sompa. Untuk melihat betapa rumit dan merepotkannya
uang panai ini, dapat disaksikan pada film Uang Panai’ karya Amril Nuryan
dan Halim Gani Safia, produksi Makkita Sinema Production 25 Agustus 2016,
https://www.youtube.com/watch?v=VXlA-95sfXo, diakses 16 Oktober 2021.
Kondisi ini tentu memberatkan bagi pemuda-pemuda yang kurang mampu secara
ekonomi. Untuk mengatasi kerumitan ini, adat menyediakan institusi perkawinan
darurat yang disebut “silariang” atau “kawin lari”. Oleh karenanya, di dalam
sastra Bugis, sering kali dijumpai seorang tokoh perempuan mempertaruhkan
sompa-nya dalam menghadapi masalah-masalah pelik.
194
suatu waktu, pohon lontar itu rebah ke daratan sehingga banyak
daunnya yang rapat ke tanah, tetapi buahnya tidak ada yang
rapat. Kebetulan ada seorang gadis cantik menyatakan
keinginannya, katanya, “Barang siapa yang bisa mengambilkan
aku buah lontar itu, sesungguhnya aku menghalalkan diriku
dikawini tanpa mahar (mas kawin).” Sebab ia mengatakan oleh
karena di bawah pohon lontar penuh dihuni dan berjejeran
buaya yang sedang menantikan manusia yang hendak memetik
buah lontar tersebut. Pikirkanlah pertanyaan ini:
- Bagaimana cara orang mengambil buah lontar itu sehingga
tidak dimakan oleh buaya itu?
- Bagaimana cara orang yang naik dapat turun kembali
sehingga ia tak dimakan buaya itu?.40

Pannawa-nawang yang dipilih oleh I Daramatasia dalam


menantang para pelamarnya adalah pannawa-nawang tentang berahi
yang diturunkan Allah ke muka bumi dan distribusinya kepada laki-
laki dan perempuan. Pannawa-nawang ini tidak dapat diselesaikan
oleh ketujuh panrita itu. I Daramatasia langsung menusuk siriq
mereka. Pengakuan mereka sebagai panrita sama sekali tidak terbukti
di hadapan I Daramatasia. Lebih jelas terlihat pada oposisi berikut.

Siapakah sebenarnya ketujuh lelaki yang mengaku panrita itu?


Tidak penting dijawab karena teks ini sendiri tidak menyebutkan
identitasnya. Yang jelas, mereka adalah lelaki, simbol maskulinitas,
yakni dari kaumnya Séheq Bilema’rupi yang telah menganiaya I
Daramatasia. Namun, di sisi lain, ceriteme ini pun bisa dimaknai
sebagai pemahlawanan nilai lokal terhadap nilai non-lokal yang coba
mempengaruhi budaya Bugis.

40
Nyompa dkk., Inventarisasi Bentuk Folklore, 149.
195
Episode XVI: Dilamar oleh Tiga Bersaudara
Setelah kegagalan tujuh lelaki panrita tersebut, datang lagi
lelaki tiga bersaudara mencoba peruntungannya melamar I
Daramatasia. Mereka adalah Hasang, Huséng, dan Hammadeq
Patuju. I Daramatasia kembali menantang pelamarnya dengan
pannawa-nawang yang sama yang diberikan kepada panrita tujuh
bersaudara itu dan jawabannya yang diberikan juga sama. Sekali lagi,
I Daramatasia melancarkan serangannya dengan merontokkan siriq
mereka.
Mendapat serangan seperti itu, Hasang dan Huséng balik kanan
dan pulang tanpa menoleh lagi ke belakang. Namun, ini tidak
dilakukan Hammadeq Daeng Patuju. Ia bertahan dan menantang I
Daramatasia dengan memberikan jawaban tambahan. Menurutnya,
persoalan berahi dan distribusinya kepada laki-laki dan perempuan
bermula dari peristiwa Nabi Adam dan Hawa ketika memakan buah
khuldi larangan di surga lalu ditegur oleh Allah Swt. Adam memakan
buah tersebut tidak banyak dan baru sampai di tenggorokan sudah
mendapat teguran sehingga buah tersebut menjadi jakun yang tampak
menonjol di leher setiap laki-laki keturunan Adam. Jadi, nafsu laki-
laki porsinya sedikit karena buah larangan yang dimakan Adam
memang sedikit. Hawa memakan buah tersebut lebih banyak dan
sudah sampai di dada lalu mendapat teguran Allah Swt. maka buah
tersebut tersangkut di dadanya dan menonjol menjadi payudara pada
setiap perempuan anak keturunan Adam dan Hawa. Karena yang
dimakan oleh Hawa porsinya lebih banyak, nafsu berahinya juga
menjadi lebih banyak.
Lalu mengapa laki-laki yang datang melamar perempuan, meski
berahinya lebih sedikit? Itu tidak lain karena laki-laki kurang mampu
menahan berahinya. Ia ibarat cairan yang disimpan di dalam tabung
bambu, sementara bambunya bocor pada kedua ujungnya. Jadi,
memang sudah takdirnya laki-laki tidak bisa menyembunyikan
nafsunya. Hal ini akan tampak pada wajahnya, pandangan matanya,
dan tingkah lakunya. Sementara itu, bagi perempuan, berahinya ibarat
mutiara yang disimpan di dalam peti besi yang digembok lalu anak
kuncinya dibuang ke sungai yang airnya mengalir deras. Jadi, sudah
196
menjadi takdirnya bahwa perempuan pintar menyimpan dan
menyembunyikan berahinya. Hal ini tidak akan tampak pada
wajahnya, pandangan matanya, dan tingkah lakunya.
Mendapat jawaban seperti itu, I Daramatasia belum puas. Ia
menambah pertanyaannya. Ada seekor burung terbang dari Makkah,
memiliki 5 kepala, 7 kaki, 30 sayap, 40 bulu rumbai, dan 1 ekor.
Pertanyaan ini pun dijawab dengan baik oleh Hammadeq Daéng
Patuju.
Masih belum puas dengan dua pertanyaan yang dapat dijawab
dengan tepat oleh Hammadeq Daéng Patuju, I Daramatasia menambah
lagi pertanyaannya seolah-olah ingin menguras habis kemampuan dan
kealiman pelamarnya. Pertanyaannya adalah tentang seorang nenek
yang sedang berjalan kaki. Ketika sampai di sungai yang berair, ia
memakai sepatunya tanpa takut sepatunya basah; ketika naik ke darat,
ia lepaskan sepatunya; ketika ia masuk ke hutan yang lebat dan rimbun
dengan daun-daun kayu sehingga cahaya matahari pun susah untuk
tembus, sang nenek malah mengembangkan payungnya; ketika keluar
dari hutan, ia menutup payungnya, padahal matahari bersinar dengan
terik. Pertanyaan ini pun dijawab oleh Hammadeq Patuju dengan
benar.
Ceriteme-ceriteme pada episode XVI ini menunjukkan inversi
dari episode XV dengan identitas pelaku yang lebih jelas. Hasang dan
Huseng jelas mewakili ikon Timur Tengah atau nilai-nilai nonlokal,
sementara Hammadeq Patuju adalah ikon nilai lokal Bugis. Nama
Hammadeq berasal dari Ahmad (Timur Tengah) yang sudah
dilokalkan, sementara Patuju berarti yang berguna.
Di episode yang terakhir ini terlihat adanya pergeseran peran
dalam mewakili budaya lokal. Pada episode-episode terdahulu, peran
itu ada di pundak I Daramatasia (yang perempuan) dan kini beralih ke
pundak Hammadeq Patuju (yang laki-laki). Dengan demikian, I
Daramatasia memperoleh sekutu. Sementara itu, dalam oposisinya
terhadap laki-laki, ia tetap pada posisi melawan, paling tidak terhadap
laki-laki yang mewakili ikon Timur Tengah. Perhatikan struktur
oposisi berikut ini.
197

Persoalan berahi yang ditanyakan oleh I Daramatasia


sebenarnya bukanlah hal baru dalam sastra Bugis. Ada teks lain
berjudul “Sitti Rabiyatul Awwalia” yang juga mempersoalkan tentang
berahi ini. Kisah ini pun sebenarnya merupakan teks transformatif dari
kisah sufi perempuan yang terkenal dengan sufi cintanya. Ia tidak mau
menikah karena tidak mau membagi cintanya kepada Allah. Dialah
Rabi’ah al-Adawiyah. Dikisahkan ketika ia dilamar oleh seorang
ulama, Hasan Basri, sang sufi perempuan itu menanyakan beberapa
masalah, termasuk masalah berahi itu. Tentu saja ini hanya dalam
dongeng karena dalam sejarah hidup sang sufi perempuan tersebut
tidak ditemukan pannawa-nawang model dongeng I Daramatasia
ketika dilamar oleh Hasan Basri.41
Dalam konteks persaingan hegemoni budaya Bugis dengan
Budaya non-Bugis, teks PPID berbeda dengan teks-teks serupa dalam
sastra Bugis. Dalam teks PPID, ada tokoh lokal yang dapat
memecahkan persoalan berahi ini. Dengan demikian, dapat ditafsirkan
bahwa teks PPID memihak kepada budaya lokal. Sementara itu, dalam
konteks oposisi antara istri/perempuan terhadap laki-laki/suami, tokoh
I Daramatasia tetap memainkan perannya. Ia baru mau tunduk ketika

41
Jawaban Rabiah al-Adawiyah kepada Hasan Basri atas lamarannya
adalah “Ikatan pernikahan hanya berlaku untuk mereka yang memiliki keakuan,”
jawab Rabiah, “Saat ini keakuanku telah lenyap karena aku telah menghilang dan
hanya ada melalui Dia. Aku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam bayang-
bayang kuasa-Nya. Engkau harus meminta diriku kepada-Nya, bukan
kepadaku.” Lihat lebih lanjut Miftah H. Yuspati, “Begini Jawaban Rabiah Al-
Adawiyah Ketika Dilamar Hasan Al-Basri,” Kalam Sindonews, 05 Oktober
2021, diakses 16 Oktober 2021,
https://kalam.sindonews.com/read/560140/70/begini-jawaban-rabiah-al-
adawiyah-ketika-dilamar-hasan-al-basri-1633435804. Lebih lanjut lihat kisah
sufi perempuan ini pada Margaret Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual
Perempuan (Surabaya: Risalah Gusti, 1997).
198
berhadapan dengan laki-laki lokal, bukan laki-laki yang berasal dari
luar budaya Bugis.

C. Idealisme Beradat Siriq na Pessé dan Berislam Orang Bugis


dalam PPID
Kisah wanita yang memotong rambutnya lalu diusir oleh
suaminya dari berbagai versi bahasa terlihat bahwa persoalan yang
menonjol adalah bakti seorang istri kepada suami. Hal ini menjadi
kesimpulan beberapa peneliti terdahulu. Chanafiah, 42 umpamanya,
ketika meneliti versi berbahasa Melayu teks ini, mengatakan bahwa
cerita ini mengandung konsep dharma bakti seorang istri yang
bernama Darma Tahsiyah kepada suaminya yang bersumber dari
ajaran Hindu. Kata dharma berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti
‘perbuatan’, ‘kebijaksanaan’, ‘tugas hidup’.43 Notosudirjo
menjelaskan bahwa kata dharma secara etimologis bermakna (1)
‘kebaikan’ lalu menjadi (2) ‘kewajiban’.44
Kata tahsiyah menurut Chanafiah berasal dari bahasa Arab
takhasya yang berarti ‘takut kepada’.45 Kata ini berakar pada kata
dasar khasiya; yakhsya; khasyatan yang berarti ‘takut’ atau ‘yang
takut’.46 Ketika kata dharma dan takhsya bergabung menjadi Darma
Tahsiyah dan menjadi nama tokoh utama dalam teks Hikayat Darma
Tahsiyah, sempurnalah pengabdian dan bakti tanpa pamrih yang
dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya.
Di dalam ajaran Islam, kesetiaan istri kepada suami tidak
dilakukan secara berlebih-lebihan sehingga menyerupai pemujaan
oleh seorang istri kepada suaminya sebagaimana bakti Darma
Tahsiyah kepada suaminya. Al-Qur’an memberikan pedoman, “istri-
istrimu adalah (laksana) tanah tempat kamu bercocok tanam maka
datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu

42
Chanafiah, “Hikayat Darma Tahsiyah,” 9-10.
43
Badudu-Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 312.
44
Notosudirjo, Pengetahuan Bahasa Indonesia, 53.
45
Chanafiah, “Hikayat Darma Tahsiyah,” 10.
46
Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 177.
199
kehendaki (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233). Di ayat yang lain, Al-Qur’an
menyebutkan,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda bagi kaum yang berpikir (Q.S. An-Nur
[30]: 21).

