Anda di halaman 1dari 93

RESUME DISERTASI

KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN


NOTARIS DALAM PEMBUATAN
SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

DISERTASI

OLEH :

LENY AGUSTAN
NIM : 1730112002

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2021
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN
NOTARIS DALAM PEMBUATAN
SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

DISERTASI

Diajukan untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum


Pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Andalas

OLEH :

LENY AGUSTAN
NIM : 1730112002

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2021
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN
NOTARIS DALAM PEMBUATAN
SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

DISERTASI

Diajukan untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum


Pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Andalas

Dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Fakultas Hukum Universitas Andalas
Pada hari Sabtu, Tanggal 18 Desember 2021

OLEH :

LENY AGUSTAN
NIM : 1730112002

Lahir Pariaman, Tanggal 09 Juni 1980


LEMBAR PENGESAHAN DISERTASI

KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN


NOTARIS DALAM PEMBUATAN
SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

OLEH :

LENY AGUSTAN
NIM : 1730112002

Naskah Disertasi
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh Gelar Doktor
dalam Ilmu Hukum ini telah disetujui oleh Tim Promotor dan
tanggal seperti yang tertera di bawah ini

Padang, Nopember 2021

Prof. Dr. YASWIRMAN, M.A


Ketua Promotor

Prof. Dr. BUSYRA AZHERI, S.H., M.Hum Dr. AZMI FENDRI, S.H., M.Kn
Co Promotor I Co Promotor II

Mengetahui,
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Andalas

Prof. Dr. ZAINUL DAULAY, S.H., M.H


NIP. 1959 1122 1986 031002
DEWAN PENGUJI

1. Prof. Dr. Zainul Daulay, S.H.,M.H ( Koordinator )

2. Dr. Nani Mulyati, S.H., MCL ( Sekretaris )

Komisi Pembimbing

1. Prof. Dr. Yaswirman, M.A ( Promotor)

2. Prof. Dr. Busyra Azheri, S.H., M.Hum ( Co-Promotor I )

3. Dr. Azmi Fendri, S.H., M.Kn ( Co-Promotor I )

Dosen Penguji

1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS., CN ( Penguji Eksternal )

2. Prof. Dr. Yuliamirwati, S.H.,CN., M.H ( Penguji )

3. Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M. Hum ( Penguji )

4. Dr. Yuslim, S.H., M.H ( Penguji )

5. Dr. Sukanda Husin, S.H., L.L.M ( Penguji )

6. Dr. Beatrix Benni, S.H.,M. Pd., M. Kn ( Penguji )


PERNYATAAN ORISINALITAS
PENELITIAN DISERTASI

Saya menyatakan dengan ini sebenar-benarnya bahwa sepanjang sepengetahuan


saya, di dalam naskah Penelitian Disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah
diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi,
dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber
kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah Penelitian Disertasi ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur jiplakan Disertasi, saya bersedia Disertasi dibatalkan, serta
diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No.20 Tahun
2003 Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 70).

Padang, Desember 2021

Leny Agustan

i
ABSTRAK
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
(Leny Agustan, 1730112002, Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang)

Notaris dan PPAT adalah sama-sama selaku pejabat umum, yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta otentik. Notaris berwenangan untuk membuat akta otentik
mengenai perjanjian, penetapan dan perbuatan. PPAT berwenangan membuat akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun. Notaris dan PPAT diberi kewenangan yang sama dalam pembuatan
SKMHT, hal ini berdasarkan UU Hak tanggungan 1996. Notaris dapat membuat
SKMHT dalam bentuk minuta akta dan akta ini originali, sedangkan PPAT dapat
membuat SKMHT dalam bentuk akta PPAT. Praktik yang terjadi dilapangan, terdapat
pembuatan SKMHT dalam bentuk gabungan akta notaris dan akta PPAT. Sehingga
tidak ada kepastian hukum terhadap notaris, PPAT, dan pihak yang berkepentingan
terhadap SKMHT tersebut. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisa,
(1) pengaturan terhadap kewenangan notaris dan PPAT dalam pembuatan surat kuasa
membebankan hak tanggungan, (2) kepastian hukum terhadap kewenangan notaris
dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan, (3) tanggung jawab
notaris dan PPAT dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan.
Penelitian ini bersifat deskriftif analitis, dengan menggunakan pendekatan normatif,
menggunakan data sekunder sebagai bahan utama dengan pengkajian terhadap bahan
hukum primer, sedangkan data primer berupa wawancara hanya sebagai membantu
kelengkapan data sekunder. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa, (1) notaris dan
PPAT berdasarkan UU Hak Tanggungan 1996 memiliki kewenangan dalam pembuatan
SKMHT. Berdasarkan pengaturan, kewenangan, wilayah kerja, kekuatan pembuktian
dan kewajiban pelaporan, maka pembuatan SKMHT lebih tepat menjadi kewenangan
notaris. (2) ketidakpastian hukum terhadap SKMHT baik terhadap notaris, PPAT,
perbankan dan pihak yang berkepentingan terhadap SKMHT tersebut dikarenakan,
bentuk SKMHT yang diterima oleh setiap Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berbeda-
beda, karena kewenangan dari pembuatannya, adanya keterbatasan jangka waktu
SKMHT dan diberlakukanya hak tanggungan secara elektronik. (3) terdapatnya
tanggung jawab bagi notaris dan PPAT dalam pembuatan SKMHT baik pidana, perdata
dan administrasi. terhadap SKMHT yang dibuat dalam bentuk penggabungan akta
notaris dan akta PPAT, maka tanggungjawab dibebankan terhadap jabatan notaris.

Kata Kunci : SKMHT, kewenangan notaris, kepastian hukum akta

ii
ABSTRACT

LEGAL ASSURANCE ON NOTARY AUTHORITY IN PRODUCING A POWER OF


ATTORNEY TO IMPOSE THE DEPENDENT RIGHT
(Leny Agustan, 1730112002, Doctoral Program in Law, Postgraduate Faculty of Law, Andalas University, Padang)

Notaries and PPAT are both public officials, who are given the authority to produce
authentic deeds. Notaries are authorized to make authentic deeds regarding agreements,
stipulations and deeds. Land Deed Official (PPAT) has the authority to make an
authentic deed regarding certain legal actions regarding land rights or property rights
over flat units. Notaries and PPATs are given the same authority in producing a power
of attorney to impose dependent right (SKMHT). This is based on the constitution of
Dependent Right in 1996. Notaries can produce SKMHT in the form of a minuta deed
and this deed is original, while PPAT can produce SKMHT in the form of a PPAT deed.
In practice, there is the producing of SKMHT in the form of a combined notarial deed
and PPAT deed. As a result, there is no legal assurance for the notary, PPAT, and
parties with an interest of that SKMHT. Therefore, this study aims to analyze, (1) the
regulation of the authority of a notary and PPAT in producing a power of attorney to
impose dependent rights (SKMHT), (2) legal assurance over the authority of a notary in
producing a power of attorney to impose dependent rights (SKMHT), (3) the
responsibilities of a notary and PPAT in producing a power of attorney to impose
dependent rights (SKMHT). This research is descriptive analytical by using a normative
approach and secondary data as the main material with an assessment of primary legal
materials, while primary data in the form of interviews are only to help complete
secondary data. Based on the research, it was found that (1) notaries and PPAT based
on the dependent Right in 1996 have the authority to make SKMHT. Based on
regulation, authority, working area, strength of evidence and reporting obligations, the
producing of SKMHT becomes the authority of a notary. (2) legal uncertainty that
occured regarding SKMHT, both for notaries, PPAT, banks and interested parties in the
SKMHT caused by the form of SKMHT received by each Regency/City Land Office is
different, the authority of its manufacture, the limited period of SKMHT and the
applying of Dependent Right electronically. (3)There is responsibility for Notaries and
PPAT in producing SKMHT, not only criminal and civil, but also administrative. for
SKMHT made in the form of a combination of a notary deed and a PPAT deed, the
responsibility is borned by the Notary position.

Keywords: SKMHT, notary authority, legal assurance of deed

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin. Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat


ALLAH SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat, karunia dan hidayat-Nya
sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam
penyelesaian Pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Andalas. Shalawat dan Salam tidak lupa kita kirimkan kepada junjungan
kita Nabi Allah Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat manusia dari
peradaban hidup yang jahiliyah menuju pada peradaban hidup yang modern, yang
penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan telah selesainya penyusunan Disertasi ini, penulis dari hati yang paling
dalam mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan kontribusi,
support, dorongan, masukan dan saran dari berbagai pihak dalam penyelesaian Disertasi
ini. Semoga semuanya menjadi ladang amal dan mendapat pahala dari Allah SWT. Dan
DDsertasi ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat.
Pertama-tama, ucapan terimakasih dari hati yang paling dalam penulis aturkan
kepada Ketua Promotor Bapak Prof. Dr. Yaswirman, M.A, Co-Promotor I, Prof. Dr.
Busyra Azheri, S.H., M.Hum, dan Co-Promotor II, Dr. Azmi Fendri, SH., M.Kn,
ditengah kesibukan dan aktivitas, dengan kerendahan hati, telah memberikan
bimbingan, saran dan masukan semenjak dari penyusunan proposal, sampai penulisan
Disertasi ini dapat diselesaikan. Semoga bantuan dan bimbingan dari Promotor dan Co-
Promotor ini menjadi ladang amal shaleh dari Allah SWT.
Terimakasih yang tak terhingga atas kasih sayang yang sangat berlimpah dan doa
yang tidak pernah putus-putus dari penulis kecil sampai saat ini kepada kedua orang tua
penulis yaitu Papa Agustani dan Mama Anursyah, ini merupakan pemenuhan janji
penulis. Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Teristimewa pada suami tercinta, yang telah memberikan support dan menemani penulis
dalam menyelesaikan disertasi ini, my love Dedek Astani, S. Pd., SH., M.Kn.
Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima
kasih dalam penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah
memberikan kontribusi sehingga memungkinkan selesainya pendidikan dan penulisan
disertasi ini, yakni kepada:
1. Rektor Universitas Andalas, Bapak Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H, beserta
jajarannya yang telah bersedia memberikan izin dan kesempatan bagi penulis
untuk melanjutkan pendidikan dan penyelesaian Disertasi ini.
2. Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Bapak Prof. Dr. Busyra
Azheri, S.H., M. Hum sebagai Dekan, Dr. H. Ferdi, S.H., M.H sebagai Wakil
Dekan I, Dr. Rembrand, S.H., M. Pd sebagai Wakil Dekan II, dan Lerri Pattra,
S.H., M.H sebagai Wakil Dekan III. Terimakasih atas segala bantuan dan
kontribusinya dengan selesainya disertasi ini.
3. Ketua Program Doktor S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas
Bapak Prof. Dr. Zainul Daulay, S.H., M.H dan Sekretaris Ibu Dr. Nani
Mulyani, S.H., MCL. Terimakasih atas segala bantuan dan kontribusinya
dengan selesainya Disertasi ini.
4. Penguji ekternal Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS. CN dari Universitas
Sumatera Utara, Terimakasih atas semua saran dan masukan guna perbaikan
Disertasi ini.
5. Guru besar dan dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas yang bertindak dan
pernah bertindak sebagai penguji baik dalam seminar proposal, seminar hasil,
iv
ujian tertutup dan ujian terbuka yakni: Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.
Hum, Prof. Yulia Mirwati, S.H,. CN., M.H, Dr. Sukanda Husin, SH., LL.M,
Dr. Yuslim, S.H., M.H, dan Dr. Beatrix Benni, S.H., M.Pd., M.Kn.
Terimakasih atas semua saran dan masukan guna perbaikan Disertasi ini.
6. Pimpinan lembaga-lembaga yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk
melakukan penelitian dan pengumpulan data di instansi masing-masing, yakni:
Kantor Pertanahan Kota Bukittinggi, Kantor Pertanahan Kota Padang, Kantor
Pertanahan Kabupaten Agam, Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, Kantor
Pertanahan Kabupaten Kampar, Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung,
Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah.
7. Segenap tenaga pendidik Fakultas Hukum Universitas Andalas, khususnya
pada Program Doktor Ilmu Hukum yang sudah memberikan bantuan dan
pelayanan selama proses pendidikan dan penyelesaian studi Program Doktor
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas.
8. Rekan-rekan notaris dan PPAT yang telah membantu dalam memberikan saran
dan data dalam penyelesain disertasi ini yakni: Notaris Muhammad Ishaq,
S.H., M.Kn, Notaris Sri Husniati Najmi, S.H, Notaris Dr. Alin Wijaksono,
S.H., M.Kn, dan Notaris Dr. Herlien Budiono.
9. Terima kasih kepada adik-adik penulis beserta istri yang dengan sabar
membantu dan memberi semangat pada penulis dalam menempuh pendidikan
ini, Greymendra, S.T., M.M beserta istri Mira Tazkia, S.Ds dan Angga Satria
beserta istri Widya Astuti, serta anak-anak penulis yang lucu dan cantik Aldea
Rashida Mendra dan Reira Syabilla Mendra.
10. Terimakasih kepada orang tua angkat penulis Drs. Erry Sentosa, yang telah
dukungan dalam menyelesaikan studi.
11. Rekan-rekan seangkatan dan seperjuangan Angkatan 2017 Program Doktor
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas, yakni Dr. Syofiarti, S.H.,
M.H, Suci Rahmadani, S.H., M.H, Dr. Ali Arben, S.H, M.H., M. Kn, Hamler,
S.H., M. Kn, Lucki Raspati, S.H., M.H, Dito Syaferli, S.H., M.Kn, Eza Aulia,
S.H., M.H, Himawan Ahmed Sanusi, S.H. M.H, Harry Syahputra, S.H, M.Kn,
Defika Yufiandra, S.H., M.Kn, Dr. Musriadi, S.H. M.H., M.Kn, Chairul Aziz,
S.H., M.H, Zainal. Abidin, Sh., M.H, Salam sukses untuk semua
12. Teman-teman penulis, yakni Wiwid, Poppy, Ade Suzana, dan Sysca, Panitia
Konsumsi (Tatik, Kak Opi, dan Agung), Pak Nof, Bang Ilham
Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa disertasi ini masih mengandung berbagai
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena sebab itu penulis sangat berharap masukan dan
saran dari berbagai pihak guna perbaikan nantinya. Semoga disertasi ini memberikan
konstribusi dalam pembentulan dan penegakan hukum, sehingga tercapainya kepastian
hukum bagi jabatan notaris dan PPAT. Jayalah Notaris dan PPAT.

Wassalam

Padang,
Penulis

v
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN DISERTASI
ABSTRAK 0
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………. 1
B. Perumusan Masalah…………………………………………….. 11
C. Keaslian Penelitian ……………………………………………. 11
D. Tujuan Penelitian …………………..………………………….. 11
E. Manfaat Penelitian ……………………..……………………… 11
F. Kerangka Penelitian ……………………….. …..……………... 12
1. Kerangka Teoritis ……………………………………………. 12
II. METODE PENELITIAN ……………………………………………….. 16
A. Pendekatan dan Sifat Penelitian ….…………………………... 16
B. Jenis dan Sumber Data Penelitian …………..………………… 17
C. Teknik/Metode Pengumpulan data …………………………. 17
D. Pengelolaan dan Analisis Data ….…………………………….. 18
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………… 18
A. PENGATURAN TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS
DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)
DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN
HAK TANGGUNGAN
1. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Pada Ketentuan Jabatan Notaris Dan Jabatan Pembuat Akta
Tanah (PPAT) …………………………………............................... 18
a. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Pada Ketentuan Jabatan PPAT ……………………………… 18
b. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Pada Ketentuan Jabatan Notaris ……………………………. 25
2. Sinkronisasi Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan ………………………….............................................. 32
3. Pilihan Hukum Dalam Pembuatan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan……............................................... 35
B. KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS
DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN
HAK TANGGUNGAN
1. Karakteristis Akta-Akta Notaris di Bidang Pertanahan ………… 37
a. Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa (PPJB dan
Kuasa) …………......................................................................... 38
b. Akta Pelepasan Hak ….……………………………………… 40
c. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)…… 42
2. Kepastian Hukum Terhadap Kewenangan Notaris dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan…......................... 44
C. TANGGUNG JAWAB NOTARIS DAN PEJABAT PEMBUAT
AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA
MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
vi
1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Alat
Bukti Di Bawah Tangan Dan Alat Bukti Otentik ............................. 54
2. Tanggung Jawab Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan Berdasarkan UU Jabatan Notaris 2014 dan
PP Jabatan PPAT 2016 ………………….......................................... 59
a. Tanggung Jawab Notaris Dalam Membuat Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berdasarkan
Undang-Undang Jabatan Notaris …………………………......... 59
b. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan........... 66
c. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan Berdasarkan
Peraturan Pertanahan ………………………………….…......... 72
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………........ 74
B. Saran …………………………………………………………….. 75
DAFTAR PUSTAKA

vii
DAFTAR SINGKATAN

PPAT = Pejabat Pembuat Akta Tanah


SKMHT = Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
AKMHT = Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
APHT = Akta Pemberian Hak Tanggungan
PPJB = Perjanjian Pengikatan Jual Beli
SKMH = Surat Kuasa Memasangkan Hipotek
MPNotaris = Majelis Pengawas Notaris
KUHPerdata = Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHPidana = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHAPidana = Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

viii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD Tahun 1945) menentukan secara tegas bahwa Negara Republik
Indonesia adalah Negara Hukum. 1 Negara hukum2 berkembang di Eropah dimulai
pada abad ketujuh belas hingga abad kedelapan belas, dimana konsep negara
hukum dikenal ada dua macam terdiri dari konsep negara hukum dalam arti
rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law. Istilah
rechtsstaat dikenal di negara-negara Eropa Kontinental, yang dikembangkan dan
dianut oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. Sedangkan the
rule of law, berkembang di negara-negara anglosaxon, dipelopori oleh A.V. Dicey
di Inggris. Pada dasarnya kedua konsep rechtsstaat dan the rule of law tersebut
memiliki maksud yang sama, yaitu adanya the dignity of man, dimana
perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan penghormatan atas martabat
manusia.
Paham negara hukum3 berdasarkan hukum menunjuk pada, segala kekuasaan
alat-alat pemerintah berdasarkan hukum dan diluar hukum tidak berwenang
sedikit pun. Dan semua warga negara harus tunduk pada hukum yang diadakan
oleh rakyat seluruhnya melalui wakil-wakil rakyat. Jadi, hukumlah yang berkuasa
dalam negara bukan penguasa.4 Tindakan aparatur dan masyarakatnya harus
berdasarkan hukum, untuk dapat terciptanya negara hukum maka dilakukanlah
pembangunan dalam bidang hukum. Pembangunan bidang hukum didasarkan
pada sumber tertib hukum negara yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan
hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang
meliputi suasana watak bangsa yang terdapat dalam Pancasila dan UUD Tahun
1945.
Prinsip Negara secara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.5 Pada Amamdemen
UUD Tahun 1945 pada Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Semua warga negara Indonesia baik
dari segi jenis kelamin laki-laki dan wanita, dari segi umur tua dan muda, dari segi

1
Kepustakaan Indonesia sudah tidak asing lagi dalam menggunakan istilah “negara hukum”,
sebagai terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “Rechtsstaat”. Penggunaan istilah
Rechtsstaat juga terdapat dalam penjelasan UUD Tahun 1945. Lihat Marwan Effendy, 2004, Teori
Hukum, dan Perpektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi
(Gaung Persada Press Group), Jakarta, hlm. 203
2
Pengertian rechstaat, merujuk pada pemikiran yang dikemukakan oleh Julius Stahl,
setidaknya terdapat empat pondasi yang harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, yaitu adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia (grondrechten), adanya pembagian kekuasaan (scheiding
van machten), pemerintahan yang berdasarkan undang-undang (wet matigheid van bestuur), dan
adanya peradilan tata usaha negara (administratieve rechspraak). Lihat, Jimly Ashiddiqie, 2005,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 52
3
Paham negara hukum adalah asas yang berlaku universal yang diterima dan diakui oleh
negara-negara sebagai landasan bagi bekerjanya sistem hukum dan pemerintahan. Lihat Krishna
Djaya Darumurti, 2016, Diskresi Kajian Teori Hukum, Genta Publishing, hlm. 12
4
Frans Magnis Suseno, 1988, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Kanisius, Jakarta, hlm. 295
5
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris 2004)

1
pekerjaan pengusaha maupun buruh dimata hukum mereka adalah sama. Begitu
juga halnya dengan notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut
PPAT). Notaris dan PPAT sebagai profesi yang diakui oleh negara juga sudah
seyogyanya mendapatkan porsi yang sama dalam perlindungan dan kepastian
hukum pada pelaksanaan tugasnya.
Notaris6 sebagai salah satu pejabat7 umum yang diberi kewenangan yang
sangat khusus oleh negara memiliki peranan dalam menjalankan roda negara
dalam bidang hukum, peranan tersebut berfungsi supaya tegak dan tercapainya
kepastian hukum dalam setiap kewenangan yang telah diberikan kepadanya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris 2014), pada
Pasal 1 angka 1:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
atau berdasarkan undang-undang lainnya.”
Notaris sebagai pejabat yang ditunjuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam hukum perdata, terutama dalam pembuatan akta otentik
diserahi tugas dan kewenangan berdasarkan aturan perundangan-undangan, yang
tertuang dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UU Jabatan Notaris 2014, yaitu:
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semua itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), notaris
berwenang pula:

6
Lihat juga Staatsblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut
Peraturan Jabatan Notaris 1860), Pasal 1, menyebutkan notaris adalah pejabat umum yang satu-
satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang harus dilakukan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.
7
Jika dilihat pengertian pejabat menurut Harun Alrasid, yang dikutip oleh A‟an Efendi dan
Freddy Poernomo, bahwa seseorang yang memegang dan memangku suatu jabatan disebut
„penjabat‟ (pakai huruf “n”, karena pokok katanya dimulai dengan huruf “j”). Dalam praktek
sering juga disebut „pejabat‟ (tidak pakai huruf „n‟). Istilah, ini selain dipakai dalam arti pemangku
jabatan (arti pertama), juga dipakai dalam arti penjabat yang untuk sementara wakil mewakili
penjabat lain yang berhalangan melaksanakan tugas jabatannya (arti kedua), dan dalam arti
penjabat untuk sementara waktu mengisi suatu jabatan yang sedang lowong sampai ditentukannya
penjabat yang tetap (arti ketiga). Lihat, A‟an Efendi dan Freddy Poernomo, 2017, Hukum
Administrasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 96

2
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
b. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus
c. Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan
g. Membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris 2014 adalah membuat akta
otentik. Pengertian akta otentik diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata), menyebutkan suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat,
sedangkan pada UU Jabatan Notaris 2014 pengertian mengenai akta otentik tidak
didefinikan secara gramatikal, hanya disebutkan dalam Pasal 1 angka 7,
menyebutkan akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan
notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu akta otentik harus memuat unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Dibuat dalam bentuk dan tata cara menurut undang-undang
2. Dihadapkan pejabat umum yang berwenang
3. Ditempat akta dibuat.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa
yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Bentuk akta otentik berdasarkan
UU Jabatan Notaris 2014 diatur dalam Pasal 38, yaitu:
“ (1) Setiap akta terdiri atas:
a. Awal akta atau kepala akta
b. Badan akta
c. Akhir akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. Judul akta
b. Nomor akta
c. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris
(3) Badan akta memuat:
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang
yang mereka wakili
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap

3
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan
d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
e. Akhir akta atau penutup akta memuat:
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) huruf M atau Pasal 16 ayat (7)
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta jika ada
c. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan
dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan
akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan atau penggantian serta jumlah
perubahannya.
f. Akta notaris pengganti dan pejabat sementara notaris, selain memuat
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta
pejabat yang mengangkatnya.”
Akibat dilanggarnya tata laksana pembuatan akta, diantaranya ketidakbenaran
keterangan di bagian awal/kepala akta, dan akhir/penutup akta termasuk tentang
pembacaan akta, kehadiran saksi, dan penandatangan tersebut akan
mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan.8 Hal ini telah dipertegas pada Pasal 41 UU Jabatan Notaris 2014,
yang berbunyi:
“Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,
Pasal 39, dan Pasal 40 mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.”
Jika dari awal maksud dan tujuan pembuatan akta notaris adalah untuk
mendapatkan akta yang otentik dimana pembuktiannya sempurna di mata hukum,
namun akibat dari pelanggaran Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014 yang
mengakibatkan pembuktian akta menjadi akta di bawah tangan, tentunya hal ini
akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi para pihak yang
menghendaki akta tersebut. Prakteknya akta notaris sekarang ini, terdapat akta-
akta yang dibuat notaris yang menyimpang dari ketentuan Pasal 38 UU Jabatan
Notaris 2014, khususnya pada bagian awal akta, antara lain: 9
1. Akta Perbankan Syariah (berdasarkan prinsip syariah)
2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut dengan
SKMHT)
3. Akta Pendirian Koperasi.

8
Herlien Budiono (I), 2014, Dasar-Dasar Pembuatan Akta Notaris, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 32
9
Habib Adjie (I), 2015, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 50

4
Kewenangan notaris yang dilakukan dalam hal menjalankan jabatannya
sebagai notaris dalam membuat akta otentik merupakan kewenangan yang
diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur melalui UU Jabatan Notaris
2014.10 Semua kewenangan yang diberikan oleh UU Jabatan Notaris 2014 pada
notaris tersebut merupakan suatu rasa kepercayaan dari negara terhadap jabatan
notaris, sehingga dapat pula notaris disebut sebagai jabatan kepercayaan yang
bermakna dimana notaris sebagai orang yang dipercaya sesuai dengan sumpah
jabatan yang di embannya yaitu merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan
yang dia peroleh dari kliennya.
Apabila notaris keluar dari kewenangannya sesuai dengan yang ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan maka terhadap akta yang dibuat oleh notaris
tersebut baik mengenai perjanjian, perbuatan maupun penetapan hukum akan ada
tanggung jawab yang harus dipikul oleh notaris. Mengenai kedudukan akta, maka
akta akan terdegradasi menjadi akta dibawah tangan dan bukan merupakan akta
otentik, dimana nantinya akan berkaitan dengan alat bukti. Akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan lengkap, berbeda dengan
pembuktian akta dibawah tangan dan dapat cacat hukum yang menyebabkan
kebatalan atau ketidakabsahan akta tersebut. Menurut Philipus M. Hadjon,
penyalahgunaan wewenang akan menimbulkan tanggung jawab, yang dibedakan
dalam 2 hal, yaitu:11
1. Tanggung jabatan, yang berkenaan dengan legalitas (keabsahan)
2. Tanggung jawab pribadi, berkaitan dengan pendekatan fungsionaris.
Pertanggungjawaban atau liability menurut Pound sebagai suatu kewajiban
untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang yang telah
“dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang
terhadap kepentingan kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan
ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat
penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya semula sebagai
suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”.12 Notaris pun sebagai
suatu jabatan dapat dikenakan tanggung jawab berupa pelaksanaan kewajiban bagi
pengguna jasanya, pertanggungjawaban ini menurut Herlien Budiono, mengutip
pendapat Melis, meliputi bidang:13
1. Hukum privat
2. Hukum pajak
3. Hukum pidana, dan
4. Disipliner notaris (notarieel tuchtrecht)
Aspek pertanggungjawaban notaris timbul karena adanya kesalahan yang di
lakukan dalam menjalankan suatu tugas jabatan dan kesalahan itu menimbulkan
10
M. Luthfan Hadi Darus, 2017, Hukum Notariat dan Tanggung Jawab Jabatan Notaris, UII
Press, Yogyakarta, hlm. 21
11
Philipus M. Hardjon (I), 2008, Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi
Atas Tindak Pemerintahan, Makalah Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, hlm. 21
12
Ramli Atmasasmita (I), 1989, Asas-AsasPerbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH,
Jakarta, hlm. 79
13
Herlien Budiono (II), 2015, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata, Di Bidang Kenotariatan,
Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 255

5
kerugian bagi orang yang meminta jasa pelayanan (klien) notaris, artinya untuk
menetapkan seseorang notaris bersalah yang menyebabkan penggantian biaya,
ganti rugi dan bunga, diisyaratkan bilamana perbuatan melawan hukum dari
notaris tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dan pertanggungjawaban tersebut
dapat dilihat dari sudut pandang keperdataan, administrasi maupun dari sudut
pandang hukum pidana.14 Selain notaris ada pejabat lain yang disebut juga pejabat
umum yaitu, PPAT. PPAT mempunyai tujuan yang sama dengan notaris, yaitu,
menjamin terlaksananya kepastian hukum, terutama kepastian dalam pendaftaran
hak atas tanah.
UU Pokok Agraria 1960 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP
Pendaftaran Tanah 1961), tidak menyebut PPAT dan tidak memberikan
pengertian tentang PPAT.15 Pengertian PPAT terdapat pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP Jabatan PPAT 2016) pada Pasal 1
angka 1, menyebutkan, bahwa:
“pejabat umum yang diberi kewewenangan untuk membuat akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengani hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun.”
Akta PPAT berdasarkan PP Jabatan PPAT 2016 pada Pasal 1 angka 4, adalah
akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun. Sedangkan tugas dan kewenangan dari PPAT berdasarkan Pasal 2 PP
Jabatan PPAT 2016, adalah:
“(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan
data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
g. Pemberian Hak Tanggungan
h. Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.”

