Anda di halaman 1dari 11

Tafsir Nagarakretagama: Kesetiaan

Pujangga Raja dalam Pujasastra

Fajar Rintoro
fajarrintoro.2018@student.uny.ac.id
Ilmu Sejarah-B 2018
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstrak

Mpu Prapanca adalah seorang tokoh pujangga yang setia kepada Raja Hayam
Wuruk. Kesetiaan itulah yang mendasari penulisan Kitab Negarakretagama. Mpu
Prapanca menulis Kitab Negarakretagama setelah beliau pensiun. Isi dari Kitab
Negarakretagama lebih banyak mengandung pujian-pujian terhadap keagungan
Raja Hayam Wuruk. Karena didasari oleh kesetiaan kepada Raja Hayam Wuruk,
maka ada beberapa peristiwa yang dianggap sebagai kegagalan raja yang tidak
disampaikan oleh Mpu Prapanca seperti pada peristiwa Perang Bubat. Namun
terlepas dari hal tersebut, masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk masih disebut
sebagai masa kejayaan dari Majapahit, dan Kitab Negarakretagama menjadi
sumber sejarah yang amat berharga sekaligus dipercaya sebagai sumber sejarah
peradaban Majapahit. Dalam artikel ini penulis ingin menerangkan mengenai isi
dari Kitab Negarakretagama secara ringkas pada setiap bagian.

Pendahuluan

Kitab Nagarakretagama atau disebut juga dengan Kakawin


Nagarakretagama memiliki judul asli Desawarnana, kitab yang ditulis oleh Mpu
Prapanca ini merupakan sumber sejarah yang begitu dipercaya. Kitab
Nagarakretagama ini ditulis pada masa kerajaan Majapahit masih berdiri di
bawah pemerintahan Sri Rajasanagara atau dikenal juga dengan nama Hayam
Wuruk. Kitab ini menceritakan banyak hal-hal yang penting yang diantaranya
mengenai silsilah raja-raja Majapahit, keadaan kota Raja, Candi Makam Raja,
upacara Sradha, wilayah Kerajaan Majapahit, negara-ngara bawahan Majapathit
dan hal-hal lainnya.

Dari uraian kitab Nagarakretagama inilah kita bisa mengetahui asal-usul


Kerajaan Majapahit dari pandangan sosial ekonomi, sosial budaya, politik luar
negeri dan dari sisi lainnya secara lebih mendalam. Penelitian mengenai
keberadaan Majapahit ini bisa juga ditunjang pada prasasti-prasasti pendukung
diantaranya prasasti Bendasari, prasasti Kudadu, prasasti Waringin Pitu, prasasti
Trawulan dan prasasti-prasasti lainnya.

Dalam artikel singkat ini penulis akan menjelaskan secara singkat tentang
bagian-bagian dan isi dari Kitab Nagarakretagama. Bagian dalam Kitab
Negarakretagama disebut sebagai pupuh. Kitab Negarakretagama terdiri atas 98
pupuh.

Metode Penelitian

Dalam penulisan artikel ini penulis menggunakan metode penelitian


sejarah. Metode penelitian sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara
kritis rekaman-rekaman dan peninggalan masa lalu1. Artikel dengan judul
“Tafsir Nagarakretagama: Kesetiaan Pujangga Raja dalam Pujasastra” ini
menggunakan metode sejarah yang mempunyai empat tahap, yaitu: heuristik,
kritik sumber atau verifikasi, interpretasi, dan penulisan atau historigrafi.

a. Pengumpulan sumber (Heuristik)


Sumber yang dalam sejarah disebut sebagai data sejarah harus sesuai
dengan peristiwa maupun kisah sejarah yang akan ditulis. Sumber menurut
bahannya dapat dibagi menjadi dua: tertulis dan tidak tertulis, atau dokumen dan
artifact (artefact)2. Sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah dibagi
menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber skunder. Sumber primer atau