Lebih lanjut, Al-Qur’an mengatakan, .....Dan bergaullah


dengan istri-istrimu dengan makruf. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak (Q.S. An-Nisa’ [4]: 19).
Ma‘rūf dalam konteks ayat di atas berarti berbuat baik kepada
istri tercermin dalam nama suami Darma Takhsiyah, Syekh Bil
Ma’ruf. Kata ma‘rūf adalah bahasa Arab yang berarti ‘perbuatan baik’,
‘kebajikan’.47 Artinya, pesan moral dalam teks Hikayat Darma
Tahsiyah mewakili konsep Islam dan Hindu. Konsep Islam tergambar
pada tokoh suami, Syekh Bil Ma’ruf, sementara konsep Hindu
tergambar pada tokoh istri, Darma Takhsiyah.
Walaupun kedua konsep ini terjalin dalam sebuah cerita,
sejatinya naskah Hikayat Darma Tahsiyah lebih menekankan pada
pesan moral bakti seorang istri kepada suami, tanpa pamrih. Darma
Takhsiyah tidak diberi peluang untuk membela diri saat ia dizalimi
oleh suaminya. Dengan bahasa lain, ajaran berbuat ma‘rūf kepada istri
tidak dilakukan oleh Syekh Bil Ma’ruf karena ia tidak dapat bersabar
menghadapi istrinya sebagaimana diperintahkan Al-Qur’an, padahal
Darma Takhsiyah memotong rambutnya lalu dijadikan sumbu pelita
adalah juga untuk kepentingan suaminya agar nyaman ketika makan
malam. Kekhilafan Darma Takhsiyah hanyalah tidak minta izin
kepada suaminya, padahal ia juga memiliki alasan yang masuk akal.
Inilah tema utama teks Hikayat Darma Tahsiyah yang diteliti oleh

47
Ibid., 263.
200
Chanafiah48, yakni ketaatan tanpa pamrih seorang istri kepada
suaminya.
Sebagaimana fungsi Hikayat Darma Tahsiyah di masyarakat
Melayu, PPID di masyarakat Bugis juga dijadikan sebagai alat untuk
berdakwah dan pengajaran tentang perilaku suami istri, khususnya
bakti tanpa pamrih istri kepada suami. Dafirah, 49 umpamanya, ketika
membandingkan PPID dengan Hikayat Darma Tahsiyah menyatakan
bahwa teks kedua naskah ini bertemakan bakti istri kepada suami.
Kesimpulan tersebut tidak sepenuhnya benar karena ternyata
bakti istri hanyalah tema bawahan yang mendukung tema utamanya,
yakni tema perlawanan, tepatnya oposisi istri terhadap suami. Bahkan,
oposisi ini tetap masih pada tataran permukaan yang mewakili sebuah
oposisi budaya antara budaya lokal dan budaya non-lokal. Dalam hal
ini, budaya lokal bertumpu pada nilai siriq yang dimiliki dan dihayati
oleh orang Bugis beroposisi dengan budaya Islam. Oposisi dimaksud
tidak untuk membenarkan yang satu lantas menyalahkan yang lain,
tetapi ada model keberislaman yang ingin ditawarkan.
PPID berterima pada masyarakat yang menganut dan
menghayati nilai siriq dan pessé (kehormatan dan solidaritas). Siriq
adalah sebuah nilai yang mempunyai daya dorong untuk berbuat
positif. Secara umum, siriq selalu diartikan sebagai rasa “malu” 50 atau
menurut pengertian KBBI, “Sistem nilai sosiokultural kepribadian
yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat
manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat di
masyarakat.”51 Dalam penghayatan siriq, orang Bugis mengenal
banyak istilah: masiriq (merasa malu), maté siriq (kehilangan harga
diri sehingga hidupnya tidak lebih berharga daripada bangkai), mâté
ri siriqna (mati karena menegakkan martabat harga dirinya),
dipakasiriq (dipermalukan, dihinakan harga dirinya), siriq émmi

48
Chanafiah, “Hikayat Darma Tahsiyah,”
49
Dafirah. “Konsep Wanita dalam Naskah Klasik I Daramatasia,”
Laporan Penelitian (Makassar: Fakultas Sastra Unhas, 2000)
50
Laica Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-
Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum) (Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press, 1995), 35.
51
Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. ke-3, cet. ke-3, 1074.
201
rutuoang ri lȋno (hanya karena adanya harga diri maka kita layak
hidup di dunia), natâro siriq (karena didera rasa malu), maserro siriq
(teramat segan dan hormat), taroi alému siriq (milikilah rasa malu dan
harga diri), mappatettong siriq (menegakkan harga diri),
mappakasiriq-siriq (malu-maulin), nammatéi siriq (jatuh harga
dirinya).
Siriq akan bernilai positif jika diletakkan sebagai daya dorong
untuk melakukan prestasi, seperti bekerja keras dalam rangka meraih
kesuksesan di dunia maupun di akhirat. Namun, siriq juga akan
menjadi daya dorong untuk melakukan pembalasan, bahkan
pembunuhan, jika seseorang Bugis dipakasiriq. Akibatnya berat
karena pangngadereng, yakni “adat yang mengatur perilaku orang
Bugis”, memberikan izin kepada pihak yang dipakasiriq untuk
melakukan pembunuhan terhadap seseorang yang menyerang siriq-
nya. Konsekuensinya hanya dua: membunuh atau terbunuh.
Pembalasan yang paling ringan adalah mempermalukan kembali
orang yang telah menyerang siriq-nya.
PPID memperlihatkan penghayatan rasa siriq seseorang, dalam
hal ini adalah tokoh protagonis, I Daramatasia, yang dizalimi lalu
bangkit mengadakan perlawanan terhadap dominasi suami dalam
rangka mappatettong siriq (menegakkan siriq-nya). Dari sudut
pandang adat dan kepantasan, perbuatan I Daramatasia memotong
rambutnya tujuh lembar untuk dijadikan sumbu pelita bukanlah
perbuatan yang salah karena ia mempunyai alasan tersendiri yang
darurat, yakni demi kenyamanan suaminya yang sedang menikmati
santap malam. Hanya karena tidak memberi tahu suaminya, ia dihajar
dan diusir sedemikian rupa dengan narasi kasar yang
mempermalukannya.
Dalam hubungan antara Séheq Bilema’rupi dan I Daramatasia,
terlihat adanya ketimpangan relasi. Séheq Bilema’rupi berada pada
posisi yang superior dan berkuasa, sementara I Daramatasia berada
pada posisi inferior dan tuna-kuasa. Tak ajal, peristiwa ini telah
menimbulkan simpati dan empati bagi penyambut Bugis untuk
berpihak kepada I Daramatasia. Inilah yang disebut dengan pessé.
Perasaan pessé akan memotivasi solidaritas sosial dalam rangka
202
penegakan harkat siriq orang lain. Cakupan pengertian “orang lain” di
sini meliputi semua orang di luar diri orang (subjectum) yang
bersangkutan. Tepatnya, siapa pun yang menjadikan dirinya larut oleh
endapan perasaan pessé52 sesuai dengan ungkapan “Iya simpugiku,
rékkua dé’na siriqna engka messa pesséna (“Bagi kita sesama orang
Bugis, jika sudah tidak punya siriq, kita masih memiliki pessé)53 atau
if there is no lenger siriq among uas Bugis, at least is certain to be
pessé.54
Lantaran perasaan pessé inilah, penyambut Bugis menjadikan I
Daramatasia sebagai tokoh yang bangkit melakukan oposisi.
Penyambut Bugis telah melanjutkan simpati dan empati Malékaq
Jiberilu kepada I Daramatasia. Oposisi perlawanan ini tidak ditemukan
dalam naskah versi yang lain. Hanya ada di versi berbahasa Bugis.
Kepasrahan tokoh Darma Takhsiyah pada versi Melayu sebagai pihak
inferior yang dizalimi oleh Syekh Bilma’ruf tetap berlanjut dan hanya
ditebus dengan permintaan maaf dan kemudian mereka hidup rukun
kembali.
Hal yang demikian tidak terjadi pada PPID. Permintaan maaf
Séheq Bilema’rupi—meski sudah dibarengi dengan meminum air
bekas cucian kaki istrinya—tampaknya tidak cukup kuat untuk
mengembalikan siriq I Damatasiya. Bahkan permohonan maaf Séheq
Bilema’rupi ditanggapi dingin oleh I Daramatasia dengan
mengatakan, “Bukan aku yang pantas memaafkanmu, tetapi Allah
Taala dan Rasul-Nya”. I Daramatasia membiarkan Séheq Bilema’rupi
menanggung rasa bersalah dan menanggung rasa kehilangan siriq.
Séheq Bilema’rupi yang jelas-jelas dipersalahkan oleh penyambut
Bugis tidak mungkin dapat melakukan pembelaan dan pembenaran,
umpamanya dengan membunuh I Daramatasia karena dia juga seorang
yang memahami dosa pembunuhan. Séheq Bilema’rupi dibiarkan
meratapi sendiri penyesalannya dan penyambut Bugis benar-benar
menghukumnya tanpa ampun. Baru sehari kepulangan I Daramatasia
dari rimba raya, Séheq Bilema’rupi jatuh sakit dan tiga hari kemudian

52
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 133.
53
Mattulada, Latoa, 63.
54
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 133.
203
meninggal dunia. Meski kematiannya dikarenakan sakit, dalam
konteks budaya siriq, jelas, kematiannya itu dikarenakan
ketidaksanggupan menanggung beban psikologis yang didera rasa
bersalah dan malu karena kehilangan siriq di hadapan istri yang
seharusnya dikuasainya.55 Allah Taala (tokoh penyelamat) yang

55
Mati sesak nafas karena tidak sanggup menahan malu dipakasiri’
pernah disaksikan oleh Hamka (1908-1985). Hamka mengisahkan kematian
temannya bernama Hambali, seorang guru Sekolah Muhammadiyah, Makassar,
asal Bantaeng pada tahun 1934. Waktu itu Hamka bertugas di Makassar di
sekolah yang sama.
Pada suatu hari, sekitar pukul 11.00 siang, saat pelajaran berlangsung,
tiba-tiba datang Mansyur Yamani, seorang Pengurus Muhammadiyah afdeling
Makassar. Ia datang tergopoh-gopoh seraya memerintahkan para guru sesegera
mungkin menyiapkan laporan kas keuangan sekolah karena ia mendapat laporan
bahwa para guru tidak menyetorkan uang sekolah kepada pengurus sebagaimana
mestinya. Timbul perdebatan antara para guru dan Mansyur Yamani. Hamka
menjelaskan bahwa pemasukan uang sekolah tidak lancar, bahkan para guru
tidak lagi menerima gaji dalam jumlah sepatutnya.
Hambali, salah seorang guru, merasa sangat malu terhahdap sikap
Mansyur Yamani yang seakan-akan menuduh para guru korupsi. “Tuduhan Tuan
Mansyur kepada kami, amatlah berat. Ini siri’, Tuan!” Kata Hambali disertai
dengan linangan air mata kepedihan. Mansyur Yamani menjawab, “Tuan-tuan
boleh menampar muka saya dengan terompah tuan-tuan, tetapi anggota pengurus
yang lain tidak berani mengatakan hal ini kepada tuan-tuan.”
Hambali bersama para guru lain menyaksikan betapa Hambali, rekan
mereka, masih diliputi kesedihan yang dalam di kala Mansyur Yamani berlalu
meninggalkan tempat. “Jika tidak kuat iman saya kepada Allah, niscaya saya
telah melakukan pembalasan kepada Tuan Mansyur,” kata Hambali seraya
mengusap air mata.
Saat magrib, para guru berkumpul kembali di rumah sekolah. Seusai salat
berjemaah, diadakan rapat kilat bersama Mansyur Yamani. Mereka melanjutkan
pembicaraan sehubungan dengan kas keuangan sekolah. Hambali tidak hadir.
Sehabis salat isya, sedianya berlanjut lagi dengan rapat bersama beberapa
pengurus Muhammadiyah afdeling Makassar guna mendengar verslag Mansyur
Yamani.
Tiba-tiba—sebelum rapat dibuka—datang seorang anak mengabarkan
bahwa Hambali meninggal dunia, sekitar lima menit yang lalu. Mereka segera
melayat ke rumah duka. Hamka mendapati dada jenazah masih hangat. Salah
seorang saudara perempuan Hambali menceritakan bahwa sekembali almarhum
dari sekolah siang tadi, almarhum menangis tersedu dan ketika ditanya, mengapa
ia menangis, ia tidak menjawab. “Kami semuanya termenung menyaksikan
kejadian ini. Dan saya teringat kembali akan perkataannya siang tadi, “Ini siri’,
Tuan!” Hamka, “Pandangan Agama Islam terhadap Siri’,” Ceramah dalam
204
diwakili oleh Malékaq Jiberilu dan orang-orang Bugis (penyambut
teks) telah bahu-membahu dalam solidaritas sara pessé untuk
menegakkan siriq tokoh utama protagonis.
Jika diperhatikan dengan saksama, penggunaan nama Séheq
Bilema’rupi yang diambil dari bahasa Arab, Syekh Bil Ma’ruf,
memiliki maksud tersendiri. Orang Bugis menguliti sebuah ironi
praktik beragama. Sejak awal tokoh dengan nama Séheq Bilema’rupi
(Syekh Bilma’ruf) mempertontonkan dirinya sebagai pelaku utama
ketidak-ma’ruf-an atau tidak baik yang secara keseluruhan
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Q.S. Al-Baqarah [2]: 229-
232 dan An-Nisa’ [4]: 19 menggunakan kata ma’ruf sebagai kata sifat
bagi bentuk hubungan ideal bersuami-istri yang sehat menurut standar
Al-Qur’an. Séheq Bilema’rupi (Syekh Bilma’ruf) mengambil namanya
dari khazanah Al-Qur’an, tetapi melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan dengan prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan oleh Al-
Qur’an. Jadi, mudah dimengerti jika penyambut Bugis “mematikan”
karakter Séheq Bilema’rupi (Syekh Bilma’ruf) sebagai tindakan
setimpal atas perbuatannya dan dalam rangka menghentikan
terulangnya KDRT yang dilakukannya.
Langkah berikutnya adalah menegakkan dan memulihkan siriq
I Daramatasia sebagai perempuan lokal yang terhormat dan
bermartabat. Gambaran perempuan seperti itu adalah perempuan yang
memiliki suami, bukan perempuan yang menjanda terlalu lama.
Persoalannya, siapakah laki-laki yang pantas memperistri perempuan
terhormat yang memenuhi standar ideal orang Bugis?
Menjawab “kebutuhan” ini, budaya Bugis memilih laki-laki
lokal pula. Pengertian lokal di sini tidak harus berasal dari tanah Bugis,
tetapi laki-laki yang memiliki nilai-nilai utama dalam pandangan
budaya Bugis. Misalnya, ia harus mempunyai sifat lempuq
(kejujuran), acca (cendekia atau intelek), asitinajang (kepatutan),
getteng (keteguhan memegang prinsip), réso (usaha), dan siriq (rasa