14
Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta,
Mandar Maju, Bandung, hlm. 33
15
Urip Santoso (I), 2016, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perspektif Regulasi, Wewenang, dan
Sifat Akta, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 60

6
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris 2016 dan Pasal 2 PP
Jabatan PPAT 2016, maka notaris dan PPAT mempunyai kewenangan yang sama
dalam hal membuat SKMHT. Pembuatan SKMHT ini tentu berdasarkan pada
aturan yang di miliki oleh masing-masing pejabat tersebut. SKMHT dapat dibuat
berupa akta notaris dan akta PPAT, tentunya membawa konsekuensi logis bagi
pejabat yang berwenang untuk membuatnya.
SKMHT adalah surat yang dibuat di muka dan di hadapan notaris atau PPAT,
yang mengatur hubungan hukum antara pemberi kuasa dengan pemegang kuasa,
dimana pemberi kuasa memberikan kekuasaan kepada pemegang kuasa untuk
membebankan hak tanggungan terhadap hak atas tanah/atau hak atas satuan
rumah susun yang akan dijadikan jaminan utang.16 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UU Hak
Tanggungan 1996) bertujuan memberikan landasan untuk dapat berlakunya
lembaga hak tanggungan yang kuat, di antaranya mengenai kedudukan SKMHT.
Dalam hal ini pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT atau
notaris. Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan 1996 memberikan kesempatan
kepada penerima hak tanggungan untuk menggunakan SKMHT.17 Ada 2 (dua)
alasan pembuatan dan penggunaan SKMHT, yaitu: 18
1. Alasan subjektif, yaitu:
a. Pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan
notaris/PPAT untuk membuat akta hak tanggungan
b. Prosedur pembebanan hak tanggungan panjang/lama
c. Biaya pembuatan hak tanggungan cukup tinggi
d. Kredit yang diberikan jangka pendek
e. Kredit yang diberikan tidak besar/kecil
f. Debitur sangat dipercaya/bonafit.
2. Alasan objektif, yaitu:
a. Sertipikat belum diterbitkan
b. Balik nama atas tanah pemberi hak tanggungan belum dilakukan
c. Pemecahan/penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas nama
pemberi hak tanggungan
d. Roya/pencoretan belum dilaksanakan.

SKMHT ada karena adanya hukum jaminan19. Lembaga jaminan merupakan


perjanjian accessoir dan keberadaannya bergantung pada perjanjian pokoknya.20
Perjanjian pokok disini adalah perjanjian kredit dan perjanjian jaminan beserta
SKMHT adalah perjanjian tambahan dari perjanjian kredit. SKMHT merupakan

16
Salim HS (I), 2016, Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 276
17
Adrian Sutedi (I), 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 95
18
Ibid, hlm. 147-148
19
Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling atau security of law.
Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang lembaga hipotik dan jaminan lainnya,
yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai 30 Juli 1977, disebutkan bahwa
hukum jaminan, meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Lihat
Salim HS (II), 2008, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 5
20
Herlien Budiono (II), Op.Cit, hlm. 169

7
dasar bagi pemasangan akta pembebanan hak tanggungan (selanjutnya disebut
APHT).
Berdasarkan UU Hak Tanggungan 1996, SKMHT dapat dibuat dalam bentuk
akta notaris dan akta PPAT.21 Khusus mengenai bentuk akta-akta PPAT, bentuk
dan tata cara pembuatannya diatur pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah (selanjutnya disebut PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012). Terhadap
SKMHT yang dibuat dalam bentuk akta notaris maka bentuk dan tata cara
pembuatan aktanya mengacu pada Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014.
SKMHT yang dibuat dengan akta PPAT, sesuai dengan lampiran
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi
oleh PPAT dalam membuat akta PPAT, misalnya ketentuan mengenai cover akta
PPAT, penomoran PPAT dan isi dari akta PPAT itu sendiri. Akta PPAT dibuat
dalam bentuk lembar pertama, lembar kedua dan lembar salinan (jika dibutuhkan).
Lembar pertama untuk disimpan oleh PPAT dan lembar kedua akta PPAT sebagai
dasar pendaftaran pada kantor pertanahan. Lembar pertama dan lembar kedua
harus ditandatangani/diparaf setiap halamannya oleh para pihak, para saksi dan
notaris. Penomoran akta PPAT dimulai dari nomor 1 (satu) dari awal tahun (bulan
Januari) dan diakhir pada akhir tahun (bulan Desember). Contoh untuk akta jual
beli, Nomor : 01/2020, ini berarti akta jual beli yang dibuat PPAT adalah akta
dengan urutan pertama di tahun 2020. SKMHT pada akta PPAT hanya dapat
dibuat apabila objek SKMHT berada sama dengan tempat kedudukan PPAT yang
membuatnya, yaitu hanya pada kabupaten/kota.
SKMHT yang dibuat notaris berbeda dengan SKMHT yang dibuat oleh
PPAT. SKMHT yang dibuat dengan akta notaris dapat dibuat dalam bentuk
minuta akta dan akta in originali. Bentuk dan tata cara pembuatan akta notaris
harus berpedoman pada Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014, dengan memenuhi
unsur kepala akta, badan akta dan penutup/akhir akta. Minuta akta adalah akta
yang ditandatangani oleh para pihak, para saksi dan notaris. Penandatanganan
minuta akta dilakukan oleh para pihak, saksi dan notaris pada bagian akhir akta.
Minuta akta dibuat hanya 1 (satu) rangkap, yang disimpan oleh notaris sebagai
protokol notaris. Penomoran akta notaris di mulai setiap awal bulannya dan
diakhir pada akhir bulan tersebut. Sedangkan terhadap akta in originali dapat
dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap tergantung kebutuhan. Akta in originali
ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada
akta in originali ini tercantum kata “berlaku sebagai satu dan berlaku untuk
semua”. SKMHT pada akta notaris dapat dibuat apabila objek SKMHT berada
satu wilayah jabatan dengan notaris yaitu meliputi seluruh wilayah propinsi.
Tahun 2013 untuk penyiapan dan pembuatan blanko PPAT dilakukan sendiri
oleh masing-masing PPAT. Selama 2 (dua) tahun PPAT mencetak sendiri Akta
PPAT sesuai dengan ketentuan pada lampiran PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
tersebut. Tahun 2015 keluarlah Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional

21
Herlien Budiono (III), 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 56

8
Republik Indonesia Nomor 543/5.31/II/2015, Tanggal 05 Februari 2019, Perihal
Pemanfaatan Kembali Blanko untuk Akta PPAT (selanjutnya disebut dengan SE
BPN Pengembalian Blanko 2015). Hal ini dikarenakan menumpuknya stok blanko
Akta PPAT yang dikembalikan oleh PPAT pada Kantor Pertanahan setempat
sesuai dengan intruksi dari PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Berdasarkan
tersebut mewajibkan PPAT menggunakan kembali blanko akta PPAT sampai
habis dan baru kemudian PPAT dapat mencetak sendiri Akta PPAT.
Ketentuan ini berimbas pada SKMHT di beberapa Kantor Pertanahan.
Beberapa Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten di Indonesia, mengharuskan
SKMHT dibuat dengan akta PPAT dan tidak menerima SKMHT yang dibuat
dengan akta notaris. Hal ini disebabkan karena Kepala Kantor Pertanahan
Kota/Kabupaten hanya menerima akta PPAT untuk pendaftaran perubahan hak
atas tanah dan hak atas satuan rumah susun. Namun ada juga Kantor Pertanahan
Kota/Kabupaten yang menerima SKMHT yang dibuat dalam bentuk akta notaris.
Terdapat perbedaan penerapan dalam pembuatan SKMHT dari beberapa Kantor
Pertanahan Kota/Kabupaten di Indonesia.
Permasalahan timbul apabila objek hak tanggungan tidak berada sama dengan
tempat kedudukan PPAT, karena akta PPAT hanya dapat dipergunakan terhadap
objek hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun yang letaknya sama dengan
tempat kedudukan PPAT. Untuk hal seperti ini SKMHT dengan akta notaris yang
dapat menyangkau objek yang letaknya tidak sama dengan tempat kedudukan
PPAT. Jika kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak dapat menerima SKMHT
dengan akta notaris maka notaris menyiasatinya dengan membuat SKMHT
dengan akta PPAT tetapi penomoran terhadap SKMHT tersebut menggunakan
penomoran notaris, dengan format dan bentuk akta menggunakan aturan dibidang
pertanahan atau dengan kata lain SKMHT yang dibuat dalam bentuk
blanko/formulir yang telah dicetak oleh Kantor Pertanahan namun pengaturannya
mengacu pada UU Jabatan Notaris 2014.
Prakteknya terdapat 3 (tiga) macam bentuk SKMHT yang dibuat oleh notaris
dan PPAT. Bentuk pertama SKMHT yang dibuat dengan akta notaris, bentuk
kedua SKMHT yang dibuat dengan akta PPAT, bentuk ketiga SKMHT yang
dibuat dengan penggabungan akta notaris dan akta PPAT. Bentuk ketiga ini dibuat
dengan format akta PPAT namun ditandatangani oleh notaris. Bentuk ketiga ini
biasanya digunakan terhadap objek SKMHT yang berada di luar tempat
kedudukan PPAT. Ketidaksesuaian aturan dalam pembuatan SKMHT ini tentu
menimbulkan pertanggungjawaban terhadap notaris dan PPAT, dikarenakan
bentuk akta tidak sesuai dengan aturan yang mengaturnya. Sehingga tidak ada
kepastian hukum terhadap SKMHT tersebut.
Ketidakpastian hukum ini berlanjut dimana pada Tahun 2020 diundangkanlah
Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Pelayanan Hak
Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (selanjutnya disebut PERKABAN
HT-EL 2020) yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan hak tanggungan
yang memenuhi asas keterbukaan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan
keterjangkauan untuk pelayanan publik, serta untuk menyesuaikan perkembangan
hukum, teknologi dan kebutuhan masyarakat. Pendaftaran hak tanggungan
dilakukan melalui sistem hak tanggungan yang terintegrasi secara elektronik.
Semua dokumen kelengkapan dan akta hak tanggungan disampaikan melalui

9
sistem elektronik mitra kerja yang terintegrasi secara elektronik. Oleh karena itu,
SKMHT sebagai salah satu dokumen kelengkapan pada pendaftaran hak
tanggungan dengan sistem elektronik, tidak dilakukan pengcekkan apakah
SKMHT dibuat oleh notaris atau oleh PPAT, sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Kantor Badan Pertanahan hanya bertugas memeriksa kesesuaian
dokumen kelengkapan hak tanggungan termasuk SKMHT, tidak mengkaji apakah
SKMHT ini sudah sesuai aturan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 atau UU
Jabatan Notaris 2016. Hal ini tentu tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi
notaris dan PPAT, maupun kreditur. Bagi Negara Hukum kepastian hukum
merupakan ciri yang tidak dapat terpisahkan dengan hukum, terutama untuk
norma tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang, dalam istilah Latin Ubi
jus incertum, ibi jus nulum yang artinya di mana tidak ada kepastian hukum, di
situ tidak ada hukum.
Mengenai siapa yang bertanggungjawab terhadap SKMHT yang dibuat
dengan akta PPAT namun memakai penomoran, cap dan ditandatangani oleh
notaris juga menjadi suatu permasalahan. Akta notaris jelas menjadi tanggung
jawab notaris yang membuatnya dan PPAT bertanggung jawab terhadap akta
PPAT yang dibuatnya. Sedangkan terhadap SKMHT yang dibuat dalam bentuk
akta PPAT tapi nomor, cap dan tanda tangan notaris, siapa yang
bertanggungjawab jika terjadi suatu permasalahan. Pada beberapa kasus terhadap
SKMHT bentuk pengabungan ini, pertanggungjawabannya lebih banyak
dibebankan pada jabatan notaris dibandingkan dengan PPAT.
Mengatasi masalah-masalah yang muncul dilapangan dan tidak adanya
aturan/norma yang tegas mengenai hal ini sehingga menimbulkan inkosistensi
terhadap aturan dari SKMHT, yang dampaknya tidak adanya kepastian hukum
dan perlindungan hukum baik bagi notaris dan PPAT, badan pertanahan serta para
pihak, maka penulis tertarik untuk menelitian hal tersebut. Berdasarkan uraian
latar belakang tersebut diatas, maka penulis perlu melakukan penelitian dalam
bentuk disertasi dengan judul:
“KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN”
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis berusaha membatasi masalah dengan
mengindefikasikannya sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan terhadap kewenangan notaris dan PPAT dalam
pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan?
2. Bagaimana kepastian hukum terhadap kewenangan notaris dalam
pembuatam surat kuasa membebankan hak tanggungan?
3. Bagaimana tanggung jawab notaris dan PPAT dalam pembuatan surat
kuasa membebankan hak tanggungan?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian disertasi yang fokus pada pertanggungjawaban notaris sudah
banyak dilakukan dan penelitian ini bukanlah yang pertama kali. Namun,
penelitian disertasi mengenai kepastian hukum terhadap kewenangan notaris
dalam membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan belum penulis jumpai
dan temukan. Berdasarkan penelitian kepustakaan, ditemukan beberapa penelitian
terdahulu yang erat kaitannya dengan penelitian ini, diantarannya:

10
1. Aspek Hukum Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, oleh
Sjaifurrachman, pada Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945,
Surabaya, Tahun 2011.
2. Tanggung Jawab Notaris setelah Berakhirnya Masa Jabatannya terhadap
Akta yang Dibuatnya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, oleh Irma Erlie Yuana, pada Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 2010.
3. Kepastian Hukum Jaminan Hak Atas Tanah Yang Tidak Terdaftar
(Unregistered) Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Sumatera Utara, oleh
Emmi Rahmiwita Nasution, Pada Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan, Tahun 2017
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisa dan mengetahui pengaturan terhadap kewenangan
notaris dan PPAT dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak
tanggungan
2. Untuk menganalisa dan mengetahui kepastian hukum terhadap
kewenangan notaris dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak
tanggungan
3. Untuk menganalisa dan mengetahui tanggung jawab notaris dan PPAT
dalam pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi konsep atau acuan bagi notaris,
PPAT, perbankkan dan Kantor Badan Pertanahan di seluruh Indonesia
dalam pembuatan SKMHT yang benar dan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang mengatur akan SKMHT tersebut, sehingga tercapainya
kepastian hukum terhadap SKMHT.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini akan memberikan manfaat praktis bagi para notaris dan PPAT
dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum serta bagi Kantor
Pertanahan Kota/Kabupaten.
F. Kerangka Penelitian
1. Kerangka Teoritis
Berkaitan dengan permasalahan yang dijadikan objek penelitian, maka
penting dilakukannya eksplorasi jabaran dari beberapa teori ataupun dokrin,
yaitu teori tanggung jawab, teori kewenangan, dan teori kepastian hukum.
Penjabaran lebih lanjut dari teori-teori tersebut diatas adalah sebagai
berikut:
a. Teori Tanggung Jawab
Teori tanggung jawab hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan the theory of legal liability, dalam bahasa Belanda, disebut de
theorie van wettelijk aansprakelijkheid, sedangkan dalam bahas Jerman
disebut, die theorie der hafting merupakan teori yang mengenalisa
tentang tanggung jawab subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan

11
kerugian atau cacat, atau mati orang lain.22 Teori tanggung jawab hukum
(legal liability) telah dikembangkan oleh Hans Kelsen, Wright, Maurice
Finkelstein, dan Ahmad Sudiro.23
Menurut Hans Kelsen, konsep kewajiban hukum adalah konsep
tanggung jawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum
bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia
dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan berlawanan.
Normalnya, dalam kasus sanksi dikenalkan terhadap delinquent adalah
karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus
bertanggungjawab. Dalam kasus ini subjek responsibility dan subjek
kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori tradisional terdapat dua
macam pertanggungjawaban yang berbeda, yaitu pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak
(absolute responsibility).24
Sedangkan Wright mengembangkan teori tanggung jawab, yang
disebut dengan interactive justice. Interactive justice merupakan teori
yang berbicara tentang:25
“kebebasan negatif seseorang kepada orang lain dalam hubungan
interaksinya satu sama lain. Esensi dari interactive justice adalah
adanya kompensasi sebagai perangkat yang melindungi setiap orang
dari interaksi yang merugikan (harmful imteraction), yang umum
diterapkan dalam perbuatan melawan hukum (tort law), hukum
kontrak dan hukum pidana. Menurut Wright, limitasi tanggung
jawab hukum perdata ditentukan dari ada atau tidaknya suatu standar
objektif tertentu (specified standard of conduct) untuk menjadi dasar
penilaian yang terdiri dari (1) no worseoff limitation, (2) superseding
limitation, dan (3) risk play-out limitation.”

Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir


semua karakter resiko dan tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung
atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara
aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya dan
kondisi, yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.
Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan
kecakapan, meliputi juga kewajiban bertanggungjawab atas undang-
undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu
tanggungjawab akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum.
Prinsip tanggungjawab absolut (absolute responsibility) identik dengan
prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).26

22
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani (I), 2014, Buku Kedua : Penerapan Teori Hukum
pada Penelitian Disertasi dan Tesis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 207
23
Ibid, hlm. 211
24
Jimly Asshiddiqie, S.H dan M. Ali Safa‟at, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 45
25
Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani (I), Op.Cit, hlm. 213
26
M. Luthfan Hadi Darus, Op.Cit, hlm. 47

12
b. Teori Kewenangan
Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris,
yaitu authority of theory¸istilah yang digunakan dalam bahasa Belanda
yaitu, theorie van het gezag, sedangkan dalam bahasa Jermannya, yaitu
theorie der autoritat. Teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu
teori dan kewenangan.27 Berkaitan dengan istilah wewenang dan
kewenangan, Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara
pengertian kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara
kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,
bevoegheid).
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan28 yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-
undang, sedangkan hanya mengenai suatu onderdeel (bagian) tertentu
saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya
meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi
meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan
wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam
peraturan perundang-undang.29
Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan sering disamakan begitu saja
dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah
kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahwa kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk
hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak
lain yang diperintah.30 Kewenangan terdiri atas:31
1) Atribusi
Pemberian kewenangan pada badan dan/atau pejabat pemerintah
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 atau undang-undang. Atribusi merupakan wewenang baru
atau sebelumnya tidak ada. Atribusi diberikan kepada badan
dan/atau pejabat pemerintah. Atribusi merupakan wewenang
untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber
pada undang-undang dalam arti materiil. Badan dan/atau pejabat

27
Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani (II), 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Disertasi dan Tesis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183
28
Menurut Marwan Effendi, Kekuasaan merupakan suatu kemampuan individu atau
kelompok untuk melaksanakan kemauannya meskipun harus menghadapi pihak-pihak yang
menentangnya. Kemampuan untuk dapat melaksanakan keinginan tersebut disebabkan oleh
kekuatan fisik, keunggulan psikologi, atau kemampuan intelektual. Kekuasaan seseorang akan
bertambah apabila ia mendapatkan sambutan dari suatu kelompok yang penuh pengabdian dalam
mewujudkan tujuannya, seperti partai politik atau kelompok lain tertentu. Lihat, Marwan Effendi,
Op.Cit, hlm. 61
29
W. Riawan Tjandra, 2018, Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 96
30
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm. 35-35
31
Yudhi Setiawan, dkk, 2017, Hukum Administrasi Pemerintahan, Teori Dan Praktek,
Rajawali Press, Depok, hlm. 99-101

13
pemerintah yang memperoleh wewenang melalui atribusi,
tanggung jawab kewenangannya berada pada badan dan/atau
pejabat pemerintah yang bersangkutan. Kewenangan atribusi
tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur Undang-Undang Dasar
dan/atau undang-undang.
2) Delegasi
Pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintah
yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintah yang
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih
sepenuhnya kepada penerima delegasi. Delegasi merupakan
pelimpahan wewenag untuk membuat besluit oleh pejabat
pemerintah kepada pihak lain.
3) Mandat
Pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintah
yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintah yang
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap
berada pada pemberi mandat. Prosedur pelimpahan mandat
(lazimnya) hubungan tugas rutin atasan dengan bawahan. Dengan
kata lain pelimpahan wewenang pada bawahan.

c. Teori Kepastian hukum


Kepastian hukum dianut oleh para aliran yuridis dogmatik-normatif-
legalistik-positivisme, yang bersumber dari pemikran kaum „legal
positivism’ didunia hukum, yang cenderung hanya melihat hukum hanya
dalam wujudnya sebagai kepastian undang-undang, memandang hukum
sebagai sesuatu yang otonom, karena hukum tak lain hanyalah kumpulan
aturan-aturan hukum (legal rules), norma-norma hukum (legal norm),
dan asas-asas hukum (legal principles). Bagi penganut aliran ini, tujuan
hukum hanya semata-mata untuk mewujudkan „legal certainty’
(kepastian hukum).32
Menurut penganut legalistik ini meskipun atauran hukum atau
penerapan hukum terasa tidak adil, dan tidak memberikan manfaat yang
besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal,
asalkan kepastian hukum (legal certainty) dapat terwujud, hukum identik
dengan kepastian.33 Teori kepastian hukum ini muncul pada aliran
positivisme akibat adanya ketidakpuasa terhadap hukum alam.
Aliran positivisme dipelopori oleh filsuf Perancis Saint Simon
(1760-1825) dan diteruskan oleh August Comte (1798-1857).34 Sebelum
lahir aliran ini telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum
dikenal sebagai legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak
abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak
terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentifikasikan hukum dengan

32
Achmad Ali, 2015, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta,
hlm. 284
33
Ibid, hlm. 286
34
Darji Darmodiharjo, 2007, Positivisme Hukum, Universitas Tarumanegara, Jakarta, hlm.1

14
undang-undang. Tidak ada hukum diluar undang-undang. Satu-satunya
sumber hukum adalah undang-undang. Di Jerman pandangan ini banyak
dianut dan dipertahankan oleh misalnya Paul Laband, Jellinek, Rudolf
Von Jhering, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain. Di Negara
Inggris berkembang dalam bentuk yang agak lain yang kita kenal dengan
positivism hukum seperti dari John Austin dengan Analytical
Jurisprudence-nya/positivism-nya.35
Fuller (1971), juga memajukan delapan asas yang harus dipenuhi
oleh hukum dan apabila itu tidak dipenuhi, maka gagallah hukum disebut
sebagai hukum, kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:36
a. suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak
berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu (ad
hoc)
b. peraturan tersebut diumumkan pada publik
c. tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem
d. dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum
e. tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan
f. tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan
g. tidak boleh sering diubah-ubah
h. tidak ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
II. Metode Penelitian
Metode berasal dari kata methodos (Yunani) yang dimaksud adalah cara atau
menuju suatu jalan.37 Penelitian berarti mencari kembali sesuatu. Yang dicari
dalam suatu penelitian adalah pengetahuan yang benar, di mana pengetahuan yang
benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan
tertentu.38 Penelitian hukum sebagai proses pengidentifikasi dan mengambil
informasi yang diperlukan untuk mendukung hukum pengambilan keputusan.
Dalam arti luas penelitian hukum termasuk setiap langkah dari suatu tindakan
yang diawali dengan analisis fakta-fakta masalah dan diakhiri dengan aplikasi dan
komunikasi hasil penelitian tersebut.39 Pada penelitian hukum disusun dengan
konsep hukum dalam mencari jawaban dari permasalahan, untuk mengemukan
kepastian hukum, maka pada penelitian ini digunakan metode sebagai berikut:
A. Pendekatan dan Sifat Penelitian
Penelitian disertasi ini menggunakan metode pendekatan hukum
Normatif40, yaitu suatu penelitian yang secara induktif41, yang berfungsi untuk
35
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2004, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 56
36
Achmad Ali, Op.Cit, hlm. 294
37
Suteki dan Galang Taufani, 2018, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan
Praktik), Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 148
38
Ibid, hlm. 125
39
Esmi Warassih, dkk, 2016, Penelitian Hukum Interdisipliner, Sebuah Pengantar Menuju
Sosial-Legal, Thafamedia, Yogyakarta, hlm. 136
40
Menurut Sidharta, kegiatan yuridis normatif menyangkut kegiatan menginventarisasi,
memaparkan, menginterpretasi, dan mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum
positif yang berlaku dalam suatu masyarakat atau negara tertentu dengan bersaranakan konsep-
konsep (pengertian-pengertian), kategori-kategori, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi, dan metode-

15
memberikan argument yuridis ketika terjadi kekosongan, kekaburan dan
konflik norma.42
Penelitian pada disertasi ini adalah bersifat Deskriptif43 Analistis44.
Dikatakan Deskriftif Analitis karena hasil penelitian ini diharapkan akan
diperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis sehingga timbul kepastian
hukum terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) baik
yang dibuat dengan akta notaris maupun akta PPAT sehingga notaris dan
PPAT dapat lepas dari pertanggungjawaban.
B. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:
a. Penelitian Kepustakaan (library research)45, guna memperoleh data
sekunder, dalam hal ini dilakukan pengkajian terhadap:
1) Bahan-bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim.46
2) Bahan Hukum Sekunder.
3) Bahan-Bahan Hukum Tertier.
b. Penelitian Lapangan (field research)
Penelitian lapangan dimaksudkan untuk menambah kelengkapan data
melalui studi kepustakaan, untuk mengetahui secara langsung bagaimana
pembuatan SKMHT yang dilakukan oleh notaris dan PPAT berdasarkan
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 atau UU Jabatan Notaris 2016, atau
mengambungkan kedua aturan tersebut. Artinya penelitian lapangan ini

metode yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan tersebut yang
keseluruhan kegiatannya itu diarahkan untuk mempersiapkan upaya menemukan penyelesaian
yuridis terhadap masalah hukum (mikro maupun makro) yang mungkin terjadi didalam
masyarakat. Jadi, ilmu hukum secara langsung terarah untuk menawarkan alternatif penyelesaian
yuridis terhadap masalah hukum konkret. Alternatif penyelesaian yang ditawarkan itu dirumuskan
dalam bentuk sebuah putusan hukum yang disebut dengan proposisi hukum. Lihat, Shidarta, dkk,
2009, Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm.
142
41
Menurut Soetandyo, proses penalaran yang berangkat dari suatu kalimat pernyataan khusus
untuk tiba pada suatu simpulan yang akan dapat menjawab suatu pertanyaan. Berfungsi sebagai
proses pembentukan benar salahnya suatu pendapat tesis ataupun hipotesis mengenai masalah
tertentu. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum Konsep dan Metode, Setara Press,
Malang, hlm. 103
42
I Made Pasek Diantha, 2016, Metode Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, hlm.
12
43
Menurut Suteki dan Galang Taufani, Metode deskriptif merupakan salah satu dari jenis-
jenis metode penelitian. Metode penelitian deskriptif mengumpulkan informasi aktual secara rinci
yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi permasalahan atau memeriksa kondisi dan
praktik-praktik yang berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi dan menetukan apa yang
dilakukan oang lain dalam menghadapi permasalahan yang sama dan belajar dari pengalaman
mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. Lihat, Suteki dan
Galang Taufani, Op.Cit, hlm. 133
44
Penelitian analisis ditujukan untuk menyelidiki secara terperinci aktivitas dan pekerjaan
manusia, hasil penelitian tersebut dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk keperluan
masa yang akan datang. Lihat, Moh. Nazir, 1988, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta, hlm. 71
45
Penelitian perpustakaan adalah metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian. Lihat, Metika Zed, 2008, Metode Penelitian Kepustakaan,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 3
46
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 181

16
hanya dilakukan sekedar untuk memperkuat data kepustakaan sehingga
keberadaannya tidak merubah tripologi penelitian ini sebagai penelitian
hukum normatif. Pada penelitian lapangan pengumpulan data dilakukan
dengan mengunakan metode wawancara yaitu wawancara dengan pedoman
wawancara. Wawancara dilakukan pada beberapa notaris dan PPAT, Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, Perbankan Syariah dan Perbankan
Konvensional.
C. Teknik/Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan
sehingga dapat diperlihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara,
pengamatan, tes, dokumentasi dan sebagainya.47 Metode pengumpulan data
pada penelitian disertasi ini adalah melalui Studi Dokumen.
Studi dokumen adalah kumpulan berkas atau data yakni pencarian
informasi atau keterangan yang benar dan nyata, serta yang didapatkan dari
hasil pengumpulan data berupa buku, notulen, transkrip, catatan, masalah dan
sebagainya.48
D. Pengolahan dan Analisis Data
Data penelitian yang sudah ada akan dianalisa secara kualitatif49, yaitu
metode yang berlandasan kepada filsafat positivisme.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENGATURAN TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS DAN
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN SURAT
KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
1. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pada Ketentuan
Jabatan Notaris Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Ketentuan mengenai akta otentik juga diatur dalam Pasal 165 HIR dan
Pasal 285 Rbg, yang memiliki bunyi pasal yang sama, yaitu:
“akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat
yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara
para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari
padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan sebagai
pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan
langsung dengan perihal pada akta itu.”