1
Louis Gottschalk, Uderstanding History: A Primer Historical Method, a.b. Nugroho
Notosusanto, Mengerti sejarah, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 29.
2
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), hlm. 95.
sumber asli dapat juga disebut arsip atau manuskrip3. Sumber sekunder adalah
kesaksian seseorang yang bukan merupakan saksi pandangan mata, yakni
seseorang yang tidak hadir pada waktu terjadinya peristiwa tersebut4. Selain itu
sumber-sumber sekunder berupa buku, jurnal, laporan penelitian dan lainnya yang
tentunya sesuai dengan yang akan dibahas.
b. Kritik Sumber (Verifikasi)
Tahap kritik sumber di sini, sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan akan
diuji keabsahannya untuk dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Kritik sumber
terdiri dari dua tahap, yaitu kritik ekstern dan kritik intern5.
c. Interpretasi
Interpretasi adalah penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber yang
telah mengalami verifikasi terlebih dulu. Menurut Kuntowijoyo, interpretasi
sering dianggap sebagai faktor utama dari subjektivitas sejarah. Akan tetapi tanpa
adanya interpretasi, data-data tidak akan dapat berbicara sendiri. Seorang
sejarawan harus mampu menafsirkan data yang dimilikinya agar peristiwa sejarah
dapat dipahami oleh pembaca6.
d. Penulisan (Historiografi)
Penulisan merupakan tahap terakhir dalam langkah penulisan sejarah. Tahap
ini adalah penyampaian sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu karya sejarah.
Pada tahap ini berisi penyusunan data-data yang ada sekaligus penafsiran seorang
sejarawan. Hasil penelitian diwujudkan dalam bentuk tulisan sejarah. Penulisan
artikel ini menggunakan model penulisan sejarah analitis. Sejarah analitis
merupakan sejarah yang berpusat pada pokok permasalahan. Permasalahan-
permasalahan tersebut yang kemudian akan diuraikan secara sistematis7.

3
Louis Gottschalk, op.cit., hlm. 44.
4
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1982), hlm. 35.
5
Ibid., hlm 100-101.
6
Ibid., hlm. 101-103.
7
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 9.
Pembahasan
Susunan Nagarakretagama

Pujasastra Nagarakrertagama terdiri dari 98 pupuh. Dilihat dari sudut


isinya pembagian pupuh-pupuh itu dilakukan dengan sangat rapi. Kita perhatikan
bagaimana menurut isinya pupuh 1 sampai pupuh 7 menguraikan raja dan
keluarganya. Pupuh 7-16 menguraikan kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17
sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang. Pupuh 40-49
menguraikan silsilah raja Hayam Wuruk. 5 pupuh yang pertama yakni buku 40-44
tentang sejarah raja-raja Singasari. Pupuh 45-49 tentang sejarah raja-raja
Majapahit dari Kertajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Tepat pada pupuh
itu uraian Dang Acarnya Ratnamsa berhenti. Itulah bagian pertama
Nagarakretagama jumlahnya 49 pupuh tepat separuh dari keseluruhan buku
Negarakertagama. Bagan pupuh bagian pertama itu seperti berikut:

7 pupuh, tentang raja dan keluarganya

9 pupuh, tentang kota dan wilayah Majapahit

23 pupuh, tentang perjalanan keliling ke Lumajang

10 pupuh, tentang silsilah raja Majapahit

Kita perhatikan sekarang bagian kedua yang juga terdiri dari 49 pupuh.
Pupuh 50-54 menguraikan Raja berburu di hutan Nandawa. Pupuh 55-59
menguraikan perjalanan pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleh-oleh
yang dibawa pulang dari berbagai daerah yang dikunjungi. Pupuh 61-70
menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhur nya berupa zarah ke
makam dan pesta sradha. Bagian itu disambung dengan 2 Pupuh tentang kematian
Patih Gajah Mada yakni Pupuh 71 dan 72. Mulai dengan pupuh 73 sampai pupuh
82 menguraikan bangunan-bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Dari
Pupuh 83-91 terdapat uraian tentang upacara berkala yang berulang kembali
setiap tahunnya yakni musyawarah, kirap, hingga pesta tahunan. Pupuh 92-98
merupakan Pupuh pujangga yang memuji keluhuran baginda. Pupuh 92-94
tentang pujian para pujangga, termasuk pujian Pujangga Prapanca. Pupuh 95-98
khusus menguraikan nasib Pujangga Prapanca. Bagan pupuh bagian kedua itu
seperti berikut:

10 pupuh, 5 tentang perburuan, 5 tentang perjalanan pulang

13 pupuh, 1 oleh-oleh, 10 tentang Perhatian Kepada leluhur, 2 tentang


Gadjah Mada

10 pupuh tentang bangunan-bangunan suci di Jawa

9 Pupuh, tentang upacara berkala

7 Pupuh, tentang pujangga pemuja raja.

Demikianlah susunan bagian kedua itu berbalikan dengan susunan bagian


pertama. Mungkin sekali di belakang susunan yang demikian tersembunyi maksud
tertentu. Hal itu perlu dihubungkan dengan perbaikan bacaan matra Pupuh 97.
Mungkin sekali Prapanca mengharapkan agar sang prabu suka menempatkan
kembali sang pujangga dalam kedudukannya sebagai dharmmadyaksa kasogatan,
setelah membaca pujasastra Nagarakretagama. Dalam pupuh 94 Prapanca berkata
secara tegas bahwa ia masih tetap setia dan menaruh cinta bakti kepada baginda.
Ia mengharapkan agar baginda ingat kepadanya. Demikianlah kiranya tafsir inti
dari pujasastra Nagarakretagama yang sesuai dengan maksud penggubahnya.

Isi singkat Nagarakretagama

1. Dalam pupuh 1, Prapanca memuji keagungan Raja Sri Rajasanagara,


memandang baginda sebagai titisan Siwa-Budha untuk menentramkan
kerajaan. Sang pujangga mengadakan identifikasi antara Siwa dan Budha,
peristiwa sinkretisme dalam agama. Baik Budha maupun Siwa pada
dasarnya, mewakili angkasa yang juga disebut sunya, yakni kosong.
Keluhuran budi dan watak baginda disamakan dengan Iswara (dewa yang
tertinggi bagi para Yogi ), purusa yakni jiwa bagi Kapila (para pengikut
falsafah Sankhya), Wagindra yakni Dewa Brahma yang menghimpun
segala ilmu, Dewa Asmara (Kama) dalam cinta berahi dan Dewa Yama
(yang menguasai hidup dan mati) bagi semua musuh yang menghalang-
halangi perdamaian dunia.
2. Pupuh 2 sampai 6 mengisahkan hubungan kekerabatan baginda. Prapanca
memuji kecakapan nenek baginda yang berjuluk Rajapatni, yakni Putri
Gayatri, putri bungsu Sri Kertanegara dari Singasari. Beliau bertindak
sebagai penasihat utama dalam pemerintahan. Ketika Sri rajapatni
mangkat pada tahun 1350 dan dikebumikan di Bayalangu segenap rakyat
dari seluruh kerajaan berkabung. Rakyat merasa sedih kehilangan beliau.
Kesedihan rakyat itu musnah setelah penobatan baginda sebagai raja .
Pupuh 3 menguraikan orang tua baginda yakni Tribhuana Tunggadewi
Jayawisnuwardhani, yang secara resmi menjadi Rani Kahuripan dan Sri
Kertawardhana dari Singasari. Dalam pupuh selanjutnya Prapanca
menjelaskan bahwa baginda mempunyai dua orang saudara perempuan.
Yang tua bergelar Bhre Lasem yang kawin Bhre Matahun dan yang muda
bergelar Bhre Pajang yang kawin dengan Singawardhana dari Paguhan.
3. Pupuh 7 mulai dengan pujian muluk terhadap Baginda Sri Rajasanagara
semua orang tunduk kepada kuasa Sri Nata Sri Rajasanagara dikiaskan
sebagai titisan sebagai dewa. Beliau mengusap duka si murba sebagai
Dewa Indra yang menurunkan hujan di atas bumi. Sang raja menjaga
negara seperti Pretiwi, meresap ke semua tempat laksana hawa, sedangkan
rupa beliau laksana bulan, seolah-olah Dewa Kama menjelma di dalam
pura.
4. Pupuh 8-12 menguraikan seluk beluk istana Majapahit dari keindahannya
sampai para punggawa dan pegawai kerajaan. Pujangga Prapanca
menyajikan uraian tentang istana Majapahit secara terperinci mulai dari
tembok batu merah yang tebal dan tinggi mengitari istana, hingga bagian-
bagian penting seperti halaman, gapura, alun-alun, dan balai prajurit.
5. Pupuh 13-14 menyinggung luasnya wilayah Kerajaan Majapahit di Jawa
dan Nusantara yakni pulau-pulau di luar Jawa. Dalam pupuh tersebut
tercantum nama-nama daerah dan pulau yang tunduk kepada Majapahit.
Pupuh 15 menyebut negara-negara asing yang mempunyai hubungan
persahabatan dengan Majapahit, diantaranya Siam, Dharmanagara,
Singanagari , Campa dan Kamboja