Seminar Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Publikasi Panitia


Seminar, 1977). Lihat juga Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 119-120.
205
malu dan harga diri).56 Laki-laki yang dimaksud adalah Hammadeq
Patuju. Laki-laki inilah yang dalam kriteria budaya Bugis yang layak
menjadi suami I Daramatasia dan ia tidak muncul dari budaya Timur
Tengah, melainkan dari budaya lokal, dari budaya Bugis. Dari
namanya, ada bau-bau Timur Tengah, yakni Hammadeq yang berasal
dari kata Ahmad, tetapi telah dibugiskan dengan pelafalan lokal
menjadi Hammadeq, sementara Patuju bermakna memberi manfaat.
PPID menggambarkan bagaimana laki-laki lokal ini
mengalahkan saingan-saingannya secara fair dalam perebutan
menggantikan jodoh Séheq Bilema’rupi (Syekh Bilma’ruf). I
Daramatasia sendiri mengadakan sayembara terbuka kepada semua
pelamarnya dengan memberikan beberapa pertanyaan/persoalan agar
dijawab oleh semua pelamar. Hadiahnya tidak tanggung-tanggung:
menggratiskan sompa (maharnya) kepada siapa saja yang berhasil
memecahkan persoalannya.
Sejumlah pelamar yang berkelas panrita (ahli dalam bidang
agama Islam) dipermalukan (dipakasiriq) secara telak oleh I
Daramatasia karena tidak mampu memecahkan pertanyaan yang
diajukan kepada mereka, yakni persoalan berahi yang dianugerahkan
Allah Taala dan distribusinya kepada laki-laki dan perempuan. Para
panrita pelamar memberikan jawaban bahwa ada sepuluh berahi yang
dianugerahkan Allah Taala kepada manusia: sembilan bagian
diberikan kepada perempuan dan satu diberikan kepada laki-laki.
Jawaban ini menurut I Daramatasia sangat kontradiktif dengan
perilaku mereka dan dijawab dengan bernas oleh I Daramatasia: Jika
berahi kalian hanya satu, mengapa kalian yang bersusah payah
mendatangiku dan melamarku, sepantasnya akulah yang datang
melamar kalian karena berahiku lebih banyak. Celaka kalian karena
kalian benar-benar tidak punya siriq.
Dalam peristiwa ini, orang-orang Bugis sebagai penyambut teks
telah menempatkan I Daramatasia sebagai perempuan yang memiliki
posisi tawar tinggi karena memiliki kecendekiaan (acca) dan dan
harga diri (siriq). Jadi, laki-laki yang layak memperistrinya harus pula

56
A Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2011), 145-150.
206
yang sepadan/sekufu. Hammadeq Patuju adalah laki-laki yang
memenuhi kriteria ini dalam konteks budaya Bugis. Ia memiliki sifat-
sifat utama, khususnya acca dan siriq.
Sampai di sini, PPID telah berhasil menegakkan dan
memulihkan kembali siriq I Daramatasia dan mematahkan dominasi
dan hegemoni laki-laki yang biasanya menguasai perempuan. Artinya,
I Daramatasia berhasil meletakkan kembali posisi sejajar kaum
perempuan dengan laki-laki sebagaimana yang terdapat pada teks-teks
klasik Bugis semacam La Galigo.57 Di sisi lain, Hammadeq Patuju
berhasil pula mengangkat harkat dan martabat dirinya sendiri dan laki-
laki Bugis pada umumnya. Ia mematahkan dominasi dan hegemoni
laki-laki Timur Tengah yang biasanya dipuja-puja dalam cerita-cerita
rakyat klasik yang bernafaskan Islam. Tokoh Hasang (Hasan) dan
Huséng (Husain), yang digambarkan sebagai dua laki-laki saudara tua
Hammadeq Patuju yang juga berhasil dikalahkannya, mengingatkan
pembaca kepada dua orang cucu Nabi Muhammad saw. Rupanya,
orang Bugis dalam konteks budayanya tidak silau dengan ketokohan
keduanya dalam konteks sejarah. Mereka tetap memilih tokoh lokal
yang mewakili budaya Bugis dalam rangka penegakan harga diri dan
solidaritas (siriq na pessé) kolektif orang Bugis.
Dari pembacaan struktur budaya terhadap PPID, terlihat sikap
tegas dalam struktur pemikiran subjek kolektif orang Bugis. Mereka
lebih memilih membela nilai adat siriq na pessé dalam menyelesaikan
persoalan jika sudah menyangkut harga diri hatta kepada nilai Islam
sekalipun yang mereka anut sebagai agama. Banyak contoh yang
dapat disebutkan sepanjang sejarah orang-orang Bugis. Orang Bugis
bisa mengamuk dan menikam orang gara-gara ia kentut tanpa sadar
(nakélo ettu) di sebuah majelis lalu ditertawakan oleh tetamu yang

57
Nurhayati Rahman, Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo
(Episode Pelayaran Saweregading ke Tanah Cina: Perspektif Filologi dan
Semiotik) (Makassar: La Galigo Press, 2006). Kesetaraan kedudukan perempuan
dan laki-laki diutarakan kembali secara lisan oleh Prof. Dr. Nurhayati Rahman
ketika menjadi narasumber pada acara webinar via zoom, “Diskusi Buku La
Galigo Menurut Naskah NBG 188,” Kamis, 03 Desember 2020, pukul 14.00-
15.30 WIB.
207
lain.58 Mereka sanggup membunuh atau terbunuh dan adat
membenarkannya. Orang Bugis yang terbunuh karena membela siriq-
nya disebut maté malunraq, mati dalam keadaan nyaman (mirip-mirip
dengan mati syahid).
Implementasi dari siriq dapat juga terlihat dalam prosesi
pernikahan. Adat menetapkan adanya uang panaiq sebagai uang
pemberian cuma-cuma dari calon mempelai laki-laki kepada calon

58
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum, 117-118, mencatat sebagai
berikut. H.J. Friedericy dalam bukunya berjudul De Raadsman, sebuah roman
sejarah yang naik cetak ulang beberapa kali (1984: 188-189), menceritakan
pengalamannya di waktu bertugas selaku aspirant-controleur wilayah afdeling
Bone, dalam tahun 20-an.
Pada hari pertama bertugas, ia mendampingi assistent-resident dalam
inspeksi ke sebuah rumah sakit di Bone-Tengah. Mereka diantar oleh controleur
van Miden-Bone.
Dalam satu zaal rumah sakit, mereka mendapati 24 tempat tidur yang
dipenuhi pasien luka-luka parah di kaki, lengan, paha, kepala, serta dada.
Asistent-resident bertanya, “Apakah mereka korban kecelakaan lalu-
lintas?”
Controleur melaporkan bahwa para pasien itu adalah korban amukan
(amokpartij) dalam suatu pesta pernikahan di Ujung Lamuru. Pesta telah usai,
lentera-lentera telah dipadamkan dan para tamu sudah siap-siap untuk tidur.
Tiba-tiba seorang tamu nakélo ettu (terkentut tanpa sengaja dengan suara keras).
Tamu-tamu lain mulai tertawa dan hampir semua mereka tertawa. Karena merasa
teramat malu (masiri’), orang yang nakélo ettu tadi mengamuk dan menikam
mereka secara membabi buta di tengah kegelapan. “Delapan orang terbunuh dan
mereka yang terluka kini terbaring di rumah sakit ini,” kata counteleur melapor.
Assistent-resident terkejut mendengar laporan bawahannya seraya
berujar, “En hij had niet eens maloe hoeven te zijn want niemand wist wie die
wind gelanten had.” (“Seharusnya dia tidak menjadi maloe karena tidak ada yang
tahu siapa yang mengeluarkan angin itu.”).
Tim Peneliti Fakultas Hukum Univeresitas Hasanuddin pada tahun 1977
melaporkan peristiwa yang hampir sama terjadi di daerah Soppeng, Sulawesi
Selatan.
Seorang lelaki nakélo ettu di hadapan orang banyak. Lelaki tersebut
merasa sangat malu (tabbuang-buang siri’na) lalu menghunus badiknya. Tak
seorang pun yang berani menengadahkan muka hinggalah lelaki itu
meninggalkan tempat. Diceritakan bahwa setiba di rumahnya, ia berteriak,
“Sayang sekali, tiada seorang pun yang menengadah, kalau ada, pasti kutikam!”
Namun, karena tidak dapat menahan rasa malu, ia minta kepada istrinya untuk
menumbuk cabe sebanyak mungkin, lalu cabe tumbuk tersebut dipoleskan ke
duburnya yang dianggap sudah mempermalukannya. Lihat juga Marzuki, Siri’:
Bagian Kesadaran Hukum, 118.
208
mempelai perempuan yang nilainya jauh melebih mahar. Banyak
kasus uang panaiq menjadi penghalang sebuah pernikahan karena
ketidakmampuan calon mempelai laki-laki menyediakannya. Dalam
kasus seperti ini, adat memberikan jalan keluar yang sangat sempit,
yakni silariang (kawin lari). Namun, risikonya berat bagi pasangan
yang silariang tersebut karena nyawa taruhannya.59
Tappi (badik) adalah senjata khas orang Bugis yang berkaitan
dengan pembelaan terhadap siriq. Hampir setiap laki-laki Bugis
memiliki tappi, sementara perempuannya memiliki coboq-coboq
(badik kecil) yang masih berfungsi-adat di saat senjata semacam pada
etnis lain sudah berubah fungsi menjadi aksesori dan suvenir. Dalam
mempertahankan siriq, orang Bugis bisa melakukan sigajang laleng
lipaq berarti “tarung sarung” (bertikam dalam sebuah sarung tanpa
tameng).60 Meski sudah ditinggalkan, tradisi ini tetap dilestarikan dan
ditampilkan dalam festival-festival atau perayaan-perayaan budaya di
Sulawesi Selatan.61