Terhadap SKMHT sebagai akta otentik maka aturan dasarnya adalah Pasal
1868 KUHPerdata, yang menyatakan:50
“suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-

47
Suteki dan Galang Taufani, Op.Cit, hlm. 216
48
Ibid, hlm. 217
49
Menurut Septiawan Santana, pada pendekatan kualitatif referensi (kajian pustaka) menjadi
syarat penting di dalam riset, dan membantu berbagai tujuan penelitian. Di dalam kualitatif,
peneliti mengkaji berbagai literatur, dan menggunakannya untuk menjelaskan apa yang terjadi di
dalam penelitiannya, sekaligus pula mendapatkan jawaban dari berbagai hal yang ditemukan
selama penelitian. Lihat, Setiawan Santana K, 2010, Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 10
50
Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi,
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 475

17
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta
dibuatnya.”

Pasal 1868 KUHPerdata inilah yang menjadi dasar bagi suatu akta otentik,
termasuk SKMHT. Jika suatu akta kuasa membebankan hak tanggungan
ataupun surat kuasa membebankan hak tanggungan tidak memenuhi Pasal
1868 KUHPerdata, maka akta kuasa membebankan hak tanggungan ataupun
surat kuasa membebankan hak tanggungan tersebut tidak dapat dianggap
sebagai akta otentik.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan membahas mengenai
pengaturan SKMHT pada ketentuan jabatan notaris dan jabatan PPAT:
a. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pada Ketentuan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Jika ketentuan akta otentik berpijak pada Pasal 1868 KUHPerdata, dan
menjadi tolak ukur dari syarat mengenai sebuah akta dinyatakan sebagai
akta otentik, maka senang atau tidak senang akta PPAT tidak dapat
dikualifikasikan sebagai akta otentik. Hal ini disebabkan karena bentuk
akta PPAT tidak ditentukan oleh undang-undang. Sehingga wajar dalam
lapangan hukum agraria terutama berkenaan dengan ke-PPAT-an terjadi
perdebatan mengenai kekuatan pembuktian akta PPAT sebagai akta
otentik. Mengenai PPAT, diberikan tugas dalam hal pendaftaran tanah
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan PP
Pendaftaran Tanah 1997), pada Pasal 6 PP Pendaftaran Tanah 1997,
disebutkan bahwa:
“1) Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftaran tanah
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-
kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau
perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat
lain.
(2) Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan
dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan
Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.”

Pasal 6 PP Pendaftaran Tanah 1997 ini, mengamanatkan bahwa pada


kegiatan-kegiatan tertentu dalam hal pendaftaran tanah Kepala Kantor
Badan Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh PPAT dan pejabat lain.
Pejabat lain yang dimaksud adalah pejabat akta ikrar wakaf (PPAIW), dan
pejabat dari kantor lelang. Tugas dan peran PPAT dalam kegiatan
pendaftaran tanah adalah membuat akta pemindahan hak, pemberian hak
tanggungan dan pemberian hak atas tanah dan atas hak milik atas satuan
rumah susun. Sedangkan tugas dan peranan pejabat pembuat ikral wakaf
dalam pendaftaran tanah adalah membuat akta ikrar wakaf tanah hak
milik. Serta peran pejabat dari kantor lelang dalam pendaftaran tanah
adalah membuat kutipan risalah atau berita acara lelang hak atas tanah.

18
Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
memuat tugas dan kewenangan PPAT dalam melakukan perbuatan hukum
yang berkenaan dengan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun, yang berkaitan dengan membuat SKMHT, adalah:
1) PP Jabatan PPAT 2016, pada Pasal 2, mengenai tugas dan kewenangan
pokok dari PPAT menyebutkan bahwa:
“(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik
g. Pemberian hak tanggungan
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.”

2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT
(selanjutnya disebut PERKABAN Nomor 1 Tahun 2006), pada Pasal 2
menyebutkan mengenai tugas pokok dan kewenangan PPAT.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PP Jabatan PPAT 2016 dan Pasal 2
PERKABAN Nomor 1 tahun 2006 adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun. Pada kedua pasal tersebut yang memiliki tugas adalah PPAT
selaku pejabat umum, dalam kaitan ini pejabat umum yang dimaksud
adalah seorang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dan tugas
melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu, yaitu
mengenai pendaftaran tanah.

3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional


Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disebut dengan Perment ATR/BPN Nomor 3 Tahun 1997)
Pada Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2), jenis dan bentuk akta yang dapat
dibuat oleh PPAT berdasarkan pasal tersebut, yaitu:
“1) Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah:
a. Akta jual beli
b. Akta tukar menukar

19
c. Akta hibah
d. Akta pemasukan kedalam perusahaan
e. Akta pembagian hak bersama
f. Akta pemberian hak tanggungan
g. Akta pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik.
h. Akta pemberian hak pakai atas tanah hak milik.
(2) Selain akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT juga
membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan yang
merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam
pembuatan akta pemberian hak tanggungan.”

4) UU Hak Tanggungan 1996


Pasal 15 UU Hak Tanggungan 1996 menyebutkan bahwa PPAT dapat
membuat SKMHT, dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
“(1) Surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan
akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
daripada membebankan hak tanggungan
b. Tidak memuat kuasa substitusi
c. mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang
dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor
apabila debitor bukan pemberi hak tanggungan.
(2) Kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik
kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali
karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis
jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3) Surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah
yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan akta pemberian
hak tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah
diberikan.
(4) Surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah
yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan akta
pemberian hak tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
sesudah diberikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak
berlaku dalam hal surat kuasa membebankan hak tanggungan
diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Surat kuasa membebankan hak tanggungan yang tidak diikuti
dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan dalam waktu
yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat
(4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.”

5) PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012

20
Pada PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 ini, pada Pasal 96
menyebutkan mengenai bentuk-bentuk akta dan cara pengisian akta-
akta PPAT, yaitu:
“(1) Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) dan
cara pengisiannya sebagaimana tercantum dalam lampiran 16
sampai 23 dan terdiri dari bentuk:
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik
g. Pemberian hak tanggungan
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan
(2) Dihapus
(3) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan pembuatan akta pemberian
hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)
tidak dapat dilakukan berdasarkan akta yang pembuatannya tidak
sesuai dengan ketentuan pada ayat (1)
(4) Penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh masing-masing pejabat pembuat akta tanah, pejabat
pembuatn akta tanah pengganti, pejabat pembuat akta tanah
sementara, pejabat pembuatan akta tanah khusus
(5) Kepala kantor pertanahan menolak pendaftaran akta pejabat
pembuatn akta tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam ayat (1).”

Pembuatan SKMHT berdasarkan 5 (lima) aturan tersebut menyatakan


bahwa SKMHT merupakan tugas dan kewenangan dari PPAT. Pasal 2 PP
Jabatan PPAT 2016 menyebutkan bahwa PPAT dapat melakukan
perbuatan hukum dalam hal pendaftaran atas perubahan data tanah,
perbuatan hukum ini berupa pembuatan akta PPAT, salah satu aktanya
adalah SKMHT. Berdasarkan Pasal 2 PP Jabatan PPAT 2016 tersebut
PPAT diberi kewenangan dalam membuat SKMHT. Demikian pula halnya
yang diamanatkan dalam Pasal 2 PERKABAN Nomor 1 Tahun 2016,
bahwa PPAT mendapat kewenangan dalam pembuatan SKMHT. Pasal 95
Perment ATR/BPN Nomor 3 Tahun 1997, akta tanah yang dibuat oleh
PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
salah satunya adalah SKMHT. Pasal 15 UU Hak Tanggungan
menyebutkan bahwa SKMHT dapat dibuat dalam bentuk akta PPAT dan
akta notaris. Kewenangan PPAT membuat SKMHT hanya berlaku
terhadap objek SKMHT yang berada pada daerah kerja PPAT. Daerah
kerja PPAT adalah satu wilayah kerja dengan Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Oleh karena itu terhadap objek dari SKMHT
kedudukannya tidak sama dengan daerah kerja PPAT, maka PPAT yang
bersangkutan tidak berwenang membuat SKMHT. Sebagai contoh, objek

21
SKMHT terletak di Kabupaten Padang Pariaman, sedangkan daerah kerja
PPAT Kota Pariaman, maka terhadap objek SKMHT tersebut, tidak dapat
dibuatkan SKMHTnya oleh PPAT Kota Padang Pariaman. Ini salah satu
kelemahan SKMHT dengan akta PPAT.
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 pada Pasal 95 menyebutkan
bahwa akta yang dibuat oleh PPAT harus sesuai dengan lampiran pada
PERKABAN ini. Lampiran PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 di
dalamnya terdapat mengenai cara pembuatan SKMHT. Mengenai bentuk,
sifat, dan isi SKMHT diatur dan ditetapkan oleh Menteri ATR/BPN.
Namun sampai saat ini tidak pernah ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai bentuk, sifat, dan isi akta PPAT, termasuk
SKMHT. Lampiran PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 hanya
menjelaskan bagaimana cara pengisian akta PPAT. Pengisian formulir
blanko SKMHT yang dimaksud dalam Pasal 96 PERKABAN Nomor 8
Tahun 2012, adalah formulir yang telah disediakan oleh Kantor Pertanahan
Kota/Kabupaten. Terhadap SKMHT dan APHT jika pengisian formulir
tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Menteri maka
terhadap pendaftaran perubahan data pendaftaran tidak dapat dilakukan
oleh Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten. PERKABAN Nomor 8 Tahun
2012 dilatarbelakangi untuk meningkatkan pelayanan dalam penyiapan
dan pembuatan akta PPAT yang dilakukan oleh PPAT. Peningkatan
pelayanan ini tidak hanya berlaku bagi PPAT, tetapi berlaku juga terhadap
PPAT pengganti, PPAT sementara dan PPAT khusus. PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012 ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2013. Sejak
mulai berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 ini maka peraturan-
peraturan yang bertentangan dengan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berdasarkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 maka semua blanko-
blanko yang dahulunya pernah dibagikan kepada PPAT, harus diserahkan
kembali pada Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat oleh PPAT.
Pengembalian blanko tersebut membuat PPAT dapat mencetak sendiri
blanko yang semula dicetak oleh badan pertanahan. Sehinga, sejak
berlakunya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 ini maka seluruh PPAT di
Indonesia berkewajiban menyerahkan sisa-sisa blanko yang terdapat
dikantor mereka.51 Blanko-blanko yang dikembalikan oleh PPAT,
termasuk sementara, PPAT pengganti dan PPAT khusus, akan dibuatkan
berita acara pengembalian blanko oleh Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten
setempat. Tanda terima ini menerangkan blanko akta PPAT apa saja yang
diserahkan dan berapa jumlahnya. Pada blanko PPAT terdapat nomor seri
pada dibagian atas blanko. Setiap blanko memiliki nomor seri yang
berbeda dari dari blanko lainnya. Nomor seri ini merupakan nomor kode
dari Badan Pertanahan Nasional. Nomor seri yang terdapat pada blanko
akta PPAT ini bertujuan untuk melacak keberadaan akta PPAT tersebut,
dengan adanya nomor seri maka Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten dapat
mengetahui keberadaan blanko oleh PPAT. Oleh karena itu pada saat

51
Wawancara dengan Notaris/PPAT SRI HUSNIATI NAJMI, SH, PPAT/Notaris di
Kabupaten Agam, pada tanggal 5 September 2020.

22
pemberian kembali blanko akta PPAT kepada Kantor Pertanahan
Kota/Kabupaten dalam berita acara pengembaliannya memuat nomor seri
dari blanko akta PPAT. Hal ini bertujuan untuk menghindari nantinya
tidak menjadi permasalahan atas penggunaan blanko tersebut oleh pihak
yang tidak bertanggung jawab.
Pencetakan sendiri blanko SKMHT oleh PPAT berlaku sampai akhir
Tahun 2014 dan pada awal Tahun 2015 keluarkan surat edaran dari Kepala
Badan Pertanahan Nasional, yang mana surat edaran ini bertentangan
dengan kebijakan dan ketentuan yang terdapat dalam PERKABAN Nomor
8 Tahun 2012. Berdasarkan SE BPN Pengembalian Blanko 2015
tertanggal 05 Februari 2015 perihal pemanfaatan blanko akta PPAT yang
ditujukan kepada seluruh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. SE
BPN Pengembalian Blanko 2015 tersebut memerintahkan kepada seluruh
PPAT supaya blanko akta PPAT yang dibuat oleh Kantor Pertanahan
Nasional dipergunakan lagi. Pemanfaatan kembali blanko lama ini oleh
PPAT diharuskan sampai blanko tersebut habis. Setelah blanko tersebut
habis maka PPAT dapat mencetak sendiri blanko akta PPAT yang baru.
Berdasarkan perintah dari SE BPN Pengembalian Blanko 2015 ini,
maka seluruh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota
mengembalikan blanko-blanko kepada PPAT yang awalnya ditarik dari
PPAT. Dahulu terhadap blanko-blanko akta PPAT yang dicetak oleh
Badan Pertanahan Nasional ini dikenalkan biaya pembelian kepada PPAT.
Namun berdasarkan SE BPN Pengembalian Blanko 2015 ini blanko-
blanko yang dikembalikan tidak dikenakan biaya pada PPAT atau gratis.
Setelah keluarnya SE BPN Pengembalian Blanko 2015 ini, maka
Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota/Kabupaten dalam pendaftaran
perubahan data pertanahan menggunakan blanko yang berbentuk formulir
atas isian kembali. Termasuk terhadap SKMHT dan APHT. Terhadap
pemakaian kembali blanko atas isian ini tidak semua PPAT yang
melakukan, ada beberapa PPAT yang menentang keberadaan SE BPN
Pengembalian Blanko 2015, karena bertentangan dengan aturan hukum
yang berlaku. Dimana tidak sah peraturan yang lebih rendah membatalkan
peraturan yang lebih tinggi atau di atasnya. PERKABAN Nomor 8 Tahun
2012 tidak mungkin dibatalkan oleh SE BPN Pengembalian Blanko 2015
yang notabene dalam hierarki peraturan perundangan-undang keberadaan
surat edaran bukan merupakan bagian dari hierarki peraturan perundang-
undangan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(selanjutnya disebut UU Hierarki Perundang-Undangan 2011). Surat
edaran tidak dapat meniadakan atau membatalkan Peraturan Menteri. Hal
ini bertentangan dengan asas hukum yaitu lex superior derogate legi
inferiori yang artinya hukum yang tingkatannya lebih tinggi
mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah.
SE BPN Pengembalian Blanko 2015 ini ada yang dilaksanakan oleh
PPAT ada pula beberapa PPAT yang menolaknya. Setiap daerah di
Indonesia berbeda-beda penerapan SE BPN Pengembalian Blanko 2015
mengenai pembuatak akta PPAT. Pada Praktiknya terkadang tergantung
dengan negosiasi dengan Kepala Kantor Badan Pertanahan

23
Kabupaten/Kota setempat. Jika Kepala Kantor Badan Pertanahan suatu
daerah mau menerima saran dan pendapat dari para PPAT maka pada
daerah tersebut tetap melaksanakan pembuatan blanko akta PPAT
beradasarkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Akan tetapi apabila
Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota tidak menerima
masukan dan saran dari PPAT, dan tetap menjalankan perintah dari Kantor
Wilayah Badan Pertanahan setempat. Inilah perjalanan panjang dari akta
PPAT.
Blanko akta PPAT berupa pengisian formulir tersebut berlaku sampai
habis pada PPAT. Jika blanko tersebut sudah tidak ada lagi pada PPAT
maka barulah PPAT dapat membuat akta PPAT berdasarkan PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012. Pada Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota di
beberapa daerah sampai saat ini masih terdapat PPAT yang dalam
pembuatan akta PPAT termasuk SKMHT menggunakan blanko akta PPAT
dalam bentuk pengisian formulir. Terkadang yang menjadi alasan masih
dipergunakannya blanko akta PPAT dalam bentuk pengisian formulir
tersebut karena ketidaktahuan PPAT mengenai atuaran-aturan dalam
menjalankan jabatannya dan faktor lain karena perintah dari Kepala
Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota yang menghendaki
tetap dipergunakannya blanko akta PPAT dalam bentuk pengisian
formulir.
Akta PPAT yang berupa blanko akta, terdiri dari 2 (dua) rangkap yang
merupakan akta asli yang ditandatangani oleh para pihak, para saksi dan
notaris disetiap lembarnya. 1 (satu) rangkap akta merupakan lembar
pertama dan 1 (satu) rangkap akta merupakan lembar kedua. Lembar
pertama disimpan oleh PPAT sebagai warkah, sedangkan lembar kedua
akan disampaikan pada Kantor Pertanahan sebagai dasar perubahan
pendaftaran hak atas tanah. Jika para pihak membutuhkannya, maka 1
(satu) rangkap diberikan yaitu berupa lembar salinan. Akta PPAT dalam
prakteknya bisa juga disebut sebagai akta original, yaitu surat tanda bukti
yang dibuat oleh pejabat umum, dimana memuat tanda tangan para pihak
yang bersangkutan, para saksi dan PPAT.
b. Pengaturan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pada Ketentuan
Peraturan Jabatan Notaris
Peraturan dasar SKMHT sebagai akta otentik adalah Pasal 1868
KUHPerdata. SKMHT yang dibuat dengan akta notaris, menurut penulis
lebih tepat dipergunakan kata “akta” bukan “surat”. Hal ini didasarkan
bahwa notaris diberi kewenangan untuk membuat akta otentik. Sedangkan
surat belum tentu akta otentik, karena surat bisa dibuat oleh siapa saja,
sedangkan akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh dan dihadapan
pejabat umum. Berdasarkan hal tersebut maka SKMHT yang dibuat oleh
notaris lebih tepatnya adalah akta kuasa membebankan hak tanggungan
(selanjutnya disebut AKMHT). Pengaturan terhadap SKMHT pada
jabatan notaris, adalah:
a. Pasal 1171 KUHPerdata
“hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam
hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang. Begitu pula
kuasa yang memberikan hipotik harus dibuat dengan akta otentik.”

24
Sebelum berlakunya UU Hak Tanggungan 1996, lembaga jaminan
untuk hak tanggungan disebut dengan hipotik. Namun setelah
berlakunya UU Hak Tanggungan 1996, untuk jaminan benda tidak
bergerak berupa tanah, diatur dan tunduk pada UU Hak Tanggungan
1996. Berdasarkan Pasal 1171 KUHPerdata tersebut diatas, disebutkan
bahwa untuk pemasangan hipotik sekarang disebut hak tanggungan
harus dibuat dengan akta otentik, begitu juga dengan kuasanya. Kuasa
yang dimaksud disini adalah SKMHT.
b. Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UU Hak Tanggungan 1996
“(1) Surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan
akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
dari pada membebankan hak tanggungan
b. Tidak memuat kuasa substitusi
c. Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah
utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas
debitor apabila debitor bukan pemberi hak tanggungan.
(2) Kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik
kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali
karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis
jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3) Surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah
yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan akta
pemberian hak tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sesudah diberikan.
(4) Surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah
yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan akta
pemberian hak tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
sesudah diberikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak
berlaku dalam hal surat kuasa membebankan hak tanggungan
diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Surat kuasa membebankan hak tanggungan yang tidak diikuti
dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan dalam waktu
yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau
ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.”
UU Hak Tanggungan 1996 lahir salah satu alasannya adalah karena
bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat
pada bidang ekonomi, sehingga dibutuhkan penyediaan dana yang
cukup besar, dan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu memberi
kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. UU Hak Tanggungan
1996 ini berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu 9 April 1996.

25
Sebelum berlakunya UU Hak Tanggungan 1996 tidak ada yang
namanya SKMHT, yang ada adalah surat kuasa memasangkan hipotek
(selanjutnya disebut dengan SKMH). Namun SKMH ini tidak
dipergunakan langsung untuk memasang hipotek, SKMH ini baru
dipasangkan hipotek apabila debitur mulai kelihatan wanprestasi. Hal
ini yang diantisipasi oleh UU Hak tanggungan 1996, karena lemahnya
jaminan kepastian hukum bagi kreditur.
Dalam memberikan hak tanggungan, pemberi hak hanggungan wajib
hadir di hadapan notaris. Karena sesuatu sebab tidak dapat hadir
sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan
SKMHT, yang berbentuk akta otentik. Hal ini bertujuan dalam rangka
memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak yang
memerlukan. Pada saat pembuatan SKMHT, harus sudah ada keyakinan
pada notaris yang bersangkutan, bahwa pemberi hak tanggungan
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
obyek hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai
dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu
pemberian hak tanggungan itu didaftar. Pada tahap pemberian hak
tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditor, hak
tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak tanggungan itu baru
lahir pada saat dibukukannya dalam buku-tanah di Kantor Pertanahan.
Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarnya hak tanggungan
tersebut adalah sangat penting bagi kreditor. Saat tersebut bukan saja
menentukan kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor-kreditor
yang lain, melainkan juga menentukan peringkatnya dalam
hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga pemegang hak
tanggungan, dengan tanah yang sama sebagai jaminannya. Untuk
memperoleh kepastian mengenai saat pendaftarannya, dalam UU Hak
Tanggungan 1996 ditentukan, bahwa tanggal buku tanah hak
tanggungan yang bersangkutan adalah tanggal hari 7 (tujuh) setelah
penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut
secara lengkap oleh Kantor Pertanahan, dan jika hari ketujuh itu jatuh
pada hari libur, maka buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal
hari kerja berikutnya. Dalam rangka memperoleh kepastian mengenai
kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang hak tanggungan
tersebut, ditentukan pula, bahwa APHT beserta surat-surat lain yang
diperlukan bagi pendaftarannya, wajib dikirimkan oleh PPAT kepada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan.
Pada Pasal 15 ayat (5) UU Hak Tanggungan 1996 mengatur mengenai
jangka waktu berakhirnya SKMHT. Namun dalam KUHPerdata
berakhirnya pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan
bersifat khusus dan limitatif. Maksudnya kuasa kuasa akan berakhir
dalam keadaan yang sudah ditentukan berakhirnya, tetapi dalam
keadaan tertentu SKMHT akan tetap merujuk pada berakhirnya kuasa
yang tercantum dalam KUHPerdata. Jika kita bandingkan dengan
ketentuan yang terdapat KUHPerdata mengenai jangka waktu
berakhirnya kuasa dalam Pasal 470 KUHPerdata menyatakan bahwa

26
tenggang waktu kuasa yang diharuskan adalah 10 (sepuluh) tahun. Oleh
karena itu jauh berbeda dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh UU
Hak Tanggungan 1996 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2017 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit
Tertentu (selanjutnya disebut dengan Perment ATR/BPN Nomor 22
Tahun 2017). Sehingga dapat disebut bahwa tidak sesuainya aturan
mengenai jangka waktu terhadap lembaga kuasa. Menurut Ahmad
Redi52 harus adanya asas kesesuaian antara jenis dan hierarki antara
peraturan perundang-undangan satu dengan yang lainnya.
c. Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) dan Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5),
(6), (7), (8), (9), (10), (11), (12), dan (13) UU Jabatan Notaris 2014
Pasal 15
“(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), notaris
berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta
f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan
g. Membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.”

Pasal 16
“(1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib:
a. Bertindak amanah,jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum

52
Ahmad Redi, 2018, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 24

27
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari protokol Notaris
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
minuta akta
d. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta
berdasarkan minuta akta
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain;
g.menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika
jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut
dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah
minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap
buku
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf I
atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar
wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada
minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k.mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat
pada setiap akhir bulan
l. Mempunyai capatau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
m.membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi
khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan,dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
notaris
n. Menerima magang calon Notaris.
(2) Kewajiban menyimpan minuta Akta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan akta
in originali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pension
b. Akta penawaran pembayaran tunai
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya
surat berharga
d. Akta kuasa

28
e. Akta keterangan kepemilikan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat
lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan
isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata
“BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK
SEMUA".
(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belumdiisi nama penerima
kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran capatau stempel sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak
wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak
dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui,
dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut
dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman minuta
akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan
terhadap pembacaan kepala akta, komparasi, penjelasan pokok akta
secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.
(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m
dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku
untuk pembuatan akta wasiat.
(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. Peringatan tertulis
b. Pemberhentian sementar
c. Pemberhentian dengan hormat
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.
(12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11),
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.”
Kedua pasal yang terdapat pada UU Jabatan Notaris 2014 tersebut,
yaitu Pasal 15 dan Pasal 16 memberikan kewenangan pada notaris
untuk membuat SKMHT. SKMHT ini tentunya tetap berpedoman pada
ketentuan 1868 KUHPerdata dan ketentuan Pasal 38 UU Jabatan
Notaris 2014. Agar SKMHT yang di buat di hadapan notaris ini
menjadi akta otentik yang nilai pembuktiannya sempurna di mata
hukum. Sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara yang
inkracht van gewijsde dapat berpedoman dari akta yang dibuat dan di
hadapan notaris. Akhirnya profesi notaris ini memang merupakan
profesi yang bermartabat dan profesi yang mulia (officium nobile).