6. Pupuh 17 sampai 60 menguraikan perjalanan keliling rombongan Dyah
Hayam Wuruk dari Majapahit ke Lumajang, pada hakikatnya nya
merupakan inti isi Nagarakretagama. Dharmmadyaksa Kasogatan yang
mengambil nama samaran Prapanca ikut serta dalam rombongan tersebut.
Dalam perjalanan itu Ia mendapat kesempatan cukup untuk mengunjungi
desa-desa penting dan menyaksikan sendiri keadaan wilayah Majapahit di
Jawa Timur pada tahun 1359. Pupuh 60 menguraikan kedatangan baginda
kembali di Kota Majapahit, diiringi oleh para punggawa, yang membawa
banyak oleh-oleh, disambut dengan gamelan.
7. Pupuh 61-62 menguraikan perjalanan Baginda pada tahun 1361 ke Desa
Simping untuk memperbaiki candi makam karena menaranya rusak. Candi
tersebut adalah makam pembangun negara Majapahit Kertarajasa
Jayawardhana.
8. Pupuh 63-67 menguraikan selamatan srada untuk memperingati wafatnya
nenek baginda Rajapatni yakni Putri Gayatri dari Singosari. Pesta srada
diselenggarakan secara besar-besaran di istana pada tahun 1362.
9. Pupuh 68-69 secara singkat menguraikan sejarah pembagian Kerajaan
Erlangga menjadi Jenggala dan Panjalu untuk kedua putranya.
10. Pupuh 70-73 menguraikan kedatangan kembali Baginda dari Simping.
Setibanya beliau di sana terdengar kabar bahwa Patih Gadjah Mada sakit
keras, akhirnya meninggal. Kemudian diadakan rapat untuk mencari
pengganti Patih Gadjah Mada tetapi tak berhasil. Rapat yang dipimpin
oleh Baginda sendiri mengambil keputusan bahwa Patih Gadjah Mada
tidak akan terganti. Baginda sendiri akan memimpin pemerintahan secara
langsung dibantu oleh enam menteri.
11. Pupuh 74 sampai 82 menyebut nama-nama candi makam, tanah perdikan,
asrama, desa kebudhaan, desa kesiswaan dan lain-lainnya dalam
Majapahit, terutama di Jawa dan Bali. Dalam bagian ini Prapanca memuji
sikap Baginda yang berusaha menyatukan tiga aliran agama (tripaksa)
yang terdapat dalam kerajaan Majapahit yakni Siwa, Budha, dan Wisnu.
12. Pupuh 83 menguraikan keagungan baginda dan kesejahteraan Pulau Jawa.
Banyak tamu asing yang berkunjung ke Majapahit pada waktu itu.
13. Pupuh 84 merupakan lanjutan dari Pupuh 83 yang berisi penghormata
pada baginda berupa pembacaan Puja-sloka, gubahan kawiraja dari
pelbagai kota untuk menyambut Bagindas tiba beliau di Manguntur.
14. Pupuh 85 menceritakan pertemuan tiap bulan Caitra yaitu Maret sampai
April atau bulan pertama setiap tahun. Maksud pertemuan ialah untuk
mengadakan semacam musyawarah antara semua orang yang mempunyai
tanggung jawab dalam pemerintahan. Oleh karena itu pertemuan itu
dihadiri oleh para menteri, perwira, pembantu baginda, kepala daerah,
kepala desa, pendeta dari 3 aliran agama, dan kepala daerah dan kepala
desa dari luar kota. Musayawarah membahas jalannya pemerintahan untuk
keselamatan negara.
15. Pupuh 86-90 menceritakan tentang pesta besar di Lapangan Bubat yang
dihadiri oleh baginda. Segala macam pertunjukan dan perlombaan
dihidangkan untuk memeriahkan perayaan. Terdapat jamuan makan besar
di mana setelah hidangan makan selesai dilanjutkan pertunjukan nyanyi
dan tari di mana Baginda ikut serta menyanyi dan menari.
16. Pupuh 93 dan 94 Prapanca menguraikan betapa banyak para pendeta yang
menciptakan kakawin pujasastra untuk baginda. Mengetahui hal itu
Prapanca juga ingin ikut menggubah pujasastra untuk keluhuran baginda.
Pujasastranya diberi nama Desawarnnana, uraian tentang desa-desa.
Maksudnya agar Baginda ingat kepadanya penciptaan pujasastra
Desawarnnana benar-benar terdorong oleh rasa cinta Bakti sang pujangga
kepada Sri Baginda.
17. Pupuh 95-98 menguraikan nasib sang pujangga yang canggung hidup di
dusun, kemudian bertekad bertapa di lereng gunung.
Kesimpulan