59
Film Silariang tahun 2018 dapat dijadikan rujukan untuk kasus
silariang di Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar). Bisa ditonton di
https://www.youtube.com/watch?v=WXsd85t0qoA, diakses 5 Desember 2020.
60
Afif KM., “Mengenal Sigajang Laleng Lipa, Tradisi 'Mematikan' Suku
Bugis untuk Menyelesaikan Masalah,” Intisari Online, 11 Mei 2019, diakses 05
Desember 2020, https://intisari.grid.id/read/031723052/mengenal-
sigajang-laleng-lipa-tradisi-mematikan-suku-bugis-untuk-
menyelesaikan-masalah?page=all,; Aco Ismail, “Baku Tikam dalam Sarung
Cara Suku Bugis Menyelesaikan Masalah,” Meja Hijau, 17 Juli 2018, diakses 6
Desember 2020, https://www.mejahijau.com/2018/07/17/baku-tikam-
dalam-sarung-cara-suku-bugis-menyelesaikan-masalah/.
61
Sebuah film layar lebar produksi StarVision berjudul Tarung Sarung
yang digadang-gadang diputar tanggal 2 April 2020 terpaksa ditunda karena
pandemik. Lihat Santi Sitorus, “Sinopsis Tarung Sarung, Cinta dan Asa si Anak
Bugis.” Tagar.id, 22 Februari 2020, diakses 6 Desember 2020,
https://www.tagar.id/sinopsis-tarung-sarung-cinta-dan-asa-si-anak-bugis.
209

Gambar 7 Sigajang Laleng Lipa


Cara ekstrem orang Bugis menyelesaikan masalah adalah
Sigajang Laleng Lipa (Tarung Sarung).
Sumber foto: https://www.mejahijau.com/2018/07/17/baku-
tikam-dalam-sarung-cara-suku-bugis-menyelesaikan-masalah/
210
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
Membaca dan memahami PPID tidak cukup hanya dengan
menyandingkan dan menyamakannya dengan versi-versi yang
berbahasa Melayu, Sunda, dan Jawa. PPID sudah dibugiskan oleh para
penyambutnya yang ditandai dengan penambahan episode di awal dan
di akhir cerita, sehingga penafsirannya harus dibantu dengan data-data
etnografis dan konvensi sastra lokal Bugis. Di dalam teks-teks geniun
sastra Bugis seperti La Galiogo, terlihat bahwa kedudukan perempuan
setara dengan kedudukan laki-laki dalam segala hal. Dewa-dewa yang
turun dari boting langiq (petala langit) menemukan jodohnya dari
dewi-dewi yang muncul dari buriq liung atau peretiwi (dasar bumi).
Mereka bertemu di ale kawa (bumi) lalu memerintah dan memutuskan
persoalan-persoalan pemerintahan secara bersama.
Dongeng I Daramatasia sebelum masuk ke Bugis
memperlihatkan ketimpangan posisi antara perempuan dan laki-laki.
Ini jelas tidak sesuai dengan konvensi sastra Bugis yang mengusung
kesejaran peran dan tanggung jawab. Di sisi lain, karena dongeng ini
membawa pesan-pesan moral agama Islam, maka penyambut Bugis
merasa perlu menambah bobot tokoh perempuannya berupa
pengausaan ilmu-ilmu agama, khususnya penguasaan tilawah Al-
Qur’an, cabang ilmu agama yang sangat mendasar untuk dikuasai oleh
orang Bugis yang taat. Namun di sisi lain lagi, prinsip adat siriq na
pessé tidak dapat ditegakkan secara sempurna tanpa melibatkan kedua
belah pihak, laki-laki dan perempuan, maka penyambut Bugis
menghadirkan tokoh Hammadeq Patuju yang mendampingi I
Daramatasia dalam memperoleh kembali hak siriq-nya. Dengan
demikian sempurnalah sudah dongeng I Daramatasia memasuki
konvensi sastra Bugis, dan oleh karenanya penyambut Bugis tidak
ragu-ragu menamakan dongeng ini sebagai sastra pau-pau (Pau-
Paunna I Daramatasia = dongengnya I Daramatasia). Lalu bagaimana
tafsir yang bisa diberikan kepada keseluruhan kisah?

211
212
Sebagaimana dipahami, suatu dongeng sering kali bukan hanya
sekadar pelipur lara atau perintang-rintang waktu. Sebuah dongeng
acapkali juga mewakili simbol tertentu dari konflik-konflik
tersembunyi yang terdapat dalam suatu komunitas atau sebagai sarana
untuk mengelakkan, memindahkan, atau mengatasi kontradiksi-
kontradiksi empiris yang belum terpecahkan.
Dengan demikian, dari perspektif ini, PPID penting dipetakan
struktur oposisi binernya sebagaimana telah diuraikan di atas. Dibantu
dengan informasi etnografis dan budaya orang Bugis, terbaca hasilnya
bahwa di bawah permukaan struktur tema “bakti istri kepada suami,
dalam posisi inferior perempuan di hadapan lelaki,” ada “perlawanan”
bernuansa adat siriq na pessé (kehormatan dan solidaritas), yang
diwakili oleh tokoh I Daramatasia beroposisi dengan nilai-nilai Islam
yang diwakili oleh tokoh Séheq Bilema’rupi.
Tokoh I Daramatasia—meskipun seorang perempuan, ia
memiliki sifat-sifat lelaki—dianggap sebagai lelaki dan mewakili
nilai-nilai adat Bugis. Ia beroposisi dengan Séheq Bilema’rupi—
meskipun seorang lelaki, ia memiliki sifat-sifat perempuan—yang
dianggap perempuan dan mewakili nilai-nilai keislaman yang kaku.
Berikut adalah pemetaan relasi-oposisi yang berpusat pada nilai-
nilai adat siriq na pessé dalam naskah PPID.
1. Siriq yang bermuatan oposisi istri kepada suami antara I
Daramatasia dan Séheq Bilema’rupi dalam kasus KDRT. Hal itu
terlihat pada napak tilas peristiwa I Daramatasia, mulai dari
pembuangan dirinya sampai pada peristiwa kematian Séheq
Bilema’rupi.
2. Siriq yang bermuatan penegakan martabat istri di hadapan
suami, yakni ketika I Daramatasia berhasil memperoleh jodoh,
Hammadeq Patuju, yang ideal bagi adat untuk melindungi siriq-
nya.
3. Siriq yang bermuatan oposisi budaya antara budaya Bugis dan
Budaya Islam (Timur Tengah), yakni pada peristiwa Hammadeq
Patuju dapat menjawab semua pertanyaan I Daramatasia dengan
mengalahkan Hasang dan Huséng.
213
4. Siriq yang bersekutu dengan pessé, yakni pada peristiwa
pertolongan Malékaq Jiberilu dan Allah Taala saat I
Daramatasia teraniaya.
5. Siriq yang bersekutu dengan acca, yakni pada peristiwa
pengajuan pannawa-nawwa (teka-teki) oleh I Daramatasia
kepada semua pelamarnya.

Sementara itu, tokoh antagonis, Séheq Bilema’rupi tidak


memiliki sifat-sifat utama di atas. Ia adalah tokoh yang egois dan
emosional—sifat-sifat yang biasanya disematkan pada watak feminis.
Dalam menjalankan praktik keagamaan, Séheq Bilema’rupi tergolong
tekstualis yang kurang bijaksana, bertentangan dengan makna
namanya. Bahkan PPID tidak menyebutkan Séheq Bilema’rupi
membayar kewajiban nazarnya untuk menyembelih 7 ekor kambing di
Makkah, 7 ekor kambing di Madinah, dan 7 ekor kambing di Arafah
jika berhasil memperistri I Daramatasia. Ini adalah kesalahan fatal
dalam praktik beragama Islam yang dibiarkan oleh naskah dan diamini
oleh orang Bugis pemilik dongeng ini.
Secara keseluruhan, naskah PPID merupakan pancaran
pemikiran subjektif kolektif sebagian orang Bugis dalam
mempertahankan dan membela nilai-nilai adat siriq na pessé. Jika
berhadapan dengan orang Bugis, se-alim apa pun dia, jangan terlalu
barharap bahwa dia akan lebih memilih nilai agama untuk
menyelesaikan persoalannya. Kalau ia tidak bisa mempertahankan
nilai adatnya karena pertimbangan nilai agama, ia akan mati sesak
nafas karena tidak kuat menanggung siriq (maté siriq, malu karena
jatuh harga dirinya) atau mati dengan sebab-sebab yang tidak bisa
dinalar. Itu dialami oleh Séheq Bile Ma’rupi ketika ia jatuh sakit tanpa
sebab lalu wafat.
Namun, di balik itu semua, ada makna filosofi di balik struktur
dalam dongeng ini yang harus diangkat. Kisah ini merupakan tawaran
pilihan dalam berkebudayaan dan berkeislaman orang Bugis yang
diwakilinya. Perjumpaan antara dua nilai yang beroposisi berjalan
dinamis. Ada kalanya nilai Islam yang harus dipilih, di lain waktu nilai
adatlah yang harus dibela. PPID berakhir ketika kedua nilai tersebut
214
melakukan kompromi, yakni ketika nilai siriq na pessé berhasil
ditegakkan oleh tokoh I Daramatasia dan nilai Islam dapat pula
ditegakkan oleh tokoh Hammadeq Patuju. Jika ditarik ke dalam
sejarah berterimanya Islam di kerajaan-kerajaan di Tanah Bugis, hal
itu tergambar pada parewa ade’ (pengawal adat) dan parewa sara’
(pengawal syariat) yang setara kedudukannya dalam pangadereng di
kerajaan-kerajaan Bugis.
Hal-hal penting lain yang dapat disimpulkan. Pertama, dongeng
Pau-Paunna I Daramatasia adalah dongeng yang terjaga
pewarisannya di komunitas orang Bugis yang memegang kuat nilai
siriq na pessé. Kedua, karena orang Bugis adalah penganut agama
Islam yang teguh, tidak dimungkiri dalam menghayati prinsip siriq na
pessé kadang-kadang terjadi perbenturan antara nilai budaya dan nilai
agama. KDRT yang dilakukan oleh Séheq Bilema’rupi dilandasi oleh
nilai syariat yang kaku, sementara tindakan I Daramatasia dilandasi
oleh nilai siriq, siriq kepada Allah, pemegang mutlak atas kebenaran
dan sumber syariat. KDRT itu membangkitkan rasa empati orang
Bugis untuk menyatu dalam rasa pessé.
Ketiga, pembelaan Allah Taala dan Malékaq Jiberilu dalam
“struktur permukaan” cerita tidak cukup membuat orang Bugis merasa
puas. Penghukuman terhadap Séheq Bilema’rupi harus dilakukan lalu
dilanjutkan dengan penegakan siriq atas I Daramatasia. Watak
Hammadeq Patuju yang lebih cerdas dari I Daramatasia muncul
mewakili budaya lokal untuk melakukan pembelaan. Séheq
Bilema’rupi salah memilih sasaran KDRT karena yang dianiayanya
bukan perempuan sembarangan. Bobot kecerdasan I Daramatasia
melebihi 99 orang lelaki dan laku ekstra pengabdiannya kepada suami
melebihi bobot laku khalwat Séheq Bilema’rupi, bahkan melebihi
pengabdian rata-rata istri di mana pun. Dengan demikian, fungsi
penambahan episode di awal dan di akhir cerita dapat dipecahkan.
Keempat, secara filosofis, penambahan episode ini
menunjukkan sikap luwes orang Bugis terhadap dua nilai yang terlihat
bertentangan pada “struktur permukaan”, tetapi berkompromi pada
“struktur dalam” cerita. Artinya, orang Bugis dapat menjalankan nilai
siriq na pessé secara sempurna sambil menjalankan syariat Islam
215
secara sempurna pula tanpa harus mengalahkan salah satu pihak.
Dengan kata lain, struktur oposisi yang terbangun berakhir dengan
win-win, bukan win-lose.
Hal ini dapat ditarik jauh ke belakang ketika Islam berterima di
Kerajaan Telumpocco é (Bone, Wajo, dan Soppeng) dan menjadi
agama resmi masyarakat Bugis. Saraq (syariat Islam) dapat masuk ke
dalam sistem pangadereng mendampingi unsur lain yang sudah sedia
ada: adeq (adat-istiadat), bicara (peradilan), rapang (pengambilan
keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara lain),
wariq (sistem protokoler kerajaan), dan saraq (syariat Islam).
Meskipun saraq masuk belakangan, nilai-nilai saraq bisa berdiri
sejajar dengan unsur yang lain dan dapat dijalakan secara sempurna
tanpa menimbulkan konflik. Relasi itulah yang dapat terbaca antara
struktur dongeng PPID dan struktur pemikiran subjek kolektif orang
Bugis. Tentu saja kesimpulan ini dapat didebat atau disempurnakan.