29
SKMHT yang dibuat oleh notaris dapat berupa minuta akta dan akta
in originali. Minuta akta merupakan akta asli yang memuat tanda tangan
penghadap, saksi dan notaris. Minuta akta akan disimpan oleh notaris
sebagai bagian dari reportorium notaris. Minuta akta hanya terdiri atas 1
(satu) rangkap. Para pihak akan menerima salinan akta. Salinan akta isi
samanya dengan apa yang diterangkan dalam minuta akta. Salinan akta
yang diterima para pihak hanya ditandatangani oleh notaris yang
bersangkutan.
Menurut Salim HS, yang dikutip dari Yudo Diharjo Lantanea, akta in
originali adalah akta notaris dimana semua tanda tangan, paraf dan catatan
pinggir (renvoi) dimuat dalam akta. Akta in originali tersebut hanya dibuat
sebanyak yang dibutuhkan dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-
kata sebagai berikut “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”.
Misalnya bila dibuat dalam 3 (tiga) rangkap, maka hanya sebanyak itu saja
yang diberikan dan notaris tidak diwajibkan untuk menyimpannya.
Meskipun akta in originali ini diberi nomor bulanan dan dimasukkan
dalam buku daftar notaris (repertorium) serta diberi nomor repertorium.
Pada praktiknya dalam hal para pihak membutuhkan 3 (tiga) rangkap,
notaris akan menawarkan untuk membuat 1 (satu) rangkap tambahan
untuk disimpan, diarsipkan oleh notaris sehingga dalam hal dibutuhkan
dikemudian hari oleh pihak yang berkepentingan karena satu dan lain hal,
maka notaris tersebut dapat membuat fotokopi terhadap akta ini originali
yang disimpan oleh notaris tersebut. Pengecualian dalam hal akta in
originali yang diberi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa, hanya
dapat dibuat 1 (satu) rangkap.53
SKMHT dapat dibuat oleh notaris apabila objek dari SKMHT berada
di luar tempat kedudukan notaris. Oleh karena notaris mempunyai wilayah
jabatan yang meliputi seluruh propinsi dari tempat kedudukannya.
Misalnya objek SKMHT berada di Kabupaten Pariaman, sedangkan
tempat kedudukan notaris di Kota Pariaman. Berdasarkan hal tersebut
maka notaris berwenang untuk membuat SKMHT.
2. Sinkronisasi Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
SKMHT berdasarkan UU Hak Tanggungan 1996 diberikan kewenangan
pembuatannya pada notaris dan PPAT. Berdasarkan kewenangan, aturan
perundang-undangan, wilayah kerja, kekuatan pembuktian dan kewajiban
pelaporan, maka SKMHT lebih tepat menjadi kewenangan notaris dan dibuat
dalam bentuk akta notaris (minuta akta dan akta in originali). Tepatnya
SKMHT dibuat oleh dan dihadapan notaris, hal ini didasarkan pada, pertama
mengenai pengaturan perundang-undangan. SKMHT yang dibuat oleh notaris
dapat dalam bentuk salinan akta dan akta in originali berdasarkan UU Jabatan
Notaris 2014. Pengaturan SKMHT yang dibuat di hadapan dan oleh notaris
adalah berdasarkan UU Jabatan Notaris 2014. Hal ini didasarkan pada Pasal
15 ayat (2) huruf f dan Pasal 16 ayat (3), (4), (5), dimana notaris diberi
kewenangan untuk membuat akta di bidang pertanahan. Mengenai tata cara

53
Salim HS (III), 2016, Teknik Pembuatan Akta Satu, Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris,
Bentuk, Dan Minuta Akta, RajaGrapindo Persada, Jakarta, hlm.153

30
dan bentuk akta mengenai SKMHT ini juga mengacu dan tunduk pada UU
Jabatan Notaris 2014, yaitu pada Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014. Jika
dibandingkan dengan SKMHT yang dibuat oleh notaris dengan SKMHT yang
dibuat oleh PPAT, dimana SKMHT yang dibuat oleh PPAT didasarkan pada
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012
mengatur mengenai bentuk dan tata cara pembuatan SKMHT yang dilakukan
oleh PPAT.
Berdasarkan perbedaan dari pengaturan pada peraturan perundang-
undangan yang mengatur pembuatan SKMHT tersebut, maka SKMHT yang
dibuat notaris secara hirarki peraturan perundang-undangan memenuhi syarat
akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata mengenai akta dibuat dalam
bentuk dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan pada
PPAT bentuk dan tata cara pembuatan akta PPAT hanya mengacu pada
Peraturan Kepala Badan, yang secara hirarki jauh di bawah undang-undang
sehingga tidak memenuhi syarat akta otentik berdasarkan Pasal 1868
KUHPerdata.
Kedua mengenai kewenangan dan tugas. PPAT bertugas pokok
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu. Akta PPAT berfungsi sebagai dasar pendaftaran
terhadap perubahan atas data-data perdaftaran tanah. Setiap perbuatan hukum
yang menimbulkan perubahan hak harus dibuktikan dengan akta, namun untuk
penyelenggaraan pendaftaran bukan akta dari PPAT tersebut tetapi yang
didaftarkan adalah hak atas tanah tersebut (tittle registration)54.
Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, meliputi peralihan hak,
pembebanan hak dan pendaftaran perubahan data perdaftaran tanah lainnya.
Semua kegiatan ini dibuktikan dengan akta PPAT. Berdasarkan Pasal 37 PP
Pendaftaran Tanah 1997 bahwa peralihan hak atas tanah dapat dilakukan
dengan akta jual beli, akta hibah, akta tukar menukar, akta pemasukan dalam
perusahaan, dan akta pemindahan hak lainnya kecuali lelang. Terhadap
pembebanan hak berdasarkan pada Pasal 44 PP Pendaftaran Tanah 1997
dilakukan dengan akta PPAT yaitu APHT. Berdasarkan hal ini bahwa
SKMHT bukan merupakan akta yang berkaitan dengan peralihan hak,
pembebanan hak dan pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
SKMHT sebagai salah satu akta PPAT,55 SKMHT tidak sebagai dasar
pembebanan hak atas tanah, yang menjadi dasar pembebanannya adalah

54
Pada sistem hak pun setiap penciptaan hak baru dan perbuatan hukum yang menimbulkan
perbuatan hak juga harus dibuktikan dengan akta (deeds), tetapi penyelenggaraan pendaftarannya
bukan aktanya, yang didaftarkan melainkan haknya. Akta merupakan sumber datanya. Lihat, I
Ketut Oka Stiawan, 2019, Hukum Pendaftaran Tanah Dan Hak Tanggungan, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 33
55
Fungsi akta PPAT adalah sebagai bukti, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum
yang bersangkutan. Dan karena perbuatan hukum itu sifatnya tunai, sekaligus membuktikan
pindahnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada penerima hak. Karena tata usaha PPAT
sifatnya tertutup untuk umum, pembuktian mengenai pindahnya hak tersebut berlakunya terbatas
pada para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan para ahli waris serta
orang-orang yang diberitahu oleh mereka. Baru setelah didaftarkan, diperoleh alat bukti yang

31
APHT. SKMHT hanya berupa surat kuasa untuk mewakili debitur dalam
penandatangan APHT, APHT lah yang menjadi dasar pembebanan haknya.
Hal ini lah yang menjadi dasar dan acuan bahwa SKMHT sebaiknya dibuat
dengan akta notaris dan bukan dengan akta PPAT. Sehingga kewenangan
dalam pembuatan SKMHT berada pada satu jabatan umum, yaitu notaris. Hal
ini didasarkan kepada kewenangan notaris yaitu membuat akta mengenai
perjanjian, penetapan dan perbuatan yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan. SKMHT merupakan perjanjian dalam pemberian kuasa.
Sedangkan kuasa tergolong kedalam perjanjian bernama56 (nominee).
Selain hal tersebut jika dilihat sejarah dari SKMHT sebelum lahirnya
UU Hak Tanggungan 1996, dimana masih dikenal dengan hipotik. Menurut
Remy Sjahdeini, dalam prakteknya, pada pembuatan surat kuasa memasang
hipotik diberikan oleh debitur (dalam hal ini debitur adalah pemilik objek
hipotik) kepada bank sekaligus didalam perjanjian kredit, yang mana
perjanjian kredit dibuat oleh notaris. Surat kuasa memasang hipotik pun
dulunya dibuat oleh dan dihadapan notaris. 57
Ketiga, terkait dengan wilayah kerja terhadap jabatan notaris dan PPAT
dalam pembuatan SKMHT. Notaris dalam menjalankan jabatannya
mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat
kedudukannya. Berdasarkan hal tersebut maka SKMHT berlaku terhadap
semua objek dari SKMHT yang terletak di dalam wilayah jabatan notaris
tersebut. Hal ini berbeda dengan PPAT, dimana daerah kerja dari PPAT
adalah satu wilayah kerja dengan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
SKMHT yang dibuat oleh PPAT hanya terhadap objek dari SKMHT yang
terletak pada kabupaten/kota. Objek SKMHT yang terletak di luar daerah
kerja PPAT, maka PPAT tidak berwenang untuk membuat SKMHTnya.
Berdasarkan hal tersebut ruang lingkup pembuatan SKMHT oleh notaris lebih
luas dibandingkan SKMHT yang dibuat oleh PPAT.
Keempat terhadap kekuatan pembuktian dari SKMHT. SKMHT yang
dibuat oleh notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai
akta yang terkuat dan terpenuhi pada hukum acara. Hal ini didasarkan karena
SKMHT memenuhi syarat akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata.
Sedangkan SKMHT yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT tidak memenuhi
unsur akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata. Dikarenakan akta
PPAT bentuk dan tata caranya tidak ditetapkan berdasarkan undang-undang,
melainkan hanya berdasarkan peraturan kepala badan. Oleh karena itu akta
PPAT hanya merupakan akta di bawah tangan.

mempunyai kekuatan hukum yang berlaku terhadap pihak ketiga, karena tata usaha pendaftaran
tanah Kantor Pertanahan mempunyai sifat terbuka untuk umum. Lihat, Adrian Sutedi (I), Op.Cit,
hlm. 143
56
Prinsipnya perjanjian dari aspek namanya digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu perjanjian
nominaat dan perjanjian innominaat. Perjanjian nominaat merupakan perjanjian yang dikenal
dalam KUHPerdata, seperti jual beli, tukar menukar, dan pemberian kuasa. Sedangkan perjanjian
innominaat merupakan perjanjian yang tumbuh dan berkembang di dalam praktek karena adanya
asas kebebasan berkontrak. Seperti leasing, kontrak karya dan beli sewa. Lihat, Salim HS (IV),
2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1
57
Sutan Remi Sjahdeini (I), 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok,
dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggung), Alumni, Bandung, hlm. 104

32
Kelima mengenai kewajiban pelaporan akta. Salah satu kewajiban PPAT
sebagai membuat akta adalah melaporkan akta tersebut kepada instansi terkait,
termasuk SKMHT. PPAT harus melaporkan akta PPAT yang dibuatnya
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional, Kantor Pajak Pratama, dan Kantor Dinas Pendapatan
Daerah setempat. Pelaporan akta PPAT pada Kantor Pajak Pratama dan
Kantor Dinas Pendapatan Daerah berhubungan dengan besarnya pengenaan
pajak pribadi atas akta yang dibuat oleh PPAT tersebut. Prakteknya,
pembuatan SKMHT ini jarang dipungut biaya oleh PPAT, oleh karena
SKMHT tersebut, hanya dianggap pelengkap dari APHT. Hal ini menjadi
salah satu dasar dibuatnya SKMHT dengan akta notaris. Oleh karena
kewajiban pelaporan terhadap akta notaris hanya kepada Majelis Pengawas
Daerah di tempat kedudukan notaris yang bersangkutan. Sehingga SKMHT
tidak masuk dalam perhitungan pengenaan pajak seperti halnya akta PPAT
dan notaris tidak mempunyai kewajiban untuk melaporkan akta-akta yang
dibuatnya pada Kantor Pajak Pratama maupun Kantor Dinas Pendapatan
Daerah.
Notaris, PPAT, dan Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten serta
perbankkan sebagai pihak yang memiliki keterkaitan dengan hak tanggungan
mempunyai tanggung jawab masing-masing terhadap SKMHT. Tanggung
jawab tersebut tentu sesuai dengan jabatan dari masing-masing pihak yang
terkait dengan pembuatan SKMHT. Pada prakteknya bentuk dari SKMHT
yang dibuat oleh dan dihadapan notaris dan PPAT terdapat beraneka ragam.
Ada SKMHT yang dibuat oleh notaris dan PPAT yang sesuai dengan jabatan
dan aturannya masing-masing, adanya juga SKMHT yang bentuknya tidak
diketahui mengacu kepada aturan yang mana.
Oleh karena itu, terhadap SKMHT agar sesuai dengan aturan dan
ketentuan dari masing-masing jabatan dalam pembuatan, maka diperlukan
sinkronisasi dari SKMHT tersebut. sehingga terhadap SKMH memiliki
kepastian hukum bagi para pihak yang menghendaki SKMHT tersebut, notaris
yang membuatnya serta pihak ketiga yang terkait terhadap SKMHT. Sehingga
dikemudian hari notaris maupun PPAT yang membuat SKMHT sebagai dasar
pemasangan APHT tidak terjadi masalah hukum dan pertanggungjawaban
hukum baik perdata, pidana dan administrasi.
3. Pilihan Hukum Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan
Pilihan hukum biasanya terjadi dalam lapangan hukum kontrak, terutama
terhadap kontrak internasional, disaat para pihak menentukan substansi
perjanjian, hak, kewajiban, resiko serta forum penyelesaian sengketa mana
yang dipilih oleh para pihak. Pilihan hukum ini lahir karena adanya asas
kebebasan berkontrak. Begitu juga dalam hal pembuatan SKMHT, notaris dan
PPAT dapat memilih bentuk SKMHT yang akan mereka buat. Jika bertindak
selaku notaris maka SKMHT dibuat berdasarkan UU Hak Tanggungan 1996
dan UU Jabatan Notaris 2014. Jika selaku PPAT maka SKMHT dibuat
berdasarkan UU Hak Tanggungan 1996 dan PERKABAN Nomor 8 Tahun
2012. Baik notaris maupun PPAT dapat memilih sendiri aturan dan cara
dalam pembuatan SKMHT.

33
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tertentu tidak melarang jika notaris
dan PPAT membuat SKMHT sesuai dengan keinginan masing-masing.
Beberapa Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ada yang menerima berkas serta
kelangkapan hak tanggungan apabila notaris membuat SKMHT berdasarkan
UU Jabatan Notaris 2014. Demikian juga halnya bagi PPAT, dimana Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota menerima berkas serta kelengkapan dari hak
tanggungan apabila SKMHT dibuat oleh PPAT. Dan juga ada beberapa
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang menerima pembuatan SKMHT
berdasarkan penggabungan UU Jabatan Notaris 2014 dan PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012.
Hal ini merupakan tanggung jawab dari PPAT beserta organisasinya
yaitu IPPAT untuk mendiskusikan dengan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat. PPAT maupun IPPAT dapat menjelaskan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota bahwa apa yang menjadi tanggung jawab dari PPAT terhadap
akta yang dibuatnya. Tentu hal ini akan dapat dicari jalan keluar oleh PPAT,
IPPAT dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. SKMHT hakekatnya adalah
perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak. SKMHT dalam
pembuatannya tentu berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak. Dimana
setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian.
Notaris dan PPAT sebagai pembuat akta otentik, yang dapat dijadikan sebagai
alat bukti. Alat bukti yang diinginkan para pihak adalah alah bukti adalah
yang sempurna dimata hukum. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah baik
notaris maupun PPAT dalam membuat suatu akta harus berpedoman pada
aturan yang berlaku terhadap akta tersebut, supaya akta yang dibuat notaris
dan PPAT pada dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna.
Demikian juga halnya terhadap pembuatan SKMHT, jika notaris dan
PPAT sudah menjalankan aturan yang berlaku untuk pembuatan SKMHT,
maka akan terciptanya kepastian hukum dan meminimalisir tanggung jawab
atas akta tersebut. Mengenai dapat diterima dan tidak dapat diterima oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat pada saat pendaftaran hak
tanggungan ini dapat dicarikan solusinya dengan jalan menjelaskan duduk
aturan atau pun dasar hukum dari SKMHT tersebut. Yang terpenting notaris
maupun PPAT memahami terlebih dahulu aturan dan ketentuan yang harus
dipenuhi dalam pembuatan suatu akta baik itu akta PPAT maupun akta notaris
terutama mengenai SKMHT. Karena terhadap SKMHT memiliki aturan dan
ketentuan yang berbeda. Hal ini didasarkan karena kewenangan pembuatannya
juga berbeda. Akhirnya tanggung jawab dari SKMHT juga berbeda terhadap
notaris dan PPAT.
Berdasarkan hal tersebut maka sudah seharusnya notaris dan PPAT
mengetahui. Karena jabatan notaris dan PPAT adalah jabatan profesional yang
harus tunduk dan taat pada aturan yang berlaku. Notaris dan PPAT merupakan
penegak hukum yang mau tidak mau harus memahami aturan-aturan hukum
yang berlaku bagi notaris dan PPAT tersebut dalam menjalankan jabatan dan
kewenangannya. Notaris dan PPAT adalah seorang sarjana hukum serta
seorang magister dibidang kenotariatan, yang mememiliki kewenangan
memberikan penyuluhan hukum berdasarkan UU Jabatan Notaris 2014. Baik
itu hukum pada umumnya serta hukum kenotariatan pada khususnya,
termasuk didalamnya SKMHT.

34
Jika notaris dan PPAT sudah memahami dan menaati aturan ketentuan
mengenai SKMHT. Serta menjalani semua aturan dan ketentuan dalam
pembuatan SKMHT maka tentu notaris dan PPAT akan terhindar dari sanksi
maupun pertanggungjawaban yang akan dibebankan kepadanya. Ketaatan
pasti didasari akan adanya kepentingan, baik itu kepentingan bagi notaris
maupun kepentingan bagi PPAT. Menurut Achmad Ali,58 jenis menaati atau
tidak menaati, adalah karena adanya kepentingan. Jika seseorang seseorang
disodori keharusan untuk memilih, maka orang tersebut akan menaati aturan
hukum dan perundang-undangan, hanya jika dalam sudut pandangnya,
keuntungan-keuntungan dari suatu ketaatan ternyata melebihi biaya
(pengorbanan yang harus dikeluarkan). Mengenai ketaatan aturan ini
seharunya juga dipegang oleh notaris dan PPAT dalam pembuatan SKMHT.
SKMHT akan menjadi akta otentik dan terhadap akta tersebut akan ada
kepastian hukum dalam pelaksanaannya terutama terhadap pendaftaran hak
tanggungan. Sehingga notaris dan PPAT sebagai jabatan kepercayaan dapat
terlaksana.
Oleh karena kepastian hukum (rechtszekerhied/legal certainty)
merupakan asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan
penegakan hukum (rechtshandhaving, law enforcement).59 Tercapainya
kepastian hukum terhadap SKMHT tentu akan tercipta juga penegakan hukum
yang baik. Dimana notaris dan PPAT dalam pembuatan SKMHT telah
memenuhi syarat sahnya sebuah SKMHT baik syarat subjektif maupun
objektif. Sehingga SKMHT yang dibuat dihadapan notaris dan PPAT
berfungsi sebagaimana kedudukannya dalam aturan perundangan yang
mengatur SKMHT tersebut. Kendala mengenai diterima atau tidak
diterimanya SKMHT yang sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan
oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat merupakan suatu yang bisa
jelaskan kedudukannya pada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
B. KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
1. Karakteristis Akta-Akta Notaris di Bidang Pertanahan
Berdasarkan sifat dan bentuk akta notaris yang mengacu pada ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata dan Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014, maka akta
notaris merupakan akta otentik. Keotentikan suatu akta akan hilang atau turun
derajatnya apabila notaris dalam pembuatan aktanya tidak berpedoman pada
Pasal 1868 KUHPerdata dan Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014.
Terdegradasinya60 akta otentik menjadi akta di bawah tangan serta merta tidak
menyebabkan akta tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Terdegradasinya akta otentik menjadi akta di bawah tangan salah satunya
disebabkan karena notaris dalam pembuatan aktanya tidak memenuhi
persyaratan akta otentik. Pelanggaran prosedur pembuatan akta oleh notaris

58
Achmad Ali, Op.Cit, hlm. 350
59
Teguh Prasetyo dan Abdul Halam Barkatullah, 2012, Filasafat, Teori Dan Ilmu Hukum
Raja Grafindo Persada, Depok, hlm. 339
60
Degradasi adalah penurunan, tentang pangkat, mutu, moral, dan sebagainya, kemunduran,
kemerosotan, atau dapat juga menempatkan ditingkat atau posisi yang lebih rendah. Lihat,
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
Gramedia, Jakarta, hlm. 304

35
menyebabkan tidak terpenuhinya syarat formil atas akta tersebut. sehingga akta
yang semula merupakan akta otentik menjadi akta di bawah tangan. Jika
terjadinya degradasi akta otentik menjadi akta di bawah tangan, dan hal ini
menimbulkan kerugian, maka notaris dapat digugat untuk mengganti kerugian.
Hal ini tentunya tidak diinginkan oleh notaris dalam menjalankan jabatannya.
Karena akta notaris merupakan alat bukti, maka notaris dalam melakukan
pembuatan akta harus menjaga agar akta yang dibuatnya sempurna dimata
hukum.
Bentuk dan sifat akta berdasarkan Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014 harus
dipenuhi dan dilaksanakan oleh notaris dalam pembuatan akta. Karena syarat
akta otentik salah satunya adalah bentuk ditentukan oleh undang-undang. Jika
bentuk akta tidak sesuai dengan undang-undang tentu akta notaris yang semula
adalah akta otentik terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Mengenai
bentuk dan sifat akta PPAT dalam PP Jabatan PPAT 2016 tidak diperinci
seperti halnya Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2016. Pada PP Jabatan PPAT 2016
tidak satu pasal pun yang membahas mengenai bagaimana bentuk dan tata cara
pembuatan akta PPAT. Berdasarkan Pasal 96 ayat (1) PERKABAN Nomor 8
Tahun 2012, menyatakan bahwa, bentuk akta yang digunakan di dalam
pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2),
dan tata cara pengisiannya sesuai dengan lampiran peraturan in. Pasal ini
mengisyaratkan bahwa untuk akta-akta PPAT adalah dengan cara di isi.
Pengisian akta maksudnya adalah, dimana blangko-blangko yang tersedia
dikantor pertanahan di isi oleh PPAT sesuai dengan petunjuk pada lampiran
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012.
Setelah mengkaji karakteristik akta notaris, maka ada beberapa akta notaris
dibidang pertanahan, ini tidak terlepas dari kewenangan notaris pada Pasal 15
ayat (2) huruf f, dimana notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan
dengan pertanahan, sehingga akta-akta yang menjadi kewenangan notaris
dalam bidang pertanahan ini dapat menjadi dasar pelaksanaan kegiatan
pendaftaran tanah yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum, sebagai mana
kewenangan dari PPAT. Menurut penulis akta notaris yang berkaitan dengan
pertanahan tersebut berupa :
a. Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa (selanjutnya disebut dengan
PPJB dan Kuasa)
Perjanjian jual beli merupakan perjanjian bernama yang diatur secara
khusus dalam KUHPerdata yaitu Pasal 1457 KUHPerdata sampai Pasal
1540 KUHPerdata. Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian
jual beli merupakan perjanjian dimana satu pihak mengikat diri untuk
menyerahkan suatu benda dan pihak lainnya akan membayar harga atas
benda yang diserahkan tersebut. levering (penyerahan) terhadap benda yang
diperjualbelikan ini tergantung atas bendanya, apabila atas benda bergerak
maka penyerahannya adalah secara nyata atas benda tersebut, terhadap
benda bergerak tidak bertubuh (seperti piutang atas nama) maka
penyerahannya melalui akta otentik atau di bawah tangan, sedangkan
penyerahan atas benda tidak bergerak (tanah) penyerahannya melalui
pendaftaran peralihan hak atau balik nama. Jual beli atas benda tidak
bergerak atas tanah pelaksanaanya harus di hadapan pejabat yang berwenang

36
yaitu PPAT dengan akta jual beli. Apabila karena sebab tertentu jual beli
terhadap benda tidak bergerak (tanah) tidak dapat dilakukan di hadapan
PPAT maka jual beli dapat dilakukan di hadapan notaris dengan PPJB
sebagai dasar penyerahan tanah tersebut.
PPJB merupakan perjanjian yang tergolong perjanjian obligator.
Perjanjian obligator merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan (hak
dan kewajiban) bagi pihak yang membuatnya. PPJB merupakan perjanjian
pendahuluan yang bertujuan untuk mengikat para pihak yang membuat
perjanjian sebelum dilaksanakannya perjanjian pokok yaitu akta jual beli
yang dibuat di hadapan PPAT. PPJB digolongkan sebagai hak perorangan
dikarenakan lahir dari penjanjian diantara para pihak yang membuat
perjanjian tersebut. Hak perorangan adalah hak yang dimiliki dan hanya
dapat dilaksanakan oleh para pihak yang membuat perjanjian.
PPJB dibuat pada prakteknya bisa dikarenakan belum lunasnya harga
jual beli, belum lengkapnya salah satu syarat untuk proses balik nama
seperti SPPT tahun berjalan belum ada ditangan penjual, atau disebabkan
karena sertipikat dalam proses balik nama dari nama penjual sebelumnya
pada kantor pertanahan setempat. PPJB dapat juga dibuat apabila belum
dilakukannya roya hak tanggungan, sedangkan pembeli telah melakukan
pembayaran sejumlah uang pada penjual. Banyak lagi alasan-alasan hukum
untuk dibuatnya PPJB terlebih dahulu sebelum masuk pada perjanjian
pokoknya, yaitu akta jual beli. Oleh karena PPJB dibuat sebagai perjanjian
pendahuluan sebelum adanya perjanjian pokok, maka PPJB harus memuat
janji-janji yang harus dipenuhi oleh penjual maupun pembeli. Jika janji-janji
ini telah terpenuhi maka para pihak yang melakukan PPJB tersebut dapat
datang kembali dihadapan PPAT untuk melaksanakan penandatangan akta
jual beli. Apabila pihak penjual berhalangan untuk datang pada saat
penandatangan akta jual beli dihadapan PPAT, maka pada saat dibuatnya
PPJB dihadapan notaris penjual dapat memberikan kuasa kepada sipembeli
agar bertindak selaku penjual.
Selain dikarenakan tidak dapat hadirnya penjual dihadapan PPAT,
PPJB dan kuasa juga dapat dilakukan apabila pembeli telah melunasi
seluruh harga jual beli pada penjual, namun karena sebab tertentu belum
dapat dilaksanakannya pendatanganan akta jual beli di hadapan PPAT. Guna
mengatasi hal tersebut maka pembeli diberi kuasa untuk dapat melakukan
jual beli sendiri dihadapan PPAT sebaik sebagai wakil dari penjual maupun
bertindak sebagai pembeli. Selain kuasa dalam hal penandatangan akta jual
beli si pembeli biasanya juga menerima kuasa atau mandat dari penjual
untuk mengurus semua hal-hal agar dapat terlaksananya akta jual beli dan
peralihan hak pada kantor pertanahan.
Terkait mengenai PPJB lunas atau keadaan dimana pembeli telah
melunasi keseluruhan harga jual beli kepada penjual dan dikarena suatu hal
maka belum dapat dilaksanakannya penandatangan akta jual beli, maka
solusi dari masalah ini adalah dilakukannya pembuatan PPJB dan kuasa atau
akta kuasa menjual yang dibuat di hadapan notaris. Jika dibuat PPJB dan
kuasa, maka dalam PPJB tersebut terkandung unsur-unsur kuasa dari penjual
kepada pembeli untuk dapat melaksanakan akta jual beli, begitu juga halnya
terhadap akta kuasa menjual. Kuasa dalam PPJB ini adalah kuasa yang tidak

37
dapat ditarik kembali oleh si penjual, dikarenakan telah terjadinya
pembayaran secara lunas oleh pembeli.
Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali adalah kuasa yang mengabaikan
ketentuan sebab-sebab berakhirnya suatu kuasa (Pasal 1813 KHUPerdata)
atau disebut juga dengan kuasa mutlak. Kuasa mutlak diatur Intruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan
Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah
(selanjutnya disebut dengan Intruksi Mendagri Larangan Penggunaan Kuasa
Mutlak 1982). Larangan tersebut sekarang telah diatur di dalam Pasal 39
butir d PP Pendaftaran Tanah 1997. Kuasa mutlak yang dilarang dalam
Intruksi Mendagri Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak 1982 apabila
mengandung unsur :
a. Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa
yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh
pemberi kuasa
b. Kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas
tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada
penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta
melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat
dilakukan oleh pemegang haknya
Janji yang tidak dapat ditarik kembali pada PPJB dan kuasa atau akta
kuasa untuk menjual terhadap pembelian secara lunas bukan serta merta
menjadikan kuasa tersebut digolongkan sebagai kuasa mutlak. Sepanjang di
dalam PPJB dan kuasa atau akta kuasa untuk menjual tidak mengandung
unsur dari butir kedua atas intrusksi tersebut walaupun kuasanya tidak dapat
ditarik kembali, hal tersebut dikarenakan perjanjian tersebut tidak dalam
rangka perjanjian yang objeknya bukan tanah hak.
Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dan sebaiknya dicantumkan
didalam pembuatan akta PPJB oleh notaris sehubungan dengan Intruksi
Mendagri Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak 1982, adalah:61
a. Alasan yang jelas di dalam premisse mengenai dibuatnya akta PPJB
tersebut
b. Objek perjanjian dan harga tersebut yang akan dijualbelikan serta
cara pembayaran
c. Jaminan dari penjual terhadap kepemilikan atas persil dan tidak
adanya cacat tampak dan tidak tampak, tidak dijaminkan, dan tidak
dalam sengketa/sitaan
d. Janji atas penyerahan persil dalam keadaan pada hari PPJB
e. Janji penjual belum pernah memberikan kuasa kepada orang lain
mengenai persil yang akan dijual selain pada pembeli
f. Janji penjual (pemberi kuasa) tidak akan sendiri melakukan tindakan
hukum yang telah dikuasakan kepada pembeli (penerima kuasa)
tersebut

61
Herlien Budiono (IV), 2016, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 279

38
g. Janji lain yang khusus, misalnya, kewajiban pembayaran rekening
listrik, air, telepon, PBB, hingga tanggal pengosongan, tata cara
pengosongan, dan sebagainya
h. Pemberian kuasa secara umum yang tidak dapat ditarik kembali oleh
penjual kepada pembeli untuk mengurus persil selama belum
dilaksanakan jual beli
i. Pemberian kuasa dari penjual kepada pembeli yang tidak dapat
ditarik kembali untuk melakukan pelaksanaan jual beli di hadapan
PPAT (apabila syarat untuk jual beli telah dipenuhi), dengan
ketentuan bahwa yang diberi kuasa dibebaskan dari
pertanggungjawaban sebagai kuasa.

b. Akta Pelepasan Hak


Pelepasan hak berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembanguan Untuk Kepantingan Umum (selanjutnya disebut UU
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum 2012) adalah pelepasan hak
adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada
negara melalui lembaga pertanahan. Dasar pelepasan hak ini adalah
kebutuhan pemerintah akan tanah yang bertujuan untuk pembangunan bagi
kepentingan umum. Tanah sebagai objek pelepasan hak harus berdasarkan
atas asas kepastian, dimana pelepasan hak atas tanah ini harus sesuai dengan
tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sehingga para
pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
Pelepasan hak atas tanah didasarkan pada Pasal 131 ayat (3) Perment
ATR/BPN Nomor 3 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa :
“(3) Pendaftaran hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun yang disebabkan oleh dilepaskannya hak tersebut oleh
pemegangnya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan
permohonan dari pihak yang berkepentingan dengan melampirkan:
a.1) akta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan
melepaskan hak tersebut, atau
2) surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang
bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat di depan dan
disaksikan oleh camat letak tanah yang bersangkutan, atau
3) surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang
bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat didepan dan
disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan
b. persetujuan dari pemegang hak tanggungan apabila hak tersebut
dibebani hak tanggungan
c. sertipikat hak yang bersangkutan
berdasarkan ketentuan Pasal 131 ayat (3) Perment ATR/BPN Nomor 3
Tahun 1997 tersebut di atas bahwa pelepasan hak milik atas tanah dapat
dilakukan dengan akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah
dilepaskan oleh pemegang haknya, secara notariil atau bawah tangan.
Pelepasan hak atas tanah menyebabkan terputusnya hubungan hukum
antara pemilik tanah dengan tanahnya. Yang didasarkan dengan
penandatangan akta pelepasan hak di hadapan notaris, biasanya pemilik

39
tanah akan mendapat ganti kerugian yang telah mereka disepakati terlebih
dahulu. Pelepasan hak atas tanah tidak berarti hak atas tanah berpindah dari
pemegang haknya kepada pihak lain yang memberikan ganti kerugian,
melainkan hak atas tanah tersebut hapus dan kembali menjadi tanah negara
atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Pelepasan hak atas tanah
merupakan salah satu faktor penyebab hapusnya hak atas tanah dan bukan
pemindahan hak atas tanah. Dengan menjadinya tanah tersebut tanah negara
maka perusahaan swasta diwajibkan melakukan permohonan terhadap tanah
tersebut dengan jalan mengajukan permohonan hak baru pada kantor
pertanahan setempat.
Akta pelepasan hak yang dibuat di hadapan notaris memuat sekurang-
kurangnya mengenai:62
a. Judul akta pelepasan hak atas tanah
b. Nomor akta pelepasan hak atas tanah
c. Saat dilakukan pelepasan hak (pukul, hari, tanggal, bulan, dan tahun)
d. Nama notaris yang membuat akta pelepasan hak atas tanah
e. Pihak yang melepaskan hak atas tanah, yaitu nama, tempat tanggal
lahir, pekerjaan, alamat, nomor kartu tanda penduduk.
f. Pihak yang menerima pelepasan hak atas tanah, yaitu nama, yaitu
nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan, alamat, nomor kartu tanda
penduduk. Nama ini bertindak sebagai direktur dari perusahaan
swasta
g. Hak atas tanah yang dilepaskan oleh pemegang haknya, yaitu status
hak atas tanah, tanda bukti hak atas tanah (bersertipikat atau belum
bersertipikat), luas tanah (M2), letak tanah (jalan, kelurahan/desa,
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi), dan batas-batas atas tanah
yang dilepaskan (utara, selatan, timur, dan barat).
h. Besarnya ganti kerugian yang diserahkan oleh perusahaan swasta
kepada pemegang hak atas tanah.
i. Akibat hukum pelepasan atas hak atas tanah adalah hak atas tanah
menjadi tanah negara dan selanjutnya dapat diberikan kepada
perusahaan swasta yang memberi ganti kerugian.
j. Jaminan dari pihak yang melepaskan hak atas tanah, yaitu pihak
yang melepaskan hak atas tanah adalah benar-benar pemilik atau
pemegang hak atas tanah, tanah yang dilepaskan tidak sedang
dalam kedaaan sengketa (gugatan), tidak sedang dalam jaminan
kepada pihak lain, dan tidak sedang dalam sitaan pihak lain.
k. Pihak-pihak yang menandatangani akta pelepasan hak atas tanah,
yaitu notaris, pihak yang melepaskan hak atas tanah (pemilik atau
pemegang hak atas tanah), pihak yang menerima pelepasan hak atas
tanah (perusahaan swasta), 2 (dua) orang saksi.

3. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)


SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris dan akta PPAT, hal ini
diamanatkan oleh UU Hak Tanggungan 1996. Akta notaris merupakan akta
62
Urip Santoso (II), 2010, Pelepasan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Perusahaan
Swasta, Jurnal Perspektif, Vol. XV No.3, hlm. 332-333

40
otentik karena telah memenuhi ketentuan dan syarat sebuah akta otentik
berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata yaitu, akta dibuat oleh dan dihadapan
pejabat umum, yaitu notaris, akta dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara
serta syarat yang ditentukan oleh udang-undang yaitu Pasal 38 UU Jabatan
Notaris 2014, serta pejabat yang membuat akta tersebut harus mempunyai
kewenangan untuk membuat akta, hal ini diatur dalam Pasal 16 UU Jabatan
Notaris 2014 mengenai kewenangan notaris.
Bagaimana dengan akta PPAT, apakah akta PPAT sudah memenuhi
ketentuan dan syarat sebuah akta otentik berdasarkan Pasal 1868
KUHPerdata. Jika kita kaji, akta PPAT adalah akta yang dibuat dihadapan
pejabat umum, hal ini berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP Jabatan PPAT 2016,
akta dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara serta syarat yang ditentukan
oleh udang-undang, mengenai akta PPAT bentuk dan tata caranya
berdasarkan pada PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, serta pejabat yang
memuat akta tersebut harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta,
mengenai kewenangan PPAT untuk membuat akta diatur dalam Pasal 2 PP
Jabatan PPAT 2016.
Berdasarkan hal tersebut, mengenai akta otentik harus dibuat
berdasarkan bentuk, tata cara dan syaratnya berdasarkan undang-undang.
Sedangkan PPAT dalam membuat akta mengenai bentuk, tata cara dan
sifatnya berpedoman pada PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012.
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 ini merupakan peraturan kepala badan
pertanahan atau Menteri ATR/BPN. Jika dilihat hirarki peraturan
perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2020
Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
Undangan (selanjutnya disebut dengan TAP MPR Nomor 3 Tahun 2000),
menyebutkan bahwa peraturan menteri/kepala badan berada di bawah
keputusan presiden. Tentu letaknya jauh di bawah undang-undang. Oleh
karena itu PPAT dalam membuat akta yang menjadi kewenangannya tidak
memenuhi syarat dan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, sehingga
menyebabkan akta PPAT menjadi tidak akta otentik.
Hal tersebut menjadi salah satu pokok permasalah dalam rumusan
pembuatan Rancangan Undang-Undang PPAT. Diaturnya PPAT dalam
suatu undang-undang merupakan sesuatu yang dicita-cita oleh PPAT seluruh
Indonesia. Sehingga kewenangan, tugas dan peranan PPAT dalam membuat
akta otentik benar-benar ada pengaturnya. Tentu akhirnya PPAT akan secara
komfrehensif sebagai pejabat umum diberikan kewenangan oleh undang-
undang dalam pembuatan akta otentik mengenai hak atas tanah akan
terwujud. Pada lampiran PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 semua akta-
akta yang menjadi kewenangan dari PPAT, pada bagian judul akta, diawali
dengan kata “akta” seperti akta jual beli, akta hibah dak akta tukar menukar.
Tapi untuk SKMHT judul aktanya tidak akta kuasa membebankan hak
tanggungan tetapi surat kuasa membebankan hak tanggungan. Notaris dan
PPAT dalam praktek pembuatan SKMHT juga mengunakan judul surat
kuasa membebankan hak tanggungan, baik untuk akta notaris maupun akta
PPAT.
Surat secara harfiah adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan
informasi tertulis oleh suatu pihak kepada pihak lain dengan tujuan

41
memberitahukan maksud pesan dari si pengirim. Fungsinya mencakup lima
hal, sarana pemberitahuan, permintaan, buah pikiran, dan gagasan, alat bukti
tertulis, alat pengingat, bukti historis, dan pedoman kerja.63 sehingga kurang
tepat pemakaian surat pada judul SKMHT. Menurut hemat penulis baik
terhadap akta notaris dan akta PPAT dalam pembuatan SKMHT sebaiknya
dipergunakan akta bukan surat. SKMHT merupakan surat kuasa khusus,
dikarenakan SKMHT hanya berisikan kuasa untuk pembuatan APHT, dan
tidak boleh ada maksud lain selain kuasa untuk pembuatan APHT. Misalnya
dalam SKMHT terdapat kuasa untuk menjual, hal ini tidak diperbolehkan,
karena SKMHT bukan kuasa umum yang bisa berisikan beberapa macam
kuasa di dalamnya.
SKMHT merupakan perjanjian dikarenakan baik penerima kuasa
maupun pemberi kuasa menandatangani SKMHT maka unsur, asas dan
ketentuan mengenai perjanjian berlaku terhadap SKMHT. Persyaratan
mengenai SKMHT diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan
1996. Artinya SKMHT merupakan perjanjian yang sifatnya memaksa.
Setiap pembuatan SKMHT harus tunduk pada syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang. Para pihak tidak dapat bebas menetukan sendiri apa isi
dan bentuk dari SKMHT. Jika para pihak melakukan pembuatan SKMHT
tidak sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya maka SKMHT tidak
mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum. berarti bahwa SKMHT
tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.
SKMHT dibuat oleh notaris dan PPAT apabila karena sebab tertentu
pemberi kuasa (debitur) tidak dapat hadir pada saat penandatangan APHT.
Maka pemberi kuasa memberikan kuasa kepada penerima kuasa (kreditur)
untuk dapat mewakilinya dalam penandatangan APHT. Oleh karena notaris
maupun PPAT diberi kewenangan oleh undang-undang untuk membuat
SKMHT. Maka baik notaris dan PPAT harus berpedoman pada aturan
mereka masing-masing dalam pembuatan akta. Karena dalam praktek
penulis menemukan pencampuradukan bentuk dan tata cara pembuatan
SKMHT. Dari beberapa kantor pertanahan dan notaris serta PPAT yang
penulis teliti terdapat beberapa model dari SKMHT.
2. Kepastian Hukum Terhadap Kewenangan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan
Jika kita lihat makna dari kepastian hukum menurut Apeldoorn dalam
Darji Darmodiharjo dan Shidarta mengemukakan bahwa kepastian hukum
mempunyai 2 (dua) segi. Pertama, berarti soal dapat ditentukannya
(bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal yang kongkret, artinya pihak-pihak
yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya
dalam hal khusus, sebelum ia memulai suatu perkara. Kedua, kepastian hukum
berarti keamanan hukum, artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap
kesewenangan hakim.64 Sedangkan menurut Jan Michiel Otto dalam Adrian

63
https://id.wikipedia.org/wiki/Surat, diakses pada Tanggal 04 Oktober 2020, pukul 20.58
WIB
64
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1996, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem
Hukum Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 44

42
Sutedi mengemukakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:65
1. Ada aturan hukum yang jelas dan konsisten;
2. Instansi pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten, tunduk
dan taat terhadapnya
3. Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum
tersebut
4. Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan
hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa
hukum
5. Putusan pengadilan secara konkret dilaksanakan.
UU Jabatan Notaris 2014 menjadi dasar dan pedoman bagi notaris dalam
menjalankan tugas dan kewenangan untuk membuat akta. PPAT juga
memiliki dasar dan pedoman dalam menjalankan jabatannya, yaitu PP Jabatan
PPAT 2016. UU Jabatan Notaris dan PP Jabatan PPAT 2016 dibentuk bukan
hanya sebagai instrumen untuk mewujudkan kepastian hukum, melainkan juga
mengandung manfaat dan untuk mencapai tujuan tertentu yaitu keadilan dan
kemanfaatan. Notaris maupun PPAT berwenang membuat akta yang tidak
diserahkan kewenangannya pada pejabat lain. Kepastian hukum terhadap akta
yang dibuat baik oleh notaris maupun PPAT tentu akan membawa
kemanfaatan dan keadilan bagi pihak yang menghendakinya.
Kewenangan notaris dan PPAT secara peraturan perundang-undangan
memang berbeda, namun ada kewenangan yang diamanatkan pada notaris,
juga diamanatkan pada PPAT. Notaris dan PPAT berwenang membuat
SKMHT. SKMHT sebagai sebuah kuasa harus memenuhi syarat, yaitu:
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada
membebankan hak tanggungan.
2. Tidak memuat kuasa substitusi
3. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah hutang, dan
nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur
bukan pemberi hak tanggungan.
Ketidakpastian hukum terhadap SKMHT dikarenakan kewenangan
pembuatan SKMHT oleh 2 (dua) jabatan yang berbeda sehingga menjadikan
ketidaksikronisasian bentuk akta, jangka waktu berlakunya SKMHT, dan
akibat undangkannya PERKABAN HT-EL 2020. Hal ini menciptakan
ketidakpastian hukum terhadap SKMHT, sehingga tidak tercapainya
perlindungan hukum terhadap notaris, PPAT dan para pihak yang
berkepentingan terhadap SKMHT tersebut.
Pada SKMHT mencantumkan jangka waktu batas berlakunya SKMHT.
Jika dilihat tujuan dari pencantuman jangka waktu ini karena kreditur tidak
menginginkan atau membiarkan SKMHT tidak direalisasi menjadi APHT.
Jangka waktu terhadap SKMHT dimana hak atas tanahnya sudah terdaftar
wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
setelah SKMHT diberikan. Sedangkan mengenai hak atas tanah yang belum
terdaftar (belum bersertipikat) wajib diikuti dengan pembuatan APHT

65
Adrian Sutedi (II), 2017, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 27

43
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah SKMHT diberikan. SKMHT untuk
kredit tertentu seperti kredit kecil, kredit kepemilikan rumah sederhana, kredit
dengan program tertentu maka jangka SKMHT berlaku sampai saat
berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan. Mengenai
jangka waktunya didasarkan pada perjanjian kredit dari SKMHT tersebut.
Kredit tertentu dalam hal ini kredit kecil, kredit kepemilikan rumah sederhana
dan kredit program tertentu seperti kredit usaha rakyat (KUR), jangka waktu
SKMHT adalah sampai kredit tersebut lunas. Hal ini dibuat karena bank
sebagai kreditur tidak langsung membebankan Hak Tanggungan pada saat
penandatanganan perjanjian kredit karena untuk menghemat biaya.
Penetapan jangka waktu yang begitu pendek ini, dapat membahayakan
kepentingan bank, karena tidak mustahil, kredit menjadi macet, sekalipun
kredit baru diberikan belum 3 (tiga) bulan. Kemacetan itu dapat terjadi bukan
oleh karena analisa bank terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan kredit
itu tidak baik, tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan
keadaan ekonomi atau perubahan peraturan baik di dalam maupun di luar
negeri. Bila terjadi perubahan-perubahan tersebut, sudah barang tentu debitur
enggan memberikan SKMHT baru bila SKMHT yang lama telah habis jangka
waktu berlakunya, karena debitur yang nakal melihat peluang untuk mengelak
dari tanggung jawabnya untuk membayar kembali hutangnya atau berusaha
mengulur-ngulur waktu. Debitur akan berusaha untuk mencegah bank dapat
membebani hak tanggungan di atas tanah yang diagunkan untuk kreditnya
itu.66 Berdasarkan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (5) UU Hak Tanggungan 1996,
adanya tanah yang belum/tidak terdaftar (unregistered land) dapat dijadikan
agunan dengan SKMHT dalam hal jaminan kredit dengan syarat-syarat
tertentu. Pasal 15 ayat (4) dan (5) UU Hak Tanggungan 1996 ini tentu
berpotensi memberikan makna ketidakpastian.
Pada lembaga jaminan terutama terhadap jaminan yang tidak bergerak
dalam hal ini adalah tanah, perbankan tentu menginginkan hak atas tanah yang
sudah terdaftar sebagai jaminan karena ada adanya kepastian hukum terhadap
jaminan tersebut. Sedangkan untuk diikat dalam hak tanggungan dalam hal ini
APHT hanya terhadap hak atas tanah yang telah terdaftar. SKMHT dapat
dijadikan jaminan kredit tertentu dengan beberapa persyaratan. Pengertian ini
bermakna seolah-olah SKMHT adalah jaminan dalam pemberian kredit bank.
Padahal diketahui bahwa SKMHT yang dimaksudkan oleh undang-undang ini
pada dasarnya adalah merupakan surat kuasa biasa, bukan merupakan jaminan
kebendaan seperti jaminan kebendaan. Permasalah yang lain lagi dari isi Pasal
15 ayat (4) SKMHT, adalah jangka waktunya. Jangka waktu yang di tetapkan
yaitu 3 (tiga) bulan adalah suatu kepastian. Artinya apabila jangka waktu yang
dimaksudkan tidak terpenuhi maka berdasarkan Pasal 15 ayat (6) batal demi
hukum. Pembatasan waktu yang disebutkan dalam Pasal 15 ayat (4) adalah
pasti sifatnya sehingga apabila jangka waktu yang ditetapkan tersebut tidak
dapat dipenuhi maka batal demi hukumlah permohonan hak tanggungan
tersebut dan tidak dapat dilanjutkan dengan pemasangan APHT. Oleh
karenanya adalah merupakan ketidakpastian bagi para pihak apabila Pasal 15
66
Sutan Remi Sjahdeini (II), 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, hlm. 121

44
khususnya ayat (4) UU Hak Tanggungan 1996 digunakan oleh para pihak di
dalam perjanjian kredit khususnya kredit bank.
Terhadap SKMHT sebagai salah satu bentuk kuasa dan merupakan
perjanjian tentu aturan kuasa serta perjanjian yang terdapat pada KUHPerdata
menjadi pedoman bagi notaris dalam pembuatan SKMHT. SKMHT akan
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan tidak
dapat ditarik kembali kecuali atas kehendak dan keinginan oleh pemberi dan
penerima kuasa, serta apa yang ada dan diperjanjikan dalam SKMHT tersebut
harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak dengan itikad baik (Pasal 1338
KUHPerdata). Itikat baik dalam sebuah perjanjian merupakan hal yang wajib.
Terutama sekali terhadap SKMHT yang tidak dipasangkan APHT. Permen
ATR/BPN Penetapan Batas Waktu SKMHT 2017 menyatakan bahwa untuk
menjamin pelunasan kredit/pembiayaan/pinjaman tertentu maka SKMHT
berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian pokok. Jika itikat baik tidak
dipergunakan oleh pemberi kuasa (debitur) tentu akan sangat merugikan bagi
penerima kuasa (kreditur/bank) terutama bagi SKMHT yang tidak dipasangkan
APHT.
Tahun 2020 dengan diundangkannya PERKABAN HT-EL 2020 sebagai
dasar pendaftaran hak tanggungan dilakukan secara elektronik, yang bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan hak tanggungan yang memenuhi asas
keterbukaan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan
untuk pelayanan publik, serta untuk menyesuaikan perkembangan hukum,
teknologi dan kebutuhan masyarakat. PERKABAN HT-EL 2020 ini
menambah ketidakpastian akan SKMHT yang dibuat oleh PPAT dan PPAT.
Pelayanan hak tanggungan yang semula dilakukan secara manual sama dengan
pelayanan hal peralihan hak atas tanah lainnya, sejak diundangkannya
PERKABAN HT-EL 2020 untuk pelayanan hak tanggungan beralih melalui
sistem hak tanggungan elektronik. Sistem hak tanggungan elektronik
merupakan serangkaian perangkat dan prosedur yang berfungsi untuk
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisa, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirim dan menyampaikan informasi.
Sistem hak tanggungan elektronik ini dapat dipergunakan oleh kreditur dan
PPAT (pihak yang ditentukan oleh Kementerian).
Kreditur dapat mengajukan permohonan pelayanan hak tanggungan
elektronik melalui sistem hak tanggungan elektronik. Kemudian PPAT
menyampaikan akta hak tanggungan dan dokumen kelengkapan melalui sistem
elektronik mitra kerja yang terintegrasi dengan sistem hak tanggungan
elektronik. Setelah tanda bukti pendaftaran permohonan diterbitkan oleh
sisitem dan telah dibayarnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Maka
Kantor Pertanahan melalui pejabat yang ditunjuk memeriksaan kesesuaian
dokumen persyaratan dan konsep sertipikat hak tanggungan elektronik. Jika
kesesuaian dokumen persyaratan sudah lengkap maka akan diterbitkan
sertipikat hak tanggungan elektronik, jika kesesuaian dokumen persyaratan
tidak lengkap atau tidak sesuai maka dalam 5 (lima) hari kreditur harus
melengkapi dokumen persyaratan.
SKMHT merupakan dokumen pelengkapan bagi pendaftaran hak
tanggungan dengan sistem hak tanggungan elektronik. PERKABAN HT-EL
2020 hanya melihat kesesuaian dan kelengkapan dokumen pada hak

45
tanggungan, tidak melakukan pemeriksaan SKMHT apakah sesuai dengan
aturannya. Jika SKMHT yang dibuat oleh notaris berupa pencampuran akta
dengan bentuk akta PPAT dan penomoran, cap, tandatangan notaris, yang
dijadikan kelengkapan hak tanggungan elektronik. Besar kemungkinan
pemeriksaan SKMHT ini akan luput oleh sistem hak tanggungan elektronik.
Hal ini tentu akan menambah ketidakpastian SKMHT sebagai suatu akta
otentik.
SKMHT berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan 1996,
menyatakan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT.
Notaris dan PPAT dapat memiliki kewenangan mana yang mereka pergunakan
dalam pembuatan SKMHT. Jika SKMHT dibuat oleh notaris maka yang
pengaturan, bentuk, sifaf, tata cara serta kewenangan yang dipergunakan
adalah kewenangan selaku notaris. Sedangkan jika SKMHT dibuat oleh PPAT
maka yang pengaturan, bentuk, sifat, tata cara serta kewenangan yang
dipergunakan adalah kewenangan selaku PPAT. Tidak ada ketentuan peraturan
perundangan-undangan yang memberikan kewenangan kepada notaris dan
PPAT membuat gabungan SKMHT.
Pengabungan kewenangan pembuatan SKMHT notaris dan PPAT ini,
dilapangan banyak ditemui. Berdasarkan penelitian penulis pada beberapa
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di beberapa daerah serta pada beberapa
rekan-rekan notaris dan PPAT yang pernah membuat SKMHT, ditemukan
SKMHT yang dibuat dengan mengabungkan 2 (dua) bentuk akta, yaitu akta
PPAT dan akta notaris pada 1 (satu) SKMHT. Berdasarkan hal tersebut maka
akan diterangkan bentuk SKMHT baik berupa akta notaris, akta PPAT dan
gabungan akta notaris dan PPAT, adalah sebagai berikut :
1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Bentuk Akta Notaris
SKMHT yang dibuat dengan akta notaris ketentuannya harus
mengikuti aturan peraturan perundang-undangan mengenai jabatan notaris.
Mengenai SKMHT dibuat secara notaris merupakan amanat dari Pasal 15
ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris 2014. Syarat mengenai ketentuan
SKMHT dibuat secara notaris harus mengacu pada Pasal 38 UU Jabatan
Notaris 2014. SKMHT yang dibuat secara notaris dapat dipergunakan
untuk objek hak tanggungan yang berada diluar tempat kedudukan atau
wilayah jabatan notaris. Jika objek hak tanggungan terletak di kota A,
sedangkan kedudukan notaris yang akan membuat SKMHT berada di kota
B, maka jika SKMHT dapat dibuat oleh notaris kota B tersebut. Hal ini
karena wilayah kedudukan notaris dalam membuat akta adalah propinsi.
SKMHT yang dibuat oleh notaris adalah dalam bentuk minuta akta.
Selain SKMHT dibuat dalam bentuk minuta akta juga dapat dibuat dalam
bentuk akta in originali. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU Jabatan Notaris
2014, minuta akta adalah asli akta yang mencantumkan tanda tangan para
penghadap, saksi, dan notaris, yang disimpan sebagai bagian dari protokol
notaris. Akta in original adalah akta yang dapat dibuat lebih dari 1 (satu)
rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu
berlaku untuk semua”.
Minuta akta merupakan akta asli yang disimpan dalam protokol
notaris. Minuta akta terdapat tanda tangan para pihak, jika para pihak tidak

46
dapat membubuhkan tanda tangannya maka dapat diganti dengan
menggunakan cap jempol. Selain tanda tangan para pihak minuta akta juga
membuat tanda tangan para saksi dan notaris. Minuta akta ini kemudian
disimpan oleh notaris sebagai protokol notaris. Minuta akta harus dicatat
dalam buku reportorium dan dijilid setiap bulannya.
Para pihak yang menandatangani minuta akta, akan menerima salinan
akta yang mempunyai isi dan bunyi yang sama dengan minuta akta. Salinan
akta67 hanya memuat tanda tangan notaris sertai cap/stempel jabatan dari
notaris tersebut. Salinan akta dapat diberikan kepada orang yang
berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang
memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan.
Akta in originali dalam bahasa Belanda disebut juga dengan acte in
originali/acte brevet. Adalah asli akta yang diberikan kepada yang
langsung berkepentingan dalam akta dan akta in originali tidak disimpan
dalam protokol notaris, sehingga untuk akta in originali, notaris tidak dapat
mengeluarkan salinan, kutipan akta dan grosse akta.68 Akta in originali
dapat dibuat lebih dari satu rangkap. Pada in originali semua paraf, tanda
tangan dan perbaikan-perbaikan (renvooi) tercantum dalam akta. Pada in
originali juga dicantumkan nomor, hari, tanggal, bulan dan tahun. Akta in
originali tidak ada pengaturan khusus mengenai bentuk dan sifatnya pada
UU Jabatan Notaris 2014.
UU Jabatan Notaris 2014 tidak melarang, jika akta yang dibuat dalam
bentuk in originali tidak diarsipkan dan disimpan oleh notaris ke dalam
dibundel akta notaris. Jika akta dalam bentuk in originali diarsipkan oleh
notaris, meskipun akta in originali diberi nomor bulanan dan di masukkan
kedalam buku daftar notaris (reportorium), hal ini bertujuan untuk menjaga
kemungkinan jika suatu saat akta in originali tersebut hilang oleh para
pihak sendiri, jika diarsipkan atau disimpan oleh notaris mempermudah
untuk pembuktian di kemudian hari.69 Jika akta in originali yang ada pada
para pihak hilang maka notaris dapat membuat tambahan atas akta in
originali lagi. Dengan cara membuat kopi asli dari akta tersebut, dimana
disalin kata demi kata. Para praktek notariat ini dikenal juga dengan copy
collation. Namun pembuatan copy collation ini sudah jarang dilakukan.
Kebanyakan notaris, dari pada membuat copy collation lebih sering
membuat kopi sesuai aslinya atas akta in original.
Bentuk akta in originali terbatas, tidak semua perjanjian, perbuatan
dan penetapan dibuat dalam bentuk akta in originali. Yang dapat dibuat
dalam bentuk akta in original berdasarkan Pasal 16 ayat (3) UU Jabatan
Notaris 2014, adalah:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun
b. Akta penawaran pembayaran tunai

67
Salinan akta berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Jabatan Notaris 2014 adalah salinan kata
demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa "diberikan sebagai
salinan yang sama bunyinya".
68
Salim HS (III), Op.Cit, hlm. 154
69
Habib Adjie (II), 2014, Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris Dan PPAT, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 47

47
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga
d. Akta kuasa
e. Akta keterangan kepemilikan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan

Salah satu akta yang dapat dibuat dalam bentuk in original adalah akta
kuasa. SKMHT merupakan akta kuasa, jadi SKMHT dapat dibuat oleh
notaris dalam bentuk akta in originali. Berdasarkan hal tersbut diatas maka
SKMHT yang dibuat oleh notaris dapat dibuat dalam 2 (dua) bentuk, yaitu
minuta akta dengan memberikan salinan akta pada para pihak dan kedua
dapat dibuat dalam bentuk akta in originali, akta mana yang disimpan oleh
notaris dan diberikan pada para pihak adalah sama bunyinya.
SKMHT yang dibuat notaris dalam bentuk minuta akta pada bagian
kepala akta memuat judul “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan”.
Setelah judul kemudian nomor akta. Nomor akta tergantung kelanjutan dari
nomor akta sebelumnya. Penomoran akta notaris dimulai dan diakhir setiap
bulannya. Pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun yang di cantukan dalam
SKMHT sesuai dengan waktu penandatangan SKMHT tersebut.
Selanjutnya mengenai frasa menghadap, berhadapan dan hadir tergantung
frasa yang digunakan oleh masing-masing notaris, karena pada prinsipnya
mempunyai pengertian dan makna yang sama. Yaitu para pihak yang hadir
secara nyata (fisik) di hadapan notaris. Setelah frasa menghadap kepada
saya, dilanjutkan dengan nama dan gelar notaris yang membuat SKMHT.
2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Bentuk Akta PPAT
PP Pendaftaran Tanah 1997 pada Pasal 38 ayat (2) menyebutkan,
bahwa bentuk, isi dan tata cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh
Menteri. Pada tahun 2013 untuk meningkatkan pelayanan pertanahan maka
PPAT, PPAT pengganti, PPAT sementara dan PPAT khusus, dapat
menyiapkan dan membuat blanko akta PPAT. Berdasarkan hal tersebut
maka lahirlah PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 2
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, menyebutkan bahwa :
“1. Dengan berlakunya peraturan ini:
a. blanko akta PPAT yang masih tersedia di kantor badan
pertanahan nasional atau masing-masing PPAT, PPAT penganti,
PPAT sementara atau PPAT khusus masih dapat dipergunakan
b. blanko akta PPAT sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila
PPAT tidak menggunakan lagi, wajib dikembalikan ke kantor
pertanahan setempat paling lambat 31 maret 2013.
c. pengembalian akta sebagaimana dimaksud pada huruf f,
dilakukan dengan membuat berita acara penyerahan blanko
PPAT dari PPAT yang bersangkutan kepada kepala kantor
pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
d. PPAT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada huruf b dan huruf c dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

48
2. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, ketentuan yang bertentangan
dengan peraturan ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
3. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 2 januari 2013.”