Kitab Nagarakretagama berisi syair yang bersifat pujasastra, artinya karya


sastra yang berisi mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta
kewibawaan dari kerajaan Majapahit. Kitab ini disusun murni dari kehendak
seorang pujangga Mpu Prapanca yang ingin mengajukan bhakti pada sang
mahkota raja dan berharap sang raja membalas budi kepadanya.

Naskah kitab ini disusun oleh Mpu Prapanca setelah ia pensiun dengan
mengundurkan diri dari istana kerajaan. Karena bersifat pujasastra, tentu
hanya hal-hal yang baik saja yang dituliskan, hal-hal yang kurang membantu
bagi kewibawaan Majapahit, walaupun mungkin hal itu diketahui Mpu
Prapanca sang pujangga. Karena hal itu peristiwa perang dengan Pasundan
atau Perang Bubat tidak ditulis dalam kitab Negarakertagama, walaupun itu
merupakan peristiwa yang sangat bersejarah. Hal itu tidak ditulis karena
meupakan kegagalan dari Hayam Wuruk, Namun terlepas dari hal tersebut,
masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk masih disebut sebagai masa kejayaan
dari Majapahit, dan Kitab Negarakretagama menjadi sumber sejarah yang
amat berharga sekaligus dipercaya sebagai sumber sejarah peradaban
Majapahit. Hingga sekarang Kitab Nagarakretagama masih tetap memberikan
sejarah dan laporan langsung mengenai kehidupan di masa pemerintahan
Majapahit.
Daftar pustaka:

Rujukan Utama

Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS


Printing Cemerlang.

Rujukan Tambahan

Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan.

Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan


Populer Gramedia

Hendarsah, Amir. 2010. Cerita Kerajaan Nusantara Populer. Yogyakarta: Jogja


Great Publisher

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka,

Louis Gottschalk. 1986. Uderstanding History: A Primer Historical Method. a.b.


Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan


Majapahit. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang.

Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta : Balai


Pustaka.

R. Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta :


PT.Kanisius.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi


Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sucipto. 2009. Suminto, ed. Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan
Hindu Budha serta Peningalannya (dalam bahasa Indonesia). Solo: Tiga
Serangkai.

Yamin, M. 1962. Tata Negara Majapahit. Saptaparwa. Jakarta: Yayasan


Prapanca.

Anda mungkin juga menyukai