B. Saran-Saran
Analisis dalam kajian ini belum berakhir karena masih menyisakan
persoalan. Nasihat I Daramatasia kepada para perempuan/isteri di
halaman apendik naskah justru memperlihatkan anti-klimaks dari struktur
oposisi yang sudah terbangun. Hal ini belum tersentuh sama sekali. Untuk
memahami pesan-pesan eksplisit I Daramatasia tersebut, tampaknya
diperlukan pendekatan gender/feminis dalam rangka memahami posisi
perempuan/istri yang diidealkan oleh orang Bugis. Biarlah hal itu menjadi
garapan penelitian berikutnya.
216
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press,


1985.

Abdullah, Hamid. “Siriq, Etos Budaya Sulawesi Selatan.” Dalam


Reaktualisasi Etos Budaya Manusia Bugis, ed. Husni Abrar.
Solo: Ramadhani, 1990.

Abidin, Aslan “Islam dalam Perubahan Nama Diri Suku Bugis.”


IBDA’: Jurnal Kebudayaan Islam 14, no. 2 (Juli - Desember
2016): 242-254.

Administrator, “Sabung Ayam, Antara Mitos dan Sejarah”, dalam


Indonesia.Go.Id: Portal Informasi Indonesia, Juli 2019,
https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/sabung-
ayam-antara-mitos-dan-
sejarah?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=
1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1?lang=1.

AJ, Andi Agussalim dan Sri Hastanto, “Padéndang Ogi Musik


Upacara Ritual Mappalêppê’ Tinja’ Masyarakat Bugis Wajo
Sulawesi Selatan.” Sosiohumanika. Yogyakarta: Program
Pascasarjana UGM, 1999.

Architecture, Verdant. “Mengenal Rumat Adat Bugis Makassar.”


Verdant, 16 April 2020. Diakses 27 April 2021.
https://architecture.verdant.id/rumah/adat/mengenal-rumah-
adat-suku-bugis-makassar/.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Minawang: Hubungan Patron-Klien di


Sulawesi Selatan. Yoyakarta: Gajdah Mada University Press,
1988.

______. Umar Kayam dan Jaring Semiotik (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1998), 40-92.

______. “Analisis Struktural Dongeng Bajo.” Strukturalisme Lévi-


Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press,
2001.

217
218

———. Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Ed.


Baru. Yogyakarta: Kepel Press, 2006.

Alamsyah. “KPPSI: Perjuangan Politik Identitas-Islam di Sulawesi


Selatan.” Kompasiana, 24 November 2011. Diakses 22 April
2017. http://www.kompasiana.com/alamsyah1970/kppsi-
perjuangan-politik-identitas-islam-di-sulawesi-
selatan_5509ce34813311775db1e3a0.

Al-Bayqunie, Pepi. Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki.


Tanggerang: Javanica, 2016.

Allifiansyah, Sandy. “Oposisi Biner Kesejarahan Indonesia Periode


Revolusi Fisik (1945-1949) dalam Film Soegija (2012) & Sang
Kiai (2013).” SEMIOTIKA: Jurnal Komunkasi 11, no. 1 (2017):
163-200. http://dx.doi.org/10.30813/s:jk.v11i1.955.

Amelia, Dilla dkk. “Daramatasia | Live Cover by Dilla Amelia, Dian


Trieka, Rini RNchannel, Andi Tasya.” Kamizama Official.
Diakses 1 Januari 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=pibC98NJ8r8.

Amir, Junita. “Hubungan Tingkat Kepercayaan Adat Maccera Tasi


Terhadap Pendapatan Masyarakat Nelayan Di Desa Lampenai
Kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Timur.” Skripsi. Palopo:
IAIN Palopo, 2019). Diakses 25 September 2021.
http://repository.iainpalopo.ac.id/id/eprint/1483/1/SKRIPSI%2
0JUNITA.pdf.

Anastasya, Jumry. “Jumry Anastasya – Daramatasia.” Arghy Singh.


Diakses 1 Agustus 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=y79s8xZQRcg.

Andaya, Leonard Y. “A Village Perception of Arung Palakka and the


Makassar War of 1666-1669.” Dalam Perception of the Past
South East Asia, ed. Anthony Reid dan David Marr. Singapore:
Asian Studies of Australia, 1979.
219
———. The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi
(Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague Martinus
Nijhoff, 1981.

———. “Pandangan Arung Palakka tentang Desa dan Perang


Makassar 1966-1969.” Dalam Dari Raja Ali Haji hingga
Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, ed. Anthoni Reid dan
David Marr. Jakarta: Grafiti Pers, 1983.

Ansaar dan Bahtiar. “Procedures of Land Disputes Settlements in


Towani Tolotang Traditional Community in Sidrap Regency.”
WALASUJI: Jurnal Sejarah dan Budaya 12, no. 1 (Juni 2021):
113-125. https://doi.org/10.36869/wjsb.v12i1.193.

Anthony, Rio. “Ma'Baca-baca, Kolaborasi Adat dan Agama Suku


Bugis: Tradisi Ma'Baca-baca, Kolaborasi Adat dan Agama di
Suku Bugis-Makassar.” Tagar.id, 10 Juni 2019. Diakses 27
September 2021. https://www.tagar.id/mabacabaca-kolaborasi-
adat-dan-agama-suku-bugis/.

Arafah, Sitti. “Islam dan Kristen di Tanah Bugis Soppeng (Sejarah dan
Perkembangannya).” Jurnal Pusaka: Khazanah Keagamaan 5,
no. 2 (2017): 151-164.
https://doi.org/10.31969/pusaka.v5i2.177.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta,


1993.

Askin, M. “Kedudukan Sirik dalam Yurisprudensi.” Majalah Lontara,


No. 26. Tahun XXIV, 1985.

Astuti, Sri Nur Astri. “Kisah Daramatasia (Wanita Cantik Berambut


Panjang) )- Sri Nur Astri Astuti PBI 3A.” PBI A 19. Diakses 1
Agustus 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=8kkC7mj9z7I&t=8s.
220
———. “Film Pendek DARAMATASIA Kisah Nyata di Tanah Bugis
| Cerita Sejarah Terkenal.” Sinar CITTA Online TV. Diakses 1
Agustus 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=8owhzNxA12M&t=77s.

B, Arman. “Mengenal Lebih Dekat Komunitas Ammatoa sebagai


Identitas Kearifan Lokal: Perspektif ‘Orang Dalam’.”
Sosioreligius 1, no. 1 (Juni 2015): 26-34.

Badcok, Christopher R. Levi-Strauss: Strukturalisme dan Teori


Sosiologi. Terj. Robby Habiba Abror. Yoayakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.

Bahtiar. “Hubungan Politik Antarkerajaan: Gowa dengan Bone,


Soppeng, Wajo (Tellumpocco).” WALASUJI 10, no. 2
(Desember 2019): 251-267.

Bakri, Subhan. “Sipakatau dalam Masyarakat Bugis Bone Perspektif


Al-Qur’an.” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 5, no.
2 (2020): 254-271.

Bandung, AB. Takko. To Manaurung: Asal-Usul Manusia dalam


Kebudayaan Bugis. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016.

Baried, Siti Baroroh, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta:


Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi,
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1994.

Bruinessen, Martin van. “The Tariqa Khalwatiyya in South Celebes.”


Dalam Excursies in South Celebs, ed. H.A. Poeze dan P.
Schoorl, 251-269. Leiden: KITLV Uitgeverij, 1991. Diakses 25
September 2021.
https://www.bing.com/search?q=The+Tariqa+Khalwatiyya+in
+South+Celebes&form=ANNTH1&refig=05de97b5ff01479eb
e8ad87bc4a8a437.

Bua, M. As’ad. “I Daramatasia (Transliterasi dan Terjemahan).”


Laporan Penelitian. Ujungpandang: Fakultas Sastra, 1988.
221
Budiasa, I Made. Konsep Budaya Bali dalam Geguritan Sucita
Subudhi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.

Bukhari no. 2442, Muslim no. 2580, Ahmad no. 5646, Abu Dawud no.
4893, at-Tirmidzi no. 1426 ; dari Abdullah bin ‘Umar
radliyallahu ‘anhuma.
http://www.salamdakwah.com/hadist/388-sesama-muslim-
bersaudara, diakses tanggal 25 September 2021.

Bulbeck. The Origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS)


Project, dalam Najemain. “Jejak Budaya Luwu di Pesisir Barat
Sulawesi Tenggara.” Dalam Kedatuan Luwu: Perspektif
Arkeologi, Sejarah dan Antropologi, ed. Moh. Ali Fadillah dan
Iwan Sumantri. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas
Hasanuddin dan Institut Etnografi Indonesia, 2000.

Chanafiah, Yayah. “Hikayat Darma Tahsiyah: Sebuah Telaah


Filologis.” Tesis. Bandung: Pascasarjana Universitas
Padjadajaran, 1999.

Coursehero. “Struktur Siri dalam Budaya Bugis atau Makassar.”


Diakses 27 September 2021.
https://www.coursehero.com/file/pse0lri/Struktur-Siri-dalam-
Budaya-Bugis-atau-Makassar-mempunyai-empat-kategori-
yaitu/.

Dafirah. “Konsep Wanita dalam Naskah Klasik I Daramatasia.”


Laporan Penelitian. Makassar: Fakultas Sastra Unhas, 2000.

———. “Perbandingan Daramatasia Menurut Versi Naskah Bugis


dan Melayu.” Laporan Penelitian. Makassar: Masyarakat
Pernaskahan Nusantara, 2001.

———. “Analisis Wacana I Daramatasia: Discourse Analysis of I


Daramatasia.” Tesis. Ujung Pandang: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1999.

Dananjaja, Jemes. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-


Lain. Jakarta: Grafitipress, 1984.
222
Darwis, Muh. “Siri’ Na Pacce dalam Perspektif Pemberdayaan.”
Kotaku: Kota Tanpa Kumuh, Makassar, 20 November 2012.
Diakses 27 September 2021.
http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaarsipdetil.asp?mid=5265&cat
id=2&.

Djamaris, Edward. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi.”


Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun III, Nomor 1, 1977.

Djaya, Andi Baso, dan Ancha Hardiansya, “Bissu, Gender Kelima dari
Tanah Bugis.” Lokadata, 14 Juli 2017. Diakses 21 September
2021. https://lokadata.id/artikel/bissu-gender-kelima-dari-
tanah-bugis.

Ekadjati, Edi Suhardi. “Cara Kerja Filologi.” Bahan Penataran di


Universitas Jember, 1980.

Elmahady, Muhaemin. “Islam dan Kearifan Lokal di Sulawesi Selatan


Pasca Islamisasi.” Jurnal HIKMAH 7, no. 1 (2011): 83-104.

Enre, Fachruddin Ambo dkk. Sastra Lisan Bugis. Jakarta: Pusat


Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kabudayaan, 1981.

_____. Ritumpanna Wélenrénngé: Sebuah Episode Sastra Bugis


Klasik Galigo. Jakarta: Ecole française d’Extrême-Orient,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia,
1999.

Estuningtyas, Retna Dwi. “Tarekat Khalwatiyah dan


Perkembangannya di Indonesia.” The International Journal of
Pegon:Islam Nusantara Civilization 3, no. 2 (2020): 113-129.
https://doi.org/10.51925/inc.v3i02.22.

Farid, Andi Zainal Abidin. Wajo Abad XV-XVI: Suatu Penggalian


Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan (Bandung: Alumni,
1985).
223
_____. Capita Selecta: Sejarah Sulawesi Selatan. Ujungpandang:
Hasanuddin University Press, 1999.

Fibrian, Rahmadien. “Tradisi Maccera Tasi’ sebagai Bentuk


Ungkapan Syukur Masyarakat di Daerah Pesisir Luwu Raya.”
Diakses 25 September 2021.
https://www.academia.edu/43125637/Tradisi_Maccera_Tasi_S
ebagai_Bentuk_Ungkapan_Syukur_Masyarakat_di_Daerah_Pe
sisir_Luwu_Raya.

Fikri, “Refleksi Sistem Pangngaderreng dalam Sosial Budaya Bugis-


Makassar: Analisis Putusan Pengadilan Agama.” Jurnal Al-‘Adl
9, no. 2 (Juli 2016): 107-127.
http://dx.doi.org/10.31332/aladl.v9i2.681.

Films, Dara. “KISAH DARAMATASIA Pre Wedding Clip Part 1.”


Dara Films. Diakses 1 Agustus 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=U_1ARJSqnq8&t=18s.

Gonggong, Anhar. Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot hingga


Pemberontak. Jakarta: Grasindo, 1992.

Graham, Sharyn. “Sex, Gender and Priests in South Sulawesi.” IIAS


Newsletter 29, 27 November 2002. Diakses 21 September 2021.
https://web.archive.org/web/20191023074141/https://www.iias
.asia/sites/default/files/IIAS_NL29_27.pdf.