Berdasarkan Pasal 2 PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 tersebut,


PPAT dalam membuat akta PPAT harus sesuai dengan tata cara pengisian
yang akta PPAT yang terdapat pada lampiran PERKABAN Nomor 8 Tahun
2012. Karena akta PPAT berupa blanko maka PPAT dapat mengisi ruang-
ruang yang sudah disediakan pada blanko sesuai dengan petunjuk pada
lampiran PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Selain mengisi ruang yang
ada pada PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, PPAT juga dapat mencoret
janji-janji atau ketentuan-kentuan yang tidak sesuai dengan keinginan dan
kehendak para pihak.
Akta PPAT yang berupa blanko akta, terdapat 4 (empat) rangkap. 2
(dua) rangkap pada bagian atas akta tertulis lembar pertama dan lembar
kedua. Sisa 2 (dua) rangkap blanko lagi akan dipergunakan sebagai salinan
untuk kepentingan para pihak. Lembar pertama dan lembar kedua
merupakan akta asli, yang terdiri dari 1 (satu) rangkap lembar pertama
disimpan oleh PPAT, sebagai warkah PPAT. Sedangkan 1 (rangkap)
lembar kedua disampaikan kepada Kantor Badan Pertahanan
Kota/Kabupaten.
Akta PPAT dalam bentuk asli pada lembar pertama dan kedua harus
dibubuhi materai 10.000 (sepuluh ribu) pada bagian tanda tangan pihak
pertama. Setiap akta asli setiap lembar per lembarnya di paraf oleh para
penghadap, para saksi dan PPAT. Paraf para penghadap, para saksi dan
notaris terletak pada pojok kanan bawah halaman akta PPAT.
Penandatangan oleh para penghadap, para saksi dan PPAT dilakukan pada
bagian akhir akta PPAT. Untuk lembar salinan akta PPAT tidak ada
pemarafan dan penandatangan yang dilakukan oleh para penghadap, para
saksi dan PPAT. Hanya pada bagian akhir akta PPAT yang di tanda tangani
oleh PPAT yang bersangkutan dan kemudian cap/stempel jabatan PPAT.
Jika pada lembar pertama dan lembar kedua akta PPAT terdapat
perubahan/perbaikan kata-kata atau kalimat-kalimat yang terdapat dalam
akta PPAT tersebut, baik berupa penambahan, pencoretan maupun
penggantian harus diberi paraf atau tanda tangan oleh para penghadap, para
saksi dan PPAT. Paraf atau tanda tangan untuk perubahan/perbaikan
dilakukan pada bagian disebelah samping kiri ditempat dimana
dilakukannya perubahan/perbaikan tersebut. pada bagian kata atau kalimat
yang tidak menjadi ketentuan dalam akta PPAT dapat dilakukan pencoretan
secara garis halus sehingga masih tetap terbaca, dan kemudian pada bagian
samping kiri pencoretan tersebut diparaf oleh para penghadap, para saksi
dan notaris. Apabila terdapat lembar tambahan yang tidak merupakan
bagian atau diluar dari akta asli PPAT yang berupa lembar kertas tersendiri,
maka lembar tambahan tersebut pada bagian atasnya dicantumkan kata
“lembar tambahan” dan nomor akta serta diparaf dan ditandatangani oleh
para penghadap, para saksi dan PPAT.
Spesifikasi akta PPAT berdasarkan lampiran PERKABAN Nomor 8
Tahun 2012 apabila PPAT mencetak sendiri akta PPAT tidak mengisi

49
blanko akta PPAT adalah sebagai berikut, pertama, kertas yang digunakan
adalah kertas yang berwarna putih berupa HVS dengan berat 80 (delapan
puluh) gram sampai 100 (seratus) gram, dengan ukuran 29,7 cm x 42 cm
atau A3. Akta dicetak dengan huruf bookman old style, dengan ukuran
huruf 12 dan huruf harus berwarna hitam, tidak boleh memakai warna lain.
Untuk mencetak akta PPAT menggunakan tinta yang berwarna hitam dan
tinta tersebut tidak mudah luntur. Setiap lembar akta PPAT cetak bolak
balik atau timbal balik untuk setiap halamannya. Pada akta PPAT dibagian
atas terdapat kop akta PPAT. Memuat nama lengkap dan gelar PPAT.
Kemudian nomor dan tanggal surat keputusan pengangkatan PPAT oleh
Menteri ATR/BPN. Selanjutnya alamat kantor PPAT, nomor telepon, dan
faxismile dari kantor PPAT. Bagian bawah (footnote) akta PPAT pada
sebelah kanan memuat nama dan gelar PPAT dan di bagian bawah nama
memuat daerah kerja PPAT. bagian sebelah kiri bawah akta PPAT memuat
halaman dari akta PPAT.
Berdasarkan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 selain ditentukan
mengenai spesifikasi akta PPAT juga mementukan spesifikasi sampul
untuk akta PPAT. Sampul akta PPAT menggunakan kertas karton yang
berwarna putih. Kertas karton tersebut memiliki berat antara 150 gram
sampai 250 gram. Sedangkan ukuran sampul akta PPAT adalah 29,7 cm x
42 cm atau A3. Pada sampul akta PPAT bagian depannya memuat, kop
PPAT pada bagian atas yang bertuliskan nama lengkap dan gelar PPAT.
Kemudian nomor dan tanggal surat keputusan pengangkatan PPAT oleh
Menteri ATR/BPN. Selanjutnya alamat kantor PPAT, nomor telepon, dan
faxismile dari kantor PPAT. selain memuat kop akta PPAT, pada bagian
tengah sampul akta PPAT memuat nama akta PPAT tersebut misalnya
“Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan”. Pada bagian bawah dari
nama akta PPAT memuat nomor akta dari akta PPAT tersebut. Penulisan
judul dan nomor akta PPAT pada sampul akta PPAT menggunakan huruf
bookman old style dengan ukuran 28 dan berwarna hitam. Tinta yang
digunakan pada sampul akta PPAT adalah tinta yang berwarna hitam dan
tinta tersebut adalah tinta yang tidak mudah luntur.
PPAT diberikan kewenangan oleh Menteri dalam hal ini Menteri
ATR/BPN dalam menyiapkan blanko akta PPAT. Namun PPAT tidak dapat
secara bebas menambah atau pun mengurangi subtansi yang tercantum
dalam petunjuk pengisian blanko PPAT berdasarkan PERKABAN Nomor
8 Tahun 2012. Hal, ini, disebabkan subtansi yang tercantum dalam blanko
akta PPAT sudah distandarlisasi oleh Menteri ATR/BPN. Apabila PPAT
membuat akta PPAT yang diminta oleh para pihak, tidak sesuai dengan
bentuk dan tata cara pengisian blanko akta PPAT yang diatur berdasarkan
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, maka kantor pertanahan setempat
dapat menolak pendaftaran terhadap akta yang dibuat oleh PPAT.
Akta PPAT berupa SKMHT yang dibuat oleh PPAT mengenai objek
hak tanggungan hanya untuk objek hak tanggungan yang berada pada
daerah kerja PPAT. apabila daerah kerja PPAT adalah kota A maka PPAT
tersebut hanya berwenang membuat SKMHT yang objek hak
tanggungannya berada di kota A, tidak di bolehkan membuat SKMHT yang
objek hak tanggungannya berada di kota B. inilah salah satu yang

50
membedakan SKMHT yang dibuat oleh notaris dengan PPAT. SKMHT
pada notaris dapat dibuat terhadap objek hak tanggungan di daerah lain,
asal saja objek hak tanggungan tersebut terdapat atau berada dalam wilayah
jabatan notaris.
3. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Bentuk Gabungan
Akta Notaris dan Akta PPAT
Praktiknya Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten setempat dalam
pendaftaran hak tanggungan, di beberapa daerah hanya menerima SKMHT
dalam bentuk campuran antara SKMHT dalam bentuk akta notaris dengan
SKMHT dalam bentuk akta PPAT, yang tentunya menimbulkan kerancuan
dalam dasar pembuatan SKMHT, karena tidak tunduk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik bagi notaris maupun PPAT. Jika
melihat SKMHT yang dibuat dalam bentuk akta notaris dan akta PPAT,
tentu akan menimbulkan kerancuan dalam dasar hukum berpinjaknya
pembuatan SKMHT tersebut. Oleh karena pembuatan akta otentik harus
tunduk pada sistem hukum dan berpedoman pada undang-undang
organiknya yaitu Pasal 1868 KUHPerdata.
Pencampuran pembuatan SKMHT dalam bentuk notaris dan PPAT
pada prakteknya sudah lama dilakukan oleh beberapa notaris dan PPAT,
bahkan jauh sebelum adanya PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Notaris
dan PPAT membuat SKMHT demikian agar supaya pendaftaran APHT
dapat diterima oleh Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat. Hal ini
juga tidak serta merta kamauan dari kantor badan pertanahan. Notaris dan
PPAT dapat saja memiliki salah satu dari akta apa yang mereka gunakan
dalam pebuatan SKMHT, tidak harus mengabungkan dua akta kedalam satu
SKMHT.
Pada bentuk ini SKMHT menggunakan blanko berdasarkan
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, namun pernomor dan bertandatangan
SKMHT tersebut adalah notaris. Bentuk SKMHT adalah akta PPAT namun
pejabat yang menandatanganinya adalah notaris. Dari semua kewenangan
yang diamanatkan pada PPAT dalam membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan hanya pada pembuatan SKMHT yang terjadi pencampuran
seperti ini. Kedelapan akta PPAT lainnya tidak pernah ada pengabungan
bentuk akta notaris dan PPAT.
Bentuk blanko SKMHT dengan akta PPAT dan akta notaris, dengan
pengisian sebagai berikut. Pertama, pada SKMHT memakai kop PPAT,
dalam kop akta SKMHT memuat nama dan gelar notaris, daerah kerja
notaris, nomor surat keputusan pengangkatan notaris oleh Kemenkum
HAM serta tanggal pengangkatannya notaris, serta alamat kantor notaris.
Pada bagian bawah SKMHT terdapat catatan kaki (footnote), berisi judul
akta, nama notaris, daerah kerja notaris dan halaman dari SKMHT.
Kedua, judul akta, yaitu “Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan”. Di bawah judul diikuti nomor SKMHT, penomoran yang
dipergunakan disini adalah penomoran secara notaris, misalnya nomor :
02.-. Di bawah nomor SKMHT terdapat lembar pertama atau lembar kedua.
Kemudian hari, tanggal bulan dan tahun yang menunjukan pelaksanaan
penandatangan SKMHT. Dilanjutkan dengan frasa menghadap/hadir/

51
berhadapan dengan mencantumkan nama dan gelar notaris, kemudian
nomor SK pengangkatan notaris dan tanggal pengangkatan notaris tersebut.
Ketiga dilanjutkan dengan komparisi para penghadap baik pemberi
kuasa maupun penerima kuasa berupa, nama lengkap, tempat tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, alamat dan nomor induk
kependudukan. Kemudian nama debitur, jika debitur bukan pemberi kuasa
harus dijelaskan identitas debitur. Dilanjutkan dengan jumlah utang debitur.
Kemudian nama perseroan perbankan/non perbankan dan jenis akad/
perjanjian yang dibuat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa.
Keempat besar/jumlah dan peringkat hak tanggungan. Diikuti
kemudian uraian mengenai objek hak tanggungan atas objek yang
terdaftar/sertipikat dan terhadap objek hak tanggungan yang belum
terdapat/belum bersertipikat. Kelima janji-janji yang harus dipenuhi oleh
pemberi kuasa dan penerima kuasa baik terhadap objek hak tanggungan
maupun terhadap kewajiban masing-masing. Kemudian jangka waktu
lamanya SKMHT berlaku sampai pada penandatanganan APHT. Keenam
persetujuan dari pasangan suami/istri debitur. Ketujuh identitas saksi akta
berupa nama, tempat tanggal lahir, alamat dan nomor induk kependudukan.
Terakhir penandatanganan yang dilakukan oleh pemberi kuasa, penerima
kuasa, persetujuan dari suami/istri pemberi kuasa, para saksi, dan notaris.
Pada sampul akta memakai spesifikasi sampul akta PPAT. Pada
sampul tetap memakai kop sampul akta, tetapi nama dan SK, nomor SK,
tanggal SK, dan tempat kedudukan adalah bertindak selaku notaris. Di
bawah kop akta dibuat judul akta dan nomor SKMHT. Akta ini
ditandatangani oleh para pihak, para saksi dan notaris sebanyak 2 (dua)
rangkap. Sedangkan salinan SKMHT tidak terdapat tanda tangan para
pihak, para saksi dan notaris hanya memuat kalimat yang diberikan sebagai
salinan yang sama bunyinya dan ditandatangani oleh notaris serta
distempel/cap dengan stempel/cap jabatan notaris.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa
banyaknya permasalahan SKMHT dilapangan, menimbulkan tidak adanya
kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang terkait dengan SKMHT. Untuk
adanya kepastian hukum terhadap SKMHT yang akhirnya akan memberikan
kemanfaatan dan rasa keadilan bagi setiap subjek hukum yang terkait dengan
SKMHT, maka tepat AKMHT menjadi kewenangan notaris. Sehingga tidak
ada lagi pembuatan SKMHT dengan model penggabungan akta notaris dengan
akta PPAT.
C. TANGGUNG JAWAB NOTARIS DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH DALAM PEMBUATAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK
TANGGUNGAN
1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Alat Bukti Di Bawah
Tangan dan Alat Bukti Otentik
Akta otentik merupakan alat bukti terkuat dan penuh. Apa yang tertuang
pada akta otentik tersebut harus diterima oleh hakim. Kecuali para pihak dapat
membuktikan lain, dan hakim menyakini pembuktian tersebut. Hakim harus
menilai akta otentik sesuai apa adanya akta tersebut dan tidak perlu ditafsir
selain apa yang tertulis dalam akta tersebut. SKMHT jika memenuhi syarat
sebuah akta otentik berdasarkan 1868 KUHPerdata, Pasal 38 UU Jabatan

52
Notaris 2014 dan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, maka SKMHT
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. SKMHT sebagai akta
otentik pada peradilan perdata atau hukum acara perdata akan menjadi alat
bukti bagi para pihak. SKMHT sebagai akta notaris harus mempunyai
kemampuan pembuktian baik secara lahiriah, formal dan materil.
SKMHT mempunyai kekuatan kemampuan pembuktian lahiriah dimana
SKMHT tersebut dapat membuktikan sendiri keabsahannya sebagai akta
otentik. Jika dilihat dari luar SKMHT akan nampak sebagai akta otentik
karena memenuhi syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
akta otentik. Sampai ada yang dapat membuktikan bahwa SKMHT tersebut
tidak sebagai akta otentik. Keotentikan SKMHT sebagai suatu alat bukti yang
sempurna pada peradilan acara perdata tampak pada parameter SKMHT
tersebut. Dimana SKMHT ditandatangani oleh notaris sebagai pejabat yang
yang berwenang membuatnya baik pada minuta SKMHT dan akta in originali.
Serta notaris dapat menjamin bahwa yang menandatangai SKMHT adalah para
pihak yang cakap dan berwenang dalam membuat SKMHT. Pukul, hari,
tanggal, bulan dan tahun dibuat dan dibacakannya SKMHT adalah pukul, hari,
tanggal, bulan dan tahun dimana para pihak yang datang menghadap pada
notaris dan menandatangani SKMHT tersebut.
Aspek lahiriah pada SKMHT harus dilihat apa adanya bukan dilihat ada
apanya. SKMHT secara lahiriah harus dipadang oleh hakim sebagai alat bukti
yang tidak perlu dipertentangkan lagi. Jika ada para pihak dalam SKMHT
tersebut yang menyatakan bahwa SKMHT tidak dapat dianggap sebagai bukti
akta otentik, maka pihak yang menyatakan hal tersebut harus dapat
membuktikan bahwa secara lahiriah SKMHT tidak akta otentik. SKMHT
mempunyai kekuatan dan kemampuan pembuktian formal, dimana SKMHT
memberikan kepastian bahwa apa yang kejadian dan fakta yang ada didalam
SKMHT tersebut adalah benar dan sesuai dengan prosedur pembuatan sebuah
akta. Apa yang tertuang di dalam SKMHT baik mengenai pukul, hari, tanggal,
bulan dan tahun dibuatnya akta, identitas para pihak, uraian dan jumlah objek
hak tanggungan, nilai utang dan nilai hak tanggungan adalah benar, sesuai
dengan pernyataan dan keinginan para pihak. Aspek formal terhadap SKMHT
ini dipermasalahkan oleh para pihak baik itu oleh pemberi maupun penerima
hak tanggungan, maka pihak yang mempermasalahkan harus membuktikan
ketidakbenaran yang tertuang dalam SKMHT tersebut.
Pihak yang mempermasalahkan SKMHT tersebut harus membuktikan atau
dikenal dengan juga dengan pembuktian terbalik. Jika pihak yang
mempermasalahkan SKMHT tidak dapat membuktikan peyangkalan terhadap
aspek formal tersebut, maka SKMHT tersebut harus diterima oleh semua
pihak. Siapa saja dapat melakukan penyangkalan terhadap aspek formal dari
SKMHT. Seperti para pihak yang ada dalam SKMHT, pihak ketiga yang
terkait dengan SKMHT maupun para ahli waris dari para pihak dalam SKMHT
tersebut.
SKMHT juga sebagai akta otentik juga mempunyai kemampuan
pembuktian secara meteril. Bahwa SKMHT dapat membuktikan kebenaran
atas pihak-pihak yang membuat SKMHT, maupun pihak-pihak yang
mendapatkan hak atas SKMHT tersebut. Ketiga pembuktian tersebut harus ada
dalam akta otentik. Apabila SKMHT dapat membuktikan kemampuan

53
pembuktian lahiriah, formal dan materil maka SKMHT merupakan akta otentik
yang memiliki kesempurnaan sebagai alat bukti. Tapi jika salah satu
pembuktian atas SKMHT tersebut disangkal oleh pihak maka akta otentik itu
akan menjadi akta di bawah tangan, dan hakim pada peradilan perdata akan
meminta pembuktian lain sebagai bukti tambahan. Berlakunya kekuatan
SKMHT sebagai akta di bawah tangan sejak adanya putusan hukum yang tetap
menyatakan bahwa akta tersebut merupakan akta di bawah tangan.
Akibat hukum dari SKMHT menjadi di bawah tangan adalah bahwa
SKMHT tetap sah dan mengikat, kecuali adanya putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa SKMHT tersebut menjadi batal dan tidak mengikat bagi
para pihak dan pihak yang terkait terhadap akta tersebut. Akibat hukum dari
kebatalan suatu akta notaris pada prinsipnya sama antara batal demi hukum,
dapat dibatalkan atau non existent yaitu ketiganya mengakibatkan perbuatan
hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut tidak
mempunyai akibat hukum, perbedaannya pada waktu berlakunya kebatalan
tersebut, yaitu:70
1. Batal demi hukum, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak
mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut
atau berdaya surut (ex tunc), dalam praktek batal demi hukum
didasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
2. dapat dibatalkan, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak
mempunyai akibat hukum sejak terjadinya pembatalan dan dimana
pembatalan atau pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung pada
pihak tertentu yang menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat
dibatalkan. Akta yang sanksinya dapat dibatalkan, tetap berlaku dan
mengikat selama sebelum ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalkan akta tersebut
3. Non existent, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada atau
non existent yang disebabkan tidak dipenuhinya essensialia dari suatu
perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur, atau semua unsur
dalam suatu perbuatan hukum tertentu. Sanksi non existent secara
dogmatis tidak diperlukan putusan pengadilan namun dalam praktek
tetap diperlukan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap dan implikasinya sama dengan batal demi hukum.

Peradilan pidana menganut asas praduga tidak bersalah (presumption of


innocence), berdasarkan penjelasan butir 3 huruf c Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAPidana), menyatakan
bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Manusia sebagai mahkluk yang diberi akal yang
mempunyai martabat dalam kehidupan bermasyarakat harus dinilai sebagai
subjek bukan sebagai objek, oleh karena itu apabila ditunduhkan sesuatu
terhadapnya maka sebelum divonis bersalah terlebih dahulu dilakukan

70
Sjaifurrachman, Op.Cit, hlm. 125-126

54
pemeriksaan dan dimintakan keterangan atas apa yang disangkakan padanya.
Peradilan pidana pada proses persidangan dilakukan secara terbuka untuk
umum. Berdasarkan Pasal 153 ayat (3) KUHAPidana, untuk keperluan
pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang
terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwanya anak-anak. Hal ini dimaksudkan bahwa persidangan dapat
disaksikan oleh siapa saja, sehingga publik dapat melihat dan menilai proses
jalannya persidangan.
Notaris maupun PPAT yang tersangkut masalah pidana terutama pada
pembuatan SKMHT, akan menjalani proses dan tahapan pemeriksaan yang
sesuai dengan proses peradilan acara pidana. Notaris yang tersangkut proses
pidana, pada saat notaris tersebut dipanggil untuk pemeriksaan dikepolisian
walaupun hanya sebagai sanksi, terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari
Majelis Kehormatan Notaris (selanjutnya disebut dengan MKNotaris). Apabila
MKNotaris memberikan persetujuan kepada notaris untuk diperiksa maka
notaris harus menghormati jalannya proses hukum. Namun apabila MKNotaris
menolak maka kepolisian tidak dapat memanggil notaris dan meminta minuta
serta warkah yang terkait dengan minuta. Hal ini berbeda dengan jabatan
PPAT. Jika PPAT tersangkut perkara pidana dalam hal pembuatan SKMHT,
tidak ada lembaga majelis kehormatan seperti jabatan notaris. PPAT apabila
dimintakan keterangan oleh kepolisian tidak perlu meminta izin pada lembaga
apapun. Kepolisian dapat langsung memanggil atau meminta lihatkannya
minuta akta PPAT maupun warkah pendukung minuta akta PPAT. SKMHT
dijadikan alat bukti pada peradilan pidana, maka SKMHT tersebut bukan
merupakan alat bukti utama walaupun SKMHT merupakan akta otentik. Pada
peradilan pidana yang menjadi alat bukti utama adalah kesaksian. Kesaksian
disini adalah kesaksian yang dilihat, didengar dan disaksikan sendiri oleh
seorang yang mangalaminya ataupun melihatnya. SKMHT apabila merupakan
salah satu alat bukti, maka pada saat penyidikan71 SKMHT tersebut sudah
dilakukan penyitaan surat oleh penyidik. Apabila SKMHT tidak mempunyai
hubungan langsung dengan tindak pidana yang diperiksa, namun SKMHT
tersebut memiliki alasan yang kuat sebagai surat yang dicurigai mempunyai
hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, maka penyidik berhak
membuka, memeriksa dan menyita SKMHT, tersebut. Pembukaan dan
penyitaan terhadap SKMHT tersebut harus dengan izin khusus yang diberikan
oleh ketua pengadilan negeri. Apabila SKMHT tersebut sesudah dibuka dan
diperiksa, ternyata bahwa SKMHT itu ada hubungannya dengan perkara yang
sedang diperiksa, maka SKMHT tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
Namun apabila SKMHT tersebut sesudah diperiksa ternyata tidak ada
hubungannya dengan perkara tersebut, SKMHT itu ditutup rapi dan segera
diserahkan kembali pada notaris dan PPAT setelah dibubuhi cap yang berbunyi
"telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta
identitas penyidik. Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas

71
Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidak dapatnya
dilakukan penyidikan. Lihat, Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, 1990,
Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hlm. 77

55
kekuatan sumpah jabatan mengenai isi dari SKMHT yang dikembalikan. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 dan Pasal 48 KUHAPidana. Berdasarkan
Pasal 132 KUHAPidana, apabila diterima pengaduan bahwa sesuatu SKMHT
tersebut palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat memintakan keterangan mengenai hal
tersebut dari orang ahli. Jika timbul dugaan kuat bahwa SKMHT tersebut
merupakan surat palsu atau yang dipalsukan, maka penyidik dengan surat izin
ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat meminta kepada
pejabat penyimpan umum (pejabat umum yang dimaksud merupakan pejabat
yang berwenang atas arsip negara dalam hal ini notaris dan PPAT) supaya
notaris dan PPAT mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepada
penyidik untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
Mengenai pemeriksaan notaris dan PPAT dalam kasus pidana, dimana
notaris dan PPAT telah ditetapkan sebagai tersangka maupun terdakwa,
sebaiknya pemeriksaan tersebut dilakukan berdasarkan tata cara dari
pembuatan akta notaris dan PPAT, yaitu:72
a. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya
yang diperlihatkan pada notaris dan PPAT
b. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan
atau kehendak para pihak tersebut (tanya jawab)
c. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau
kehendak para pihak tersebut
d. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi
keinginan atau kehendak para pihak tersebut
e. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris dan
PPAT, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan
dan pemberkasan untuk minuta
f. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
jabatan notaris dan/atau PPAT

2. Tanggung Jawab Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Berdasarkan UU Jabatan Notaris
2014 dan PP Jabatan PPAT 2016
Pengertian tanggung jawab secara harfiah adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).73 Tanggung jawab ini
dibebankan kepada setiap subjek hukum baik itu orang maupun badan hukum
yang melakukan perbuatan melawan hukum atau tindakan yang menyimpang
dari peraturan perundang-undangan.
Tanggung jawab tidak terbatas kepada subjek hukum secara individu
tetapi juga terhadap subjek hukum yang menyandang suatu profesi atau
jabatan. Notaris dan PPAT merupakan suatu profesi yang juga memiliki
tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, para pihak yang membuat akta
dihadapannya serta sosial. Terutama tanggung jawab terhadap undang-undang

72
Habib Adjie (III), 2013, Saksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hlm. 77
73
https://kbbi.web.id/tanggung%20jawab, diakses pada Tanggal 15 Oktober 2020, Pukul
21.15 WIB

56
yang mengatur jabatannya, norma-norma hukum positif serta tunduk pada kode
etik dari masing-masing profesinya. Notaris dan PPAT, bertanggung jawab
apabila dapat dibuktikan bahwa notaris dan PPAT tersebut bersalah. Terkait
dengan kesalahan notaris dan PPAT, maka yang digunakan adalah beroepsfout.
Beroepsfout merupakan istilah khusus yang ditujukan terhadap kesalahan,
kesalahan tersebut dilakukan oleh para profesional dengan jabatan-jabatan
khusus, yaitu dokter, advokat, notaris dan PPAT. Kesalahan-kesalahan tersebut
dilakukan dalam menjalankan suatun jabatan. Namun istilah kesalahan dalam
hal ini sifatnya objektif dalam pengertian istilah kesalahan ini dalam konteks
beroepsfout ditujukan kepada para profesional dalam menjalankan jabatannya.
Namun untuk mengkaji pengertian kesalahan pada beroepsfout dapat mengacu
pada definisi kesalahan pada umumnya, khususnya dalam hukum pidana.74
Oleh karena itu baik notaris maupun PPAT dalam menjalankan
jabatannya membuat akta otentik tentu harus selalu berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya serta kode etik. Jangan
sampai notaris dan PPAT keluar dari rule-nya, yang menyebabkan timbul
tanggung jawab baik secara perdata, pidana, dan administrasi. Jika ditelaah
tanggung jawab notaris dan PPAT dalam membuat akta, terutama SKMHT,
adalah sebagai berikut:
a. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris
Tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang berhubungan dengan
akta, diantaranya, pertama, tanggung jawab notaris secara perdata atas akta
yang dibuatnya. Tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab
terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan
hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif.
Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada
pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang
merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur
dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan
hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Kedua,
Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana
dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang notaris
dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta,
bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya.
Ketiga, tanggung jawab notaris secara administrasi atas akta yang
dibuatnya.
Notaris dalam menjalankan jabatannya jika terjadi pelanggaran UU
Jabatan Notaris 2014, kode etik notaris dan peraturan perundang-undang
yang berkaitan dengan kewenangan notaris maka notaris harus memikul
tanggung jawab. Tanggung jawab notaris terutama dalam membuat SKMHT
berdasarkan UU Jabatan Notaris 2014 dan kode etik, adalah:
1) Tanggung Jawab Administrasi Notaris
Notaris selaku pejabat umum yang memiliki tugas yang bertalian
dengan kepentingan umum yang melayani masyarakat. Pelayanan kepada
masyarakat dalam hal membuat akta-akta otentik yang diserahi