H., Jumria, dan Muammar Muhammad Bakry. “Fikih Nazar Menurut


Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki (Studi Kasus Pelepasan
Nazar di Desa Balang Lompoa Kabupaten Jeneponto).”
Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab 1,
no. 3 (September 2020): 354-367.

Hadrawi, Muhlis. Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis. Cet.


ke-5. Makassar: Ininnawa, 2017.

Hafid, Rosdiana. “Budaya Politik Kerajaan Wajo.” Walasuji: Jurnal


Sejarah dan Budaya 7, no. 2 (2016): 505-520.
https://doi.org/10.36869/wjsb.v7i2.147.
224
Hafid, M. Yunus “Saweregading: Antara Mitos dan Sejarah.” Dalam
Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan
Antropologi, ed. Moh. Ali Fadillah dan Iwan Sumantri.
Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin dan
Institut Etnografi Indonesia, 2000.

Hafid, M. Yunus (ed.), Kerajaan Luwu (Menurut Catatan D.F. Van


Braam Morris). Terj. Ham Mappasanda. Makassar: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1992.

Haji, Raja Ali. Silsilah Melayu dan Bugis. Alih-aksara Arenawati.


Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1973.

———. Tuhfat Al-Nafis. Alih-aksara Encik Munir bin Ali. Singapura:


Malaysian Publication Ltd., 1965.

Halim, Wahyuddin. “Arung, To-Panrita dan Transformasi Otoritas


Keagamaan dan Kecendiakawanan di Sulsel.” Kawali News:
Portal Berita Online, 17 Juli 2012. Diakses 02 Oktober 2021.
https://kawaliwajo.blogspot.com/2012/07/to-panrita.html.

Hamka. “Pandangan Agama Islam terhadap Siriq.” Ceramah Seminar


Masalah Siriq di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Publikasi
Panitia Seminar, 1977.

Harimbawa, Arya “Mengapa banyak Orang Bali yang Menggunakan


Nama Depan "I" atau "Ni"? Apakah Artinya?” Diakses 12
Oktober 2021. https://id.quora.com/Mengapa-banyak-orang-
Bali-yang-menggunakan-nama-depan-I-atau-Ni-Apakah-
artinya.

Hartawan dkk. “Perubahan Sistem Struktur Bangunan Rumah Bugis


Sulawesi Selatan.” Forum Teknik: Majalah Ilmiah Teknologi
36, no. 1 (2015): 1-12.

Hendriyani, Heni. “Wawacan Murtasiyah: Sebuah Tinjauan


Filologis.” Skripsi. Bandung: Universitas Padjadjaran, 1983.
225
Huzain, Muhammad, Hadarah Rajab, dan Ismail Suardi Wekke.
Sipakatau: Konsep Etika Masyarakat Bugis. Yogyakarta:
Deepublish, 2016.

Ibrahim, Husain. “Apakah Siriq Merupakan Unsur Positif bagi


Pembangunan?” Ceramah Seminar Masalah Siriq di Sulawesi
Selatan. Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977.

Ibrahim, M. Anwar. “Kaitan Siriq dan Konsep Manusia.” Harian


Sinar Harapan. Ujung Pandang, 22 Juni 1983.

———. “Kepribadian Manusia Bugis.” Harian Sinar Harapan. Ujung


Pandang, 19 Februari 1986.

Idrus, Nurul Ilmi. “Islam, Marriage and Gender Relations in Bugis


Lontara’: A Critical Analysis of the Lontara’ Daramatasia.”
Dalam Gender and Islam in Southeast Asia: Women’s Rights
Movements, Religious Resurgence and Local Traditions, ed.
Susanne Schröter, 95-110. London-Boston: Brill, 2013.

———. “Gender Relation in an Indonesian Society: Bugis Practices


of Sexuality and Marriage. Brill, 2016. Diakses 1 September
2021. https://brill.com/view/title/32629?language=en,.

———. “‘To Take Each Other’: Bugis Practices of Gender, Sexuality


and Marriage.” Disertasi. The Australian National University,
2003. Diakses 1 September 2021. https://openresearch-
repository.anu.edu.au/bitstream/1885/47288/6/02whole.pdf.

Ilyas, Husnul Fahimah. Rekonstruksi Awal Islamisasi di Wajo. Solo:


Arti Bumi Intaran, 2020.

Iriani. Maccera' Tasi' sebagai Ritul Nelayan di Luwu. Makassar:


BPNB Makassar, 2015.

Ismir, Wahyu. “Rumah Suku Bugis Asli di Sungai Bakau; Tiga Kali
Dibongkar, Nilai Budaya Tetap Dipertahankan.”
Pontianakpost.co.id, 26 September 2020. Diakses 27 April
2021. https://pontianakpost.co.id/rumah-suku-bugis-asli-di-
sungai-bakau-tiga-kali-dibongkar-nilai-budaya-tetap-
dipertahankan/.
226
Ismail, Aco. “Baku Tikam dalam Sarung Cara Suku Bugis
Menyelesaikan Masalah.” Meja Hijau, 17 Juli 2018. Diakses 6
Desember 2020. https://www.mejahijau.com/2018/07/17/baku-
tikam-dalam-sarung-cara-suku-bugis-menyelesaikan-masalah/.

Iswary, Ery. Perempuan Makassar: Relasi Gender dalam Folklor.


Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010.

Jafar, Yusuf. “Content Analysis on Research about Improving Ability


to Write Poetry through Contextual Approach in PGSD UNG.”
Diakses 7 Juli 2020.
http://ejurnal.fip.ung.ac.id/index.php/PDG/article/viewFile/268
/262.

J, Hasse. “Kebijakan Negara terhadap Agama Lokal ‘Towani


Tolotang’ di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.” Jurnal Studi
Pemerintahan 1, no. 1 (Agustus 2010): 158-178.

———. “Dinamika Hubungan Islam dan Agama Lokal di Indonesia:


Pengalaman Towani Tolotang di Sulawesi Selatan.”
WAWASAN: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, no. 2
(2016): 179-186. https://doi.org/10.15575/jw.v1i2.744.

J, Hasse, Bernand Adeney Risakotta, dan Zainal Abidin Bagir.


“Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia: Studi atas
Persoalan Posisi Hukum Towani Tolotang Pasca Pengakuan
Agama Resmi.” Kawistara 1, no. 2 (Agustus 2011): 180–190.

Jandra, M. “Dewi Murtasiyah Profil Wanita Tama.” Laporan


Penelitian. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian
dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi),
1986/1987.

Kayana, Hyrasti. “Prosesi Pernikahan Adat Bugis.” Popbela.com, 5


Agustus 2019. Diakses 27 September 2021.
https://www.popbela.com/relationship/married/hyrasti-
kayana/prosesi-pernikahan-adat-bugis/7,.
227
KM, Afif, “Mengenal Sigajang Laleng Lipa, Tradisi 'Mematikan'
Suku Bugis untuk Menyelesaikan Masalah.” Intisari Online, 11
Mei 2019. Diakses 05 Desember 2020.
https://intisari.grid.id/read/031723052/mengenal-sigajang-
laleng-lipa-tradisi-mematikan-suku-bugis-untuk-
menyelesaikan-masalah?page=all.

Koentjaraningrat. “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional.” Dalam


Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaa, ed. Alfian. Jakarta:
PT Gramedia, 1985.

———. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1986.

———. Sejarah Teori Antropologi. I. Jakarta: UI Press, 1987.

Kusniarti, AA Seri. “Pati Brata, Ajaran Kesetiaan Istri pada Suami


dalam Kepercayaan Hindu di Bali.” Tribun-Bali.com, 29
September 2021. Diakses 15 Oktober 2021.
https://bali.tribunnews.com/2021/09/29/pati-brata-ajaran-
kesetiaan-istri-pada-suami-dalam-kepercayaan-hindu-di-bali.

Lane, M. “Introduction.” Dalam M. Lane (ed.), Introduction to


Structuralism (New York: Basic Book, 1970.

Lathief, Halilintar. Bissu: Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat


Bugis. Depok: Desantara, 2004.

Latif, Muh. Nur. “Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Naskah I


Daramatasia dan Reseptif Masyarakat Muslim di Kecamatan
Polewali Kabupaten Polewali Mamasa.” Laporan Penelitian.
Ujungpandang: Lembaga Penelitian Unhas, 1995.

Lévi-Strauss, Claude. Antropologi Struktural. Cet. ke-1. Terj. Ninik


Rochani Sjams. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Mahmudia, Mega. “Adat dan Kebudayaan Suku Bugis.” Diakses 19


September 2021.
https://www.academia.edu/7891105/Adat_dan_Kebudayaan_S
uku_Bugis.
228
Mangemba, H.D. “Sirik dalam Pandangan Orang Makassar.”
Ceramah Budaya dalam Seminar Masalah Siriq di Sulawesi
Selatan. Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977.

Mangemba, H.D. Kenallah Sulawesi Selatan. Djakarta: Timun Mas,


1998.

Mantja, Lalu. Sumbawa pada Masa Lalu (Sebuah Tinjauan Sejarah).


Surabaya: Rinta, 1984.

Mappangara, Suriadi, dan Irwan Abbas. Sejarah Islam di Sulawesi


Selatan. Makassar: Biro KAPP Setda Propinsi Sulawesi Selatan
dan Lamacca Perss, 2003.

Marzuki, Laica. Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-


Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press, 1995.

Mattulada. “Sirik dan Pembinaan Kebudayaan.” Ceramah Budaya


dalam Seminar Masalah Siriq di Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977.

———. “Islam di Sulawesi Selatan.” Dalam Agama dan Perubahan


Sosial, ed. Taufik Abdullah. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial,
1983.

———. Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik


Orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press,
1995.

———. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung


Pandang: Hasanuddin University Press, 1990.

MD, M. Ide Said. Kamus Bahasa Bugis-Indonesia. Jakarta: Pusat


Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977.

MG., A. Moein. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar:


Kualleangnga Tallanga Na-Toalia, Sirik Na Pacce. Ujung
Pandang: Yayasan Makassar Press, 1994.
229
Mineslima, Iwan. “I Daramatasia | Bugis | DrawStory | Cerita
Bergambar.” Iwan Mineslima. Diakses 1 Agustus 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=YJXJaESOtLY&t=55s.

Mizwar, Dedy. “Film Badik Titipan Ayah” SCTV, 02 Oktober 2010.


Diakses tanggal 1 September 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=nUdsoBXv2-Y,.

Mudzhar, H.M. Atho. “Masjid dan Bakul Keramat: Konflik dan


Integrasi dalam Maysarakat Bugis Amparita.” Dalam
Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, ed. H.M.
Atho Mudzhar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Muhannis. Karampuang dan bunga Rampai Sinjai. Yogyakarta:


Ombak, 2009.

Muhammadiah, Mas’ud. “Teori Kajian Filologi Sastra: Perpektif


Fachruddin Ambo Enre.” dalam Teori Kajian Sastra Kritis:
Perspektif Tokoh Sastra di Indonesia, ed. Suwardi Endraswara.
Yogyakarta: Textium, 2021.

MS., Basri. Metodologi Penelitian Sejarah, Teori dan Praktek.


Jakarta: Restu Agung, 2006.

Mustamin, Kamaruddin. “Makna Simbolis dalam Tradisi Maccera'


Tappareng di Danau Tempe Kabupaten Wajo.” Al-Ulum 16, no.
1 (Juni 2016): 246-264. https://doi.org/10.30603/au.v16i1.28.

Mustari. “Hikayat Daramatasia dalam Tiga Versi Teks: Melayu, Jawa,


dan Bugis (Analisis Unsur Cerita).” Makalah dipresentasikan
pada Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI)
XXIII PTN dan PTS Se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta, di Kampus Universitas Ahmad Dahlan, 09 s.d. 10
Oktober 2001.

———. “I Daramatasia: Suntingan Teks dan Analisis Transformasi.”


Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM, 2005.

Najemain. “Jejak Budaya Luwu di Pesisir Barat Sulawesi Tenggara.”


Dalam Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan
Antropologi, ed. Moh. Ali Fadillah dan Iwan Sumantri.
230
Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin dan
Institut Etnografi Indonesia, 2000.

Nasruddin, dkk. “Gender Aspects in the Architecture of Karampuang


Traditional House in Sinjai Regency, South Sulawesi.” Diakses
25 September 2021.
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/4e7c82297ab2b3b56bf710
3e6c9b2934.pdf.

Nasrullah, Andi. “Tradisi Upacara Adat Mappogau Hanua


Karampuang di Kabupaten Sinjai (Studi Kebudayaan Islam).”
Skripsi. Makassar: Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Alauddin, 2016. Diakses tanggal 25 September 2021.
http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/921/1/Andi%20Nasrullah.pdf.

Nhiaa. “Lagu Bugis Tradisional - Dara Matasia Cover by Nhiaa Feat.”