74
Sjaifurrachman, Op.Cit, hlm. 173

57
kewenangan oleh negara. Konsekuensi notaris sebagai pejabat umum
tentu harus menjalankan jabatannya sesuai dengan UU Jabatan Notaris
2014 dan kode etik. Notaris sebelum menjalankan jabatannya harus
disumpah terlebih dahulu menurut agama yang dianutnya di hadapan
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 4 ayat (2), menyatakan bahwa
sumpah notaris berbunyi, bahwa saya akan patuh dan setia kepada
Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang
Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa
saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama,
mandiri, dan tidak berpihak. Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah
laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik
profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai notaris.
Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh
dalam pelaksanaan jabatan saya. Dan bahwa saya untuk dapat diangkat
dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan
nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada siapa pun.
Selain tanggung jawab notaris terhadap masyarakat dan negara,
notaris juga memiliki tanggung jawab terhadap profesinya. Tanggung
jawab notaris terhadap profesinya diatur dalam kode etik notaris. Oleh
karena notaris merupakan jabatan professional, maka dalam menjalankan
jabatannya harus memiliki kode etik sebagai landasan berpijak dalam
etika suatu profesi. UU Jabatan Notaris 2014 dan kode etik notaris
terdapat hubungan yang saling keterkaitan. Hubungan ini memberikan
arti tersendiri terhadap profesi notaris. UU Jabatan Notaris 2014 dan
kode etik notaris menghendaki agar notaris dalam menjalankan
kewenangannya harus tunduk pada UU Jabatan Notaris 2014 dan harus
taat pada kode etik profesi notaris serta bertanggung jawab terhadap
masyarakat yang membuat akta kepadanya. Konsekuensi dari hubungan
UU Jabatan Notaris 2014 dan kode etik notaris adalah jika notaris
mengabaikan UU Jabatan Notaris 2014 dan kode etik notaris dalam
menjalankan jabatannya maka dikenakan sanksi moril berupa teguran
sampai dipecat dari anggota profesinya dan dapat juga dipecat dari
jabatannya sebagai notaris.
Fungsi saksi dalam penegakan aturan UU Jabatan Notaris 2014 dan
kode etik notaris ini adalah sebagai penegak hukum. Karena saksi
merupakan bagian penutup yang terpenting dalam hukum, termasuk
didalamnya saksi adminitrasi. Sanksi adiminitratif sasaran tujuannya
adalah pada perbuatan dan sanksi adiminitratif ini dilakukan secara
langsung oleh organisasi profesi tanpa adanya sidang pengadilan. Tujuan
dari sanksi administratif untuk menjaga keseimbangan jalannya aturan
yang berlaku. Sanksi administratif terhadap notaris juga bertujuan agar
notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan UU Jabatan Notaris
2014 dan kode etik. Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap UU
Jabatan Notaris 2014 dan kode etik akan dikenakan sanksi supaya notaris
tersebut kembali pada UU Jabatan Notaris 2014 dan kode etik dalam
menjalankan jabatannya. Disamping itu, fungsi sanksi dalam pelaksanaan

58
jabatan notaris agar notaris dalam menjalankan jabatannya tidak
merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Sanksi administratif
bertujuan supaya tercapainya penegakan hukum, sehingga timbul rasa
perlindungan dan keadilan dalam masyarakat.
Berdasarkan sifatnya sanksi administratif dibedakan menjadi sanksi
restorasi atau memperbaiki (restorationsanction) dan sanksi yang
menghukum (punitive sanction). Sanksi restorasi adalah sanksi yang
tujuannya memulihkan pada keadaan yang sah menurut aturan hukum
seperti semula seperti sebelum terjadi pelanggaran (the rstorasion of the
lawful situation). Sanksi yang bersifat memperbaiki tujuannya adalah
memperbaiki apa yang telah dilakukan atau tidak dilakukan dalam
pelanggaran hukum. Sanksi restorasi yang sifatnya memperbaiki meliputi
sanksi paksaan pemerintah dan pembeban uang paksa. Sedangkan
punitive sanction tujuannya adalah untuk memberikan hukuman (to
inflict suffering). Punitive sanction lebih dimaksudkan untuk
menghukum pelanggar di banding memulihkan pada keadaan yang sah
menurut hukum seperti semula sebelum terjadi pelanggaran. Sanksi yang
sifatnya menghukum, misalnya adalah denda administraif (administrative
fine/bestuurlijk boetes). Sanksi ini sama dengan denda berdasarkan
hukum pidana, perbedaannya adalah sanksi administratif tidak melalui
proses pengadilan.75
UU Jabatan Notaris 2014 pada Pasal 85 mengatur mengenai sanksi
administratif yang dijatuhkan terhadap notaris yang melakukan
pelanggaran berupa:
1) Teguran lisan
2) Terguran tertulis
3) Pemberhentian sementara, dikarenakan:
a) Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran
utang
b) Berada di bawah pengampuan
c) Melakukan perbuatan tercela
d) Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan
jabatan serta kode etik notaris
e) Sedang menjalani masa penahanan.
4) Pemberhentian dengan hormat
Berdasarkan pasal Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Jabatan Notaris
2014, notaris diberhentikan dengan hormat karena:
(1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan
hormat karena:
a. Meninggal dunia;
b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun
c. Permintaan sendiri
d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk
melaksanakan tugas jabatan notaris secara terus menerus
lebih dari 3 (tiga) tahun

75
A‟an Efendi dan Freddy Poernomo, Op.Cit, hlm. 304-305

59
e. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf g.
(2) Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh
tujuh) tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang
bersangkutan.
5) Pemberhentian dengan tidak hormat, apabila:
a) Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
Notaris yang dinyatakan pailit sudah tentu notaris tersebut
berada di bawah pengampuan. Subjek hukum yang berada di
bawah pengampuan secara hukum tidak dapat melakukan
perbuatan atau tindakan hukum.
b) Berada di bawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari
3 (tiga) tahun
c) Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan
martabat jabatan notaris
d) Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan
larangan jabatan
e) Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih

Penjatuhan sanksi administrasi yang dilakukan oleh Majelis


Pengawas Wilayah Notaris, Majelis Pengawas Pusat Notaris dan oleh
Menteri, tentu dengan banyak pertimbangan. Notaris dapat melakukan
pembelaan dari setiap yang dituduhkan atau disangkakan terhadapnya.
Pada saat pemeriksaan notaris oleh MPNotaris baik notaris maupun
terlapor akan dimintakan keterangan sehingga majelis pengawas dapat
mengambil tindakan sebijaksana mungkin terhadap notaris, terkadang
terlapor karena keadaan emosi banyak mempermasalahkan tindakan
notaris. Belum tentu tindakan notaris tersebut bertentangan dengan UU
Jabatan Notaris 2014, kode etik dan perundang-undangan lainnya serta
merugikan terlapor. Inilah salah satu tugas dan fungsi dari MPNotaris
untuk menduduk perkara pada tempatnya.
SKMHT sebagai salah satu akta yang dibuat oleh notaris
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada
notaris, tentu harus dibuat berdasarkan aturan perundang-undangan yang
berlaku terhadap SKMHT tersebut. Jika SKMHT dibuat tidak memenuhi
ketentuan pada Pasal 16, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54,
Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 63 UU Jabatan Notaris 2014 maka bagi
notaris yang membuat SKMHT tersebut akan dapat dikenakan sanksi
administratif. Pengenaan sanksi administratif, tidak serta merta begitu
saja diberikan pada notaris yang melanggarnya. Tentu terlebih dahulu
ada pengaduan dari terlapor, pengaduan ini pun tidak akan langsung
diterima oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris. Majelis Pengawas
Daerah Notaris akan memanggil notaris dan terlapor serta meminta bukti

60
bahwa memang telah terjadi dugaan pelangaran oleh notaris. Pada saat
notaris dan terlapor dipanggil akan diminta keterangan notaris dan
terlapor tersebut. MPNotaris akan mendengarkan dan memeriksa berkas-
berkas terkait terhadap sebelum menggambil keputusan terhadap notaris
yang dilaporkan.
2) Tanggung Jawab Perdata Notaris
SKMHT tidak dibuat berdasarkan bentuk dan sifat akta, serta para
penghadap belum cakap bertindak dalam membuat akta dikarenakan
belum cukup umur 18 (delapan) belas tahun serta dalam pembuatan akta
tidak dihadiri oleh saksi akta sebanyak 2 (dua) orang dan tidak memenuhi
syarat sebagai saksi akta, maka pelanggaran terhadap berdasarkan Pasal
38, Pasal 39, Pasal 40 UU Jabatan Notaris 2014, juga menyebabkan akta
otentik menjadi akta di bawah tangan. SKMHT harus dibacakan
dihadapan para pihak dan para saksi setelah dibacakan SKMHT
ditandatangani oleh para pihak, para saksi dan notaris. Jika ada perbaikan
maupun perubahan pada SKMHT maka harus dilakukan sesuai dengan
tata cara perubahan maupun perbaikan yang diatur dalam UU Jabatan
Notaris 2014. Pada pembuatan SKMHT notaris tidak boleh membuat
akta untuk dirinya sendiri suami/istri maupun orang lain yang
mempunyai hubungan sedarah maupun hubungan karena perkawinan.
Pelanggaran terhadap hal tersebut akan menyebabkan akta notaris
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Namun akta dibawah tangan
ini tetap mempunyai kekuatan pembuktian, dan pembuktiannya tetap
sempurna sepanjang para mengakuinya. Dan jika akta ini menjadi batal
demi hukum maka akta notaris dianggap tidak pernah ada atau tidak
pernah dibuat oleh para pihak maka sesuatu yang tidak pernah ada atau
tidak pernah dibuat tidak dapat menjadi dasar tuntutan dalam pengajuan
ganti kerugian.
Pengganti kerugian pada pertanggungjawaban perdata sangat erat
kaitannya dengan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Perbuatan
melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, bahwa tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian. Ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata ini
mengisyaratkan adanya kesalahan. Kesalahan ini harus dibuktikan oleh
pihak yang menderita kerugian. Perbuatan melanggar hukum76 oleh
notaris tidak hanya perbuatan yang langsung melanggar hukum, namun
juga menyangkut perbuatan melanggar peraturan lain. Notaris dalam
membuat SKMHT tidak boleh melanggar aturan yang berkaitan dengan

76
Lihat, Sjaifurrachman, Op.Cit, hlm. 180, bahwa perbuatan melanggar hukum menurut
Samuel Cohen yang dikutif oleh Sjaifurrachman terdiri atas 4 kategori :
1. bertentangan dengan kewajiban sipelaku
2. melanggar hak subjektif orang lain
3. melanggar kaedah tata susila
4. bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang harusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap
harta benda orang lain.

61
UU Jabatan Notaris 2014, KUHPerdata mengenai lembaga kuasa pada
umumnya dan kesusilaan serta kesopanan.
Penggantian kerugian terhadap notaris harus dengan mendasarkan
pada hubungan hukum diantara para pihak yang datang menghadap pada
notaris dengan notaris tersebut. Apabila ada para pihak yang dirugikan
sebagai akibat langsung dari suatu akta notaris, maka yang bersangkutan
dapat menuntut secara perdata pada notaris. Dengan demikian tuntutan
ganti kerugian terhadap notaris tidak didasarkan atas penilaian atau
kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena melanggar ketentuan-
ketentuan menurut Pasal 84 UU Jabatan Notaris 2014 tetapi hanya dapat
didasarkan kepada hubungan hukum yang ada atau terjadi antara notaris
dengan para penghadap.77 Namun kasus yang banyak terjadi terhadap
notaris yang digugat atau turut tergugat dipengadilan pada umumnya
didasarkan pada terdegrasainya akta otentik menjadi akta di bawah
tangan bukan karena dirugikannya para pihak sebagai akibat langsung
dari suatu akta. Contonya SKMHT apabila terdapat kesalahan atau
kelalaian notaris dalam menempatkan para pihak, seperti tidak
berwenangnya seseorang sebagai pihak dalam SKMHT, maka
menyebabkan SKMHT tersebut tidak dapat dipasangkan APHT maka ini
dikategorikan tindakan melawan hukum dan notaris dapat dituntut ganti
kerugian, biaya dan bunga akibat kesalahan dan kelalaian notaris
tersebut.
Sedangkan ganti kerugian sebagai akibat dari wanprestasi karena
adanya unsur ingkar janji (tidak menempati janji), dimana wanprestasi
diatur pada Buku III KUHPerdata. Wanprestasi harus didasarkan adanya
suatu perjanjian dibawah tangan maupun otentik. Seseorang dapat
dikatakan tidak wanprestasi apabila ia tidak terikat dalam suatu hubungan
kontrak.78 Berdasarkan hal tersebut diatas terjadinyanya wanprestasi
karena adanya perjanjian. Pada hubungan notaris dan para pihak yang
membuat akta dihadapnya bukan merupakan suatu bentuk pernjanjian
antara notaris dengan para pihak tersebut. Para pihak tersebut datang atas
kehendak dan keinginan sendiri untuk memyampaikan kehendaknya
dalam membuat sebuah akta otentik. Notaris tidak akan membuat akta
sendiri tanpa adanya permintaan dari para pihak. Bergitu juga dalam hal
membuat SKMHT, SKMHT dibuat atas kehendak dan permintaan baik
dari penerima kuasa dalam hal ini perbankan atau dari permintaan
pemberi kuasa dalam hal ini debitur, tentu dengan alasan-alasan hukum.
Oleh karena itu tidak tepatnya penggantian kerugian di bebankan pada
notaris dalam hal wanprestasi oleh karena adanya kesalahan dan
kelalaian.
3) Tanggung Jawab Pidana Notaris
Pada UU Jabatan Notaris 2004 maupun UU Jabatan Notaris 2014
tidak ada satu pasal pun yang mengatur mengenai saksi pidana bagi
notaris yang menjalankan jabatannya. Oleh karena itu jika terjadi

77
Ibid, hlm.196
78
Yohanes Sogar Simamora, 2008, Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Kontrak
Pemerintah Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, hlm. 10

62
pelanggaran terhadap pidana oleh notaris merujuk pada Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHPidana). Pada
KUHPidana pasal yang sering dikenakan pada notaris adalah Pasal 263,
Pasal 264, dan Pasal 266 KUHPidana, yaitu:
1) Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHPidana, mengenai memuat surat
palsu atau memalsukan surat
2) Pasal 264 ayat (1) dan (2) KUHPidana, mengenai pemalsuan
surat
3) Pasal 266 ayat (1) dan (2) KUHPidana, mengenai menempatkan
keterangan palsu
Pada SKMHT yang banyak terjadi dalam praktek adalah, pada saat
dibuatnya SKMHT ada beberapa oknum notaris maupun dari perbankan
yang tidak memberikan secara lengkap data-data atau persyaratan-
persyaratan dalam pembuatan SKMHT. Terkadang pada saat
penandatangan SKMHT, ada beberapa point yang tidak dituangkan
dalam SKMHT. Dengan kata lain dikosongkan akibat tidak atau
kurangnya data yang diberikan oleh perbankan. Penyimpangan lain yang
juga sering terjadi pada SKMHT adalah pada penandatangan dan
pembacaan SKMHT tidak dihadiri oleh yang namanya tercantum sebagai
penerima kuasa dalam SKMHT. Serta pada penandatangan SKMHT
yang membacakan SKMHT tersebut bukanlah notaris tetapi karyawan
notaris atau saksi akta.
Hal ini tentu melanggar UU Jabatan Notarsi 2014, kode etik dan
ketentuan dari KUHPidana. Karena notaris sudah memasukan keterangan
palsu pada aktanya. Apakah ini atas permintaan dari perbankan, namun
sebagai notaris yang mandiri serta tidak berpihak harus menjadi penegah
dan penyimbang di antara para pihak, bukan berada dalam posisi berat
sebelah. Seperti kasus di yang menyerat notaris Banda Aceh, berdasarkan
Putusan Pengadilan Banda Aceh Nomor 318/Pid. B/2013/PN-BNA.
Notaris I.S memalsukan tanda tangan para pihak dalam pembuatan
SKMHT dan APHT. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan Laboratorium
Kriminalistik Nomor Lab : 141/DTF/2013 Tanggal 31 Januari 2013 yang
ditandatangani oleh Agus Irianto, Kepala Laboratorium Forensik Cabang
Medan beserta tim pemeriksa. Berdasarkan hal tersebut notaris dituntun
dengan Pasal 263 KUHPidana dan Pasal 264 KUHPidana.
b. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Jenis pelanggaran dan kelalaian yang mungkin dilakukan oleh PPAT
ada 3 macam, yaitu sebagai berikut:79
1. Mengenai pembuatan APHT, dalam membuat APHT seperti yang
disebut dalam Pasal 11 ayat (1) UU Hak Tanggungan 1996, tidak
mencantumkan antara lain nama pemberi dan penerima hak
tanggungan, domisil pihak-pihak (termasuk domisili pilihan),
penunjukan secara jelas utang, atau utang-utang yang dijamin, nilai
hak tanggungan dan uraian secara jelas mengenai objek hak
tanggungan. Ketentuan ini merupakan isi yang sifatnya wajib untuk

79
I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit, hlm. 169

63
sahnya APHT. Tidak dicantumkan secara lengkap hal-hal tersebut
akan mengakibatkan APHT batal demi hukum, karena syarat ini
untuk memenuhi syarat spesialitas dari hak tanggungan yang
bersangkutan, baik mengenai subjek, objek maupun utang yang
dijamin.
2. Mengenai pembuatan SKMHT
3. Mengenai Pendaftaran hak tanggungan.
Berdasarkan jenis pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh PPAT
tersebut ada beberapa tanggung jawab yang harus dipikul oleh PPAT,
terutama dalam pembuatan akta PPAT, tapi terkhusus disini adalah
mengenai tanggung jawab dalam pembuatan SKMHT oleh PPAT.
1) Tanggung Jawab Administrasi PPAT
PP Jabatan PPAT 2016, pengenaan sanksi administrasi bagi
PPAT dikarenakan:
1) Pasal 10 ayat (2), PPAT diberhentikan dengan hormat, karena:
a) Permintaan sendiri
b) Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan
kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan
oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas
permintaan menteri/kepala atau pejabat yang ditunjuk
c) Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2)
d) Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap
e) berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih
dari 3 (tiga) tahun.
2) Pasal 10 ayat (3), PPAT diberhentikan dengan tidak hormat,
karena:
a) Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau
kewajiban sebagai PPAT
b) Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
3) Pasal 10 ayat (4), PPAT diberhentikan sementara, karena:
a) Sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa
suatu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman
kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau
lebih berat
b) Tidak melaksanakan jabatan PPAT secara nyata untuk
jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengambilan sumpah
c) Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau
kewajiban sebagai PPAT
d) Diangkat dan mengangkat sumpat jabatan atau
melaksanakan tugas sebagai notaris dengan tempat
kedudukan di kabupaten/kota yang lain dari pada tempat
kedudukan sebagai PPAT

64
e) Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran
utang
f) Berada di bawah pengampuan
g) Melakukan perbuatan tercela
4) Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3), PPAT dapat dikenakan sanksi
administrasi, apabila:
a) Uang jasa (honorarium) PPAT, termasuk uang jasa
(honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1 % (satu persen)
dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta.
b) PPAT wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya
kepada seseorang yang tidak mampu.
c) Di dalam melaksanakan tugasnya, PPAT dilarang
melakukan pungutan di luar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
PPAT dalam meminta uang honorarium terhadap orang yang
membuat akta kepadanya berdasarkan PP Jabatan PPAT 2014
hanya diperbolehkan 1 % (satu persen). Melebihi dari 1 %
(satu persen) maka PPAT akan dikenakan sanksi administratif.
Prakteknya tidak semua para pihak yang mencantumkan harga
yang sebenarnya dalam akta PPAT, terutama terhadap akta jual
beli. Sehingga terkadang biaya 1 % (satu persen) sesuai PP
Jabatan PPAT 2014 untuk proses peralihan hak atau pun
pemasangan APHT tidak mencukupi, karena terkadang
jauhnya kantor badan pertanahan dari kedudukan PPAT
sehingga memerlukan cost/biaya yang lebih.
SKMHT pun demikian tidak jauh keadaannya dengan jual beli,
terkadang perbankan berusaha untuk mencari hanya yang
paling rendah dari para beberapa PPAT. PPAT pun demikian,
banyak yang berusaha untuk lebih murah dari PPAT lain
supaya mendapatkan atau menjadi rekanan dari bank.

Pengaturan mengenai pelaksanaan pemanggilan, cara


pemeriksaan dan mengenai pembelaan, penjatuhan putusan terhadap
sanksi administratif bagi PPAT oleh majelis pembina dan pengawas
PPAT, baik dari daerah, wilayah dan pusat diatur dalam Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut dengan
Perment ATR/BPN Pembinaan Pengawasan PPAT 2018).
PPAT yang memiliki berwenang dalam membuat SKMHT jika
PPAT tersebut melakukan tindakan yang dapat dikenakan ketentuan
Pasal 10 PP Jabatan PPAT 2016 maka PPAT maka untuk sementara
waktu PPAT tersebut tidak boleh menjalankan jabatannya. Pasal 49
Perment ATR/BPN Pembinaan Pengawasan PPAT 2018 PPAT yang
melakukan pelanggaran dan sedang dalam usulan pemberian saksi
berupa pemberhentian tidak boleh menjalankan jabatan PPAT sampai
dengan dijatuhkannya sanksi terhadap PPAT tersebut. Jika memang
terbukti PPAT tidak bersalah makan PPAT tersebut akan

65
diperbolehkan lagi menjalankan kewenangannya berdasarkan PP
Jabatan PPAT 2016.
Pemeriksaan PPAT yang dilakukan oleh Majelis Pengawas dan
Pembina Daerah PPAT, Majelis Pengawas dan Pembina Wilayah
PPAT dan Majelis Pengawas dan Pembina Pusat PPAT, terhadap
PPAT dilakukan secara bertingkat, mulai dari MPP Daerah PPAT.
Pemeriksaan terhadap PPAT ini diawali karena adanya temuan dari
Majelis Pembina Pengawas PPAT atau adanya dugaan pelanggaran
yang disampaikan oleh masyarakat kepada Majelis Pembina
Pengawas PPAT. Majelis Pembina Pengawas PPAT tidak serta merta
memberikan sanksi terhadap PPAT yang diduga dan diadukan oleh
masyarakat. Tetapi setiap Majelis Pembina Pengawas PPAT akan
melakukan pemanggilan pada PPAT dan meminta keterangan-
keterangan pada PPAT mengenai apa saja yang dituduhkan
kepadanya.
Jika memang PPAT tidak terbukti melakukan pelanggaran yang
dituduhkan kepadanya maka PPAT, berdasarkan hasil tersebut,
Menteri akan memberitahukan kepada PPAT, Kepala Kantor Wilayah
dan Kepala Kantor Pertanahan. Keputusan yang ditetapkan oleh
Menteri kepada PPAT bersifat final tidak bisa diganggu gugat. Setiap
hasil putusan yang diberikan oleh Majelis Pengawas dan Pembina
Daerah PPAT, Majelis Pengawas dan Pembina Wilayah PPAT,
Majelis Pengawas dan Pembina Pusat PPAT baik rekomendasi dan
sanksi harus dibuatkan berita/surat/keputusan yang disampaikan
kepada PPAT, terlapor dan organisasi PPAT dalam hal ini Ikatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut dengan IPPAT).
2) Tanggung Jawab Perdata PPAT
Pada PP Jabatan PPAT 1998 maupun PP Jabatan PPAT 2016
tidak satu pasal pun menyingung mengenai PPAT dapat dikenakan
sanksi penggantian kerugian baik berupa biaya, ganti rugi dan bunga
apabila melakukan tindaka-tindakan yang melanggar ketentuan
jabatannya. Demikian juga pada Perment ATR/BPN Pembinaan
Pengawasan PPAT 2018 tidak ada menyingung pelanggaran yang
dilakukan oleh PPAT yang sanksinya berupa penggantian kerugian.
Tapi memang dalam prakteknya PPAT sering diikut sertakan sebagai
tergugat dan turut tergugat pada gugatan perdata.
Hubungan keperdataan timbul antara pihak yang satu dengan
pihak yang lainnya apabila ada salah satu pihak telah melakukan
pelanggaran dan merugikan salah satu pihak atau beberapa pihak, dan
dikenankan sanksi berupa hukuman. Hukuman dalam acara perdata
umumnya memberikan ganti rugi pada salah satu pihak atau beberapa
pihak yang telah dirugikan atas dasar adanya pelanggaran yang terjadi.
Terlepas pelanggaran tersebut adanya unsur kesengajaan apa tidak,
yang pasti apabila adanya pelanggaran tersebut telah merugikan salah
satu pihak atau beberapa pihak, maka pihak yang telah melakukan

66
pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi hukuman keperdataan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum materil.80
UU Jabatan Notaris 2014 terdapat beberapa pasal di dalamnya
yang menyatakan bahwa notaris dapat dimintakan penggantian biaya,
ganti rugi, dan bunga kepada notaris apabila melakukan tindakan-
tindakan yang menimbulkan kerugian pada pihak yang membuat akta
dihadapan notaris. Sedangkan pada peraturan jabatan PPAT, tidak ada
satu pasal pun yang menyatakan bahwa PPAT dapat dimintakan
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada PPAT apabila
melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian pada pihak
yang membuat akta dihadapan PPAT.
PPAT pada SKMHT jika terjadi kasus antara bank selaku
penerima hak tanggungan dengan pemberi hak tanggungan, sering
menjadi ikut terlibat di dalamnya. Pada kasus perdata sering PPAT
dijadikan tergugat maupun turun tergugat. Terkadang tidak hanya
sebagai tergugat tetapi juga tergugat yang turut serta menanggung
kerugian. Tergugat merupakan orang yang ditarik ke muka
pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang, apabila ada
lebih dari satu pihak yang terlibat dalam suatu perkara, maka
tergugat disebut tergugat satu, tergugat dua dan seterusnya. Pihak
turut tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai
barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu,
namun hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan,
jika tida maka tidak lengkap pihak yang ada pada gugatan.
Berdasarkan PP Jabatan PPAT 1998 maupun PP Jabatan PPAT
2016 tidak adanya satu pun pasal yang dapat dikenakan pada PPAT
dalam hal penggantian kerugian dalam menjalankan jabatannya. Hal
ini berbeda dengan UU Jabatan Notaris 2004 dan pada UU Jabatan
Notaris 2014 yang pada beberapa pasal mengenakan sanksi ganti
kerugian pada notaris. Tapi praktek di pengadilan, PPAT kerap kali
diancam dengan tuntutan ganti kerugian dari para pihak yang
membuat akta padanya atau dari pihak lain yang terkait dengan akta
tersebut.
Semoga untuk kedepannya untuk PPAT ada satu lembaga yang
tugasnya sama dengan majelis kehormatan notaris, dimana setiap
notaris yang di proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan majelis
kehormatan Notaris. Sehingga tidak terjadi penuntut diluar
tanggungjawab dari PPAT terhadap para pihak yang memuat akta
mengenai hak atas tanah dihadapannya maupun terhadap pihak yang
terkait dengan akta tersebut.
Namun pada PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, pada Pasal 2
disebutkan bahwa apabika penyiapan dan pembuatan akta yang
dilakukan oleh PPAT maka Kepala Kantor Pertanahan setempat dapat
menolak pendaftaran akta PPAT. Jika akta PPAT ditolak
pendaftarannya oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat otomatis
80
Sarwono, 2016, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9