Diakses 1 Agustus 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=t9gsVSDJFcM,.

Noorduyn, Jacob. “De Islamisering van Makassar.” BKI, 112, 1956,


247-266 (terima kasih kepada Muhammad Salim yang
membantu penulis memahami tulisan Jacob Noorduyn).

Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques


Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.

Notosudirjo, Suwardi, Pengetahuan Bahasa Indonesia: Etimologi.


Jakarta: Mutiara, 1970.

Nuryan, Amril dan Andi Syahwal Mattuju. “Film Silariang: Cinta


yang (Tak) Direstui (2018).” Cinema Indonesia. Diakses 5
Desember 2020.
https://www.youtube.com/watch?v=WXsd85t0qoA.

Nuryan, Amril dan Halim Gani Safia. “Film Bugis Makassar - Uang
Panai’.” Sineas Bugis. Diakses 16 Oktober 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=VXlA-95sfXo.
231
Nyompa, M. Johan, dkk. Inventarisasi Bentuk Folklore Lisan Orang
Bugis di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Universitas
Hasanuddin, 1980.

Pallawalino, Sapriadi. “Jejak Sejarah Bola Soba, Rumah Adat


Kerajaan Bone yang Terbakar.” kumparan.com, 20 Maret 2021.
Diakses 27 April 2021. https://kumparan.com/adi-
pallawalino/jejak-sejarah-bola-soba-rumah-adat-kerajaan-
bone-yang-terbakar-1vOJqmyPwsL

Pas, Octavio. Lévi-Strauss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta:


LkiS, 1995.

Pelras, Christian. “Religion, Tradition and the Dynamics of


Islamization in South Sulawesi.” Indonesia, no. 57 (April 1993):
133-154.

———. Manusia Bugis. Terj. Abdul Rahman Abu Hasriadi dan


Nurhady Sirimorok. Jakarta: Forom Jakarta-Paris, École
françiase d’Extrême-Orient, 2006.

Penyusun, Tim. Daftar Catalog Rol 1-82. Ujungpandang: Unhas dan


The Ford Fondation, 1994.

Plus, Komando. “Cemme Safareng, Tradisi Buang Sial Warga Tellu


Limpoe.” Komando, Tuntas Mengungkap Kasus, 09 November
2018. Diakses 29 November 2020.
http://www.komandoplus.com/2018/11/cemme-safareng-
tradisi-buang-sial-warga.html.

Pramesti, Olivia Lewi. “Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian
Terpinggirkan.” National Geographic Indonesia, 10 Juli 2012.
Diakses 22 Agustus 2016.
https://nationalgeographic.grid.id/read/13282571/bissu-
pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan?page=all.

Propp, Vladimir Jakovlevic. Morfologi Cerita Rakyat. Terj. Noriah


Taslim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia, 1987.
232
Rahardjo, Mudjia. “Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif.” uin-
malang.ac.id, 15 Oktober 2010. Diakses 30 Januari 2020.
https://www.uin-malang.ac.id/r/101001/triangulasi-dalam-
penelitian-kualitatif.html

Rahardjo, Christianto. “Serat Murtasiyah: Sebuah Telaah Filologis”.


Tesis. Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 1995.

Rahim, A Rahman. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis.


Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011.

Rahma, Nur, Hajra Yansa, dan Hamsir. “Tinjauan Sosiokultural


Makna Filosofi Tradisi Upacara Adat Maccera Manurung
sebagai Aset Budaya Bangsa yang Perlu Dilestarikan (Desa
Kaluppini Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan).” Jurnal
PENA 3, no. 1 (2016): 428-440.

Rahman, Darmawan Mas’ud. “Pengertian, Perkembangan Siriq pada


Suku Mandar.” Makalah dalam Seminar Masalah Siriq di
Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar,
1977.

Rahman, Nurhayati. Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La


Galigo (Episode Pelayaran Saweregading ke Tanah Cina:
Perspektif Filologi dan Semiotik). Makassar: La Galigo Press,
2006.

Rahman, Nurhayati. “Episode Meongpalo Bolongnge dalam Naskah


La Galigo: Kajian Struktur Mitologis Karya Sastra Bugis
Klasik.” Tesis. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD, 1990.

———. PAU-PAUNNA Indale Patara: Dari Hindu India, Islamisasi


Melayu, sampai ke Sufisme Bugis. Makassar: La Galigo Press
Makassar, 2014.

Rahma, Rahmawati. “Musu’ Selleng dan Islamisasi dalam Peta Politik


Islam di Kerajaan Bone.” Rihlah Jurnal Sejarah dan
Kebudayaan 6, no. 1 (2018): 132-140.
https://doi.org/10.24252/rihlah.v6i1.5536.
233
Ramlee, P. “Film Musang Berjanggut” (Singapura: Malay Film
Production, 1960). Diakses 02 Oktober 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=RHmdr4xVfHk,.

Rasyid, A. “Dara Matasia - Nurdin Taqwa (cipt. A. Rasyid) Losquin


Bugis | Bugis Tempo Doeloe, Kecaping Bugis Dulu,” Audio
MP3. Diakses 1 Juni 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=jfL2nKdNetM; Diakses 1
Agustus 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=JrZRmHPpmU0.

Redaksi, Tim. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. ke-3. Cet. ke-3
(Jakarta: Balai Pustaka, 2003), entri siri’.

Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi. “Ziarah Makam Syekh Yusuf


Al-Makassari di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.”
Pangadereng 5, no. 1 (Juni 2019): 64-74.
https://doi.org/10.36869/.v5i1.20.

Ricoeur, Paul. Hermeneutics & The Human Sciences. Cambridge:


Cambridge University Press, 1984.

Rohmatin, Fatkhu. “Dekonstruksi Wacana Patriarki dan


Kebungkaman Perempuan dalam Manuskrip Hikayat Darma
Tasiyah.” Jurnal Jumantara 10, no. 2 (2019): 149-162.

Rudhi. “Persepsi Masyarakat tentang Maccera Aqorang (mecr akor)


di Desa Barakkae Kec. Lamuru Kab. Bone.” Sulesana 12, no.
1 (2018): 76-98.

Rustam, Ahmad Sultra. Pola Komunikasi Orang Bugis: Kompromi


antara Islam dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
IAIN Pare-Pare, 2018.

Ruwaidah. “Makna Badik bagi Masyarakat Suku Bugis (Studi di


Kelurahan Pulau Kijang, Kecamatan Reteh, Kabupaten
Indragiri Hilir.” JOM FISIP 5, no. 1 (April 2018): 1-14.

Sabiq, Muhmmad. “Nilai-Nilai Sara’ dalam Sistem Pangadêrêng pada


Prosesi Madduta Masyarakat Bugis Bone Perspektif ‘Urf.”
234
Tesis. Malang: Pascasarjana UIN Maulana Malaik Ibrahim,
2017.

Said, Muh. “Peran Bissu Pada Masyarakat Bugis.” Makalah


dipresentasikan di Seminar Nasional, “Pendidikan Ilmu-Ilmu
Sosial Membentuk Karakter Bangsa dalam Rangka Daya Saing
Global,” Kerja sama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial
Indonesia, Grand Clarion Hotel, Makassar, 29 Oktober 2016.
Diakses 21 September 2021. https://ojs.unm.ac.id/PSN-
HSIS/article/download/2731/1470,.

Salahuddin, “Siri’ sebagai Nilai Luhur Budaya Masyarakat Bugis:


Pengertian dan Penerapannya.” tidak dipublikasikan.
Ujungpandang: 1984.

Salina, Zainol, Azharudin Mohamed Dali, dan Mardiana Nordin.


“Pemerintahan Kerajaan Bone Abad Ke-14 Sehingga Abad Ke-
19.” Sejarah: Journal of History Department, University of
Malaya 29, no. 2 (2020): 1-22.

Salombe, C. “Pengertian, Perkembangan Siriq pada Suku Toraja.”


Makalah dalam Seminar Masalah Siriq di Sulawesi Selatan.
Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977.

Sewang, Ahmad M. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai


Abad XVII). Cet. ke-2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Shely, Errington. Siriq, Darah dan Kekuasaan Politik di dalam


Kerajaan Luwu’ Zaman Dulu. Ujung Pandang: Bingkisan
Budaya Sulawesi Selatan, 1983.

Sidin, Nor, dkk. Astrologi (Kitab Ramalan) Bugis Makassar.


Makassar: Pakalawaki Penerbitan dan Percetakan, 2020.

Side, La. “Pengertian, Perkembangan Sirik Suku Toraja.” Makalah


referensi dalam Seminar Masalah Siriq di Sulawesi Selatan.
Ujung Pandang: Publikasi Panitia Seminar, 1977.

SIL. Bahasa-Bahasa di Indonesia (Language of Indonesia). Ed. ke-2.


Jakarta: SIL International Cabang Indonesia, 2006.
235
Sinjai, Situs Resmi Pemerintah Kabupaten. “Sejarah Ritual
Karampuang: Sebuah Kajian House of Spirit.” Diakses 17 April
2017. www.sinjaikab.go.id.

Sitorus, Santi. “Sinopsis Tarung Sarung, Cinta dan Asa si Anak


Bugis.” Tagar.id, 22 Februari 2020. Diakses 6 Desember 2020.
https://www.tagar.id/sinopsis-tarung-sarung-cinta-dan-asa-si-
anak-bugis

Smith, Margaret. Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan.


Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

Soehadha, Moh. “Teori Antropologi Hermeneutik C. Geertz dalam


Studi Agama,” dalam Fakta dan Tanda Agama: Suatu Tinjauan
Sosio-Antropologi. Yogyakarta: FUPI UIN Suka Bekerjasama
dengan Diandra Pustaka Indonesia, 2014.

Sperber, Dan, “Claude Levi-Strauss”. Dalam Strukturalisem Post


Strukturalisme: Dari Levi-Strauss sampai Derrida, John
Sturrock (ed.). Terj. Muhammad Nahar. Surabaya: Jawa Pos
Press, 2004.

Sugno, Dendy (Penanggung Jawab). Bahasa dan Peta Bahasa


Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008.

Suliyati, Titiek. “Bissu: Keistimewaan Gender dalam Tradisi Bugis.”


Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi 2, no. 1
(Desember 2018): 52-61.
https://doi.org/10.14710/endogami.2.1.52-61

Suryanti, Ihsan MZ., dan ST. Rahmah. “Sejarah Diaspora Suku Bugis-
Makassar di Kalimantan Tengah.” Jurnal Rihlah 8, no. 2 (2020):
100-112.

Syarif dkk. “Ritual Proses Konstruksi Rumah Tradisional Bugis di


Sulawesi Selatan.” WALASUJI 9, no. 1 (Juni 2018): 53-72.
236
Muh. Tang, “Dara’matasia.” Ruslan Rian. Diakses 1 Agustus 2021,
https://www.youtube.com/watch?v=4AyOGvgQ9M4&t=16s,.

Taum, Yoseph Yapi “Teori-Teori Analisis Sastra Lisan:


Strukturalisme Levi-Strauss.” Academia.edu. Diakses tanggal
09 Oktober 2021.
https://www.academia.edu/3478000/TEORI_TEORI_ANALIS
IS_SASTRA_LISAN_STRUKTURALISME_LEVI_STRAUS
S.

T., Nursyafitri. “Kajian Estetika John Fiske pada Film Badik Titipan
Ayah Karya Dedi Setiadi.” ISI Surakarta Embrio Institut Seni
Budaya Indonesia Sulawesi Selatan (ISBI). Diakses 27
September 2021. https://www.academia.edu/28577663.

Tosessungriu, La Oddang “Kurru Sumangeq.” Palontaraq: Bertindak


Lokal Berpikir Global, 4 November 2019. Diakses 4 Desember
2020. https://palontaraq.id/2019/11/04/kurru-sumange/.

Triadi, Febi. “Bissu and Toboto Domain: Lendskap, Islam, dan


Negosiasi,” dalam ETNOSIA: Jufrnal Etnografi Indonesia, Vol.
4, Edisi 1, Juni 2019, 73-90.

Usman, Ujddi. “Prosesi Pernikahan adat Bugis.” 10 November 2014.


Diakses 27 September 2021.
http://ilmubudaya.unhas.ac.id/ilmusejarah/id/?p=&title=Proses
i-Pernikahan-adat-Bugis.

Wijanarko, Fajar. “Gender dan Domestikasi Perempuan (Pendekatan


Kodikologi Visual Naskah Dewi Mutasiyah),” Buana Gender:
Jurnal Studi Gender dan Anak 2, no. 2 (Juli-Desember 2017):
121-134. https://doi.org/10.22515/bg.v2i2.987.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan


Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qura’an, 1977.
237
Yuspati, Miftah H. “Begini Jawaban Rabiah Al-Adawiyah Ketika
Dilamar Hasan Al-Basri.” Kalam Sindonews, 05 Oktober 2021.
Diakses 16 Oktober 2021.
https://kalam.sindonews.com/read/560140/70/begini-jawaban-
rabiah-al-adawiyah-ketika-dilamar-hasan-al-basri-
1633435804.

Yusuf, Nurdin, dkk. Mengenal Sastra Bugis (Modul Universitas


Terbuka). Ujung Pandang: Tp., 1996.

______. Pau-Pau Rikadong: Suatu Tradisi Lisan Sulawesi Selatan


Sebagai Sarana Pendidikan dan Hiburan. Makassar: Pustaka
Refleksi, 2015.

Zein, Badudu-. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 1996.
238
239
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1
Salinan PPID yang tersimpan di Perpustakaan ANRI Cabang Makassar,
sudah dimirofilmkan dengan nomor ROLL.36 NO.19, 10 September
2001.
240
Lampiran 2

Naskah PPID Bertuliskan Huruf Serang milik Kanijah kelahiran 1923 di


Desa Mosso, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polmas
241
Lampiran 3

Naskah PPID Koleksi Ramli Tinggal di Tanjungpinang


242
Lampiran 4

Konten Youtube tentang Dongeng I Daramatasia

Sumber: Iwan Mineslima, I DARAMATASIA | Bugis | DrawStory |


Cerita Bergambar, 05 Februari 2021.
https://www.youtube.com/watch?v=YJXJaESOtLY&t=80s, diakses
tanggal 04 Juli 2021.

Sumber: Lapatau Archery Bone, LAGU DAERAH BUGIS


DARAMATASIA, 19 Januari 2018,
https://www.youtube.com/watch?v=7BSyNymwX8g, diakses tanggal 04
Desember 2021.
243
Lampiran 5

Sertifikat Proofreading
244
Lampiran 6
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
Nama : MUSTARI (Drs., M.Hum.)
Tempat/tgl. lahir : Berakit, Tanjungpinang, Kepulauan Riau,16
November 1960.
NIP : 19601116 1996 03 1 001
Pangkat/Gol. : IV/A
Jabatan : Lektor Kepala
Alamat Rumah : Jln. Wonosari KM11, Sitimulyo, Piyungan,
Bantul, DIY
Alamat Kantor : Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan
Kalijaga Jln. Laksda Adisucipto Yogyakarta.
Email : mustari@uin-suka.ac.id
No. Telp/HP : 081 2269 3096
Nama Ayah : Moh. Saidek bin Kasaik
Nama Ibu : Hj. Fatimah binti Sultan
Nama Istri : Dra. Umi Kulsum
NamaAnak : 1. Oviusti Lu’lu’ Qurratu’ayny Mappuji
2. Acok Taufiq Iko Pidalleri

B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. Madrash Ibtidaiyyah Negeri Berakit, 1974
b. PGAN 4 TH Tanjungpinang, 1979
c. PGAN Tanjungpinang, 1981
d. Sarjana Muda Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1988
e. Sarjana S1 Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1991.
f. Sarjana S2 Sastra Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta,
2005.
245
2. Pendidikan Non-Formal (jika ada)
a. Pendidikan dan Pelatihan Penelitian Naskah yang
diselenggarkan oleh Pusat Penelitian dan Pelatihan Tenaga
Teknis Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan Departremen Agama di Jakarta, 15 s.d. 22 Mei
2005.
b. Short Course on Research Management Planing &
Implamantation di NTU, Singapore. 13-24 November 2006
c. Pelatihan Nasional Penulisan Naskah Buku Best Seller yang
diselenggarakan oleh Writing Leadership Center (WLC) di
Gedung Pertemuan Erlangga Yogyakarta, 13, 20, 27 Maret &
03 April 2010.
d. Peningkatan Mutu Tenaga Teknis Kebahasaan dan Kesastraan
di lingkungan Badan Bahasa dan Perguruan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Balai Bahasa
Provinsi DIY, 08-10 Aptil 2015.
e. Pelatihan Penyembelihan Hewan Secara Syar’I dan
Penanganan Daging Qurban yang Hedienis oleh Hala Center
Fakultas Peternakan UGM, 15 Agustus 2017.
f. Pendidikan Akting di Lembaga Akting “Sitoresmi
Prabuningrat” (LASP) Angkatan Pertama (I) Tahun 2018.
g. Pelatihan Qurban Sehat dan Syar’I oleh Takmir Maskam
UGM dan Jaringan Aksi Qurban Sehat Indonesia (AQSI), 15-
16 Agustus 2018.

3. Riwayat Pekerjaan
1. Junalist 1991-1995
2. Peneliti Naskah Kuno pada Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Tanjungpinang, 1993-1995.
3. Tenaga Pengajar (CPNS) di Jurusan Sastra Arab IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 26 Februari 1998.
4. Asisten Ahli Madya PNS (Dosen) di Prodi Bahasa dan Sastra
Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga,
01-10 1998.
5. Asisten Ahli PNS (Dosen) di Prodi Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 01
April 2003.
246
6. Lektor PNS PNS (Dosen) di Prodi Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 01
Oktober 2007.
7. Lektor Kepala PNS (Dosen) di Prodi Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 01 Mei
2010.

D. Prestasi/Penghargaan
1. Penghargaan Pemkab Karimun Kepri, 2004
2. Satyalencana Karya Satya 10 Tahun, 2007
3. Satyalencana Karya Satya 20 Tahun, 2020

E. Pengalaman Organisasi
1. Ketua Umum HMI Komfak Adab IAIN Sunan Kalijaga 1986-
1987.
2. Bendahara Umum HMI Cabang Yogyakarta Timur 1988-1989.
3. Ketua Umum Kopma IAIN Sunan Kalijaga 1986-1988.
4. Ketua Badan Pengawas Kopma IAIN Sunan Kalijaga 1988-1989.
5. Seksi Dakwah Keluarga Masyarakat Provinsi Kepulauan Riau-
Yogyakarta, 2010-sekarang.
6. Seksi Dakwah PRM Sitimulyo Timur, Piyungan, Bantul 2011-
sekarang.

F. Minat Keilmuan
1. Sastra dan Ilmu Sastra
2. Filologi

G. Karya Ilmiah
1. Buku
a. Hikayat Raja Handaq, tulisan Bersama Sindu Galba, (Jakarta:
Proyck Pcngkajian dan Pcmbinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat,
Dircktorat Scjarah dan Nilai Tradisional, Dircktorat Jcndcral
Kcbudayaan, Dcpartcmcn Pcndidikan dan Kcbudayaan,
1995).
b. Beragama Secara Indah: Menjelajahi Naskah Melayu Syair
Siti Shiyanah Karya Engku Haji Ali, tuisan Bersama Musa dan
247
Ahmad Pattiroy, terbitan Mitra Media Pustaka, Yogyakarta,
2009.
c. “Madihin: Satu Ragam Tradisi Lisan Kontemporer Banjar”
dalam Buku Bunga Rampai, Islam dan Budaya: Menyambut
Penganugrahan Doktor Honoris Kausa K.H.A. Mustofa Bisri,
terbitan oleh Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga bekerjasama
dengan Penerbit Belukar, 2009.
d. “Ucuk Sekolah Lagi” dan “Bisma Belajar Merokok” dalam
Kumpulan Cerpen: Lembayung Pagi, terbitan Adab Press,
Yogyakarta, 2011.
e. Lelaki Melawan Kemarau, terbitan Mahameru, Yogyakarta,
2012.
f. “Marriage Guide in Syair Suluh Pegawai Text by Raja Ali
Haji: Intertextual Review”, dalam Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan, Balai Bahasa
Yogyakarta, 24-25 Agustus 2016.
g. “Syair Lebai Guntur (Kawin Cina Buta) Karya Raja Ali Haji
dalam Konteks Budaya Melayu dan Ajaran Islam” dalam
Prosiding Seminar Antara Bangsa Linguistik dan
Pembudayaan Bahasa Melayu ke-10: Bahasa dan Sastera
Melayu Warisan Budaya Bangsa, terbitan Fakulti Bahasa
Moden dan Komunikasi, Universiti Putra Malaysia, Hotel
Perdana, Kota Bahru, Kelantan, 06-07 Februari 2018.
h. “Orang Kaya Terkejut” dalam Kisah Para Munshi: Antologi
Cerpen Agupenda, terbitan Kanaka Media, Surabaya, 2020.
i. “Merdeka Kita’, “Karantina”, “Batu Junjung” dalam Antologi
Puisi: Memeluk Semesta, terbitan Lentera Kata, Semarang,
2020.
j. “Kapokmu Kapan?”, dalam Menemukan Cahaya di
Kegelapan dan Cerita Inspiratif Lainnya, terbitan Diomedia,
Kartasura-Sukoharjo, Januari 2021.
k. “Kulo Trésno Marang Kowé dalam Memoar Menjadi
Mahasiswa Baru: Kisah Kikuk Awal Kuliah, terbitan
Diomedia, Kartasura-Sukoharjo, Juni 2021.
l. “Teori Kajian Relegi Sastra: Perspektif HAMKA (Haji Abdul
Malik Karim Amrullah” dalam Kumpulan Tulisan Teori
248
Kajian Sastra Kritis: Perspektif Tokoh Sastra di Indonesia,
terbitan Textium, Yogyakarta, 2021.

2. Artikel
a. Opini di Media Massa Populer
i. “Menikmati ‘Saur Sepuh’ Bersembunyi ke Masa
Silam”, Koran Kedaulatan Rakyat (KR), 22 Juni 1986.
ii. “Bicara tentang Koperasi Mahasiswa, Koran
Kedaulatan Rakyat (KR), 25 Juli 1987.
iii. “Siti Nurbaya dan Rasa Keadilan Kita”, Koran
Kedaulatan Rakyat (KR), 19 Juni 2005.
b. Artikel di Jurnal Ilmiah
i. “Raja Ali Haji dan Pemikiran Kebahasaannya: Studi
Terhadap Kitab Bustan al-Katibin Li as-Subyan al-
Muta’allimin”, Al-Jami’ah, No. 61/1998, 181-198,
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/299/1/11%20-
%20MUSTARI%20-
%20RAJA%20ALI%20HAJI%20DAN%20PEMIKIR
AN%20KEBAHASAANNYA%20STUDI%20TERH
ADAP%20KITAB%20BUSTAN%20AL-
KATIBIN%20LI%20AS-SUBYAN%20AL-
MUTA%27ALLIMIN.pdf.
ii. “Kitāb Bustān al-Kātibīn Li Ash-Shibyān al-
Muta’allimīn: Perbandingan Dua Versi Naskah”,
ThaqafiyyāT: Jurnal Bahasa, Peradaban & Informasi
Islam, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2001, 65-79.
iii. “Sastra dan Pornografi: Kajian atas Novel Ronggeng
Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”, ThaqafiyyāT:
Jurnal Bahasa, Peradaban & Informasi Islam, Vol. 7,
No.2, Juli-Desember 2006, 111-127.
iv. “Gagasan Jǘgen Habermas dalam Empat Puisi Mustofa
Bisri”, Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 7, No. 2, April
2013, 233-246.
v. “Erotic Narration of Syair Lebai Guntur”, ELS Journal
on Interdisciplinary Studies in Humanities, Vol.1, Issue
3, 2018, 309-320, https://core.ac.uk/reader/230434042.
249
vi. “Memahami Pemetaan Epistimlogi Islam Muhammad
‘Abid Al-Jabiry”, dalam Thaqafiyyat: Jurnal Ilmu
Budaya, Vol. 11, No.2, Juli-Desember 2010, 245-279.
c. Cerpen di Media Massa Populer
i. “Ucuk Sekolah Lagi”, Koran Sindo, 06 Juni 2010.
ii. “Bisma Belajar Merokok, Koran Sindo, 04 Juli 2010

3. Penelitian
a. “Hikayat Daramatasia dalam Tiga Versi Teks: Melayu, Jawa,
dan Bugis (Analisis Unsur Cerita)”, makalah pada Pertemuan
Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXIII PTN dan
PTS Se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, di
Kampus Universitas Ahmad Dahlan, 09 s.d. 10 Oktober 2001.
b. “Sitti Rabiyatul Awaliyah Analisis Stutukturalisme Genetik:
Upaya Memahami Konsep Berfikir Islam Bugis dalam
Menyikapi Perlawanan Bertema Gender” (Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pelatihan Tenaga Teknis Keagamaan Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departremen Agama,
2004).
c. “I Daramatasia: Suntingan Teks dan Analisis Transformasi”,
Tesis (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM, 2005).

Yogyakarta, 16 November 2021

Drs. Mustari, M.Hum.


250

Anda mungkin juga menyukai