67
tidak terjadi perubahan data atas tanah tersebut. Tentu ini akan
menimbulkan kerugian bagi para pihak, karena akta PPAT dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak akta dinomori dan ditanggali
maka akta PPAT harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Hal ini juga berlaku bagi APHT, APHT setelah
ditandatangani selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja APHT tersebut
beserta warkahnya wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
setempat (Pasal 13 ayat (2) UU Hak Tanggungan 1996. Namun
prakteknya tetap saja ada kelalaian dari PPAT yang tidak melakukan
pendaftaran dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari, dan Kantor Pertanahan
pun masih dapat menerimanya. Mengenai lewatnya pendaftaran
terhadap akta PPAT dan APHT tidak ada pengaturan sanksi yang
tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
jabatan PPAT. Apakah akta PPAT dan APHT tersebut batal demi
hukum atau pun akta tersebut menjadi akta di bawah tangan tidak ada
pengaturan yang tegas tentang hal tersebut. Kantor Pertanahan
setempat tetap akan menerima akta PPAT dan APHT yang telah lewat
jangka waktu pendaftarannya, dan akan tetap melakukan pendaftaran.
Namun apabila dikemudian hari timbul masalah terhadap akta PPAT
dan APHT ini, maka segala tanggung jawab tetap menjadi tanggung
jawab dari PPAT sendiri. Apa jenis tanggung jawabnya tidak
ditetapkan dalam PP Jabatan PPAT 2016 dan PERKABAN Nomor 2
Tahuan 2012.
Menurut penulis mengenai hal ini, sangat besar peranan dari
Kantor Pertanahan Kabupaten Kota/Kabupaten setempat dengan MPP
Daerah PPAT dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
kerja PPAT dan akta PPAT. Lebih baik dilakukan pengawasan yang
sifatnya refentif sedari awal sehingga dapat mencegah resiko dan
pertanggungjawaban yang lebih besar dikemudian harinya.
3) Tanggung Jawab Pidana PPAT
Tanggung jawab pidana pada PPAT sama dengan tanggung jawab
pidana yang dibebankan pada notaris. Pada PP Jabatan PPAT 1998
maupun PP Jabatan PPAT 2016 tidak ada satu pasal pun yang
mengatur mengenai saksi pidana bagi PPAT yang menjalankan
jabatannya. Oleh karena itu jika terjadi pelanggaran terhadap pidana
oleh PPAT tetap merujuk pada KUHPidana. Pada KUHPidana pasal
yang sering dikenakan pada PPAT adalah Pasal 263, Pasal 264, Pasal
266, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 372 KUHPidana, yaitu :
1) Pasal 55 KUHPidana, mengenai penyertaan dalam suatu
perbuatan pidana
2) Pasal 56 KUHPidana, membantu dalam melakukan kejahatan
3) Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHPidana, mengenai memuat
surat palsu atau memalsukan surat
4) Pasal 264 ayat (1) dan (2) KUHPidana
5) Pasal 266 ayat (1) dan (2) KUHPidana
6) Pasal 372 KUHPidana, mengenai penggelapan
Prakteknya pertanggungjawaban pidana ini lah yang banyak
dikenakan pada PPAT, dibandingkan pada notaris. Hal ini salah

68
satunya disebabkan karena pada PPAT tidak adanya lembaga yang
menjadi benteng bagi PPAT apabila tersangkut proses peradilan,
penyidik, penuntut umum, atau pengadilan. PPAT juga tidak memiliki
hak imun berupa hak ingkar dimana kewajiban bagi pejabat umum
untuk merahasiakan aktanya. Pada notaris secara aturan jabatan,
notaris mendapatkan perlindungan melalui hak ingkar dan majelis
kehormatan notaris.

c. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan


Hak Tanggungan Berdasarkan Peraturan Pertanahan
Tangung jawab jabatan baik itu selaku notaris dan selaku PPAT sudah
secara tegas dituangkan dalam aturan yang mengatur jabatan masing-
masing. Pada PPAT diatur berdasarkan PP Jabatan PPAT 2016, sedangkan
pada notaris diatur pada UU Jabatan Notaris 2014. Jika pada masing-masing
aturan jabatan tersebut tidak diatur mengenai hal tertentu, maka akan
merujuk pada aturan yang lebih tinggi. Seperti KUHPerdata dan
KUHPidana, sebagai aturan organik dan aturan tertinggi. SKMHT
merupakan surat yang diberi kewenangan pembuatannya pada notaris dan
PPAT. SKMHT dapat dibuat oleh PPAT berdasarkan dan berpedoman pada
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. SKMHT juga dibuat oleh notaris
dengan berpedoman kepada Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014. Jika PPAT
membuat SKMHT keluar dari bentuk dan tata cara yang telah ditetapkan
oleh PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, maka PPAT bertanggungjawab
PPAT apabila tidak diterimanya pendaftaran APHT oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat.
Jika SKMHT telah dipasang APHT dan dalam jangka waktu 7 (tujuh)
harus didaftarakan. Sedangkan APHT tidak diterima pendaftarannya oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, maka otomatis tidak terjadi
lahirnya hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan lahir pada hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftaran. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak
tanggungan. Terbitnya buku tanah maka hak tanggungan yang bersangkutan
lahir, dan pada saat itu juga kreditur menjadi kreditur pemegang hak
tanggungan yang mempunyai kedudukan mendahului dari pada kreditur-
kreditur lainnya. Jika hak tanggungan tidak lahir sebagai akibat tidak
dipenuhinya bentuk dan tata cara pembuatan SKMHT berdasarkan
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012, maka yang paling dirugikan adalah
kreditur.
Kreditur tentu hanya berpegang pada SKMHT, sedangkan SKMHT
mempunyai jangka waktu. Jika jangka waktu SKMHT sudah lewat dan
tidak dipasangkan APHT maka SKMHT juga tidak akan berlaku lagi.
APHT juga tidak dapat didaftarkan sehingga tidak lahir hak tanggungan.
Maka baik pemberi hak tanggungan maupun penerima hak tanggungan
sama-sama tidak memiliki kewenangan atas objek hak tanggungan.
Akhirnya yang akan dipermasalahan adalah PPAT. Karena akibat kelalaian
PPAT maka APHT tidak dapat didaftarakan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat dan SKMHT juga sudah habis jangka waktunya.
Kreditur sudah tidak memiliki hak preperen dari debitur, jika debitur lalai

69
dan tidak memenuhi kewajibannnya maka objek hak tanggungan yang
seharusnya dapat dilelang menjadi tidak bisa, karena kreditur tidak
mempunyai kewenangan atas objek hak tanggungan.
Akibatnya PPAT akan dimintakan pertanggungjawaban jika memang
terbukti tidak dapat didaftarkannya APHT dikarenakan kelalaian PPAT.
Pertanggungjawaban PPAT tentu sebatas yang menjadi tanggungjawab
jabatannya selaku PPAT. Jika memang hal tersebut tidak merupakan
tanggung jawab PPAT tidak dapat pula dibebankan kepada PPAT.
Pertanggungjawaban PPAT memang tidak begitu jelas dan tegas dinyatakan
pada PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Hanya pada Perment ATR/BPN
Pembinaan Pengawasan PPAT 2018 yang menyatakan sanksi dan jenis
pelanggaran yang dapat dikenakan pada PPAT
Demikian juga terhadap notaris, jika notaris membuat SKMHT tidak
memenuhi ketentuan Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014, yang menyebabkan
SKMHT dan APHT tidak bisa didaftarkan tentu notaris akan
dipermasalahkan karena hal tersebut. Pertanggungjawab notaris terhadap
akta yang dibuatnya baik karena kesalahan maupun kelalaian, sudah secara
tegas disebutkan dalam UU Jabatan Notaris 2014. Begitu juga pada
KUHPidana jika notaris diminta pertanggungjawaban pidana.
Praktek yang ada pada beberapa PPAT dan notaris, dimana notaris
dan PPAT membuat SKMHT dalam bentuk UU Jabatan Notaris 2014 dan
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012. Bentuk dan tata cara pembuatan surat
kuasa membebankan hak tanggungan berdasarkan 2 (dua) aturan jabatan ini
pada aktanya setengah berbentuk akta PPAT dan setengah berbentuk akta
notaris yang digabung menjadi satu buah akta. Kemudian SKMHT
dilanjutkan dengan pembuatan APHT. Proses selanjutnya APHT
didaftarakan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan
dilampiri warkah-warkah penunjang dari APHT salah satunya adalah
SKMHT. Pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat, terlebih dahulu berkas-berkas yang berkaitan
dengan pendaftaran hak tanggungan tersebut akan diperiksa dan cek
kelengkapannya oleh petugas. Pada beberapa Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota ada yang menerima yang dibuat secara berdasarkan
penggabungan UU Jabatan Notaris 2014 dan PERKABAN Nomor 8 Tahun
2012 untuk pendaftaran hak tanggungan.
Hak tanggungan akhirnya lahir walaupun SKMHT yang dibuat
berdasarkan penggabungan UU Jabatan Notaris 2014 dan PERKABAN
Nomor 8 Tahun 2012. Menjadi permasalahan dikemudian hari apabila surat
dan/atau akta kuasa membebankan hak tanggungan yang dibuat berdasarkan
penggabungan UU Jabatan Notaris 2014 dan PERKABAN Nomor 8 Tahun
2012 terjadi masalah atau tersangkut suatu permasalah, maka yang SKMHT
yang dibuat berdasarkan penggabungan UU Jabatan Notaris 2014 dan
PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 menjadi tanggung jawab siapa. Apakah
notaris atau PPAT.
Jika terjadi tuntutan ataupun gugatan terhadap hak tanggungan yang
sudah lahir, dikarenakan kelalaian atau kesalahan notaris dan PPAT maka
tanggung jawab tentu terhadap notaris dan PPAT. Jika terhadap tanggung
jawab pidana tidak jadi masalah karena baik notaris maupun PPAT

70
pertanggungjawaban pidana tetap berdasarkan KUHPidana. Namun bagi
pertanggungjawaban administrasi tentu akan sulit menetukan
pertanggungjawaban apakah selaku notaris atau pun PPAT. Namun karena
pada akhir aktanya adalah APHT kebanyakan yang diminta
pertanggungjawaban administrasinya adalah PPAT.
Tapi terhadap SKMHT yang dibuat berdasarkan penggabungan UU
Jabatan Notaris 2014 dan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 tidak diikuti
dengan pendaftaran APHT dan tidak lahirnya hak tanggungan, dan
kemudian terjadi tuntutan maka baik pada tahap penyidikan, penyelidikan,
penuntut umum dan pengadilan akan sulit menentukan pertanggungjawaban
jabatan mana yang bebankan. Pada umumnya berdasarkan permasalahan
hukum yang sering terjadi dimana pada umumnya dikarenakan penegakan
hukum lebih mengenai jabatan notaris dari pada PPAT maka baik penyidik,
penuntun umum dan hakim lebih membebankan tanggung jawab pada
notaris. Walaupun pada SKMHT memakai bentuk akta PPAT dengan
penomoran notaris.

IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan pembuatan SKMHT terhadap notaris didasarkan pada 15 UU
Hak Tanggungan 1996, Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 16 UU Jabatan
Notaris 2014, SKMHT dapat dibuat dalam bentuk minuta akta dan akta in
originali. Sedangkan pada PPAT, pengaturannya berdasarkan pada Pasal 15
UU Hak Tanggungan 1996, Pasal 2 UU Jabatan PPAT 2016 dan
PERKABAN Nomor 8 tahun 2012 dalam bentuk akta PPAT. Dengan
kewenangan 2 pejabat ini, prakteknya ada 3 bentuk SKMHT yaitu SKMHT
dalam bentuk akta notaris, SKMHT dalam bentuk akta PPAT dan SKMHT
dalam bentuk penggabungan akta notaris dan akta PPAT, sehingga tidak
terdapat kesikronisasian SKMHT. Agar tercapainya sikronisnisasi atas
SKMHT, maka pembuatan SKMHT menjadi kewenangan notaris dan
penyebutannya bukan SKMHT tetapi AKMHT. Hal ini didasarkan atas
pertama mengenai pengaturan perundang-undangan yang mengatur notaris
dan PPAT, Kedua mengenai kewenangan dan tugas. Ketiga, terkait dengan
wilayah kerja terhadap jabatan notaris dan PPAT dalam pembuatan
SKMHT. Keempat terhadap kekuatan pembuktian dari SKMHT dan kelima
kewajiban pelaporan SKMHT. Sehingga tidak ada lagi pembuatan SKMHT
dalam bentuk pencampuran akta notaris dan akta PPAT.
2. Ketidaksinkronisasian akta PPAT tersebut, maka timbul ketidakpastian
hukum terhadap SKMHT terhadap notaris, PPAT, perbankan dan pihak
yang berkepentingan serta ahli waris terhadap SKMHT. Hal ini
dikarenakan, pertama bentuk dan sifat SKMHT yang diterima oleh setiap
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berbeda. Sehingga berpengaruh kepada
kewenangan dari pembuat SKMHT tersebut, apakah menjadi kewenangan
notaris atau kewenangan PPAT. Ketiga pengenaan jangka waktu pada
SKMHT terutama bagi kredit kecil dan tanah yang tidak terdaftar. Apabila
jangka waktu yang dimaksudkan tidak terpenuhi maka SKMHT batal demi
hukum. Pembatasan waktu yang disebutkan adalah pasti sifatnya sehingga
apabila jangka waktu yang ditetapkan tersebut tidak dapat dipenuhi maka

71
batal demi hukumlah permohonan hak tanggungan. Keempat ditambah
dengan keluarnya PERKABAN HT-EL 2020. Menyatakan bahwa SKMHT
yang merupakan dokumen kelengkapan hak tanggungan pada pendaftaran
hak tanggungan dengan sistem hak tanggungan elektronik hanya dilihat
mengenai kesesuaian dan kelengkapannya sebagai dokumen perlengkapan
hak tanggungan. Sistem tidak melihat apakah SKMHT ini dibuat sesuai
sudah dengan aturannya atau adanya pencampuran aturan dalam
pembuatannya. Maka berdasarkan hal tersebut agar terdapatnya kepastian
hukum terhadap SKMHT, maka SKMHT menjadi kewenangan notaris yang
dibuat dalam bentuk minuta akta dan akta in originali.
3. Konsep tanggung jawab adalah konsep kewajiban hukum. Seseorang
dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu
adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang
berlawanan. Notaris bertanggungjawab terhadap akta yang dibuatnya baik
secara perdata, pidana dan administrasi. Begitu juga halnya dengan PPAT
bertanggungjawab secara pidana dan administrasi terhadap 8 (delapan) jenis
akta PPAT termasuk SKMHT. Apabila notaris membuat SKMHT dalam
bentuk penggabungan akta PPAT dengan akta notaris, prakteknya jabatan
yang bertanggungjawab adalah jabatan notaris. Hal ini dikarenakan polisi,
jaksa dan hakim lebih mengenai jabatan notaris dibandingkan jabatan
PPAT.
B. Saran
1. Dengan ditetapkannya bahwa kewenangan pembuatan SKMHT hanya
menjadi kewenangan notaris, maka disarankan mengubah ketentuan Pasal
15 ayat (1) UU Hak Tanggungan 1996, sehingga PP Jabatan PPAT 2016
dan PERKABAN Nomor 8 Tahun 2012 menghilangkan kewenangan dari
PPAT dalam membuat SKMHT.
2. Dengan perubahan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan 1996,
sehingga SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris. Maka notaris dalam
pembuatan SKMHT harus sesuai dan berpedoman pada aturan hukum yaitu
Pasal 38 UU Jabatan Notaris 2014. Sehingga kepastian hukum terhadap
notaris, PPAT, para pihak, Kantor Pertanahan, perbankkan dan pihak yang
terkait dengan SKMHT dapat tercapai dan akan tercipta kemanfaat dan
keadilan dalam perbuatan hukum terhadap hak tanggungan. Notaris yang
diberi kewenangan dalam pembuatan.
3. Untuk penyidik, penuntut umum dan hakim apabila terkait dengan tanggung
jawab dari notaris dan PPAT dalam pembuatan akta, maka
pertanggungjawaban tersebut harus dikenankan kepada pejabat yang
membuatnya. Jangan sampai akta dibuat oleh PPAT tapi jabatan yang di
minta pertanggungjawaban adalah notaris atau sebaliknya, akta dibuat oleh
notaris namun pertanggungjawaban dimintakan pada PPAT.

72
DAFTAR PUSTAKA
A‟an Efendi dan Freddy Poernomo. 2017. Hukum Administrasi. Sinar Grafika.
Jakarta
Achmad Ali. 2015. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan
(Judicialprudence). Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence). Kencana. Jakarta
Adrian Sutedi. 2010. Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika. Jakarta
___________. 2017. Sertifikat Hak Atas Tanah. Sinar Grafika. Jakarta
Ahmad Redi. 2018. Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sinar
Grafika. Jakarta
Ansorie Sabuan. Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad. 1990. Hukum Acara
Pidana. Angkasa. Bandung
Darji Darmodiharjo. 2007. Positivisme Hukum. Universitas Tarumanegara.
Jakarta
________________. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem
Hukum Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta
Esmi Warassih, dkk. 2016. Penelitian Hukum Interdisipliner, Sebuah Pengantar
Menuju Sosial-Legal. Thafamedia. Yogyakarta
Frans Magnis Suseno. 1988. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Kanisius. Jakarta
Habib Adjie. 2015. Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. PT.
Refika Aditama. Bandung
_________. 2014. Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris Dan PPAT. Citra
Aditya Bakti. Bandung
_________. 2013. Saksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik. Refika Aditama. Bandung
Herlien Budiono. 2014. Dasar-Dasar Pembuatan Akta Notaris. PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung
____________. 2015. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata, Di Bidang
Kenotariatan, Buku Ketiga. Citra Aditya Bakti. Bandung
____________. 2012. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
____________. 2016. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
Buku Kesatu. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
I Made Pasek Diantha. 2016. Metode Penelitian Hukum Normatif. Kencana.
Jakarta
I Ketut Oka Setiawan. 2019. Hukum Pendaftaran Tanah Dan Hak Tanggungan.
Sinar Grafika. Jakarta
Jimly Asshiddiqie, dan M.Ali Safa‟at. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Konstitusi Press. Jakarta
Jimly Ashiddiqie. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta.
Konstitusi Press
Krishna Djaya Darumurti. 2016. Diskresi Kajian Teori Hukum. Genta Publishing.
Yogyakarta

73
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2004. Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori
Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
M. Luthfan Hadi Darus. 2017. Hukum Notariat Dan Tanggung Jawab Jabatan
Notaris. UII Press. Yogyakarta
Marwan Effendy. 2014. Teori Hukum, Dan Perpektif Kebijakan, Perbandingan,
Dan Harmonisasi Hukum Pidana. Referenci (Gaung Persada Press
Group). Jakarta
Metika Zed. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta
Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia. Jakarta
Philipus M. Harjon, dkk. 2019. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta
Romli Atmasasmita. 1989. Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana. Yayasan
LBH. Jakarta
Salim HS. 2016. Teknik Pembuatan Akta Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT).
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
_______. 2008. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Rajawali Press.
Jakarta
_______. 2016. Teknik Pembuatan Akta Satu, Konsep Teoritis, Kewenangan
Notaris, Bentuk, Dan Minuta Akta. RajaGrapindo Persada. Jakarta
_______. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Sinar
Grafika. Jakarta
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. 2014. Buku Kedua : Penerapan Teori
Hukum Pada Penelitian Disertasi Dan Tesis. PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta
________________________________. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Disertasi Dan Tesis. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sarwono. 2016. Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktek. Sinar Grafika. Jakarta
Setiawan Santana K. 2010. Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif. Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. Jakarta
Sjaifurrachman. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan
Akta. Mandar Maju. Bandung
Shidarta, dkk. 2009. Metode Penelitian Hukum, Konstelasi Dan Refleksi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta
Soetandyo Wignjosoebroto. 2013. Hukum Konsep Dan Metode. Setara Press.
Malang
Subekti dan R. Tjitrosudibio. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi
Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta
Sutan Remi Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan
Pokok, Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian
Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan). Alumni. Bandung
_______________. 1993. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia.
Institut Bankir Indonesia. Jakarta

74
Suteki dan Galang Taufani. 2018. Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori
Dan Praktik). Rajagrafindo Perkasa. Jakarta
Teguh Prasetyo dan Abdul Halam Barkatullah. 2012. Filasafat, Teori Dan Ilmu
Hukum. Raja Grafindo Persada. Depok
Urip Santoso. 2016. Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perspektif Regulasi,
Wewenang Dan Sifat Akta. Prenadamedia Group. Jakarta
W. Riawan Tjandra. 2018. Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika. Jakarta
Yudhi Setiawan, dkk. 2017. Hukum Administrasi Pemerintahan, Teori Dan
Praktek. Rajawali Press. Depok
YURNAL
Urip Santoso (II). 2010. Pelepasan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan
Perusahaan Swasta. Jurnal Perspektif. Vol. XV, No.3

MAKALAH
Yohanes Sogar Simamora. 2008. Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas Dalam
Kontrak Pemerintah Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2020 Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar-Dasar Pokok Agraria
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

75
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 tentang Penetapan Batas
Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk
Menjamin Pelunasan Kredit Tertentu
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT
Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Pelayanan
Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik
Intruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1982
Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak
Atas Tanah
Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
543/5.31/II/2015, Tanggal 05 Februari 2019, Perihal Pemanfaatan
Kembali Blanko untuk Akta PPAT
Staatsblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris

KAMUS
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Keempat. Gramedia. Jakarta

WEBSITE
https://id.wikipedia.org/wiki/Surat
https://kbbi.web.id/tanggung%20jawab

76
DAFTAR RIWAYAT
A. Identitas Diri

Nama Lengkap LENY AGUSTAN, S.H.,M.Kn.


Tempat dan Tanggal Lahir Pariaman, 09 Juni 1980
Jenis Kelamin Wanita
Agama Islam
Status Perkawinan Kawin
Alamat Rumah Jl. Perawat No.94, RT.001, RW.003, Kel. Belakang
Balok, Kec. ABTB, Kota Bukittinggi, Propinsi Sumatera
Barat
Alamat Kantor Notaris/PPAT Leny Agustan, S.H.,M.Kn. d/a.:Jl. By Pass
Bukittinggi-Medan Km.3, Gadut, Kec. Tilatang Kamang,
Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat
Nomor Telepon/HP/WA 0812 6865 1009
Alamat e-mail leny_agustan@rocketmail.com

B. Riwayat Pendidikan
FORMAL
Pendidikan Tahun Tamat Sekolah/
Masuk Universitas
Sekolah Dasar 1988 1993 SDN Belakang Balok, Bukittinggi

SMP 1993 1996 SMPS Xaverius Bukittinggi

SMA 1996 1999 SMAN 1 Bukittinggi

Strata 1 1999 2003 Fakultas Hukum, Universitas Andalas


Padang
Strata 2 2004 2006 Magister Kenotariatan Universitas
Padjadjaran Bandung
Strata 3 2017 2021 Program Doktor Fakultas Hukum
Universitas Andalas Padang

NON FORMAL
Pendidikan Tahun Masuk Tamat
Kursus Komputer Widyaloka Bukittinggi Mei 2003 Juni-2003
Kursus bahasa inggris di ELS Padang 2000 2003

77
C. Pengalaman Kerja
Bidang Kerja Instansi Masa Kerja
Pegawai/Magang/Asisten Kantor Notaris/PPAT Prof. DR. TH 2005 – 2006
Dosen Wiratni Achmadi, SH Bandung
Notaris Pengganti Kantor Notaris/PPAT Elfita Tahun 2003- 2004
Achtar, S.H. Bukittinggi
Magang Notaris Kantor Notaris/PPAT NASRUL, Tahun 2004 – 2006
S.H. Padang
Notaris Kantor Notaris Leny Agustan Tahun 2007 – 2011
Kabupaten Kampar Kampar
Notaris/PPAT Kantor Notaris/PPAT Leny Tahun 2011- sekarang
Agustan Kabupaten Agam Agam
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tahun 2018 -2020
Muhamdiyah Bukittinggi
Dosen Magister Kenotariatan Tahun 2015 – sekarang
Universitas Andalas Padang

D. Pengalaman/Pelatihan Organisasi
Pelatihan Tingkat Pelatihan Tahun/
Periode
Lembaga Advokasi Mahasiswa Sekretaris Advokasi 2000-2001
& Pengkajian Kemasyarakatan
Universitas Andalas
Lembaga Advokasi Mahasiswa Dewan Kehormatan 2003 - sekarang
& Pengkajian Kemasyarakatan
Universitas Andalas
Ikatan Mahasiswa Kenotariatan Ketua Bidang Pendidikan dan 2004-2005
Universitas Padjadjaran Pengajaran
Ikatan Mahasiswa Kenotariatan Ketua Bimbel Penerimaan 2005
Universitas Padjadjaran Mahasiswa baru
Ikatan Mahasiswa Kenotariatan Koordinator PPMKN 2005
Universitas Padjadjaran
Pengurus Daerah INI Kabupaten Bendahara 2008
Kampar
Pengurus Daerah INI Sekretaris Umum 2013-2015
Bukittinggi
Pengurus Wilayah INI Komisi Perlindungan Anggota 2016-2019
SUMBAR
Pengurus Wilayah INI Koordinator Bidang Riset dan 2019-2022
SUMBAR Kebijakan Perundang-
Undangan
Kalam Center Pendiri 2013- sekarang
Yayasan Baabusaalam Hasdar Sekretaris Umum 2019 - Sekarang
Sekolah Ilmuwan Minangkabau Pendiri 2020 - sekarang

E. Buku/Jurnal/Tulisan

78
Judul Penerbit Tahun
TATA KELOLA KANTOR NOTARIS UII Press, Yogyakarta 2018
PANDUAN NOTARIS/PPAT DALAM UII Press, Yogyakarta 2018
MENGHADAPI GUGATAN PERDATA

F. Pelatihan/Seminar

Nama Kegiatan Tempat Tahun Keterangan


Kongres Luar Biasa & Up Grading Bandung 2005 Panitia
Refreshing Course INI Pelaksana
Pendidikan dan Pelatihan PPAT Yogyakarta 2007 Peserta
Pembinaan dan Penyegaran Pengetahuan di Pekanbaru 2011 Peserta
Bidang Kenotariatan serta Aneka Kajian
Hukum
Bedah Buku “Akta Perbankan Syariah Yang Pekanbaru 2012 Peserta
Selaras Pasal 38 Undang-Undang Jabatan
Notaris”
Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan Pekanbaru 2012 Peserta
Sosialisasi Minuta Akta PPAT Medan 2013 Peserta
Kongres Luar Biasa Pembekalan dan Bandung 2013 Peserta
Penyegaran Pengetahuan INI
Pelatihan Koperasi dan Penyegaran Pekanbaru 2014 Peserta
Pengetahuan Kenotariatan
Bimbingan Teknis Bidang Perpajakan Bagi Padang 2014 Peserta
Profesi Notaris
Kongres VI Lanjutan Dan Up Grading Surabaya 2015 Peserta
IPPAT
Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan Bukittinggi 2015 Panitia
Kenotariatan
Penyelesaian dan Pembuatan Akta Notaris Bukittinggi 2015 Panitia
bagi Badan, Lembaga dan Organisasi
Kemasyarakatan Penerima Bantuan Sosial
yang belum Berbadan Hukum (untuk
Yayasan dan Perkumpulan sesuai Pasal 298
ayat (5) huruf d UU Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah
Kiat Menghindari Jerat Pidana Dalam Padang 2016 Peserta
Pembuatan Akta Notaris
Penerapan SEMA No. 4 Tahun 2016 Bukittinggi 2017 Peserta
sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Aparatur Penegak Hukum dan Akses
Justitiabelen yang semakin Terukur
Sosialisasi Pembinaan dan Pengawasan Padang 2020 Pembicara
PPAT
Problematika SKMHT pada Lembaga Padang 2021 Pembicara
Pembiayaan
Korelasi Materi Magang Bersama Dalam Padang 2021 Panitia
Konsep Hukum Kenotariatan

79
Etika Profesi Menciptakan Notaris Yang Padang 2021 Pembicara
Bermartabat (officium Nobile) Panjang
Teknik dasar Menghadapi Pemeriksaan Bukittinggi 2021 Moderator
Penyidik
Coaching Clinic dan Diskusi Terbatas Batu Sangkar 2021 Peserta
tentang Pertanggungjawaban Perdata,
Pidana dan Administrasi Dalam Jabatan
Notaris
Konsekuensi Perjanjian Tidak Bernama Padang 2021 Peserta
dalam Persfektif Hukum Kenotariatan
Konsep Dasar Badan Hukum dalam Padang 2021 Peserta
Persfektif Hukum Kenotariatan di Indonesia
dan Konsekuensi Yuridis Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) Perseroan
Terbatas dan Permasalahannya di Indonesia
Teknik dasar Pembuatan Akta Notaris dan Payakumbuh 2021 Pembicara
PPAT dan Teknis Menghadapi Pemeriksaan
Penyidik

G. Keluarga
Nama Status
Agustani Orang Tua
Anursyah Orang Tua
Dedek Astani, S.Pd., S.H., M.Kn Suami
Greymendra, S.T., M.M Adik
Angga Satria Adik

80

Anda mungkin juga menyukai